Senin, Juli 11, 2022

Biografi singkat Muhammad Edwan Ansari sang Aktivis Kalimantan Selatan

Biografi Muhammad Edwan Ansari





Muhammad Edwan Ansari

Seorang Aktivis yang berpikir kritis bertindak Demokratis kata Aktivis Sosial dakwah pantas disematkan kepada Muhammad Edwan Ansari (Bang Edwan ), seorang aktivis pejuang demokrasi yang dengan teguh membela hak-hak rakyat kecil, Berbekal keberanian serta pemikiran kritisnya, ia menentang penindasan yang ada di Banua (sebutan untuk Kalimantan Selatan dalam kebiasaan masyarakat dalam bahasa Banjar) bersama kawan-kawan aktivisnya dan belakangan ini ia lebih memfokuskan diri pada aktivitas sosial kemanusiaan, Pendidikan dan dakwah


Pendiri Relawan Semut Pemburu  Berkah ini merupakan seseorang yang aktif dalam bidang aktivitas sosial, kemanusiaan dakwah dan salah satu orator ulung di panggung Parlemen Jalanan istilah kalimat yang sering di sematkan untuk aksi unjuk rasa maupun demonstrasi yang sering Ia lakukan



Sebelum menjalani pendidikan sebagai mahasiswa Sarjana Pendidikan Agama Islam di STAI Al Washliyah Barabai, Edwan sempat memperdalam ilmu di Agama di Pondok Pesantren Darul Muttaqin Ilung pada tahun 2004, yang Setelah tahun 2006 Pondok Pesantren Darul Muttaqin berganti nama menjadi Pondok Pesantren Nurul Muhibbin Hingga Sekarang, sebelum memulai usahanya sendiri Ia lebih banyak menghabiskan waktu bekerja di salah satu perusahaan Provider Telekomunikasi di bagian Marketing dan Promo


Sambil Bekerja Ia tetap melakukan aktifitas sosial kemanusiaannya, 


Setelah Lulus Sekolah Menengah Atas dan Sambil Terus Belajar di Pondok Pesantren Darul Muttaqin dari Tahun 2004 Edwan Aktif mengajar Al-Qur'an di TK TPA Al-Qur'an Dhiyaul Abidin Unit 008, di tahun 2004 sampai 2010, ia pernah menjadi Pengurus Keluarga Besar Ustadzt/ustadzah BKPRMI Kecamatan Batang Alai  dimana di tahun 2007 ia juga menjadi Pengurus Karang Taruna Tunas Jaya Ilung Pasar Lama dan pada Tahun 2009 Ia dipercaya sebagai Ketua Bidang Pembinaan Anggota Himpunan Mahasiswa Islam Cabang  Barabai Selain di HMI ia juga pernah menjadi Ketua atau waktu itu disebut Presiden Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa STAI Al Washliyah Barabai di Tahun 2010, pada Tahun 2017 Ia mendirikan Sebuah Gerakan Sosial Bernama Gerakan Masyarakat Peduli Murakakata (GEMPUR) dimana lewat GEMMPUR ini salah satunya dia sering melakukan aksi-aksi kritis terhadap pemerintah daerah, lewat panggung demonstrasi ia menyuarakan pemikiran kritisnya, yang pada aksi di tahan 2017 ia mampu  menurunkan Ribuan Masyarakat Hulu Sungai Tengah untuk Melakukan Aksi Damai penolakan Armada Besar melintas di  Jalan Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan isu Meratus, pada Tahun 2019 Ia mendirikan Sebuah Gerakan Relawan Sosial Relawan Semut Pemburu Berkah dilandasi keinginan dan kepedulian dirinya pada sosial kemanusiaan dan pada 2020 edwan yang merupakan Salah satu Founder Relawan Khadimul Ummat yang terkenal sangat banyak melakukan gerakan sosial kemanusiaan dan dakwah yang ia sendiri menjadi Sekretaris Umumnya


Sebagai seorang intelektual, Edwan memiliki pemikiran yang tajam dan berani, tidak hanya memiliki pemikiran kritis, ia juga seringkali bergabung untuk turut menjadi barisan terdepan dalam gerakan perubahan sosial. 

Dia seringkali menanyakan masalah kebijakan pembangunan, kemiskinan, ketidakadilan dan terabaikannya hak asasi manusia terhadap masyarakat kecil. 

Pemikiran Edwan Ansari seringkali menjadi referensi para rekanannya, para mahasiswa dan relasi yang dimilikinya cukup luas bukan hanya pergaulannya namun juga dalam bidang pendidikan. Edwan sering menjadi pembicara Latihan Kader dan forum ilmiah dalam kegiatan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Seminar dan diskusi lainnya karena sosoknya yang kritis dan produktif


Edwan Ansari dikenal sebagai aktivis yang aktif  yang tak gentar memperjuangkan demokrasi dan membela kaum marjinal. Semasa hidupnya ia merupakan seorang aktivis tulen atau dalam artian tidak pernah mendekati dan menginginkan kekuasaan 



Edwan merupakan sosok aktivis yang dikenal dengan keberaniannya menentang ketidakadilan di Banua 


Keterlibatannya dalam aksi-aksi melawan pemerintah ia lakukan demi membela rakyat-rakyat kecil agar tidak tertindas oleh penguasa. Telah banyak jasa yang ia torehkan di banua ini semata-mata untuk memberantas ketidakadilan.


dan belakangan dari tahun 2019 Ia lebih Fokus ke Bidang Sosial Kemanusiaan, pendidikan dan dakwah tetapi tidak menghilangkan sikap Kritisnya terhadap keadaan sosial masyarakat itu terlihat dari beberapa steatmen Ia di media-media berita online yang dilakukannya mengkritisi kinerja pemerintahan


Sang Singa yang selalu berdiri di depan membela Kaum Tertindas


Biografi beliau lainnya

https://edwanansari.

Biografi Singkat Muhammad Edwan Ansari

    


SELAYANG PANDANG TENTANG BANG EDWAN ANSARI SANG RELAWAN KHADIMUL UMMAT &  FOUNDER SEMUT PEMBURU BERKAH

Muhammad Edwan Ansari

(Sekretaris Umum Khadimul Ummat Hulu Sungai Tengah)

Aku dilahirkan di sebuah Desa Kecil dengan pemandangan Rimbunnya pepohonan. dari seorang rahim wanita yang merawat dan membesarkanku dengan penuh kasih dan cinta ,yang selalu penuh inspirasi memotivasiku. Aku dibesarkan di lingkungan keluarga sederhana, bukan dari golongan priyai atau golongan ningrat & bukan Orang kaya. Tetapi itulah sebuah anugerah Tuhan yang begitu Indah, ditemani dengan saudara yang berjumlah 1 orang, dimana aku anak ke-1, dan merupakan sulung di dalam keluarga kecil kami. Untuk membekali dalam proses pencarian sebuah jati diri dan ilmu yang kelak akan menjadi tuntunan dalam menjalankan roda kehidupan dan dapat melaksanakan satu kewajiban sebagai seorang manusia yang dinobatkan menjadi Khalifah di muka bumi.


Diantara manusia yang selalu terjaga di tengah kesunyaian malam. Kini Hidup brsama seorang Istri yang tercinta dan seorang putra kami di kota dengan semboyan Bandung Van Borneo  & Murakata Sambil terus berusaha untuk terus berproses menjadi aku tanpa harus memasrahkan pada keadaan dan pada apapun yang tak sepatutnya manusia memasrahkan pada sesuatu yang haknya yakni Dia yang maha memberi kehidupan untuk kita semua sebagai makhluk-Nya. Di kota inilah arti tentang perjuangan, persahabatan, pengorbanan, komitmen, loyalitas dan segala bentuk yang telah aku kerjakan untuk aku pertanggunjawabkan bergelut dalam hidup yang terkadang orang mengatakan itu monoton dan menjemukan. Sebagai anak muda yang bergejolak dalam arus dinamika di Kehidupan dan Organisasi, Kami di ajarkan tentang Idealita dan Idealisme. Setiap kami berdebat tentang cita-cita Islam dan metodologi untuk mendaratkannya pada arus empiris, pada saat itu pula Idealita itu menabrak karang realitas. Cita-cita memang berdiam di wilayah in absracto, sementara kenyataan mewujud dalam ruang in concretto. Pada saat benturan itu terjadi, maka yang terlahir adalah protes dan kritik. Tentu tidak sekedar itu. Kami juga di ajarkan tentang jawaban alternatif tetapi terus terang, jawaban bagi kami belum menjadi hal yang utama, suatu waktu generasi saya akan melakukannya juga, Namun inilah proses anak muda yang haus akan sebuah makna dari kehidupan yang sesungguhnya. Makna yang coba digali sendiri dengan proses pergulatan antara rasa, perasaan yang berbaur menjadi satu dan bukan menurut siapa-siapa diluar atas pilihanya sebagai manusia yang terus berproses untuk tetap menjadi manusia pada porsinya. Dalam tinta proses memaknai hidup. Sembari berlari mengejar mimpi, aktifitas sehari aku isi dengan bergelut dengan para pencari, dalam ruang-ruang seminar dan diskusi, sembari menuliskan dalam tinta-tinta liar, dan berharap di kota kecil yang guyub dan dinamis ini. Riakan-riakan tinta liar ini dapat menjadi gelombang tinta yang mewujudkan dunia dengan penuh cinta dan damai dalam keridhaan Allah SW.T Aamin.  


Hidup Untuk Berproses dan Berproses Untuk Memaknai Hidup karna Berproses yang sesungguhnya adalah dengan beraktifitas, semuanya akan menjadi kenangan pada masanya, jalani dengan bumbu bersyukur dan lakukan dengan keikhlasan untuk berproses dalam kehidupan sampai pada kebahagian yang sesungguhnya Motto Bermanfaat Bagi Orang Lain”.

 Pengalaman Organisasi

- Osis SMAN 2 Barabai Sebagai KoorKabid Keagamaan tahun 2005

- BKPRMI Kecamatan Batang Alai Utara Sebagai Anggota tahun 2005-2010

 - Karang Taruna Tunas Jaya Di Desa Ilung Pasar Lama

- Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Barabai Sebagai Ketua Kabid Pembinaan Anggota tahun 2009-2010


- Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STAI Al-Washliyah Sebagai Ketua Umum (Presiden Mahasiswa) 2010-2011

- Dewan Pimpinan Daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia Hulu Sungai Tengah Sebagai Wakil Sekretaris  II 2012-2015

- Eks Salah satu Pengurus Pemuda Pancasila Hulu Sungai Tengah 2017-2018

- Ketua Koordinator Gerakan Masyarakat Peduli Penyelamat Murakata (GEMPPUR)

- Founder Semut Pemburu Berkah 2019

-Sekretaris Umum Khadimul Ummat Hulu Sungai Tengah


- sampai sekarang dia masih aktif dalam berbagai forum diskusi dan training, pelatihan di berbagai kesempatan


Bermanfaat Bagi Orang Lain, Yakin Usaha Sampai  Dengan Bismillah Kami Yakin, Semoga Allah Melindungi, Meridhai, Meluruskan Ikhtiar Kami Jika Semua dengan Hati Nurani kami yakin orang akan mengerti dan paham akan arti perjuangan kami dan apa yang kami perjungkan


Kamu tak akan bisa hidup sendiri. Butuh bantuan orang lain. Pastikan bahwa mereka adalah orang yg dapat kamu andalkan dan terus berusahalah untuk bisa menebar manfaat untuk orang lain, Senyumlah, tinggalkan sedihmu. Bahagialah, lupakan takutmu. Sakit yg kamu rasa, tak setara dengan bahagia yg akan kamu dapat. Air mata tak selalu menunjukkan kesedihan, terkadang karena kita tertawa bahagia bersama sahabat terbaik kita. Terkadang, yg diinginkan sebenarnya tak dibutuhkan, sedangkan yg dibutuhkan tak bisa dimiliki. Tapi Tuhan, tahu apa yg terbaik.



Demikian sedikit Gambaran tentang Beliau Edwan Ansari


Mesjid Su’ada atau Mesjid baangkat didirikan oleh Al Allamah Syekh H. Abbas dan Al Allamah Syekh H. Said bin Al Allamah Syekh H. Sa’dudin

 Masjid Ba'angkat


Mesjid Su’ada atau Mesjid baangkat didirikan oleh Al Allamah Syekh H. Abbas dan Al Allamah Syekh H. Said bin Al Allamah Syekh H. Sa’dudin pada tanggal 28 Zulhijjah 1328 H bersamaan dengan tahun 1908 M yang terletak di desa Wasah Hilir Kecamatan Simpur yang jaraknya ± 7 km dari kota Kandangan. Mesjid ini didirikan di atas tanah wakaf milik Mirun bin Udin dan Asmail bin Abdullah seluas 1047,25 m persegi.


Bentuk bangunan induk mesjid su’ada yakni persegi empat, bertingkat tiga, mempunyai loteng menutup gawang/puncah dan petala/petaka yang megah. Semua itu memunyai makna tertentu sebagai berikut:a. Tingkat pertama mengandung makna Syariatb. Tingkat kedua mengandung makna Thariqatc. Tingkat ketiga mengandung makna Hakikatd. Loteng mengandung makna Ma’rifate. Petala/petaka yang megah berkilauan yang dihiasi oleh cabang-cabang yang sdang berbunga dan berbuah melambangkan kesempurnaan Ma’rifatBanyak peristiwa yang terjadi seolah-olah aneh, tidak rasional tapi nyata ketika akan dan sedang dalam pembangunan Mesjid tersebut, seperti angina topan bertiup luar biasa keras dan derasnya yang menyebabkan sebatang pohon asam yang besar telah condong sekali akan minmpa rumah Al Allamah Syekh H. M. Said (pendiri Mesjid Su’ada). Dilihat kejadian ini, Al Allamah tersebut mendekati pohon tersebut dan mendorongnya dengan berlawanan arah, maka dengan pertolongan Allah SWT angin topan yang dahsyat itu berbalik arah sehingga pohon asam ini tumbang dan selamatlah ulama tersebut.Kejadian lain yakni salah satu tiang utama Mesjid kurang panjang ± 10 cm, sehingga mengalami kesulitan untuk pendirian bangunan Mesjid. Dengan izin Allah, keesokkan harinya tiang tersebut menjadi bertambah panjang sesuai kebutuhan. Peristiwa lainnya, yakni ditengah perjalanan antara Kalumpang dan Negara, rombongan Al Allamah Syekh H. M. Said kehabisan ikan untuk makan, tiba-tiba seekor ikan besar melompat ke perahu mereka dan akhirnya mereka mempunyai ikan untuk makan bersama. Kejadian lainnya yakni rombongan tersebut pada malam hari di perahu tidak bisa tidur karena kenyamukan, tiba-tiba dengan pertolongan Allah SWT, ternyata nyamuk tersebut menghilang, sehingga rombongan Al Allamah Syekh H. M. Said dapat tidur.


Aristektur

   Bentuk bangunan induk masjid su’ada yakni persegi empat, bertingkat tiga, mempunyai loteng menutup gawang/puncah dan petala/petaka yang megah. Semua itu memunyai makna tertentu sebagai berikut:


- Tingkat pertama mengandung makna Syariat


- Tingkat kedua mengandung makna Thariqat


- Tingkat ketiga mengandung makna Hakikat

- Loteng mengandung makna Ma’rifat

  Petala/petaka yang megah berkilauan yang dihiasi oleh cabang-cabang yang sedang berbunga dan berbuah melambangkan kesempurnaan Ma’rifat.



http://www.tadungkung.com/2011/11/masjid-masjid-tua-dan-bersejarah-di.html#ixzz1xB1Xt2Rz

http://www.tadungkung.com/2011/11/masjid-masjid-tua-dan-bersejarah-di.html#ixzz1xB1Xt2Rz


 Ditulis ulang oleh : 

Editor :

Muhammad Edwan Ansari, S.Pd.I

COPYRIGHT © Catatan Edwan Ansari 


Biografi Singkat Guru Dodol atau Guru Janggut ( Tuan Guru Haji Abdul Qadir Noor )

 Biografi Singkat Guru Dodol atau Guru Janggut ( Tuan Guru Haji Abdul Qadir Noor )



Guru Dodol adalah gelar yang diberikan masyarakat Kandangan dan sekitarnya, bukan karena profesi beliau pembuat atau penjual dodol. Guru Dodol hanya representatif dari kota kandangan yang identik dengan makanan khas berupa Dodol. Gelar ini diberikan karena beliau adalah ulama Kandangan yang masyhur dimasanya, majelis pengajian beliau tidak hanya dihadiri masyarakat setempat tapi juga masyarakat sekitarnya bahkan ada yang dari luar kota Kandangan. Mereka datang semata-mata untuk belajar dan memperdalam ilmu-ilmu keagamaan pada beliau.


Sedangkan gelar Guru Janggut, karena beliau punya janggut sebagai ittiba pada Rasulullah Saw yang memelihara janggut, maka gelar Guru janggut itu melekat dalam diri beliau. Kemudian hari, panggilan Guru janggut menjadi identitas dan ciri khas keulamaan beliau dimasa itu. Sehingga ketika ada orang yang menyebut nama Guru janggut maka dapat dipastikan itu adalah beliau bukan ulama lain. Di masanya beliau adalah ulama Tuha dan dituakan, ia terkenal akan keluasan ilmu agamanya, ketulusan dan kasih sayangnya. Sehingga banyak yang datang untuk menimba ilmu pada beliau. Ini dapat dilihat dari murid-murid yang datang belajar padanya, mulai dari masyarakat biasa sampai yang derajatnya sudah ulama. Dimasa itu beliau jadi rujukan utama, tempat bertanya, urun rembuk masalah keagamaan mulai dari masyarakat biasa sampai alim ulama terkhusus yang ada dikota Kandangan.


Kelahiran dan Kehidupan keluarga


Nama lengkap beliau adalah Tuan Guru Haji Abdul Qadir Noor bin Buwasin ( selanjutnya kita sebut Guru Abdul Qadir Noor ) lahir pada tanggal 17 Nopember 1911 M bertepatan pada tanggal 26 zulqa’idah 1329 H di Desa Padang Kapuh atau Kapuh Padang sekarang Desa Kapuh Kecamatan Simpur, Kandangan kab. Hulu Sungai Selatan. Ayahnya bernama Buwasin dan ibunya bernama Radiyah. Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara, empat saudaranya bernama Fatimah, Halimah, Bajuri dan Hawi.


Guru Abdul Qadir Noor hidup dilingkungan keluarga yang sederhana. Ayahnya hanya orang biasa, bekerja sebagai petani, bukan ulama atau punya garis keturunan ulama. Walaupun demikian keluarga ini sangat taat dalam beragama. Sehingga sejak kecil beliau sudah di didik secara agamis, cinta ilmu dan cinta alim ulama. Abdul Qadir Noor kecil selalu dibawa ayahnya mengikuti pengajian agama di sekitar tempat tinggalnya. Belajar membaca Al Qur’an dan tata cara shalat lima waktu, belajar akhlak pada guru agama yang ada di desanya. Karena itu, sejak kecil ia sudah menunjukkan sifat-sifat terpuji dan taat pada kedua orang tuanya.


Guru Abdul Qadir Noor memiliki dua isteri. Isteri pertamanya bernama Hj. Rubi’ah dari Kapuh satu kampung dengan beliau . Dari isteri pertama ini, ia mendapat tiga anak yaitu Jawahir, Mukhlish Khalishi dan Ilyas Khairy. Isteri keduanya bernama Rukayah berasal dari Perak Malaysia. Dari isteri keduanya ini ia mendapat seorang anak laki-laki yang bernama Imran.


Rihlah menuntut ilmu


Pada usia tujuh tahun, Abdul Qadir Noor kecil dimasukkan orang tuanya ke Sekolah Rakyat (SR) di kota Kandangan yang jauhnya sekitar 7,5 km dari rumahnya. Karena jarak sekolahnya cukup jauh, ayahnya membelikan sebuah sepeda untuk memudahkannya pergi ke sekolah. Uniknya ia tidak selalu menaiki sepedanya itu, malah sering ia tuntun sambil berjalan kaki sepanjang perjalanan. Rupanya hal ini sengaja ia lakukan agar di jalan memiliki waktu yang panjang untuk menghafal pelajaran baik pelajaran yang telah ia pelajari dari gurunya atau yang belum diajarkan gurunya.


Setelah menempuh studi selama enam tahun di Sekolah Rakyat, Abdul Qadir Noor meneruskan studinya di berbagai majelis taklim ( mangaji baduduk ). Ia rajin sekali belajar ilmu-ilmu agama di sejumlah pengajian yang diadakan oleh para ulama. Guru-guru tempat ia belajar di antaranya adalah Haji Abdullah Shiddik ( Tuan Qadhi ) Wasah hilir, Haji Athaillah ( kakek KH. Ahmad Riduan Baseri / Guru Kapuh ) di Kapuh dan Haji Mufti Sulaiman di 

Kandangan.


Pada tahun 1927, ketika berusia enam belas tahun, Abdul Qadir Noor berangkat ke Perak Malaysia mengikuti pamannya untuk berdagang. Di sinilah ia bertemu dengan seseorang yang memberi kesan mendalam dalam dirinya untuk lebih giat belajar agama. Diceritakan pada waktu itu keduanya saling berkenalan untuk pertama kali, berbincang bincang, kemudian sholat zuhur berjamaah bersama-sama. Pada saat ingin memulai sholat berjamaah, keduanya saling mempersilahkan untuk menjadi imam, akhirnya orang yang baru dikenalnya itu mengalah dan mau menjadi imam. Ketika usai sholat beliau bersalaman dengan orang itu, ia mencium tangannya, orang itupun balik mencium tangan beliau. Tidak berapa lama jama’ah mulai berdatangan dan berkumpul mengelilingi mereka. Beliau bingung kenapa orang-orang itu berbuat demikian, lalu beliau berinisiatif menanyakan tentang orang yang baru dikenalnya itu pada jamaah yang lain . Barulah beliau tahu bahwa orang itu adalah seorang ulama besar di Perak. Beliau pun terkejut sekaligus kagum atas ketawadhuan ulama itu, ada rasa malu masuk kehatinya lalu beliau segera minta maaf atas berbuatan yang kurang adab tersebut. Dari sinilah muncul keinginan kuat dalam hatinya untuk lebih memperdalam lagi pengetahuan agamanya agar beliau dapat menjadi orang yang berilmu, berakhlak karimah seperti orang yang baru dikenalnya itu. Untuk mewujudkan keinginannya itu beliau masuk ke salah satu Pesantren di Perak. Beliau menempuh studinya selama lima tahun di pesantren itu.


Pada tahun 1932, Abdul Qadir Noor kembali ke desa kelahirannya, Kapuh Padang sekarang Desa Kapuh. Walaupun telah menempuh studi selama lima tahun di Malaysia, tidak membuatnya merasa puas menuntut ilmu. Beliau kemudian meneruskan kembali studinya mengkaji ilmu-ilmu agama ke kota Amuntai tepatnya di Arabische school ( sekolah Arab ) cikal bakal Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah di bawah bimbingan Tuan Guru Haji Abdur Rasyid ( wafat 4 Pebruari 1934 ). Setelah tiga tahun menempuh studinya di sekolah itu, beliau kemudian kembali ke Kandangan dan meneruskan studinya di Madrasah Islam Pandai Kandangan yang juga di pimpin oleh Tuan Guru Haji Abdur Rasyid sebelum meninggal. Pada tahun 1938 beliau  berhasil menyelesaikan studinya di tempat ini pada usia 28 tahun.


Aktivitas sebagai Tuan Guru


Setahun kemudian tepatnya 1939, beliau mulai mengabdikan diri sebagai guru di Madrasah Islam Pandai Kandangan. Dari sinilah kemudian aktivitasnya sebagai tuan guru dimulai. Beliau mengajar tidak hanya di madrasah tersebut, tapi membuka juga pengajian di rumahnya sendiri. Ilmu-ilmu yang beliau ajarkan lintas disiplin mulai dari ilmu tauhid, tasawuf, fiqih, tafsir, hadis dan lainnya. Pengajian yang ia adakan di rumahnya semakin banyak didatangi orang sehingga rumahnya tidak sanggup lagi menampung masyarakat yang mengikuti pengajiannya. Sebagian jama’ah terpaksa mengikuti pengajian dari luar rumah. Melihat kondisi ini, Guru Abdul Qadir Noor akhirnya memindahkan pengajiannya ke mushola dekat rumahnya sendiri. Setelah pindah kemushola, pengajian rutin diadakan tiap malam sehabis sholat magrib yang diakhiri dengan sholat isya berjama’ah. Jama’ah yang hadir tambah banyak sehingga mushola tak sanggup lagi menampung orang, jama’ah meluber sampai kejalan dan rumah-rumah penduduk.


Majelis pengajian beliau dibagi dua, satu di mushola khusus untuk masyarakat umum siapa saja boleh hadir, laki-laki, perempuan sampai anak-anak kecil ikut juga. Dua, majelis yang ada di rumah beliau, ini khusus bagi alim ulama, diadakan satu minggu dua kali. Melihat antusias jama’ah yang terus bertambah, khususnya dari kalangan anak-anak, maka didirikanlah madrasah diniyah di seberang mushola Nurul Falah. Madrasah ini dinamai Madrasah islam Nurul Falah materi pelajarannya full ilmu-ilmu keislaman, sedangkan waktu belajarnya sekitar jam dua sore supulang anak-anak sekolah SD.


Selain memimpin sejumlah pengajian dan mengajar dimadrasah sendiri, beliau juga mengajar di sejumlah madrasah lain seperti Madrasah Islam Pandai Kandangan, Madrasah Takhashshush Diniyah, Madrasah Menengah Tinggi Desa Amawang Kiri Kandangan, Madrasah Islam Darul Falah wasah Hilir.


Murid-murid beliau


Sebagai tuan guru yang memimpin banyak tempat pengajian, memimpin sebuah pesantren dan mengajar di sejumlah madrasah, Abdul Qadir Noor memiliki banyak murid. Dari sekian banyak muridnya di antaranya ada yang menjadi ulama dan mengajar di daerahnya masing-masing. Di antara murid-murid beliau adalah Guru Muhammad Arifin Kapuh, Guru Haji Masri Zain ( pengarang kitab Asrarus Sholatil jama’ah ), Guru Haji Asy’ari, Guru harli Pahampangan, Guru ibrahim ( anak guru Ayan Rantau ), Haji Kusairy, Guru Haji Abad Padang haur wasah tengah, Haji Anang Syukeri, Haji Hasan Sunni, Haji Muhammad Ismail, Haji Hadar, Haji Sulaiman Husin, Guru Utun, Mansuri, Haji Muhammad Arsyad, dan masih banyak lagi.


Adapun murid beliau dari kalangan perempuan yang jadi pendidik adalah Jawahir ( anak perempuan beliau sendiri), Angah Badar, Angah Dumal. Mereka dikenal orang, tiga serangkai dari Kapuh. Selain mengajar di rumah, mereka bertiga sering diundang keluar daerah untuk berdakwah mengajarkan ilmu-ilmu keislaman.


Membangun Pondok Pesantren


Setelah pengajian berjalan selama lebih kurang tiga puluh tahun, ada inisiatif dari masyarakat untuk mengembangkan Madrasah Diniyah Nurul Falah menjadi pondok pesantren. Lalu dibentuklah kepanitiaan inti yang diketuai oleh beliau sendiri dibantu oleh murid-muridnya seperti Guru Haji Muhammad Arifin, Guru Haji Masri Zain dan murid lainnya serta masyarakat sekitar. Untuk mencari dana diadakanlah saprah amal, membuka donasi bagi siapa yang ingin menyumbang, berjualan kalender yang disebar kepelosok kota Kandangan. Setelah dana terkumpul cukup banyak maka dimulailah pembangunan Pondok pesantren dekat mushola Nurul Falah. Pondok Pesantren ini diberi nama sama dengan nama mushola dan madrasah beliau yaitu Pondok Pesantren Nurul Falah.


Pondok Pesantren ini juga mendapat bantuan dari pemerintah setempat dan dari Gubernur Kalimantan Selatan. Pada tanggal 29 Januari 1977 Pondok Pesantren Nurul Falah diresmikan langsung oleh Gubernur Kalimantan Selatan yang saat itu dijabat oleh Soebarjdo. Tuan Guru Abdul Qadir Noor kemudian ditunjuk dan dikokohkan sebagai pimpinan pondok pesantren ini.


Aktivitas dipemerintahan dan Politik


Aktifitas beliau tidak hanya menjadi ulama yang memimpin majelis pengajian dan pengajar dibeberapa madrasah islam saja tapi merambah kebidang pemerintahan dan dunia politik. Pada tahun 1952, usia beliau kala itu baru 41 tahun, diangkat oleh pemerintah menjadi Kepal Kantor Penerangan Agama Islam Kabupaten Hulu Sungai Selatan ( sekarang Kementrian agama ). Di bidang politik, Tuan Guru Abdul Qadir Noor bergabung dengan Partai Masyumi dan sekitar tahun 1965 ia menjadi anggota DPRD Tingkat II Kabupaten Hulu Sungai Selatan mewakili partai Islam tersebut.


Akhlak dan keistimewaan beliau


Tuan Guru Abdul Qadir Noor adalah ulama karismatik, dihormati, disegani sekaligus disayangi oleh masyarakat sekitar. Beliau panutan semua orang, tutur kata lembut, penuh adab, sopan santun dan penyayang pada sesama bahkan pada binatang sekalipun. Pernah suatu hari, anak-anak berburu burung pakai ketapel dekat rumah beliau. Melihat itu beliau segera keluar rumah dan berkata pada anak-anak tersebut ; “jangan tuh lah, jangan sakiti burungnya kasian inya. Nah duit, jaka baulanjaan kawarung”, anak-anak tersebut gembira dapat uang dari beliau dan segera berlari menuju warung. Ada lagi cerita lain, biasanya beliau pergi mengajar pakai sepeda, ditengah jalan tiba-tiba beliau melihat kodok dimainkan ayam. Segera beliau turun dari sepeda untuk menyelamatkan kodok dan menjauhkan ayam sejauh-jauhnya, ini semua karena kasih sayang dihati beliau pada makhluk Tuhan walau pada binatang sekalipun.


Pernah satu hari dimusim kemarau, sumur punya beliau kering, di tempat beliau hanya ada satu sumur yang tidak kering yaitu sumur dekat madrasah beliau. Semua mandi disana termasuk beliau sendiri. Melihat itu anak-anak kecil ikut mandi juga. Lalu beliau berkata ; “coba sini lihat tapak batis kai putih banar”, kata beliau sambil menekan-nekan dengan ibu tangannya. Anak-anak senang, himung banar dirawa orang yang mereka sayangi. Begitulah beliau dengan anak-anak, beliau sayangi mereka, beliau pandiri, suka bagagayaan, tidak ada jarak sama sekali dan tidak ada rasa segan bermain dengan mereka.


Begitu juga ketika ada hajatan, aruhan atau salamatan yang beliau ada disitu. Saat tiba waktu makan, pertama yang beliau pikirkan dan dahulukan adalah masalah makan anak-anak. Apalagi kalau acara itu dirumah beliau, saat sampai waktu makan anak-anak kecil yang beliau cari lebih dulu, beliau datangi dan ambili untuk makan bersama-sama dengan jama’ah lain. Inilah kasih sayang beliau pada anak-anak, karena ittiba dengan Nabi, seperti inilah Rasulullah Saw memperlakukan anak-anak dengan penuh kasih sayang. Makanya anak-anak sangat senang dekat beliau. Dan hal yang paling mereka tunggu dalam setahun adalah malam salikur ( 21 Ramadhan ) karena di rumah beliau diadakan acara membaca muqaddam ( khatam Al Qur’an 30 juz ) sekaligus haulan Ayah beliau. Acara tersebut dimulai setelah selesai sholat tarawih berjama’ah dimushola Nurul Falah. Rumah beliau penuh sesak dihadiri jama’ah undangan, murid-murid dan seluruh masyarakat kampung, tidak ketinggalan anak-anak kecil ikut hadir juga. Acara tersebut ditutup dengan tahlil, do’a diakhiri dengan jamuan makan bersama. Bahkan ada sebagian yang sahur dirumah beliau.


Ketika ditanya masalah hukum fikih, beliau tidak langsung menjawab walau tahu jawabannya. Beliau buka dulu beberapa kitab fikih bila ketemu baru beliau sandarkan hukum kepengarang kitab, seolah-olah bukan pendapat dari beliau. Kalau masalah cukup rumit terkadang sampai beberapa hari baru ada keputusan hukum dari beliau. Inilah ketawadhuan dan kehati-hatian beliau dalam mengambil dan memutuskan sebuah hukum yang terjadi dimasyarakat.


Sewaktu jadi anggota DPRD, beliau tidak pernah mengambil gajih sebagai anggota dewan. Niat beliau semata-mata karena Allah, menolong agama Rasulullah, murni mengabdi pada masyarakat, bangsa dan negara bukan kepentingan ngolongan atau memperkaya diri sendiri.


Selain mengajar ilmu agama, beliau juga sering diminta tamu yang datang kerumah untuk dibuatkan cemeti ali. Proses pengerjaannya satu tahun sekali, setelah Ramadhan baru bisa diambil. Cemeti ini biasanya digunakan untuk perisai diri dari orang-orang yang ingin berbuat jahat, bisa juga digunakan untuk menolak gangguan dari jin dan makhluk halus. Istimewanya cemeti buatan beliau, bila angin kencang puting beliuang, pemilik cemeti tinggal keluar rumah saja lalu menggerak-gerakkan cemeti keatas dan dengan izin Allah angin tersebut berangsur-angsur berhenti. Tapi awas jangan sembarangan memelihara cemeti dari beliau karena bisa menimbulkan mudharat bagi pemiliknya. Pernah seseorang punya cemeti dari beliau, ingin memperbaikinya sendiri karena warnanya sudah kusam. Lalu dilicinkan dengan ampelas, esok harinya seluruh tubuh terserang panas tinggi. Panas itu baru hilang setelah meminum air tawar dari beliau. Ukuran cemeti beliau mulai dari yang pendek sampai yang panjang bahkan ada yang berbentuk tongkat komando, biasanya dihadiahkan untuk pejabat mileter atau kepolisian yang datang bertamu kerumah beliau.


Beliau juga pernah cerita ada Jin yang selalu datang kerumah dan ingin menjadikan beliau sahabatnya. Tapi beliau tolak, karena menurut beliau Jin yang datang ini kelihatannya baik tapi suatu saat bisa berbahaya bagi beliau dan orang lain karena ada sifat dusta dalam diri Jin tersebut.


Dulu para remaja, pemuda dan laki-laki dewasa ketika sampai waktu sholat tidak ada yang diluar rumah karena malu kalau dilihat beliau tidak ikut sholat berjama’ah di mushola. Begitu juga ketika berbuat yang sia-sia mereka malu kalau beliau tahu dan melihatnya. Pernah sebagian remaja main domino, mereka langsung berlari berhamburan melihat beliau lewat di depan mereka. Padahal beliau tidak melihat atau menoleh sedikitpun. Ini adalah haibah yang diberikan Allah pada diri beliau.


Amalan yang selalu beliau dawamkan atau rutinkan adalah membaca sholawat Al Qura’aniah ( Basyairul khairat) dari Sulthan Aulia syekh abdul Qadir Al Jilani. Dari sinilah beliau dapat futuh dari Allah dan mimpi bertemu Nabi Muhammad Saw. Mimpi yang sangat berkesan dalam hidup beliau, karena menurut riwayat dimimpi itu Rasulullah Saw menyapukan tangannya yang penuh berkah dan mulia kerambut beliau. Sehingga bekas dan harumnya tangan Rasulullah Saw tetap tercium sampai beliau bangun dari tidurnya. Karena rasa cinta dan takzimnya pada Rasulullah Saw rambut bekas sentuhan Rasulullah Saw tidak pernah beliau potong lagi. Demikianlah menurut sebagian riwayat, Wallahu a’lam.


Menulis buku


Di tengah berbagai kesibukan, Tuan Guru Haji Abdul Qadir Noor menyempatkan diri menulis beberapa buah risalah. Ada tiga buah karya tulis yang sempat beliau selesaikan;


(1). Ibtida al-tauhid fî ‘Aqa’id Ahl al-Tauhid (tauhid)

(2). Manasik Haji (fikih)

(3). Ilmu Fara`idh (fikih)


Tulisan pertama dalam bidang tauhid menyebar di wilayah Kalimantan Selatan dan menjadi salah satu kitab tauhid rujukan di kalangan masyarakat Banjar terutama Kota Kandangan. Sementara kedua kitab fikihnya tidak sempat menyebar luas karena tidak diterbitkan. Kedua karya fikihnya itu masih berbentuk naskah tulisan tangan dan belum sempat dikoreksi oleh beliau.


Penghujung jalan


Setelah beliau mengabdikan diri sebagai ulama kurang lebih 41 tahun lamanya. Takdir Allah tidak dapat ditolak, beliau jatuh sakit yang membawa pada kehidupan yang lebih abadi. Beliau dipanggil Sang Ilahi Rabbi kembali kehadhrah Allah Tuhan pemilik segala kehidupan. Beliau wafat di usia 69 tahun pada pukul 19.00 Sabtu Malam, tanggal 5 Jumadil Akhir 1400 H atau bertepatan dengan tanggal 20 April 1980 di kampung kelahirannya, Desa Kapuh padang. Seketika angin kesedihan berhembus keras menampar hati orang-orang yang mencintai beliau. Bumi basah dengan air mata, tangis berderai tak bisa ditahan. Mereka kehilangan orang yang dicintai untuk selamanya. Mendengar kewafatan beliau masyarakat datang berbondong-bondong dari segala penjuru sehingga mushola tempat beliau disholatkan tidak mampu lagi menampung karena banyaknya jama’ah yang datang. Selesai sholat mereka berjejal ingin membawa dan mengantarkan bersama-sama Tuan Guru yang mereka cintai, sehingga jasad beliau berjalan diantara ujung-ujung jari mereka sampai ketempat pembaringan terakhir. Beliau dimakamkan pada pukul 16.00 wita tepat di depan rumahnya. Sampai sekarang makam beliau masih sering diziarahi banyak orang.


 Ditulis ulang oleh : 

Editor :

Muhammad Edwan Ansari, S.Pd.I

COPYRIGHT © Catatan Edwan Ansari 


KH. MUHAMMAD KHALID

 KH. MUHAMMAD KHALID



Syekh Muhammad Chalid bin Abdurrahman  adalah orang tua dari KH. Hamdan Khalid.  Beliau diperkirakan lahir tahun 1842 M (1260 H). Meninggal 13 Zulqaidah 1381 H (1962 M) dalam usia kurang lebih 120 tahun, makam beliau berada di Kubah Tangga Ulin Amuntai. 


Syekh Muhammad Chalid adalah seorang ulama besar dan pernah mengajar di Masjidil Haram selama 12 tahun. Beliau ada meninggalkan beberapa risalah, diantaranya “Risalah Tafakkur”, “Risalah al-Faidhah al-Ilahiyah bagi Isqath ash-shalah” (tentang bahilah), dan lain-lain.

Menurut suatu riwayat, ketika menggali kubur, para tukang kubur mendengar suara dzikir dan tahlil di liang lahat, padahal saat itu tidak ada orang selain penggali kubur. Pada saat yang bersamaan sebelum syekh Khalid dimakamkan, masyarakat Amuntai melihat cahaya terang dikediaman  syekh Khalid.

Salah seorang yang mendapat lailatul qadar pernah berziarah ke makam Syekh Khalid di Tangga Ulin Amuntai, ia menuturkan bahwa jasad Syekh Khalid masih utuh kendati sudah dikubur puluhan  tahun. Syekh Khalid juga menulis Kitab tentang berhilah, manasik haji, tentang tafakkur, dan lainnya.


Diantara kalam beliau:


“Jaga-jagalah hakikat orang-orang awam kebanyakkan manusia hendaklah hendaklah di pertengahan, jangan terlalu tinggi menjadi bohong (sombong) dan jangan terlalu rendah menjadi dicela  jatuh syirik yang khafi”.


“Yang rendah atau bawahan waktu beramal berharap akan pahala dan takut akan siksa. Yang pertengahan yaitu menjunjung dan membesarkan suruhan Allah dan rasul serta berlepas daripada dayanya dan upanyanya. Yang di atas sama sekali tiada lain ingatan hatinya dan pandangan hanya memperbuat pada hakiki maka hanya yaitu Allah”. (Dipetik dari kitab ”Risalah Tafakkur” karangan  Muhammad Chalid, diterbitkan oleh H. Asy’ari Sulaiman tahun 1975 M/ 1395 H)

 Ditulis ulang oleh : 

Editor :

Muhammad Edwan Ansari, S.Pd.I

COPYRIGHT © Catatan Edwan Ansari 


Biografi Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari

 “Penulis” Kitab I’anah Ath-Tholibin




-Biografi Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari


Di kalangan santri di Indonesia kitab I’anah Ath-Thalibin sangat dikenal. Namun siapa sangka, penulisnya (juru tulis Syekh Bakri Satha) ternyata seorang syekh keturunan orang Banjar.


Syekh keturunan orang Banjar itu bernama Syekh Ali bin Abdullah bin Mahmud bin Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Beliau dilahirkan di Makkah Al Mukarromah tahun 1285 Hijriyah bertepatan dengan tahun 1868 Miladiyah (Masehi), dan tumbuh di dalam keluarga shaleh dan shalehah. 


Ayahnya, Syekh Abdullah bin Mahmud Al Banjari merupakan ulama karismatik di Makkah Al Mukarromah. Beliau dijuluki dengan julukan Syekh Abdullah Wujud dikarenakan apabila beliau berdzikir, tubuhnya tidak lagi nampak terlihat, melainkan hanya pakaian dan sorbannya saja.


Di dalam keluarganya yang shaleh dan menjunjung tinggi ilmu agama itulah Syekh Ali tumbuh besar, hingga beliau mewarisi kecintaan pada ilmu agama sebagaimana ayah, kakek, dan datuknya yang lebih dulu menjadi ulama besar di zaman mereka.


Syekh Ali tak mau menjadi pemutus “nasab emas” keilmuan para leluhurnya, beliau pun dengan gigihnya menimba ilmu kepada banyak ulama, di antaranya kepada Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syatha, Syekh Said Yamani, Syekh Yusuf Al Khaiyat, Sayyid Husein bin Muhammad Al Habsyi, Habib Ahmad bin Hasan As Saqaf (Assegaf), Mufti Abid bin Husein bin Ibrahim Al Makki, Habib Ahmad bin Hasan Al Atthas, Habib Umar bin Salim Al Atthas, Syekh Mahfuz Termas, Syekh Ahmad Fathani, Syekh Zainuddin As Sumbawi dan lainnya.


Dalam ilmu nahwu, shorof, dan Fiqih Syekh Ali belajar kepada Syekh Abu Bakar Satha, Syekh Said Yamani, dan Syekh Mahfuz Termas (Ulama dari tanah Jawa). Dalam bidang hadits beliau berguru kepada Syekh Said Yamani, Sayyid Husein bin Muhammad Al Habsyi, Habib Ahmad bin Hasan As Saqaf (Assegaf), Mufti Abid bin Husein bin Ibrahim Al Makki. Adapun dalam ilmu falaq, Syekh Ali belajar kepada Syekh Yusuf Al Khaiyat. Tafsir, kepada Sayyid Abu Bakar Satha. Dan, mengambil ijazah Thoriqoh Sammaniyah kepada Syekh Zainuddin As Sumbawi.


Menjadi Juru Tulis Gurunya

Guru dari Syekh Ali, Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha adalah salah satu ulama besar bermazhab Syafi’i yang hidup pada akhir abad ke-13 H dan permulaan abad ke-14 H. Kala itu, Sayyid Abu Bakar Satha mengajar kitab syarah Fath al Mu’in karya Al Allamah Zainuddin al-Malibari, di Masjidil Haram.


Selama mengajar Kitab Fathul Mu’in, Sayyid Abu Bakar Satha menulis catatan sebagai penjelasan dari kalimat-kalimat yang terdapat dalam Kitab fathul Mu’in. Catatan-catatan inilah yang kemudian diminta untuk dikumpulkan oleh para sahabat beliau, guna dijadikan sebuah kitab (hasyiyah) untuk memahami Kitab Fathul Mu’in.


Saat itu, Syekh Ali menjadi perhatian di antara sekian banyak murid yang mengaji kepada Sayyid Abu Bakar Satha. Kecakapannya dalam bidang ilmu fiqih membuat Sayyid Abu Bakar menunjuk Syekh Ali sebagai katib (Juru tulis) kepercayaannya ketika mengarang kitab. Salah satu kitab yang diketahui merupakan hasil tulis dari Syekh Ali adalah Kitab ‘Ianah Ath-Thalibin, syarah dari Kitab Fathul Mu’in karya Al Allamah Zainuddin al-Malibari.


“Kitab asli tulisan tangan beliau itu ada di Sumatra,” kata Ustadz Muhammad bin Husin bin Ali Al Banjari.


Kitab ini merupakan tulisan bermodel hasyiyah, yaitu berbentuk perluasan penjelasan dari tulisan terdahulu yang lebih ringkas. Kitab I’anah Ath-Thalibin ini selesai ditulis pada Hari Rabu ba’da Ashar, 27 Jumadil al-Tsani Tahun 1298 H. 


Kitab I’anah Ath-Thalibin memiliki kelebihan sebagai fiqh mutakhkhirin yang lebih aktual dan kontekstual karena memuat ragam pendapat yang diusung ulama mutaakhkhirin utamanya Al-Imam An-Nawawi, Ibnu Hajar dan banyak lainnya yang tentunya lebih mampu mengakomodir kebutuhan penelaah akan rujukan yang variatif dan efektif.


Rujukan penyusunan kitab ini adalah kitab-kitab fiqh Syafi’i mutaakhkhirin, yaitu Tuhfah al-Muhtaj, Fath al-Jawad Syarh al-Irsyad, al-Nihayah, Syarh al-Raudh, Syarh al-Manhaj, Hawasyi Ibnu al-Qasim, Hawasyi Syekh ‘Ali Syibran al-Malusi, Hawasyi al-Bujairumy dan lainnya.


Mursyid Thoriqoh Sammaniyah


Dalam bidang tasawuf, Syekh Ali Al Banjari diketahui pernah mengambil ijazah Thoriqoh Sammaniyah kepada Syekh Zainuddin As Sumbawi, hingga menjadi mursyid dalam thoriqoh tersebut. Hal ini diketahui dengan adanya catatan silsilah masyaikh (keguruan) pada Thoriqoh Sammaniyah yang terdapat nama beliau di dalamnya.


Thoriqoh Sammaniyah adalah thoriqoh yang didirikan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Karim As Samman Al Madani. Di antara murid Syekh Muhammad Samman adalah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Beliaulah yang membawa thoriqoh ini ke tanah Banjar, dan mengijazahkannya kepada keluarga dan pengikut beliau. Dari keluarga dan pengikut beliau inilah kemudian thoriqoh tersebut terjaga hingga sekarang.


Mursyid Thoriqoh Sammaniyah yang masyhur dari keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari adalah Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Sekumpul). Di antara mata rantai sanad keguruan Syekh Muhammad Zaini dalam bidang Thoriqoh Sammaniyah ini, terdapat nama Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari. Berikut perinciannya sanad keguruan dari Syekh Samman hingga Syekh Muhammad Zaini:


Syekh Muhammad bin Abdul Karim As Samman Al Madani, Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al Banjari, Syekh Syihabuddin Al Banjari, Syekh Nawawi bin Umar Al Bantani, Syekh Zainuddin bin Badawi As Sumbawi, Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari, Syekh Muhammad Syarwani bin Haji Abdan Al Banjari, Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Al Banjari.


Mengajar di Mesjidil Haram


Setelah dinilai guru-gurunya mumpuni dalam bidang keilmuan, Syekh Ali pun diizinkan mengajar di Mesjidil Haram dalam mata pelajaran Nahwu, Shorof, dan Fiqih Mazhab Syafi’ie. 


Sejak saat itu pula, rumahnya di Daerah Syamiyah, Jabal Hindi, menjadi tempat tujuan para penimba ilmu. Terlebih, ketika umat Islam Seluruh dunia berdatangan untuk menunaikan ibadah haji. Momentum ibadah haji ini biasanya dimanfaatkan para muslimin untuk menimba ilmu dari ulama-ulama besar di tanah haram, tak terkecuali dengan Syekh Ali.


Dari sekian banyak murid Syekh Ali Al Banjari yang datang dari tanah Banjar dan kemudian menjadi ulama besar, di antaranya: KH Zainal Ilmi (Dalam Pagar), Syekh Sya’rani bin Haji Arif (Kampung Melayu), Syekh Muhammad Syarwani bin Haji Abdan (Bangil, Surabaya), Syekh Seman bin Haji Mulya (Keraton), Syekh Hasyim Mukhtar, Syekh Nasrun Thohir, Syekh Nawawi Marfu’, Syekh Abdul Karim bin Muhammad Amin Al Banjari (wafat di Makkah).


Berhenti Mengajar di Masjidil Haram

Setelah sekian lama tanah haram hidup tenang, dan Syekh Ali tenang menjalani rutinitasnya sebagai pengajar di Masjidil Haram, Saudi Arabia dilanda perpecahan. Perang antara kubu Syarif Husein (Turki Usmani) dengan kubu Muhammad Su’ud bin Abdul Aziz. 


Peperangan tersebut tidak hanya berkisar perebutan daerah, tapi juga keyakinan dalam beragama. Kubu Muhammad Su’ud yang membawa keyakinan Wahabi kemudian membuat “onar” di tanah haram. Para ulama Ahlussunnah di zaman itu dipanggil, tak terkecuali dengan Syekh Ali. 


Sempat terjadi perdebatan sengit antara Syekh Ali dengan ulama wahabi tentang firman Allah Ta’la, “Yadullah fauqa aidihim”(Al Fath ayat 10). Ulama Wahabi berpandangan lafaz “Yad” disana adalah tangan, dan Syekh Ali dengan tegas tidak menerima pandangan Mujassimah (menyerupakan Tuhan dengan makhluk, red) tersebut. Beliau cenderung dengan pandapat tafsir tentang ayat tersebut yang menyatakan: Bermula kekuasaan itu atas segala kekuasaan mereka itu. Lafadz “Yad” dimaknai Qudrat. Dalam debat itu, beliau menang telak atas ulama Wahabi. Sehingga, Syekh Ali yang tadinya akan dipancung, urung dilaksanakan. 


Dalam masa peperangan itu-lah, Syekh Ali Al Banjari menitipkan anaknya Husin Ali kepada Syekh Kasyful Anwar Al Banjari untuk dibawa ke tanah Banjar. Syekh Kasyful Anwar adalah sahabat Syekh Ali ketika mengaji kepada Sayyid Abu Bakar Satha, yang juga keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.


Sejak perpecahan itu-lah Syekh Ali Al Banjari tak lagi mengajar di Masjidil Haram. Namun, beliau masih menerima orang-orang yang datang menemuinya. Baik yang menimba ilmu atau yang hanya meminta doa. Karena nama Syekh Ali tidak hanya besar disebabkan kedalaman ilmunya, tapi juga kemustajaban doanya. Sehingga, banyak orang yang datang menemuinya hanya untuk didoakan beliau.


Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari wafat di Makkah Al Mukarromah, Kamis malam (Malam Jum’at) 12 Dzulhijjah 1307 Hijriyah dimakamkan di Mu’alla, Makkah.


(penulis: muhammad bulkini ibnu syaifuddin)


Silakan copas, tapi sertakan nama penulisnya. Sebab, suatu saat mungkin ada yang menjadikan referensi penelitian. Tulisan ini bersumber dari wawancara penulis dengan Ustadz Muhammad Husein Ali bin KH Husin Ali bin Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari (Cucu Syekh Ali di Martapura).



Jika ada salah dan khilaf, baik di sengaja maupun yang tidak disengaja, penulis menghaturkan ampun dan maaf yang sebesar-besarnya. Semoga Allah membukakan pintu tobat, ampunan, taufiq, hidayah, istiqomah, dan husnul khotiman pada kita sekalian baik bagi penulis maupun pembaca berkat Rasulullah SAW, Syaikhuna Sekumpul, berkat Syekh Ali Al Banjari, dan berkat orang-orang shaleh dulu-sekarang hingga akhir zaman, amin ya Robbal ‘alamin.


 Ditulis ulang oleh : 

Editor :

Muhammad Edwan Ansari, S.Pd.I

COPYRIGHT © Catatan Edwan Ansari 


Habib Usman bin Yahya, Sosok Wali Quthb Yang Mastur Dan Juga Seorang Ulama Yang Sangat Produktif Menulis Kitab

 Habib Usman bin Yahya, Sosok Wali Quthb Yang Mastur Dan Juga Seorang Ulama Yang Sangat Produktif Menulis Kitab


Habib Usman bin Yahya lahir di Pekojan, Jakarta Barat pada tanggal 17 Rabi’ul Awwal 1238 H atau 1822 M. Ayahnya adalah al-Habib Abdullah bin Aqil bin Syech bin Abdurahman bin Aqil bin Ahmad bin Yahya.Sedangkan ibunya adalah Asy-Syaikhah Aminah, putri Syaikh Abdurrahman Al-Mishri, seorang ulama keturunan Mesir.


Pada usia tiga tahun, ketika ayahnya kembali ke Makkah, ia diasuh oleh kakeknya dari pihak ibu, Syaikh Abdurrahman Al-Misri. Syaikh Abdurrahman Al-Mishri juga seorang ulama besar pada waktu itu. Ia sepupu Syaikh Abdullah bin Ahmad Al-Mishri, sastrawan Jakarta abad ke-19. Dalam sejumlah catatan, nama Syaikh Abdurrahman disebut-sebut sebagai salah satu dari empat murid asal Nusantara yang kembali dari kota Mekah, setelah puluhan tahun menimba ilmu di sana. Ketiga kawannya yang pulang bersamanya ke Nusantara adalah Syaikh Abdush Shamad Al-Falimbani, Syaikh Arsyad Banjar, dan Syaikh Abdul Wahhab Bugis. Kabarnya, tersebarnya Thariqah Sammaniyah di Nusantara tak terlepas dari peran keempat orang ini. 


Salah seorang putri Syaikh Abdurrahman Al-Mishri, yang bernama Syaikhah Aminah, dinikahi oleh Sayyid Abdullah bin Agil Bin Yahya. Dari hasil pernikahan inilah terlahir Habib Utsman Bin Yahya, sang Mufti Betawi. 


Tampaknya, latar belakang keluarga Habib Utsman menjadi salah satu faktor yang merangsang daya intelektualnya sedari kecil. Di bawah asuhan Syaikh Abdurrahman Al-Mishri, Habib Utsman mendapatkan pengajaran membaca Al-Qur’an, akhlaq, ilmu tauhid, fiqih, tasawuf, nahwu, sharaf, tafsir, hadits, dan ilmu falak. 


Pada usia 18 tahun, setelah Syaikh Abdurrahman Al-Mishri wafat, Habib Utsman menunaikan ibadah haji dan berjumpa dengan ayah serta familinya. Di sana, selama tujuh tahun, ia belajar ilmu agama kepada ayahandanya, Sayyid Abdullah bin Agil bin Yahya, dan kepada Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, mufti Mekah masa itu. Tahun 1848 M, Habib Utsman meneruskan perjalanannya untuk menuntut ilmu. Berangkatlah ia ke Hadhramaut. Di sana, Habib Utsman menuntut ilmu kepada Habib Abdullah bin Umar Bin Yahya, dan khal (paman dari sisi ibu) gurunya itu, yaitu Habib Abdullah bin Husein Bin Thahir.

Dari Hadramaut beliau melanjutkan perjalanannya ke Mesir dan belajar di Kairo walaupun hanya untuk 8 bulan. Kemudian beliau meneruskan perjalanannya ke Tunisia ( berguru pada Syekh Abdullah Basya ), lalu ke Aljazair ( belajar pada Syekh Abdurahman Al-Magribhi ), lalu ke Istanbul, Persia dan Syiria. Maksud beliau berpergian dari satu negeri ke negeri lain adalah untuk mendalami berbagai macam disiplin ilmu seperti ilmu fiqh, tasawuf, tarikh, falak, dan lain-lain. Setelah itu beliau kembali ke Hadramaut.


Pada tahun 1862 M./1279 H,Habib Usman kembali ke Batavia dan menetap di sana hingga wafat pada tahun 1331 H./1914 M.


Anak cucu Habib Usman Banyak Yang Menjadi ulama


Anak-cucu Habib Utsman banyak yang menjadi ulama, meskipun sebagiannya tidak banyak dikenal orang dan sedikit pula yang menulisnya. Di antaranya adalah Habib Alwi, anak pertamanya. Berbeda dengan Habib Utsman, yang lahir dan wafat di Jakarta, anaknya ini lahir dan wafat di Hadhramaut, meskipun pernah pula tinggal di Jakarta dan menikah dengan wanita Betawi.Dialah yang menulis surat kepada Snouck C. Hurgronje, mengabarkan wafatnya sang ayah pada tahun 1914. Di antara anak Habib Alwi yang menjadi ulama adalah Habib Utsman bin Alwi bin Utsman. Kini perjuangannya dilanjutkan oleh anak-anaknya, di antaranya Habib Alwi bin Utsman bin Alwi bin Utsman, lulusan Darul Musthafa, Tarim, Hadhramaut. 


Salah seorang cucu Habib Alwi bin Utsman yang cukup dikenal di antaranya adalah Ustadzah Syarifah Syechun binti Syech bin Alwi Bin Yahya, yang telah wafat beberapa tahun silam.Anak Habib Utsman lain yang juga menjadi tokoh adalah Habib Yahya bin Utsman, seorang anggota pengurus Rabithah Alawiyyah sejak awal berdirinya. Selain itu juga Habib Abdullah bin Utsman, yang menulis biografi ayahnya dengan judul Suluh Zaman.


Di antara anak Habib Utsman yang juga menjadi ulama adalah Habib Agil bin Utsman, yang lahir di Masilah, Hadhramaut, tahun 1290 H. Habib Agil, ayah ulama terkenal di Jakarta, Habib Mu­hammad bin Agil, dikenal sebagai penyair yang hebat, memiliki kepribadian yang lembut, dan rendah hati. Syair-syair dan artikel-artikelnya dimuat di media-media yang terbit di Sungapura, Mesir, Lebanon, Maroko, dan lain-lain. Kini, salah seorang putra Habib Muhammad bin Agil termasuk salah seorang ulama sepuh kota Jakarta sekarang, yaitu Habib Novel bin Muhammad bin Agil. Habib Agil bin Utsman belajar kepada saudaranya, Habib Muhammad bin Utsman, anak Habib Utsman juga yang menjadi ulama di Hadhramaut, dan kepada Habib Umar bin Agil bin Abdullah bin Yahya, saudara Habib Muhammad bin Agil, tokoh besar Alawiyyin dengan reputasi internasional, cucu Habib Abdullah bin Umar Bin Yahya.


Kerabt Habib Usman bin Yahya


Selain anak-cucunya, beberapa kerabat dekat Habib Utsman juga dikenal sebagai tokoh di sejumlah daerah. Di antaranya adalah kakak beliau yang bernama Habib Hasyim bin Abdulloh bin Agil bin Yahya, Meski tak banyak diketahui ihwal jejak hidupnya, ia juga seorang ulama di masanya. Habib Hasyim kemudian menetap dan wafat di kota Surabaya. Sebagian keluarga Habib Hasyim ini kemudian menjalin hubungan mushaharah dengan keluarga Habib Abubakar bin Umar Bin Yahya, Pegirian, Surabaya. 


Saudara Habib Utsman lainnya yang tinggal di Indonesia adalah Habib Umar bin Abdulloh bin Agil bin Yahya( Mufti Donggala ) Sayangnya, tidak banyak keterangan yang bisa di dapat tentang saudara Habib Utsman yang satu ini, selain bahwa ia kemudian menetap dan wafat di Sulawesi dan berketurunan hingga saat ini.


Murid-Murid Habib Usman bin Yahya


murid-murid Habib Usman banyak yang menjadi ulama besar di berbagai pelosok. Dua di antara dari sekian banyak muridnya yang populer adalah Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, yang menjadi guru hampir seluruh ulama Betawi pada abad ke-20, dan K.H. Abdul Mughni (Guru Mughni Kuningan), yang tercatat sebagai salah seorang di antara enam ulama besar Betawi abad ke-19 M yang memiliki jalinan intelektual dan hubungan ilmiyah dengan beberapa ulama Timur Tengah.


Pengangkatn Habib Usman bin Yahya Sebagai Mufti Betawi


Habib Usman diangkat menjadi Mufti menggantikan mufti sebelumnya, Syekh Abdul Gani yang telah lanjut usianya, dan sebagai Adviseur Honorer untuk urusan Arab ( 1899 – 1914 ) di kantor Inlandsche Zaken.


Kitab-Kitab Karya Habib Usman


Habib Utsman sendiri, selain dikenal sebagai seorang ulama yang menjadi mufti, atau ulama yang dianggap memiliki otoritas dalam mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan, juga memiliki perhatian mendalam dalam pemeliharaan nasab Alawiyyin. Ia, selain meninggalkan begitu banyak karya dalam bentuk kitab-kitab agama, juga meninggalkan sebuah karya berupa monogram pohon nasab keluarga besar Alawiyyin dengan teknik penulisan atau penggambaran yang cukup indah

Sebagai seorang Ulama, Habib Usman sangat produktif menulis buku. Buku-buku yang beliau karang sebagian besar tidaklah tebal, akan tetapi banyak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sering timbul di tengah masyarakat tentang syariat Islam.


Karya-karyanya ditulis dalam bahasa Arab, Melayu Jakarta, Jawa dan Sunda. Beberapa buku karanganya yaitu :


1. Jawazu Ta'addudil Jumu'ah, ditulis tahun 1286 H.

2. Manhaj al-Istiqamah fi ad-Dini bi as-Salamah, selesai pada 5 Zulkaedah 1307 H/1890 H.

3. Mazil al-Auham wa at-Taraddud fi Amri Shalah al-Jumu'ah Ta'addud, ditulis tahun 1312 H.

4. Taftih al-Maqallatain wa Tabyin al-Mufsidin al-Makhba-ataini fi ar-Risalah al-Ma'mati bi Shulhi al-Juma'ataini, ditulis tahun 1313 H.

5. Al-Qawanin asy-Syar'iyah, ditulis tahun 1317 H.

6. Perhiasan Bagus.

7. Shifat Dua puluh.

8. Samth asy-Syuzur wa al-Jawahir fi Hilli Takhshish an-Nuzur li as-Sadah.

9. Kitab al-Faraidh.

10. Hadits Keluarga.

11. Maslak al-Akhyar.

12. Abadul Insan.

13. Iqazhuniyah fi ma Yata'allaqu bi Lahillah wa Shiyam.

14. Az-Zahrul Basim.

15. I'anah al-Mustarsyidin.

16. Thariq as-Salamah.

17. Salam al-Muslimin.

18. Terjemah Hukum Islam.

19. Sa'adah al-Anam.

20. Tamyiz al-Haq.

21. Perihal Hukum Azan.

22. Irsyad al-Anam.

23. Taftih al-'Uyun.

24. Miftah as-Sa'adah.

25. Tafsir Surah Kahfi.

26. As-Silsalah an-Nabawiyah.

27. Qamus Tiga Bahasa.

28. Qamus Kecil.

29. Hukum Gambar.

30. Hikam ar-Rahman.

31. Hadits Empat Puluh.

32. Bab al-Minan.

33. Mukhtashar al-Qamus.

34. Tujuh Faidah.

Dan lain-lain.

Menurut riwayat, seluruh karangan Sayid Utsman berjumlah 109 judul besar dan kecil, tetapi yang terbanyak merupakan risalah-risalah kecil.


dalam bukunya Risalah Dua Ilmu beliau membagi Ulama menjadi 2 macam yaitu Ulama Dunia dan Ulama Akhirat. Ulama dunia itu tidak Ikhlas, materialistis, berambisi dengan kedudukan, sombong dan angkuh, sedangkan Ulama akhirat adalah orang yang ikhlas, tawadhu’, yang berjuang mengamalkan ilmunya tanpa pretensi apa-apa, semata mata karena Alloh Ta'ala dan mengharap ridonya.

Anggapan orang bahwa Habib Usman seorang yang anti tarekat adalah tidak benar, sebab selama di Mekah dan Hadramaut beliau belajar ilmu tasawuf dan Ilmu Tarekat.Kalau Memang Habib Usman menentang itu, tentulah tarekat yang menyimpang dari ajaran Agama.


Sebelum wafat Sayid Usman berpesan agar makamnya tidak dibuat kubah dan tidak perlu mengadakan haul untuk dirinya. Sayid Usman wafat pada 21 Shofar 1331 H atau bertepatan 19 Januari 1914 M, jenazahnya dimakamkan di TPU Karet, Jakarta. Namun pada masa Gubernur Ali Sadikin, di era orde baru makam Sayyid Usman digusur dan oleh pihak keluarga dipindahkan ke Pondok Bambu. Sekarang makamnya masih terpelihara dengan baik di sebelah Selatan Masjid Al-Abidin di Jalan Masjid Abidin Sawah Barat, Pondok Bambu, Jakarta Timur.





HABIB ANIS BIN ALWY BIN ALI AL HABSY SHOHIBUL MAULID SIMTHUD DURAR

 HABIB ANIS BIN ALWY BIN ALI AL HABSY SHOHIBUL MAULID SIMTHUD DURAR 


Ditulis Ulang oleh :Abu Muhammad Haydar Husein Yuliansyah Riffai


Habib Anis lahir di Garut Jawa Barat, Indonesia pada tanggal 5 Mei 1928. Ayah beliau adalah Habib Alwi. Sedangkan ibu beliau adalah syarifah Khadijah. Ketika beliau berumur 9 tahun, keluarga beliau pindah ke Solo. Setelah berpindah-pindah rumah di kota Solo, ayah beliau menetap di kampung Gurawan, Pasar Kliwon Solo.


Sejak kecil, Habib Anis dididik oleh ayah sendiri, juga bersekolah di madrasah Ar-Ribathah, yang juga berada di samping sekolahannya. Pada usia 22 tahun, beliau menikahi Syarifah Syifa binti Thaha Assegaf, setahun kemudian lahirlah Habib Ali.


Tepat pada tahun itu juga, beliau menggantikan peran ayah beliau, Habib Alwi yang meninggal di Palembang. Habib Ali bin Alwi Al Habsyi adik beliau menyebut Habib Anis waktu itu seperti “anak muda yang berpakaian tua”.


Habib Anis merintis kemaqamannya sendiri dengan kesabaran dan istiqamah, sehingga besar sampai sekarang. Selain kegiatan di Masjid seperti pembacaan Maulid simthud-Durar dan haul Habib Ali Al-Habsyi setiap bulan Maulud, juga ada khataman Bukhari pada bulan sya’ban, khataman Ar-Ramadhan pada bulan Ramadhan. Sedangkan sehari-hari beliau mengajar di zawiyah pada tengah hari.


Pada waktu muda, Habib Anis adalah pedagang batik, dan memiliki kios di pasar Klewer Solo. Kios tersebut ditunggui Habib Ali adik beliau. Namun ketika kegiatan di masjid Ar-Riyadh semakin banyak, usaha perdagangan batik dihentikan. Habib Anis duduk tekun sebagai ulama.


Dari perkawinan dengan Syarifah Syifa Assegaf, Habib Anis dikaruniai enam putera yaitu Habib Ali, Habib Husein, Habib Ahmad, Habib Alwi, Habib Hasan, dan Habib Abdillah. Semua putera beliau tinggal di sekitar Gurawan.


Dalam masyarakat Solo, Habib Anis dikenal bergaul lintas sektoral dan lintas agama. Dan beliau netral dalam dunia politik.


Dalam sehari-hari Habib Anis sangat santun dan berbicara dengan bahasa jawa halus kepada orang jawa, berbicara bahasa sunda tinggi dengan orang sunda, berbahasa indonesia baik dengan orang luar jawa dan sunda, serta berbahasa arab Hadrami kepada sesama Habib.


Penampilan beliau rapi, senyumnya manis menawan, karena beliau memang sumeh (murah senyum) dan memiliki tahi lalat di dagu kanannya. Beberapa kalangan menyebutnya The smilling Habib.


Habib Anis sangat menghormati tamu, bahkan tamu tersebut merupakan doping semangat hidup beliau. Beliau tidak membeda-bedakan apahkah tamu tersebut berpangkat atau tidak, semua dijamunya dengan layak. Semua diperlakukan dengan hormat.


Seorang tukang becak (Pak Zen) 83 tahun yang sering mangkal di Masjid Ar-Riyadh mengatakan, Habib Anis itu ulama yang loman (pemurah, suka memberi). Ibu Nur Aini penjual warung angkringan depan Masjid Ar-Riyadh menuturkan, “Habib Anis itu bagi saya orangnya sangat sabar, santun, ucapannya halus. Dan tidak peranah menyakiti hati orang lain apalagi membuatnya marah”.


Saat ‘Idul Adha Habib Anis membagi-bagikan daging korban secara merata melalui RT sekitar Masjid Ar-Riyadh dan tidak membedakan Muslim atau non Muslim. Kalau dagingnya sisa, baru diberikan ke daerah lainnya.


Jika ada tetangga beliau atau handai taulan yang meninggal atau sakit, Habib Anis tetap berusaha menyempatkan diri berkunjung atau bersilaturrahmi. Tukang becak yang mangkal di depan Masjid Wiropaten tempat Habib Anis melaksanakan shalat jum’at selalu mendapatkan uang sedekah dari beliau. Menjelang hari raya Idul Fitri Habib Anis juga sering memberikan sarung secara Cuma-Cuma kepada para tetangga, muslim maupun non muslim. “Beri mereka sarung meskipun saat ini mereka belum masuk islam. Insya Allah suatu saat nanti dia akan teringat dan masuk islam.” Demikian salah satu ucapan Habib Anis yang ditirukan Habib Hasan salah seorang puteranya.


Meskipun Habib Anis bin Alwi bin Ali al Habsyi telah meninggalkan kita, namun kenangan dan penghormatan kepada beliau terus saja mengalir disampaikan oleh para habib atau para muhibbin. Habib Husein Mulachela keponakan Habib Anis mengatakan, pada saat meninggalnya Habib Anis dia dan isterinya tidak mendapatkan tiket pesawat, dan baru keesok harinya datang ke Solo melalui bandara Adi Sumarmo Yogyakarta. Selama semalam menunggu, mereka seperti mencium bau minyak wangi Habib Anis di kamarnya. “Aroma itu saya kenal betul karena Habib Anis membuat minyak wangi sendiri, sehingga aromanya khas.”


Dalam salah satu tausiyah, Habib Jindan mengatakan, “Seperti saat ini kkita sedang mengenang seorang manusia yang sangat dimuliakan, yaitu Nabi Muhammad SAW. Kita juga mengenang orang shalih yang telah meninggalkan kita pada tanggal 6 Nopember 2006 yaitu guru kita Habib Anis bin alwi bin Ali Al-Habsyi.


Ketika kita hadir pada saat pemakaman Habib Anis, jenazah yang diangkat tampak seperti pengantin yang sedang diarak ke pelaminannya yang baru. Bagi Habib Anis, kita melihat semasa hidup berjuang untuk berdakwah di masjid Ar-Riyadh dan kini setelah meninggal menempati Riyadhul Janah, taman-taman surga. Ketika takziyah pada pemakaman Habib Anis kita seolah-olah mengarak pengantin menuju Riyadhul Jannah, taman-taman surga Allah. Inilah tempat yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang beriman, bertaqwa dan shalih. Kita sekarang seperti para sahabat Habib Ali Al-habsyi, penggubah maulid Simtuh-durar yang mengatakan bahwa, keteka mereka hidup di dunia, mereka seolah-olah tidak merasakan hidup di dunia tetapi hidup di surga. Sebab setiap hari diceritakan tentang akhirat, tentang ketentraman bathin di surga. Dan mereka baru menyadari baha mereka hidup di dunia yang penuh cobaan.


Kita selama ini hidup bersama Habib Anis, bertemu dalam majlis maulid, berjumpa dalam kesempatan rauhah dan berbagai kesempatan lainnya. Dalam berbagai kesempatan itu kita mendengar penuturan yang lembut dan menentramkan, sehingga sepertinya kita di surga. Dan kita merasakan bahwa kita hidup di dunia yang fana ketika menyaksikan bahwa beliau meninggal dunia. Namun begitu, kenangan beliau tetap terbayang di mata kita, kecintaan beliau tetap menyelimuti kita.


Habib AbduLlah Al-hadad ketika menyaksikan kepergian para guru beliau, mengatakan, “Kami kehilangan kebaikan para guru kami ketika mereka meninggal dunia. Segala kegembiraan kami telah lenyap, tempat yang biasa mereka duduki telah kosong, Allah telah mengambil milik-Nya Kami sedih dan kami menangis atas kepergian mereka. Ah…andai kematian hanya menimpa orang-orang yang jahat, dan orang-orang yang baik dibiarkan hidup oleh Allah. Aku akan tetap menangisi mereka selama aku hidup dan aku rindu kepada mereka. Aku akan selalu kasmaran untuk menatap wajah mereka. Aku akan megupayakan hidupku semampukun untuk selalu mengikuti jalan hidup para guruku, meneladani salafushalihin, menempuh jalan leluhurku.”


Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assagaf yang berada di Jeddah bercerita, “Ayahku Habib Ahmad bin Abdurrahman berkata kepadaku, ‘ya…Abdulkadir engkau lihat aku, ketahuilah jangan engkau menyimpang dari jalan orang tuamu’”. Ketika Habib Ahmad bin Abdurrahman meninggal dunia, Habib AbdulKadir tetap menempuh jalan orang tuanya dan dia tidak menyimpang sedikitpun jalan yang telah ditempuh oleh Habib Ahmad bin Abdurrahman.


Begitu juga Almarhum Habib Anis, tidak sedikitpun menyimpang dari yang ditempuh oleh ayah beliau, Habib Alwi. Hal serupa terjadi pada Habib Alwi , yang tetap menapaki jalan yang ditempuh oleh ayah beliau Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi Dan Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi sama juga menempu jalan orang tua, guru dan teladan beliau hingga sampai Nabi Muhammad SAW”……


Sedangkan Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, murid senior sekaligus cucu menantu Habib Anis mengatakan, maqam tinggi yang dimiliki Habib Anis didapatkan bukan karena berandai-andai atau duduk – duduk saja. Semua itu beliau peroleh setelah bertahun-tahun menanamkan cinta kepada Allah SWT, para shalihin dan kepada kaum muslimin umumnya. Semoga beliau dalam kuburnya melihat kehadiran kita di majlis ini, bahwa kita sebagai anak didiknya meneruskan perjuangan dakwahnya. Dalam Al-Qur’an disebutkan, ‘Dan sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang’. Artinya kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih Allah menanamkan kepada makhluk-makhluk rasa kasih sayang kepadanya, cinta kepadanya, sebagaimana disabdakan RasuluLlah SAW dalam hadits yang diriwayatkan imam Bukhari, “Jika Allah mencintai hambanya maka Allah akan memanggil Jibril, menyampaikan bahwa Allah mencintai si Fulan. Mulai saat itu Jibril akan mencintai Fulan, sampai kapanpun. Jibril kemudian memanggil ahli langit untuk menyaksikan bahwa Allah mencintai Fulan. Maka ia memerintahkan mereka semua utuk eneicintai Fulan. Dengan begitu para penghuni langit mencintai Fulan. Setelah itu Allah letakkan di atas bumi ini rasa cinta untuk menerima orang yang dicintai Allah tersebut, dapat dekat dengan orang itu.” Dan insya Allah Habib Anis termasuk diantara orang-orang tersebut.”


Ada empat hal yang selalu disampaikan oleh Habib Anis kepada jama’ah yang hadir di majlis beliau, “Pertama, Kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada Allah. Kedua, zawiyah, di situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan, tempat untuk menuntut ilmu. Dan keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada pertokoan, karena setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk mengembangkan dakwah Nabi Muhammad SAW”…….


Kisah Habib Anis al Habsy dan Abah Guru Sekumpul


 Ada yang istimewa di Majelis Ilmu Gurawan, Pasar Kliwon, Solo, tempat mendiang Habib Anis bin Habib Alawy Al Habsy mengajar ilmu. Kendati tiap harinya yang hadir di majelis ilmu tak lebih dari 100 orang, namun ternyata majelis ilmu yang dirintis Habib Alawy sejak satu abad lebih itu, sudah disinggahi ribuan aulia dari penjuru Indonesia bahkan sampai luar negeri.


“Di Majelis Ilmu ini, sudah ribuan aulia pernah duduk,” ujar Ustadz Abdilah bin Abu Bakar kerabat Habib Anis beberapa waktu lalu sebelum mendengar majelis ilmu. Habib Abdillah sendiri mengaku sudah 16 tahun menghadiri majelis ilmu tiap siang dan tidak pernah absen.Para aulia yang pernah hadir di majelis ilmu yang rutin diselenggarakan tiap siang menjelang salat Dhuhur itu antara lain: KH Siroj (ulama terkemuka dari Solo),


Abuya Dimyati (Pandeglang, Banten), Tuan Guru KH.Muhammad Zaini bin KH Abdul Ghani Al Banjari sekumpul Martapura ,Soal Abah Guru Sekumpul  Ustadz  Abdilah memiliki cerita. Sekitar tahun 1970 an, usai menunaikan ibadah haji di Mekkah, Abah Guru Zaini datang ke Gurawan guna meminta ijazah 10 kitab maulid simtuduror 

Ketika itu, kata Abdillah, Habib Anis masih berdagang di Pasar Klewer. Seperti biasa, sekitar pukul 11.30 WIB Habib Anis dengan pakaian pedagang dan mengendarai vespa pulang untuk mengajar majelis ilmu.


Kepulangan Habib Anis diketahui oleh Abah Guru Sekumpul Namun Ulama kharismatik asal tanah Banjar, Martapura itu tidak mengetahui kalau si pengendara vespa itu Habib Anis, si guru yang dicari.“Begitu sampai Mesjid Riyadh, Habib Anis berganti pakaian dan muncul ke majelis dengan pakaian siap mengajar ilmu Abah Guru sekumpul belum sempat bertanya, Habib Anis sudah menjawab: Anda mau minta 10 kitab maulid dan diijazahi,”Abdillah mengisahkan.


Mendengar jawaban tersebut, Tuan Guru Sekumpul  heran karena belum bertanya sudah dijawab.Cerita menakjubkan lain dari Ustazd Abdillah adalah ketika dirinya bersama rombongan Habib Anis diundang Abah Guru Sekumpul  menghadiri Maulid Simtuduror di Martapura. Ketika pesawat rombongan Habib Anis melintas di atas Banjar, Martapura, Habib Anis melihat puluhan ribu santri menghadiri acara maulid. Suara terbang santri Abah Guru Sekumpul  terdengar keras dari pesawat yang membawa rombongan. Waktu itu Habib Anis bilang:


“Coba berhenti (Saat itu seolah-olah pesawat yang tumpangi juga berhenti). Lihat dibawah ribuan orang menabuh terbang.”Begitu mendarat di Bandara, banyak orang yang ingin menjemput. Untuk memuaskan tuan rumah yang ingin menjemput, Habib Anis meminta rombongan dibagi menjadi beberapa mobil. “Tiap mobil diisi satu orang dari rombongan. Saat itu ada sejumlah rombongan sekitar 100 orang,” ujar Ustazd Abdillah yang telah 16 tahun menghadiri majelis ilmu di Gurawan. Begitu dahsyatnya orang berilmu yang memiliki takwa yang tinggi.

🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

 Ditulis ulang oleh : 

Editor :

Muhammad Edwan Ansari, S.Pd.I

COPYRIGHT © Catatan Edwan Ansari 


TUAN GURU KH. ZAKARIA Bin KH.RAMLI GADUNG RANTAU (1946-2006)

 TUAN GURU KH. ZAKARIA Bin KH.RAMLI GADUNG RANTAU

(1946-2006)


 


Tuan guru KH. Zakaria bin Hj Hafifah binti KH.Muhammad bin Syekh Salman Al Farisi ( Datu Gadung ) bin Qodhi H.Mahmud bin Asiah binti Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari Datu Kelampayan dilahirkan di desa Gadung pada tanggal 3 Pebruari 1946 dari pasangan tuan guru KH. Ramli dengan Hj. Hafifah anak dari tuan guru H. Muhammad yang kawin dengan Hj. Aisyah. Tuan guru Kh. Muhammad anak dari Tuan guru Syeikh Salman al-Farisi yang merupakan keturunan dari Datu Kalampayan Syeikh M Arsyad al-Banjari. Tuan guru KH. Zakaria cukup beruntung karena beliau dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat dalam menjalankan ibadah agama. Keluarga dengan tekun membimbing beliau agar kelak menjadi anak yang shaleh dan dapat berguna bagi masyarakat dan agama. Dorongan dan bimbingan dari keluarga merupakan salah satu faktor keberhasilan beliau dalam menuntut ilmu pengetahuan agama

 

Riwayat Pendidikan (mengaji )

 Sekolah Rakyat (SR)


Tuan guru KH. Zakaria pada masa anak-anak di sekolahkan oleh orang tua beliau di sekolah rakyat (SR) 6 tahun di Rantau. Setelah beberapa tahun beliau menjalani pendidikan di Sekolah Rakyat, beliau dapat menamatkan pada tahun 1962. Selain sekolah di sekolah umum, beliau banyak dibimbing oleh kakek beliau Tuan guru KH. Muhammad. Tuan guru KH. Muhammad sangat sayang kepada Tuan guru KH. Zakaria karena beliau merupakan cucu laki-laki pertama

 

Mengaji di Pesantren Darussalam, Martapura

Menamatkan sekolah SR di rantau pada tahun 1962 dan juga mendapat bimbingan ilmu pengetahuan agama dari kakek beliau Tuan guru KH. Muhammad kemudian Tuan guru KH. Zakaria dikirim ke Martapura untuk menuntut ilmu pengetahuan agama di Pesantren Darussalam. Di Pesantren Darussalam beliau mulai belajar pada tingkat ibtidaiyah sampai beliau menamatkan Madrasah Aliyah pada tahun 1971. Selain belajar secara formal di Pesantren  Darussalam beliau juga mengaji kepada tuan guru-tuan guru yang ada di Martapura. Puluhan tahun telah beliau habiskan waktu di Martapura. Untuk menuntut ilmu pengetahuan agama yang kemudian diikuti oleh anak-anak beliau menuntut ilmu pengetahuan agama di pesantren Darussalam Martapura ini.

Tuan guru kH. Zakaria juga rajin membawa anak-anak laki-laki beliau kepada tuan guru-tuan guru di Martapura untuk didoakan dan mengambil berkah agar nantinya menjadi anak yang shaleh. Pada tahun 1981 beliau mengikuti persamaan sekolah di Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN) di Martapura. Setelah puluhan tahun mengaji ilmu pengetahuan agama di Martapura akhirnya kembali ke kampung halaman di desa Gadung untuk mengembangkan ilmu pengetahuan agama yang sudah diperoleh

 

Mengembangkan syiar Islam


Tuan guru H. Zakaria setelah cukup lama menuntut ilmu pengetahuan agama di Pesantren Darussalam, Martapura serta mengaji secara khusus dengan mendatangi untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama beliau kembali ke kampung halaman di Gadung. Di gadung beliau membuka pengajian di rumah meneruskan pengajian yang dilakukan oleh orang tua maupun kakek beliau Tuan guru KH. Muhammad. Berbagai ilmu pengetahuan agama yang disampaikan dalam pengajian tersebut di antaranya mengenai tauhid, fiqih dan tasawuf. Berbagai wilayah/desa yang datang mengikuti pengajian yang beliau pimpin seperti gadung, waringin, kupang,bakarangan, parigi, paul dan daerah lainnya.

Beliau juga memenuhi hajat masyarakat yang menghajatkan kepada beliau untuk memberikan pengajian-pengajian antara lain di bakarangan, parigi, karatau, kupang,tambarangan dan beberapa daerah lainnya. Setiap kali memenuhi hajat masyarakat dalam memberikan pengajian Tuan guru H. Zakaria menggunakan vespa sebagai sarana untuk memenuhi hajat masyarakat yang meminta beliau. Begitu sayangnya terhadap kendaraan vespa tersebut merupakan padaringan (sumber rejeki) bagi beliau. Vespa itulah yang beliau gunakan kemana-mana untuk memberikan hajat masyarakat yang meminta beliau memberikan ceramah agama sebagai siraman rohani. Beliau mengatakan begitu besar jasa kendaraan vespa itu dalam mengembangkan syiar islam kepada masyarakat.

Setelah sekian lama beliau memberikan pengajian kepada masyarakat, Tuan guru H. Zakaria kemudian pengajian dilakukan di rumah beliau saja di Gadung. Pangajian yang diadakan di rumah disampaikan untuk laki-laki dan kaum perempuan, bagi laki-laki diadakan setiap malam selasa dan rabu sedangkan untuk perempuan dilakukan setiap pagi jumat dan sore jumat untuk laki-laki. Tuan guru KH. Zakaria juga memberikan pengajian secara khusus dan mendalam kapada orang yang menginginkannya yang jumlahnya tidak banyak. Mereka yang mengaji secara khusus kebanyakan yang datang berasal dari luar daerah dan waktunya berbeda dengan pengajian masyarakat secara umum.

Di martapura pun beliau juga membuka pengajian kepada masyarakat yang dilakukan setelah pengajian yang dipimpin oleh Tuan guru KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau yang lazim disebut dengan Guru Sekumpul. Sepulang dari pengajian guru Sekumpul di Mushalla ar-Raudah, sekumpul martapura kemudian Tuan guru KH. Zakaria memberikan pengajian di rumah beliau di martapura. Pengajian yang disampaikan di rumah beliau di martapura mengenai Nur dan muridnya tidak terlalu banyak. Murid-muridnya berasal dari alumni Pesantren Darussalam serta mereka yang masih mengaji di Pesantren Darussalam , Martapura.

Tuan guru KH. Syarwani Abdan yang lazim disebut guru Bangil berkirim surat kepada Tuan guru KH. Zakaria yang isinya meminta beliau ke Bangil. Berhubungan biaya tidak ada maka permintaan itu tidak dapat dipenuhi oleh Tuan guru KH. Zakaria. Ternyata tuan guru H. Syarwani Abdan meminta untuk melakukan suluk (khalwat )berhubung tidak dapat datang ke bangil maka khalwat dilakukan di rumah. Khalwat ini beliau lakukan di tempat tidur sebelum bulan puasa (ramadhan) dan beliau tidak berbicara dengan siapapun dan seperti orang sakit, hal ini dilakukan agar beliau tidak terganggu. Khalwat ini dilakukan selama ± 40 hari dan masyarakat mengira beliau sakit sehingga masyarakat banyak yang mengkhawatirkan beliau. Ternyata pada malam hari raya terakhir khalwat maka pada shalat Hari Raya Idul Fitri beliau dapat mengimami.

Hampir seluruh hidup beliau digunakan untuk melakukan syiar islam (dakwah) kepada masyarakat dan bahkan sebelum meninggal beliau juga telah selesai memberikan pengajian kepada mayarakatyang menghajatkan kepada beliau. Setelah beliau meninggal dunia, pengajian kemudian di lanjutkan oleh anak-anak beliau yaitu Tuan Guru H. Yahya di Gadung dan H. Mahfuz di Martapura

 

Berpulang ke Rahmatullah

Tuan guru H. Zakaria adalah suatu sosok yang sangat pemurah dan tidak pemarah, beliau tidak pernah memarahi anak. Kemudian beliau selalu menerima tam uyang datang kapan saja ke tempat beliau di Gadung. Tamu yang datang kadang pagi, siang atau malam selalu beliau layani untuk meminta hajat dan keperluan lainnya. Ada saja yang datang subuh hari atau pada tengah malam selalu beliau layani dengan ramah sebab kata beliau orang yang datang tentu mempunyai keperluan atau masalah. Selama kita dapat membantu orang lain maka perlu dibantu sesuai kemampuan yang dimiliki dan kasihan mereka datang jauh-jauh.

Beberapa hari sebelum meninggal dunia, H. Yahya anak beliau mengajak untuk sembahyang malam nisfu sya’ban di sekumpul, Martapura. Tetapi dijawab oleh Tuan guru H. Zakaria bahwa beliau tetap berada di Gadung saja untuk mengimami sembahyang di mesjid di samping rumah beliau pada malam nisfu sya’ban. Kata beliau bahwa beliau sering saja bertemu dengan guru beliau yaitu Tuan guru KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (guru Sekumpul) dalam mimpi padahal guru Sekumpul sudah meninggal dunia.

Memang menurut H. Yahya anak beliau Guru Sekumpul meninggal dunia ayahnya sempat berucap bahwa beliau tidak akan lagi akan menyusul Guru Sekumpul. Ucapan yang disampaikan ayahanda tidak ditanggapi secara serius, namun 40 hari setelah Guru Sekumpul meninggal dunia beliaupun menyusul kealam baqa sesuai ucapan beliau kepada H. Yahya. Pada suatu hari ketika makan pagi Tuan guru KH. Zakaria pernah berbicara kepada H. Yahya bahwa beliau tadi malam bermimpi kembali bertemu dengan guru Sekumpul. Dalam mimpi tersebut Guru Sekumpul hidup nyaman seperti dalam istana dan banyak berkumpul para guru-guru Darussalam, Datu Syeikh Salman al-Farisi, kakek beliau Tuan guru KH. Muhammad dan Muhammad Nur (Julak Hanur). Dalam mimpi tersebut Guru Sekumpul berucap kepada Tuan guru KH. Zakaria ”Pabila lagi nyawa(kamu)Zak, di sini rami banar sudah takumpulan guru-guru nyawa (kamu)”.  Dijawab oleh Tuan guru H. Zakaria dalam mimpi tersebut “ Kalau guru yang membawai (mangajak) ulun hakun (mau)haja”.

H. Yahya bertanya kepada ayahandanya mengapa ayah menyetujui ajakan  yang disampaikan oleh Guru Sekumpul, lalu dijawab oleh beliau karena yang mengajak adalah paguruan maka beliau setujui ajakan tersebut. Berselang tiga setelah beliau bercerita kepada H. Yahya ternyata beliau benar-benar menyusul Guru Sekumpul dan beliau meninggal malam kamis 18  sya’ban 1427 H (tahun 2006M). sebelum meninggal dunia, beliau malam kamis itu sempat menyampaikan manakib Wali Allah di rumah warga di Tambarangan. Rencananya pembacaan manakib itu dilakukan pada malam jum’at tapi kemudian beliau ralat karena pada malam jum’at kata beliau ada acara. Ternyata benar setelah pulang dari membacakan manakib Wali Allah di Tambarangan, beliau pulang ke rumah dan tidak berapa lama beliau sesak nafas.

Sebelum beliau meninggal dunia ada yang ganjil yaitu menantu beliau Habib Abdurrahman pada sekitar jam 23.00 WITA membuka semua pintu rumah. Kemudian Habib Abdurrahman berjalan menuju kubah Tuan Guru KH. Muhammad dan Tuan Guru KH. Ramli (orang tua Tuan guru KH. Zakaria) tidak berapa lama di kubah, Habib Abdurrahman kembali ke rumah. Kejadian ini ditanyakan istri beliau lalu dijawab oleh Tuan guru KH. Zakaria berpesan bahwa apapun yang dilakukan oleh Habib Abdurrahman jangan sekali ditegur atau dii’tiradh walaupun yang dilakukan menyalahi kebiasaan.

Setelah berucap demikian Tuan guru KH. Zakaria kebelakang untuk mengambil air wudhu kemudian kembali ke tempat tidur dengan ditunggui oleh istri dan anak beliau. Tidak berapa beliau mengucapkan tauhid sebanyak tiga kali dan mengucapkan Allah tiga kali setelah itu beliau menghembuskan nafas terakhir. Beliau meninggal dengan usia ± 60 tahun dan di kuburkan di Gadung berdekatan dengan kubur orang tua beliau Tuan Guru H. Ramli. Tuan guru H. Zakaria meninggalkan seorang istri dan empat orang anak, yaitu : Guru H. Yahya, Guru H. Mahfuz, dan dua anak perempuan

 

Keramat Beliau

 Membuat Pesuratan dan Rajah untuk Keselamatan

Ilmu-ilmu pesuratan dan rajah banyak diperoleh dari Datu beliau Syeikh Salman al-Farisi turun kepada Tuan guru KH. Muhammad sampai kepada Tuan guru H. Zakaria. Peralatan yang dilakukan untuk melakukan rajah terdiri dari paku, kayu enau, wadah kuningan serta minyak yang tidak pernah kering. Masyarakat yang datang untuk menjaga keselamatan kalau dirajah menggunakan alat-alat tersebut. Alat-alat tersebut sudah berumur ratusan tahun sebab digunakan mulai Syeikh Salman al-Farisi sampai diturunkan kepada Tuan guru H. Zakaria dan barangnya sampai masih digunakan. Begitu dibuatkan wafak atau pesuratan lain yang bertujuan untuk menjaga keselamatan dan terhindar dari niat jahat orang lain.

Ilmu Kuat (Gancang)

Pernah terjadi pohon kapuk yang lapuk yang cukup besar dekat rumah beliau tumbang akibat angin rebut, batang kapuk tersebut mengganggu jalan. Setelah dilihat beliau tidak ada orang maka beliau turun untuk memindahkan batang pohon kapuk tersebut ke pinggir jalan. Pohon kapuk yang cukup besar tersebut beliau angkat sendirian ke pinggir jalan dan tidak lagi menghalangi orang lewat. Begitu juga kendaraan vespa beliau jatuh ke sungai yang ada di depan rumah dapat diangkat beliau sendirian ke atas tanpa dibantu orang lain.

Sandal Hilang Datang Kembali

Ketika beliau menunaikan rukun islam kelima naik haji, pada waktu melaksanakan salah satu rukun haji sandal beliau tidak ada sebelah. Berhubung tidak ada sebelah maka sandal yang satunya itu dibawa ke tempat penginapan. Anak beliau yang sama-sama menunaikan naik haji ingin membelikan sandal karena kasihan melihat ayah tidak memakai sandal kata beliau nanti saja. Berada di penginapan tidak begitu lama ada orang mengantarkan sandal dan orang tersebut tidak ada yang kenal setelah ditanyakan kepada orang-orang yang berada di sekitar beliau.

Ilmu Tahan di Rebus Minyak

Ilmu yang diturunkan oleh Syeikh Salman Al-Farisi secara turun temurun dan sampai kepada Tuan guru H. Zakaria adalah ilmu tahan direbus pada minyak panas. Minyak goreng dimasukkan dalam kuali besar (kawah) dengan jumlah yang banyak, setelah minyak itu mendidih maka kita masuk dalam kuali besar. Dengan doa-doa dan bacaan maka orang yang masuk dalam kuali besar  tidak merasa kepanasan atau kulit melepuh.

Tidak Membedakan Tamu yang Datang

Tuan guru H. Zakaria tidak pernah membeda-bedakan orang yang ingin bertamu kapada beliau sekalipun orang tersebut nakal dan banyak melakukan maksiat. Hal ini pernah ditanyakan oleh anggota keluarga beliau kenapa menerima orang yang banyak melakukan maksiat. Dijawab oleh beliau pekerjaan yang dilakukan manusia itu masing-masing sedangkan kita mengerjakan yang diperintahkan agama dan meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh agama. Terpenting dalam hidup ini kata beliau adalah kita jangan sampai lupa kepada Tuhan  (Allah) yang menciptakan segala-segalanya

Alhamdulillah admin dulu (Yuliansyah Riffai ) sempat menimba ilmu kepada beliau waktu masih sekolah di Rantau

subhanallah mudah mudahan beliau dikumpulkan dengan datuknya dan para guru guru beliau dan mudah mudahan kita semua bisa berkumpul dengan beliau nantinya bersama guru guru kita,orang tua kita,kerabat kita dan seluruh umat muslimin dan muslimat berkat kecintaan kita dengan para mereka ..aamiin Ya Robbal alamin...

Penulis : Muhammad Edwan Ansari

 Kisah Para Datu dan Ulama Kalimantan

 ABAH GURU SEKUMPUL 

MEMPERDALAM ILMU TAJWID


Bismillah...

"Suatu saat, atas saran Tuan Guru KH.Ahmad Zaini / Orang Tua KH.Husein Qodrie,KH.Badruddin, KH.Rosyad Martapura.

Abah Guru Sekumpul  yang saat itu masih sebagai santri di Pesantren Darussalam, diminta untuk memperdalam Ilmu Tajwid beliau kepada seorang yang dianggap pakar dan ahli dalam bidangnya.

Tuan Guru KH.Muhammad Zaini  ditujukan kepada seorang yang dikenal Qori, Hafizh dan memiliki suara merdu yang khas, yaitu: Tuan Guru KH.Muhammad Aini, Desa Pandai Kandangan.

Pada akhirnya, dihari yang ditentukan berangkatlah Abah Guru Sekumpul dengan menumpang bis dari Martapura menuju Kandangan.

Perjalanan saat itu cukup melelahkan, karena masa itu jalan tidak semulus sekarang. Setelah menempuh beberapa jam diperjalanan. akhirnya Abah Guru Sekumpul  sampai juga dikota dodol itu, dan langsung menuju kerumah sang Guru.

Ketika bertemu Tuan Guru KH.M.Aini, Abah Guru Zaini ditanya bermacam alasan kenapa sampai beliau datang jauh-jauh untuk belajar ke Kandangan ini.

Namun semua pertanyaan itu dijawab Abah Guru Zaini dengan sempurna dan memuaskan, sehingga Tuan Guru KH.Muhammad Aini akhirnya bersedia untuk mengajari Abah Guru Zaini (Abah Guru Sekumpul).

Untuk mengetahui bagaimana bacaan muridnya ini, Tuan Guru meminta Abah Guru Zaini membacakan surah Al-Fatihah...

Abah Guru Zaini pun lalu membaca Fatihah dengan suara beliau yang merdu.

Mendengar ini sang Tuan Guru menangis tersedu-sedu. Usai membaca AL-Fatihah, Abah Guru Zaini menanyakan sebab Gurunya itu menangis.

"Tuan Guru KH.Muhammad Aini menjelaskan:

"Seumur hidupku, aku belum pernah mendengar bacaan Fatihah sebagus yang ikam (kamu) bacakan tadi"

Subhanallah...

Selama sekitar seminggu disana, Abah Guru Zaini diajak mendampingi Tuan Guru KH.M.Aini menghadiri beberapa acara keagamaan.

Seringkali Abah Guru Zaini diminta untuk membacakan ayat suci Al-Qur'an, dan mengikuti acara maulid diberbagai tempat.

Setelah dirasa cukup belajar kepada Gurunya, Abah Guru Zaini mohon pamit dan minta izin untuk pulang ke Martapura.

Sang Guru mengizinkan, hanya saja saat itu sudah sore, kemungkinan mobil tumpangan ke Martapura atau arah Banjarmasin tidak ada.

Namun Abah Guru Sekumpul  meyakinkan guru beliau itu, bahwa mobil Insya Allah ada.

Saat itu sudah sore, Sang Guru pun mengantar Abah Guru Zaini dari rumahnya ketepi jalan.

Sesampainya ditepi jalan raya, tak diduga tiba-tiba berhenti sebuah mobil. Abah Guru Zaini pun pamit dan masuk kedalam mobil itu.

Belum jauh mobil itu berjalan dari berdirinya Sang Guru, mobil itu pun menghilang entah kemana, seperti tak berbekas. Subhanallah...

Semoga cerita yang pendek ini menambah kecintaan kita semua kepada Rasulullah, dzuriyat Rasulullah, para Auliya Allah, para Ulama, dan Orang-orang sholeh,khususnya kepada Abah Guru Sekumpul. Mendapat berkah & syafaat Abah Guru, diampuni segala dosa, dikabulkan segala hajat, panjang umur, sehat badan, murah rezeki, dan Allah mudahkan langkah kita semua untuk dapat selalu senantiasa menuntut ilmu 

Dari buku 100 Karomah dan Kemuliaan ABAH GURU SEKUMPUL 

Karangan: KH.M.Anshary El Kariem 

Ditulis Ulang :Abu Muhammad Haydar Husein Yuliansyah Riffai 

Kisah Para Datu dan Ulama Kalimantan



Makam Guru H.Abdul Aziz Depan langgar Darul Ihsan Bungur...

 Makam Guru H.Abdul Aziz

Depan langgar Darul Ihsan Bungur...





Yang tahu tentang sosok beliau silahkan tambahkan !!!