Sabtu, September 14, 2024

Kiai Demang Lehman adalah salah seorang panglima perang dalam Perang Banjar.

 Demang Lehman , kemudian bergelar Kiai

Adipati Mangku Negara[1] (lahir di Martapura

tahun 1832 [2] - meninggal di Martapura

tanggal 27 Februari 1864 pada umur 32 tahun)

adalah salah seorang panglima perang dalam

Perang Banjar. [3][4][5] Beliau terlahir dengan

nama Idis[6][7] Gelar Kiai Demang merupakan

gelar untuk pejabat yang memegang sebuah

lalawangan (distrik) di Kesultanan Banjar.

Demang Lehman semula merupakan seorang

panakawan (ajudan) dari Pangeran

Hidayatullah II sejak tahun 1857. Oleh karena

kesetiaan dan kecakapannya dan besarnya

jasa sebagai panakawan dari Pangeran

Hidayatullah II, dia diangkat menjadi Kiai

sebagai lalawangan/kepala Distrik Riam Kanan

(tanah lungguh Pg. Hidayatullah II). [7] Demang

Lehman memegang pusaka kerajaan Banjar

yaitu Keris Singkir dan sebuah tombak

bernama Kalibelah yang berasal dari

Sumbawa.

Pada awal tahun 1859 Nyai Ratu Komala Sari,

permaisuri almarhum Sultan Adam , telah

menyerahkan surat kepada Pangeran

Hidayatullah II, bahwa kesultanan Banjar

diserahkan kepadanya, sesuai dengan surat

wasiat Sultan Adam. Selanjutnya Pangeran

Hidayat mengadakan rapat-rapat untuk

menyusun kekuatan dan memberi bantuan

kepada Tumenggung Jalil (Kiai Adipati Anom

Dinding Raja) berupa 20 pucuk senapan.

Sementara itu Pangeran Antasari dan Demang

Lehman mendapat tugas yang lebih berat

yaitu mengerahkan kekuatan dengan

menghubungi Tumenggung Surapati dan

Pembakal Sulil di daerah Barito (Tanah Dusun),

Kiai Langlang dan Haji Buyasin di daerah

Tanah Laut .

Bulan April 1859

Pada awal Perang Banjar yaitu sekitar akhir

bulan April 1859 Demang Lehman memimpin

kekuatan dan penggempuran di sekitar

Martapura dan Tanah Laut, bersama-sama Kiai

Langlang dan Penghulu Haji Buyasin.

Selanjutnya Demang Lehman diperintahkan

mempertahankan kota Martapura, karena

pusat pemerintahan Kerajaan oleh Pangeran

Hidayat dipindahkan ke kota Karang Intan .

Bersama-sama Pangeran Antasari, Demang

Lehman menempatkan pasukan di sekitar

Masjid Martapura dengan kekuatan 500 orang

dan sekitar 300 orang di sekitar Keraton Bumi

Selamat .

Benteng Munggu Dayor

Pada akhir tahun 1859 pasukan rakyat yang

dipimpin oleh Demang Lehman, Pangeran

Antasari, Tumenggung Antaluddin , Pambakal

Ali Akbar berkumpul di benteng Munggu Dayor.

Demang Lehman terlibat dalam pertempuran

sengit di sekitar Munggu Dayor. Belanda

menilai tentang Demang Lehman sebagai

musuh yang paling ditakuti dan paling

berbahaya dan menggerakkan kekuatan rakyat

sebagai tangan kanan dari Pangeran Hidayat.

Demang Lehman menyerbu Martapura dan

melakukan pembunuhan terhadap pimpinan

militer Belanda di kota Martapura.

Serbuan terhadap Belanda di Keraton Bumi

Selamat 30 Agustus 1859

Pada tanggal 30 Agustus 1859 Demang

Lehman berangkat menuju Keraton Bumi

Selamat dengan 3000 kekuatan dan secara

tiba-tiba mengejutkan Belanda karena

melakukan serangan secara tiba-tiba,

menyebabkan Belanda kebingungan

menghadapinya, hingga hampir menewaskan

Letnan Kolonel Boon Ostade. Dalam serangan

tiba-tiba ini Demang Lehman menunggang

kuda dengan gagah berani mengejar Letnan

Kolonel Boon Ostade. Serbuan ke Keraton Bumi

Selamat ini gagal karena berhadapan dengan

pasukan Belanda yang sedang berkumpul

melakukan inspeksi senjata. Pertempuran

sengit terjadi, sehingga anggota Demang

Lehman kehilangan 10 orang yang menjadi

korban, begitu pula pihak Belanda berpuluh-

puluh yang jatuh korban.

Pertempuran di Benteng Tabanio

Sementara itu kapal perang Bone dikirim

Belanda ke Tanah Laut untuk merebut kembali

benteng Tabanio yang telah dikuasai Demang

Lehman dalam sebuah pertempuran yang

mengerikan Belanda. Ketika pasukan Letnan

Laut Cronental menyerbu benteng Tabanio, 9

orang serdadu Belanda tewas, dan terpaksa

pasukan Belanda sisanya mengundurkan diri

dengan menderita kekalahan. Serangan kedua

oleh Belanda dilakukan, tetapi benteng itu

dipertahankan dengan gagah berani oleh

Demang Lehman, Kiai Langlang, dan Penghulu

Haji Buyasin. Karena serangan serdadu

Belanda didukung oleh angkatan laut yang

menembakkan meriam dari kapal perang,

sedangkan pasukan darat menyerbu benteng

Tabanio, Demang Lehman berserta

pasukannya lolos dengan tidak meninggalkan

korban. Belanda menilai bahwa kemenangan

terhadap benteng Tabanio ini tidak ada artinya,

kalau diperhitungkan dengan jumlah sarana

yang dikerahkan 15 buah meriam, dan

sejumlah senjata yang mengkilap, ternyata

tidak berhasil melumpuhkan kekuatan Demang

Lehman.

Pertempuran di Benteng Gunung Lawak 27

September 1859

Selanjutnya Demang Lehman memusatkan

kekuatannya di benteng pertahanan Gunung

Lawak di Tanah Laut. Benteng itu terletak di

atas bukit, di setiap sudut benteng

dipersenjatai dengan meriam. Pertempuran

memperebutkan benteng ini terjadi pada

tanggal 27 September 1859. Dalam

pertempuran yang sengit dan pasukan Demang

Lehman mempertahankan benteng Gunung

Lawak dengan gagah berani, akhirnya

mengorbankan lebih dari 100 gugur dalam

pertempuran ini. Belanda sangat bangga

dengan kemenangannya ini sehingga

dilukiskannya sebagai salah satu pertempuran

yang indah pada tahun 1859. Kekalahan ini

tidak melemahkan semangat pasukan Demang

Lehman, sebab mereka yakin bahwa berperang

melawan Belanda adalah perang sabil, dan

mati dalam perang adalah mati syahid. Bahkan

pasukan yang dipimpin Kolonel Augustus

Johannes Andresen banyak korban dalam

perjalanan naik perahu ketika menuju ke

Banjarmasin, bahkan A.J. Andresen sendiri

hampir tewas dalam serangan mendadak ini.

Mendatangkan senjata

Pangeran Antasari dan Demang Lehman

mencoba mendatangkan senjata dengan cara

mengirim utusan ke Kesultanan Kutai , Paser

dan Pagatan . Tetapi rupanya sudah diketahui

oleh Belanda, sehingga Belanda menekan

semua raja-raja yang membantu Pangeran

Antasari dan Demang Lehman. Meskipun

demikian Demang Lehman memperoleh

sebanyak 142 pucuk senapan dan beberapa

buah meriam kecil (lila), tetapi sayang ketika

senjata ini dalam perjalanan diangkut dengan

perahu dirampas oleh Belanda di tengah laut.

Tiga lokasi pertempuran

Pada akhir tahun 1859 medan pertempuran

terpencar dalam 3 lokasi, yaitu di sekitar Banua

Lima , sekitar Martapura dan Tanah Laut dan di

sepanjang Sungai Barito. Medan pertempuran

di sekitar Banua Lima dibawah pimpinan

Tumenggung Jalil Kiai Adipati Anom Dinding

Raja, medan yang kedua dibawah pimpinan

Demang Lehman, sedangkan medan ketiga

dibawah pimpinan Pangeran Antasari.

Pertemuan Para Pejuang di Kandangan

Pada bulan September 1859 Demang Lehman,

bersama pimpinan lainnya seperti Pangeran

Muhammad Aminullah [8] , Tumenggung Jalil

berangkat menuju Kandangan untuk

merundingkan bentuk perlawanan terhadap

Belanda dan sikap serta siasat yang ditempuh

selanjutnya. Pertemuan ini dihadiri oleh tokoh-

tokoh pejuang dari segala pelosok. Dari

pertemuan itu menghasilkan kesepakatan,

bahwa pimpinan-pimpinan perang menolak

tawaran Belanda untuk berunding. Pertemuan

menghasilkan pula bentuk perlawanan yang

terarah dan meluas dengan cara :

1. Pemusatan kekuatan di daerah Amuntai.

2. Membuat dan memperkuat pertahanan

di daerah Tanah Laut, Martapura, Rantau

dan Kandangan.

3. Pangeran Antasari memperkuat

pertahanan di wilayah Dusun Atas.

4. Mengusahakan tambahan senjata.

Suatu sikap yang keras telah diambil bahwa

para pejuang tersebut bersumpah mengusir

penjajah Belanda dari bumi Banjar. Mereka

akan berjuang tanpa kompromi Haram

Manyarah Waja Sampai Kaputing, berjuang

sampai titik darah yang penghabisan.

Belanda Mendirikan Benteng

Untuk melumpuhkan perjuangan rakyat

Belanda mendirikan benteng-benteng. Di

daerah Tapin, diperkuat Belanda benteng

Munggu Thayor yang telah direbutnya dari

pasukan Demang Lehman. Di daerah

Kandangan , didirikan pula benteng dikenal

sebagai benteng Amawang. Demang Lehman

dan pasukannya merencanakan untuk

menyerang benteng Belanda di Amawang ini.

Demang Lehman berhasil menyelundupkan dua

orang kepercayaannya ke dalam benteng

sebagai pekerja Belanda. Informasi dari kedua

pekerja ini Demang Lehman bertekad akan

menyerbu benteng Belanda tersebut. Pihak

Belanda memperoleh informasi bahwa rakyat

telah berkumpul di Sungai Paring hendak

menyerbu benteng Amawang . Dengan dasar

informasi ini, pasukan Belanda dibawah

pimpinan Munters membawa 60 orang serdadu

dan sebuah meriam menuju Sungai Paring.

Saat pasukan tersebut keluar dan diperkirakan

sudah mencapai Sungai Paring, Demang

Lehman menyerbu benteng Amawang pada

sekitar jam 02.00 siang hari tanggal 31 Maret

1860, dengan 300 orang pasukannya Demang

Lehman menyerbu benteng tersebut. Ketika

pasukan Demang Lehman menyerbu, kedua

orang kepercayaan yang menjadi buruh dalam

benteng tersebut mengamuk dan menjadikan

serdadu Belanda menjadi kacau dibuatnya.

Kedua orang yang mengamuk tersebut tewas

dalam benteng dan sementara itu pertempuran

sengit terjadi. Pasukan Munters ternyata

kembali ke benteng sebelum sampai di Sungai

Paring. Datangnya bantuan kekuatan ini,

menyebabkan Demang Lahman dan

pasukannya mundur. Demang Lehman mundur

di sekitar Sungai Kupang dan Tabihi bersama

Pangeran Muhammad Aminullah dan Tuan

Said. Pasukan Belanda menyusul ke Tabihi

dan terjadi pertempuran. dalam pertempuran

itu komandan pasukan Belanda Van Dam van

Isselt tewas dan beberapa orang serdadu

menjadi korban keganasan perang.

Demang Lehman meneruskan ke daerah

Barabai membantu pertahanan Pangeran

Hidayatullah dan pengiringnya. Gustave Marie

Verspijck berusaha keras untuk

menghancurkan kekuatan Pangeran

Hidayatullah dan Demang Lehman yang

berkedudukan di sekitar Barabai. Gustave

Verspijck mengerahkan serdadu dari infantri

batalyon ke 7, batalyon ke 9 dan batalyon ke

13. Batalyon ke 13 berjumlah 210 orang

serdadu dibawah pimpinan Kapten Bode dan

Rhode. Pasukan ini diikutkan pula 100 orang

perantaian yang bertugas membawa

perlengkapan perang dan makanan.

Pengepungan terhadap kedudukan Pangeran

Hidayatullah ini disertai pula kapal-kapal

perang Suriname, Bone, Bennet dan beberapa

kapal kecil. Kapal-kapal perang ini pada

tanggal 18 April 1850 telah memasuki Sungai

Ilir Pamangkih . Karena banyak rintangan yang

dibuat, maka kapal-kapal perang tidak dapat

memasukinya, serdadu Belanda terpaksa

menggunakan perahu-perahu. Iringan perahu

ini mendapat serangan dari kelompok Haji

Sarodin yang menggunakan lila dan senapan

lantakan. Dalam pertempuran ini Haji Sarodin

tewas, tetapi dia berhasil menewaskan

beberapa serdadu Belanda.

Pertempuran terjadi pula di Walangku dan

Kasarangan dan Pantai Hambawang . Dengan

teriakan Allahu Akbar , rakyat menyerbu

serdadu Belanda yang bersenjata lengkap.

Mereka tidak takut mati, karena mereka yakin

mati dalam perang melawan Belanda adalah

mati syahid. Demang Lehman dan Pangeran

Hidayatullah berusaha keras dan penuh

keberanian menahan serangan serdadu

Belanda. Tetapi karena jumlah personel

Belanda lebih besar dan perlengkapan perang

lebih unggul, maka diambil suatu siasat

mundur. Pangeran Hidayatullah mengundurkan

diri ke Aluwan, sedangkan Demang Lehman

bertahan di kampung Pajukungan . Akhirnya

Belanda berhasil menduduki Barabai setelah

meninggalkan banyak korban. Belanda

berusaha keras untuk memutuskan hubungan

Pangeran Hidayat yang berada di Aluwan

dengan pasukan Demang Lehman yang berada

di sekitar Amawang. Usaha Belanda untuk

melemahkan kekuatan rakyat ternyata tidak

berhasil, karena rakyat menggunakan taktik

gerilya dalam serangannya.

Belanda berusaha memikat Pangeran

Hidayatullah dan Demang Lehman dengan

segala cara agar menghentikan perlawanannya

terhadap Belanda. Belanda kemudian

menempuh jalan untuk menangkap kedua

tokoh pejuang itu hidup atau mati, dan

mengeluarkan pengumuman kepada seluruh

rakyat agar dapat membantu Belanda

menangkap kedua tokoh itu dengan imbalan

yang menggiurkan. Imbalan yang dijanjikan

adalah dengan mengeluarkan pengumuman

harga kepala terhadap tokoh pejuang yang

melawan Belanda. Harga kepala Pangeran

Hidayatullah adalah sebesar f10.000,- dan

Demang Lehman sebesar f2.000,- Nilai uang

sebesar itu dapat memikat hati setiap orang

yang menginginkan kekayaan. Bagi pejuang

yang memegang sumpah Haram manyarah,

waja sampai kaputing, tidak tergoyah

hatinya mendengar janji-janji seperti itu,

kecuali bagi mereka yang mengingkari sumpah,

menghianati perjuangan bangsa dan yang

lemah imannya terhadap prinsip perang sabil.

Haji Isa

Meskipun segala usaha telah gagal, Belanda

tetap berusaha untuk menangkapnya dengan

cara apapun. Pemerintah Belanda mengutus

Haji Isa seorang yang dekat dengan dan tahu

Pangeran ini berada. Tugas Haji Isa adalah

menyampaikan keinginan pemerintah Belanda

terhadap Pangeran ini. Haji Isa tidak berhasil

menemukan Pangeran Hidayat, tetapi dia

bertemu dengan Demang Lehman. Ketika Haji

Isa menyampaikan tugas misinya terhadap

Demang Lehman. Demang Lehman langsung

menjawab menolak segala macam

perundingan dan akan terus berjuang sampai

akhirnya memperoleh kemenangan. Laporan

Haji Isa ini menimbulkan semangat Belanda

untuk mengatur siasat baru. Mayor Koch

Asisten Residen di Martapura mengatur dan

mengadakan hubungan dengan Demang

Lehman atas perintah Residen Verspijck.

Pertemuan dengan Demang Lehman

menghasilkan kesepakatan bahwa Demang

Lehman bersedia menemui Pangeran Hidayat

asal Belanda berjanji mendudukkan Pangeran

Hidayat sebagai Raja di Martapura. Demang

Lehman selalu merasa curiga dengan

keinginan Belanda untuk mendudukkan

Pangeran Hidayat sebagai raja di Martapura,

karena itu Demang Lehman mengkonsolidasi

pasukannya. Setelah terjadi hubungan surat

menyurat antara Demang Lehman dengan

Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang,

Demang Lehman bersedia turun ke Martapura.

Pada tanggal 2 Oktober 1861 Demang Lehman

turun ke Martapura bersama tokoh-tokoh

pejuang disertai 250 orang pasukannya.

Anggota pasukannya ini akan menyusup ke

seluruh pelosok Martapura dan akan

mengamuk kalau Belanda menipu dan

menangkap Demang Lehman. Tokoh-tokoh

pejuang yang mengiringi Demang Lehman

adalah : Kiai Darma Wijaya, Kiai Raksa Pati,

Kiai Mas Cokroyudo, Kiai Puspa Yuda Negara,

Gusti Pelanduk, Pembekal Awang, Kiai Jaya

Surya, Kiai Setro Wijaya, Kiai Muda Kencana,

Kiai Surung Rana, Pembekal Noto, Pembekal

Unus, Tumenggung Gamar dan lain-lain.

6 Oktober 1861

Tanggal 6 Oktober 1861 Demang Lehman

memasuki kota Martapura disertai 15 orang

pemimpin lainnya. Haji Isa menyambut

rombongan ini dan langsung ke rumah Regent

Martapura Pangeran Jaya Pemenang. Dalam

pertemuan empat mata dengan Demang

Lehman, Residen berusaha memikat Demang

Lehman dengan janji akan memberikan

jaminan hidup setiap bulan kepadanya asal

Demang Lehman berjanji menentap di

Martapura, di Banjarmasin atau Pelaihari dan

mengajak kepada seluruh rakyat kembali ke

kampung mereka masing-masing dan

bekerjsama seperti semula. Janji Residen itu

tidak menarik perhatiannya, tetapi kesetiannya

kepada perjuangan dan sumpah perjuangan

lebih tinggi nilainya dari pada kepentingan diri

sendiri. Disamping itu Demang Lehman tegas

mengatakan bahwa mereka akan berjuang

terus sampai Pangeran Hidayat dapat duduk

kembali di Martapura memangku Kerajaan

Banjar. Semboyan mereka huruf “Mim” (huruf

Arab mim) yang berarti Martapura atau mati

karenanya. Hasil pertemuan dengan Residen

memaksa Demang Lehman mencari tempat

persembunyian Pangeran Hidayat dan akan

merundingkannya dengan lebih teliti dan segala

akibatnya nanti.

9 Oktober 1861

Tanggal 9 Oktober 1861 Demang Lehman

berangkat ke Karang Intan dan kepergiannya

ini memakan waktu hampir sebulan. Kepergian

Demang Lehman ini mengkhawatirkan Belanda

dan meminta agar Demang Lehman kembali ke

Martapura. Tanggal 30 Desember 1861

Residen G.M. Verspyck tiba di Martapura dan

perundingan dengan Demang Lehman

dilangsungkan. Residen berjanji bahwa

Pangeran Hidayat boleh tinggal dengan

keluarganya di Martapura selama perundingan

berlangsung dan jikalau perundingan gagal

Pangeran Hidayat boleh kembali ke pusat

pertahanannya dalam tempo sepuluh hari

dengan aman. Tanggal 3 Januari 1862

Demang Lehman kembali berangkat mencari

Pangeran Hidayat menuju Muara Pahu di

daerah antara Riam Kanan dan Riam Kiwa .

Pada tanggal 14 Januari 1862 Demang

Lehman bertemu dengan Pangeran Hidayat di

Muara Pahu. Demang Lehman menyampaikan

surat Residen dan surat Regent Martapura

Pangeran Jaya Pamenang. Dalam perjanjian

itu Ratu Siti ibu Pangeran Hidayat dijemput dari

tempatnya di Paau Sungai Pinang , begitu pula

keluarga Pangeran Hidayatullah yang masih

menetap di Tamunih .

Perundingan 30 Januari 1862

Pada 22 Januari 1862, rombongan Pangeran

Hidayatullah berangkat dari Muara Pahu

dengan rakit dan perahu, melewati Mangapan

dan 3 hari kemudian sampai di Awang Bangkal

dan baru tanggal 28 Januari 1862 tiba di

Martapura. Rombongan ini disambut rakyat

dengan suka hati di Martapura. Rombongan

langsung menuju tempat Regent Martapura

Pangeran Jaya Pemenang yang masih

hubungan paman dari Pangeran Hidayat.

Regent Martapura adalah jabatan yang

dibentuk Hindia Belanda pasca penghapusan

Kesultanan Banjar, kemudian Regent Martapura

dihapus pada tahun 1884. Perundingan

dilangsungkan pada tanggal 30 Januari 1862 ,

dimulai pada jam 10.30 pagi. Pihak Belanda

terdiri dari :

1. Letkol Residen G.M. Verspijck

2. Mayor C.F. Koch, Assisten Residen di

Martapura

3. Lettu Johannes Jacobus Wilhelmus Eliza

Verstege, Controleur afdeeling Kuin

4. Lettu A.H. Schadevan, ajudan Koch

5. Pangeran Jaya Pemanang, Regent

Martapura

6. Kiai Jamidin, Kepala Distrik Martapura

7. Kiai Patih Jamidin, Kepala Distrik Riam

Kanan

8. Haji Isa

9. Tumenggung Jaya Leksana

Pihak Pangeran Hidayatullah terdiri dari 23

orang diantaranya adalah :

1. Pangeran Hidayatullah

2. Kiai Demang Lehman

3. Pangeran Sasra Kasuma, anak Pangeran

Hidayat

4. Pangeran Saleh, anak Pangeran Hidayat

5. Pangeran Abdul Rahman, anak Pangeran

Hidayat

6. Pangeran Kasuma Indra (putera Pg Kasir

bin Sultan Sulaiman), menantu Pangeran

Hidayat

7. Gusti Isa dengan gelar Pangeran

Muhammad Ali Basah (suami Ratu

Saleha), menantu Pangeran Hidayat

8. Raden Tuyong dengan gelar Pangeran

Jaya Kasuma (suami Ratu Jaya

Kasuma), ipar Pangeran Hidayat

9. Gusti Muhammad Tarip

Surat Pemberitahuan Yang terpaksa

Ditandatangani Pangeran Hidayat 31 Januari

1862

Dalam perundingan itu Belanda mengatur

siasat yang licik berpura berbaik hati dengan

tujuan untuk menangkap dan mengasingkan

Pangeran Hidayat keluar dari Bumi Selamat

(Martapura). Tujuan menghalalkan cara itulah

yang dilakukan Belanda. Dalam situasi yang

terjepit dan kondisi yang tidak memungkinkan

Pangeran Hidayat terpaksa menandatangani

Surat Pemberitahuan yang ditujukan kepada

rakyat Banjar, yang sudah disiapkan Belanda

sebelumnya. Surat Pemberitahuan itu

ditandatangani Pangeran Hidayat dengan cap

Pangeran tertanggal 31 Januari 1862. Surat

Pemberitahuan itu selengkapnya berbunyi :

1. Surat ini tidak berisikan perintah, karena

saya telah meletakkan dengan sukarela

hak itu. (hak sebagai Mangkubumi).

2. Karena mendengarkan nasihat yang

salah, saudara-saudara memberontak

terhadap pemerintah Belanda, saudara

menempuh jalan yang salah.

3. Saudara telah melihat bahwa Pemerintah

Belanda lebih kuat dari kita, bahwa ia

tidak hanya mementingkan kemakmuran

rakyat yang baik, tapi juga bersikap

lembut dan satria terhadap musuh-

musuhnya.

4. Kepada rakyat Banjar saya mohon

supaya menghentikan segala

permusuhan, saudara-saudara yang

masih melawan kembalilah ke rumah

saudara-saudara dan carilah mata

pencaharian yang damai dan jujur,

sehingga drama pembunuhan dan

permusuhan dapat dihentikan.

5. Letakkan senjata saudara, mohonkan

ampun dengan sungguh-sungguh dan

saya yakin bahwa Pemerintah Belanda

akan memberinya dengan jiwa besar.

6. Jangan sekali-kali mendengarkan

perintah pemimpin-pemimpin yang terus

berkeras meneruskan peperangan, baik

perintah dari Pangeran Antasari,

Pangeran Aminullah dan orang jahat

lainnya.

7. Saya mengatakan bahwa mereka sama

sekali tidak mengerti kepentingan

saudara-saudara, dan kepentingan

mereka sendiri dan saudara-saudara

untuk keselamatan saudara-saudara

sendiri dan demi kecintaan kepada saya,

berkewajiban untuk menangkapi dan

menyerahkan pemimpin rakyat yang

jahat itu kepada Gubernurmen.

8. Saya sendiri memberi saudara contoh

penyerahan diri itu, saudara-saudara

melihat bagaimana yang saya dapatkan.

9. Saya sudah mencoba supaya mereka

yang masih melawan mau menyerah.

10. Semakin cepat bekas-bekas perang

yang mencelakakan ini dapat

dihilangkan, semakin cepat saudara-

saudara mendapatkan pengampunan

dari Allah Yang Maha Tinggi untuk

bencana yang selama lebih dua tahun

melanda penduduk Banjar.

11. Allah Yang Maha Tinggi dan arwah-

arwah nenek moyang (raja-raja) dan

kuburnya akan mengutuk kalian,

terutama pemimpin-pemimpin rakyat

yang masih melawan, apabila

permintaan saya yang terakhir ini tidak

dipenuhi.

Pangeran Hidayat Lolos dari penipuan I ke

Batavia

Pangeran sangat terperanjat dengan ucapan

Verspijck yang bertindak sebagai Wakil

Tertinggi dari Pemerintah Belanda di daerah

Selatan dan Timur Borneo dan dia berwenang

memberi pengampunan dan melupakan apa

yang terjadi pada masa lampau dengan syarat

bahwa Pangeran Hidayat harus berangkas ke

Batavia dalam tempo 8 hari. Kepada Pangeran

diperkenankan membawa keluarga yang

disukainya dan sebelum berangkat harus

menyebarluaskan Surat Pemberitahuan yang

sudah dibubuhi cap dan tanda tangan

Pangeran. Ketika Pangeran mengajukan

keberatan atas kepergian ke pulau Jawa

tersebut, Residen menjawab bahwa bagi

Pangeran perlu menikmati istirahat .

Demang Lehman yang merasa tertipu, sangat

kecewa terhadap sikap Belanda untuk

memberangkatkan Pangeran Hidayat ke pulau

Jawa. Demang Lehman berusaha mengajak

Mufti dan Pangeran Penghulu untuk memohon

kepada Residen agar keputusan

pemberangkatan Pangeran Hidayat dibatalkan.

Demang Lehman berusaha untuk

menggagalkan keberangkatan ini dan ketika

rombongan Pangeran berangkat pada pagi hari

tanggal 3 Februari 1862, Demang Lehman telah

siap dengan pasukannya untuk

menggagalkannya. Perahu yang membawa

Pangeran dibelokkan ke rakit batang pohon

pada rumah yang dulu pernah dijadikan tempat

tinggal Demang Lehman, dan disambut dengan

gegap gempita oleh rakyat. Pangeran terus

dilarikan. Belanda tidak dapat bertindak apa-

apa, dan baru setelah Pangeran dilarikan ke

luar kampung Pasayangan, Residen

mengerahkan kekuatannya untuk menangkap

Pangeran. Seluruh kampung Pasayangan

sampai kampung Kertak Baru dibakar Belanda.

Masjid Martapura yang indah yang dibangun

lebih dari 140 tahun yang lalu digempur dan

dibakar Belanda. Ini terjadi pada 4 Februari

1862 merupakan saksi kebengisan dan

kebrutalan penjajah Belanda terhadap rakyat

Banjar yang tidak berdosa.

Penipuan 2 Maret 1862

Penipuan itu dimulai dengan ditangkapnya

Ratu Siti , Ibu Sultan Hidayatullah, kemudian

Pihak Belanda menulis surat atas nama Ratu

Siti kepada Sultan, agar mengunjungi beliau

sebelum dihukum gantung oleh Pihak Belanda.

Surat tersebut tertera cap Ratu Siti…, padahal

semua itu hanya rekayasa & tipuan tanpa

pernah Ratu Siti membuat surat tersebut.

Ketika bertemu dengan Ibu Ratu Siti

ditangkaplah Sultan Hidayatullah dan

diasingkan ke Cianjur. Penangkapannya

dilukiskan pihak Belanda :

Pada tanggal 3 Maret 1862 diberangkatkan ke

Pulau Jawa dengan kapal perang ‘Sri Baginda

Maharaja Bali’ seorang Raja dalam keadaan

sial yang dirasakannya menghujat dalam,

menusuk kalbu karena terjerat tipu daya.

Seorang Raja yang pantas dikasihani

daripada dibenci dan dibalas dendam, karena

dia telah terperosok menjadi korban fitnah

dan kelicikan yang keji setelah selama tiga

tahun menentang kekuasaan kita (Hindia

Belanda) dengan perang yang berkat

kewibawaanya berlangsung gigih, tegar dan

dahsyat mengerikan. Dialah Mangkubumi

Kesultanan Banjarmasin yang oleh rakyat

dalam keadaan huru-hara dinobatkan menjadi

Raja Kesultanan yang sekarang telah

dihapuskan (oleh kerajaan Hindia Belanda),

bahkan dia sendiri dinyatakan sebagai

seorang buronan dengan harga f 10.000,-

diatas kepalanya.

Hanya karena keberanian, keuletan angkatan

darat dan laut (Hindia Belanda) dia berhasil

dipojokan dan terpaksa tunduk.

Itulah dia yang namanya :

Pangeran Hidajat Oellah

Anak resmi Sultan muda Abdul Rachman dst,

dst, dst…..

( Buku Expedities tegen de versteking van

Pangeran Antasarie, gelegen aan de

Montallatrivier. Karya J.M.C.E. Le Rutte

halaman 10).

Baru tanggal 2 Maret 1862 Pangeran Hidayat

setelah kembali tertipu kemudian diangkut

dengan kapal Van OS berangkat dari Martapura

keesokan harinya dan terus merapat ke kapal

Bali untuk selanjutnya diangkut ke Batavia.

Pangeran Hidayat di buang ke kota Cianjur

disertai sejumlah keluarga besar kerajaan yang

terdiri dari : seorang permaisuri Ratu Mas

Bandara, sejumlah anak kandung dari

permaisuri, menantu-menantu, saudara-

saudara sebapak, ipar-ipar, ibu Pangeran

sendiri, panakawan-panakawan beserta isteri

dan anak buahnya, budak laki-laki dan

perempuan, semua berjumlah 64 orang.

Demang Lehman digantung

Demang Lehman yang merasa kecewa dengan

tipu muslihat Belanda berusaha mengatur

kekuatan kembali di daerah Gunung Pangkal,

negeri Batulicin, Tanah Bumbu . Waktu itu ia

bersama Tumenggung Aria Pati bersembunyi di

gua Gunung Pangkal dan hanya memakan

daun-daunan. Oleh seorang yang bernama

Pembarani diajak menginap di rumahnya.

Karena tergiur imbalan gulden dari Belanda,

Pembarani bekerjasama dengan Syarif Hamid

dan anak buahnya yang sudah menyusuri

Gunung Lintang dan Gunung Panjang untuk

mencari Demang Lehman atas perintah

Belanda. Demang Lehman tidak mengetahui

bahwa Belanda sedang mengatur perangkap

terhadapnya. Oleh orang yang menginginkan

hadiah dan tanda jasa sehabis dia melakukan

salat Subuh dan dalam keadaan tidak

bersenjata, dia ditangkap. Ia sempat sendirian

melawan puluhan orang yang mengepungnya.

Atas keberhasilan penangkapan ini Syarif

Hamid akan diangkat sebagai raja tetap di

Batulicin. Kemudian Demang Lehman diangkut

ke Martapura. Pemerintah Belanda menetapkan

hukuman gantung terhadap pejuang yang

tidak kenal kompromi ini. Dia menjalani

hukuman gantung sampai mati di Martapura,

sebagai pelaksanaan keputusan Pengadilan

Militer Belanda tanggal 27 Februari 1864 . [6]

Pejabat-pejabat militer Belanda yang

menyaksikan hukuman gantung ini merasa

kagum dengan ketabahannya menaiki tiang

gantungan tanpa mata ditutup.Urat mukanya

tidak berubah menunjukkan ketabahan yang

luar biasa. Tiada ada satu keluarganyapun

yang menyaksikannya dan tidak ada keluarga

yang menyambut mayatnya. Setelah selesai

digantung dan mati, kepalanya dipotong oleh

Belanda dan dibawa oleh Konservator

Rijksmuseum van Volkenkunde Leiden. Kepala

Demang Lehman disimpan di Museum Leiden

di Negeri Belanda, sehingga mayatnya

dimakamkan tanpa kepala.

Rekan-rekan Seperjuangan Demang Lehman

Rekan-rekan seperjuangan Demang Lehman:

[1]

1. Kiai Derma Wijaya - Matarip

2. Kiai Raksa Wati - Kariamudin

3. Kiai Mas Cakra Yuda - Luka

4. Kiai Puspa Yuda Negara - Tuan Konter

5. Gusti Pelanduk putera Pangeran Amir

6. Pambakal Awang

7. Kiai Jaya Surna - Dimun

8. Kiai Setro Wijaya

9. Kiai Derma Yuda - Lurah Aman

10. Kiai Muda Kencana - Bakusin

11. Pangeran Ali Basyah (Gusti Isa)

12. Kiai Guma Wijaya - Arbain

13. Kiai Surung Rana - Sahibul

14. Pambakal Noto

15. Kiai Pati Jaya Kasuma - Sanim

16. Kiai Derma Lelana - Ajudin

17. Kiai Yuda Wijaya - Garsema

18. Kiai Wira Yuda - Durahman

19. Pambakal Unus

20. Tumenggung Gamar alias Tumenggung

Cakra Yuda

21. Tuan Saaban

22. Kiai Wira Karsa

23. Kiai Jaya Pati

24. Andin Ahmad

25. Tumenggung Ali Akbar

26. Mangun Yuda

27. Kiai Singa Pati - Tagap Wajir

28. Kiai Guru Perang - Tabib Keyan

29. Jaya Wanton - Tagap Guntol

30. Kiai Puspa Wira Yuda - Acil

31. Kiai Rumi Jaya - Jamidin

32. Haji Muhammad Yasin

33. Pambakal Ulak

34. Haji Buyasin [9]

Rujukan

Van Rees WA . 1865. De Bandjarmasinsche

Krijg van 1859-1863, Arnhem : Thieme.

M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah

Perkembangan Politik, Ekonomi,

Perdagangan dan Agama Islam,

Banjarmasin : Lambung Mangkurat Press,

1994 .

Referensi

1. ^ a b (Indonesia) Kiai Bondan, Amir

Hasan (1953). Suluh Sedjarah

Kalimantan . Bandjarmasin: Fadjar.

2. ^ (Indonesia) Tamar Djaja , Pustaka

Indonesia: riwajat hidup orang-orang

besar tanah air, Jilid 2, Bulan Bintang,

1965

3. ^ (Indonesia) Indonesia, Departemen

Penerangan (1955). Republik

Indonesia: Kalimantan . Kementerian

Penerangan.

4. ^ (Indonesia) Widjaya, Roebaie (1962).

Merdeka: tjerita rakjat. Djajamurni.

5. ^ (Belanda) Van Rees, Willem Adriaan

(1865). De bandjermasinsche krijg van

1859-1863: met portretten, platen en een

terreinkaart, volume 2

. Arnhem :D. A. Thieme.

6. ^ a b (Indonesia) Rosa, Helvy Tiana

(2008). Bukavu . PT Mizan Publika. ISBN

9789791367332. 791-367-33-7

7. ^ a b (Indonesia) Usman, M. Gazali

(1994). Kerajaan Banjar: Sejarah

Perkembangan Politik, Ekonomi,

Perdagangan dan Agama Islam .

Banjarmasin: Lambung Mangkurat

Press.

8. ^ menantu Raja Muda Pangeran Prabu

Anom bin Sultan Adam

9. ^ (Belanda) de Haes, R. L. (1866).

Eenige opmerkingen over het werk

getiteld: de Bandjermasinsche Krijg van

1859 tot 1863

. D. Noothoven Van Goor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari