Kamis, Desember 26, 2013

Ikatan perkawinan adalah suatu ikatan erat yang menyatukan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Dalam ikatan perkawinan, suami dan isteri diikat dengan komitmen untuk saling memenuhi berbagai hak dan kewajiban yang telah ditetapkan untuk mereka. Landasan hak dan kewajiban antara suami isteri ini terangkum dalam firman Allah swt.: "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf"[1]. Maka setiap hak yang didapatkan harus juga diimbangi dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Tujuan yang ingin dicapai oleh syari’at Islam dalam memberlakukan hukum perkawinan adalah terciptanya kelestarian dan kesinambungan kehidupan manusia, serta tumbuhnya rasa cinta dan kasih sayang di antara suami isteri. Kelestarian, rasa cinta dan kasih sayang tersebut tidak akan tumbuh dengan sempurna tanpa adanya kerjasama di antara pasangan suami isteri untuk saling memenuhi hak masing-masing dengan sebaik-baiknya. Syari’at Islam telah menetapkan aturan yang sangat cermat dalam masalah hubungan antara suami isteri. Dan dia telah menjelaskan berbagai hal yang harus dilakukan oleh suami isteri untuk memenuhi hak pasangannya. Sehingga jika setiap pasangan suami isteri menjalani dan memenuhi semua aturan syari’at Islam ini dengan cara yang benar dan tepat, maka dapat dijamin bahwa mereka akan mendapatkan kehidupan rumah tangga yang tentram dan harmonis. A. Berbagai Hak Isteri yang Harus Dipenuhi oleh Suami: Dalam Islam, isteri memiliki berbagai hak materiil dan non-materiil yang harus dipenuhi oleh suami. Hak materiil yang harus dipenuhi suami terhadap isterinya berupa: 1. Hak Mas Kawin. Mas kawin adalah harta yang harus dibayarkan oleh suami kepada isterinya berdasarkan (1) akad pernikahan yang sahih yang berlangsung di antara keduanya, atau (2) berdasarkan terjadinya hubungan suami isteri dalam pernikahan yang fasid, atau (3) berdasarkan hubungan suami isteri dalam pernikahan yang mengandung syubhat[2]. Berdasarkan firman Allah Taala: "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan"[3]. Dalam akad pernikahan, mas kawin menempati posisi sebuah pemberian dan hadiah yang harus diberikan oleh suami kepada isteri untuk menunjukkan kesakralan dan kesucian ikatan perkawinan. Serta sebagai upaya untuk menarik hati isteri, dan sekaligus sebagai tanda penghormatan suami terhadap isteri yang telah bersedia menikahinya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kamaluddin ibnul Hammaam seorang ulama fikih madzhab Hanafi: "Sesungguhnya aturan mas kawin ditetapkan dengan tujuan untuk menunjukkan kemuliaan dan pentingnya akad perkawinan ... dan penetapan mas kawin bukan merupakan sebuah pembayaran timbal balik, seperti posisi pembayaran dalam akad sewa menyewa. Karena jika memang mas kawin adalah sebuah pembayaran timbal balik bagi akad perkawinan, maka dia wajib untuk disebutkan dalam akad perkawinan"[4]. Dalam akad perkawinan, mas kawin tidak menempati posisi sebagai salah satu rukun akad pernikahan, juga bukan sebagai salah satu syarat sahnya sebuah akad pernikahan. Dan walaupun mas kawin tidak menempati posisi sebagai salah satu rukun atau syarat sahnya sebuah akad pernikahan, namun mas kawin adalah sebuah pemberian yang wajib diberikan oleh suami kepada isteri, sebagai tanda penghargaan suami terhadap kemanusiaan isteri[5]. Berdasarkan firman Allah Taala: "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan"[6]. Dan perintah Nabi saw. kepada seorang laki-laki untuk mempersembahkan mas kawin kepada wanita yang ingin dia kawini: "Carilah walaupun hanya berupa cincin yang terbuat dari besi"[7]. Karena mas kawin tidak menempati posisi rukun atau syarat dalam akad pernikahan, maka sebuah akad pernikahan akan berlangsung dengan benar tanpa menyebutkan mas kawin, demikian juga jika kedua belah pihak suami isteri sepakat untuk tidak mempersembahkan mas kawin untuk isteri. Setelah terjadinya akad perkawinan, dan setelah mas kawin diserahkan kepada pihak isteri, maka harta mas kawin menjadi milik isteri secara penuh, sebagaimana halnya harta miliknya yang lain. Dan seorang isteri memiliki kebebasan untuk mempergunakan harta mas kawinnya sesuai dengan kehendak hatinya, jika memang dia adalah orang yang memiliki hak untuk mempergunakan harta miliknya secara bebas (mencapai umur akil baligh dan memiliki kesehatan mental yang penuh). Dia juga memiliki hak untuk membebaskan suaminya dari kewajiban membayar mahar. Dan di samping itu, dia juga berhak untuk menghadiahkan harta maharnya kepada suaminya, tanpa ada seorangpun yang berhak untuk menghalang-halangi tindakannya ini[8]. 2. Hak Nafkah. Seorang suami memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah secara penuh kepada isterinya, yang berupa nafkah makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal yang sesuai dengan kondisi sosial isteri dan kemampuan finansial suami, tanpa membedakan antara isteri yang muslimah ataupun yang non-muslimah. Mu’awiyah al Qusyairi meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Nabi saw.: "Apakah hak isteri yang harus dipenuhi oleh suami?". Dia menjawab: "Yaitu kamu berikan dia makanan jika kamu makan, kamu berikan dia pakaian jika kamu mengenakan pakaian, dan jangan sampai kamu pukul wajahnya, jangan kamu rusak wajahnya, dan jangan kamu tinggalkan dia kecuali di dalam rumah"[9]. Kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada keluarga, merupakan salah satu sebab kepemilikan suami terhadap otoritas kepemimpinan rumah tangga. Akibat dibebankannya secara penuh tanggung jawab nafkah keluarga kepada suami, maka Islam menjadikan kepemimpinan rumah tangga berada di tangan suami. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah swt.: "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka"[10]. Maka dalam ayat ini Allah swt. menguraikan bahwa Dia telah menciptakan laki-laki dengan memiliki beberapa derajat kelebihan dibandingkan perempuan yang berupa fitrah fisik dan kejiwaan yang menjadikan dia siap untuk memimpin keluarga dan menjalankan berbagai perkara kehidupan yang ada dalam keluarga. Dan sebagai kompensasinya, Allah swt. mewajibkan suami untuk menanggung secara penuh tanggung jawab nafkah materiil keluarga[11]. Dalam suatu komunitas manusia, tanpa mempedulikan kecil dan besarnya komunitas tersebut, pasti membutuhkan seorang pemimpin yang bertanggung jawab untuk menjaga dan menjalankan stabilitas komunitas tersebut, dan hal ini merupakan suatu sunatullah dalam semesta. Begitu juga halnya dengan keluarga, yang merupakan sebuah susunan komunitas sosial yang paling kecil, pasti membutuhkan adanya seorang pemimpin yang dapat mengarahkan roda kehidupan keluarga. Dan hak kepemimpinan keluarga yang dimiliki oleh suami bukanlah sebuah hak kekuasaan yang absolut, karena Islam tidak mengakui kekuasaan absolut manusia terhadap manusia yng lain. Maka jika suami berlaku sewenang-wenang dalam menggunakan haknya ini, isteri berhak untuk tidak berlaku tunduk kepadanya. Karena ketaatan dituntut hanya pada perkara kebaikan saja[12]. Berdasarkan surah an-Nisaa' ayat 34 tadi, kewajiban penuh seorang suami untuk memberikan nafkah kepada keluarganya adalah sebab yang kedua yang membuat dia memiliki otoritas hak kepemimpinan di dalam keluarga. Sedangkan seorang isteri dalam syari’at Islam sama sekali tidak memiliki kewajiban mengeluarkan harta miliknya untuk menafkahi keluarganya, meskipun dia adalah seorang wanita yang kaya raya. Dan jika ternyata isteri juga ikut menanggung beban nafkah keluarga, maka hal ini dia lakukan harus semata-mata berdasarkan kerelaannya, bukan karena dia memiliki tuntutan agama untuk ikut andil dalam memenuhi nafkah keluarganya. Yang berarti, dia memiliki kebebasan penuh untuk menolak ikut andil menanggung beban tanggung jawab nafkah keluarganya. Berkaitan dengan hal ini, imam al Qurthubi dalam kitab tafsirnya mengatakan: para ulama memahami firman Allah yang berbunyi: "dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka"[13], bahwa jika suami tidak mampu memberikan nafkah materiil kepada isterinya, maka dia tidak memiliki hak kepemimpinan terhadapnya. Dan ketika suami tidak mampu menjalankan kewajibannya yang membuat dia tidak berhak untuk memegang hak kepemimpinan terhadap isterinya, maka isteri dapat memfasakh (membatalkan) akad pernikahannya. Dan hal ini merupakan suatu bukti bahwa pernikahan dapat dibatalkan akibat kesulitan ekonomi, yang menyebabkan suami tidak mampu memberikan nafkah materiil dan pakaian. Ini adalah pendapat imam Malik dan imam Syafii, dan pendapat ini bertentangan dengan pendapat Abu Hanifah yang menilai bahwa isteri tidak memiliki hak untuk membatalkan perkawinan akibat kesulitan ekonomi[14]. Sebagaimana yang tadi telah diungkapkan, bahwa disamping hak materiil, isteri juga memiliki hak non materiil yang juga harus dipenuhi oleh suami. Beberapa hak non materiil tersebut adalah: 3. Menjaga Kehormatan Isteri serta Memenuhi Kebutuhan Biologisnya. Allah swt. telah menciptakan manusia dengan memiliki kebutuhan biologis yang harus dipenuhi. Dan untuk memenuhi kebutuhan biologis alami manusia ini, Allah swt. telah memberikan batasan dan aturan yang legal, yaitu perkawinan. Karena kebutuhan biologis adalah sebuah kebutuhan alami yang tidak dipungkiri dan tidak bisa dianggap remeh, dan merupakan salah satu faktor pendukung bagi terciptanya kestabilan dan keharmonisan sebuah rumah tangga. Permasalahan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan biologis isteri jika ditinjau berdasarkan perspektif fikih, akan kita dapati beberapa pandangan ulama fiqih tentang masalah ini: Madzhab Maliki berpendapat bahwa seorang suami berkewajiban untuk menggauli isterinya jika dia tidak memiliki suatu halangan, tanpa menentukan tempo waktu[15]. Berdasarkan berbedanya kebutuhan biologis setiap manusia, maka madzhab Maliki tidak memberikan ketentuan waktu bagi suami untuk memenuhi kebutuhan biologis isteri. Sedangkan madzhab Syafii berpendapat bahwa seorang suami tidak diwajibkan untuk menggauli isterinya; karena menggauli isteri merupakan hak suami, maka suami memiliki kebebasan untuk menggauli atau tidak menggauli isterinya[16]. Sedangkan madzhab Hanbali berpendapat bahwa seorang suami memiliki kewajiban untuk menggauli isterinya. Dan mereka putuskan bahwa tempo maksimal yang diwajibkan kepada suami untuk menggauli isterinya adalah sebanyak satu kali dalam empat bulan. Berdasarkan atsar Ka’ab ketika dia memutuskan persoalan hubungan suami isteri antara seorang laki-laki dengan isterinya, maka dia mengatakan: "Isterimu memiliki hak yang harus kamu penuhi, yang berupa hak untuk menggaulinya setiap empat bulan sekali, maka berikanlah haknya tersebut"[17]. Di samping itu, perkawinan ditetapkan demi untuk mendatangkan kebaikan kepada pasangan suami isteri, serta untuk menghindarkan terjadinya hal-hal yang negatif yang diakibatkan oleh tidak terpenuhinya tuntutan biologis yang masing-masing dimiliki oleh kaum laki-laki dan perempuan. Maka seorang suami memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan biologis isterinya, sebagaimana halnya isteri juga memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan biologis suaminya. 4. Memperlakukan Isteri dengan Baik. Seorang suami memiliki kewajiban untuk memperlakukan isterinya dengan baik secara fisik maupun secara perilaku. Berdasarkan firman Allah: "Dan bergaullah dengan mereka secara patut"[18]. Memperlakukan isteri dengan baik secara fisik adalah menghindari tindakan aniaya fisik kepada isteri. Sedangkan dari segi perilaku adalah cara menjaga perasaannya, menjaga tutur bicaranya, menghargai perubahan kondisi kejiwaan isteri yang terkadang tidak stabil ketika dia tengah berada pada masa kehamilan, menstruasi, masa menyusui, dan menjelang masa menopause. Karena kaum wanita pada masa-masa ini mengalami beberapa perubahan hormon di dalam tubuhnya, yang menyebabkan kestabilan kejiwaannya juga ikut berpengaruh. Maka pengertian dan kesabaran suami sangat diperlukan dalam menghadapi berbagai perubahan kejiwaan yang dialami oleh isteri. 