Selasa, Desember 17, 2019

Filosofi tukang parkir

Belajar ikhlas dlm hidup ini pakailah pola fikir TUKANG PARKIR,yg walaupun banyak punya mobil/kendaraan tapi DIA sadar bahwa itu hanyalah TITIPAN  yg akan diambil kembali KAPANPUN oleh yg PUNYA insya Allah tak ada yg namanya galau apalagi sakit hati hidup ini.....


Penulis : Rahimah
Editor : Muhammad Edwan Ansari

COPYRIGHT © Sahabat Edwan Ansari Kalimantan Selatan

Biografi Singkat Guru Dodol atau Guru Janggut ( Tuan Guru Haji Abdul Qadir Noor )

Biografi Singkat Guru Dodol atau Guru Janggut ( Tuan Guru Haji Abdul Qadir Noor )

Guru Dodol adalah gelar yang diberikan masyarakat Kandangan dan sekitarnya, bukan karena profesi beliau pembuat atau penjual dodol. Guru Dodol hanya representatif dari kota kandangan yang identik dengan makanan khas berupa Dodol. Gelar ini diberikan karena beliau adalah ulama Kandangan yang masyhur dimasanya, majelis pengajian beliau tidak hanya dihadiri masyarakat setempat tapi juga masyarakat sekitarnya bahkan ada yang dari luar kota Kandangan. Mereka datang semata-mata untuk belajar dan memperdalam ilmu-ilmu keagamaan pada beliau.

Sedangkan gelar Guru Janggut, karena beliau punya janggut sebagai ittiba pada Rasulullah Saw yang memelihara janggut, maka gelar Guru janggut itu melekat dalam diri beliau. Kemudian hari, panggilan Guru janggut menjadi identitas dan ciri khas keulamaan beliau dimasa itu. Sehingga ketika ada orang yang menyebut nama Guru janggut maka dapat dipastikan itu adalah beliau bukan ulama lain. Di masanya beliau adalah ulama Tuha dan dituakan, ia terkenal akan keluasan ilmu agamanya, ketulusan dan kasih sayangnya. Sehingga banyak yang datang untuk menimba ilmu pada beliau. Ini dapat dilihat dari murid-murid yang datang belajar padanya, mulai dari masyarakat biasa sampai yang derajatnya sudah ulama. Dimasa itu beliau jadi rujukan utama, tempat bertanya, urun rembuk masalah keagamaan mulai dari masyarakat biasa sampai alim ulama terkhusus yang ada dikota Kandangan.

Kelahiran dan Kehidupan keluarga

Nama lengkap beliau adalah Tuan Guru Haji Abdul Qadir Noor bin Buwasin ( selanjutnya kita sebut Guru Abdul Qadir Noor ) lahir pada tanggal 17 Nopember 1911 M bertepatan pada tanggal 26 zulqa’idah 1329 H di Desa Padang Kapuh atau Kapuh Padang sekarang Desa Kapuh Kecamatan Simpur, Kandangan kab. Hulu Sungai Selatan. Ayahnya bernama Buwasin dan ibunya bernama Radiyah. Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara, empat saudaranya bernama Fatimah, Halimah, Bajuri dan Hawi.

Guru Abdul Qadir Noor hidup dilingkungan keluarga yang sederhana. Ayahnya hanya orang biasa, bekerja sebagai petani, bukan ulama atau punya garis keturunan ulama. Walaupun demikian keluarga ini sangat taat dalam beragama. Sehingga sejak kecil beliau sudah di didik secara agamis, cinta ilmu dan cinta alim ulama. Abdul Qadir Noor kecil selalu dibawa ayahnya mengikuti pengajian agama di sekitar tempat tinggalnya. Belajar membaca Al Qur’an dan tata cara shalat lima waktu, belajar akhlak pada guru agama yang ada di desanya. Karena itu, sejak kecil ia sudah menunjukkan sifat-sifat terpuji dan taat pada kedua orang tuanya.

Guru Abdul Qadir Noor memiliki dua isteri. Isteri pertamanya bernama Hj. Rubi’ah dari Kapuh satu kampung dengan beliau . Dari isteri pertama ini, ia mendapat tiga anak yaitu Jawahir, Mukhlish Khalishi dan Ilyas Khairy. Isteri keduanya bernama Rukayah berasal dari Perak Malaysia. Dari isteri keduanya ini ia mendapat seorang anak laki-laki yang bernama Imran.

Rihlah menuntut ilmu

Pada usia tujuh tahun, Abdul Qadir Noor kecil dimasukkan orang tuanya ke Sekolah Rakyat (SR) di kota Kandangan yang jauhnya sekitar 7,5 km dari rumahnya. Karena jarak sekolahnya cukup jauh, ayahnya membelikan sebuah sepeda untuk memudahkannya pergi ke sekolah. Uniknya ia tidak selalu menaiki sepedanya itu, malah sering ia tuntun sambil berjalan kaki sepanjang perjalanan. Rupanya hal ini sengaja ia lakukan agar di jalan memiliki waktu yang panjang untuk menghafal pelajaran baik pelajaran yang telah ia pelajari dari gurunya atau yang belum diajarkan gurunya.

Setelah menempuh studi selama enam tahun di Sekolah Rakyat, Abdul Qadir Noor meneruskan studinya di berbagai majelis taklim ( mangaji baduduk ). Ia rajin sekali belajar ilmu-ilmu agama di sejumlah pengajian yang diadakan oleh para ulama. Guru-guru tempat ia belajar di antaranya adalah Haji Abdullah Shiddik ( Tuan Qadhi ) Wasah hilir, Haji Athaillah ( kakek KH. Ahmad Riduan Baseri / Guru Kapuh ) di Kapuh dan Haji Mufti Sulaiman di
Kandangan.

Pada tahun 1927, ketika berusia enam belas tahun, Abdul Qadir Noor berangkat ke Perak Malaysia mengikuti pamannya untuk berdagang. Di sinilah ia bertemu dengan seseorang yang memberi kesan mendalam dalam dirinya untuk lebih giat belajar agama. Diceritakan pada waktu itu keduanya saling berkenalan untuk pertama kali, berbincang bincang, kemudian sholat zuhur berjamaah bersama-sama. Pada saat ingin memulai sholat berjamaah, keduanya saling mempersilahkan untuk menjadi imam, akhirnya orang yang baru dikenalnya itu mengalah dan mau menjadi imam. Ketika usai sholat beliau bersalaman dengan orang itu, ia mencium tangannya, orang itupun balik mencium tangan beliau. Tidak berapa lama jama’ah mulai berdatangan dan berkumpul mengelilingi mereka. Beliau bingung kenapa orang-orang itu berbuat demikian, lalu beliau berinisiatif menanyakan tentang orang yang baru dikenalnya itu pada jamaah yang lain . Barulah beliau tahu bahwa orang itu adalah seorang ulama besar di Perak. Beliau pun terkejut sekaligus kagum atas ketawadhuan ulama itu, ada rasa malu masuk kehatinya lalu beliau segera minta maaf atas berbuatan yang kurang adab tersebut. Dari sinilah muncul keinginan kuat dalam hatinya untuk lebih memperdalam lagi pengetahuan agamanya agar beliau dapat menjadi orang yang berilmu, berakhlak karimah seperti orang yang baru dikenalnya itu. Untuk mewujudkan keinginannya itu beliau masuk ke salah satu Pesantren di Perak. Beliau menempuh studinya selama lima tahun di pesantren itu.

Pada tahun 1932, Abdul Qadir Noor kembali ke desa kelahirannya, Kapuh Padang sekarang Desa Kapuh. Walaupun telah menempuh studi selama lima tahun di Malaysia, tidak membuatnya merasa puas menuntut ilmu. Beliau kemudian meneruskan kembali studinya mengkaji ilmu-ilmu agama ke kota Amuntai tepatnya di Arabische school ( sekolah Arab ) cikal bakal Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah di bawah bimbingan Tuan Guru Haji Abdur Rasyid ( wafat 4 Pebruari 1934 ). Setelah tiga tahun menempuh studinya di sekolah itu, beliau kemudian kembali ke Kandangan dan meneruskan studinya di Madrasah Islam Pandai Kandangan yang juga di pimpin oleh Tuan Guru Haji Abdur Rasyid sebelum meninggal. Pada tahun 1938 beliau  berhasil menyelesaikan studinya di tempat ini pada usia 28 tahun.

Aktivitas sebagai Tuan Guru

Setahun kemudian tepatnya 1939, beliau mulai mengabdikan diri sebagai guru di Madrasah Islam Pandai Kandangan. Dari sinilah kemudian aktivitasnya sebagai tuan guru dimulai. Beliau mengajar tidak hanya di madrasah tersebut, tapi membuka juga pengajian di rumahnya sendiri. Ilmu-ilmu yang beliau ajarkan lintas disiplin mulai dari ilmu tauhid, tasawuf, fiqih, tafsir, hadis dan lainnya. Pengajian yang ia adakan di rumahnya semakin banyak didatangi orang sehingga rumahnya tidak sanggup lagi menampung masyarakat yang mengikuti pengajiannya. Sebagian jama’ah terpaksa mengikuti pengajian dari luar rumah. Melihat kondisi ini, Guru Abdul Qadir Noor akhirnya memindahkan pengajiannya ke mushola dekat rumahnya sendiri. Setelah pindah kemushola, pengajian rutin diadakan tiap malam sehabis sholat magrib yang diakhiri dengan sholat isya berjama’ah. Jama’ah yang hadir tambah banyak sehingga mushola tak sanggup lagi menampung orang, jama’ah meluber sampai kejalan dan rumah-rumah penduduk.

Majelis pengajian beliau dibagi dua, satu di mushola khusus untuk masyarakat umum siapa saja boleh hadir, laki-laki, perempuan sampai anak-anak kecil ikut juga. Dua, majelis yang ada di rumah beliau, ini khusus bagi alim ulama, diadakan satu minggu dua kali. Melihat antusias jama’ah yang terus bertambah, khususnya dari kalangan anak-anak, maka didirikanlah madrasah diniyah di seberang mushola Nurul Falah. Madrasah ini dinamai Madrasah islam Nurul Falah materi pelajarannya full ilmu-ilmu keislaman, sedangkan waktu belajarnya sekitar jam dua sore supulang anak-anak sekolah SD.

Selain memimpin sejumlah pengajian dan mengajar dimadrasah sendiri, beliau juga mengajar di sejumlah madrasah lain seperti Madrasah Islam Pandai Kandangan, Madrasah Takhashshush Diniyah, Madrasah Menengah Tinggi Desa Amawang Kiri Kandangan, Madrasah Islam Darul Falah wasah Hilir.

Murid-murid beliau

Sebagai tuan guru yang memimpin banyak tempat pengajian, memimpin sebuah pesantren dan mengajar di sejumlah madrasah, Abdul Qadir Noor memiliki banyak murid. Dari sekian banyak muridnya di antaranya ada yang menjadi ulama dan mengajar di daerahnya masing-masing. Di antara murid-murid beliau adalah Guru Muhammad Arifin Kapuh, Guru Haji Masri Zain ( pengarang kitab Asrarus Sholatil jama’ah ), Guru Haji Asy’ari, Guru harli Pahampangan, Guru ibrahim ( anak guru Ayan Rantau ), Haji Kusairy, Guru Haji Abad Padang haur wasah tengah, Haji Anang Syukeri, Haji Hasan Sunni, Haji Muhammad Ismail, Haji Hadar, Haji Sulaiman Husin, Guru Utun, Mansuri, Haji Muhammad Arsyad, dan masih banyak lagi.

Adapun murid beliau dari kalangan perempuan yang jadi pendidik adalah Jawahir ( anak perempuan beliau sendiri), Angah Badar, Angah Dumal. Mereka dikenal orang, tiga serangkai dari Kapuh. Selain mengajar di rumah, mereka bertiga sering diundang keluar daerah untuk berdakwah mengajarkan ilmu-ilmu keislaman.

Membangun Pondok Pesantren

Setelah pengajian berjalan selama lebih kurang tiga puluh tahun, ada inisiatif dari masyarakat untuk mengembangkan Madrasah Diniyah Nurul Falah menjadi pondok pesantren. Lalu dibentuklah kepanitiaan inti yang diketuai oleh beliau sendiri dibantu oleh murid-muridnya seperti Guru Haji Muhammad Arifin, Guru Haji Masri Zain dan murid lainnya serta masyarakat sekitar. Untuk mencari dana diadakanlah saprah amal, membuka donasi bagi siapa yang ingin menyumbang, berjualan kalender yang disebar kepelosok kota Kandangan. Setelah dana terkumpul cukup banyak maka dimulailah pembangunan Pondok pesantren dekat mushola Nurul Falah. Pondok Pesantren ini diberi nama sama dengan nama mushola dan madrasah beliau yaitu Pondok Pesantren Nurul Falah.

Pondok Pesantren ini juga mendapat bantuan dari pemerintah setempat dan dari Gubernur Kalimantan Selatan. Pada tanggal 29 Januari 1977 Pondok Pesantren Nurul Falah diresmikan langsung oleh Gubernur Kalimantan Selatan yang saat itu dijabat oleh Soebarjdo. Tuan Guru Abdul Qadir Noor kemudian ditunjuk dan dikokohkan sebagai pimpinan pondok pesantren ini.

Aktivitas dipemerintahan dan Politik

Aktifitas beliau tidak hanya menjadi ulama yang memimpin majelis pengajian dan pengajar dibeberapa madrasah islam saja tapi merambah kebidang pemerintahan dan dunia politik. Pada tahun 1952, usia beliau kala itu baru 41 tahun, diangkat oleh pemerintah menjadi Kepal Kantor Penerangan Agama Islam Kabupaten Hulu Sungai Selatan ( sekarang Kementrian agama ). Di bidang politik, Tuan Guru Abdul Qadir Noor bergabung dengan Partai Masyumi dan sekitar tahun 1965 ia menjadi anggota DPRD Tingkat II Kabupaten Hulu Sungai Selatan mewakili partai Islam tersebut.

Akhlak dan keistimewaan beliau

Tuan Guru Abdul Qadir Noor adalah ulama karismatik, dihormati, disegani sekaligus disayangi oleh masyarakat sekitar. Beliau panutan semua orang, tutur kata lembut, penuh adab, sopan santun dan penyayang pada sesama bahkan pada binatang sekalipun. Pernah suatu hari, anak-anak berburu burung pakai ketapel dekat rumah beliau. Melihat itu beliau segera keluar rumah dan berkata pada anak-anak tersebut ; “jangan tuh lah, jangan sakiti burungnya kasian inya. Nah duit, jaka baulanjaan kawarung”, anak-anak tersebut gembira dapat uang dari beliau dan segera berlari menuju warung. Ada lagi cerita lain, biasanya beliau pergi mengajar pakai sepeda, ditengah jalan tiba-tiba beliau melihat kodok dimainkan ayam. Segera beliau turun dari sepeda untuk menyelamatkan kodok dan menjauhkan ayam sejauh-jauhnya, ini semua karena kasih sayang dihati beliau pada makhluk Tuhan walau pada binatang sekalipun.

Pernah satu hari dimusim kemarau, sumur punya beliau kering, di tempat beliau hanya ada satu sumur yang tidak kering yaitu sumur dekat madrasah beliau. Semua mandi disana termasuk beliau sendiri. Melihat itu anak-anak kecil ikut mandi juga. Lalu beliau berkata ; “coba sini lihat tapak batis kai putih banar”, kata beliau sambil menekan-nekan dengan ibu tangannya. Anak-anak senang, himung banar dirawa orang yang mereka sayangi. Begitulah beliau dengan anak-anak, beliau sayangi mereka, beliau pandiri, suka bagagayaan, tidak ada jarak sama sekali dan tidak ada rasa segan bermain dengan mereka.

Begitu juga ketika ada hajatan, aruhan atau salamatan yang beliau ada disitu. Saat tiba waktu makan, pertama yang beliau pikirkan dan dahulukan adalah masalah makan anak-anak. Apalagi kalau acara itu dirumah beliau, saat sampai waktu makan anak-anak kecil yang beliau cari lebih dulu, beliau datangi dan ambili untuk makan bersama-sama dengan jama’ah lain. Inilah kasih sayang beliau pada anak-anak, karena ittiba dengan Nabi, seperti inilah Rasulullah Saw memperlakukan anak-anak dengan penuh kasih sayang. Makanya anak-anak sangat senang dekat beliau. Dan hal yang paling mereka tunggu dalam setahun adalah malam salikur ( 21 Ramadhan ) karena di rumah beliau diadakan acara membaca muqaddam ( khatam Al Qur’an 30 juz ) sekaligus haulan Ayah beliau. Acara tersebut dimulai setelah selesai sholat tarawih berjama’ah dimushola Nurul Falah. Rumah beliau penuh sesak dihadiri jama’ah undangan, murid-murid dan seluruh masyarakat kampung, tidak ketinggalan anak-anak kecil ikut hadir juga. Acara tersebut ditutup dengan tahlil, do’a diakhiri dengan jamuan makan bersama. Bahkan ada sebagian yang sahur dirumah beliau.

Ketika ditanya masalah hukum fikih, beliau tidak langsung menjawab walau tahu jawabannya. Beliau buka dulu beberapa kitab fikih bila ketemu baru beliau sandarkan hukum kepengarang kitab, seolah-olah bukan pendapat dari beliau. Kalau masalah cukup rumit terkadang sampai beberapa hari baru ada keputusan hukum dari beliau. Inilah ketawadhuan dan kehati-hatian beliau dalam mengambil dan memutuskan sebuah hukum yang terjadi dimasyarakat.

Sewaktu jadi anggota DPRD, beliau tidak pernah mengambil gajih sebagai anggota dewan. Niat beliau semata-mata karena Allah, menolong agama Rasulullah, murni mengabdi pada masyarakat, bangsa dan negara bukan kepentingan ngolongan atau memperkaya diri sendiri.

Selain mengajar ilmu agama, beliau juga sering diminta tamu yang datang kerumah untuk dibuatkan cemeti ali. Proses pengerjaannya satu tahun sekali, setelah Ramadhan baru bisa diambil. Cemeti ini biasanya digunakan untuk perisai diri dari orang-orang yang ingin berbuat jahat, bisa juga digunakan untuk menolak gangguan dari jin dan makhluk halus. Istimewanya cemeti buatan beliau, bila angin kencang puting beliuang, pemilik cemeti tinggal keluar rumah saja lalu menggerak-gerakkan cemeti keatas dan dengan izin Allah angin tersebut berangsur-angsur berhenti. Tapi awas jangan sembarangan memelihara cemeti dari beliau karena bisa menimbulkan mudharat bagi pemiliknya. Pernah seseorang punya cemeti dari beliau, ingin memperbaikinya sendiri karena warnanya sudah kusam. Lalu dilicinkan dengan ampelas, esok harinya seluruh tubuh terserang panas tinggi. Panas itu baru hilang setelah meminum air tawar dari beliau. Ukuran cemeti beliau mulai dari yang pendek sampai yang panjang bahkan ada yang berbentuk tongkat komando, biasanya dihadiahkan untuk pejabat mileter atau kepolisian yang datang bertamu kerumah beliau.

Beliau juga pernah cerita ada Jin yang selalu datang kerumah dan ingin menjadikan beliau sahabatnya. Tapi beliau tolak, karena menurut beliau Jin yang datang ini kelihatannya baik tapi suatu saat bisa berbahaya bagi beliau dan orang lain karena ada sifat dusta dalam diri Jin tersebut.

Dulu para remaja, pemuda dan laki-laki dewasa ketika sampai waktu sholat tidak ada yang diluar rumah karena malu kalau dilihat beliau tidak ikut sholat berjama’ah di mushola. Begitu juga ketika berbuat yang sia-sia mereka malu kalau beliau tahu dan melihatnya. Pernah sebagian remaja main domino, mereka langsung berlari berhamburan melihat beliau lewat di depan mereka. Padahal beliau tidak melihat atau menoleh sedikitpun. Ini adalah haibah yang diberikan Allah pada diri beliau.

Amalan yang selalu beliau dawamkan atau rutinkan adalah membaca sholawat Al Qura’aniah ( Basyairul khairat) dari Sulthan Aulia syekh abdul Qadir Al Jilani. Dari sinilah beliau dapat futuh dari Allah dan mimpi bertemu Nabi Muhammad Saw. Mimpi yang sangat berkesan dalam hidup beliau, karena menurut riwayat dimimpi itu Rasulullah Saw menyapukan tangannya yang penuh berkah dan mulia kerambut beliau. Sehingga bekas dan harumnya tangan Rasulullah Saw tetap tercium sampai beliau bangun dari tidurnya. Karena rasa cinta dan takzimnya pada Rasulullah Saw rambut bekas sentuhan Rasulullah Saw tidak pernah beliau potong lagi. Demikianlah menurut sebagian riwayat, Wallahu a’lam.

Menulis buku

Di tengah berbagai kesibukan, Tuan Guru Haji Abdul Qadir Noor menyempatkan diri menulis beberapa buah risalah. Ada tiga buah karya tulis yang sempat beliau selesaikan;

(1). Ibtida al-tauhid fî ‘Aqa’id Ahl al-Tauhid (tauhid)
(2). Manasik Haji (fikih)
(3). Ilmu Fara`idh (fikih)

Tulisan pertama dalam bidang tauhid menyebar di wilayah Kalimantan Selatan dan menjadi salah satu kitab tauhid rujukan di kalangan masyarakat Banjar terutama Kota Kandangan. Sementara kedua kitab fikihnya tidak sempat menyebar luas karena tidak diterbitkan. Kedua karya fikihnya itu masih berbentuk naskah tulisan tangan dan belum sempat dikoreksi oleh beliau.

Penghujung jalan

Setelah beliau mengabdikan diri sebagai ulama kurang lebih 41 tahun lamanya. Takdir Allah tidak dapat ditolak, beliau jatuh sakit yang membawa pada kehidupan yang lebih abadi. Beliau dipanggil Sang Ilahi Rabbi kembali kehadhrah Allah Tuhan pemilik segala kehidupan. Beliau wafat di usia 69 tahun pada pukul 19.00 Sabtu Malam, tanggal 5 Jumadil Akhir 1400 H atau bertepatan dengan tanggal 20 April 1980 di kampung kelahirannya, Desa Kapuh padang. Seketika angin kesedihan berhembus keras menampar hati orang-orang yang mencintai beliau. Bumi basah dengan air mata, tangis berderai tak bisa ditahan. Mereka kehilangan orang yang dicintai untuk selamanya. Mendengar kewafatan beliau masyarakat datang berbondong-bondong dari segala penjuru sehingga mushola tempat beliau disholatkan tidak mampu lagi menampung karena banyaknya jama’ah yang datang. Selesai sholat mereka berjejal ingin membawa dan mengantarkan bersama-sama Tuan Guru yang mereka cintai, sehingga jasad beliau berjalan diantara ujung-ujung jari mereka sampai ketempat pembaringan terakhir. Beliau dimakamkan pada pukul 16.00 wita tepat di depan rumahnya. Sampai sekarang makam beliau masih sering diziarahi banyak orang.

[dari berbagai sumber]





Sedikit manakib habib Alwi Alhabsyi

*Masjid Riyadh Solo*

Betapa sedihnya Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi.
Pemuda berusia 22 tahun itu ditinggal wafat oleh ayahnya, Habib Ali bin Muhammad bin husein Al- Habsyi,(Sohibul Simtud Duror) pada tahun 1331 H / 1913 M.
kota Seiwun, Hadramaut, yaman, itu terasa asing baginya.
Habib Alwi adalah anak bungsu, paling disayang Habib Ali.
Begitu juga, Habib Alwi pun begitu menyayangi ayahnya, sehingga dirinya bagaikan layangan yang putus benangnya.

Hababah Khodijah, kakak sulungnya, yang terpaut 20 tahun, merasakan kesedihan adiknya yang telah diasuhnya sejak kecil.
Daripada hidup resah dan gelisah, oleh putri Habib Ali Al-Habsyi, Habib Alwi disarankan untuk berwisata hati ke Jawa, menemui kakaknya yang lain, Habib Ahmad bin Ali Al-Habsyi di Betawi.
Habib Alwi pergi ke Jawa ditemani Salmin Douman, santri senior Habib Ali Al-Habsyi, sekaligus sebagai pengawal.
Beliau meninggalkan istri yang masih mengandung di Seiwun, yang tak lama kemudian melahirkan, dan anaknya diberi nama Ahmad bin Alwi Al-Habsyi.

Kabar kedatangan Habib Alwi telah menyebar di Jawa, karena itulah banyak murid ayahnya (Habib Ali Al-Habsyi) di Jawa menyambutnya, dan menanti kedatangannya di kota masing-masing.

Pertama kali Habib Alwi tinggal di Betawi beberapa saat.
Kemudian beliau ke Garut, Jawa Barat, menikah lagi.
Dari wanita ini lahir Habib Anis dan dua adik perempuan.

Lalu, beliau pindah ke Semarang,
Jawa Tengah.
Disana beliau menikah lagi, dianugerahi banyak anak, dan yang sekarang masih hidup adalah Habib Abdullah dan Fathimah.

Selanjutnya beliau pindah lagi ke Jatiwangi, Jawa Barat, dan menikah lagi dengan wanita setempat.
Dari perkawinan itu, beliau memilki enam anak, tiga lelaki dan tiga perempuan.
Di antaranya adalah Habib Ali bin Alwi Al-Habsyi serta Habib Fadhil bin Alwi yang meninggal pada akhir Agustus 2006.

Akhirnya Habib Alwi pindah ke Solo, Jawa Tengah.
Pertama kali, Habib Alwi sekeluarga tinggal di Kampung Gading, di tempat seorang raden dari Kasunan Surakarta.
Kemudian beliau mendapatkan tanah wakaf dari Habib Muhammad Al-Aydrus (kakek Habib Musthafa bin Abdullah Al-Aydrus, Pemimpim Majlis Dzikir Ratib Syamsisy Syumus), seorang juragan tenun dari kota Solo, di Kampung Gurawan.

Wakaf itu dengan ketentuan :
— didirikan masjid, rumah, dan halaman di antara Masjid dan rumah.
Masjid tersebut didirikan pada tahun 1354 H / 1934 M.
Habib Ja'far Syaikhon As-Segaf mencatat tahun selesainya pembangunan Masjid Riyadh itu dengan sebuah ayat 14 surah Shaf (61) di dalam al-Qur'an, yang huruf-hurufnya berjumlah 1354. ayat tersebut, menurut Habib Ja'far yang meninggal di Pasuruan 1374 H / 1954 M ini, sebagai pertanda bahwa Habib Alwi akan terkenal dan menjadi khalifah pengganti ayahnya, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi.
Sementara rumah di Gurawan No.6 itu lebih dahulu berdiri dan halaman yang ada kini disambung dengan masjid dan rumah menjadi ruang Zawiyah (pesantren) dan sering digunakan untuk kegiatan haul, Maulid, dan berbagai kegiatan keagamaan lainnya.
Struktur ruang Zawiyah ini seperti Raudhah, taman surga di dunia, yaitu ruang antara kamar Nabi Muhammad ﷺ dan Masjid Nabawi.
Sekarang bangunan bertambah dengan bangunan empat lantai yang menghadap ke Jln. Kapten Mulyadi 228, yang oleh sementara kalangan disebut Gedung Al-Habsyi.

Tentang rumah Habib Alwi di Solo, Syekh Umar bin Ahmad Baraja', seorang guru di Gresik, pernah berujar, rumahnya di Solo seakan Ka'bah, yang dikunjungi banyak orang dari berbagai daerah.
Ucapan ulama ini benar.
Sekarang, setiap hari rumah dan Masjid nya dikunjungi para habib dan muhibbin dari berbagai kota untuk tabarukan atau mengaji.

Habib Alwi telah memantapkan ke-maqoman-nya di Solo.
Masjid Riyadh dan Zawiyahnya semakin ramai dikunjungi orang.
Beliau tidak saja mengajar dan menyelenggarakan kegiatan keagamaan sebagaimana dulu ayahnya di Seiwun, Hadramaut.
Namun beliau juga memberikan terapi jiwa kepada orang-orang yang hatinya mendapat penyakit.

Ketika di Surabaya, bertempat di rumah Salim bin Ubaid, diceritakan Habib Alwi didatangi seseorang dari keluarga Chaneman, yang mengeluhkan keadaan penyakit ayahnya dan minta doa' dari Habib Alwi.
Beliau mendoa'kan dan menganjurkannya untuk memakai cincin yang terbuat dari tanduk kanan kerbau yang berkulit merah.
*“Insya Allah..*
*Penyakitmu akan sembuh..!”*
Katanya waktu itu.

Tahun 1952, Habib Alwi melawat ke kota-kota di Jawa Timur.
Kunjungannya disertai,
— Sayyid Muhammad bin Abdullah Al-Aydrus,
— Habib Abdul Qadir bin Umar Mulachela (ayah Habib Husein Mulachela),
— Syekh Hadi bin Muhammad Makarim,
— Ahmad bin Abdul Deqil,
— dan Habib Abdul Qadir bin Husein Assegaf (ayah Habib Taufiq As-Segaf, Pasuruan).
yang kemudian mencatatnya dalam sebuah buku yang diterjemahkan Habib Novel bin Muhammad Al-Aydrus berjudul Menjemput Amanah.

Perjalanan rombongan Habib Alwi ke Jawa Timur itu berangkat tahun 1952.
Tujuan utama perjalanan tersebut adalah mengunjungi Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Seggaf (1285-1376 H / 1865-1956 M) di Gresik.
Namun beliau juga bertemu Habib Husein bin Muhammad Al-Haddad (1303-1376 H / 1883-1956 M) di Jombang, Habib Ja'far bin Syaikhon (1289-1374 H / 1878-1954 M) di Pasuruan dan ulama lainnya.

Setahun setelah kepergiannya ke Jawa Timur, pada tahun 1953 Habib Alwi pergi ke kota Palembang untuk menghadiri pernikahan kerabatnya.
Namun, di kota itu, beliau menderita sakit beberapa saat.
Seperti tahu bahwa saat kematiannya semakin dekat, beliau memanggil Habib Anis, anak lelaki tertua yang berada di Solo.
Dalam pertemuan itu beliau menyerahkan jubahnya dan berwasiat untuk meneruskan kepemimpinannya di Masjid dan Zawiyah Riyadh di Solo.
Habib Anis, yang kala itu berusia 23 tahun, dan baru berputra satu orang, yaitu Habib Husein, harus mengikuti amanah ayahnya.

*“Sebetulnya waktu itu Habib Anis belum siap untuk menggantikan peran ayahnya..*
*Tetapi karena menjunjung amanah, wasiat itu diterimanya..*
*Jadi dia adalah anak muda yang berpakaian tua..”*
Tutur Habib Ali Al-Habsyi, adik Habib Anis dari lain ibu.

Akhirnya Habib Alwi meninggal pada bulan Rabi'ul awal 1373 H / 27 November 1953.
Pihak keluarga membuka tas-tas yang dibawa oleh Habib Alwi ketika berangkat ke Palembang.
Ternyata satu koper ketika dibuka berisi peralatan merawat mayat, seperti kain mori, wangi-wangian, sabun dan lainnya.
Agaknya Habib Alwi telah diberi tanda oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala ﷻ bahwa akhir hidupnya sudah semakin dekat.

Namun ada masalah dengan soal pemakaman, Habib Alwi berwasiat supaya dimakamkan di sebelah selatan Masjid Riyadh Solo.
Sedang waktu itu tidak ada penerbangan komersil dari Palembang ke Solo.
Karena itulah, pihak keluarga menghubungi AURI untuk memberikan fasilitas penerbangan pesawat buat membawa jenazah Habib Alwi ke Solo.
Ternyata banyak murid Habib Alwi yang bertugas di Angkatan Udara, sehingga beliau mendapatkan fasilitas angkutan udara.
Karena itu jenazah disholatkan di tiga tempat :
— Palembang,
— Jakarta
— dan Solo.

Ada peristiwa unik yang mungkin baru pertama kali di Indonesia, bahkan di Dunia.
Para kerabat dan Kru pesawat terbang AURI membacakan Tahlil di udara.

Masalah lain timbul lagi.
Pada tahun itu, sulit mendapatkan izin memakamkan seseorang di lahan pribadi, seperti halaman Masjid Riyadh.
Namun berkat kegigihan Yuslam Badres, yang kala itu menjadi anggota DPRD kota Solo, izin pun bisa didapat, khusus dari gubernur Jawa tengah, sehingga jenazah Habib Alwi dikubur di selatan Masjid Riyadh.

Makamnya sekarang banyak di ziarahi para Habib dan Muhibbin yang datang dari berbagai kota.
Beliau dikenang sebagai ulama yang penuh teladan, tangannya tidak lepas dari tasbih, juga dikenal sangat menghormati tamu yang datang kepadanya.
Habib Alwi pun tidak pernah disusahkan oleh harta benda.
Meski tidak kaya, ketika mengadakan acara haul atau Maulidan, ada saja uang yang didapatnya.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala ﷻ telah mencukupi rezekinya dari tempat yang tidak terduga.

#Haul_Solo
#Habsyi