Rabu, Juli 13, 2022

Ini adalah makam Ayahanda dari guru sekumpul(SYEKH Abdul Ghani) di keraton. Meskipun baru tinggal di kampung Keraton, namun keluarga Abdul Ghani, tidak merasakan sebagai orang baru disini, karena memang kebanyakan penduduk kampung ini adalah kerabat dan famili. Bahkan menurut cerita, Abdul Ghani sendiri di lahirkan di kampung Keraton ini. Dan kepindahan mereka ketempat baru ini bukan berarti mereka menempati tempat tinggal atau rumah yang baru. Tapi mereka justru menempati rumah yang cukup tua dan lapuk, dengan kondisi tanpa kamar dan memiliki atap yang bocor dan bolong-bolong. Dengan keadaan yang sangat memprihatinkan itu, jika hujan turun, lantai rumah itu nyaris banjir dengan air, yang jatuh dari atap yang bolong itu. Dan mau tidak mau nyenyaknya tidurpun seringkali terganggu dengan turunnya hujan. Tidak jarang Abdul Ghani harus berdiri dan melebarkan badannya untuk melindungi anak istrinya dari terkena tetesan air hujan, atau mereka sama-sama berdiri di pojok rumah untuk menghindari air yang jatuh dari atap yang bolong. Sungguh suatu kondisi yang sangat memprihatinkan, dan ini dirasakan keluarga Abdul Ghani selama bertahun-tahun, tanpa sedikitpun ada keluhan dan sangat pantang untuk diketahui oleh orang lain. BERLALUNYA MASA PENJAJAHAN JEPANG Masa penjajahan Jepang pun telah berlalu, dan kini tiba masa Kemerdekaan. Usia Zaini muda pun kini beringsut menjadi seorang bocah periang, namun nampaknya tidak terlalu hobi bermain. Meskipun demikian, sesekali ia mencoba bermain juga disekitar rumahnya yang sederhana itu. Tetapi selalu tidak lama, apalagi hingga larut, ia selalu bergegas pulang. Zaini muda memang lebih banyak tinggal dirumah, bersama kedua orang tuanya dan neneknya Salbiyah. Lebih-lebih kini ia telah punya adik baru, yaitu Siti Rahmah. *Catatan : Siti Rahmah adalah ibunda dari H. Ahmad. ( keponakan dari Abah Guru Sekumpul ) H. Ahmad adalah yang biasa membaca Qasidah / Syair menggiringi Abah guru Sekumpul. ( sekarang bertambah dengan adanya Ustadz Tamami & Ustadz Fahmi ( Kakak beradik ) Hari-harinya memang lebih banyak ia pergunakan untuk membantu ayahnya, yang berprofesi sebagai penggosok intan, sambil meringankan beban orang tuanya. Nampaknya, meskipun berprofesi sebagai penggosok intan, namun karena hanya sebagai tenaga upahan, usaha Abdul Ghani ini seringkali tidak mencukupi untuk keperluan sehari-hari seluruh keluarga. Tidak ada pilihan lain, keluarga ini harus merasakan pahit getirnya hidup dalam serba kekurangan. Lebih-lebih bagi Zaini muda yang saat itu masih bocah, tentu sikap ketabahan dan kesabarannya di uji, hidup ditengah-tengahkeluarga miskin diawal-awal masa Kemerdekaan. Dan sungguh hal yang tidak lazim terjadi pada keluarga ini... Tidak kurang dari 14 tahun makan sayur yang dibikin dari "gedabung pisang" ( sejenis bongkahan yang ada ditengah batang pisang ), dan sekitar 8 tahun makan nasi bungkus, yang mana nasi bungkus itu dimakan satu bungkus oleh 4 orang. Subhanallah... Satu kondisi yang boleh jadi tidak pernah di rasakan oleh keluarga lain di masa itu. Meski demikian, walau kondisi semiskin ini, tidaklah membuat mereka mengeluh, apalagi meminta-minta. Seluruh keluarga nampaknya telah konsensus dengan 3 aturan yang tidak tertulis yaitu : 1. Tidak boleh sekali-kali mengeluh 2. Pantang segala musibah di ketahui oleh orang lain 3. Dan dilarang untuk berhutang Melihat kondisi memprihatinkan ini, Abdul Ghani sebagai penopang utama kondisi ekonomi rumah tangga juga tidak tinggal diam. Beliau akhirnya mencoba mengadu nasib, dengan harapan di masa depan ekonomi rumah tangganya akan meningkat, dengan mengembara ketanah Jawa. Tujuan kepulau Jawa ini untuk mencari pekerjaan yang cukup layak dan halal. Beberapa lama kampung Keraton ia tinggalkan. Namun, meski sudah kemana-mana mencoba peruntungan, tapi mujur belum berpihak kepadanya. Kepergiannya itu tidak menghasilkan apa-apa seperti yang diharapkan. Justru sepulangnya dari Jawa, Abdul Ghani di uji lagi dengan cobaan yang cukup berat, putera bungsu kesayangannya yang sedang rame-ramenya ditimang, bernama Ahmad Ghazali meninggal dunia. *Catatan : Ahmad Ghazali dimakamkan di samping Kubah ayahnda'nya di Keraton ( tapi tidak dimakamkan di dalam kubah, melainkan di luar kubah, karena saat itu belum ada Kubah seperti sekarang ) Nisannya seukuran untuk Nisan anak kecil. Semoga Allah SWT selalu merahmatinya. Aamiin. Sekembalinya Abdul Ghani dari pulau Jawa, ia kembali menekuni usahanya semula, yaitu menjadi buruh penggosok intan, yang selalu dibantu oleh Zaini muda ini. Pekerjaan ini meski tidak mencukupi kebutuhan keluarga, tapi apa boleh buat, pekerjaan lain yang cukup layak juga tidak ada. Kondisi prihatin ini terus berlanjut, seakan ujian ini tidak ingin berhenti untuk terus bersama keluarga Abdul Ghani. ZAINI MUDA MULAI BERSEKOLAH - DAN SERINGKALI DI EJEK DAN DI LECEHKAN OLEH SEBAGIAN KAWAN-KAWANNYA Dan ini juga dirasakan oleh Zaini muda hingga memasuki usia sekolah bahkan sampai berumah tangga. Di usia sekolah, efek dari kondisi miskin ini, Zaini muda seringkali di ejek dan di lecehkan oleh sebagian kawan-kawannya. Dengan pakaian yang lusuh, dan cuma selembar dibadan, dengan sarung yang sudah kadaluarsa/tidak layak pakai, ditambah sandal terompah yang terbuat dari kayu menjadi bahan ejekan dari kawan-kawannya. Tidak jarang anak-anak itu meledeknya, sambil berucap : "ASSALAMU'ALAIKUM YA WALIYYALLAH". DIDIKAN DISIPLIN DAN AKHLAK YANG SANGAT KETAT Salah satu yang berperan paling penting dalam membentuk karakter dan kepribadian Al-'Alimul Allamah Syekh Muhammad Zaini sehingga beliau menjadi orang besar, adalah ayahnda beliau sendiri yaitu Abdul Ghani. Betapa tidak, Abdul Ghani memang merupakan pribadi yang dikenal Sholeh, sangat peramah, pemurah, suka menolong dan baik hati. Namun dalam mendidik anak, yang diharapkan menjadi anak yang Sholeh, beliau senantiasa bersikap tegas, disiplin dan sangat ketat dalam membimbing akhlak anak-anaknya, terutama terhadap putera kesayangannya satu-satunya ini. Ini dibuktikan saat Zaini muda masih belajar Al-Qur'an kepada Guru Hasan di Keraton, dari mulai berangkat mengaji menuju rumah Guru Hasan, *Catatan : Pada saat belajar ini lah, seperti yang Abah Guru sering sampaikan di Pengajian beliau, bahwa walaupun keadaan keluarga beliau juga sangat kekurangan pada waktu itu, akan tetapi ayahnda dan ibunda beliau selalu menyangui Zaini muda, apabila Zaini muda ingin mengaji dengan ( membawakan ) minyak tanah yang di masukkan kedalam botol kecil sebagai hadiah kepada Guru beliau di waktu itu. SubhanaLLah..! Hingga pulang, waktunya selalu di hitung dan di teliti. Jika lebih dari waktu yang semestinya, sepulangnya pasti ditanya, kenapa pulangnya terlambat. Begitu pula saat pulang lebih cepat, pasti ditanyakan alasannya. Suatu ketika Zaini muda bersama kawan-kawan beliau pulang lebih cepat dari biasanya, lalu sang ayah bertanya kenapa? Zaini menjelaskan kepada ayah beliau bahwa mereka di beritahu anak Guru, bahwa pengajian libur karena Guru ada kesibukan. Apa kata Abdul Ghani? : "KALU NANG MAMADAHAKAN LAIN GURU, MAKA KADA ASI, AYU MANGAJI, NYAWA BEBULIK!" ( kalau yang memberitahukan bahwa libur adalah bukan Guru langsung, maka jangan langsung di percaya, ayo belajar, kamu kembali ) *Catatan : Abdul Ghani mendidik Zaini muda langsung dengan praktek di lapangan, apabila kamu mendengar suatu kabar yang belum pasti akan kebenarannya, maka janganlah kamu langsung percayai. Gali informasi yang sebenarnya terlebih dahulu langsung ke tempat berita itu dikhabarkan. Agar terhindar hati dari berprasangka yang tidak-tidak ( haqqul yakin ) Kata sang ayah menyuruh anaknya Zaini, kembali kerumah Gurunya, padahal pengajian memang sedang di liburkan. Di kesempatan lain, ketika itu Zaini muda sedang sendirian dirumah, tiba-tiba beliau kedatangan tamu, famili dari Kandangan. Melihat tamu yang datang ini, lebih-lebih ini dari jauh, sedang yang disuguhkan tidak ada. Maka Zaini muda pun berinisiatif untuk berhutang atau meminjam kopi kepada tetangga. Sepulangnya tamu itu, tidak berapa lama, Abdul Ghani pulang dari bekerja dan melihat ada cangkir kopi diruang tamu. Beliau langsung menanyakan tentang siapa yang datang dan hal ihwal kopi itu, padahal dirumah itu tidak ada persediaan kopi. Zaini muda menjelaskan seadanya bahwa kopi itu adalah berhutang kepada tetangga. Sang ayah merasa terkejut dan dengan bijak menasehati : "BUKANNYA AKU MENGHARAMKAN BERHUTANG, TAPI DALAM BERHUTANG ITU ADA DUA KESALAHAN, PERTAMA : MENG'ANGGAP TUHAN KADA CUKUP ( TIDAK CUKUP ) MEMBERI RIZKI, KEDUA : SEAKAN DIA ( YANG BERHUTANG ) PASTI BERUMUR PANJANG". Zaini muda tentu sangat mafhum ( faham ) dengam nasehat itu, dan beliau meminta maaf dan ampun kepada ayahnda beliau. Di saat yang lain, ketika Zaini muda masih di usia anak-anak, seorang teman mengajak beliau jalan-jalan. Mereka berdua lalu sepakat untuk kepasar. Sesampainya di pasar, tanpa diduga teman itu memaksa Zaini muda untuk masuk kedalam bioskop. Semula Zaini sudah mengelak, namun tidak bisa, Zaini terpaksa masuk. Namun saat masuk, tiba-tiba listrik padam, sehingga pemutaran film berhenti seketika. Sepulang dari pasar, ternyata ayahnda beliau sudah tau ( kasyaf ) apa yang terjadi dengan Zaini. Zaini muda lalu di hukum dengan di ikat di tiang rumah, sambil di dekatkan sebuah pedupaan yang dinyalakan kemuka beliau, sehingga terasa panas. Pada saat yang sama tiba-tiba diluar terjadi angin ribut, angin bertiup sangat kencang. Nenek Salbiyah melihat cucunya mendapat hukuman seperti itu, merasa kasihan dan meminta Abdul Ghani untuk menyudahi hukuman itu. Hukuman itupun di hentikan, dan seketika itu pula angin ribut itu berhenti. Dari beberapa kejadian itu menunjukkan bahwa didikan disiplin dan akhlak dari orang tua Guru Zaini memang sangat ketat, sehingga sangat membekas dalam jiwa dan kepribadian beliau. Apalagi sejak belia, Guru Zaini hidup dan bergaul selalu ditengah orang-orang yang Sholeh, yang sangat kuat dan fanatik dalam memegang prinsip-prinsip agama. Sejak kecil Guru Zaini hidup bersama ayah bundanya, juga neneknya Salbiyah, ditambah pula dengan paman beliau Al-'Allamah Al-Arif Billah Syekh Muhammad Semman Mulia. Dari rumah tangga yang sederhana namun penuh dengan keberkahan, empat figur itulah yang senantiasa mempengaruhi jiwanya, menaburkan benih-benih Akhlakul Karimah, ilmu, hikmah, dan ma'rifah kedalam rohnya. Waktu dan keseharian Guru Zaini lebih banyak di isi dengan bergaul bersama mereka, sehingga hampir tidak ada kesempatan untuk bermain atau berbuat hal yang sia-sia. Begitulah, memang seakan-akan Guru Zaini telah di iming-iming dan di persiapkan untuk menjadi orang besar dan mulia sejak dini. Sehingga tidak berlebihan, jika suatu saat Al-Mukarram Al-'Allamah KH. Zainal Ilmi, Dalam Pagar mengatakan dengan Mukasyafah-nya yang tajam kepada Salbiyah : "DIRUMAH PUN, SAIKUNG PUN, JAGAILAH" ( dirumah puun, ada seorang puun, jaga lah dia ) *Pun artinya penekanan kata dengan perasaan ta'dzhim dalam bahasa Banjar. *Catatan : Maksudnya dirumah nenek Salbiyah ada seseorang yang memiliki maqam dan menjadi pilihan Allah atau Waliyullah. KH. Zainal Ilmi ini diyakini sebagai Ulama yang Kasyaf, berbagai kejadian menunjukkan hal itu. Beliau merupakan keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary dan masih sepupu dengan nenek Salbiyah, seorang murid dari Syekh Abdurrahman Siddiq Sapat, Riau. Di saat yang lain, ada orang bertanya kepada Al-'Allamah Syekh Muhammad Semman, : SIAPA DI ANTARA KEMANAKAN PIAN NANG CAGAR JADI ULAMA BESAR?" ( siapa di antara keponakan anda yang akan jadi Ulama besar nantinya? ) Dijawab oleh beliau : "ANANG" ( maksudnya Guru Zaini ). Salah seorang Ulama besar Martapura bahkan menyebutkan saat Guru Zaini masih sangat muda : "ORANG INI KAENA JADI ORANG BESAR, BESAR BANAR". ( orang ini nantinya akan jadi orang besar, sangat besar sekali ) Buku : "Figur Kharismatik - Abah Guru Sekumpul". Tulisan oleh : KH. M. Anshary El-Kariem. Ditulis ulang ke FB oleh : Aulia Rahman Al-Banjari.

 Ini adalah makam Ayahanda dari guru sekumpul(SYEKH  Abdul Ghani) di keraton.


Meskipun baru tinggal di kampung Keraton, namun keluarga Abdul Ghani, tidak merasakan sebagai orang baru disini, karena memang kebanyakan penduduk kampung ini adalah kerabat dan famili.


Bahkan menurut cerita, Abdul Ghani sendiri di lahirkan di kampung Keraton ini. 


Dan kepindahan mereka ketempat baru ini bukan berarti mereka menempati tempat tinggal atau rumah yang baru. Tapi mereka justru menempati rumah yang cukup tua dan lapuk, dengan kondisi tanpa kamar dan memiliki atap yang bocor dan bolong-bolong.


Dengan keadaan yang sangat memprihatinkan itu, jika hujan turun, lantai rumah itu nyaris banjir dengan air, yang jatuh dari atap yang bolong itu. Dan mau tidak mau nyenyaknya tidurpun seringkali terganggu dengan turunnya hujan. Tidak jarang Abdul Ghani harus berdiri dan melebarkan badannya untuk melindungi anak istrinya dari terkena tetesan air hujan, atau mereka sama-sama berdiri di pojok rumah untuk menghindari air yang jatuh dari atap yang bolong.


Sungguh suatu kondisi yang sangat memprihatinkan, dan ini dirasakan keluarga Abdul Ghani selama bertahun-tahun, tanpa sedikitpun ada keluhan dan sangat pantang untuk diketahui oleh orang lain.


BERLALUNYA MASA PENJAJAHAN JEPANG


Masa penjajahan Jepang pun telah berlalu, dan kini tiba masa Kemerdekaan. Usia Zaini muda pun kini beringsut menjadi seorang bocah periang, namun nampaknya tidak terlalu hobi bermain.


Meskipun demikian, sesekali ia mencoba bermain juga disekitar rumahnya yang sederhana itu. Tetapi selalu tidak lama, apalagi hingga larut, ia selalu bergegas pulang. Zaini muda memang lebih banyak tinggal dirumah, bersama kedua orang tuanya dan neneknya Salbiyah. Lebih-lebih kini ia telah punya adik baru, yaitu Siti Rahmah. 


*Catatan : Siti Rahmah adalah ibunda dari H. Ahmad. ( keponakan dari Abah Guru Sekumpul ) H. Ahmad adalah yang biasa membaca Qasidah / Syair menggiringi Abah guru Sekumpul. ( sekarang bertambah dengan adanya Ustadz Tamami & Ustadz Fahmi ( Kakak beradik )


Hari-harinya memang lebih banyak ia pergunakan untuk membantu ayahnya, yang berprofesi sebagai penggosok intan, sambil meringankan beban orang tuanya. Nampaknya, meskipun berprofesi sebagai penggosok intan, namun karena hanya sebagai tenaga upahan, usaha Abdul Ghani ini seringkali tidak mencukupi untuk keperluan sehari-hari seluruh keluarga. Tidak ada pilihan lain, keluarga ini harus merasakan pahit getirnya hidup dalam serba kekurangan. 


Lebih-lebih bagi Zaini muda yang saat itu masih bocah, tentu sikap ketabahan dan kesabarannya di uji, hidup ditengah-tengahkeluarga miskin diawal-awal masa Kemerdekaan. Dan sungguh hal yang tidak lazim terjadi pada keluarga ini...


Tidak kurang dari 14 tahun makan sayur yang dibikin dari "gedabung pisang" ( sejenis bongkahan yang ada ditengah batang pisang ), dan sekitar 8 tahun makan nasi bungkus, yang mana nasi bungkus itu dimakan satu bungkus oleh 4 orang.


Subhanallah... 


Satu kondisi yang boleh jadi tidak pernah di rasakan oleh keluarga lain di masa itu. Meski demikian, walau kondisi semiskin ini, tidaklah membuat mereka mengeluh, apalagi meminta-minta.


Seluruh keluarga nampaknya telah konsensus dengan 3 aturan yang tidak tertulis yaitu :


1. Tidak boleh sekali-kali mengeluh

2. Pantang segala musibah di ketahui oleh orang lain

3. Dan dilarang untuk berhutang


Melihat kondisi memprihatinkan ini, Abdul Ghani sebagai penopang utama kondisi ekonomi rumah tangga juga tidak tinggal diam. Beliau akhirnya mencoba mengadu nasib, dengan harapan di masa depan ekonomi rumah tangganya akan meningkat, dengan mengembara ketanah Jawa.


Tujuan kepulau Jawa ini untuk mencari pekerjaan yang cukup layak dan halal. Beberapa lama kampung Keraton ia tinggalkan. Namun, meski sudah kemana-mana mencoba peruntungan, tapi mujur belum berpihak kepadanya. Kepergiannya itu tidak menghasilkan apa-apa seperti yang diharapkan. Justru sepulangnya dari Jawa, Abdul Ghani di uji lagi dengan cobaan yang cukup berat, putera bungsu kesayangannya yang sedang rame-ramenya ditimang, bernama Ahmad Ghazali meninggal dunia.


*Catatan : Ahmad Ghazali dimakamkan di samping Kubah ayahnda'nya di Keraton ( tapi tidak dimakamkan di dalam kubah, melainkan di luar kubah, karena saat itu belum ada Kubah seperti sekarang ) Nisannya seukuran untuk Nisan anak kecil. 


Semoga Allah SWT selalu merahmatinya. Aamiin.


Sekembalinya Abdul Ghani dari pulau Jawa, ia kembali menekuni usahanya semula, yaitu menjadi buruh penggosok intan, yang selalu dibantu oleh Zaini muda ini. Pekerjaan ini meski tidak mencukupi kebutuhan keluarga, tapi apa boleh buat, pekerjaan lain yang cukup layak juga tidak ada. Kondisi prihatin ini terus berlanjut, seakan ujian ini tidak ingin berhenti untuk terus bersama keluarga Abdul Ghani.


ZAINI MUDA MULAI BERSEKOLAH - DAN SERINGKALI DI EJEK DAN DI LECEHKAN OLEH SEBAGIAN KAWAN-KAWANNYA


Dan ini juga dirasakan oleh Zaini muda hingga memasuki usia sekolah bahkan sampai berumah tangga. Di usia sekolah, efek dari kondisi miskin ini, Zaini muda seringkali di ejek dan di lecehkan oleh sebagian kawan-kawannya. Dengan pakaian yang lusuh, dan cuma selembar dibadan, dengan sarung yang sudah kadaluarsa/tidak layak pakai, ditambah sandal terompah yang terbuat dari kayu menjadi bahan ejekan dari kawan-kawannya. 


Tidak jarang anak-anak itu meledeknya, sambil berucap : "ASSALAMU'ALAIKUM YA WALIYYALLAH".


DIDIKAN DISIPLIN DAN AKHLAK YANG SANGAT KETAT


Salah satu yang berperan paling penting dalam membentuk karakter dan kepribadian Al-'Alimul Allamah Syekh Muhammad Zaini sehingga beliau menjadi orang besar, adalah ayahnda beliau sendiri yaitu Abdul Ghani. Betapa tidak, Abdul Ghani memang merupakan pribadi yang dikenal Sholeh, sangat peramah, pemurah, suka menolong dan baik hati. Namun dalam mendidik anak, yang diharapkan menjadi anak yang Sholeh, beliau senantiasa bersikap tegas, disiplin dan sangat ketat dalam membimbing akhlak anak-anaknya, terutama terhadap putera kesayangannya satu-satunya ini.


Ini dibuktikan saat Zaini muda masih belajar Al-Qur'an kepada Guru Hasan di Keraton, dari mulai berangkat mengaji menuju rumah Guru Hasan,


*Catatan : Pada saat belajar ini lah, seperti yang Abah Guru sering sampaikan di Pengajian beliau, bahwa walaupun keadaan keluarga beliau juga sangat kekurangan pada waktu itu, akan tetapi ayahnda dan ibunda beliau selalu menyangui Zaini muda, apabila Zaini muda ingin mengaji dengan ( membawakan ) minyak tanah yang di masukkan kedalam botol kecil sebagai hadiah kepada Guru beliau di waktu itu. 


SubhanaLLah..!


Hingga pulang, waktunya selalu di hitung dan di teliti. Jika lebih dari waktu yang semestinya, sepulangnya pasti ditanya, kenapa pulangnya terlambat. Begitu pula saat pulang lebih cepat, pasti ditanyakan alasannya.


Suatu ketika Zaini muda bersama kawan-kawan beliau pulang lebih cepat dari biasanya, lalu sang ayah bertanya kenapa? Zaini menjelaskan kepada ayah beliau bahwa mereka di beritahu anak Guru, bahwa pengajian libur karena Guru ada kesibukan. Apa kata Abdul Ghani? :


"KALU NANG MAMADAHAKAN LAIN GURU, MAKA KADA ASI, AYU MANGAJI, NYAWA BEBULIK!"


( kalau yang memberitahukan bahwa libur adalah bukan Guru langsung, maka jangan langsung di percaya, ayo belajar, kamu kembali )


*Catatan : Abdul Ghani mendidik Zaini muda langsung dengan praktek di lapangan, apabila kamu mendengar suatu kabar yang belum pasti akan kebenarannya, maka janganlah kamu langsung percayai. Gali informasi yang sebenarnya terlebih dahulu langsung ke tempat berita itu dikhabarkan. Agar terhindar hati dari berprasangka yang tidak-tidak ( haqqul yakin )


Kata sang ayah menyuruh anaknya Zaini, kembali kerumah Gurunya, padahal pengajian memang sedang di liburkan.


Di kesempatan lain, ketika itu Zaini muda sedang sendirian dirumah, tiba-tiba beliau kedatangan tamu, famili dari Kandangan. Melihat tamu yang datang ini, lebih-lebih ini dari jauh, sedang yang disuguhkan tidak ada. Maka Zaini muda pun berinisiatif untuk berhutang atau meminjam kopi kepada tetangga.


Sepulangnya tamu itu, tidak berapa lama, Abdul Ghani pulang dari bekerja dan melihat ada cangkir kopi diruang tamu. Beliau langsung menanyakan tentang siapa yang datang dan hal ihwal kopi itu, padahal dirumah itu tidak ada persediaan kopi. 


Zaini muda menjelaskan seadanya bahwa kopi itu adalah berhutang kepada tetangga. Sang ayah merasa terkejut dan dengan bijak menasehati :


"BUKANNYA AKU MENGHARAMKAN BERHUTANG, TAPI DALAM BERHUTANG ITU ADA DUA KESALAHAN, 


PERTAMA : MENG'ANGGAP TUHAN KADA CUKUP ( TIDAK CUKUP ) MEMBERI RIZKI, 


KEDUA : SEAKAN DIA ( YANG BERHUTANG ) PASTI BERUMUR PANJANG".


Zaini muda tentu sangat mafhum ( faham ) dengam nasehat itu, dan beliau meminta maaf dan ampun kepada ayahnda beliau.


Di saat yang lain, ketika Zaini muda masih di usia anak-anak, seorang teman mengajak beliau jalan-jalan. Mereka berdua lalu sepakat untuk kepasar. Sesampainya di pasar, tanpa diduga teman itu memaksa Zaini muda untuk masuk kedalam bioskop. Semula Zaini sudah mengelak, namun tidak bisa, Zaini terpaksa masuk. Namun saat masuk, tiba-tiba listrik padam, sehingga pemutaran film berhenti seketika.


Sepulang dari pasar, ternyata ayahnda beliau sudah tau ( kasyaf ) apa yang terjadi dengan Zaini. Zaini muda lalu di hukum dengan di ikat di tiang rumah, sambil di dekatkan sebuah pedupaan yang dinyalakan kemuka beliau, sehingga terasa panas.


Pada saat yang sama tiba-tiba diluar terjadi angin ribut, angin bertiup sangat kencang. Nenek Salbiyah melihat cucunya mendapat hukuman seperti itu, merasa kasihan dan meminta Abdul Ghani untuk menyudahi hukuman itu. Hukuman itupun di hentikan, dan seketika itu pula angin ribut itu berhenti.


Dari beberapa kejadian itu menunjukkan bahwa didikan disiplin dan akhlak dari orang tua Guru Zaini memang sangat ketat, sehingga sangat membekas dalam jiwa dan kepribadian beliau. Apalagi sejak belia, Guru Zaini hidup dan bergaul selalu ditengah orang-orang yang Sholeh, yang sangat kuat dan fanatik dalam memegang prinsip-prinsip agama.


Sejak kecil Guru Zaini hidup bersama ayah bundanya, juga neneknya Salbiyah, ditambah pula dengan paman beliau Al-'Allamah Al-Arif Billah Syekh Muhammad Semman Mulia. Dari rumah tangga yang sederhana namun penuh dengan keberkahan, empat figur itulah yang senantiasa mempengaruhi jiwanya, menaburkan benih-benih Akhlakul Karimah, ilmu, hikmah, dan ma'rifah kedalam rohnya. 


Waktu dan keseharian Guru Zaini lebih banyak di isi dengan bergaul bersama mereka, sehingga hampir tidak ada kesempatan untuk bermain atau berbuat hal yang sia-sia.


Begitulah, memang seakan-akan Guru Zaini telah di iming-iming dan di persiapkan untuk menjadi orang besar dan mulia sejak dini. Sehingga tidak berlebihan, jika suatu saat Al-Mukarram Al-'Allamah KH. Zainal Ilmi, Dalam Pagar mengatakan dengan Mukasyafah-nya yang tajam kepada Salbiyah :


"DIRUMAH PUN, SAIKUNG PUN, JAGAILAH"


( dirumah puun, ada seorang puun, jaga lah dia )


*Pun artinya penekanan kata dengan perasaan ta'dzhim dalam bahasa Banjar.


*Catatan : Maksudnya dirumah nenek Salbiyah ada seseorang yang memiliki maqam dan menjadi pilihan Allah atau Waliyullah. KH. Zainal Ilmi ini diyakini sebagai Ulama yang Kasyaf, berbagai kejadian menunjukkan hal itu. Beliau merupakan keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary dan masih sepupu dengan nenek Salbiyah, seorang murid dari Syekh Abdurrahman Siddiq Sapat, Riau.


Di saat yang lain, ada orang bertanya kepada Al-'Allamah Syekh Muhammad Semman, :


SIAPA DI ANTARA KEMANAKAN PIAN NANG CAGAR JADI ULAMA BESAR?" ( siapa di antara keponakan anda yang akan jadi Ulama besar nantinya? )


Dijawab oleh beliau : "ANANG" ( maksudnya Guru Zaini ).


Salah seorang Ulama besar Martapura bahkan menyebutkan saat Guru Zaini masih sangat muda :


"ORANG INI KAENA JADI ORANG BESAR, BESAR BANAR". ( orang ini nantinya akan jadi orang besar, sangat besar sekali )



Buku : "Figur Kharismatik - Abah Guru Sekumpul".

Tulisan oleh : KH. M. Anshary El-Kariem.

Ditulis ulang ke FB oleh : Aulia Rahman Al-Banjari.