5. Berlaku Adil terhadap Isteri dalam Pemberian Nafkah dan Perlakuan Baik. Termasuk di antara persoalan yang sering menempatkan agama Islam dalam posisi tertuduh sebagai agama yang menyudutkan posisi kaum wanita adalah persoalan poligami. Jika kita telusuri secara saksama kitab agama samawi yang lain, maka akan kita dapati bahwa agama Islam bukanlah satu-satunya agama yang mengakui hak poligami bagi kaum laki-laki. Dalam kitab Perjanjian Lama, disebutkan bahwa kaum laki-laki diperbolehkan untuk melakukan praktek poligami tanpa diberikan batasan[19]. Bahkan pada pasal sebelas, kitab Raja-raja, disebutkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. memiliki seribu orang isteri. Dan dalam beberapa kitab yang terdapat dalam kitab Taurat ada keterangan bahwa praktik poligami ini terus dilakukan oleh para nabi, keturunan mereka, dan para pengikut mereka[20]. Sedangkan mengenai kitab Injil milik agama Nasrani, maka tidak ada satupun teks Injil yang diakui oleh mayoritas Nasrani yang menyatakan dilarangnya praktek poligami[21]. Jika memang ternyata tidak ada satupun teks kitab Injil yang menyebutkan pengharaman praktik poligami, lantas dari manakah dasar timbulnya pengharaman praktik poligami dalam agama Nasrani? Sekelompok peneliti yang menyelidiki permasalahan ini menyimpulkan bahwa dasar pengharaman praktik poligami dalam agama Nasrani dimulai dari Eropa yang terpengaruh dengan tradisi bangsa Yunani dan Romawi yang memiliki kepercayaan monogami[22]. Yang berarti, jika hendak diakui secara jujur, maka ketiga agama samawi (Yahudi, Nasrani, dan Islam) yang berporos kepada satu sumber, yaitu Allah swt., sama-sama mengakui praktik poligami. Dan praktik poligami ini telah dijalankan oleh para pemeluk agama Nasrani dan Yahudi selama beberapa abad. Maka larangan untuk melakukan praktik poligami dalam agama Nasrani dan Yahudi sama sekali bukan lahir dari kitab suci mereka, akan tetapi larangan ini timbul dari para pendeta mereka yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan berbagai ajaran yang baru yang harus dijalankan oleh para pengikutnya. Dalam Islam, kebebasan untuk melakukan praktik poligami bagi kaum laki-laki diiringi dengan syarat yang sangat berat, yaitu kemampuan untuk berlaku adil dalam masalah nafkah dan perlakuan baik. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah: "Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja"[23]. Dan sikap keadilan yang dituntut oleh ayat ini adalah keadilan yang mampu untuk dilaksanakan oleh manusia yang terdiri dari keadilan dari segi pemberian nafkah lahir serta perlakuan baik, bukannya keadilan dalam masalah rasa cinta dan kecenderungan hati[24]. Karena permasalahan kecintaan dan kecenderungan hati adalah sesuatu yang sifatnya sangat pribadi, yang tidak bisa diutak-atik oleh manusia. Sehingga sebesar apapun usaha seseorang untuk benar-benar berlaku adil terhadap para isterinya dalam masalah kecintaan dan kecenderungan hati, maka dia tidak akan dapat melakukannya. Namun, meskipun telah diakui bahwa tidak ada seorang manusia pun yang mampu mengendalikan kecenderungan hatinya, akan tetapi hal ini tidak boleh dijadikan dalih bagi suami untuk mencurahkan semua rasa cinta dan perhatiannya kepada salah satu isterinya yang paling dia cintai, yang pada akhirnya akan merugikan isterinya yang lain. Dan kecenderungan hati yang seperti inilah yang dilarang oleh Allah swt. dalam firman-Nya: "Janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung." [25] Tidak dapat dipungkiri bahwa praktik poligami merupakan sesuatu yang sangat pahit bagi seorang isteri. Dan untuk menghindari agar jangan sampai seorang isteri dimadu oleh suaminya, maka dalam syari’at Islam, bagi seorang isteri yang ingin memiliki jaminan untuk tidak dimadu oleh suaminya, ketika tengah dilangsungkan akad pernikahannya dapat mengajukan syarat agar jangan sampai dia dimadu. Maka tatkala suaminya menikah kembali dengan wanita yang lain, dia punya hak untuk berpisah dan membatalkan perkawinannya dengan suaminya. Pendapat yang seperti ini adalah pendapat madzhab Hanbali dan Umar bin Khaththab r.a. Sedangkan imam Syafi'i dan imam Maliki berpendapat bahwa syarat yang seperti ini dalam akad pernikahan merupakan sebuah syarat yang bathil, yang tidak harus dipenuhi[26]. 6. Memberikan Isteri Kebebasan Penuh untuk Mengelola Harta Miliknya. Islam adalah satu-satunya agama yang memberikan wanita kebebasan penuh untuk mengelola sendiri harta miliknya. Jika dia memiliki halangan untuk mengelola sendiri harta miliknya, maka yang berhak untuk mengelola harta miliknya adalah bapaknya, atau kakeknya, atau bapak kakeknya, atau orang yang diberikan kepercayaan oleh bapaknya. Dan jika ternyata dia tidak memiliki kerabat yang berhak untuk diberikan tanggung jawab untuk menjaga hartanya, maka yang berhak untuk menjadi penanggung jawab bagi hartanya adalah qadhi. Yang berarti, bahwa suami sama sekali tidak memiliki hak untuk ikut campur dalam pengelolaan harta isteri, kecuali dengan izin isteri. Berbeda halnya dengan ajaran agama Yahudi dan Nasrani yang sama sekali tidak mengakui kepemilikan wanita terhadap harta[27]. Sebagaimana yang tadi telah diungkapkan di atas, bahwa setiap hak harus diimbangi dengan kewajiban. Maka manakala suami telah penuhi semua hak yang harus dia tunaikan kepada isterinya, si isteri dituntut untuk mengimbanginya dengan cara melaksanakan semua kewajiban yang harus dia penuhi terhadap suaminya, sebagai konsekwensi ikatan perkawinan yang terbina di antara keduanya. B. Beberapa Hak Suami yang Harus Dipenuhi oleh Isteri Beberapa hak suami yang paling penting yang harus dipenuhi oleh seorang isteri adalah: 1. Menaati Suami dalam Berbagai Perkara yang Berkaitan dengan Kehidupan Keluarga dan Hubungan Suami-Isteri. Suami adalah kepala rumah tangga. Karena itu, tuntutan kepada isteri agar menaati suaminya merupakan suatu hal yang alami berdasarkan kedudukan suami sebagai pemegang kendali rumah tangga, penanggung-jawabnya, serta penopang tiang ekonomi keluarga. Kewajiban isteri untuk menaati suaminya hanya berkisar pada masalah kebaikan, kemaslahatan, dan perkara yang berada dalam batasan rel agama. Akan tetapi, jika suami memerintahkan isteri untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan agama dan keluar dari batasan kebaikan, maka isteri berhak untuk menolak perintah suaminya. Karena seorang manusia tidak boleh tunduk terhadap perintah untuk melakukan keburukan, tanpa mempedulikan siapakah yang mengeluarkan perintah tersebut. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw.: "Tidak ada ketaatan dalam melakukan maksiat kepada Allah."[28] 2. Berlaku Amanah. Seorang isteri memiliki kewajiban menjaga dirinya, rumahnya, harta suaminya, dan anak-anaknya ketika suaminya tengah tidak ada di rumah. Berdasarkan hadits Nabi saw.: "Sedangkan hak kalian yang harus dipenuhi oleh isteri kalian adalah jangan sampai dia masukkan ke dalam kamar kalian orang-orang yang tidak kalian sukai, dan jangan sampai diizinkan masuk ke dalam rumah kalian orang-orang yang kalian tidak sukai"[29]. Sebagaimana isteri juga memiliki kewajiban untuk menopang suami dalam memberikan pengajaran agama dan akhlak yang baik untuk anak-anaknya. 3. Memperlakukan Suami dengan Baik. Seorang isteri memiliki kewajiban untuk memperlakukan suaminya dengan baik, serta tidak melakukan tindakan aniaya kepada suami. Bisa jadi seorang wanita tidak memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan aniaya secara fisik kepada suaminya, jika dipandang dari segi perbedaan kekuatan fisik antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan. Namun tindakan aniaya tingkah laku yang berupa ucapan yang pedas dan tidak etis, serta berbagai tindakan yang lainnya yang menampakkan ketidakhormatan isteri terhadap suami merupakan salah satu tindakan aniaya yang terlarang. Yang bahkan bisa jadi lebih pedih bagi kaum laki-laki dibandingkan tindakan aniaya secara fisik. Rasulullah saw. telah memberikan larangan kepada para isteri untuk menganiaya suaminya dalam sabdanya yang berbunyi: "Setiap isteri yang menganiaya suaminya di dunia pasti akan ada seorang bidadari di surga yang mengatakan kepadanya: 'Jangan kamu aniaya dia, Allah pasti akan melaknatmu. Karena dia adalah tamumu, yang pada suatu saat dia akan meninggalkanmu dan pergi mendatangi kami'"[30]. 