Rabu, Juli 27, 2022

MANAQIB GURU KAPUH KANDANGAN

  MANAQIB GURU KAPUH KANDANGAN

Jelang haul pertama 30 juli 2022



Guru Kapuh merupakan sebutan populer dari Tuan Guru H. Ridwan binti Jauhariyah binti Tuan Guru H. Athaillah bin Tuan Guru H. Abdul Qadir bin Syekh Sa'duddin (Datu Taniran) bin Mufti Syekh Muhammad As'ad binti Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (Datu Kalampayan). Beliau lahir sekitar tahun 1966 dari isteri keempat Tuan Guru H. Hasan Basri yang bernama Jauhariyah dari desa Kapuh, Wasah, Kandangan. Beliau waktu kecil sering dibonceng ayahnya naik sepeda ketika sang ayah ceramah keliling dan bertemu sesama tuan guru hingga kelak beliau banyak dikenal murid dan teman-teman ayah beliau. Berarti sejak kecil beliau sudah dididik dan digembleng oleh ayah beliau sendiri sebagai ulama sekaligus aktivis dan pejuang. Perlu diketahui, ayah beliau cukup lama mondok di PP. Gontor, Ponorogo dan PP. Darussalam, Martapura bahkan dia menjadi murid kesayangan Tuan Guru H. Husin Qaderi_.


Selesai sekolah Tsanawiyah beliau melanjutkan menuntut ilmu mondok ke Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo memenuhi pesan ayahnya. Selesai di Gontor beliau belajar mendalami agama dengan Abah Guru atau Guru Sakumpul sambil mengajar di MAPK dan SMIH di Martapura. Di sini beliau belajar kitab kuning dengan cermat hingga sampai menjadi salah satu murid terkasih Abah Guru. Beliau mengatakan bahwa bersekolah di Gontor membuat kita paham secara aktif berbahasa Arab, sedang belajar kepada Abah Guru Sekumpul membuat kita memahami kitab kuning dan berbagai cabang ilmu keislaman. Suatu perpaduan yang bisa saling mengisi, saling melengkapi dan saling menguatkan satu sama lain.


Sebenarnya sebelum Abah Guru wafat beliau sudah diizinkan untuk membuka majlis di kampung beliau, tapi beliau baru berani membuka majlis setelah Abah Guru wafat pada tanggal 5 Rajab 1426H/2005M. Beliau berupaya membuka majlis yang mirip dengan majlis Abah Guru baik suasana, tempat maupun metode mengajar dan materi kitab yang dibaca hingga jamaah pengajian seperti berada di Sakumpul atau seperti kelanjutan majlis di Sakumpul belaka. Rupanya harapan beliau itu  jadi kenyataan, pengajian beliau banyak didatangi jamaah yang tadinya setia mengaji di Sakumpul baik dari Hulu Sungai maupun Banjarmasin. Nama majlis beliau adalah Majlis Ta'lim Al-Hidayah yang rutin memberikan tausiyah dua kali seminggu tiap hari Minggu dan Jum'at. Pada hari lainnya beliau mengabulkan hajat orang banyak baik menghadiri undangan salamatan, baarwahan, tasmiyah, walimahan maupun ceramah bahkan beliau menjabat sebagai Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) tingkat Kabupaten Hulu Sungai Selatan. 


Majlis ini hari demi hari berkembang pesat hingga Desa Kapuh yang dulu sepi menjadi sangat ramai terutama pada hari-hari beliau melakukan tausiyah. Bisa dikatakan Kapuh menjadi pusat pendidikan Islam di kota Kandangan sekaligus pusat bertumbuhnya ekonomi kerakyatan tempat peredaran dan perputaran uang yang demikian menggairahkan. Kebesaran Majlis Ta'lim Al-Hidayah sudah jauh-jauh hari diprediksi (diramal) oleh guru beliau Abah Guru Sakumpul yang menyatakan bahwa di daerah ini, akan muncul majlis pengajian yang besar melebihi besarnya majlis pengajian terdahulu yakni Majelis Pengajian Tuan Guru H. Muhammad Arifin bin Tuan Guru H. Atha'illah bin Tuan Guru H. Abdul Qadir bin Syekh Sa'duddin (Datu Taniran), Paman beliau sendiri, saudara dari ibu beliau. Prediksi Abah Guru Sakumpul ini, berlangsung saat beliau masih aktif mengaji di Sakumpul, Martapura. 


Tidak sampai di situ, beliau juga telah membangun pesantren yang sangat megah di sekitar desa Kapuh, tepatnya berada persis berseberangan dengan Majlis dan rumah beliau. Pesantren ini, penanganannya beliau serahkan pada anak beliau sendiri yang telah lulus dari salah satu pesantren terkenal di Jawa dan sudah berkeluarga.


Masyarakat Bumi Antaludin berduka. Seorang ulama kharismatik di HSS tutup usia

Al-Mukarram KH. Muhammad Riduan ( Guru Kapuh) , Meninggal Hari Rabu , 2 Muharram 1443 H / 11 Agustus 2021 M, sekitar pukul 09.05 Wita

Semoga Almarhum Mendapat Keampunan dari Allah dan Segala Amal Ibadahnya diterima Oleh Allah SWT dan dikumpulkan beserta Guru-Guru beliau didalam Surganya, beliau adalah tergolong orang-orang yang Shaleh, Aamiin



Ditulis ulang oleh : 


COPYRIGHT © Catatan Edwan Ansari 

Editor :

Muhammad Edwan Ansari, S.Pd.I


Dokumentasi Terlampir:


dukung terus syiar kami untuk ummat



Selasa, Juli 26, 2022

Habib Muhammad Nasir bin Usman Al Habsyi, Ketua Umum Khadimul Ummat Hulu Sungai Tengah

Habib Muhammad Nasir bin Usman Al Habsyi, Ketua Umum Khadimul Ummat Hulu Sungai Tengah

Habib Muhammad Nasir bin Usman Al Habsyi, Ketua Umum Khadimul Ummat Hulu Sungai Tengah

Muhammad Nasir bin Usman Al Habsyi, Lebih dikenal dengan sebutan Habib Nasir Al Habsyi sebagai pemimpin dan salah satu pendiri Khadimul Ummat Hulu Sungai Tengah, Ia dan Muhammad Edwan Ansari bersama beberapa orang lainnya mendirikan Khadimul Ummat

Khadimul Ummat adalah organisasi kerelawanan yang menisbatkan diri untuk melayani ummat dalam dibidang Dakwah, Sosial, kemanusiaan serta Pendidikan bukan partai politik atau underbow partai politik manapun, Ia bersifat independen

Habib Nasir Al Habsyi memulai pendidikan dari sekolah tingkat dasar hingga sekolah menengah atas.

Habib Nasir Al Habsyi melanjutkan belajar di Ma'had Al Khairat Bekasi Timur, yang diasuh oleh Al Habib Muhammad Naqib bin Syaikh Abi Bakar bin Salim, .

Adapun ilmu-ilmu yang di dalaminya antara lain: Ilmu Fiqh (Hukum ibadah), Ilmu Tafsir Al Quran, Ilmu Hadits, Ilmu Nahwu, Ilmu Sejarah, Ilmu Sastra arab, Ilmu Tauhid, Ilmu Tasawuf dan Ilmu dakwah.

Habib Nasir Al Habsyi menimba ilmu kepada beberapa habaib di antaranya Al Ustadz Al Habib Nagib bin Syekh Abubakar bin Salim (Pesantren Al-Khairat)

Guru yang sangat berpengaruh bagi beliau adalah Al Ustadz Al Habib Nagib bin Syekh Abubakar bin Salim (Pesantren Al-Khairat)

ditulis : Tim Humas Relawan Khadimul Ummat


Senin, Juli 25, 2022

MENGENAL KH MAHFUZ AMIN, SOSOK PENDIRI PONPES IBNUL AMIN PAMANGKIH

MENGENAL KH MAHFUZ AMIN, SOSOK PENDIRI PONPES IBNUL AMIN PAMANGKIH



KH. Mahfuz Amin putra tuan Guru H. Muhammad Ramli putra Tuan guru H. Muhammad Amin. Ia adalah putra pertama dari Sembilan bersaudara, pasangan Tuan guru H. Muhammad Ramli dan Hj. Malihah, Hj. Rapiah dan terakhir Tuan guru H. Muhammad Zuhdi. Mahfuz Amin dilahirkan di Pamangkih pada malam selasa tanggal 23 Rajab 1332 (sekitar tahun 1914 M)



"Beliau pertama kali dididik dan dibesarkan ditengah-tengah keluarga yang religius, sebab orang tuanya yang bernama H. Muhammad Ramli adalah ulama berpengaruh dan dikenal mempunyai ilmu agama yang dalam. Tidak heran kalau di Pamangkih, orang tua dari Tuan guru H. Muhammad Ramli yakni Tuan guru H. Muhammad Amin di sebut Tuan guru besar, sedangkan Tuan guru H. Muhammad Ramli dikenal dengan Tuan guru Tuha, karena ditangannyalah kata putus dalam berbagai persoalan, baik yang menyangkut bidang agama maupun problem sosial kemasyarakatan lainnya." tutur Wakil Pengasuh Ponpes Ibnul Amin, H Muhammad Arsyad pada saat pembacaan manaqib perinagatan Haul ke 20 KH Mahfuz Amin, Rabu (15/10).


Dalam usia 6 tahun, KH Mahfuz Amin sudah belajar al-Qur’an tahap pertama, di bawah pengajaran langsung orang tuanya. Pendidikan formal ia tempuh di volk School selama tiga tahun di Pamangkih yang kemudian dilanjutkan ke Vervolk School selama 2 tahun di Desa Banua Kupang.


Selain itu beliau tidak pernah belajar di sekolah formal lainnya. Untuk selanjutnya ia menempuh pendidikan nonformal berupa pengajian agama yang diberikan oleh orang tuanya sendiri disamping mengikuti pengajian dengan Tuan guru Muda H. Hasbullah putra H. Abdur Rahim di dekat Mesjid Jami’ Pamangkih. Selain itu ia juga belajar dengan Tuan guru H. Muhammad Ali Bayangan dan Tuan guru H. Mukhtar di Desa Negara.


Tahun 1938, saat berusia 24 tahun ia berangkat ke tanah suci mekkah al-Mukarramah untuk menunaikan ibadah haji seraya memperdalam ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama.Setelah 3 tahun menimba ilmu pengetahuan di Tanah Suci, ia pulang ke tanah air dan tepat pada tanggal 8 Oktober 1941 tiba kembali di kampung kelahirannya. 


20 tahun berkecimpung dimasyarakat, bermacam pengetahuan dan pengalaman telah diperoleh, pahit manisnya kehidupan telah dilalui, namun cita-cita ingin menyebarkan dan ingin meninggikan agama Allah tidak pernah padam. Hingga pada saatnya pada tahun 1958, fajar cita-cita yang diidamkan mulai tebit bersinar di Desa Pamangkih. Lembaran-lembaran kitab kuning yang mulai siran kembali cerah dengan berdirinya sebuah pondok pesantren yang bernama “Ibnul Amin” .Tidak berhenti sampai disitu, pada tahun1975 ia juga membangun pondok pesantren Ibnul Amin Putri untuk mencetak kader-kader muslimah yang shalehah.


Selama 37 tahun berjuang untuk membangun serta membina pondok pesantren Ibnul Amin dan santri-santrinya, dari hari kehari lembaran hidupnya dihabiskan untuk lii’laai Kalimaatillaah hingga usai senja.,Pada hari Minggu, jam 08.45 tanggal 21 Dzulhijjah 1415 H/21 Mei 1995 beliau menghembuskan nafasnya yang  terakhir dalam pangkuan anak istri dan murid-murid beliau dalam usia 82 tahun 4 bulan 28 hari karena sakit paru-paru.


Semoga kita mendapatkan barokah dari beliau dari para guru-guru kita.. aamiin


 Ditulis ulang oleh : 

Editor :

Muhammad Edwan Ansari, S.Pd.I

COPYRIGHT © Catatan Edwan Ansari 


Senin, Juli 18, 2022

Habib Muhammad Nasir bin Usman Al Habsyi, Ketua Umum Khadimul Ummat Hulu Sungai Tengah

Habib Muhammad Nasir bin Usman Al Habsyi, Ketua Umum Khadimul Ummat Hulu Sungai Tengah

Habib Muhammad Nasir bin Usman Al Habsyi, Ketua Umum Khadimul Ummat Hulu Sungai Tengah

Muhammad Nasir bin Usman Al Habsyi, Lebih dikenal dengan sebutan Habib Nasir Al Habsyi sebagai pemimpin dan salah satu pendiri Khadimul Ummat Hulu Sungai Tengah, Ia dan Muhammad Edwan Ansari bersama beberapa orang lainnya mendirikan Khadimul Ummat

Khadimul Ummat adalah organisasi kerelawanan yang menisbatkan diri untuk melayani ummat dalam dibidang Dakwah, Sosial, kemanusiaan serta Pendidikan bukan partai politik atau underbow partai politik manapun, Ia bersifat independen

Habib Nasir Al Habsyi memulai pendidikan dari sekolah tingkat dasar hingga sekolah menengah atas.

Habib Nasir Al Habsyi melanjutkan belajar di Ma'had Al Khairat Bekasi Timur, yang diasuh oleh Al Habib Muhammad Naqib bin Syaikh Abi Bakar bin Salim, .

Adapun ilmu-ilmu yang di dalaminya antara lain: Ilmu Fiqh (Hukum ibadah), Ilmu Tafsir Al Quran, Ilmu Hadits, Ilmu Nahwu, Ilmu Sejarah, Ilmu Sastra arab, Ilmu Tauhid, Ilmu Tasawuf dan Ilmu dakwah.

Habib Nasir Al Habsyi menimba ilmu kepada beberapa habaib di antaranya Al Ustadz Al Habib Nagib bin Syekh Abubakar bin Salim (Pesantren Al-Khairat)

Guru yang sangat berpengaruh bagi beliau adalah Al Ustadz Al Habib Nagib bin Syekh Abubakar bin Salim (Pesantren Al-Khairat)

ditulis : Muhammad Edwan Ansari


Jumat, Juli 15, 2022

Keberkahan bukan diukur dari seberapa besar penghasilan kita tapi bagaimana cara kita dalam mencari nya dan mensyukurinya

Keberkahan bukan diukur dari seberapa besar penghasilan kita tapi bagaimana cara kita dalam mencari nya dan mensyukurinya



Kita kadang terlalu terobsesi menjadi orang hebat, menjadi orang yang paling terdepan dan selalu beranggapan bahwa untuk jadi orang hebat maka kita mesti punya status.


Padahal tidak selalu seperti itu..

Kadang hal hal kecil pun manfaatnya bisa sangat besar bila dilakukan dengan baik dan totalitas.


Jika hari ini kita mendapatkan pekerjaan kecil yang dimata manusia itu remeh, janganlah hal itu sampai membuat kita merasa tidak berguna dan merasa minder. Sebab bukan besar kecilnya yang penting, tapi seberapa ikhlas kita menjalankan pekerjaan kita itu.


Buat apa kita jadi pejabat kalau tidak punya etika? Buat apa kita jadi manager perusahaan kalau semuanya dilakukan dengan tidak amanah dan korupsi? Buat apa kita punya pekerjaan dengan gaji yang sangat besar kalau semuanya kita dapatkan dari mengambil hak hak orang lain?


Bukan jabatan yang akan membuat kita dipandang Allah, tapi apa yang ada di dalam hati yang akan menjadikan Allah sayang pada kita..


Selama semuanya dilakukan dengan hati senang, niat yang ikhlas dan totalitas dalam bekerja, kenapa malu dengan pekerjaanmu?


Semoga yang hari ini masih merendahkan pekerjaan orang lain bisa sadar bahwa justru dengan memandang orang lain rendah maka saat itu kitalah yang lebih remeh dan lebih rendah.




di Buncu Palatar, Sambil Mambaiki Mesin Banyu yg Balum Baik



Sabtu, 16 Juli 2022

-Edwan Ansari-

Rakyat Merdeka

Rabu, Juli 13, 2022

Ini adalah makam Ayahanda dari guru sekumpul(SYEKH Abdul Ghani) di keraton. Meskipun baru tinggal di kampung Keraton, namun keluarga Abdul Ghani, tidak merasakan sebagai orang baru disini, karena memang kebanyakan penduduk kampung ini adalah kerabat dan famili. Bahkan menurut cerita, Abdul Ghani sendiri di lahirkan di kampung Keraton ini. Dan kepindahan mereka ketempat baru ini bukan berarti mereka menempati tempat tinggal atau rumah yang baru. Tapi mereka justru menempati rumah yang cukup tua dan lapuk, dengan kondisi tanpa kamar dan memiliki atap yang bocor dan bolong-bolong. Dengan keadaan yang sangat memprihatinkan itu, jika hujan turun, lantai rumah itu nyaris banjir dengan air, yang jatuh dari atap yang bolong itu. Dan mau tidak mau nyenyaknya tidurpun seringkali terganggu dengan turunnya hujan. Tidak jarang Abdul Ghani harus berdiri dan melebarkan badannya untuk melindungi anak istrinya dari terkena tetesan air hujan, atau mereka sama-sama berdiri di pojok rumah untuk menghindari air yang jatuh dari atap yang bolong. Sungguh suatu kondisi yang sangat memprihatinkan, dan ini dirasakan keluarga Abdul Ghani selama bertahun-tahun, tanpa sedikitpun ada keluhan dan sangat pantang untuk diketahui oleh orang lain. BERLALUNYA MASA PENJAJAHAN JEPANG Masa penjajahan Jepang pun telah berlalu, dan kini tiba masa Kemerdekaan. Usia Zaini muda pun kini beringsut menjadi seorang bocah periang, namun nampaknya tidak terlalu hobi bermain. Meskipun demikian, sesekali ia mencoba bermain juga disekitar rumahnya yang sederhana itu. Tetapi selalu tidak lama, apalagi hingga larut, ia selalu bergegas pulang. Zaini muda memang lebih banyak tinggal dirumah, bersama kedua orang tuanya dan neneknya Salbiyah. Lebih-lebih kini ia telah punya adik baru, yaitu Siti Rahmah. *Catatan : Siti Rahmah adalah ibunda dari H. Ahmad. ( keponakan dari Abah Guru Sekumpul ) H. Ahmad adalah yang biasa membaca Qasidah / Syair menggiringi Abah guru Sekumpul. ( sekarang bertambah dengan adanya Ustadz Tamami & Ustadz Fahmi ( Kakak beradik ) Hari-harinya memang lebih banyak ia pergunakan untuk membantu ayahnya, yang berprofesi sebagai penggosok intan, sambil meringankan beban orang tuanya. Nampaknya, meskipun berprofesi sebagai penggosok intan, namun karena hanya sebagai tenaga upahan, usaha Abdul Ghani ini seringkali tidak mencukupi untuk keperluan sehari-hari seluruh keluarga. Tidak ada pilihan lain, keluarga ini harus merasakan pahit getirnya hidup dalam serba kekurangan. Lebih-lebih bagi Zaini muda yang saat itu masih bocah, tentu sikap ketabahan dan kesabarannya di uji, hidup ditengah-tengahkeluarga miskin diawal-awal masa Kemerdekaan. Dan sungguh hal yang tidak lazim terjadi pada keluarga ini... Tidak kurang dari 14 tahun makan sayur yang dibikin dari "gedabung pisang" ( sejenis bongkahan yang ada ditengah batang pisang ), dan sekitar 8 tahun makan nasi bungkus, yang mana nasi bungkus itu dimakan satu bungkus oleh 4 orang. Subhanallah... Satu kondisi yang boleh jadi tidak pernah di rasakan oleh keluarga lain di masa itu. Meski demikian, walau kondisi semiskin ini, tidaklah membuat mereka mengeluh, apalagi meminta-minta. Seluruh keluarga nampaknya telah konsensus dengan 3 aturan yang tidak tertulis yaitu : 1. Tidak boleh sekali-kali mengeluh 2. Pantang segala musibah di ketahui oleh orang lain 3. Dan dilarang untuk berhutang Melihat kondisi memprihatinkan ini, Abdul Ghani sebagai penopang utama kondisi ekonomi rumah tangga juga tidak tinggal diam. Beliau akhirnya mencoba mengadu nasib, dengan harapan di masa depan ekonomi rumah tangganya akan meningkat, dengan mengembara ketanah Jawa. Tujuan kepulau Jawa ini untuk mencari pekerjaan yang cukup layak dan halal. Beberapa lama kampung Keraton ia tinggalkan. Namun, meski sudah kemana-mana mencoba peruntungan, tapi mujur belum berpihak kepadanya. Kepergiannya itu tidak menghasilkan apa-apa seperti yang diharapkan. Justru sepulangnya dari Jawa, Abdul Ghani di uji lagi dengan cobaan yang cukup berat, putera bungsu kesayangannya yang sedang rame-ramenya ditimang, bernama Ahmad Ghazali meninggal dunia. *Catatan : Ahmad Ghazali dimakamkan di samping Kubah ayahnda'nya di Keraton ( tapi tidak dimakamkan di dalam kubah, melainkan di luar kubah, karena saat itu belum ada Kubah seperti sekarang ) Nisannya seukuran untuk Nisan anak kecil. Semoga Allah SWT selalu merahmatinya. Aamiin. Sekembalinya Abdul Ghani dari pulau Jawa, ia kembali menekuni usahanya semula, yaitu menjadi buruh penggosok intan, yang selalu dibantu oleh Zaini muda ini. Pekerjaan ini meski tidak mencukupi kebutuhan keluarga, tapi apa boleh buat, pekerjaan lain yang cukup layak juga tidak ada. Kondisi prihatin ini terus berlanjut, seakan ujian ini tidak ingin berhenti untuk terus bersama keluarga Abdul Ghani. ZAINI MUDA MULAI BERSEKOLAH - DAN SERINGKALI DI EJEK DAN DI LECEHKAN OLEH SEBAGIAN KAWAN-KAWANNYA Dan ini juga dirasakan oleh Zaini muda hingga memasuki usia sekolah bahkan sampai berumah tangga. Di usia sekolah, efek dari kondisi miskin ini, Zaini muda seringkali di ejek dan di lecehkan oleh sebagian kawan-kawannya. Dengan pakaian yang lusuh, dan cuma selembar dibadan, dengan sarung yang sudah kadaluarsa/tidak layak pakai, ditambah sandal terompah yang terbuat dari kayu menjadi bahan ejekan dari kawan-kawannya. Tidak jarang anak-anak itu meledeknya, sambil berucap : "ASSALAMU'ALAIKUM YA WALIYYALLAH". DIDIKAN DISIPLIN DAN AKHLAK YANG SANGAT KETAT Salah satu yang berperan paling penting dalam membentuk karakter dan kepribadian Al-'Alimul Allamah Syekh Muhammad Zaini sehingga beliau menjadi orang besar, adalah ayahnda beliau sendiri yaitu Abdul Ghani. Betapa tidak, Abdul Ghani memang merupakan pribadi yang dikenal Sholeh, sangat peramah, pemurah, suka menolong dan baik hati. Namun dalam mendidik anak, yang diharapkan menjadi anak yang Sholeh, beliau senantiasa bersikap tegas, disiplin dan sangat ketat dalam membimbing akhlak anak-anaknya, terutama terhadap putera kesayangannya satu-satunya ini. Ini dibuktikan saat Zaini muda masih belajar Al-Qur'an kepada Guru Hasan di Keraton, dari mulai berangkat mengaji menuju rumah Guru Hasan, *Catatan : Pada saat belajar ini lah, seperti yang Abah Guru sering sampaikan di Pengajian beliau, bahwa walaupun keadaan keluarga beliau juga sangat kekurangan pada waktu itu, akan tetapi ayahnda dan ibunda beliau selalu menyangui Zaini muda, apabila Zaini muda ingin mengaji dengan ( membawakan ) minyak tanah yang di masukkan kedalam botol kecil sebagai hadiah kepada Guru beliau di waktu itu. SubhanaLLah..! Hingga pulang, waktunya selalu di hitung dan di teliti. Jika lebih dari waktu yang semestinya, sepulangnya pasti ditanya, kenapa pulangnya terlambat. Begitu pula saat pulang lebih cepat, pasti ditanyakan alasannya. Suatu ketika Zaini muda bersama kawan-kawan beliau pulang lebih cepat dari biasanya, lalu sang ayah bertanya kenapa? Zaini menjelaskan kepada ayah beliau bahwa mereka di beritahu anak Guru, bahwa pengajian libur karena Guru ada kesibukan. Apa kata Abdul Ghani? : "KALU NANG MAMADAHAKAN LAIN GURU, MAKA KADA ASI, AYU MANGAJI, NYAWA BEBULIK!" ( kalau yang memberitahukan bahwa libur adalah bukan Guru langsung, maka jangan langsung di percaya, ayo belajar, kamu kembali ) *Catatan : Abdul Ghani mendidik Zaini muda langsung dengan praktek di lapangan, apabila kamu mendengar suatu kabar yang belum pasti akan kebenarannya, maka janganlah kamu langsung percayai. Gali informasi yang sebenarnya terlebih dahulu langsung ke tempat berita itu dikhabarkan. Agar terhindar hati dari berprasangka yang tidak-tidak ( haqqul yakin ) Kata sang ayah menyuruh anaknya Zaini, kembali kerumah Gurunya, padahal pengajian memang sedang di liburkan. Di kesempatan lain, ketika itu Zaini muda sedang sendirian dirumah, tiba-tiba beliau kedatangan tamu, famili dari Kandangan. Melihat tamu yang datang ini, lebih-lebih ini dari jauh, sedang yang disuguhkan tidak ada. Maka Zaini muda pun berinisiatif untuk berhutang atau meminjam kopi kepada tetangga. Sepulangnya tamu itu, tidak berapa lama, Abdul Ghani pulang dari bekerja dan melihat ada cangkir kopi diruang tamu. Beliau langsung menanyakan tentang siapa yang datang dan hal ihwal kopi itu, padahal dirumah itu tidak ada persediaan kopi. Zaini muda menjelaskan seadanya bahwa kopi itu adalah berhutang kepada tetangga. Sang ayah merasa terkejut dan dengan bijak menasehati : "BUKANNYA AKU MENGHARAMKAN BERHUTANG, TAPI DALAM BERHUTANG ITU ADA DUA KESALAHAN, PERTAMA : MENG'ANGGAP TUHAN KADA CUKUP ( TIDAK CUKUP ) MEMBERI RIZKI, KEDUA : SEAKAN DIA ( YANG BERHUTANG ) PASTI BERUMUR PANJANG". Zaini muda tentu sangat mafhum ( faham ) dengam nasehat itu, dan beliau meminta maaf dan ampun kepada ayahnda beliau. Di saat yang lain, ketika Zaini muda masih di usia anak-anak, seorang teman mengajak beliau jalan-jalan. Mereka berdua lalu sepakat untuk kepasar. Sesampainya di pasar, tanpa diduga teman itu memaksa Zaini muda untuk masuk kedalam bioskop. Semula Zaini sudah mengelak, namun tidak bisa, Zaini terpaksa masuk. Namun saat masuk, tiba-tiba listrik padam, sehingga pemutaran film berhenti seketika. Sepulang dari pasar, ternyata ayahnda beliau sudah tau ( kasyaf ) apa yang terjadi dengan Zaini. Zaini muda lalu di hukum dengan di ikat di tiang rumah, sambil di dekatkan sebuah pedupaan yang dinyalakan kemuka beliau, sehingga terasa panas. Pada saat yang sama tiba-tiba diluar terjadi angin ribut, angin bertiup sangat kencang. Nenek Salbiyah melihat cucunya mendapat hukuman seperti itu, merasa kasihan dan meminta Abdul Ghani untuk menyudahi hukuman itu. Hukuman itupun di hentikan, dan seketika itu pula angin ribut itu berhenti. Dari beberapa kejadian itu menunjukkan bahwa didikan disiplin dan akhlak dari orang tua Guru Zaini memang sangat ketat, sehingga sangat membekas dalam jiwa dan kepribadian beliau. Apalagi sejak belia, Guru Zaini hidup dan bergaul selalu ditengah orang-orang yang Sholeh, yang sangat kuat dan fanatik dalam memegang prinsip-prinsip agama. Sejak kecil Guru Zaini hidup bersama ayah bundanya, juga neneknya Salbiyah, ditambah pula dengan paman beliau Al-'Allamah Al-Arif Billah Syekh Muhammad Semman Mulia. Dari rumah tangga yang sederhana namun penuh dengan keberkahan, empat figur itulah yang senantiasa mempengaruhi jiwanya, menaburkan benih-benih Akhlakul Karimah, ilmu, hikmah, dan ma'rifah kedalam rohnya. Waktu dan keseharian Guru Zaini lebih banyak di isi dengan bergaul bersama mereka, sehingga hampir tidak ada kesempatan untuk bermain atau berbuat hal yang sia-sia. Begitulah, memang seakan-akan Guru Zaini telah di iming-iming dan di persiapkan untuk menjadi orang besar dan mulia sejak dini. Sehingga tidak berlebihan, jika suatu saat Al-Mukarram Al-'Allamah KH. Zainal Ilmi, Dalam Pagar mengatakan dengan Mukasyafah-nya yang tajam kepada Salbiyah : "DIRUMAH PUN, SAIKUNG PUN, JAGAILAH" ( dirumah puun, ada seorang puun, jaga lah dia ) *Pun artinya penekanan kata dengan perasaan ta'dzhim dalam bahasa Banjar. *Catatan : Maksudnya dirumah nenek Salbiyah ada seseorang yang memiliki maqam dan menjadi pilihan Allah atau Waliyullah. KH. Zainal Ilmi ini diyakini sebagai Ulama yang Kasyaf, berbagai kejadian menunjukkan hal itu. Beliau merupakan keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary dan masih sepupu dengan nenek Salbiyah, seorang murid dari Syekh Abdurrahman Siddiq Sapat, Riau. Di saat yang lain, ada orang bertanya kepada Al-'Allamah Syekh Muhammad Semman, : SIAPA DI ANTARA KEMANAKAN PIAN NANG CAGAR JADI ULAMA BESAR?" ( siapa di antara keponakan anda yang akan jadi Ulama besar nantinya? ) Dijawab oleh beliau : "ANANG" ( maksudnya Guru Zaini ). Salah seorang Ulama besar Martapura bahkan menyebutkan saat Guru Zaini masih sangat muda : "ORANG INI KAENA JADI ORANG BESAR, BESAR BANAR". ( orang ini nantinya akan jadi orang besar, sangat besar sekali ) Buku : "Figur Kharismatik - Abah Guru Sekumpul". Tulisan oleh : KH. M. Anshary El-Kariem. Ditulis ulang ke FB oleh : Aulia Rahman Al-Banjari.

 Ini adalah makam Ayahanda dari guru sekumpul(SYEKH  Abdul Ghani) di keraton.


Meskipun baru tinggal di kampung Keraton, namun keluarga Abdul Ghani, tidak merasakan sebagai orang baru disini, karena memang kebanyakan penduduk kampung ini adalah kerabat dan famili.


Bahkan menurut cerita, Abdul Ghani sendiri di lahirkan di kampung Keraton ini. 


Dan kepindahan mereka ketempat baru ini bukan berarti mereka menempati tempat tinggal atau rumah yang baru. Tapi mereka justru menempati rumah yang cukup tua dan lapuk, dengan kondisi tanpa kamar dan memiliki atap yang bocor dan bolong-bolong.


Dengan keadaan yang sangat memprihatinkan itu, jika hujan turun, lantai rumah itu nyaris banjir dengan air, yang jatuh dari atap yang bolong itu. Dan mau tidak mau nyenyaknya tidurpun seringkali terganggu dengan turunnya hujan. Tidak jarang Abdul Ghani harus berdiri dan melebarkan badannya untuk melindungi anak istrinya dari terkena tetesan air hujan, atau mereka sama-sama berdiri di pojok rumah untuk menghindari air yang jatuh dari atap yang bolong.


Sungguh suatu kondisi yang sangat memprihatinkan, dan ini dirasakan keluarga Abdul Ghani selama bertahun-tahun, tanpa sedikitpun ada keluhan dan sangat pantang untuk diketahui oleh orang lain.


BERLALUNYA MASA PENJAJAHAN JEPANG


Masa penjajahan Jepang pun telah berlalu, dan kini tiba masa Kemerdekaan. Usia Zaini muda pun kini beringsut menjadi seorang bocah periang, namun nampaknya tidak terlalu hobi bermain.


Meskipun demikian, sesekali ia mencoba bermain juga disekitar rumahnya yang sederhana itu. Tetapi selalu tidak lama, apalagi hingga larut, ia selalu bergegas pulang. Zaini muda memang lebih banyak tinggal dirumah, bersama kedua orang tuanya dan neneknya Salbiyah. Lebih-lebih kini ia telah punya adik baru, yaitu Siti Rahmah. 


*Catatan : Siti Rahmah adalah ibunda dari H. Ahmad. ( keponakan dari Abah Guru Sekumpul ) H. Ahmad adalah yang biasa membaca Qasidah / Syair menggiringi Abah guru Sekumpul. ( sekarang bertambah dengan adanya Ustadz Tamami & Ustadz Fahmi ( Kakak beradik )


Hari-harinya memang lebih banyak ia pergunakan untuk membantu ayahnya, yang berprofesi sebagai penggosok intan, sambil meringankan beban orang tuanya. Nampaknya, meskipun berprofesi sebagai penggosok intan, namun karena hanya sebagai tenaga upahan, usaha Abdul Ghani ini seringkali tidak mencukupi untuk keperluan sehari-hari seluruh keluarga. Tidak ada pilihan lain, keluarga ini harus merasakan pahit getirnya hidup dalam serba kekurangan. 


Lebih-lebih bagi Zaini muda yang saat itu masih bocah, tentu sikap ketabahan dan kesabarannya di uji, hidup ditengah-tengahkeluarga miskin diawal-awal masa Kemerdekaan. Dan sungguh hal yang tidak lazim terjadi pada keluarga ini...


Tidak kurang dari 14 tahun makan sayur yang dibikin dari "gedabung pisang" ( sejenis bongkahan yang ada ditengah batang pisang ), dan sekitar 8 tahun makan nasi bungkus, yang mana nasi bungkus itu dimakan satu bungkus oleh 4 orang.


Subhanallah... 


Satu kondisi yang boleh jadi tidak pernah di rasakan oleh keluarga lain di masa itu. Meski demikian, walau kondisi semiskin ini, tidaklah membuat mereka mengeluh, apalagi meminta-minta.


Seluruh keluarga nampaknya telah konsensus dengan 3 aturan yang tidak tertulis yaitu :


1. Tidak boleh sekali-kali mengeluh

2. Pantang segala musibah di ketahui oleh orang lain

3. Dan dilarang untuk berhutang


Melihat kondisi memprihatinkan ini, Abdul Ghani sebagai penopang utama kondisi ekonomi rumah tangga juga tidak tinggal diam. Beliau akhirnya mencoba mengadu nasib, dengan harapan di masa depan ekonomi rumah tangganya akan meningkat, dengan mengembara ketanah Jawa.


Tujuan kepulau Jawa ini untuk mencari pekerjaan yang cukup layak dan halal. Beberapa lama kampung Keraton ia tinggalkan. Namun, meski sudah kemana-mana mencoba peruntungan, tapi mujur belum berpihak kepadanya. Kepergiannya itu tidak menghasilkan apa-apa seperti yang diharapkan. Justru sepulangnya dari Jawa, Abdul Ghani di uji lagi dengan cobaan yang cukup berat, putera bungsu kesayangannya yang sedang rame-ramenya ditimang, bernama Ahmad Ghazali meninggal dunia.


*Catatan : Ahmad Ghazali dimakamkan di samping Kubah ayahnda'nya di Keraton ( tapi tidak dimakamkan di dalam kubah, melainkan di luar kubah, karena saat itu belum ada Kubah seperti sekarang ) Nisannya seukuran untuk Nisan anak kecil. 


Semoga Allah SWT selalu merahmatinya. Aamiin.


Sekembalinya Abdul Ghani dari pulau Jawa, ia kembali menekuni usahanya semula, yaitu menjadi buruh penggosok intan, yang selalu dibantu oleh Zaini muda ini. Pekerjaan ini meski tidak mencukupi kebutuhan keluarga, tapi apa boleh buat, pekerjaan lain yang cukup layak juga tidak ada. Kondisi prihatin ini terus berlanjut, seakan ujian ini tidak ingin berhenti untuk terus bersama keluarga Abdul Ghani.


ZAINI MUDA MULAI BERSEKOLAH - DAN SERINGKALI DI EJEK DAN DI LECEHKAN OLEH SEBAGIAN KAWAN-KAWANNYA


Dan ini juga dirasakan oleh Zaini muda hingga memasuki usia sekolah bahkan sampai berumah tangga. Di usia sekolah, efek dari kondisi miskin ini, Zaini muda seringkali di ejek dan di lecehkan oleh sebagian kawan-kawannya. Dengan pakaian yang lusuh, dan cuma selembar dibadan, dengan sarung yang sudah kadaluarsa/tidak layak pakai, ditambah sandal terompah yang terbuat dari kayu menjadi bahan ejekan dari kawan-kawannya. 


Tidak jarang anak-anak itu meledeknya, sambil berucap : "ASSALAMU'ALAIKUM YA WALIYYALLAH".


DIDIKAN DISIPLIN DAN AKHLAK YANG SANGAT KETAT


Salah satu yang berperan paling penting dalam membentuk karakter dan kepribadian Al-'Alimul Allamah Syekh Muhammad Zaini sehingga beliau menjadi orang besar, adalah ayahnda beliau sendiri yaitu Abdul Ghani. Betapa tidak, Abdul Ghani memang merupakan pribadi yang dikenal Sholeh, sangat peramah, pemurah, suka menolong dan baik hati. Namun dalam mendidik anak, yang diharapkan menjadi anak yang Sholeh, beliau senantiasa bersikap tegas, disiplin dan sangat ketat dalam membimbing akhlak anak-anaknya, terutama terhadap putera kesayangannya satu-satunya ini.


Ini dibuktikan saat Zaini muda masih belajar Al-Qur'an kepada Guru Hasan di Keraton, dari mulai berangkat mengaji menuju rumah Guru Hasan,


*Catatan : Pada saat belajar ini lah, seperti yang Abah Guru sering sampaikan di Pengajian beliau, bahwa walaupun keadaan keluarga beliau juga sangat kekurangan pada waktu itu, akan tetapi ayahnda dan ibunda beliau selalu menyangui Zaini muda, apabila Zaini muda ingin mengaji dengan ( membawakan ) minyak tanah yang di masukkan kedalam botol kecil sebagai hadiah kepada Guru beliau di waktu itu. 


SubhanaLLah..!


Hingga pulang, waktunya selalu di hitung dan di teliti. Jika lebih dari waktu yang semestinya, sepulangnya pasti ditanya, kenapa pulangnya terlambat. Begitu pula saat pulang lebih cepat, pasti ditanyakan alasannya.


Suatu ketika Zaini muda bersama kawan-kawan beliau pulang lebih cepat dari biasanya, lalu sang ayah bertanya kenapa? Zaini menjelaskan kepada ayah beliau bahwa mereka di beritahu anak Guru, bahwa pengajian libur karena Guru ada kesibukan. Apa kata Abdul Ghani? :


"KALU NANG MAMADAHAKAN LAIN GURU, MAKA KADA ASI, AYU MANGAJI, NYAWA BEBULIK!"


( kalau yang memberitahukan bahwa libur adalah bukan Guru langsung, maka jangan langsung di percaya, ayo belajar, kamu kembali )


*Catatan : Abdul Ghani mendidik Zaini muda langsung dengan praktek di lapangan, apabila kamu mendengar suatu kabar yang belum pasti akan kebenarannya, maka janganlah kamu langsung percayai. Gali informasi yang sebenarnya terlebih dahulu langsung ke tempat berita itu dikhabarkan. Agar terhindar hati dari berprasangka yang tidak-tidak ( haqqul yakin )


Kata sang ayah menyuruh anaknya Zaini, kembali kerumah Gurunya, padahal pengajian memang sedang di liburkan.


Di kesempatan lain, ketika itu Zaini muda sedang sendirian dirumah, tiba-tiba beliau kedatangan tamu, famili dari Kandangan. Melihat tamu yang datang ini, lebih-lebih ini dari jauh, sedang yang disuguhkan tidak ada. Maka Zaini muda pun berinisiatif untuk berhutang atau meminjam kopi kepada tetangga.


Sepulangnya tamu itu, tidak berapa lama, Abdul Ghani pulang dari bekerja dan melihat ada cangkir kopi diruang tamu. Beliau langsung menanyakan tentang siapa yang datang dan hal ihwal kopi itu, padahal dirumah itu tidak ada persediaan kopi. 


Zaini muda menjelaskan seadanya bahwa kopi itu adalah berhutang kepada tetangga. Sang ayah merasa terkejut dan dengan bijak menasehati :


"BUKANNYA AKU MENGHARAMKAN BERHUTANG, TAPI DALAM BERHUTANG ITU ADA DUA KESALAHAN, 


PERTAMA : MENG'ANGGAP TUHAN KADA CUKUP ( TIDAK CUKUP ) MEMBERI RIZKI, 


KEDUA : SEAKAN DIA ( YANG BERHUTANG ) PASTI BERUMUR PANJANG".


Zaini muda tentu sangat mafhum ( faham ) dengam nasehat itu, dan beliau meminta maaf dan ampun kepada ayahnda beliau.


Di saat yang lain, ketika Zaini muda masih di usia anak-anak, seorang teman mengajak beliau jalan-jalan. Mereka berdua lalu sepakat untuk kepasar. Sesampainya di pasar, tanpa diduga teman itu memaksa Zaini muda untuk masuk kedalam bioskop. Semula Zaini sudah mengelak, namun tidak bisa, Zaini terpaksa masuk. Namun saat masuk, tiba-tiba listrik padam, sehingga pemutaran film berhenti seketika.


Sepulang dari pasar, ternyata ayahnda beliau sudah tau ( kasyaf ) apa yang terjadi dengan Zaini. Zaini muda lalu di hukum dengan di ikat di tiang rumah, sambil di dekatkan sebuah pedupaan yang dinyalakan kemuka beliau, sehingga terasa panas.


Pada saat yang sama tiba-tiba diluar terjadi angin ribut, angin bertiup sangat kencang. Nenek Salbiyah melihat cucunya mendapat hukuman seperti itu, merasa kasihan dan meminta Abdul Ghani untuk menyudahi hukuman itu. Hukuman itupun di hentikan, dan seketika itu pula angin ribut itu berhenti.


Dari beberapa kejadian itu menunjukkan bahwa didikan disiplin dan akhlak dari orang tua Guru Zaini memang sangat ketat, sehingga sangat membekas dalam jiwa dan kepribadian beliau. Apalagi sejak belia, Guru Zaini hidup dan bergaul selalu ditengah orang-orang yang Sholeh, yang sangat kuat dan fanatik dalam memegang prinsip-prinsip agama.


Sejak kecil Guru Zaini hidup bersama ayah bundanya, juga neneknya Salbiyah, ditambah pula dengan paman beliau Al-'Allamah Al-Arif Billah Syekh Muhammad Semman Mulia. Dari rumah tangga yang sederhana namun penuh dengan keberkahan, empat figur itulah yang senantiasa mempengaruhi jiwanya, menaburkan benih-benih Akhlakul Karimah, ilmu, hikmah, dan ma'rifah kedalam rohnya. 


Waktu dan keseharian Guru Zaini lebih banyak di isi dengan bergaul bersama mereka, sehingga hampir tidak ada kesempatan untuk bermain atau berbuat hal yang sia-sia.


Begitulah, memang seakan-akan Guru Zaini telah di iming-iming dan di persiapkan untuk menjadi orang besar dan mulia sejak dini. Sehingga tidak berlebihan, jika suatu saat Al-Mukarram Al-'Allamah KH. Zainal Ilmi, Dalam Pagar mengatakan dengan Mukasyafah-nya yang tajam kepada Salbiyah :


"DIRUMAH PUN, SAIKUNG PUN, JAGAILAH"


( dirumah puun, ada seorang puun, jaga lah dia )


*Pun artinya penekanan kata dengan perasaan ta'dzhim dalam bahasa Banjar.


*Catatan : Maksudnya dirumah nenek Salbiyah ada seseorang yang memiliki maqam dan menjadi pilihan Allah atau Waliyullah. KH. Zainal Ilmi ini diyakini sebagai Ulama yang Kasyaf, berbagai kejadian menunjukkan hal itu. Beliau merupakan keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary dan masih sepupu dengan nenek Salbiyah, seorang murid dari Syekh Abdurrahman Siddiq Sapat, Riau.


Di saat yang lain, ada orang bertanya kepada Al-'Allamah Syekh Muhammad Semman, :


SIAPA DI ANTARA KEMANAKAN PIAN NANG CAGAR JADI ULAMA BESAR?" ( siapa di antara keponakan anda yang akan jadi Ulama besar nantinya? )


Dijawab oleh beliau : "ANANG" ( maksudnya Guru Zaini ).


Salah seorang Ulama besar Martapura bahkan menyebutkan saat Guru Zaini masih sangat muda :


"ORANG INI KAENA JADI ORANG BESAR, BESAR BANAR". ( orang ini nantinya akan jadi orang besar, sangat besar sekali )



Buku : "Figur Kharismatik - Abah Guru Sekumpul".

Tulisan oleh : KH. M. Anshary El-Kariem.

Ditulis ulang ke FB oleh : Aulia Rahman Al-Banjari.

Senin, Juli 11, 2022

Biografi singkat Muhammad Edwan Ansari sang Aktivis Kalimantan Selatan

Biografi Muhammad Edwan Ansari





Muhammad Edwan Ansari

Seorang Aktivis yang berpikir kritis bertindak Demokratis kata Aktivis Sosial dakwah pantas disematkan kepada Muhammad Edwan Ansari (Bang Edwan ), seorang aktivis pejuang demokrasi yang dengan teguh membela hak-hak rakyat kecil, Berbekal keberanian serta pemikiran kritisnya, ia menentang penindasan yang ada di Banua (sebutan untuk Kalimantan Selatan dalam kebiasaan masyarakat dalam bahasa Banjar) bersama kawan-kawan aktivisnya dan belakangan ini ia lebih memfokuskan diri pada aktivitas sosial kemanusiaan, Pendidikan dan dakwah


Pendiri Relawan Semut Pemburu  Berkah ini merupakan seseorang yang aktif dalam bidang aktivitas sosial, kemanusiaan dakwah dan salah satu orator ulung di panggung Parlemen Jalanan istilah kalimat yang sering di sematkan untuk aksi unjuk rasa maupun demonstrasi yang sering Ia lakukan



Sebelum menjalani pendidikan sebagai mahasiswa Sarjana Pendidikan Agama Islam di STAI Al Washliyah Barabai, Edwan sempat memperdalam ilmu di Agama di Pondok Pesantren Darul Muttaqin Ilung pada tahun 2004, yang Setelah tahun 2006 Pondok Pesantren Darul Muttaqin berganti nama menjadi Pondok Pesantren Nurul Muhibbin Hingga Sekarang, sebelum memulai usahanya sendiri Ia lebih banyak menghabiskan waktu bekerja di salah satu perusahaan Provider Telekomunikasi di bagian Marketing dan Promo


Sambil Bekerja Ia tetap melakukan aktifitas sosial kemanusiaannya, 


Setelah Lulus Sekolah Menengah Atas dan Sambil Terus Belajar di Pondok Pesantren Darul Muttaqin dari Tahun 2004 Edwan Aktif mengajar Al-Qur'an di TK TPA Al-Qur'an Dhiyaul Abidin Unit 008, di tahun 2004 sampai 2010, ia pernah menjadi Pengurus Keluarga Besar Ustadzt/ustadzah BKPRMI Kecamatan Batang Alai  dimana di tahun 2007 ia juga menjadi Pengurus Karang Taruna Tunas Jaya Ilung Pasar Lama dan pada Tahun 2009 Ia dipercaya sebagai Ketua Bidang Pembinaan Anggota Himpunan Mahasiswa Islam Cabang  Barabai Selain di HMI ia juga pernah menjadi Ketua atau waktu itu disebut Presiden Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa STAI Al Washliyah Barabai di Tahun 2010, pada Tahun 2017 Ia mendirikan Sebuah Gerakan Sosial Bernama Gerakan Masyarakat Peduli Murakakata (GEMPUR) dimana lewat GEMMPUR ini salah satunya dia sering melakukan aksi-aksi kritis terhadap pemerintah daerah, lewat panggung demonstrasi ia menyuarakan pemikiran kritisnya, yang pada aksi di tahan 2017 ia mampu  menurunkan Ribuan Masyarakat Hulu Sungai Tengah untuk Melakukan Aksi Damai penolakan Armada Besar melintas di  Jalan Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan isu Meratus, pada Tahun 2019 Ia mendirikan Sebuah Gerakan Relawan Sosial Relawan Semut Pemburu Berkah dilandasi keinginan dan kepedulian dirinya pada sosial kemanusiaan dan pada 2020 edwan yang merupakan Salah satu Founder Relawan Khadimul Ummat yang terkenal sangat banyak melakukan gerakan sosial kemanusiaan dan dakwah yang ia sendiri menjadi Sekretaris Umumnya


Sebagai seorang intelektual, Edwan memiliki pemikiran yang tajam dan berani, tidak hanya memiliki pemikiran kritis, ia juga seringkali bergabung untuk turut menjadi barisan terdepan dalam gerakan perubahan sosial. 

Dia seringkali menanyakan masalah kebijakan pembangunan, kemiskinan, ketidakadilan dan terabaikannya hak asasi manusia terhadap masyarakat kecil. 

Pemikiran Edwan Ansari seringkali menjadi referensi para rekanannya, para mahasiswa dan relasi yang dimilikinya cukup luas bukan hanya pergaulannya namun juga dalam bidang pendidikan. Edwan sering menjadi pembicara Latihan Kader dan forum ilmiah dalam kegiatan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Seminar dan diskusi lainnya karena sosoknya yang kritis dan produktif


Edwan Ansari dikenal sebagai aktivis yang aktif  yang tak gentar memperjuangkan demokrasi dan membela kaum marjinal. Semasa hidupnya ia merupakan seorang aktivis tulen atau dalam artian tidak pernah mendekati dan menginginkan kekuasaan 



Edwan merupakan sosok aktivis yang dikenal dengan keberaniannya menentang ketidakadilan di Banua 


Keterlibatannya dalam aksi-aksi melawan pemerintah ia lakukan demi membela rakyat-rakyat kecil agar tidak tertindas oleh penguasa. Telah banyak jasa yang ia torehkan di banua ini semata-mata untuk memberantas ketidakadilan.


dan belakangan dari tahun 2019 Ia lebih Fokus ke Bidang Sosial Kemanusiaan, pendidikan dan dakwah tetapi tidak menghilangkan sikap Kritisnya terhadap keadaan sosial masyarakat itu terlihat dari beberapa steatmen Ia di media-media berita online yang dilakukannya mengkritisi kinerja pemerintahan


Sang Singa yang selalu berdiri di depan membela Kaum Tertindas


Biografi beliau lainnya

https://edwanansari.

Biografi Singkat Muhammad Edwan Ansari

    


SELAYANG PANDANG TENTANG BANG EDWAN ANSARI SANG RELAWAN KHADIMUL UMMAT &  FOUNDER SEMUT PEMBURU BERKAH

Muhammad Edwan Ansari

(Sekretaris Umum Khadimul Ummat Hulu Sungai Tengah)

Aku dilahirkan di sebuah Desa Kecil dengan pemandangan Rimbunnya pepohonan. dari seorang rahim wanita yang merawat dan membesarkanku dengan penuh kasih dan cinta ,yang selalu penuh inspirasi memotivasiku. Aku dibesarkan di lingkungan keluarga sederhana, bukan dari golongan priyai atau golongan ningrat & bukan Orang kaya. Tetapi itulah sebuah anugerah Tuhan yang begitu Indah, ditemani dengan saudara yang berjumlah 1 orang, dimana aku anak ke-1, dan merupakan sulung di dalam keluarga kecil kami. Untuk membekali dalam proses pencarian sebuah jati diri dan ilmu yang kelak akan menjadi tuntunan dalam menjalankan roda kehidupan dan dapat melaksanakan satu kewajiban sebagai seorang manusia yang dinobatkan menjadi Khalifah di muka bumi.


Diantara manusia yang selalu terjaga di tengah kesunyaian malam. Kini Hidup brsama seorang Istri yang tercinta dan seorang putra kami di kota dengan semboyan Bandung Van Borneo  & Murakata Sambil terus berusaha untuk terus berproses menjadi aku tanpa harus memasrahkan pada keadaan dan pada apapun yang tak sepatutnya manusia memasrahkan pada sesuatu yang haknya yakni Dia yang maha memberi kehidupan untuk kita semua sebagai makhluk-Nya. Di kota inilah arti tentang perjuangan, persahabatan, pengorbanan, komitmen, loyalitas dan segala bentuk yang telah aku kerjakan untuk aku pertanggunjawabkan bergelut dalam hidup yang terkadang orang mengatakan itu monoton dan menjemukan. Sebagai anak muda yang bergejolak dalam arus dinamika di Kehidupan dan Organisasi, Kami di ajarkan tentang Idealita dan Idealisme. Setiap kami berdebat tentang cita-cita Islam dan metodologi untuk mendaratkannya pada arus empiris, pada saat itu pula Idealita itu menabrak karang realitas. Cita-cita memang berdiam di wilayah in absracto, sementara kenyataan mewujud dalam ruang in concretto. Pada saat benturan itu terjadi, maka yang terlahir adalah protes dan kritik. Tentu tidak sekedar itu. Kami juga di ajarkan tentang jawaban alternatif tetapi terus terang, jawaban bagi kami belum menjadi hal yang utama, suatu waktu generasi saya akan melakukannya juga, Namun inilah proses anak muda yang haus akan sebuah makna dari kehidupan yang sesungguhnya. Makna yang coba digali sendiri dengan proses pergulatan antara rasa, perasaan yang berbaur menjadi satu dan bukan menurut siapa-siapa diluar atas pilihanya sebagai manusia yang terus berproses untuk tetap menjadi manusia pada porsinya. Dalam tinta proses memaknai hidup. Sembari berlari mengejar mimpi, aktifitas sehari aku isi dengan bergelut dengan para pencari, dalam ruang-ruang seminar dan diskusi, sembari menuliskan dalam tinta-tinta liar, dan berharap di kota kecil yang guyub dan dinamis ini. Riakan-riakan tinta liar ini dapat menjadi gelombang tinta yang mewujudkan dunia dengan penuh cinta dan damai dalam keridhaan Allah SW.T Aamin.  


Hidup Untuk Berproses dan Berproses Untuk Memaknai Hidup karna Berproses yang sesungguhnya adalah dengan beraktifitas, semuanya akan menjadi kenangan pada masanya, jalani dengan bumbu bersyukur dan lakukan dengan keikhlasan untuk berproses dalam kehidupan sampai pada kebahagian yang sesungguhnya Motto Bermanfaat Bagi Orang Lain”.

 Pengalaman Organisasi

- Osis SMAN 2 Barabai Sebagai KoorKabid Keagamaan tahun 2005

- BKPRMI Kecamatan Batang Alai Utara Sebagai Anggota tahun 2005-2010

 - Karang Taruna Tunas Jaya Di Desa Ilung Pasar Lama

- Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Barabai Sebagai Ketua Kabid Pembinaan Anggota tahun 2009-2010


- Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STAI Al-Washliyah Sebagai Ketua Umum (Presiden Mahasiswa) 2010-2011

- Dewan Pimpinan Daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia Hulu Sungai Tengah Sebagai Wakil Sekretaris  II 2012-2015

- Eks Salah satu Pengurus Pemuda Pancasila Hulu Sungai Tengah 2017-2018

- Ketua Koordinator Gerakan Masyarakat Peduli Penyelamat Murakata (GEMPPUR)

- Founder Semut Pemburu Berkah 2019

-Sekretaris Umum Khadimul Ummat Hulu Sungai Tengah


- sampai sekarang dia masih aktif dalam berbagai forum diskusi dan training, pelatihan di berbagai kesempatan


Bermanfaat Bagi Orang Lain, Yakin Usaha Sampai  Dengan Bismillah Kami Yakin, Semoga Allah Melindungi, Meridhai, Meluruskan Ikhtiar Kami Jika Semua dengan Hati Nurani kami yakin orang akan mengerti dan paham akan arti perjuangan kami dan apa yang kami perjungkan


Kamu tak akan bisa hidup sendiri. Butuh bantuan orang lain. Pastikan bahwa mereka adalah orang yg dapat kamu andalkan dan terus berusahalah untuk bisa menebar manfaat untuk orang lain, Senyumlah, tinggalkan sedihmu. Bahagialah, lupakan takutmu. Sakit yg kamu rasa, tak setara dengan bahagia yg akan kamu dapat. Air mata tak selalu menunjukkan kesedihan, terkadang karena kita tertawa bahagia bersama sahabat terbaik kita. Terkadang, yg diinginkan sebenarnya tak dibutuhkan, sedangkan yg dibutuhkan tak bisa dimiliki. Tapi Tuhan, tahu apa yg terbaik.



Demikian sedikit Gambaran tentang Beliau Edwan Ansari


Mesjid Su’ada atau Mesjid baangkat didirikan oleh Al Allamah Syekh H. Abbas dan Al Allamah Syekh H. Said bin Al Allamah Syekh H. Sa’dudin

 Masjid Ba'angkat


Mesjid Su’ada atau Mesjid baangkat didirikan oleh Al Allamah Syekh H. Abbas dan Al Allamah Syekh H. Said bin Al Allamah Syekh H. Sa’dudin pada tanggal 28 Zulhijjah 1328 H bersamaan dengan tahun 1908 M yang terletak di desa Wasah Hilir Kecamatan Simpur yang jaraknya ± 7 km dari kota Kandangan. Mesjid ini didirikan di atas tanah wakaf milik Mirun bin Udin dan Asmail bin Abdullah seluas 1047,25 m persegi.


Bentuk bangunan induk mesjid su’ada yakni persegi empat, bertingkat tiga, mempunyai loteng menutup gawang/puncah dan petala/petaka yang megah. Semua itu memunyai makna tertentu sebagai berikut:a. Tingkat pertama mengandung makna Syariatb. Tingkat kedua mengandung makna Thariqatc. Tingkat ketiga mengandung makna Hakikatd. Loteng mengandung makna Ma’rifate. Petala/petaka yang megah berkilauan yang dihiasi oleh cabang-cabang yang sdang berbunga dan berbuah melambangkan kesempurnaan Ma’rifatBanyak peristiwa yang terjadi seolah-olah aneh, tidak rasional tapi nyata ketika akan dan sedang dalam pembangunan Mesjid tersebut, seperti angina topan bertiup luar biasa keras dan derasnya yang menyebabkan sebatang pohon asam yang besar telah condong sekali akan minmpa rumah Al Allamah Syekh H. M. Said (pendiri Mesjid Su’ada). Dilihat kejadian ini, Al Allamah tersebut mendekati pohon tersebut dan mendorongnya dengan berlawanan arah, maka dengan pertolongan Allah SWT angin topan yang dahsyat itu berbalik arah sehingga pohon asam ini tumbang dan selamatlah ulama tersebut.Kejadian lain yakni salah satu tiang utama Mesjid kurang panjang ± 10 cm, sehingga mengalami kesulitan untuk pendirian bangunan Mesjid. Dengan izin Allah, keesokkan harinya tiang tersebut menjadi bertambah panjang sesuai kebutuhan. Peristiwa lainnya, yakni ditengah perjalanan antara Kalumpang dan Negara, rombongan Al Allamah Syekh H. M. Said kehabisan ikan untuk makan, tiba-tiba seekor ikan besar melompat ke perahu mereka dan akhirnya mereka mempunyai ikan untuk makan bersama. Kejadian lainnya yakni rombongan tersebut pada malam hari di perahu tidak bisa tidur karena kenyamukan, tiba-tiba dengan pertolongan Allah SWT, ternyata nyamuk tersebut menghilang, sehingga rombongan Al Allamah Syekh H. M. Said dapat tidur.


Aristektur

   Bentuk bangunan induk masjid su’ada yakni persegi empat, bertingkat tiga, mempunyai loteng menutup gawang/puncah dan petala/petaka yang megah. Semua itu memunyai makna tertentu sebagai berikut:


- Tingkat pertama mengandung makna Syariat


- Tingkat kedua mengandung makna Thariqat


- Tingkat ketiga mengandung makna Hakikat

- Loteng mengandung makna Ma’rifat

  Petala/petaka yang megah berkilauan yang dihiasi oleh cabang-cabang yang sedang berbunga dan berbuah melambangkan kesempurnaan Ma’rifat.



http://www.tadungkung.com/2011/11/masjid-masjid-tua-dan-bersejarah-di.html#ixzz1xB1Xt2Rz

http://www.tadungkung.com/2011/11/masjid-masjid-tua-dan-bersejarah-di.html#ixzz1xB1Xt2Rz


 Ditulis ulang oleh : 

Editor :

Muhammad Edwan Ansari, S.Pd.I

COPYRIGHT © Catatan Edwan Ansari 


Biografi Singkat Guru Dodol atau Guru Janggut ( Tuan Guru Haji Abdul Qadir Noor )

 Biografi Singkat Guru Dodol atau Guru Janggut ( Tuan Guru Haji Abdul Qadir Noor )



Guru Dodol adalah gelar yang diberikan masyarakat Kandangan dan sekitarnya, bukan karena profesi beliau pembuat atau penjual dodol. Guru Dodol hanya representatif dari kota kandangan yang identik dengan makanan khas berupa Dodol. Gelar ini diberikan karena beliau adalah ulama Kandangan yang masyhur dimasanya, majelis pengajian beliau tidak hanya dihadiri masyarakat setempat tapi juga masyarakat sekitarnya bahkan ada yang dari luar kota Kandangan. Mereka datang semata-mata untuk belajar dan memperdalam ilmu-ilmu keagamaan pada beliau.


Sedangkan gelar Guru Janggut, karena beliau punya janggut sebagai ittiba pada Rasulullah Saw yang memelihara janggut, maka gelar Guru janggut itu melekat dalam diri beliau. Kemudian hari, panggilan Guru janggut menjadi identitas dan ciri khas keulamaan beliau dimasa itu. Sehingga ketika ada orang yang menyebut nama Guru janggut maka dapat dipastikan itu adalah beliau bukan ulama lain. Di masanya beliau adalah ulama Tuha dan dituakan, ia terkenal akan keluasan ilmu agamanya, ketulusan dan kasih sayangnya. Sehingga banyak yang datang untuk menimba ilmu pada beliau. Ini dapat dilihat dari murid-murid yang datang belajar padanya, mulai dari masyarakat biasa sampai yang derajatnya sudah ulama. Dimasa itu beliau jadi rujukan utama, tempat bertanya, urun rembuk masalah keagamaan mulai dari masyarakat biasa sampai alim ulama terkhusus yang ada dikota Kandangan.


Kelahiran dan Kehidupan keluarga


Nama lengkap beliau adalah Tuan Guru Haji Abdul Qadir Noor bin Buwasin ( selanjutnya kita sebut Guru Abdul Qadir Noor ) lahir pada tanggal 17 Nopember 1911 M bertepatan pada tanggal 26 zulqa’idah 1329 H di Desa Padang Kapuh atau Kapuh Padang sekarang Desa Kapuh Kecamatan Simpur, Kandangan kab. Hulu Sungai Selatan. Ayahnya bernama Buwasin dan ibunya bernama Radiyah. Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara, empat saudaranya bernama Fatimah, Halimah, Bajuri dan Hawi.


Guru Abdul Qadir Noor hidup dilingkungan keluarga yang sederhana. Ayahnya hanya orang biasa, bekerja sebagai petani, bukan ulama atau punya garis keturunan ulama. Walaupun demikian keluarga ini sangat taat dalam beragama. Sehingga sejak kecil beliau sudah di didik secara agamis, cinta ilmu dan cinta alim ulama. Abdul Qadir Noor kecil selalu dibawa ayahnya mengikuti pengajian agama di sekitar tempat tinggalnya. Belajar membaca Al Qur’an dan tata cara shalat lima waktu, belajar akhlak pada guru agama yang ada di desanya. Karena itu, sejak kecil ia sudah menunjukkan sifat-sifat terpuji dan taat pada kedua orang tuanya.


Guru Abdul Qadir Noor memiliki dua isteri. Isteri pertamanya bernama Hj. Rubi’ah dari Kapuh satu kampung dengan beliau . Dari isteri pertama ini, ia mendapat tiga anak yaitu Jawahir, Mukhlish Khalishi dan Ilyas Khairy. Isteri keduanya bernama Rukayah berasal dari Perak Malaysia. Dari isteri keduanya ini ia mendapat seorang anak laki-laki yang bernama Imran.


Rihlah menuntut ilmu


Pada usia tujuh tahun, Abdul Qadir Noor kecil dimasukkan orang tuanya ke Sekolah Rakyat (SR) di kota Kandangan yang jauhnya sekitar 7,5 km dari rumahnya. Karena jarak sekolahnya cukup jauh, ayahnya membelikan sebuah sepeda untuk memudahkannya pergi ke sekolah. Uniknya ia tidak selalu menaiki sepedanya itu, malah sering ia tuntun sambil berjalan kaki sepanjang perjalanan. Rupanya hal ini sengaja ia lakukan agar di jalan memiliki waktu yang panjang untuk menghafal pelajaran baik pelajaran yang telah ia pelajari dari gurunya atau yang belum diajarkan gurunya.


Setelah menempuh studi selama enam tahun di Sekolah Rakyat, Abdul Qadir Noor meneruskan studinya di berbagai majelis taklim ( mangaji baduduk ). Ia rajin sekali belajar ilmu-ilmu agama di sejumlah pengajian yang diadakan oleh para ulama. Guru-guru tempat ia belajar di antaranya adalah Haji Abdullah Shiddik ( Tuan Qadhi ) Wasah hilir, Haji Athaillah ( kakek KH. Ahmad Riduan Baseri / Guru Kapuh ) di Kapuh dan Haji Mufti Sulaiman di 

Kandangan.


Pada tahun 1927, ketika berusia enam belas tahun, Abdul Qadir Noor berangkat ke Perak Malaysia mengikuti pamannya untuk berdagang. Di sinilah ia bertemu dengan seseorang yang memberi kesan mendalam dalam dirinya untuk lebih giat belajar agama. Diceritakan pada waktu itu keduanya saling berkenalan untuk pertama kali, berbincang bincang, kemudian sholat zuhur berjamaah bersama-sama. Pada saat ingin memulai sholat berjamaah, keduanya saling mempersilahkan untuk menjadi imam, akhirnya orang yang baru dikenalnya itu mengalah dan mau menjadi imam. Ketika usai sholat beliau bersalaman dengan orang itu, ia mencium tangannya, orang itupun balik mencium tangan beliau. Tidak berapa lama jama’ah mulai berdatangan dan berkumpul mengelilingi mereka. Beliau bingung kenapa orang-orang itu berbuat demikian, lalu beliau berinisiatif menanyakan tentang orang yang baru dikenalnya itu pada jamaah yang lain . Barulah beliau tahu bahwa orang itu adalah seorang ulama besar di Perak. Beliau pun terkejut sekaligus kagum atas ketawadhuan ulama itu, ada rasa malu masuk kehatinya lalu beliau segera minta maaf atas berbuatan yang kurang adab tersebut. Dari sinilah muncul keinginan kuat dalam hatinya untuk lebih memperdalam lagi pengetahuan agamanya agar beliau dapat menjadi orang yang berilmu, berakhlak karimah seperti orang yang baru dikenalnya itu. Untuk mewujudkan keinginannya itu beliau masuk ke salah satu Pesantren di Perak. Beliau menempuh studinya selama lima tahun di pesantren itu.


Pada tahun 1932, Abdul Qadir Noor kembali ke desa kelahirannya, Kapuh Padang sekarang Desa Kapuh. Walaupun telah menempuh studi selama lima tahun di Malaysia, tidak membuatnya merasa puas menuntut ilmu. Beliau kemudian meneruskan kembali studinya mengkaji ilmu-ilmu agama ke kota Amuntai tepatnya di Arabische school ( sekolah Arab ) cikal bakal Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah di bawah bimbingan Tuan Guru Haji Abdur Rasyid ( wafat 4 Pebruari 1934 ). Setelah tiga tahun menempuh studinya di sekolah itu, beliau kemudian kembali ke Kandangan dan meneruskan studinya di Madrasah Islam Pandai Kandangan yang juga di pimpin oleh Tuan Guru Haji Abdur Rasyid sebelum meninggal. Pada tahun 1938 beliau  berhasil menyelesaikan studinya di tempat ini pada usia 28 tahun.


Aktivitas sebagai Tuan Guru


Setahun kemudian tepatnya 1939, beliau mulai mengabdikan diri sebagai guru di Madrasah Islam Pandai Kandangan. Dari sinilah kemudian aktivitasnya sebagai tuan guru dimulai. Beliau mengajar tidak hanya di madrasah tersebut, tapi membuka juga pengajian di rumahnya sendiri. Ilmu-ilmu yang beliau ajarkan lintas disiplin mulai dari ilmu tauhid, tasawuf, fiqih, tafsir, hadis dan lainnya. Pengajian yang ia adakan di rumahnya semakin banyak didatangi orang sehingga rumahnya tidak sanggup lagi menampung masyarakat yang mengikuti pengajiannya. Sebagian jama’ah terpaksa mengikuti pengajian dari luar rumah. Melihat kondisi ini, Guru Abdul Qadir Noor akhirnya memindahkan pengajiannya ke mushola dekat rumahnya sendiri. Setelah pindah kemushola, pengajian rutin diadakan tiap malam sehabis sholat magrib yang diakhiri dengan sholat isya berjama’ah. Jama’ah yang hadir tambah banyak sehingga mushola tak sanggup lagi menampung orang, jama’ah meluber sampai kejalan dan rumah-rumah penduduk.


Majelis pengajian beliau dibagi dua, satu di mushola khusus untuk masyarakat umum siapa saja boleh hadir, laki-laki, perempuan sampai anak-anak kecil ikut juga. Dua, majelis yang ada di rumah beliau, ini khusus bagi alim ulama, diadakan satu minggu dua kali. Melihat antusias jama’ah yang terus bertambah, khususnya dari kalangan anak-anak, maka didirikanlah madrasah diniyah di seberang mushola Nurul Falah. Madrasah ini dinamai Madrasah islam Nurul Falah materi pelajarannya full ilmu-ilmu keislaman, sedangkan waktu belajarnya sekitar jam dua sore supulang anak-anak sekolah SD.


Selain memimpin sejumlah pengajian dan mengajar dimadrasah sendiri, beliau juga mengajar di sejumlah madrasah lain seperti Madrasah Islam Pandai Kandangan, Madrasah Takhashshush Diniyah, Madrasah Menengah Tinggi Desa Amawang Kiri Kandangan, Madrasah Islam Darul Falah wasah Hilir.


Murid-murid beliau


Sebagai tuan guru yang memimpin banyak tempat pengajian, memimpin sebuah pesantren dan mengajar di sejumlah madrasah, Abdul Qadir Noor memiliki banyak murid. Dari sekian banyak muridnya di antaranya ada yang menjadi ulama dan mengajar di daerahnya masing-masing. Di antara murid-murid beliau adalah Guru Muhammad Arifin Kapuh, Guru Haji Masri Zain ( pengarang kitab Asrarus Sholatil jama’ah ), Guru Haji Asy’ari, Guru harli Pahampangan, Guru ibrahim ( anak guru Ayan Rantau ), Haji Kusairy, Guru Haji Abad Padang haur wasah tengah, Haji Anang Syukeri, Haji Hasan Sunni, Haji Muhammad Ismail, Haji Hadar, Haji Sulaiman Husin, Guru Utun, Mansuri, Haji Muhammad Arsyad, dan masih banyak lagi.


Adapun murid beliau dari kalangan perempuan yang jadi pendidik adalah Jawahir ( anak perempuan beliau sendiri), Angah Badar, Angah Dumal. Mereka dikenal orang, tiga serangkai dari Kapuh. Selain mengajar di rumah, mereka bertiga sering diundang keluar daerah untuk berdakwah mengajarkan ilmu-ilmu keislaman.


Membangun Pondok Pesantren


Setelah pengajian berjalan selama lebih kurang tiga puluh tahun, ada inisiatif dari masyarakat untuk mengembangkan Madrasah Diniyah Nurul Falah menjadi pondok pesantren. Lalu dibentuklah kepanitiaan inti yang diketuai oleh beliau sendiri dibantu oleh murid-muridnya seperti Guru Haji Muhammad Arifin, Guru Haji Masri Zain dan murid lainnya serta masyarakat sekitar. Untuk mencari dana diadakanlah saprah amal, membuka donasi bagi siapa yang ingin menyumbang, berjualan kalender yang disebar kepelosok kota Kandangan. Setelah dana terkumpul cukup banyak maka dimulailah pembangunan Pondok pesantren dekat mushola Nurul Falah. Pondok Pesantren ini diberi nama sama dengan nama mushola dan madrasah beliau yaitu Pondok Pesantren Nurul Falah.


Pondok Pesantren ini juga mendapat bantuan dari pemerintah setempat dan dari Gubernur Kalimantan Selatan. Pada tanggal 29 Januari 1977 Pondok Pesantren Nurul Falah diresmikan langsung oleh Gubernur Kalimantan Selatan yang saat itu dijabat oleh Soebarjdo. Tuan Guru Abdul Qadir Noor kemudian ditunjuk dan dikokohkan sebagai pimpinan pondok pesantren ini.


Aktivitas dipemerintahan dan Politik


Aktifitas beliau tidak hanya menjadi ulama yang memimpin majelis pengajian dan pengajar dibeberapa madrasah islam saja tapi merambah kebidang pemerintahan dan dunia politik. Pada tahun 1952, usia beliau kala itu baru 41 tahun, diangkat oleh pemerintah menjadi Kepal Kantor Penerangan Agama Islam Kabupaten Hulu Sungai Selatan ( sekarang Kementrian agama ). Di bidang politik, Tuan Guru Abdul Qadir Noor bergabung dengan Partai Masyumi dan sekitar tahun 1965 ia menjadi anggota DPRD Tingkat II Kabupaten Hulu Sungai Selatan mewakili partai Islam tersebut.


Akhlak dan keistimewaan beliau


Tuan Guru Abdul Qadir Noor adalah ulama karismatik, dihormati, disegani sekaligus disayangi oleh masyarakat sekitar. Beliau panutan semua orang, tutur kata lembut, penuh adab, sopan santun dan penyayang pada sesama bahkan pada binatang sekalipun. Pernah suatu hari, anak-anak berburu burung pakai ketapel dekat rumah beliau. Melihat itu beliau segera keluar rumah dan berkata pada anak-anak tersebut ; “jangan tuh lah, jangan sakiti burungnya kasian inya. Nah duit, jaka baulanjaan kawarung”, anak-anak tersebut gembira dapat uang dari beliau dan segera berlari menuju warung. Ada lagi cerita lain, biasanya beliau pergi mengajar pakai sepeda, ditengah jalan tiba-tiba beliau melihat kodok dimainkan ayam. Segera beliau turun dari sepeda untuk menyelamatkan kodok dan menjauhkan ayam sejauh-jauhnya, ini semua karena kasih sayang dihati beliau pada makhluk Tuhan walau pada binatang sekalipun.


Pernah satu hari dimusim kemarau, sumur punya beliau kering, di tempat beliau hanya ada satu sumur yang tidak kering yaitu sumur dekat madrasah beliau. Semua mandi disana termasuk beliau sendiri. Melihat itu anak-anak kecil ikut mandi juga. Lalu beliau berkata ; “coba sini lihat tapak batis kai putih banar”, kata beliau sambil menekan-nekan dengan ibu tangannya. Anak-anak senang, himung banar dirawa orang yang mereka sayangi. Begitulah beliau dengan anak-anak, beliau sayangi mereka, beliau pandiri, suka bagagayaan, tidak ada jarak sama sekali dan tidak ada rasa segan bermain dengan mereka.


Begitu juga ketika ada hajatan, aruhan atau salamatan yang beliau ada disitu. Saat tiba waktu makan, pertama yang beliau pikirkan dan dahulukan adalah masalah makan anak-anak. Apalagi kalau acara itu dirumah beliau, saat sampai waktu makan anak-anak kecil yang beliau cari lebih dulu, beliau datangi dan ambili untuk makan bersama-sama dengan jama’ah lain. Inilah kasih sayang beliau pada anak-anak, karena ittiba dengan Nabi, seperti inilah Rasulullah Saw memperlakukan anak-anak dengan penuh kasih sayang. Makanya anak-anak sangat senang dekat beliau. Dan hal yang paling mereka tunggu dalam setahun adalah malam salikur ( 21 Ramadhan ) karena di rumah beliau diadakan acara membaca muqaddam ( khatam Al Qur’an 30 juz ) sekaligus haulan Ayah beliau. Acara tersebut dimulai setelah selesai sholat tarawih berjama’ah dimushola Nurul Falah. Rumah beliau penuh sesak dihadiri jama’ah undangan, murid-murid dan seluruh masyarakat kampung, tidak ketinggalan anak-anak kecil ikut hadir juga. Acara tersebut ditutup dengan tahlil, do’a diakhiri dengan jamuan makan bersama. Bahkan ada sebagian yang sahur dirumah beliau.


Ketika ditanya masalah hukum fikih, beliau tidak langsung menjawab walau tahu jawabannya. Beliau buka dulu beberapa kitab fikih bila ketemu baru beliau sandarkan hukum kepengarang kitab, seolah-olah bukan pendapat dari beliau. Kalau masalah cukup rumit terkadang sampai beberapa hari baru ada keputusan hukum dari beliau. Inilah ketawadhuan dan kehati-hatian beliau dalam mengambil dan memutuskan sebuah hukum yang terjadi dimasyarakat.


Sewaktu jadi anggota DPRD, beliau tidak pernah mengambil gajih sebagai anggota dewan. Niat beliau semata-mata karena Allah, menolong agama Rasulullah, murni mengabdi pada masyarakat, bangsa dan negara bukan kepentingan ngolongan atau memperkaya diri sendiri.


Selain mengajar ilmu agama, beliau juga sering diminta tamu yang datang kerumah untuk dibuatkan cemeti ali. Proses pengerjaannya satu tahun sekali, setelah Ramadhan baru bisa diambil. Cemeti ini biasanya digunakan untuk perisai diri dari orang-orang yang ingin berbuat jahat, bisa juga digunakan untuk menolak gangguan dari jin dan makhluk halus. Istimewanya cemeti buatan beliau, bila angin kencang puting beliuang, pemilik cemeti tinggal keluar rumah saja lalu menggerak-gerakkan cemeti keatas dan dengan izin Allah angin tersebut berangsur-angsur berhenti. Tapi awas jangan sembarangan memelihara cemeti dari beliau karena bisa menimbulkan mudharat bagi pemiliknya. Pernah seseorang punya cemeti dari beliau, ingin memperbaikinya sendiri karena warnanya sudah kusam. Lalu dilicinkan dengan ampelas, esok harinya seluruh tubuh terserang panas tinggi. Panas itu baru hilang setelah meminum air tawar dari beliau. Ukuran cemeti beliau mulai dari yang pendek sampai yang panjang bahkan ada yang berbentuk tongkat komando, biasanya dihadiahkan untuk pejabat mileter atau kepolisian yang datang bertamu kerumah beliau.


Beliau juga pernah cerita ada Jin yang selalu datang kerumah dan ingin menjadikan beliau sahabatnya. Tapi beliau tolak, karena menurut beliau Jin yang datang ini kelihatannya baik tapi suatu saat bisa berbahaya bagi beliau dan orang lain karena ada sifat dusta dalam diri Jin tersebut.


Dulu para remaja, pemuda dan laki-laki dewasa ketika sampai waktu sholat tidak ada yang diluar rumah karena malu kalau dilihat beliau tidak ikut sholat berjama’ah di mushola. Begitu juga ketika berbuat yang sia-sia mereka malu kalau beliau tahu dan melihatnya. Pernah sebagian remaja main domino, mereka langsung berlari berhamburan melihat beliau lewat di depan mereka. Padahal beliau tidak melihat atau menoleh sedikitpun. Ini adalah haibah yang diberikan Allah pada diri beliau.


Amalan yang selalu beliau dawamkan atau rutinkan adalah membaca sholawat Al Qura’aniah ( Basyairul khairat) dari Sulthan Aulia syekh abdul Qadir Al Jilani. Dari sinilah beliau dapat futuh dari Allah dan mimpi bertemu Nabi Muhammad Saw. Mimpi yang sangat berkesan dalam hidup beliau, karena menurut riwayat dimimpi itu Rasulullah Saw menyapukan tangannya yang penuh berkah dan mulia kerambut beliau. Sehingga bekas dan harumnya tangan Rasulullah Saw tetap tercium sampai beliau bangun dari tidurnya. Karena rasa cinta dan takzimnya pada Rasulullah Saw rambut bekas sentuhan Rasulullah Saw tidak pernah beliau potong lagi. Demikianlah menurut sebagian riwayat, Wallahu a’lam.


Menulis buku


Di tengah berbagai kesibukan, Tuan Guru Haji Abdul Qadir Noor menyempatkan diri menulis beberapa buah risalah. Ada tiga buah karya tulis yang sempat beliau selesaikan;


(1). Ibtida al-tauhid fî ‘Aqa’id Ahl al-Tauhid (tauhid)

(2). Manasik Haji (fikih)

(3). Ilmu Fara`idh (fikih)


Tulisan pertama dalam bidang tauhid menyebar di wilayah Kalimantan Selatan dan menjadi salah satu kitab tauhid rujukan di kalangan masyarakat Banjar terutama Kota Kandangan. Sementara kedua kitab fikihnya tidak sempat menyebar luas karena tidak diterbitkan. Kedua karya fikihnya itu masih berbentuk naskah tulisan tangan dan belum sempat dikoreksi oleh beliau.


Penghujung jalan


Setelah beliau mengabdikan diri sebagai ulama kurang lebih 41 tahun lamanya. Takdir Allah tidak dapat ditolak, beliau jatuh sakit yang membawa pada kehidupan yang lebih abadi. Beliau dipanggil Sang Ilahi Rabbi kembali kehadhrah Allah Tuhan pemilik segala kehidupan. Beliau wafat di usia 69 tahun pada pukul 19.00 Sabtu Malam, tanggal 5 Jumadil Akhir 1400 H atau bertepatan dengan tanggal 20 April 1980 di kampung kelahirannya, Desa Kapuh padang. Seketika angin kesedihan berhembus keras menampar hati orang-orang yang mencintai beliau. Bumi basah dengan air mata, tangis berderai tak bisa ditahan. Mereka kehilangan orang yang dicintai untuk selamanya. Mendengar kewafatan beliau masyarakat datang berbondong-bondong dari segala penjuru sehingga mushola tempat beliau disholatkan tidak mampu lagi menampung karena banyaknya jama’ah yang datang. Selesai sholat mereka berjejal ingin membawa dan mengantarkan bersama-sama Tuan Guru yang mereka cintai, sehingga jasad beliau berjalan diantara ujung-ujung jari mereka sampai ketempat pembaringan terakhir. Beliau dimakamkan pada pukul 16.00 wita tepat di depan rumahnya. Sampai sekarang makam beliau masih sering diziarahi banyak orang.


 Ditulis ulang oleh : 

Editor :

Muhammad Edwan Ansari, S.Pd.I

COPYRIGHT © Catatan Edwan Ansari 


KH. MUHAMMAD KHALID

 KH. MUHAMMAD KHALID



Syekh Muhammad Chalid bin Abdurrahman  adalah orang tua dari KH. Hamdan Khalid.  Beliau diperkirakan lahir tahun 1842 M (1260 H). Meninggal 13 Zulqaidah 1381 H (1962 M) dalam usia kurang lebih 120 tahun, makam beliau berada di Kubah Tangga Ulin Amuntai. 


Syekh Muhammad Chalid adalah seorang ulama besar dan pernah mengajar di Masjidil Haram selama 12 tahun. Beliau ada meninggalkan beberapa risalah, diantaranya “Risalah Tafakkur”, “Risalah al-Faidhah al-Ilahiyah bagi Isqath ash-shalah” (tentang bahilah), dan lain-lain.

Menurut suatu riwayat, ketika menggali kubur, para tukang kubur mendengar suara dzikir dan tahlil di liang lahat, padahal saat itu tidak ada orang selain penggali kubur. Pada saat yang bersamaan sebelum syekh Khalid dimakamkan, masyarakat Amuntai melihat cahaya terang dikediaman  syekh Khalid.

Salah seorang yang mendapat lailatul qadar pernah berziarah ke makam Syekh Khalid di Tangga Ulin Amuntai, ia menuturkan bahwa jasad Syekh Khalid masih utuh kendati sudah dikubur puluhan  tahun. Syekh Khalid juga menulis Kitab tentang berhilah, manasik haji, tentang tafakkur, dan lainnya.


Diantara kalam beliau:


“Jaga-jagalah hakikat orang-orang awam kebanyakkan manusia hendaklah hendaklah di pertengahan, jangan terlalu tinggi menjadi bohong (sombong) dan jangan terlalu rendah menjadi dicela  jatuh syirik yang khafi”.


“Yang rendah atau bawahan waktu beramal berharap akan pahala dan takut akan siksa. Yang pertengahan yaitu menjunjung dan membesarkan suruhan Allah dan rasul serta berlepas daripada dayanya dan upanyanya. Yang di atas sama sekali tiada lain ingatan hatinya dan pandangan hanya memperbuat pada hakiki maka hanya yaitu Allah”. (Dipetik dari kitab ”Risalah Tafakkur” karangan  Muhammad Chalid, diterbitkan oleh H. Asy’ari Sulaiman tahun 1975 M/ 1395 H)

 Ditulis ulang oleh : 

Editor :

Muhammad Edwan Ansari, S.Pd.I

COPYRIGHT © Catatan Edwan Ansari 


Biografi Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari

 “Penulis” Kitab I’anah Ath-Tholibin




-Biografi Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari


Di kalangan santri di Indonesia kitab I’anah Ath-Thalibin sangat dikenal. Namun siapa sangka, penulisnya (juru tulis Syekh Bakri Satha) ternyata seorang syekh keturunan orang Banjar.


Syekh keturunan orang Banjar itu bernama Syekh Ali bin Abdullah bin Mahmud bin Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Beliau dilahirkan di Makkah Al Mukarromah tahun 1285 Hijriyah bertepatan dengan tahun 1868 Miladiyah (Masehi), dan tumbuh di dalam keluarga shaleh dan shalehah. 


Ayahnya, Syekh Abdullah bin Mahmud Al Banjari merupakan ulama karismatik di Makkah Al Mukarromah. Beliau dijuluki dengan julukan Syekh Abdullah Wujud dikarenakan apabila beliau berdzikir, tubuhnya tidak lagi nampak terlihat, melainkan hanya pakaian dan sorbannya saja.


Di dalam keluarganya yang shaleh dan menjunjung tinggi ilmu agama itulah Syekh Ali tumbuh besar, hingga beliau mewarisi kecintaan pada ilmu agama sebagaimana ayah, kakek, dan datuknya yang lebih dulu menjadi ulama besar di zaman mereka.


Syekh Ali tak mau menjadi pemutus “nasab emas” keilmuan para leluhurnya, beliau pun dengan gigihnya menimba ilmu kepada banyak ulama, di antaranya kepada Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syatha, Syekh Said Yamani, Syekh Yusuf Al Khaiyat, Sayyid Husein bin Muhammad Al Habsyi, Habib Ahmad bin Hasan As Saqaf (Assegaf), Mufti Abid bin Husein bin Ibrahim Al Makki, Habib Ahmad bin Hasan Al Atthas, Habib Umar bin Salim Al Atthas, Syekh Mahfuz Termas, Syekh Ahmad Fathani, Syekh Zainuddin As Sumbawi dan lainnya.


Dalam ilmu nahwu, shorof, dan Fiqih Syekh Ali belajar kepada Syekh Abu Bakar Satha, Syekh Said Yamani, dan Syekh Mahfuz Termas (Ulama dari tanah Jawa). Dalam bidang hadits beliau berguru kepada Syekh Said Yamani, Sayyid Husein bin Muhammad Al Habsyi, Habib Ahmad bin Hasan As Saqaf (Assegaf), Mufti Abid bin Husein bin Ibrahim Al Makki. Adapun dalam ilmu falaq, Syekh Ali belajar kepada Syekh Yusuf Al Khaiyat. Tafsir, kepada Sayyid Abu Bakar Satha. Dan, mengambil ijazah Thoriqoh Sammaniyah kepada Syekh Zainuddin As Sumbawi.


Menjadi Juru Tulis Gurunya

Guru dari Syekh Ali, Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha adalah salah satu ulama besar bermazhab Syafi’i yang hidup pada akhir abad ke-13 H dan permulaan abad ke-14 H. Kala itu, Sayyid Abu Bakar Satha mengajar kitab syarah Fath al Mu’in karya Al Allamah Zainuddin al-Malibari, di Masjidil Haram.


Selama mengajar Kitab Fathul Mu’in, Sayyid Abu Bakar Satha menulis catatan sebagai penjelasan dari kalimat-kalimat yang terdapat dalam Kitab fathul Mu’in. Catatan-catatan inilah yang kemudian diminta untuk dikumpulkan oleh para sahabat beliau, guna dijadikan sebuah kitab (hasyiyah) untuk memahami Kitab Fathul Mu’in.


Saat itu, Syekh Ali menjadi perhatian di antara sekian banyak murid yang mengaji kepada Sayyid Abu Bakar Satha. Kecakapannya dalam bidang ilmu fiqih membuat Sayyid Abu Bakar menunjuk Syekh Ali sebagai katib (Juru tulis) kepercayaannya ketika mengarang kitab. Salah satu kitab yang diketahui merupakan hasil tulis dari Syekh Ali adalah Kitab ‘Ianah Ath-Thalibin, syarah dari Kitab Fathul Mu’in karya Al Allamah Zainuddin al-Malibari.


“Kitab asli tulisan tangan beliau itu ada di Sumatra,” kata Ustadz Muhammad bin Husin bin Ali Al Banjari.


Kitab ini merupakan tulisan bermodel hasyiyah, yaitu berbentuk perluasan penjelasan dari tulisan terdahulu yang lebih ringkas. Kitab I’anah Ath-Thalibin ini selesai ditulis pada Hari Rabu ba’da Ashar, 27 Jumadil al-Tsani Tahun 1298 H. 


Kitab I’anah Ath-Thalibin memiliki kelebihan sebagai fiqh mutakhkhirin yang lebih aktual dan kontekstual karena memuat ragam pendapat yang diusung ulama mutaakhkhirin utamanya Al-Imam An-Nawawi, Ibnu Hajar dan banyak lainnya yang tentunya lebih mampu mengakomodir kebutuhan penelaah akan rujukan yang variatif dan efektif.


Rujukan penyusunan kitab ini adalah kitab-kitab fiqh Syafi’i mutaakhkhirin, yaitu Tuhfah al-Muhtaj, Fath al-Jawad Syarh al-Irsyad, al-Nihayah, Syarh al-Raudh, Syarh al-Manhaj, Hawasyi Ibnu al-Qasim, Hawasyi Syekh ‘Ali Syibran al-Malusi, Hawasyi al-Bujairumy dan lainnya.


Mursyid Thoriqoh Sammaniyah


Dalam bidang tasawuf, Syekh Ali Al Banjari diketahui pernah mengambil ijazah Thoriqoh Sammaniyah kepada Syekh Zainuddin As Sumbawi, hingga menjadi mursyid dalam thoriqoh tersebut. Hal ini diketahui dengan adanya catatan silsilah masyaikh (keguruan) pada Thoriqoh Sammaniyah yang terdapat nama beliau di dalamnya.


Thoriqoh Sammaniyah adalah thoriqoh yang didirikan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Karim As Samman Al Madani. Di antara murid Syekh Muhammad Samman adalah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Beliaulah yang membawa thoriqoh ini ke tanah Banjar, dan mengijazahkannya kepada keluarga dan pengikut beliau. Dari keluarga dan pengikut beliau inilah kemudian thoriqoh tersebut terjaga hingga sekarang.


Mursyid Thoriqoh Sammaniyah yang masyhur dari keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari adalah Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Sekumpul). Di antara mata rantai sanad keguruan Syekh Muhammad Zaini dalam bidang Thoriqoh Sammaniyah ini, terdapat nama Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari. Berikut perinciannya sanad keguruan dari Syekh Samman hingga Syekh Muhammad Zaini:


Syekh Muhammad bin Abdul Karim As Samman Al Madani, Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al Banjari, Syekh Syihabuddin Al Banjari, Syekh Nawawi bin Umar Al Bantani, Syekh Zainuddin bin Badawi As Sumbawi, Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari, Syekh Muhammad Syarwani bin Haji Abdan Al Banjari, Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Al Banjari.


Mengajar di Mesjidil Haram


Setelah dinilai guru-gurunya mumpuni dalam bidang keilmuan, Syekh Ali pun diizinkan mengajar di Mesjidil Haram dalam mata pelajaran Nahwu, Shorof, dan Fiqih Mazhab Syafi’ie. 


Sejak saat itu pula, rumahnya di Daerah Syamiyah, Jabal Hindi, menjadi tempat tujuan para penimba ilmu. Terlebih, ketika umat Islam Seluruh dunia berdatangan untuk menunaikan ibadah haji. Momentum ibadah haji ini biasanya dimanfaatkan para muslimin untuk menimba ilmu dari ulama-ulama besar di tanah haram, tak terkecuali dengan Syekh Ali.


Dari sekian banyak murid Syekh Ali Al Banjari yang datang dari tanah Banjar dan kemudian menjadi ulama besar, di antaranya: KH Zainal Ilmi (Dalam Pagar), Syekh Sya’rani bin Haji Arif (Kampung Melayu), Syekh Muhammad Syarwani bin Haji Abdan (Bangil, Surabaya), Syekh Seman bin Haji Mulya (Keraton), Syekh Hasyim Mukhtar, Syekh Nasrun Thohir, Syekh Nawawi Marfu’, Syekh Abdul Karim bin Muhammad Amin Al Banjari (wafat di Makkah).


Berhenti Mengajar di Masjidil Haram

Setelah sekian lama tanah haram hidup tenang, dan Syekh Ali tenang menjalani rutinitasnya sebagai pengajar di Masjidil Haram, Saudi Arabia dilanda perpecahan. Perang antara kubu Syarif Husein (Turki Usmani) dengan kubu Muhammad Su’ud bin Abdul Aziz. 


Peperangan tersebut tidak hanya berkisar perebutan daerah, tapi juga keyakinan dalam beragama. Kubu Muhammad Su’ud yang membawa keyakinan Wahabi kemudian membuat “onar” di tanah haram. Para ulama Ahlussunnah di zaman itu dipanggil, tak terkecuali dengan Syekh Ali. 


Sempat terjadi perdebatan sengit antara Syekh Ali dengan ulama wahabi tentang firman Allah Ta’la, “Yadullah fauqa aidihim”(Al Fath ayat 10). Ulama Wahabi berpandangan lafaz “Yad” disana adalah tangan, dan Syekh Ali dengan tegas tidak menerima pandangan Mujassimah (menyerupakan Tuhan dengan makhluk, red) tersebut. Beliau cenderung dengan pandapat tafsir tentang ayat tersebut yang menyatakan: Bermula kekuasaan itu atas segala kekuasaan mereka itu. Lafadz “Yad” dimaknai Qudrat. Dalam debat itu, beliau menang telak atas ulama Wahabi. Sehingga, Syekh Ali yang tadinya akan dipancung, urung dilaksanakan. 


Dalam masa peperangan itu-lah, Syekh Ali Al Banjari menitipkan anaknya Husin Ali kepada Syekh Kasyful Anwar Al Banjari untuk dibawa ke tanah Banjar. Syekh Kasyful Anwar adalah sahabat Syekh Ali ketika mengaji kepada Sayyid Abu Bakar Satha, yang juga keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.


Sejak perpecahan itu-lah Syekh Ali Al Banjari tak lagi mengajar di Masjidil Haram. Namun, beliau masih menerima orang-orang yang datang menemuinya. Baik yang menimba ilmu atau yang hanya meminta doa. Karena nama Syekh Ali tidak hanya besar disebabkan kedalaman ilmunya, tapi juga kemustajaban doanya. Sehingga, banyak orang yang datang menemuinya hanya untuk didoakan beliau.


Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari wafat di Makkah Al Mukarromah, Kamis malam (Malam Jum’at) 12 Dzulhijjah 1307 Hijriyah dimakamkan di Mu’alla, Makkah.


(penulis: muhammad bulkini ibnu syaifuddin)


Silakan copas, tapi sertakan nama penulisnya. Sebab, suatu saat mungkin ada yang menjadikan referensi penelitian. Tulisan ini bersumber dari wawancara penulis dengan Ustadz Muhammad Husein Ali bin KH Husin Ali bin Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari (Cucu Syekh Ali di Martapura).



Jika ada salah dan khilaf, baik di sengaja maupun yang tidak disengaja, penulis menghaturkan ampun dan maaf yang sebesar-besarnya. Semoga Allah membukakan pintu tobat, ampunan, taufiq, hidayah, istiqomah, dan husnul khotiman pada kita sekalian baik bagi penulis maupun pembaca berkat Rasulullah SAW, Syaikhuna Sekumpul, berkat Syekh Ali Al Banjari, dan berkat orang-orang shaleh dulu-sekarang hingga akhir zaman, amin ya Robbal ‘alamin.


 Ditulis ulang oleh : 

Editor :

Muhammad Edwan Ansari, S.Pd.I

COPYRIGHT © Catatan Edwan Ansari 


Habib Usman bin Yahya, Sosok Wali Quthb Yang Mastur Dan Juga Seorang Ulama Yang Sangat Produktif Menulis Kitab

 Habib Usman bin Yahya, Sosok Wali Quthb Yang Mastur Dan Juga Seorang Ulama Yang Sangat Produktif Menulis Kitab


Habib Usman bin Yahya lahir di Pekojan, Jakarta Barat pada tanggal 17 Rabi’ul Awwal 1238 H atau 1822 M. Ayahnya adalah al-Habib Abdullah bin Aqil bin Syech bin Abdurahman bin Aqil bin Ahmad bin Yahya.Sedangkan ibunya adalah Asy-Syaikhah Aminah, putri Syaikh Abdurrahman Al-Mishri, seorang ulama keturunan Mesir.


Pada usia tiga tahun, ketika ayahnya kembali ke Makkah, ia diasuh oleh kakeknya dari pihak ibu, Syaikh Abdurrahman Al-Misri. Syaikh Abdurrahman Al-Mishri juga seorang ulama besar pada waktu itu. Ia sepupu Syaikh Abdullah bin Ahmad Al-Mishri, sastrawan Jakarta abad ke-19. Dalam sejumlah catatan, nama Syaikh Abdurrahman disebut-sebut sebagai salah satu dari empat murid asal Nusantara yang kembali dari kota Mekah, setelah puluhan tahun menimba ilmu di sana. Ketiga kawannya yang pulang bersamanya ke Nusantara adalah Syaikh Abdush Shamad Al-Falimbani, Syaikh Arsyad Banjar, dan Syaikh Abdul Wahhab Bugis. Kabarnya, tersebarnya Thariqah Sammaniyah di Nusantara tak terlepas dari peran keempat orang ini. 


Salah seorang putri Syaikh Abdurrahman Al-Mishri, yang bernama Syaikhah Aminah, dinikahi oleh Sayyid Abdullah bin Agil Bin Yahya. Dari hasil pernikahan inilah terlahir Habib Utsman Bin Yahya, sang Mufti Betawi. 


Tampaknya, latar belakang keluarga Habib Utsman menjadi salah satu faktor yang merangsang daya intelektualnya sedari kecil. Di bawah asuhan Syaikh Abdurrahman Al-Mishri, Habib Utsman mendapatkan pengajaran membaca Al-Qur’an, akhlaq, ilmu tauhid, fiqih, tasawuf, nahwu, sharaf, tafsir, hadits, dan ilmu falak. 


Pada usia 18 tahun, setelah Syaikh Abdurrahman Al-Mishri wafat, Habib Utsman menunaikan ibadah haji dan berjumpa dengan ayah serta familinya. Di sana, selama tujuh tahun, ia belajar ilmu agama kepada ayahandanya, Sayyid Abdullah bin Agil bin Yahya, dan kepada Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, mufti Mekah masa itu. Tahun 1848 M, Habib Utsman meneruskan perjalanannya untuk menuntut ilmu. Berangkatlah ia ke Hadhramaut. Di sana, Habib Utsman menuntut ilmu kepada Habib Abdullah bin Umar Bin Yahya, dan khal (paman dari sisi ibu) gurunya itu, yaitu Habib Abdullah bin Husein Bin Thahir.

Dari Hadramaut beliau melanjutkan perjalanannya ke Mesir dan belajar di Kairo walaupun hanya untuk 8 bulan. Kemudian beliau meneruskan perjalanannya ke Tunisia ( berguru pada Syekh Abdullah Basya ), lalu ke Aljazair ( belajar pada Syekh Abdurahman Al-Magribhi ), lalu ke Istanbul, Persia dan Syiria. Maksud beliau berpergian dari satu negeri ke negeri lain adalah untuk mendalami berbagai macam disiplin ilmu seperti ilmu fiqh, tasawuf, tarikh, falak, dan lain-lain. Setelah itu beliau kembali ke Hadramaut.


Pada tahun 1862 M./1279 H,Habib Usman kembali ke Batavia dan menetap di sana hingga wafat pada tahun 1331 H./1914 M.


Anak cucu Habib Usman Banyak Yang Menjadi ulama


Anak-cucu Habib Utsman banyak yang menjadi ulama, meskipun sebagiannya tidak banyak dikenal orang dan sedikit pula yang menulisnya. Di antaranya adalah Habib Alwi, anak pertamanya. Berbeda dengan Habib Utsman, yang lahir dan wafat di Jakarta, anaknya ini lahir dan wafat di Hadhramaut, meskipun pernah pula tinggal di Jakarta dan menikah dengan wanita Betawi.Dialah yang menulis surat kepada Snouck C. Hurgronje, mengabarkan wafatnya sang ayah pada tahun 1914. Di antara anak Habib Alwi yang menjadi ulama adalah Habib Utsman bin Alwi bin Utsman. Kini perjuangannya dilanjutkan oleh anak-anaknya, di antaranya Habib Alwi bin Utsman bin Alwi bin Utsman, lulusan Darul Musthafa, Tarim, Hadhramaut. 


Salah seorang cucu Habib Alwi bin Utsman yang cukup dikenal di antaranya adalah Ustadzah Syarifah Syechun binti Syech bin Alwi Bin Yahya, yang telah wafat beberapa tahun silam.Anak Habib Utsman lain yang juga menjadi tokoh adalah Habib Yahya bin Utsman, seorang anggota pengurus Rabithah Alawiyyah sejak awal berdirinya. Selain itu juga Habib Abdullah bin Utsman, yang menulis biografi ayahnya dengan judul Suluh Zaman.


Di antara anak Habib Utsman yang juga menjadi ulama adalah Habib Agil bin Utsman, yang lahir di Masilah, Hadhramaut, tahun 1290 H. Habib Agil, ayah ulama terkenal di Jakarta, Habib Mu­hammad bin Agil, dikenal sebagai penyair yang hebat, memiliki kepribadian yang lembut, dan rendah hati. Syair-syair dan artikel-artikelnya dimuat di media-media yang terbit di Sungapura, Mesir, Lebanon, Maroko, dan lain-lain. Kini, salah seorang putra Habib Muhammad bin Agil termasuk salah seorang ulama sepuh kota Jakarta sekarang, yaitu Habib Novel bin Muhammad bin Agil. Habib Agil bin Utsman belajar kepada saudaranya, Habib Muhammad bin Utsman, anak Habib Utsman juga yang menjadi ulama di Hadhramaut, dan kepada Habib Umar bin Agil bin Abdullah bin Yahya, saudara Habib Muhammad bin Agil, tokoh besar Alawiyyin dengan reputasi internasional, cucu Habib Abdullah bin Umar Bin Yahya.


Kerabt Habib Usman bin Yahya


Selain anak-cucunya, beberapa kerabat dekat Habib Utsman juga dikenal sebagai tokoh di sejumlah daerah. Di antaranya adalah kakak beliau yang bernama Habib Hasyim bin Abdulloh bin Agil bin Yahya, Meski tak banyak diketahui ihwal jejak hidupnya, ia juga seorang ulama di masanya. Habib Hasyim kemudian menetap dan wafat di kota Surabaya. Sebagian keluarga Habib Hasyim ini kemudian menjalin hubungan mushaharah dengan keluarga Habib Abubakar bin Umar Bin Yahya, Pegirian, Surabaya. 


Saudara Habib Utsman lainnya yang tinggal di Indonesia adalah Habib Umar bin Abdulloh bin Agil bin Yahya( Mufti Donggala ) Sayangnya, tidak banyak keterangan yang bisa di dapat tentang saudara Habib Utsman yang satu ini, selain bahwa ia kemudian menetap dan wafat di Sulawesi dan berketurunan hingga saat ini.


Murid-Murid Habib Usman bin Yahya


murid-murid Habib Usman banyak yang menjadi ulama besar di berbagai pelosok. Dua di antara dari sekian banyak muridnya yang populer adalah Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, yang menjadi guru hampir seluruh ulama Betawi pada abad ke-20, dan K.H. Abdul Mughni (Guru Mughni Kuningan), yang tercatat sebagai salah seorang di antara enam ulama besar Betawi abad ke-19 M yang memiliki jalinan intelektual dan hubungan ilmiyah dengan beberapa ulama Timur Tengah.


Pengangkatn Habib Usman bin Yahya Sebagai Mufti Betawi


Habib Usman diangkat menjadi Mufti menggantikan mufti sebelumnya, Syekh Abdul Gani yang telah lanjut usianya, dan sebagai Adviseur Honorer untuk urusan Arab ( 1899 – 1914 ) di kantor Inlandsche Zaken.


Kitab-Kitab Karya Habib Usman


Habib Utsman sendiri, selain dikenal sebagai seorang ulama yang menjadi mufti, atau ulama yang dianggap memiliki otoritas dalam mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan, juga memiliki perhatian mendalam dalam pemeliharaan nasab Alawiyyin. Ia, selain meninggalkan begitu banyak karya dalam bentuk kitab-kitab agama, juga meninggalkan sebuah karya berupa monogram pohon nasab keluarga besar Alawiyyin dengan teknik penulisan atau penggambaran yang cukup indah

Sebagai seorang Ulama, Habib Usman sangat produktif menulis buku. Buku-buku yang beliau karang sebagian besar tidaklah tebal, akan tetapi banyak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sering timbul di tengah masyarakat tentang syariat Islam.


Karya-karyanya ditulis dalam bahasa Arab, Melayu Jakarta, Jawa dan Sunda. Beberapa buku karanganya yaitu :


1. Jawazu Ta'addudil Jumu'ah, ditulis tahun 1286 H.

2. Manhaj al-Istiqamah fi ad-Dini bi as-Salamah, selesai pada 5 Zulkaedah 1307 H/1890 H.

3. Mazil al-Auham wa at-Taraddud fi Amri Shalah al-Jumu'ah Ta'addud, ditulis tahun 1312 H.

4. Taftih al-Maqallatain wa Tabyin al-Mufsidin al-Makhba-ataini fi ar-Risalah al-Ma'mati bi Shulhi al-Juma'ataini, ditulis tahun 1313 H.

5. Al-Qawanin asy-Syar'iyah, ditulis tahun 1317 H.

6. Perhiasan Bagus.

7. Shifat Dua puluh.

8. Samth asy-Syuzur wa al-Jawahir fi Hilli Takhshish an-Nuzur li as-Sadah.

9. Kitab al-Faraidh.

10. Hadits Keluarga.

11. Maslak al-Akhyar.

12. Abadul Insan.

13. Iqazhuniyah fi ma Yata'allaqu bi Lahillah wa Shiyam.

14. Az-Zahrul Basim.

15. I'anah al-Mustarsyidin.

16. Thariq as-Salamah.

17. Salam al-Muslimin.

18. Terjemah Hukum Islam.

19. Sa'adah al-Anam.

20. Tamyiz al-Haq.

21. Perihal Hukum Azan.

22. Irsyad al-Anam.

23. Taftih al-'Uyun.

24. Miftah as-Sa'adah.

25. Tafsir Surah Kahfi.

26. As-Silsalah an-Nabawiyah.

27. Qamus Tiga Bahasa.

28. Qamus Kecil.

29. Hukum Gambar.

30. Hikam ar-Rahman.

31. Hadits Empat Puluh.

32. Bab al-Minan.

33. Mukhtashar al-Qamus.

34. Tujuh Faidah.

Dan lain-lain.

Menurut riwayat, seluruh karangan Sayid Utsman berjumlah 109 judul besar dan kecil, tetapi yang terbanyak merupakan risalah-risalah kecil.


dalam bukunya Risalah Dua Ilmu beliau membagi Ulama menjadi 2 macam yaitu Ulama Dunia dan Ulama Akhirat. Ulama dunia itu tidak Ikhlas, materialistis, berambisi dengan kedudukan, sombong dan angkuh, sedangkan Ulama akhirat adalah orang yang ikhlas, tawadhu’, yang berjuang mengamalkan ilmunya tanpa pretensi apa-apa, semata mata karena Alloh Ta'ala dan mengharap ridonya.

Anggapan orang bahwa Habib Usman seorang yang anti tarekat adalah tidak benar, sebab selama di Mekah dan Hadramaut beliau belajar ilmu tasawuf dan Ilmu Tarekat.Kalau Memang Habib Usman menentang itu, tentulah tarekat yang menyimpang dari ajaran Agama.


Sebelum wafat Sayid Usman berpesan agar makamnya tidak dibuat kubah dan tidak perlu mengadakan haul untuk dirinya. Sayid Usman wafat pada 21 Shofar 1331 H atau bertepatan 19 Januari 1914 M, jenazahnya dimakamkan di TPU Karet, Jakarta. Namun pada masa Gubernur Ali Sadikin, di era orde baru makam Sayyid Usman digusur dan oleh pihak keluarga dipindahkan ke Pondok Bambu. Sekarang makamnya masih terpelihara dengan baik di sebelah Selatan Masjid Al-Abidin di Jalan Masjid Abidin Sawah Barat, Pondok Bambu, Jakarta Timur.