Sabtu, September 14, 2024

DATU PUTIH, ASAL-USUL KAMPUNG BANYU BARAU.

 Makam Datu Putih (Muhammad Karamuji).


Letak: Banyu Barau, Jalan Asoka, Kelurahan Kandangan Barat, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Provinsi Kalimantan Selatan (Masuk Perumnas Kalian Asri).







DATU PUTIH, ASAL-USUL KAMPUNG BANYU BARAU.


Ketika itu pihak Polisi Belanda menerima laporan bahwa masyarakat Desa Parincahan tidak mentaati perintah dan tidak mau membayar pajak kepala, perlawanan ini dipimpin oleh seorang Pangirak (Pambakal/Kepala Desa) yang bernama Muhammad Karamuji.


Atas laporan ini, Komandan Polisi Belanda segera melaporkan ke Tuan Kantolor (asisten Kontroler), namun Tuan Kantolor sedang berada di Banjarmasin. Sementara menunggu perintah dari Tuan Kantolor, Komandan Polisi Belanda melakukan konsolidasi dan koordinasi pasukan guna menyusun siasat dan strategi penyerangan ke Desa Parincahan. Rencana penyerangan ini ternyata bocor dan diketahui oleh masyarakat setempat, Pangirak dan tetua masyarakat Parincahan segera mengadakan Pahadring (rapat untuk membahas kesiapan menghadapi serangan ini).


Dalam rapat tersebut disusun rencana yang cukup sederhana namun efektif. Di pinggiran desa arah ke jalan raya dibuat danau yang cukup luas namun tidak terlalu dalam, di sisinya dibuat jamban-jamban besar dari batang kayu untuk keperluan MCK (mandi, cuci, kakus). Di tepi danau didirikan sebuah bangunan/balai yang sangat besar dengan tiang-tiang tinggi terbuat dari pohon pinang, di tengah bangunan tersebut digantung sebuah ayunan yang juga dalam ukuran besar. Beberapa buah drum minyak tanah berjejer di tepi danau, kemudian masyarakat juga menumpuk paku besi dalam beberapa tumpukan di seberang danau layaknya tumpukan sayur.


Sementara itu, Polisi Belanda mengumpulkan berbagai informasi tentang situasi desa dan masyarakatnya.


Waktu serangan pun tiba, Polisi Belanda di bawah pimpinan komandannya (satu-satunya Belanda asli, tentara anggotanya semuanya adalah Londo Ireng) segera berangkat menuju Desa Parincahan dengan bersenjatakan lengkap yakni senapan barujuk, bayonet, dan klewang.


Untuk menuju lokasi desa, pasukan Polisi Belanda dipandu oleh salah seorang warga yang sebenarnya merupakan anggota kelompok masyarakat yang akan diserang. Pasukan pun tiba di tepi danau buatan, setibanya di sana mereka pun kaget dan tercengang menyaksikan pemandangan yang ada.


Di seberang danau, di bangunan besar, terlihat seorang anak bayi yang berwarna putih bertubuh sangat besar sebesar orang dewasa sedang dipukung/diayun. Mereka juga menyaksikan tumpukan paku di tepi danau, permukaan danau yang menyala, dan jamban-jamban dengan ukuran raksasa. Dalam keadaan kaget dan rasa takut, mereka segera menanyakan keanehan ini kepada penunjuk jalan.


Si penunjuk jalan menceritakan bahwa:


• Bayi yang sedang dipukung tersebut adalah anak Pangirak.

• Air danau yang menyala (banyu barau) merupakan kebutuhan air penduduk sehari-hari untuk minum, memasak, dan mandi/cuci.

• Jamban-jamban raksasa adalah tempat penduduk desa mandi, mencuci, dan buang air.

• Tumpukan paku merupakan bahan sayur-mayur untuk keperluan makan penduduk sehari-hari.


Mendengar penjelasan tersebut, Komandan Polisi Belanda dan anggotanya merasa sangat takut, rupanya penduduk Desa Parincahan yang akan mereka serang ini adalah para raksasa dan bukan lawan mereka. Komandan Polisi Belanda segera mengambil keputusan bahwa serangan dibatalkan dan memerintahkan pasukannya untuk kembali.


Desa tersebut akhirnya diberi nama Desa Banyu Barau, dan sang bayi yang tidak lain adalah Pangirak itu sendiri yang memang berpostur tubuh besar diberi gelar Datu Putih.


Ketika Datu Putih meninggal dunia, beliau dimakamkan di tempat beliau diayun dengan ukuran makam yang luar biasa besarnya dan sampai sekarang tetap dibina oleh masyarakat setempat dan diberi cat berwarna putih, makam ini dikenal dengan nama Makam Datu Putih.


Al Fatihah...


رب فانفعنا ببركتهم واهدنا الحسنى بحرمتهم وأمتنا في طريقتهم ومعافاة من الفتن.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari