Sabtu, Januari 02, 2021

Kubah Maqam Tumenggung Jaya Pati

Tumenggung Jaya Pati adalah Pimpinan dalam perang melawan Belanda, 

atau disebut Pasukan Berandal atau Pembangkang. Bagi rakyat banjar beliau adalah pahlawan untuk negeri ini

Tumenggung Jaya Pati dibantu oleh Gt. M. Said, Galuh Ratna Wati, dll.

 Beliau adalah Penerus Perang Banjar

 yang dikobarkan oleh Pangeran Antasari untuk Daerah Hulu Sungai. 

Beliau menyembunyikan diri (bersembunyi) bersama isteri

dan keponakan beliau di Hutan Kemuyang Abung

sampai beliau wafat dan bermakam di hutan tersebut.

Demikian keterangan yang kami dapat dari tulisan sekilas tentang beliau di areal Maqam

Kemarin Ulun ke sana bersama kayi Ulun


Desa Abung Kecamatan Limpasu, Kabupaten Hulu Sungai Tengah

Dekat perbatasan dengan Desa Sungai Rangas Kecamatan Batang Alai Utara (Ilung)




.

Tumenggung Jayapati atau Kiai Tumenggung Jayapati merupakan salah satu pejuang dimasa Perang Banjar (1859-1905). Tercatat pada tanggal 17 Oktober 1860 beliau memimpin pasukan pejuang bertempur di Jati dengan pasukan Belanda. Dan pada tanggal 27 Oktober 1860 beliau memimpin pasukan pejuang bersama dengan Demang Jaya Negara Seman bertempur di Jati lagi dengan pasukan Belanda. 


Sebagai wujud apresiasi atas kiprah nyata selama hidupnya, makam Kiai Tumenggung Jayapati yang berada di Hutan Kamuyang Desa Abung, Kecamatan Limpasu, Kabupaten Hulu Sungai Tengah ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. 



Dalas  bapalas darah  mun cagar banua ku di jajah walanda, tidak ada kata menyerah bagi  kami

(Catatan Edwan Ansari)-Muhammad Edwan Ansari

Catatan Edwan Ansari

HARAM MENYARAH WAJA SAMPAI KAPUTING, 

      Kiai Tumenggung Jayapati “Jejak Sunyi Perjuangan Rakyat Batang Alai” Meneladani Semangat Juang dan Patriotisme


Momentum Agustus yang sarat nuansa kemerdekaan seperti saat ini mengingatkan pada satu episode Perang Banjar. Peristiwa ini tercatat pada 161 tahun silam, tepatnya pada 17 dan 27 Oktober 1860 di Batang Alai, sebuah daerah tua yang kini masuk wilayah administrasi Kecamatan Batang Alai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah di Kalimantan Selatan. Peristiwa heroik itu menampilkan seorang tokoh perlawanan ke tengah arena. Dalam catatan resmi kolonial, ia dikenal dengan nama Kiai Djajapati.


Sebetulnya tradisi keluarga lebih mengenangnya sebagai Tumenggung Jayapati. Sementara gelar Kiai sesuai sumber yang digunakan dalam tulisan ini, yaitu De Bandjermasinsche Krijg van 1859 – 1863 terbitan Thieme Arhem tahun 1865 karya Willem Adriaan Van Rees. Ini mungkin mengacu pada jabatannya di era kesultanan, sebelum kesultanan itu dihapus Belanda pada 1860, di mana di buku itu Jayapati disebutkan pernah menjadi seorang Kiai atau Kepala Daerah Paramasan Amandit. Untuk sementara, penulis bersandar pada buku tersebut sebagai satu-satunya sumber tulisan ini, mengingat sumber lain memang belum ditemukan. Ke depannya, kita tentu akan mengupayakan penyempurnaan sekiranya terdapat temuan-temuan baru yang menyangkut tokoh atau topik yang diangkat.


Terhadap De Bandjermasinche Krijg, penulis melakukan reinterpretasi dan kajian ulang pada bagian-bagian tertentu dengan tanpa mengubah substansi faktualnya. Ini penting sebagai upaya netralitas konten tulisan, mengingat sejak awal karya van Rees itu memang dimaksudkan sebagai dokumentasi resmi militer Belanda tentang Perang Banjar. Jika terjemahannya disajikan secara mentah tentu akan kuat bias kolonialnya, dan dalam konteks ini Jayapati otomatis terdampar sebagai tokoh antagonis. Sudah barang tentu hal ini akan menyulitkan tercapainya target penulisan, yaitu menempatkannya sebagai tokoh perlawanan pribumi di tengah situasi konflik yang terjadi.


Sebagai catatan, hasil dari reinterpretasi terhadap De Bandjermasinche Krijg seperti disebutkan sebelumnya, akan diuraikan secara “bebas”, dalam arti penulis melakukan penyesuaian ejaan, selain sedikit “improvisasi” dalam rangka logika penulisan dan demi lancarnya alur cerita.


Di samping itu, sebagai warga Batang Alai, penulis dalam upaya reinterpretasi ini memaksimalkan pengetahuan dan kepahaman akan demografi dan geografi Batang Alai itu sendiri disandingkan dengan data yang tercatat dalam laporan perang tersebut, hal ini penting guna mengukur tingkat presisi data sumber dan hidupnya alur cerita. Tetapi sekali lagi, baik secara garis besar maupun untuk detil-detil peristiwa dan tokoh, tulisan ini tetap setia pada substansi sumber.


Jika dibandingkan tokoh lain yang terlibat dalam Perang Banjar, nama Jayapati relatif masih jarang untuk tidak mengatakan tidak pernah disebut dalam penelitian-penelitian yang menyangkut peristiwa Perang Banjar. Apalagi diangkat sebagai fokus kajian utama. Sebagai konsekuensinya, publik banua (sebutan lain untuk publik Kalimantan Selatan)-pun kurang mengenalnya. Setidaknya jika dibandingkan nama-nama besar seperti Pangeran Antasari, Pangeran Hidayatullah, Demang Lehman, Datu Aling, Haji Buyasin, Tumenggung Jalil, Penghulu Rasyid dan lain-lain, nama tokoh ini seolah tenggelam dalam arus wacana utama. Kenyataan ini membuat kiprah sejarah Jayapati tak terekam dengan jelas. Akibatnya, perjuangannya pun seakan meninggalkan jejak-jejak sunyi baik di ranah wacana, maupun dalam sistem memori masyarakat. Padahal untuk perlawanan rakyat di daerah Batang Alai perannya terbilang signifikan. Ia bahkan sempat memberi Belanda kekalahan dalam dua kali pertempuran, dan hal itu “diakui” atau dikonfirmasi Belanda sendiri melalui sumber yang kami sebutkan di atas.Nah, dalam kaitan itulah tulisan ini dibuat, yaitu untuk mengisi ruang kosong pada lembar-lembar wacana yang memang sudah semestinya diukirkan sekelumit nama dan kisah tentang dirinya, Kiai Tumenggung Jayapati.


Pertempuran Benteng Rantawan 17 Oktober 1860

Berawal dari mundurnya Demang Lehman pasca pertempuran Benteng Madang di daerah Batang Amandit. Sebelumnya pada September 1860, ia bersama Tumenggung Antaludin dan barisan pejuang rakyat, berhasil mempermalukan Belanda dalam 5 kali pertempuran. Peristiwa epik itu  bisa disimak pada berbagai hasil penelitian terdahulu.

Dari sana, Demang Lehman mundur ke arah utara, ke daerah Alai yang memang terhubung oleh Pegunungan Meratus. Sehubungan dengan itu, Kiai Jayapati membangun “gudang” di desa Jati, sekarang Birayang Surapati, yang disinyalir sebagai penyimpanan logistik perang. Logistik tersebut dipersiapkan untuk menyambut kedatangan Demang Lehman dalam rangka melanjutkan peperangan melawan Belanda.


Mendengar laporan tentang kegiatan mencurigakan itu, Belanda kemudian mengerahkan kurang lebih 40 orang prajurit bayonet pimpinan Lettu Von Ende dan opsir Van Der Horst. Seorang penunjuk jalan pribumi dari desa Rantawan bernama Amin menawarkan diri untuk membantu, mereka mulai bergerak menuju Jati yang ditempuh selama dua setengah jam dari tangsi Belanda di Barabai. Belanda meminta agar Amin menunjukkan di mana “gudang” itu. Kepadanya dijanjikan hadiah besar jika dapat menunjukkan “Gudang” tersebut, namun jika tidak kematianlah yang akan didapatnya.

Bersama Amin, pasukan Belanda mencoba jalur dari hilir Sungai Batang Alai dan sampai di daerah Lok Besar yang sudah sangat dekat dengan target mereka. Pelan-pelan Von Ende terus memudik sungai Batang Alai, dan sesampainya di Desa Jati tidak didapati “gudang” yang menjadi target mereka. Entah bagaimana caranya, Jayapati dan orang-orangnya rupanya berhasil menyamarkan gudang itu.



Jembatan yang menghubungkan Birayang -Jati-Rantawan, 1927 ( KITLV Leiden University)

Merasa tidak menemukan apapun di situ, Von Ende terus memudik ke rumah Jayapati di desa Rantawan yang masih berdampingan dengan Jati. Sesampainya di Rantawan, kampung dalam kosong karena penduduknya sudah mengungsi mengamankan diri. Tak disangsikan lagi, Jayapati dan segenap penduduk di sini rupanya sudah benar-benar bersiap untuk beperang. Sekalipun begitu, di rumah Jayapati ditemukan banyak tombak dan keranjang ranjau yang tak sempat ditanam. Rupanya  ia sendiri tak menduga Belanda datang secepat ini.


Von Ende lalu memutuskan ia bersama pasukannya menyeberangi sungai Batang Alai dengan lebar 40 hasta yang permukaannya memang surut di kala kemarau. Tiba-tiba terdengar tembakan dari seberang sungai. Amin mengira akan ada perlawanan hebat karena ia tahu Jayapati telah mendirikan benteng di Rantawan dan mempertahankannya dengan 120 orang. Meskipun kekuatannya kecil,  Von Ende memutuskan untuk menaklukkannya.


Sesampainya di seberang sungai, benteng itu mulai tampak dari kejauhan. Untuk menjajaki kekuatan musuhnya, Von Ende membuka serangan dengan memerintahkan tembakan salvo silih berganti dari barisan pasukannya ke arah ke benteng itu.  Pihak benteng tak tinggal diam. Mereka membalas dengan tembakan-tembakan pula disertai pekik-pekik takbir. Pada saat itulah Amin datang berlari melaporkan dengan nafas tersengal, bahwa dalam jarak tiga puluh langkah ia melihat benteng itu diperkuat dengan dua buah lila di kedua sisi depan. Dengan moncong diarahkan tepat ke jalan yang menjadi jalur serangan mereka.


Lila sendiri merupakan jenis meriam Melayu, digunakan secara luas di kepulauan Nusantara masa itu, dan dapat disetel sebagai meriam putar. Lila setara dengan falconet Eropa, berbahan kuningan atau perunggu. Panjangnya antara 100 sampai 180 cm dengan kaliber lubang diantara 19 dan 76.2 mm. Selain dapat menembakkan peluru bundar berbobot 1,13-1,36 kg dengan jarak melebihi 360 meter, meriam ini juga dapat memuntahkan peluru sebar (grapeshot atau case shot). Pada banyak peristiwa Lila biasa pula menembakkan bola-bola batu yang terbuat dari batu-batu tepi sungai.


Mendengar laporan ini, Von Ende menghentikan gerak ofensifnya. Van der Horst ia perintahkan maju untuk mengintai benteng dengan 20 orang serdadu. Dalam jarak yang kian dekat, Horst memperhatikan dengan seksama. Sebuah benteng yang dikelilingi oleh palisade (susunan batang kayu pohon dipasang vertikal dan rapat dengan ujung bagian atas masing-masing kayu diruncingkan). Palisade dipasang di tiga sudut, dan sudut keempat dibatasi oleh semak belukar dan rumpun-rumpun bambu. Setiap dinding benteng 18 hasta, dengan masing-masing palisade panjangnya 2 hasta. Benar saja laporan Amin, di dua sudut yang berlawanan bercokol dua buah lila.


Ketika Van der Horst telah mendekat sampai 15 langkah dari tembok pembatas, sebuah tembakan mengarah kepadanya. Ia masih bernasib mujur, karena naluri prajuritnya mendorong gerak refleks untuk langsung berbaring di tanah. Loloslah ia dari lesatan peluru tersebut. Ia kemudian melompat, menyerbu ke depan, memanjat pagar dan membungkuk dengan gerakan cepat. Namun Moega seorang prajurit pribumi di barisannya  yang melakukan penetrasi pertama, menerima tembakan di lengan. Di benteng itu terpasang bendera Jayapati dan ditemukan juga beberapa surat dari Pangeran Hidayatullah terkait pengiriman beras dan atap.


Melihat keadaan yang tidak menguntungkan Von Ende menghentikan operasi lapangan dan menarik pasukannya, Kiai Jayapati tak dapat ditangkap. Sementara itu Von Ende berkomentar, “Musuh terus melakukan tembakan, namun jarak yang sudah menjauh tidak terlalu membahayakan pasukannya, namun jelas bahwa Jayapati masih hidup dan terlihat ia semakin kuat.” Von Ende pun memutuskan kembali ke tangsi. Meluapkan amarahnya sembari bergerak mundur Von Ende dan pasukannya membakar rumah Jayapati dan rumah-rumah penduduk beserta lumbung padinya yang memang sedari awal sudah kosong ditinggal penghuninya. Selama pergerakan mundur sampai ke Lok Besar, Von Ende terus dihujani tembakan dari kiri dan kanan dan terus menjaga jarak aman. Seorang pemberontak yang berhasil di tawan mencoba melarikan diri dan ditembak mati.


Ekspedisi Von Ende tanggal 25 – 26 ke Bulanin

Pada tanggal 25 Oktober 1860, Von Ende mendapat informasi bahwa sehari sebelumnya Demang Lehman bersama 30 orang pengikutnya berada di Intangan (2 jam dari Bulanin) bersama 30 orang pengikutnya. Menurut informan pribumi yang berasal dari Karangan (5 jam dari Barabai), Demang Lehman menuju desa Bulanin, saat ini masuk dalam administrasi Kecamatan Batang Alai Timur.



Peta tahun 1923 – 1927 dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda

Di sana tinggal seorang tokoh bernama Kiai Demang Jaya Negara Seman. Dari Bulanin Demang Lehman selanjutnya bergerak menuju Jati menemui Kiai Jayapati. Kiai Demang Jaya Negara Seman tak lain adalah adik dari Regent der Afdeeling Martapoera (Bupati Martapura) Pangeran Jaya Pemenang pasca dihapusnya kesultanan Banjar pada 11 Juni 1860. Kiai Demang sepertinya tidak sejalan dan sepaham dengan sang kakak. Ia memilih bergabung dengan rakyat di Hulu Sungai.


Von Ende keluar untuk kedua kali dari tangsinya. Kali ini bersama petugas bernama Coevoet dan menambah pasukannya dengan 60 prajurit bayonet. Ekspedisi kali ini bertujuan mencegah pertemuan Demang Lehman dengan Kiai Jayapati. Dikhawatirkan jika dua kekuatan ini bergabung maka akan sulit ditundukkan, mengingat Kiai Jayapati telah mempersiapkan logistik perang yang cukup mumpuni sebelumnya.


Desa Bulanin menjadi target Von Ende dan pasukannya. Dibutuhkan waktu 9 jam dr Barabai untuk sampai di lembah yang indah itu. Von Ende tiba sekitar pukul 15:30 sore di Bulanin. Dari kejauhan terlihat enam orang musuh dengan menunggang kuda bergegas ke dalam hutan melarikan diri.


Coevoet diperintahkan maju terlebih dahulu bersama 30 orang prajurit bayonet untuk mengepung rumah yang dicurigai sebagai kediaman Demang Lehman. Setelah didekati ternyata rumah itu sudah dalam keadaan tak berpenghuni. Kedatangan Coevoet dengan pasukannya nampaknya terendus pengawas dari prajurit Demang Lehman. Hal ini disinyalir oleh Coevoet dengan adanya pohon durian tinggi di depan rumah tersebut yang batang pohonnya telah dipotong berbentuk anak tangga. Pohon seperti ini biasanya digunakan oleh pasukan pribumi sebagai pos pengawasan untuk memantau adanya tanda bahaya.


Coevoet mencoba masuk ke dalam rumah itu. Di halaman rumah banyak terdapat bekas telapak kaki kuda dan di dalamnya ada tiang gantungan untuk persediaan atap, kayu ulin, rumput yang baru saja dipotong dan nasi yang baru saja dimasak. Karena tidak mendapatkan apa-apa Coevoet dan pasukannya bermalam di depan rumah itu dengan memasang bivak-bivak.


Hari berganti, besoknya 26 Oktober 1860 seluruh rumah diperiksa. Dua penduduk Bulanin ditemukan di sebuah rumah, salah satunya melarikan diri dan yang lain mengamuk dan menikam seorang serdadu bernama Sersan Senin kemudian ia ditembak mati. Bulanin akhirnya dibumihanguskan.


Pasukan Von Ende dan Coevoet segera bergerak menuju Jati, namun informan mengaku tidak mengetahui jalur menuju Jati. Terpaksa mereka pun kembali meniti jalur Intangan yang pada hari sebelumnya dilalui. Jalur ini adalah jalur yang melelahkan, karena harus melewati banyak sekali bukit dan lembah yang tentu saja medannya tidaklah mudah.


Di sepanjang jalur antar Bulanin dan Intangan banyak ditemui pohon kayu yang baru ditebang dan nampaknya dipersiapkan untuk membuat lahan perkebunan. Hal ini menarik perhatian Von Ende. Berdasarkan keterangan dari informan, diketahui Demang Lehman lah yang mempersiapkan perkebunan tembakau itu atas perintah Pangeran Hidayatullah.


Pertempuran kedua di Jati, 27 Oktober 1860

Sehari kemudian setelah ekspedisi ke Bulanin, Von Ende memerintahkan kepada Coevoet untuk menuju Jati karena berdasarkan informasi sebelumnya bahwa Demang Lehman akan menemui Kiai Jayapati. Coevoet berangkat membawa 30 orang pasukan bayonet untuk melakukan pengecekan dan sesampainya di Jati dari seberang sungai yang luas berdiri pasukan bersenjata dan terlihat seorang pria di atas kudanya. Alangkah terkejutnya Coevoet setelah mengetahui bahwa pria itu adalah Demang Lehman yang selama ini mereka cari-cari. Dan lebih kaget lagi di Jati ternyata banyak terdapat pasukan-pasukan berkuda.


Pertempuran kembali pecah. Tak ada pilihan Von Ende selain memerintahkan Coevoet untuk menghabisi para pemberontak itu. Tembakan demi tembakan pun bersahutan dari arah seberang, sungaipun menjadi pembatas antara kedua pasukan ini. Coevoet nekat untuk mendesak para pasukan dari pejuang pribumi, namun dua anggota pasukannya tewas. Kopral Smaalen yang memimpin penyerangan pun terkena tembakan dan terpaksa mundur. Melihat ini Von Ende menyadari bahwa pasukannya sudah kelelahan dan sekaligus geram terhadap informan dari Jati yang menunjukkan posisi salah sehingga pasukannya menjadi bulan-bulanan pasukan gabungan Kiai Jayapati dan Demang Lehman. Informan itupun ditembak mati sebagai pelajaran bagi yang lainnya. Untuk kedua kalinya Von Ende dipukul mundur di peperangan Rantawan maupun di Jati.


Status Buronan dan Vonis Mati

Kiai Jayapati kemudian ditetapkan sebagai buron dan pada Februari 1861, sempat diperoleh informasi bahwa Kiai Jayapati sedang berada di hutan Kamuyang yang berada di belakang utara Rantawan. Belanda kemudian melakukan patroli ke hutan tersebut, sempat terjadi kontak senjata namun mereka tidak dapat menemukan persembunyian Jayapati.



Nederlandsche Staats-Courant

Akhirnya pada 14 April 1861 beserta 3 orang “pemberontak” lainnya yaitu Kiai Ngabehi Jaksa Negara, Haji Yusup dan Lurah Daras, Kiai Jayapati divonis hukuman mati dalam suatu putusan pengadilan di Afdeeling Amuntai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Namun Belanda tak melaksanakan eksekusi itu karena tak kunjung dapat menangkapnya. Berita tentang empat orang “pemberontak” inipun sempat diwartakan di koran negeri Belanda Nederlandsche Staats-Courant terbitan 28 Juni 1861 dan Samarangsch advertentie-blad yang terbit pada 24 April 1861. Jayapati bersembunyi di hutan Kamuyang dan meninggal di sana.


Makam Kiai Tumenggung Jayapati sebagai situs budaya

Sebagai wujud apresiasi atas kiprah nyata selama hidupnya, makam Tumenggung Jayapati yang berada di Hutan Kamuyang, kini berada wilayah administrasi Desa Abung, Kecamatan Limpasu, Kabupaten Hulu Sungai Tengah ditetapkan sebagai situs Cagar Budaya oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Makam tersebut berukuran 86 cm x 216 cm dengan cungkup yang terbuat dari kayu dan beratapkan seng. Makam sudah diplester dan diberi ubin/keramik putih. Sementara gundukan tanah yang ada di permukaan makam diberi penutup kain kuning.



Makam Tumenggung Djayapati berstatus Cagar Budaya


Demikianlah sekelumit cerita Kiai Tumenggung Jayapati. Mengingat terbatasnya sumber, jelas masih banyak yang perlu digali dari salah satu tokoh historis ini. Jadi, tulisan ini baru semacam rintisan untuk penelitian lebih jauh.


Sebagaimana yang disebutkan pada bagian awal, dalam merekonstruksi peristiwa masa lalu yang menyangkut Jayapati, untuk mereduksi bias Belanda, penulis melakukan reinterpretasi pada buku sumber, De Bandjermasinche Krijg.


Akan tetapi, bahkan dengan upaya itu pun tak sepenuhnya dapat melepaskan bias tersebut, mengingat proses peristiwa benar-benar berdasarkan sudut pandang operasi militer mereka. Misal, penggambaran tentang kelengkapan dan jumlah pasukan yang dikerahkan, siapa komandan yang ditunjuk, dan jalannya situasi digambarkan dengan detil. Sebaliknya, peta kekuatan pihak lawan, dalam hal ini Jayapati dan kekuatan pribumi hanya digambarkan melalui laporan mata-mata, dan atau laporan pandangan mata mereka langsung saat kejadian. Kita tidak tahu bagaimana misalnya proses rekruitmen Jayapati hingga dapat menghimpun 120 orang pengikut mempertahankan benteng mereka dari serangan Belanda, relasi-relasi apa yang ia gunakan hingga mendapatkan loyalitas banyak orang? Atau, darimana mereka mendapatkan senjata-senjata, serta banyak detil-detil lain? Belum lagi menukik pada soal pilihan politik.


Faktor-faktor apa yang mendorong Jayapati berada di kubu pejuang, mengingat dalam Perang Banjar elit-elit pribumi tidak satu warna. Tidak sedikit juga di antara mereka berdiri bersama kekuatan kolonial yang nantinya terbukti mampu menciptakan stabilitas dan kemapanan karir. Sekali lagi, kita buta akan hal-hal detil itu. Ini masalahnya karena minimnya sumber, terutama sumber tertulis dari pihak pribumi. Terlepas dari persoalan-persoalan di atas, sepertinya dapat disepakati bahwa berdasarkan temuan data yang ada, ia Jayapati adalah seorang tokoh berpengaruh kuat. Faktor inilah yang membentuknya sebagai salah satu pemimpin perlawanan, khususnya di daerah Batang Alai terhadap Belanda.


Bagi generasi muda, khususnya yang berasal dari daerah Batang Alai sudah seyogianya meneladani semangat juang dan patriotisme yang telah ditorehkan oleh tokoh kita ini, mengisi kemerdekaan dengan peri kebaikan dan menghindarkan diri dari laku keburukan adalah suatu keniscayaan. (*)


*********************


Sumber pustaka : dari berbagai sumber

https://sarabapost.com/616-2/

https://edwanansari.blogspot.com/2021/01/kubah-maqam-tumenggung-jaya-pati.html?m=1