Sabtu, Oktober 20, 2018

Nasip rakyat

Jika kemiskinan itu kejam, karena tidak hanya membatasi daya-beli seseorang tapi juga sering mengkerdilkan angan-angan dan mimpi. Maka keserakah dan ketidakpedulian Penguasa jauh lebih biadab, karena bukan hanya tidak bisa meningkatkan daya beli tapi juga memberengus angan-angan dan mimpi rakyatnya.

Aksi mahasiswa

Jika kita berpikiran ‘aksi’ mahasiswa terlihat sebagai suatu hal yang kurang memiliki esensi mungkin tidak sepenuhnya salah, tapi tidak semua benar karena aksi mereka adalah sebuah refleksi kondisi yang saat ini terjadi, yang oleh sebagian kita tidak punya keberanian itu. Ketidak beranian (ketidak pedulian) kita ini, mungkin karena saat ini kita lebih nyaman dengan gajih bulanan yang telah kita terima beberapa tahun belakangan ini, atau kita lebih asyik dengan percakapan seremonial tanpa peduli angka kemiskinan, bahkan mungkin kita lebih menikmati kopi hitam diselingi pembagian jatah komisi tanpa menghiraukan betapa keadilan itu tak ada rimbanya. Kita mungkin jauh lebih hebat dari adik-adik mahasiswa tersebut, tapi apakah kita pernah berbincang merefleksikan banua ini, mendiskusikan banua ini atau sekedar berpikir bagaimana nasib banua ini. Ingat hidup itu bukan tentang kelangsungan ekonomi pribadi dan keluarga atau mungkin cita-cita kita masuk surga, ada kewajiban menegakan kebenaran walau hanya lewat ungkapan kalimat. Ahhhh tapi sudahlah,, cukup lakukan yang terbaik untuk hidup mu maka itu lebih dari cukup. Apa untungnya berdiskusi angka kemiskinan, bicara angka pengangguran atau mengitung pengunaan APBD mana yang lebih besar antara Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi atau Belanja Modal. Biarkanlah kita tetap adakan pelatihan menjahit dan Las meskipun orang diluar sana sudah hasilkan uang puluhan kali lipat dibanding tukang jahit dan Las dengan menjadi youteber dan komika. Lalu kemajuan apa yang kita harapkan, jika sekedar refleksi kondisi banua saja kita tak berani dan mampu, lalu kebanggaan apa yang kita cita-citakan jika orang lain sudah sibuk berpikir ke Bulan kita masih sibuk mengikih Halalang.

Budaya kritis

Jika,,, Saat bertanya diartikan mengkritik Saat mengeluh dikatakan mawada Saat menyampaikannya aspirasi disamakan sikap buruk Saat berbagi bingung disetarakan dengan hal yang sia-sia Saat merefleksikan diangap pembangkang Saat itulah kekeliruan terjadi, sebab Tiap pertanyaan kita,, ada orang yang digajih untuk menjawabnya Tiap keluhan kita,, ada orang yang digajih untuk menanggapinya Tiap harapan kita,,ada orang yang digajih untuk mewujudkannya Tiap kritikan kita,, ada orang yang digajih untuk mengkajinya Tiap aspirasi kita,, ada orang yang digajih untuk menyampaikannya Lalu apa yang kita takutan, jika tiap kebingungan, pertanyaan, keluhan kritik, refleksi dan harapan serta aspirasi kita adalah rejeki buat yang lain. Dan dilain sisi, jika kebingungan kita hentikan, bertanya kita hindari, kritik kita dimatikan, kepedulian kita ciutkan dan refleksi kita tiadakan dan harapan kita samarkan, maka jangan berharap kita lebih baik dari hantu Mariaban/Bariaban yang mempunyai kesaktian namun tidak memiliki kemewahan berupa sebuah anugerah. Karena bisa jadi, anugerah terbesar kita adalah daya pikir yang kita miliki, sebab tidak mustahil semua hidup kita ini karena pikiran. Lalu jika daya pikir itu anugerah terbesar kenapa kita hanya menggunakannya untuk hal-hal yang biasa saja, seperti membuat caption di Instragram agar terlihat lebih bijak atau status facebook supaya disangka hebat dan seterusnya dan selanjutnya dan sebagainya. Padahal “Pikiran” bisa dijadikan bagian terpenting untuk menghasilkan sebuah kritik (refleksi) yang diharapkan jadi bahan permenungan untuk dijadikan bahan diskusi lebih lanjut, dengan tujuan perbaikan kondisi. Lalu jika kita bisa mengunakan anugerah terbesar ini untuk menghasilkan sebuah refleksi, tentu tingkatannya jauh lebih tinggi jika dibanding memakainya hanya untuk sekedar membuat sebuah caption di media sosialnya yang menurut catatan, ada sekira 130 juta masyarakat Indonesia yang aktif di media sosial tersebut. Lalu jika kita masih bersikukuh malu, tidak berani, segan, acuh, tak peduli untuk membuat sebuah refleksi karena takut di cap tukang kritik dan tukang mengeluh, maka gantilah refleksi dengan pertanyaan, karena bertanya adalah level tertinggi dari rasa binggung dan konon puncak dari penggunaan logika adalah munculnya rasa binggung, mengapa bisa begitu, karena katanya, kebinggungan adalah awal dari semua upaya pencarian pencerahan. jika dipersingkat, kalau kita tidak bertanya maka sama dengan kita tidak mempunyai rasa binggung atau kita tidak berlogika atau kita tidak berupaya mencari pencerahan. Lalu apa buruk, salah dan takutnya kita berbagi kebingungan, memberikan pertanyaan, mengutarakan keluhan, menyampaikan harapan, menjual aspirasi dan membuat refleksi yang adalah rejeki buat yang lain dan upaya kita dalam mencari pencerahan!!!! Jadi mulai sekarang,!!!! Bingung lah kenapa masih tingginya angka pengangguran dan kemiskinan padahal tambang terbesar ada disini, BLK sudah berdiri sejak lama, program pemberantasan kemiskinan selalu diprioritaskan Bertanyalah kenapa taman dan pasar tidak ada lahan parkir nya, padahal itu bagian dasar fasilitas penunjang Mengeluhlah kenapa ekonomi kita makin merosot padahal potensi luar biasa kita miliki Aspirasikanlah kenapa honorer makin banyak, padahal terobosan dan inovasi tak terlihat Kritiklah kenapa PAD kecil dan jumlah Koperasi berkurang padahal itu gambaran keberhasil ekonomi mikro