Minggu, April 26, 2020

Muhammad Edwan Ansari)

Manakala Imam Syafie sedang mengajar diantara para muridnya, tiba-tiba beliau berdiri saat seorang anak kecil berlarian di sekitar majelisnya mengajar. Terang saja, sikap Imam Syafie yang dikenal sebagai Mahaguru itu membingungkan para hadirin yang hadir.

Tak lama kemudian, Imam Syafie mengambil sikap duduk kembali dan seakan ingin menjawab pertanyaan yang berpendar dibenak para muridnya. "Mengapa seorang Mahaguru menghormati anak kecil? Dan siapa anak kecil itu? Apa keistemewaan anak itu?"

Sang Imam menjelaskan bahwa anak kecil itu hanyalah anak kecil pada umumnya. Mengapa alasan ia berdiri? Alasannya, bukan tentang siapa anak kecil itu, tapi siapa orangtua dari si anak kecil itu.

"Anak kecil itu putra guruku, sebab itulah aku menghormati guruku dengan cara menghormati putranya meski dia masih kecil."

Lihatlah bagaimana seorang imam besar, maha dari mahaguru besar, pendiri mazhab besar dalam bidang Fiqh, masih mau berkenan menghormati keturunan dari seorang yang dianggapnya sebagai guru.

Bukan gurunya, tapi putra dari gurunya!!

Bayangkan, lebih-lebih penghormatan beliau terhadap gurunya sendiri, Masya Allah tabarakallah. Lihatlah inilah yang dinamakan dengan ketinggian adab. Dan para ulama mengajari kita untuk mencontohnya.

Kita sepakat bahwa adab lebih mengungguli dari sekedar ilmu, sebab ketinggian adab hanya diperoleh dari kedalaman ilmu dan kedisiplinan melatih pembentukan akhlak tersebut secara konsisten dan istiqamah.

Ada sebagian orang yang katanya tidak ingin membentur-membenturkan antara adab dan ilmu. Tentu, pernyataan semacam ini seakan ingin menunjukkan dirinya arif bijaksana, namun sesungguhnya dia tidak mampu memahami serta mendudukan antara hakikat ilmu dan adab sesungguhnya.

Adab harus dan lebih diutamakan dari ilmu, itu suatu keniscayaan adanya. Sebab, Nabi Saw jauh sebelum menerima ilmu serta wahyu kenabian -semenjak kecil hingga dewasa- dibimbing serta dihiasi dengan akhlak dan adab yang mulia.

Bukankah gelar al-Amin diperoleh sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan Rasul? Bukankah Nabi Saw sendiri yang menyatakan, "Addabany Rabby. Rabb-ku telah membina adabku, budi pekertiku."

Apa pesan ibu Imam Malik manakala putranya akan berangkat merantau berguru menimba ilmu? Ibunya berpesan, "Dahulu kan adabmu sebelum kau belajar ilmu."

Semua adalah pengajaran tentang adab dan budi pekerti yang harus dipersiapkan sebelum ilmu pengetahuan.

Sekiranya ilmu pengetahuan itu intan permata yang bernilai tinggi, maka tentunya wadah tempat menampung dan menyimpannya haruslah kaca bening yang telah dipersiapkan secara bersih dan mengkilap, bukan? Itulah adab dan budi pekerti.

Al-Imam Ghazali di dalam Ihya Ulumuddin, pada bab Keutamaan Ilmu dan Ahli Ilmu menjelaskan bahwa derajat seorang yang alim dalam bidang ilmu, maqamnya perbandingan 700 derajat dengan kedudukan orang awam yang setiap maqamnya membutuhkan waktu 500 tahun perjalanan. Allahu akbar!!

Hari ini, banyak orang yang ingin berilmu dan mudah mendapatkan ilmu, meski tidak perlu duduk mengaji langsung dihadapan seorang guru, sebab boleh jadi ilmu pengetahuan melimpah di ruang maya.

Namun sayangnya, kadang nilai keberkahan kurang dan jauh berbeda dengan keilmuan para ulama dahulu. Boleh jadi persoalan dalam etika dan adab terhadap ilmu maupun ahli ilmu kurang mendapatkan perhatian di bagian ini.

Hari ini, alih-alih banyak orang yang mau menghormati anak keturunan ulama, ulamanya sendiri saja banyak yang tidak lagi dihargai, dihormati dan ditakzimi. Inilah mungkin penyebab hilangnya berkah ilmu dan keberkahan lainnya yang banyak tercabut dari akarnya.

Tentu, ulama yang kita maksudkan adalah ulama yang masih tetap istiqamah, ulama yang tetap konsisten menjaga muru'ah keulamaannya, ulama al-akhirah, al-ulama yakhsa ilallah, ulama yang tidak bisa dibeli suara dan hujjahnya.

Sudahlah jika kita tidak mampu menjadi ulama, mimimal menjadi seorang pembelajar ilmu yang tawadhu, merendahkan diri demi keberkahan ilmu, mengosongkan botol untuk diisi air kesejukan ilmu para ulama.

Jika tidak jadilah Mustami'an atau pendengar ilmu. Atau serendah-rendahnya pada posisi Muhibban atau golongan pencinta ilmu, pemulia ilmu, ahli ilmu dan ulama, pembela jika memang harus dibela, pelindung jika memang harus dilindungi, atau pengikut ulama yang masih tetap dijalur Ahlus Sunnah Waljamaah.

Jika tidak pula, maka jangan menjadi orang yang kelima, yaitu pembenci dan penghina ulama, jangan menjadi bagian penghujat para ulama, sebab derajatmu sangat jauh dibandingkan mereka.

Itulah perkataan Imam Al-Hasan Al-Bashri, dari Abu Ad-Darda’, ia berkata,

كُنْ عَالِمًا ، أَوْ مُتَعَلِّمًا ، أَوْ مُسْتَمِعًا ، أَوْ مُحِبًّا ، وَلاَ تَكُنْ الخَامِسَةَ فَتَهْلَكُ. قَالَ : فَقُلْتُ لِلْحَسَنِ : مَنِ الخَامِسَةُ ؟ قال : المبْتَدِعُ

“Jadilah seorang alim atau seorang yang mau belajar, atau seorang yang sekedar mau dengar, atau seorang yang sekedar suka, janganlah jadi yang kelima.”

Humaid berkata pada Al-Hasan Al-Bashri, yang kelima itu apa. Jawab Hasan, “Janganlah jadi ahli bid’ah (yang beramal asal-asalan tanpa panduan ilmu, pen.) (Al-Ibanah Al-Kubra karya Ibnu Batthah)

(Muhammad Edwan Ansari)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari