Minggu, April 26, 2020

Kisah Seorang Guru yang belajar dari Muridnya

*Kisah Seorang Guru yang belajar dari Muridnya*

Syekh Ibnu Al-'Arabi dalam _Futuhat Al Makkiyah_ mengutip sebuah kisah. Seorang Pemuda menemui gurunya dalam keadaan pucat pasi pada suatu pagi. "Wahai Guru, semalam aku mengkhatamkan Al-Qur'an dalam shalat malamku".

Sang Guru tersenyum. "Bagus Nak, nanti malam tolong hadirkan bayangan diriku dihadapan mu saat kau baca Al-Qur'an itu. Rasakanlah seolah-olah aku sedang menyimak apa yang engkau baca."

Esok harinya, Sang murid datang dan melapor pada gurunya. "Wahai Guru, semalam aku hanya sanggup menyelesaikan separuh dari Al-Qur'an".

"Engkau sungguh telah berbuat baik", Sang guru menepuk pundaknya. "Nanti malam lakukan lagi dan kali ini hadirkan lah wajah Para Sahabat Nabi yang telah mendengar Al-Qur'an itu langsung dari Rasulullah. Bayangkanlah baik-baik bahwa mereka sedang mendengarkan dan memeriksa bacaanmu".

Pagi-pagi sang murid sudah menghadap dan mengadu. "Duh Guru", keluhnya, " semalam bahkan hanya sepertiga Al-Qur'an yang dapat aku lafalkan".

"Alhamdulillah..., Engkau telah berbuat baik". Kata sang guru mengelus kepala muridnya. "Nanti malam bacalah Al-Qur'an dengan lebih baik lagi. Sebab yang akan hadir dihadapanmu untuk menyimak adalah Rasulullah SAW sendiri. Orang yang kepadanya Al-Qur'an diturunkan."

Seusai shalat Subuh, sang guru bertanya, "bagaimana Shalatmu semalam?".

"Aku hanya mampu membaca satu Juz Guru, itupun dengan susah payah". Kata si murid.

"Masya Allah", kata sang Guru sambil memeluk muridnya dengan bangga, "Teruskan kebaikan itu Nak, dan nanti malam tolong hadirkan Allah 'Azza Wajalla dihadapanmu. Sungguh, selama ini pun sebenarnya Allah lah mendengar bacaanmu. Allah yang telah menurunkan Al-Qur'an. Dia selalu hadir di dekatmu. Jikapun engkau tak melihat Nya, Dia pasti melihatmu. Ingat baik-baik. Hadirkan Allah, karena dia mendengar dan menjawab apa yang kau baca!".

Keesokan harinya, ternyata pemuda itu jatuh sakit. Sang Guru pun datang menjenguk nya. "Ada apa denganmu?" Tanya Sang Guru.

Sang murid berlinang air mata. "Demi Allah, wahai guru, semalam aku tak mampu menyelesaikan bacaanku. Al Fatihah pun tak sanggup aku menamatkannya. Ketika sampai pada ayat, "Iyyaaka na'budu wa Iyyaaka nasta'iin" lidahku kelu. Aku merasa sedang berdusta. Dimulut aku ucapkan "hanya kepadaMu Yaa Allah aku menyembah dan hanya kepadaMu Yaa Allah aku meminta pertolongan". Tapi jauh didalam hatiku aku tahu bahwa aku sering memperhatikan yang selain Dia. Ayat itu tak mau keluar dari lisanku. Aku menangis dan tetap saja tak mampu menyelesaikannya".

"Nak...," Kata sang guru sambil berlinang air mata, "mulai hari ini engkaulah guruku. Dan Sungguh aku Ini Muridmu. Ajarkan padaku apa yang telah kau peroleh. Sebab meski aku membimbingmu di jalan itu, aku sendiri belum pernah sampai pada puncak pemahaman yang kau dapat hari ini."


Muhammad Edwan Ansari

*Kisah Seorang Guru yang memukul Anak Raja*

Dikisahkan, Pada zaman dahulu Ada Seorang raja yang mempunyai anak, kemudian raja  memanggil seorang Guru untuk mendidik anaknya tersebut.

Suatu hari, tiba-tiba Guru dari anak sang Raja itu memukul anak raja tanpa ada alasan, Guru tersebut memukul dengan keras padahal anak itu  tidak berbuat salah. Begitu kerasnya sehingga pukulan Guru nya tetap dalam ingatan anak raja hingga dia tumbuh dewasa. Saat itu, Anak sang raja tidak berani untuk mengadu kepada ayahnya karena takut semakin dimarahi.

Setelah beberapa tahun kemudian, ayah dari anak ini meninggal. Otomatis sebagai penerus, anak ini diangkat menjadi Raja menggantikan ayahnya.

Ketika sudah menjadi Raja anak ini ternyata masih menyimpan kenangan ketika dia dipukul oleh Gurunya tanpa sebab. Akhirnya Dia memanggil gurunya saat masih kecil, dia bertanya kepada Gurunya:

"Kenapa dulu saya tidak berbuat salah apapun dan kau memukulku?, Apalasanmu waktu itu memukulku?". Tanya anak yang menjadi Raja.

Maka Gurunya tersebut menjawab:

"Ini waktu yang sudah saya tunggu-tunggu, saya tau engkau pasti akan menanyakan perihal ini kepadaku dan saya tau pasti engkau kelak akan menjadi Raja menggantikan ayahmu seperti saat ini. Maka saat itu saya pukul dirimu supaya kau bisa merasakan bagaimana kalau di dzolim i padahal tidak mempunyai salah, supaya kau bisa merasakan bagaimana sakitnya di dzolimi oleh orang lain sehingga ketika kau telah menjadi seorang raja engkau tidak mendzolimi orang lain karena kau sudah tau rasanya didzolimi. Buktinya engkau dari kecil sampai sekarang pun tidak lupa waktu saya pukul".

Seketika muridnya yang menjadi raja awalnya memendam perasaan kepada gurunya, berterima kasih dan memberi hadiah kepada Gurunya yang telah mendidik nya itu.

Sumber : Habib  Ahmad Alhabsy Solo


Editor
Muhammad Edwan Ansari


Muhammad Edwan Ansari)

Manakala Imam Syafie sedang mengajar diantara para muridnya, tiba-tiba beliau berdiri saat seorang anak kecil berlarian di sekitar majelisnya mengajar. Terang saja, sikap Imam Syafie yang dikenal sebagai Mahaguru itu membingungkan para hadirin yang hadir.

Tak lama kemudian, Imam Syafie mengambil sikap duduk kembali dan seakan ingin menjawab pertanyaan yang berpendar dibenak para muridnya. "Mengapa seorang Mahaguru menghormati anak kecil? Dan siapa anak kecil itu? Apa keistemewaan anak itu?"

Sang Imam menjelaskan bahwa anak kecil itu hanyalah anak kecil pada umumnya. Mengapa alasan ia berdiri? Alasannya, bukan tentang siapa anak kecil itu, tapi siapa orangtua dari si anak kecil itu.

"Anak kecil itu putra guruku, sebab itulah aku menghormati guruku dengan cara menghormati putranya meski dia masih kecil."

Lihatlah bagaimana seorang imam besar, maha dari mahaguru besar, pendiri mazhab besar dalam bidang Fiqh, masih mau berkenan menghormati keturunan dari seorang yang dianggapnya sebagai guru.

Bukan gurunya, tapi putra dari gurunya!!

Bayangkan, lebih-lebih penghormatan beliau terhadap gurunya sendiri, Masya Allah tabarakallah. Lihatlah inilah yang dinamakan dengan ketinggian adab. Dan para ulama mengajari kita untuk mencontohnya.

Kita sepakat bahwa adab lebih mengungguli dari sekedar ilmu, sebab ketinggian adab hanya diperoleh dari kedalaman ilmu dan kedisiplinan melatih pembentukan akhlak tersebut secara konsisten dan istiqamah.

Ada sebagian orang yang katanya tidak ingin membentur-membenturkan antara adab dan ilmu. Tentu, pernyataan semacam ini seakan ingin menunjukkan dirinya arif bijaksana, namun sesungguhnya dia tidak mampu memahami serta mendudukan antara hakikat ilmu dan adab sesungguhnya.

Adab harus dan lebih diutamakan dari ilmu, itu suatu keniscayaan adanya. Sebab, Nabi Saw jauh sebelum menerima ilmu serta wahyu kenabian -semenjak kecil hingga dewasa- dibimbing serta dihiasi dengan akhlak dan adab yang mulia.

Bukankah gelar al-Amin diperoleh sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan Rasul? Bukankah Nabi Saw sendiri yang menyatakan, "Addabany Rabby. Rabb-ku telah membina adabku, budi pekertiku."

Apa pesan ibu Imam Malik manakala putranya akan berangkat merantau berguru menimba ilmu? Ibunya berpesan, "Dahulu kan adabmu sebelum kau belajar ilmu."

Semua adalah pengajaran tentang adab dan budi pekerti yang harus dipersiapkan sebelum ilmu pengetahuan.

Sekiranya ilmu pengetahuan itu intan permata yang bernilai tinggi, maka tentunya wadah tempat menampung dan menyimpannya haruslah kaca bening yang telah dipersiapkan secara bersih dan mengkilap, bukan? Itulah adab dan budi pekerti.

Al-Imam Ghazali di dalam Ihya Ulumuddin, pada bab Keutamaan Ilmu dan Ahli Ilmu menjelaskan bahwa derajat seorang yang alim dalam bidang ilmu, maqamnya perbandingan 700 derajat dengan kedudukan orang awam yang setiap maqamnya membutuhkan waktu 500 tahun perjalanan. Allahu akbar!!

Hari ini, banyak orang yang ingin berilmu dan mudah mendapatkan ilmu, meski tidak perlu duduk mengaji langsung dihadapan seorang guru, sebab boleh jadi ilmu pengetahuan melimpah di ruang maya.

Namun sayangnya, kadang nilai keberkahan kurang dan jauh berbeda dengan keilmuan para ulama dahulu. Boleh jadi persoalan dalam etika dan adab terhadap ilmu maupun ahli ilmu kurang mendapatkan perhatian di bagian ini.

Hari ini, alih-alih banyak orang yang mau menghormati anak keturunan ulama, ulamanya sendiri saja banyak yang tidak lagi dihargai, dihormati dan ditakzimi. Inilah mungkin penyebab hilangnya berkah ilmu dan keberkahan lainnya yang banyak tercabut dari akarnya.

Tentu, ulama yang kita maksudkan adalah ulama yang masih tetap istiqamah, ulama yang tetap konsisten menjaga muru'ah keulamaannya, ulama al-akhirah, al-ulama yakhsa ilallah, ulama yang tidak bisa dibeli suara dan hujjahnya.

Sudahlah jika kita tidak mampu menjadi ulama, mimimal menjadi seorang pembelajar ilmu yang tawadhu, merendahkan diri demi keberkahan ilmu, mengosongkan botol untuk diisi air kesejukan ilmu para ulama.

Jika tidak jadilah Mustami'an atau pendengar ilmu. Atau serendah-rendahnya pada posisi Muhibban atau golongan pencinta ilmu, pemulia ilmu, ahli ilmu dan ulama, pembela jika memang harus dibela, pelindung jika memang harus dilindungi, atau pengikut ulama yang masih tetap dijalur Ahlus Sunnah Waljamaah.

Jika tidak pula, maka jangan menjadi orang yang kelima, yaitu pembenci dan penghina ulama, jangan menjadi bagian penghujat para ulama, sebab derajatmu sangat jauh dibandingkan mereka.

Itulah perkataan Imam Al-Hasan Al-Bashri, dari Abu Ad-Darda’, ia berkata,

كُنْ عَالِمًا ، أَوْ مُتَعَلِّمًا ، أَوْ مُسْتَمِعًا ، أَوْ مُحِبًّا ، وَلاَ تَكُنْ الخَامِسَةَ فَتَهْلَكُ. قَالَ : فَقُلْتُ لِلْحَسَنِ : مَنِ الخَامِسَةُ ؟ قال : المبْتَدِعُ

“Jadilah seorang alim atau seorang yang mau belajar, atau seorang yang sekedar mau dengar, atau seorang yang sekedar suka, janganlah jadi yang kelima.”

Humaid berkata pada Al-Hasan Al-Bashri, yang kelima itu apa. Jawab Hasan, “Janganlah jadi ahli bid’ah (yang beramal asal-asalan tanpa panduan ilmu, pen.) (Al-Ibanah Al-Kubra karya Ibnu Batthah)

(Muhammad Edwan Ansari)




Mereka sibuk dengan Perdebatan..
Tapi tidak sibuk dengan keadaan Fakir Miskin
Tapi tidak Sibuk dengan keadaan  Yatim Piatu..

Apakah kita termasuk Pendusta Agama..
Apakah kita termasuk Durhaka kepada Allah..

Maksiat selalu tiap hari..
Tempat2 maksiat marak..
Kenapa kita diam..
Kenapa kita marah kepada perbedaan
Tetapi kita tidak marah dengan kemaksiatan..

Ada apa dengan hati kita..
Marah dengan datangnya kebaikan..
Tapi Diam dengan datangnya kemaksitan. .

Allah Azza wa Jalla berfirman dalam surah Al-A’raf ayat 165-166:

وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (164) فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ (165) فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَا نُهُوا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ (166) }

“Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, “Mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab, “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Rabb kalian dan supaya mereka bertakwa.” Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya. Kami katakan kepadanya, jadilah kalian kera yang hina.”

😭😭😭..
Ada yang salah dalam diri ini..

Ketahuilah Bumi, Laut dan Gunung setiap hari meminta kepada Allah menghancurkan manusia..

Hal Kebaikan yang kita kerjakan di dunia adalah Saksi kelak menuju Jannah Mu Ya Rabb

Ya Allah semoga kami tergolong Umat Rasulullah
Yang selamat..
Golongan Yang beriman dan Teguh Dalam Agama Islam..
Mudahan Kelak kita dikumpulkan bersama Rasulullah.. Aamiin..