Abah dari Guru Kapuh
Tuan Guru H. Hasan Baseri, Kandangan
Tuan Guru H. Hasan Baseri bin H. Sidiq adalah ulama kelahiran Longawang, Telaga Langsat, Kandangan pada tahun 1918 M. Beliau meninggal di Kota Kandangan pada tanggal 3 Syawal 1399 H/29 Agustus 1979 M dalam usia sekitar 61 tahun, tapi dikuburkan di Desa Kapuh Simpur, di kampung isteri beliau yang ke-empat. Beliau mempunyai 4 isteri, yang dikawini beliau tidak saat bersamaan. Isteri pertama dan kedua belum diketahui siapa nama dan darimana berasal. Isteri ketiga beliau adalah orang Martapura dan menetap bersama beliau di lapangan Pemuda Kota Kandangan. Isteri beliau yang ke-empat adalah seorang perempuan asal Desa Kapuh, Simpur yang kemudian mengikuti beliau tinggal di Teluk Masjid, Kandangan. Isteri ke-empat beliau ini bernama Jauhariyah anak dari Tuan Guru H. Atha'illah bin Tuan Guru H. Abdul Qadir bin Syekh Sa'dudin (Datu Taniran) bin Mufti H. Muhammad As'ad binti Syarifah (isteri Usman) binti Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (Datu Kalampayan). Dia juga merupakan ibunda dari Guru Kapuh (Tuan Guru H. Riduan) seorang ulama muda yang sangat populer di Hulu Sungai Selatan dan sekitarnya.
Sesudah menamatkan pelajaran di Volg School dan Vervolg School di Kandangan, Tuan Guru H. Hasan Baseri (ayah Guru Kapuh) kemudian melanjutkan studi di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo dan Pondok Pesantren Darussalam, Martapura, seangkatan dengan Tuan Guru H. Gazali (Ayah Tuan Guru H. Ali Nordin), dari Rantau. Ketika itu, Pondok Darussalam dipimpin oleh Tuan Guru H. Abdul Qadir Hasan (salah satu murid KH. Hasyim Asy'ari pendiri NU) yang akrab dipanggil sebagai Guru Tuha. Selain, berguru dengan Guru Tuha, selama di Martapura, beliau juga berguru dengan Tuan Guru H. Anang Sya'rani Arief (Guru Anang), Tuan Guru H. Syarwani Abdan (Guru Bangil) dan Tuan Guru H. Husin Kaderi (pengarang kitab Sanjata Mukmin). Guru beliau yang disebut terakhir ini sangat menyayangi beliau hingga beliau sering diminta menemani dan membantu sang Guru. Meski tidak terlalu lama nyantri di Darussalam, beliau masih sempat diminta untuk mengajar di sana, bahkan beliau sempat pula ikut mendirikan Sekolah Menengah Islam Hidayatullah (SMIH) bersama Tuan Guru H. Muchtar Hasyim.
Setelah berhenti menjadi guru di Darussalam, beliau pulang ke kampung halaman dan kemudian menetap di Kandangan sampai akhir hayat beliau. Di Kandangan, beliau mengajar di Madrasah Darul Ulum dan membuka beberapa pengajian agama, baik di Masjid, Langgar maupun di rumah beliau sendiri. Selain, sebagai Tuan Guru beliau juga kata Guru Kapuh anak beliau, bisa Batatambaan (pengobatan alternatif secara religius-spiritual), seperti memberi banyu tawar kepada orang yang membutuhkan untuk, dioles, diusap, rauf pada wajah, dilapai, dikubui, dimandikan pada tubuh atau benda-benda termasuk sekeliling rumah, misalnya untuk jadi lebih berani, rukun kembali, naik kelas, lulus ujian, dapat jabatan, memperoleh jodoh, laris dan terlepas dari keinginan dan perbuatan jahat orang lain, ataupun orang ghaib yang jahil dari alam sebelah. Tuan Guru dahulu, pada umumnya memang seperti itu, selain memiliki ilmu agama yang luas, juga harus bisa hal-hal supranatural dan spiritual yang mumpuni.
Di samping itu, beliau juga aktif dalam organisasi Syarikat Islam (SI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menghantarkan beliau menjadi anggota DPRD Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Beliau juga pernah menjadi tentara dengan pangkat terakhir Letnan Satu (kehormatan), yang mengawali karir militer beliau di Pulau Jawa. Belum diketahui persis darimana beliau mendapatkan latihan kemiliteran selama bersekolah di Jawa. Bisa jadi dari keterlibatan beliau dalam keanggotaan tentara pejuang atau Tentara Pelajar (TP) yang dipimpin oleh Panglima Sudirman di Yogyakarta, dalam kesatuan Pembela Tanah Air (PETA) pimpinan Supriyadi di Blitar. Bisa jadi juga, beliau ikut ke dalam kelompok Pemuda Arek-Arek Suroboyo, di bawah pimpinan Bung Tomo di Surabaya. Memang saat itu, serdadu Jepang memberikan latihan kemiliteran kepada para pemuda dan para Ulama. Di sekolah pun para murid dan guru, tidak terkecuali santri dan ustadz di Gontor, dilatih kemiliteran meski hanya dilatih baris-berbaris, beladiri dan olahraga Jepang. Di sini ada beberapa anak Benua yang beliau kenal juga nyantri seperti Tuan Guru H. Idham Chalid (ulama pejuang dan politisi NU), H. Hassan Basry (Bapak Grilyawan Kalimantan dan pimpinan pasukan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan) dan Tuan Guru H. Darham Hidayat (ayah dari Bupati Hulu Sungai Selatan saat ini).
Setelah kawin beliau berhenti jadi tentara dan selanjutnya mulai lagi lebih memperdalam agama di Darussalam Martapura. Meskipun pernah menjadi tentara dan berjuang di masa revolusi fisik, beliau secara resmi tidak tercatat sebagai anggota Legiun Veteran RI, sehingga sampai akhir hayat beliau tidak mendapatkan kompensasi finansial atau gajih sebagai veteran pejuang. Begitulah kepribadian ulama pejuang Tempo Doeloe, ikhlas berjuang tanpa meminta imbalan apa-apa. Namun demikian, jasa beliau sebagai pahlawan tetap dikenang dan dihargai oleh pemerintah Daerah Hulu Sungai Selatan, sehingga setiap memperingati Hari Pahlawan 10 November dan Hari Proklamasi ALRI Divisi IV Kalimantan, 17 Mei beliau selalu diundang untuk berhadir dalam upacara formal. Allah Yarham.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari