Rabu, Mei 21, 2025

 

Gugurnya 23 Pejuang: Antara Perjuangan dan Pengkhianatan

“Di balik keberadaan makam 23 pejuang Kambat Selatan, ada kisah tragis antara perjuangan dan pengkhianatan pada masa revolusi fisik, 12 Juni 1949”

Plang nama Taman Makam Pejuang Kambat Selatan, Kecamatan Pandawan (foto: TABIRkota/ferian sadikin)

Oleh: Muhammad Ferian Sadikin

“Bagi djang gogoer, djasadmoe boeleh hantjur namoen djiwamoe tetap hidoep”

MALAM mencekam, 90 pemuda mengendap perlahan, senyap, tak ada sedikit pun suara. Bermodalkan parang bungkul (senjata khas Kalimantan Selatan) di pinggang, mereka menyusuri hutan untuk menghidari keramaian.

12 Juni 1949, pasukan yang dikomando Salimi tergabung dalam markas daerah Z-61, berbasis di Desa Mahang, Kecamatan Pandawan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan (Kalsel), menyelinap di sela pepohonan dengan berselimutkan dingin dan hanya diterangi sinar rembulan.

Mereka menyelinap menembus hutan melewati Desa Buluan dengan dibantu oleh 13 pejuang pasukan alam gaib dan pasukan dzikir dari Alabio, Hulu Sungai Utara (HSU) yang dipimpin Haji Abdul Kadir untuk menambah kekuatan Z-61 menghancurkan pos militer Belanda yang ada di Desa jatuh.

Taman Makam 23 Pejuang di Kambat Selatan (foto: TABIRkota/ferian sadikin)

Selama perjalanan, mereka bertemu dengan beberapa masyarakat yang ingin ikut bertempur melawan penjajah, sehingga kekuatan para pejuang bertambah menjadi 150 orang. Sesampainya di pos militer Belanda, ternyata dalam kondisi kosong.

Bukan tanpa sebab, kosongnya pos militer yang ada di Jatuh memang disengaja, karena informasi penyerangan itu telah bocor oleh spion atau mata-mata Belanda, yakni pasukan kucing hitam di bawah pimpinan Pambakal (kepala desa) Haji Hasyim.

Pasukan kucing hitam merupakan kelompok pribumi yang dibayar Belanda untuk menjadi mata dan telinga mereka, pasukan itu seringkali meresahkan masyarakat, karena menangkap, menyiksa dan menghancurkan rumah para pejuang.

Makam 23 pejuang di Kambat Selatan yang gugur dalam penyerangan Desa Jatuh (foto; TABIRkota/ferian sadikin)

Merasa dapat menguasai pos militer dan menaklukkan pasukan kucing hitam tanpa perlawanan, para pejuang meneriakkan “merdeka” dan bersuka cita, setelah memastikan kemenangannya, mereka kembali menyisir jalan setapak untuk kembali pulang ke markas pangkalan Z-61 di Mahang.

Ternyata pihak Belanda telah menyiapkan strategi yang matang, mereka bersiap untuk mengepung pejuang dari segala penjuru, berbekal informasi dari pasukan kucing hitam dan mengatur posisi untuk bersembunyi.

Sesampainya para pejuang di simpang empat Kambat Selatan, mereka dikejutkan dengan dentuman tembakan yang membelah angkasa, merasa terkepung, sebagian pejuang itu berhamburan tak tentu arah dan mereka yang terlatih langsung tiarap.

Desing peluru melesat tak beraturan, menghujani para pejuang. Masyarakat yang ikut berjuang, namun belum terlatih berlarian ke sana kemari.

“Merasa situasi sangat genting, Haji Abdul Kadir mengambil alih pasukan dengan menancapkan bendera di empat penjuru agar para pejuang bisa berlindung dan memimpin dzikir,” ujar Kasi Kesenian dan Kebudayaan Dinas Pendidikan HST, Masruswian.

Riuh dzikir menggema menembus malam, pasukan pejuang duduk bersila dengan mulut yang terus merapalkan kalimat tauhid, berserah diri kepada Tuhan agar terlindung dari hujaman peluru Belanda.

Hujan peluru tak dapat dibendung lagi, namun anehnya, ribuan peluru itu tak sedikit pun menyentuh para pejuang yang sedang berdzikir dan Belanda tidak tahu keberadaan mereka, seakan terlindung dinding. Setiap peluru yang datang ke hadapan mereka nampak jatuh di sekitar bendera.

Malam itu terasa panjang, para pejuang perlahan bergerak senyap dan Belanda akhirnya mundur karena kebingungan dengan kejadian yang mereka alami, tak satu pun bayangan pejuang terlihat oleh mata mereka.

“Akibat pertempuran itu, 23 pejuang yang berasal dari masyarakat biasa gugur terkena tembakan Belanda, kejadian itu masih menyimpan amarah para pejuang terhadap Belanda dan pasukan kucing hitam,” Masruswian dengan mata berkaca menceritakan.

Ternyata penjajah tidak bekerja sendiri, ujarnya, mereka dibantu para pengkhianat bangsa yang rela menggadaikan harga dirinya untuk Belanda.

“Selain melawan penjajah, para pejuang kita terdahulu juga berjuang untuk menggempur pasukan pribumi yang bekerja sama dengan Belanda,” ujarnya.

Kini, tetesan darah dan sejarah pertempuran itu telah bersemayam bersama 23 pejuang, di Makam Pejuang Kambat Selatan, Kecamatan Pandawan.

Di makam tersebut tertulis nama 23 pejuang yang gugur dalam pertempuran menumpas penjajah, namun sayang, tulisan nama para pejuang itu sudah terkelupas dimakan usia, sehingga beberapa nama tidak dapat terbaca.

Keberadaan makam tersebut menjadi pengingat, bahwa di tempat itu pernah terjadi pertempuran hebat yang sempat membuat Belanda kebingungan dengan kekuatan yang dimiliki pasukan alam gaib dan pasukan dzikir.

Diharapkan peristiwa penting dan bersejarah di HST terus dituturkan kepada generasi muda , sebagai bagian dari perlawanan masyarakat banua terhadap imperialis Belanda pada masa menegakkan proklamasi kemerdekaan Indonesia. (fer)

Pewarta: M Ferian Sadikin

Journalist | Editor | - Hulu Sungai Tengah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Penyidikan Kasus Korupsi, Direktur Utama PT Sritex Ditangkap Kejagung

Rab Mei 21 , 2025
"Meskipun PT Sritex swasta, namun dugaan korupsi tetap diusut lantaran pemberian fasilitas kredit oleh perbankan dilakukan perusahaan plat merah"

You May Like

HUT TABIRkota 3 Tahun

TABIRklip


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari