Kamis, Januari 20, 2022

Biografi Singkat Guru Danau KH Asmuni

 Guru Danau merupakan panggilan akrab atau nama populer bagi Tuan Guru Asmuni. Nama “Danau” yang dilekatkan pada dirinya sebenarnya merupakan nama singkat dari tempat kelahiran dan tempat tinggalnya, Danau Panggang. Danau Panggang merupakan salah satu Kecamatan di daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara yang terletak sekitar 24 km dari kota Amuntai. 

Saat ini (2011), Guru Danau berusia 56 tahun. Ini berarti dia lahir pada tahun 1955 di Danau Panggang. Ayahnya bernama Haji Masuni dan ibunya bernama Hajjah Masjubah. Dia merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara. Ayahnya berasal dari daerah Danau Panggang sedang ibunya beretnis Dayak Bakumpai berasal dari daerah Marabahan yang pindah ke Danau Panggang. Dari garis ibunya Guru Danau menjadi bagian dari zuriat Syekh Muhammad Arsyad alBanjari. Sewaktu kecil, Guru Danau bernama Zarkasyi. Oleh seorang habib yang bernama Habib Salim Mangkatip nama itu diubah menjadi Asmuni. Menurut Guru Danau, Asmuni itu berarti berharga. 

Guru Danau hidup di lingkungan keluarga yang sederhana dan taat beragama. Orang tuanya dahulu bekerja sebagai buruh kapal dengan pendapatan yang pas-pasan. Pendapatan yang pas-pasan itu tidak menghalangi semangat orangtuanya untuk membiayai pendidikannya di sejumlah pesantren baik yang berada di Kalimantan Selatan maupun di Pulau Jawa. Guru Danau termasuk beruntung, karena tidak banyak orang di daerahnya yang mampu dan memiliki kesempatan untuk berangkat ke Pulau Jawa untuk belajar meski dalam waktu singkat. 

Guru Danau menempuh pendidikan tingkat dasar di Madrasah Ibtidaiah Pesantren Mu‟alimin Danau Panggang (tamat tahun 1971) dan Madrasah Tsanawiyah Pesantren Mu‟alimin Danau Panggang (tamat tahun 1974). Setelah itu dia meneruskan studinya di tingkat atas (aliyah/ulya) di Pesantren Darussalam Martapura (tamat tahun 1977). Selama belajar di Martapura, selain belajar di Pesantren Darussalam, Guru Danau juga belajar dengan sejumlah ulama (tuan guru) yang bertebaran di Martapura. Salah satu ulama Martapura tempatnya belajar adalah Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru Ijai (w. 2005), salah satu ulama karismatik yang disebut juga dengan nama Guru Sekumpul. 

Setelah tamat di pesantren Darussalam, Guru Danau sempat pulang ke kampung halamannya. Tidak lama kemudian, pada tahun 1978, atas anjuran Guru Ijai dia kembali belajar di Pesantren Datuk Kalampaian Bangil di Jawa Timur. Di sini dia belajar dengan ulama Karismatik keturunan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yaitu Kyai Haji Muhammad Syarwani Abdan (w. 1989). Sebelum ke Bangil, Guru Danau terlebih dahulu ke Wonosobo menemui para habaib yang ada di sana dan mengambil tarikat Naqsyabandiyah dari salah seorang habaib bersama dengan Habib Lutfi Pekalongan. Setelah selesai belajar di Bangil, Guru Danau tidak segera pulang, dia terus memperdalam pengetahuan agamanya dengan mengunjungi dan belajar secara singkat kepada sejumlah ulama. Salah satu diantara ulama tempatnya belajar adalah Kyai Haji Abdul Hamid Pasuruan. Kegiatan belajar singkat dengan sejumlah ulama di Jawa ini dilakukan oleh Guru Danau untuk mendapat berkah ilmu dengan bertemu dan belajar kepada mereka. Hanya saja, studi Guru Danau di Pulau Jawa terutama di Bangil tidak berlangsung lama, hanya beberapa bulan. Dia kembali ke kampung halamannya untuk membuka pengajian. 

Pada tahun 1980 Guru Danau menikah dengan Hj. Jamilah yang berasal dari Bitin. Inilah satu-satunya istri Guru Danau. Dia tidak ingin melakukan poligami seperti yang dilakukan oleh beberapa ulama Banjar lainnya. Baginya, tidak ada alasan untuk dirinya beristri lebih dari satu. Apalagi dari perkawinannya itu, dia memperoleh tiga belas orang anak (enam putra dan tujuh putri). Dengan anak sebanyak ini, Guru Danau merasa tidak perlu menambah istri. 

Setelah berumah tangga dan memiliki anak, aktivitas dakwahnya tidak terganggu. Malah sebaliknya, aktivitasnya semakin meningkat. Dia semakin aktif mengisi pengajian dan mengajar di pesantren. Seiring dengan itu, namanya pun semakin dikenal dan jadwal ceramahnya juga semakin padat. Di sela-sela kesibukannya itu, Guru Danau tidak lupa untuk tetap belajar. Secara rutin dia tetap mengikuti pengajian Guru Ijai di Martapura baik ketika masih di Keraton maupun setelah pindah ke Sekumpul. Guru Danau terus mengikuti pengajian Guru Ijai sampai sang guru meninggal dunia pada tahun 2005. 

Ketika ingin membuka pengajian, Guru Danau terlebih dahulu meminta izin kepada Guru Ijai. Sang Guru mengizinkan dengan syarat tidak boleh bapintaan (meminta dana dari masyarakat), harus memakai halat (dinding) yang memisahkan laki-laki dan perempuan, dan harus ikhlas. Agar seorang guru dapat ikhlas mengajar, dia harus memiliki kemandirian ekonomi. Dengan kemandirian ini, seorang guru dapat berkonsentrasi mengajar dan berdakwah tanpa mengharap imbalan uang. 

Guru Danau membuka pengajian agama di Desa Bitin pada tahun 1978 (sebelum menikah) dan mengajar di Pesantren Salatiah. Pada tahun 1980, dia kembali membuka pengajian di kampung halamannya sendiri, Danau Panggang. Pada tahun-tahun awal, peserta pengajian Guru Danau di Bitin dan Danau Panggang tidak banyak. Bahkan, pada awal aktivitas dakwah dan pengajiannya itu, terdapat orang-orang tertentu yang tidak senang kepadanya. Dia difitnah sebagai penceramah yang keras dan suka mengomel. Fitnah ini bertujuan agar orang tidak mau belajar kepadanya dan tidak mau mendengar ceramahnya. Untuk menangkal fitnah ini, Guru Danau memanfaatkan radio orari yang ramai digunakan ketika itu untuk menampilkan citra dirinya. Setelah dua bulan masyarakat mendengar ceramahnya, mereka pun menemukan gaya ceramah Guru Danau yang sesungguhnya. Ternyata Guru Danau tidak sejelek yang mereka bayangkan. Bahkan sebaliknya, mereka justru tertarik mengikuti pengajian dan ceramahnya. Setelah fitnah itu terhenti dakwah melalui radio Orari ini dihentikan seiring dengan semakin bertambahnya jamaah yang menghadiri pengajiannya hingga lama-kelamaan mencapai ribuah orang. 

Pengajian di Bitin dilaksanakan pada Sabtu malam (malam Minggu) sedang di Danau Panggang dilaksanakan pada Senin Malam. Di Bitin, pusat pengajian bertempat di rumah Guru Danau di sekitar Pasar Bitin. Rumah ini terbuat dari kayu yang sederhana. Ruang dalam rumah yang dipakai untuk pengajian tidak luas. Tidak banyak jamaah yang bisa ditampung dalam rumah ini. Hanya mereka yang menjadi murid dekat sang guru atau tamu khusus saja yang dapat berada di sini. Karena tidak ada lapangan yang luas, ribuan jamaah pengajian menempati teras dan halaman rumah penduduk sekitar. Banyak dari mereka yang duduk berbaris di pinggir-pinggir jalan hingga mencapai beberapa kilometer. Hal serupa juga terjadi pada pengajian di Danau Panggang. Pusat pengajian bertempat di Mushalla Darul Aman, yang tepat berada di samping rumah Guru Danau. Mushalla Darul Aman merupakan mushalla kecil yang hanya mampu menampung puluhan jamaah. Ribuan jamaah yang jumlahnya lebih besar dari pengajian di Bitin harus menempati teras dan halaman rumah penduduk sekitar serta ruas jalan yang ada. Demikian juga demikian dengan mesjid yang ada disekitar tempat pengajian itu. 

Pada dekade 1990-an (1998), Guru Danau kembali membuka pengajian di Mabuun Tanjung (Kabupaten Tabalong). Pada awalnya, Mabuun merupakan sarang pelacuran dan perjudian. Guru Danau berusaha memberantas penyakit sosial ini dengan cara menghubungi pihak-pihak berwenang untuk menutupnya. Namun usaha ini tidak berhasil. Akhirnya, beliau membuka pengajian di tempat itu. Dengan adanya pengajian yang dihadiri oleh ribuan jamaah ini, praktik pelacuran dan perjudian itu berhenti dengan sendirinya. Pengajian di Mabuun ini kemudian menjadi pengajian Guru Danau yang terbesar karena dihadiri oleh puluhan ribu jamaah. Kuantitas jamaah yang hadir di tempat ini jauh lebih besar dibanding pengajian di Danau Panggang dan MUJIBURRAHMAN DKK Ulama Banjar Kharismatik 123 Bitin. Pengajian di Mabuun dilaksanakan pada malam Rabu setiap setengah bulan sekali. Jarak setengah bulan sekali (tidak seminggu sekali) dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada jamaah pengajian untuk mengumpulkan uang untuk keperluan transportasi mendatangi tempat pengajian. Jamaah yang bertempat tinggal di kawasan Amuntai, Paringin, atau yang berada di kawasan Kalimantan Tengah (seperti Murung Raya) memiliki persiapan yang lebih luas untuk menghadiri pengajian di Mabuun. Komplek pengajian Guru Danau di Mabuun lebih luas dan lebih baik kondisinya dibanding pengajian di Bitin dan Danau Pannggang karena memiliki area yang lebih luas yang memungkinkan menampung puluhan ribu jamaah. Dengan kuantitas jamaah yang mencapai puluhan ribu jamaah ini, Pengajian Guru Danau di Mabuun disebut-sebut sebagai pengajian terbesar di kawasan Banua Anam. 

Dengan jumlah jamaah pengajian yang begitu banyak, tidak aneh kalau murid Guru Danau tersebar di mana-mana di Banua Anam. Murid-murid Guru Danau terutama murid-murid awalnya sangat taat dan setia kepadanya. Bahkan, sebagiannya berkhadam (berkhidmat) kepadanya dengan setia. Jika Guru Danau bepergian ke suatu tempat untuk keperluan pengajian, ceramah, ziarah atau keperluan lainnya, murid-murid dekatnya selalu mengikutinya. Karena itu, tidak mengherankan jika konvoi iringan-iringan mobil rombongan Guru Danau mencapai puluhan bahkan seratus buah mobil. Jika rombongan ini melintas, segera menjadi perhatian masyarakat karena panjangnya iring-iringan itu. Bahkan, pernah Guru Danau mencarter dua pesawat untuk mengangkut dirinya dan rombongannya menuju Jakarta. 

Selama bepergian ke beberapa daerah terutama di wilayah Kalimantan Tengah, Guru Danau sering berganti-ganti mobil saat dalam perjalanan. Mobil ketika pergi dan ketika pulang berbeda. Menurut Guru Danau, hal ini dia lakukan untuk kepentingan keamanaan. Dia mengungkapkan, bagaimanapun ada saja orang-orang yang tidak senang dengannya. Misalnya, dia mengaku telah berhasil mengislamkan 1400 orang Kristen Dayak di wilayah dakwahnya. Ini tentu membuat pastur-pastur Kristen marah dan tidak senang kepadanya. Karena itu, kalau Guru Danau melakukan perjalanan ke wilayah Kalimantan Tengah atau melewati kampung-kampung Dayak dia selalu berhati-hati. Orangorang yang tidak senang kepadanya bisa saja melakukan hal-hal yang tidak diinginkan seperti mencelakai dengan menggunakan parang maya (santet khas Dayak). 

Materi pengajian yang disampaikan oleh Guru Danau di beberapa pengajiannya meliputi materi tauhid, fiqih, tasawuf, hadis, tafsir, kisah-kisah dan lainnya. Beberapa kitab yang pernah diajarkan oleh Guru Danau di pengajiannya, diantaranya adalah Irsyad al-‘Ibad (Zainuddin al-Malibari), Nasha`ih al-‘Ibad (Nawawi al-Bantani), Muraqi al-‘Ubudiyyah (Nawawi alBantani), Risalah al-Mu’awanah (Abdullah al-Haddad), Nasha`ih al-Diniyyah (Abdullah al-Haddad), Tuhfah al-Raghibin (Muhammad Arsyad al-Banjari), Syarah Sittin (Ahmad Ramli), Tanqih al-Qawl (Nawawi al-Bantani). Dilihat dari daftar kitab yang digunakan, Guru Danau lebih banyak menggunakan kitabkitab berbahasa Arab daripada kitab Arab-Melayu. Walaupun begitu, pengajiannya tetap mudah diikuti oleh jamaah karena isi kitab-kitab itu diterjemahkan dan diberi penjelasan yang „ringan‟ oleh Guru Danau. 

Cara penyampaian Guru Danau dalam pengajian maupun ceramahnya cukup unik. Guru Danau termasuk ulama yang sangat humoris. Dalam setiap ceramah atau pengajiannya dia selalu menyampaikan cerita-cerita lucu, jokejoke, pantun-pantun, dan singkatan yang diplesetkan yang memancing tawa. Bahkan, Guru Danau tidak segan bercanda dengan murid-muridnya yang berada pada baris depan. Gaya ceramah seperti ini sedikit banyaknya diwarisi Guru Danau dari gurunya, Guru Ijai. Guru Ijai juga sering menyisipkan humor dalam penyampaian pengajiannya termasuk bercanda dengan murid-murid pada lingkar terdepan pengajiannya. Bahkan, Guru Danau pernah mengatakan bahwa Guru Ijai itu lebih lucu (humoris) daripada dirinya. Baginya, humor itu penting disisipkan dalam ceramah pengajian agar orang awam dan orang tua dapat terus mengikuti pengajian tanpa merasa bosan dan berat. 

Dalam menyajikan isi kitab pengajian, Guru Danau hanya membaca beberapa baris saja. Tetapi penjelasannya cukup luas dan terkadang tidak selalu terfokus dan relevan dengan substansi kitab atau teks yang dibaca karena banyak disisipi oleh cerita, humor, ilustrasi, canda dan sebagainya. Teknik seperti ini tampaknya sangat disukai oleh jamaahnya. Selain mendapat tuntunan, mereka juga mendapat „hiburan‟ yang menyenangkan. Teknik ini merupakan salah satu daya tarik orang untuk menghadiri pengajian Guru Danau. 

Cara penyampaian Guru Danau juga didukung oleh bahasa yang dominan digunakannya, yaitu bahasa Banjar. Bahasa ini merupakan bahasa yang digunakan mayoritas jamaahnya. Penggunaan bahasa lokal ini kemudian dibumbui dengan contoh-contoh dan Ilustrasi-ilustrasi yang pas dengan kondisi lokalitas sosiobudaya dan keseharian masyarakat sekitar sehingga isi ceramahnya sangat merakyat. Dengan cara seperti ini materi yang disampaikannya mudah dipahami oleh jamaahnya yang berasal dari berbagai lapisan sosial. Daya tarik Guru Danau tidak hanya terletak pada kemampuannya dalam berdakwah tetapi juga adanya persepsi umum bahkan kepercayaan dari jamaahnya bahwa orang-orang yang mengikuti pengajian Guru Danau dapat menjadi kaya atau paling tidak membawa berkah berupa rezeki yang bertambah. Beberapa murid dekatnya menjadi bukti nyata. Contohnya adalah murid sekaligus sopir pribadinya yang telah memiliki kekayaan yang mencapai empat milyar rupiah. Murid-murid awalnya bahkan menyebutnya sebagai wali Allah. Beberapa kisah kekeramatan mengenai Guru Danau yang berasal dari murid-muridnya banyak yang mengarah pada meningkatnya rezeki orang-orang yang mengikuti pengajiannya. Mereka yang mengaji dengannya akan memiliki usaha yang berhasil dan mampu naik haji. Peningkatan kesejahteraan jamaah pengikut pengajiannnya seringkali dihubungkan dengan berkah Guru Danau. 

Persepsi ini ditambah dengan isi ceramah Guru Danau sendiri yang banyak mengarahkan dan memotivasi jamaah pengajiannya untuk giat bekerja dan hidup mandiri. Guru Danau menganjurkan jamaahnya untuk mengikuti para nabi. Tidak ada satu pun nabi yang tidak bekerja dalam hidupnya. Mereka bekerja dan hidup mandiri. Persepsi dan kepercayaan ini semakin terbangun dengan melihat pada figur Guru Danau sendiri sebagai ulama yang memiliki kekayaan dan penghasilan besar dari beberapa usaha bisnisnya. Dari beberapa bisnis Guru Danau yang terpenting adalah usaha emas dan sarang burung walet di daerah Tanjung. Usaha ini ternyata menghasilkan keuntungan besar. Dari usaha bisnis emasnya, Guru Danau berhasil memiliki emas mencapai 30 kilogram. Dari usaha sarang burung walet Guru Danau juga meraih keuntungan milyaran rupiah. Usaha burung walet ini dipelajarinya dari seorang habib di Jawa. Usaha lainnya adalah membeli tanah sebagai investasi. Tanah itu bisa dijual suatu saat. Dari beberapa usahanya ini, Guru Danau mengakui bisnis sarang burung walet lebih disukainya daripada bisnis emas karena lebih mudah dan menghasilkan untung yang banyak. 

Dengan pendapatan yang besar dari bisnisnya, wajar jika Guru Danau menjadi orang kaya. Dia memiliki 22 buah rumah dan memiliki beberapa mobil mewah (dua buah mobil jenis Alphard). Dengan jumlah rumah sebanyak itu, dia dapat menyediakan rumah masing-masing untuk ketiga belas anaknya. Dengan mobil Alphard yang dimilikinya, dia dapat bepergian ke mana-mana dengan nyaman. Walaupun memiliki ini semua, Guru Danau tetap berpenampilan sederhana dan bersahaja. Rezeki yang cukup berlimpah ini tidak digunakan untuk bermegah-megah. Tetapi digunakannya untuk kepentingan dakwah Islam. Menurutnya, mereka yang mengurusi akhirat tidak seharusnya kalah dengan mereka yang mengurusi masalah dunia. Ulama yang memiliki usaha dan kekayaan sendiri akan lebih ikhlas dalam berdakwah dan mengajar karena tidak memiliki kepentingan untuk mendapat bayaran dari jamaahnya. Dengan kemandirian dan kekayaan yang dimilikinya, Guru Danau dapat membiaya semua pembangunan komplek pengajian dan pesantren yang didirikannya tanpa bantuan pihak lain. Dia tidak mau meminta bantuan dana dari masyarakat (bapintaan) karena khawatir ada yang tidak ikhlas. Demikian juga dia tidak mau menerima dana yang berasal dari pemerintah dan partai politik. Menurutnya, jika satu kali saja mendapat bantuan pemerintah, ulama tidak bisa lagi untuk menasihati penguasa. Bahkan cenderung untuk dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki kepentingan tertentu. Kemandirian inilah yang membuat dirinya tidak bisa diintervensi dan didikte oleh penguasa dan partai politik. Dia juga menolak dana atau bantuan dan hadiah yang tidak jelas sumber dan status kehalalalannya. Hadiah yang diberikan oleh para pejabat berupa mobil atau lainnya juga tidak diterimanya. Meskipun tidak mau menerima pemberian atau bantuan pemerintah dan menjaga jarak dengan partai politik, Guru Danau tetap dekat dengan sejumlah pejabat. Dia bersedia menghadiri undangan ceramah dari para bupati dan gubernur dengan syarat pejabat yang bersangkutan menghadirinya. Dia tidak segan-segan memuji pejabat yang menurutnya memiliki reputasi baik dan sebaliknya juga tidak segan-segan memberi nasihat kepada pejabat yang menurutnya melalaikan kepentingan rakyat. Dia sering menasihati pejabat agar membuat jalan raya yang bagus untuk rakyat daripada hanya membangun perkantoran. Jalan yang baik jelas dinikmati rakyat tetapi kantor yang mewah hanya dinikmati oleh para pejabat. 

Selain memiliki tiga pengajian besar, Guru Danau juga mendirikan dan membina beberapa pesantren. Pada tahun 1982, ia mendirikan pesantren Darul Aman di Kecamatan Babirik (Hulu Sungai Utara). Sampai saat ini pesantren ini tetap berjalan dan pada tahun 2011 ini jumlah santrinya mencapai 800 orang. Nama Darul Aman sendiri mengikuti nama Langgar Darul Aman di Keraton tempat Guru Ijai mengajar. Guru Danau juga menamai mushalla di samping MUJIBURRAHMAN DKK Ulama Banjar Kharismatik 127 rumahnya dengan nama Darul Aman, sama dengan nama langgar gurunya di Keraton Martapura. Pesantren lain yang dibinanya adalah Pesantren Raudatus Sibyan di Desa Longkong Kecamatan Danau Panggang dan Pesantren Ar Raudah I di Jaro Tabalong dan Ar Raudah II di Pangkalanbun. Jadwal dan mobilitas dakwahnya yang padat membuat Guru Danau tidak memiliki waktu yang cukup untuk aktif mengajar di pesantren. Area dakwahnya yang meliputi wilayah Kalimantan Selatan, Tengah dan Timur tidak memungkinkannya untuk mengajar secara rutin di pesantren. Akhirnya, aktivitas mengajarnya di pesantren digantikan oleh guru-guru staf pengajar Pesantren Darul Aman. 

Aktivitas lain yang juga banyak menyita waktunya adalah menerima tamu dengan berbagai kepentingan. Setiap harinya rumah beliau banyak dikunjungi tamu dari berbagai daerah. Mereka yang bertamu ini berasal dari berbagai lapisan mulai dari pejabat, ulama, politisi, kalangan akademis, pengusaha hingga rakyat biasa. Mereka datang dengan berbagai kepentingan. Para pejabat yang datang paling tidak untuk silaturahmi, mohon doa, dukungan, atau memberi hadiah (walaupun ditolak). Politisi biasanya meminta dukungan dan ajakan kepadanya untuk masuk partai. Tawaran seperti ini selalu ditolak oleh Guru Danau. Dia tidak mau berpolitik dan tidak mau dimanfaatkan untuk kepentingan politik partai tertentu. Sementara kalangan masyarakat awam biasanya datang untuk berkonsultasi mengenai berbagai masalah baik masalah agama, masalah bisnis dan masalah keseharian lainnya. Ada juga sejumlah orang yang datang sambil membawa botol air mineral (aqua) dan disodorkan kepadanya untuk dibacakan doa tertentu. Ketika tim peneliti berkunjung ke rumahnya pada tanggal 27 November 2011 di Danau Panggang, sejumlah tamu yang berkunjung kepadanya justru berkonsultasi mengenai bagaimana cara mengelola sarang burung walet yang baik agar dapat membuahkan hasil yang maksimal. Konsultasi seperti ini tidak mengherankan karena dia merupakan pengusaha sarang burung walet yang sukses. 

Untuk kepentingan melayani tamu yang berkunjung kepadanya, Guru Danau menyediakan waktu-waktu tertentu. Pada hari Minggu waktu yang disediakan mulai pukul sebelas sebelum zuhur. Pada hari Senin, Selasa, Rabu dan Kamis, Guru dapat dikunjungi setelah salat zuhur hingga menjelang ashar. Itupun kalau Guru Danau tidak melakukan kunjungan dakwah atau mengisi ceramah di tempat lain. Para tamu yang datang harus menyesuaikan kedatangannya dengan waktu-wkatu yang telah disediakan itu karena dia jarang  ada di rumah. Prinsip hidupnya, tiada hari tanpa dakwah, membuatnya harus selalu berada di mana-mana di tengah-tengah jamaahnya. 



(Biografi singkat ini dikutif dari Jurnal Ilmiah Ilmu Ilmu Keislaman Al Banjari Vol. 11, No. 1, Juli 2012, halaman 119 - 128).


di Tulis ulang oleh Muhammad Edwan Ansari

Editor : Rahimah

COPYRIGHT © Catatan Seorang Edwan Ansari

_______________________________________

mau tau organisasi sosial yang konsisten melayani Ummat, silakan klik

www.semut pemburu berkah.com

Buka juga organisasi relawan ini, dengan klik 

wwww.khadimul ummat.com

Atau Berita lainya di 

www.edwan ansari.com

ada juga akun YouTube Channel di

Abah Rafli Channel

Atau Aktivitas Sosial lewat Khadimul Ummat dan Semut Pemburu Berkah di

Relawan Khadimul Ummat Channel

Follow juga akun Instagram Edwan Ansari di @Semut_pemburu_berkah dan @edwan_ansari

terus Update Informasi-informasi kami





BIOGRAFI UST. H. M. AIDIL FAKHRANI – Pengasuh ponpes Nurul Muhibbin Ilung

 BIOGRAFI UST. H. M. AIDIL FAKHRANI – Pengasuh ponpes Nurul Muhibbin Ilung

Ust. H. Muhammad Aidil Fakhrani atau yang sering di sebut Guru Idil atau H. Fakhrani dilahirkan di ilung tengah pada senin tanggal 25 Nopember 1968 bertepatan dengan 5 Ramadhan 1388 dari pasangan alm. H. Kacil Idris dan almh. Hj. Kastan, pendidikan diniyah beliau di tempuh di madrasah ibtidaiyah Ilung Tengah pada tahun 1975 yang mana ayah beliau adalah salah satu pendiri madrasah tersebut , kemudian melanjutkan sekolah menengah di SMPN 1 Batang Alai Utara pada tahun 1981 dan dilanjutkan lagi kejenjang yang lebih tinggi yaitu MAN Mesjid Agung Barabai/MAN 1 Barabai pada tahun 1984, Ayah beliau H. Kacil adalah merupakan salah satu tokoh terkemuka di kalangan masyarakat, khususnya di desa ilung tengah, memiliki pendidikan yang keras terhadap anak-anaknya terlebih lagi dalam masalah agama dan perilaku hidup, sehingga meskipun beliau menempuh pendidikan umum, beliau tetap dalam didikan dan pengawasan yang ketat dari ayah beliau, agar anak-anaknya terhindar dari pergaulan yang merusak moral,

Setelah Ust. H. M. Aidil Fakhrani menyelesaikan pendidikan Aliyah pada tahun 1987, Allah memberikan jalan yang lebih baik bagi beliau yaitu ingin memperdalam ilmu agama islam di pondok pesantren Ibnul Amin Pamangkih, kabar inipun sangat menggembirakan bagi kedua orang tua beliau, terlebih lagi ayah beliau yang menginginkan semua anak-anaknya menempuh pendidikan agama lewat pesantren, bahkan semua saudara kandung beliau setelah menempuh pendidikan madrasah diniyah/ibtidaiyah langsung di kirim kependidikan pesantren. Sebelum Ust. H. M. Aidil Fakhrani masuk Ibnul Amin Pamangkih, terlebih dahulu beliau silaturrahmi kepada salah seorang ulama yang cukup masyhur di tengah masyarakat yaitu KH. Abdurrahman bin Ahmad mandintang atau di kenal dengan guru mandintang  yang mana beliau adalah salah satu murid Syekh Yasin Al Padani, silaturrahmi tersebut di maksudkan untuk meminta do’a restu dan nasehat untuk masuk ke Ibnul Amin Pamangkih,

Ust. H. M. Aidil Fakhrani masuk pondok pesantren Ibnul Amin Pamangkih pada tahun 1987, pendidikan pesantren bukanlah hal yang mudah bagi beliau, terutama kehidupan sehari-hari yang bebeda dari sebelumnya, bahkan selama satu tahun pertama beliau tidak pernah menghunjurkan kaki pada saat tidur malam dikarenakan tempat tidur yang bedempetan, namun berkat kesabaran yang kuat beliaupun di percaya menjadi ketua dapur dan  juga ketua konsol Hulu sungai tengah, pada masa tahun kedua, duka pun melanda, yaitu sang ayah H. Kacil yang sangat di cintai berpulang kerahmatullah, namun duka tersebut tidak membuat beliau berlarut dalam kesedihan, bahkan menjadikan himmah dan semangat yang kuat dalam menuntut ilmu. Kehidupan pesantren pun banyak memberikan pelajaran dan didikan terutama dari guru-guru beliau, diantaranya ialah 1.KH. Mukhtar 2. KH. M. Abrar 3.KH. M. Arsyad 4.KH. Supian Lc 5. A. Nurani 6. H. Majeni dan yang lainya terlebih lagi perilaku yang di ajarkan oleh pengasuh pondok pesantren ibnul amin tersebut yaitu KH. MAHFUDZ AMIN dari kesabaran, keikhlasan, keteguhan hati, keuletan dan keistiqamahan baik secara ibadah ataupun dalam mengelola pondok pesantren dan para santri, sampai pada akhirnya beliau menamatkan pendidikan di ibnul amin pamangkih pada tahun 1992 Dengan hati yang berat beliaupun keluar dari ini pondok pesantren yang sudah banyak memberikan pendidikan dan ilmu agama

Berselang beberapa bulan setelah keluar dari ibnul amin pamangkih beliaupun pergi ke martapura pada 1992 untuk lebih memperdalam ilmu agama, namun sebelum beliau menuntut ilmu di martapura baik itu di pondok pesantren ataupun di luar pesantren  terlebih dahulu beliau di ajak sepupu beliau H. Husni untuk bersilaturrahmi dengan ulama karismatik KH. M ZAINI GHANI atau yang di kenal dengan Abah Guru Sekumpul dengan maksud mohon do’a restu dan nasehat serta meminta izin untuk mengambil ilmu dengan guru-guru yang ada di martapura,

Ust. H. M. Aidil Fakhrani memulai pendidikan di pondok pesantren darussalam martapura pada 1993 sampai dengan 1996 dan diteruskan dengan guru-guru di luar darussalam. Banyak berbagai macam ilmu dan didikan yang beliau dapatkan dari guru-guru beliau di antaranya 1. KH. SYUKUR  2. KH. Muaz 3. KH. SYUKRI UNUS 4. KH. JARKASI NASERI 5. KH. M. BADARUDDIN 6. KH. KHATIM SALMAN LC 7. KM. MUNAWWAR Terlebih-lebih lagi abah guru sekumpul yang sangat beliau teladani,

Hingga pada sekitar tahun 1998 beliau pulang dan menetap di ilung tengah, namun masih menghadiri pengajian abah guru sekumpul dengan pulang pergi ilung-martapura. Setelah waktu berlalu ust. H. M. Aidil Fakhrani pun menikah dengan Hj. Siti Ruhani-Kandangan Pada tahun 1999 Di usia beliau 31 tahun, dari pernikahan ini di karuniai dua orang putera dan dua orang puteri.  Kemudian pada tahun 2001, Allah berikan beliau rezki yang lebih dengan mendirikan pondok pesantren dan panti asuhan darul muttaqin ilung yang kini sudah menjadi nurul muhibbin ilung, yang sebelum mendirikan nya beliau meminta izin terlebih dahulu kepada pengasuh ke 2 pondok pesantren ibnul amin pamangkih KH. MUKHTAR HS dan juga meminta izin kepada Abah Guru Sekumpul melalui sepupu beliau H. Husni dan abah guru sekumpul pun memberikan sumbangan sebanyak lima juta rupiah pada masa itu yang digunakan untuk pembagunan sebuah musholla yang masih berdiri kukuh hingga saat ini, hingga biografi ini di muat, ust. H. M. Aidil Fakhrani masih memimpin pondok pesantren nurul muhibbin ilung

Semoga Allah panjangkan umur beliau dalam ta’at kepada Allah Swt dan membimbing umat nabi Muhammad Saw dan disehatkan badan serta di luaskan rezkinya ,aamiin


Sumber : https://nurulmuhibbinilung.wordpress.com/2020/05/03/biografi-ust-h-m-aidil-fakhrani-nurul-muhibbin-ilung/amp/


ditulis kembali oleh Muhammad Edwan Ansari

COPYRIGHT © catatan seorang Edwan Ansari

_______________________________________

mau tau organisasi sosial yang konsisten melayani Ummat, silakan klik

www.semut pemburu berkah.com

Buka juga organisasi relawan ini, dengan klik 

wwww.khadimul ummat.com

Atau Berita lainya di 

www.edwan ansari.com

ada juga akun YouTube Channel di

Abah Rafli Channel

Atau Aktivitas Sosial lewat Khadimul Ummat dan Semut Pemburu Berkah di

Relawan Khadimul Ummat Channel

Follow juga akun Instagram Edwan Ansari di @Semut_pemburu_berkah dan @edwan_ansari

terus Update Informasi-informasi kami

Catatan Seorang Edwan Ansari 2022

Penulis : Muhammad Edwan Ansari

Editor : Rahimah

COPYRIGHT © Catatan Seorang Edwan Ansari 2022

_______________________________________

mau tau organisasi sosial yang konsisten melayani Ummat, silakan klik

www.semut pemburu berkah.com

Buka juga organisasi relawan ini, dengan klik 

wwww.khadimul ummat.com

Atau Berita lainya di 

www.edwan ansari.com

ada juga akun YouTube Channel di

Abah Rafli Channel

Atau Aktivitas Sosial lewat Khadimul Ummat dan Semut Pemburu Berkah di

Relawan Khadimul Ummat Channel

Follow juga akun Instagram Edwan Ansari di @Semut_pemburu_berkah dan @edwan_ansari

terus Update Informasi-informasi kami

Sejarah Kampung Hidayat Indragiri Riau

'Sejarah Kampung Hidayat'

Kampung Hidayat terletak di Desa Teluk Dalam, Kecamatan Kuala Indragiri, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. 

Dari kota Tembilahan - Ibu kota Kab. Indragiri Hilir, anda dapat menempuh perjalanan ke Kampung Hidayat dengan menggunakan speed boat hanya dalam waktu 20-25 menit saja, yakni ke arah hilir muara sungai Indragiri. 

Kampung ini tergolong pedesaan yang masih asri dengan alamnya. Di kiri kanan jalan anda akan melihat barisan pohon kelapa rakyat yang berjejer rapi menghijau. 

Kampung Hidayat ini diambil dari nama Parit Hidayat yang merupakan salah satu parit utama yang membelah jejeran perkebunan kelapa dan rumah warganya. 

Asal usul nama 'Parit Hidayat' sendiri tak dapat dipisahkan dari peran tokoh agama yang bernama Syekh Abdurrahman Siddiq bin Syekh Muhammad Afif Al Banjary yang akrab dikenal dengan gelar Tuan Guru Sapat. 

Parit Hidayat adalah pemberian dan izin kelola oleh pihak kerajaan Indragiri kepada Tuan Guru Sapat. Pada waktu itu, saat Tuan Guru Sapat menyetujui permintaan sultan untuk menjadi mufti, beliau mengajukan beberapa syarat yakni diantaranya tidak bersedia digaji oleh kerajaan dan tidak bersedia menetap di kerajaan melainkan meminta izin memilih salah satu parit di dekat Sapat untuk dikelola menjadi perkebunan dan pusat pendidikan Islam. Dari sinilah cikal bakal pendirian pusat pendidikan yang amat ternama di zamannya hingga ke negeri dan kerajaan tetangga. 

Atas izin dari sultan beliau pun membuka suatu parit yang ditujukan untuk membuat perkebunan kelapa sebab beliau tak bersedia menetap di Rengat - Ibu kota Kerajaan Indragiri. Beliau berniat dari hasil bertanam dan memanen kelapa tersebut dapatlah digunakan untuk mencukupi segala hajat warga masyarakat yang ingin belajar, bertanya tentang agama atau pun hal-hal yg diperlukan selama menjadi mufti kerajaan. 

Di kisahkan, bahwa saat membuka perkebunan yang awalnya memang berupa hutan belantara yang lebat banyak dijumpai binatang buas dan binatang berbisa. 

Beberapa pengikut Tuan Guru yang sempat menyertai beliau membuka kebun tersebut mengakui akan keberanian, ilmu berkebun serta beberapa karomah Tuan Guru Sapat.

Setelah perkebunan jadi, parit hidayat pun mulai didatangi oleh para pendatang untuk menanyakan berbagai masalah agama, meminta fatwa dan menuntut ilmu secara langsung.

Tuan Guru kemudian mendirikan gubuk-gubuk kecil tempat menginapnya para tamu dan santrinya. Pada fase selanjutnya beliau pun mendirikan pusat pendidikan yang langsung beliau sendiri yang membina santri-santrinya. 

Salah satu prinsip Tuan Guru Sapat dalam membina santrinya ialah tidak memungut biaya pendidikan se-peserpun terutama bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah. 

Adapun segala keperluan santri selama belajar diperoleh dari hasil berkebun. Dalam hal ini yakni Tuan Guru juga mengajarkan santrinya menata dan menjadi petani kebun kelapa. 

Dalam beberapa penuturan pelaku dan peneliti sejarah, santri yang belajar kepada beliau tak kurang 180 orang. Makan minum semua santrinya itu ditanggung untuk 3 kali makan dalam sehari. Jadi, membutuhkan antara 15-45 KG beras dalam setiap harinya. 

Cikal bakal parit yang telah ditanami kelapa dan suasana pendidikan keislaman inilah kemudian lahir suatu perkampungan yang kelak masyhur dengan nama 'Kampung Hidayat'. Yang mana diberi nama oleh beliau dengan harapan kelak dari sinilah wasilah datangnya 'Hidayah' kepada masyarakat luas. 

Kampung Hidayat semakin berkembang pesat lagi setelah didirikannya masjid yang menjadi salah satu situs sejarah terkait penamaan kampung Hidayat. Masjid ini diberi nama masjid Al Hidayah dan masih berdiri kokoh hingga saat ini. Di sisi lain, pasca itu ada pula masyarakat umum yang juga turut membuka perkebunan kelapa milik pribadinya dengan niatan ingin mendekat dan belajar kepada Tuan Guru Sapat.

Lahir dan berkembangnya Kampung Hidayat tak terlepas dari peran Tuan Guru Sapat sebagai Mufti Kerajaan Indragiri kala itu. Beliau menjabat menjadi mufti selama lebih kurang 27 tahun yakni selama dua periode pemerintahan kerajaan Indragiri, mulai dari Raja Uwok Raja Muda Indragiri ke-25 (1902-1912 M) dan Sultan Mahmud Syah Sultan ke-26 (1912-1963 M).

Dari fakta sejarah tersebut dapatlah pula disimpulkan bahwa Kampung Hidayat berdiri diawal masa Tuan Guru Sapat menjadi mufti yakni sekitar tahun 1908 M serta berkembang selama lebih kurang 27 tahun sampai masa pengunduran diri beliau sebagai mufti kerajaan. 

Adapun setelah itu, 'Kampung Hidayat' hanya berkembang beberapa tahun sampai kewafatan sang mufti di tahun 1939 M. 

Dari beberapa catatan sejarah, pasca kewafatan sang mufti murid-murid beliau hampir semua kembali ke kampung halamannya masing-masing. Namun, ada pula yang membuka tempat pendidikan Islam di beberapa lokasi yang tersebar dari Indragiri hingga ke Jambi dan sekitarnya. Ada pula yang melanjutkan pendidikan ke negeri lain bahkan hingga ada yang ke jazirah Arab. 

Adapun pihak keluarga dari Tuan Guru Sapat ada pula yang berpindah ke beberapa wilayah di Indragiri hingga ke Bangka, Kalimantan serta beberapa daerah terdekat seperti Sapat dan Tembilahan. Kampung Hidayat pun sempat menjadi kampung 'mati' selama bertahun-tahun. Perkebunan dan pendidikan keislamannya menjadi sepi dan tak terawat. 

Ditambah lagi mulai masuknya penjajahan Jepang di wilayah Kuala Indragiri dan sekitarnya. 

Di era berikutnya, Kampung Hidayat yang berbatasan dengan Desa Sungai Piyai sebagai desa akses persembunyian perjuangan gerilya telah menjadi kampung yang tidak aman ditinggali. Wal hasil, kampung ini mengalami masa kemundurannya hingga masa Agresi Belanda 1 dan 2. Banyak fakta sejarah menyebutkan betapa tokoh-tokoh ulama/pejuang besutan Tuan Guru saat beliau mengajar di Sapat - sebelum membuat pusat pendidikan di Hidayat, kemudian berperan aktif sebagai pejuang Sabilillah yang mempertahankan kemerdekaan Indonesia pasca proklamasi. 

Belum ada data yang jelas yang dapat dijadikan rujukan utama mengenai tahun dibuka dan direhabilitasinya kembali 'Kampung Hidayat' pasca kefakumannya. Namun, dugaan kuat ada dua sebab utama berdirinya kembali 'Hidayat fase kedua'. Pertama peran zuriat Tuan Guru Sapat yang ingin menjaga dan meneruskan sisa-sisa peninggalan Tuan Guru Sapat dan yang kedua ialah warga masyarakat yang menelusuri kebun-kebun peninggalan orang tuanya yang sempat dibangun bersama atau setelah Tuan Guru membuka lahan untuk perkebunan di waktu itu. 

Peran Tuan Guru Sapat membuka 'Kampung Hidayat' telah berhasil meningkatkan taraf kehidupan masyarakat Indragiri dan sekitarnya di zaman itu. Hal ini sebab beliau telah mampu memadukan pendidikan keislaman, perekonomian rakyat serta konsep perkebunan yang baik dan tertata rapi.

Magnet dan situs terkuat sebagai sisa peradaban masa lalu yang tetap lestari hingga kini di Kampung Hidayat ada 4 hal utama, yakni : Kubah Makam Tuan Guru Sapat, Masjid Al Hidayah, Rumah Besar (Rumah Peninggalan Tuan Guru), Serta Sumur Bersejarah.  

Dari fase kedua sisa peradaban/new Hidayat inilah sinar 'Kampung Hidayat' menyebar ke berbagai wilayah penjuru negeri sebagai tempat kunjungan wisata religi, sejarah dan ziarah ulama. 

....

Dinukil dan ditulis ulang dari beberapa rujukan tulisan, buku dan cerita 








Penulis : Muhammad Edwan Ansari

Editor : Rahimah

COPYRIGHT © Catatan Seorang Edwan Ansari 2022

_______________________________________

mau tau organisasi sosial yang konsisten melayani Ummat, silakan klik

www.semut pemburu berkah.com

Buka juga organisasi relawan ini, dengan klik 

wwww.khadimul ummat.com

Atau Berita lainya di 

www.edwan ansari.com

ada juga akun YouTube Channel di

Abah Rafli Channel

Atau Aktivitas Sosial lewat Khadimul Ummat dan Semut Pemburu Berkah di

Relawan Khadimul Ummat Channel

Follow juga akun Instagram Edwan Ansari di @Semut_pemburu_berkah dan @edwan_ansari

terus Update Informasi-informasi kami