Rabu, Desember 25, 2013

STUDI KRITIS TERHADAP ILMU KALAM

STUDI KRITIS TERHADAP ILMU KALAM A. ASPEK EPISTEMOLOGI ILMU KALAM Epistemologi adalah cara yang digunakan oleh para pemuka aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan kalam, terutama ketika mereka menafsirkan Al-qur’an. Contoh semacam ini terlihat jelas dalam padangan golongan Asy’ariyah mengenai keabsahan Al-qur’an. Sebagaimana telah diketahui, pandangan mereka tentang ini merupakan tanggapan atas pandangan golongan Mu’tazilah. Penekanana mu’tazilah pada keesaan Tuhan yang membuat mereka digelari ahl al-adl al-tauhid telah mnyebabakan mereka menolak doktrin keabadian Al-Qur’an sebagaimana yang diyakini golongan ahlussunnah. Menurut mu’tazilah, Al-Qur’an adalah makhluk (ciptaan). Golongan asy’ariyah percaya bahwa Al-Qur’an atau kalam Allah itu abdi (qadim). Kreati merupakan seluruh bentuk kata abdi, untuk menjelaskan hal itu mereka merujuk firman Allah berikut ini yang artinya: “sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berate kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia.” (Q.S Yasin;82) Menurut golngan asy’ariyah ayat diatas menunjukan bahwa adanya perintah kreatif dan perkataan kreatif (kun) mendahului segala yang eksis (ada) di alam. Menurut Aldnan dan Rizal melihat bahwa penafsiran kalangan Asy’ariyah tersebut pada kenyataannya merupakan tanggapan terhadap kebutuhan sejarah, yakni untuk membela sudut pandang golongan Ahlussunnah. Penafsiran tersebut tidaklah dicuatkan dari Al-Qur’an, tetapi lebih merupakan gagasan-gagasan asing ke dalamnya. Itulah sebabnya, ayat-ayat yang dirujuk untuk membela andangan mereka dilepaskandari konteks sastranya dan konteks kesejarahan yang bertalian dengannya. Aliran kalam yang banyak mendapat sorotan Adz-dzahabi adalah khawarij, mu’tazilah dan syi’ah yang banyak dipandang menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tidak proporsional dan menyimpangkan makna teks-teks Al-Qur’an dari makna sebenarnya dengan tujuan untuk mendukung prinsip-prinsip yang diyakininya. Contohnya penafsiran tokoh-tokoh khawarij terhadap firman Allah: “barang sipa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, mak mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Q.S Al-Maidah;44) Tanpa menyebutkan alasannya, Adz-dzahabi menjelasan bahwa para pemuka khawarij berusaha menafsirkan ayat diatas sesuai dengan pendapat mazhabnya, yakni bahwa setiap orang yang melakukan dosa besar berarti telah mengambil keputusan hukum dengan hukuman selain yang diurunkan Allah. Begitupun dengan penafsiran tokoh-tokoh Mu’tazilah terhadap firman Allah: “wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (Q.S Al-Qiyamah;22-23) Mereka menakwilkan ayat ini sesuai dengan pendapatnya, yakni ketidakmungkinan Allah dapat diakhirat kelak. Dengan penakwilan itu, Adz-dzahabi melihat bahwa mereka berusaha menyimpangkan kata nadhira dari arti sebenarnya, yakni melihat dengan kepala sendiri. Agar tidak bertentangan pendapatnya tentang sifat Allah Al-kalam, mereka menjelaskan bahwa kata kallama berasal dari kata Al-kalam yang berarti luka (al-jarh) sehingga makna arti dari kandungan ayat diatas adalah Allah melukai Musa dengan kuku-kuku ujian dan cobaan hidup. Tiap-tiap aliran kalam mengklaim memiliki misi suci ketika menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Misalnya dengan faham menafikan sifat-sifat Allah. B. ASPEK ONTOLOGI ILMU KALAM Secara pasti teologi islam merupakan usaha intelektual yang member penuturan koheren dan setia dengan isi yang ada dalam Al-Qur’an. Teologi harus memiliki kegunaan dalam agama apabila teologi itu fungional dalam kehidupan agama. Disebut fungsional sejauh teologi itu tersebut dapat memberikan kedamaian intelektual dan spiritual bagi umat manusia serta dapat diajarkan pada umat. Teologi yang fungsional adalah teologi yang memenuhi panggilan tersebut, persentuhan dan berdialog, sekaligus menunjukan jalan keluar terhadap berbagai persoalan empiric kemanusiaan. Dalam wilayah tersebut, persoalan wanita yang merupakan bagian integral dari yurisprudensi wanita bertumpu pula pada teologi yurisprudensi. Teologi islam dalam kalam yang hidup untuk era sekarang ini berdialog dengan realitas dan perkembangan pemikiran yang berjalan saat ini. Bukan teologi yang berdialog dengan masa lalu, apalagi masa silam yang terlalu jauh. Telaah masa silam boleh-boleh saja sekedar untuk memenuhi ras kuriositas manusia. Teologi islam kontemporer tidakk dapat memahami perkembangan pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan oleh perubahan social yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi. Tegasnya, ilmu kalam klasik berdialog dengan pemikiran dan bergaul dengan format pemikiran serta epistemolgi Yunani (hellenisme), teologi islam atau kalam modern harus bersentuhan dengan pemikiran dan falsafah barat modern lantaran falsafah barat kontemporer itulah yang dibentuk dan diilhami oleh arus perubahan yang diakibatkan oleh perkembangan iptek. Diantara diskursus ilmu kalam yang menjadi bahan sorotan tajam para pemikir kontemporer adalah konstruksi ilmu kalam ala asy’ariyah, yaitu konsepsi mereka tentang hokum kausalitas. Sebgaimana diketahui oleh para peminat studi ilmu kalam asy’ariyah yang kemudian dikokohkan oleh Al-Ghazali bahwa kausalitas tidak cocok dengan realita keilmuan yang berkembang dimasa ini. Pemikiran kausalitas kalam asy’ariyah tidak kondusif untuk menumbuhkan etos kerja keilmuan, baik dalam wilayah ilmu-ilmu keagamaan maupun humaniora. C. ASPEK AKSIOLOGI ILMU KALAM Kritikan yang dialamatkan pada aspek aksiologi ilmu kalam menyangkut pada kegunaan ilmu itu sendiri dalam menyikap hakikat kebenaran. Al-Gazhali, sebagai seorang tokoh ahli kalam klasik, dapat disebut sebgai cendekiawan muslim yang mempermasalahkan hal ini. Ia tidak serta menolak ilmu kalam, tetapi menggaris bawahi keterbatasan-keterbtasan ilmu ini sehingga berkesimpulan bahwa ilmu ini tidak dapat mengantarkan manusia untuk mendekati tuhan. Hanya kehidupan sufilah yang dapat mengantarkan seseorang dekat dengan tuhan. Mungkin karena diantaranya alasan ini pula Ibnu taimiyah dengan penuh semangat menganjurkan kaum muslimin untuk menjauhi ilmu kalam seperti halnya orang menjauhi singa. Muhammad Abduh mempunyai kesan yang hampir sama dengan para pendahulunya. Dengan menyitir sebuah hadits “tafaqqaru fil khalqillah”. Ia beranggapan bahwa objek penelaahan dan penelitin akal manusia, pada dasarnya adalah sifat-sifat dasar dari segala macam fenomena yang ditemui dalam kehidupannya. Dari penelitian sifat-sifat dasar tersebut, akan ditemukan hokum sebab-akibat yang melatarbelakanginya. Di luar wilayah itu, akal fikiran tidak dapat menembusnya. Ahmad Hanafi melihat perlunya pergeseran paradigm dari yang bercorak tradisional yang bersandar pada paradigma dialiktika kata-kata, kearah teologi yang berdasarkan pada paradigma “empiris” (dialektika social-politik). Teologi bukan lagi ilmu tentang tuhan semesta, tetapi menjadi ilmu kalam (ilmu tentang analisis alam atau ucapan semata dan juga sebagai konteks ucapan, yang berkaitan dengan pengertian yang mengacu pada iman). Jadi, teologi adalah juga antropologi dan hermaneutika. Sebagai hermaneutika teologi berarti suatu teori pemahaman tentang proses wahyu dari huruf sampai ketingkat kenyataan, dari logos terpraktis, dan juga transformatika wahyu dari “pikiran” tuhan kedalam kehidupan kehidupan manusia. Untuk itu, diperlukan “kesadaran historis” yang menentukan keaslian teks dan tingkat kepastiannya; “kesadaran eidetik”, yang menjelaskan makan teks menjadi rasional; dan “kesadaran praktis” yang menggunakan makna tersebut sebagai dasar teoritk bagi tindakan dan mengantarkan wahyu pada tujuan akhir dalam kehidupan manusia didunia. BAB III PENUTUP A. Simpulan Dalam mempelajari ilmu kalam kita harus kritis terhadap suatu pernyataan, banyak aspek yang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Dalam studi kritis terhadap ilmu kalam membahas tiga aspek yang juga sangat penting, oleh karena itu perlu penelaahan yang benar-benr berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an jangan sampai keluar dan menjadi salah pengertian bagi yang mempelajarinya. SUMBER PUSTAKA Anwar, Rosihan. Ilmu kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Muhammad Edwan Ansari