4. Hak Menta'dib (Memberikan Pelajaran) kepada Isteri. Ketika isteri menunjukkan sikap pembangkangan terhadap suami yang berkisar pada perkara kebaikan, maka seorang suami memiliki hak untuk memberikan pelajaran kepada isterinya, dengan menggunakan tahapan yang telah ditetapkan oleh Allah swt.: "Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka."[31] Tahapan yang pertama: memberikan nasihat dan arahan dengan menggunakan cara yang baik dan penuh dengan kesantunan, tanpa memberikan kesan menggurui. Dan jika tahapan yang pertama ini tidak mengena, maka ditempuh tahapan yang kedua yaitu pisah tempat tidur, yang merupakan suatu tindakan yang lebih jelas dari tahapan yang pertama dalam menunjukkan kemarahan suami terhadap perilaku pembangkangan isteri. Ibnu Abbas berpendapat bahwa yang dimaksud dengan pisah tempat tidur adalah tidak menggaulinya, tidak tidur di satu tempat tidur, serta membelakangi punggungnya[32]. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap para isterinya, ketika mereka menunjukkan sikap pembangkangan mereka, maka beliau tidak gauli mereka selama satu bulan[33]. Ketika tahapan yang kedua ini tetap tidak membuahkan hasil, maka digunakan tahapan yang ketiga, yang berupa memberikan pukulan yang ringan yang tidak meninggalkan bekas. Dan pukulan ini harus diarahkan ke bagian anggota tubuh yang tidak akan terpengaruh dengan pukulan tersebut. Maka suami tidak boleh mengarahkan pukulan ke wajah, atau ke anggota tubuh yang lain, yang merupakan andalan daya tarik isteri. Dan sebaiknya sebelum memberikan pukulan, suami memberikan ancaman terlebih dahulu kepada isteri. Agar jangan sampai suami terpaksa menggunakan pukulan dalam upaya menyadarkan isterinya. Persoalan memberikan pukulan kepada isteri dalam Islam adalah sebuah perkara yang harus disikapi dengan sangat cermat, dan sama sekali tidak boleh digunakan secara serampangan. Karena tidak ada satu pun riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. atau para sahabat yang mulia pernah memukul isteri mereka atau anak perempuan mereka. Bahkan Rasulullah saw. mengecam tindakan kekerasan suami kepada isterinya yang terjadi pada masa beliau. Tidak setiap suami berhak untuk memberikan pukulan kepada isterinya. Dan tidak semua isteri berhak untuk menerima pukulan dari suaminya. Suami yang berhak memberikan pukulan kepada isterinya adalah seorang suami yang telah memenuhi semua haknya sebagai seorang suami, dan tidak pernah melakukan kezaliman terhadap isterinya. Dan isteri yang berhak menerima pukulan adalah seorang isteri yang memiliki panjang lidah, yang sengaja secara terang-terangan menghina dan membangkang terhadap suaminya, yang tidak menjaga kehormatan dirinya dan rumah tangganya[34]. Dan jenis wanita yang seperti ini adalah jenis wanita yang tidak memiliki pendidikan yang baik dari keluarganya. Karena seorang isteri yang memiliki pendidikan yang baik dari keluarganya pasti akan mencari jalan untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi di antara keduanya tanpa mesti membuat suaminya terpaksa memukulkan tangannya ke tubuhnya, dengan tujuan untuk meluruskannya. Jika ternyata suami menyalah-gunakan haknya dalam memberikan pelajaran kepada isteri, maka dalam madzhab Hanafi, seorang isteri yang diperlakukan sewenang-wenang oleh suaminya dapat melaporkan perbuatan suaminya tersebut kepada qadhi. Dan qadhi memiliki otoritas untuk memberikan ganjaran dan hukuman ta’zir kepada suami yang telah menyalahgunakan haknya dalam memberikan pelajaran kepada isteri. Sedangkan madzhab Maliki memberikan qadhi otoritas yang lebih luas lagi, yang berupa hak untuk memisahkan keduanya, jika ternyata suami memperlakukan isterinya secara sangat buruk[35]. Setelah ketiga tahapan penta’diban ini menunjukkan hasil, dan membuat isteri menyadari kesalahannya, dan segera memperbaiki sikapnya, maka suami tidak berhak lagi menggunakan haknya untuk menta’dib isterinya, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah swt.: "Kemudian jika mereka menta'atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya"[36]. Ini semua adalah hak-hak suami yang harus dipenuhi oleh seorang isteri. Dan setelah isteri memenuhi semua hak suami ini, maka suami tidak berhak menuntut isterinya untuk mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga. Karena maksud yang terkandung dalam akad perkawinan yang terjadi di antara suami isteri hanyalah penghalalan hubungan suami isteri di antara keduanya, sebagai upaya untuk menjaga kesucian diri dan menghasilkan keturunan. Tanpa mengandung maksud pelayanan dan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga[37]. Dan jika isteri bersedia untuk mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga, maka semua pekerjaan ini dia lakukan atas dasar kerelaan dan panggilan moral, bukan karena tuntutan agama. Hak yang terakhir, adalah hak milik bersama suami isteri yang terdiri dari: 1. Hak untuk Saling Mewarisi. Pasangan suami isteri memiliki hak untuk saling mewarisi ketika salah seorang dari mereka meninggal dunia. Selama tidak ada halangan yang membuat keduanya tidak dapat saling mewarisi, seperti adanya perbedaan agama antara suami dengan isteri. Maka seorang suami muslim tidak berhak untuk mewarisi isterinya yang non-muslim. Dan dalam hak saling mewarisi akibat terbinanya akad pernikahan ini tidak disyaratkan terjadinya hubungan badan antara suami isteri. Maka jika salah satu pasangan suami isteri meninggal setelah terjadinya akad pernikahan tanpa sempat melakukan hubungan suami isteri, maka pihak yang hidup memiliki hak untuk mendapatkan harta warisan pihak yang meninggal dunia. 2. Hak Haram Menikah dengan Orang Tua dan Keturunan Masing-masing Pihak Suami-isteri. Setelah terjadinya akad pernikahan, maka haram bagi suami untuk menikah dengan ibu isterinya, meskipun belum terjadi hubungan badan dengan isterinya. Dan juga haram baginya untuk menikah dengan anak perempuan isterinya, jika telah terjadi hubungan badan dengan isterinya. Sebagaimana juga haram baginya untuk menikahi kakak, atau adik, atau tante, atau keponakan isterinya selama dia masih memiliki ikatan perkawinan dengan isterinya. Sedangkan isteri yang menjanda akibat perceraian atau kematian setelah selesai masa iddahnya juga diharamkan untuk menikah dengan bapak mantan suaminya, atau anak mantan suaminya. 3. Hak untuk Saling Memiliki Rasa Cemburu. Kedua pasangan suami isteri memiliki hak untuk saling merasa cemburu terhadap pasangannya, dalam batasan yang normal dan tidak berlebih-lebihan. Karena rasa cemburu yang berlebihan alih-alih semakin mempererat hubungan suami isteri, malah menyebabkan timbulnya kerenggangan dalam rumah tangga. Penutup Ini semua adalah berbagai hak yang dimiliki oleh suami-isteri, sekaligus berbagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap pasangan suami-isteri. Tatkala masing-masing suami-isteri saling menghormati dan konsisten terhadap hak dan kewajiban masing-masing, maka akan timbul rasa saling menghargai dan saling mencintai. Dan tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa kunci kestabilan dan pertumbuhan sosial terletak pada kestabilan dan ketentraman rumah tangga. Sebuah rumah tangga yang harmonis, yang selalu dihiasi dengan jiwa saling menghormati dan saling mencintai di antara suami isteri, akan memberikan contoh hidup yang paling efektif bagi anak-anak mereka, yang pada suatu saat nanti akan menjadi pemegang kendali kehidupan sosial mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari