Kamis, Mei 11, 2023

Perang Garis Demarkasi Desa Karang Jawa, Pertempuran Besar yang Terlupakan

Perang Garis Demarkasi Desa Karang Jawa, Pertempuran Besar yang Terlupakan

••••••••••••••••••••••••••••


Memasuki awal tahun 1949 di daerah Hulu Sungai keadaan kian genting. Dualisme pemerintahan saling berhadap-hadapan antara pusat pemerintahan Gubernur Tentara ALRI Divisi IV dan pemerintahan sipil Hindia Belanda Afdeling Hoeloe Soengai yang sama-sama berada di wilayah inti Ibukota Hulu Sungai (sekarang Kabupaten Hulu Sungai Selatan).


Mengapa sangat genting? Sebab pada 25 Desember 1948 pimpinan umum RX-8 SOPIK/ALRI D IV telah mengeluarkan perintah serangan umum. Waktu dilaksanakan serangan itu dimulai tanggal 1 Januari 1949. Beberapa kesatuan mengadakan serangan terhadap kedudukan Belanda di Haruai (1 Januari 1949), Nagara ( 2 Januari), Tanjung (3 Januari), Ampah dan Tamiyang Layang (4 Januari), Lapangan Kandis (9 Januari), Sungai Tabuk ( 9 Januari), Wawai ( 14 Februari), Tabing Rimbah (17 Februari) dan tempat-tempat lainnya secara bertubi-tubi.



Pasca Proklamasi 17 Mei 1949 ALRI D IV strategi perjuangan yang diterapkan senantiasa dikembangkan. Atas dasar itu kemudian ALRI D IV  membentuk dan mengembangkan beberapa resimen, yaitu resimen I, II, III. Dimana resimen II disebut Komando Militer Daerah Tengah (KMDT) yang berkedudukan di Kandangan tepatnya di desa Karang Jawa. Perubahan ini disetujui oleh Gubernur Tentara sekaligus Panglima Divisi IV ALRI Hassan Basry.


Selanjutnya untuk menghindari perpecahan komandan Batalyon Mobile Divisi (Yon Mobile) Ibnu Hajar, memberikan jaminan pasukannya mendukung setiap saat segala rencana yang dijalankan. Bahkan ia menyerahkan 1 kompi pasukannya di bawah pimpinan Samideri Dumam wakil andalannya untuk dijadikan satuan kompi tempur utama KMDT.


Gencatan senjata di wilayah de facto dan de jure  RI (Jawa dan Sumatera ) berpengaruh juga kepada keberadaan pemerintahan Gubernur Tentara ALRI D IV di Kalimantan Selatan, dipicu oleh berita gencatan senjata tersebut dan iklim yang kondusif pada tanggal 27 Juli 1949 ALRI Divisi IV mengumumkan “Garis Demarkasi” di daerah Kalimantan Selatan, terlebih  tegas lagi di wilayah hukum KMD Tengah. Demarkasi yang ditetapkan saat awalnya berjarak radius 5 Km dari pusat kota, bermula diberlakukan di wilayah hukum KMDT yang berpusat di Kandangan.


Batas kemudian ditingkatkan menjadi 2 KM dari pusat kota Kandangan, Rantau, Barabai dan Nagara. Ditariknya demarkasi tersebut akan sangat kentara sampai sejauh mana wilayah kekuasaan NICA dan sebaliknya jua betapa luasnya wilayah Pemerintahan Gubernur Tentara Divisi IV ALRI.


Pemberlakuan garis demarkasi, ditindak lanjuti dengan menempatkan pasukan pengawal perbatasan. Titik demarkasi yang mula-mula mendapatkan pengawalan untuk pertama kali ditempatkan di Karang Jawa (sekitar 2 Km sebelah timur Kandangan). Di sana juga berdiri Kantor Markas Besar Komando Militer Daerah Tengah (KMDT). Pasukan pengawal tersebut terdiri dari kesatuan pasukan tempur setingkat kompi dipimpin oleh Samideri Dumam sebagai komandannya didukung oleh Kesatuan Polisi Tentara dipimpin oleh Syahdan.


Tanggal 28 Juli 1949 garis demarkasi mulai dikawal. Samideri Dumam memimpin sendiri pengawalan di desa Karang Jawa bersama pasukannya,  dia selaku komandan Pasukan Pengawal Garis Demarkasi sekaligus putra daerah dari desa Karang Jawa yang tak lain merupakan kampung halamannya sendiri, dalam buku Lintas Revolusi Fisik Kalimantan Selatan digambarkan : Kini desa tersebut secara de facto bagian dari Republik Indonesia. Bendera merah putih pun dinaikkan ke puncak tiang. Berkibar megah. Mengipas cakrawala yg masih bertuba bau darah dan mesiu. Menggelorakan hati semangat juang anak negeri, karena di kawasan itu orang akan merasa berada dalam wilayah Kedaulatan Republik Indonesia.


Terdorong oleh sikap bengisnya, demarkasi yang sudah ditetapkan dilanggar begitu saja oleh pihak Tentara NICA. Perbuatan demikian  adalah pelanggaran kehormatan bagi pihak pejuang kemerdekaan. Pelanggaran yang diterjemahkan sebagai penghinaan tersebut tentu akan dibalas dengan menampilkan jati diri yang sesungguhnya.


Diawali kejadian tanggal 2 Agustus 1949 sebuah jeep yang datang memasuki demarkasi semula yang dijanjikan adalah Kiai Besar Hulu Sungai M.Said dengan perihal ingin berunding dengan Gubernur Tentara  ALRI. Namun ternyata malah Serdadu NICA yang datang dan menyerang secara tiba-tiba. Sikap penghormatan militer dari komandan pengawal demarkasi di Karang Jawa tersebut berbalas dengan sikap yang tidak lagi bersahabat.


Perintah “angkat tangan” mengumandang diiringi tembakan senjata otomatis dari pihak NICA. Samidrie Dumam tertegun sejenak, tak menyangka akan situasi seperti itu. Refleksi kejuangannya segera bereaksi membalas tembakan sambil meneriakkan komando penyerbuan. Rentetan tembakan sempat mengejutkan pasukan pengawal perbatasan yang sedang tidur beristirahat. Pertempuran sengit pun pecah. Hampir satu jam tembak menembak berlangsung. Belanda kemudian menarik diri, dan pasukan Samideri kembali ke pos semula.


Namun pukul 16.00 pasukan militer Belanda dengan kekuatan berlipat ganda datang lagi menyerang. Kobaran pertempuran pun berlangsung hingga malam hari. Pada saat malam hari para gerilyawan tidur bergantian, berbantal senapan di situlah kemudian muncul ujar-ujaran yang menyiratkan kebulatan tekad mereka : “Lebih baik mati babantal popor senanapan daripada tidur enak di ranjang, tapi kita masih dijajah Belanda”.


Dalam pertempuran hari itu Dabar, seorang anggota pasukan Pengawal Perbatasan gugur tertembus peluru di dada. Syuhada pertama di garis demarkasi berpulang ke haribaan Sang Pencipta.  Jalur demarkasi mulai menagih korban. Sejak itulah luran merah sengit oleh bau darah, luran merah yang bertutur tentang derita, air mata dan darah kiprah para pendahulu yang mengihlaskan tulang belulangnya menjadi suai “rumah” kemerdekaan yang dinikmati saat ini.


Rentetan serangan pihak Belanda terhadap garis demarkasi dari serangan pertama pada tanggal 2 Agustus tersebut, berlanjut kepada serangan ke II pada tanggal 3 Agustus 1949, serangan III pada  5 Agustus 1949. Kemudian pada tanggal 6 Agustus pasukan pengawal demarkasi dibagi 2 pasukan. Pasukan di bawah pimpinan Suwandi tetap di garis demarkasi untuk memecah konsterasi pasukan Belanda. Sedangkan pasukan lain yang dipimpin Samideri Dumam bergerak menuju kota Kandangan dengan tujuan menyerang tangsi utama milter Belanda. Di tengah kecamuk penyerang ke tangsi militer Belanda, teriakan-terikan minta tolong terdengar gempar di dalam tangsi Belanda tersebut. Gempuran pasukan pengawal demarkasi bertambah hebat manakala Ibnu Hajar dan pasukan Yon Mobil datang membantu pertempuran yang kurang lebih berlangsung selama 3 jam.  Pasukan kemudian ditarik mundur karena jumlah yang sudah tidak berimbang akibat datangnya bantuan pasukan Belanda dari Barabai dan Amuntai.


Di Karang Jawa ternyata pasukan yang dipimpin Suwandi juga terlibat kontak senjata yang begitu hebat. Mereka bertahan begitu gigih sehingga pasukan Belanda ditarik kembali ke Kandangan untuk mempertahankan tangsi.


Hari-hari selanjutnya perang terus berkecamuk di Karang jawa, sembari mulai berdatangan bantuan pasukan dari Sektor Z-16 Pagat pimpinan Said Charly, dari Sektor R-27 Birayang pimpinan Impat, Sektor BN-5 Amuntai Pimpinan Martinus dan dari Sektor O-12 pimpinan Mustapa dan Junaid.


Pada tanggal 8 Agustus 1949 serangan ke-4 kembali dilancarkan Belanda ke garis demarkasi. Tepat di wilayah Pinang Babaris di desa Karang Jawa pasukan Ibnu Hajar dan Pasukan Samideri sudah menghadang dan menghajar pasukan Belanda dari jarak dekat mengawali pertempuran hari itu. Pasukan gabungan dari beberapa sektor ALRI D IV mulai bertempur di Karang Jawa berpencar dan membuka kancahnya masing-masing. Di bawah pepohonan, di kebun ubi, atau di tengah persawahan. Impat mengistilahkan gaya pertempuran itu sebagai perang di tanah datar tanpa perlindungan apa-apa.


Pasukan Belanda yang bertempur saat itu juga merupakan pasukan gabungan, mereka mendapat dukungan penuh dari Banjarmasin, Martapura, Barabai dan Amuntai serta tambahan dari polisi kilat didukung persenjataan yang amat lengkap. Ini jelas merupakan tekanan yang amat berat pagi pasukan ALRI D IV sehingga mereka harus bergerak mundur  300 M dari kancah semula, di ikuti pasukan Belanda yang mundur menuju kota Kandangan dengan membagi pasukan melalui Tabihi kiri dan Tabihi kanan. Sepanjang jalan lintasan pasukan Belanda melakukan pembersihan dengan menembaki masyarakat sipil setempat. Tak kurang yang tercatat 11 warga masyarakat sipil tewas.


Atmosfir perang garis demarkasi semakin mencekam. Terlebih peningkatan aktivitas tembak menembak juga terjadi di beberapa tempat di Hulu Sungai. Masyarakat Kandangan berbondong-bondong memasuki daerah wilayah kekuasaan ALRI IV karena takut akan penyerangan pihak gerilyawan ke pusat kota. Ada isu “Kandangan handak dipalas lawan darah walanda” ditambah dengan imbuan agar semua penduduk sipil yang bersimpati kepada perjuangan pindah ke wilayah Republik yang berada kurang lebih 3 Km dari pusat kota.


Peristiwa mencekam di atas juga tergambar di dalam biografi tokoh nasional Djohan Effendi (Menteri Sekretariat Negara Kabinet Persatuan Nasional era Presiden Abdurrahman Wahid) yang semasa kecilnya di kota Kandangan saat peristiwa itu terjadi, ia dan keluarga berada di kamp pengungsian.


Mengenai isu “Kandangan handak dipalas lawan darah walanda” yang bukan hanya sekadar gertakan semata, jajaran KMDT memang tengah melakukan persiapan untuk merealisasikannya. Apalagi kekuatan mereka bertambah besar ketika tanggal 22 Agustus 1949 kompi pasukan dari resimen III di bawah pimpinan Letnan I (L) Rustam telah datang ke Karang Jawa, demikian pula Daeng Lajida dan pasukannya yang sebelumnya telah diperbantukan ke Banjarmasin sudah pulang kembali ke posnya pada KMD Tengah di Karang Jawa.


Gusti Aman melaporkan kepada Panglima tentang rencana serangan besar-besaran yang akan dilakukan secara terbuka di kota Kandangan pada siang hari. Rencana itu disetujui Hassan Basry tanggal dan waktu pun ditetapkan yaitu pada pukul 04.00 tanggal 24 Agustus 1949 yang di pimpin langsung oleh Hassan Basry. Sementara pembahasan rencana berlangsung pukul 07.00 dan pasukan pun telah dihimpun dan dipersiapkan untuk melakukan serang besar-besaran, namun Pasukan Pengawal Garis Demarkasi kembali diserang oleh militer Belanda. Pertempuran berlansung sekitar setegah jam, pasukan kemudian dibawa Samideri Dumam  menyeberangi sungai Amandit untuk bergabung bersama pasukan Sani yang berada di jembatan Nomura.


Pasukan ini menuju Kandangan sesampainya di jembatan Loklua pasukan kemudian dipecah lagi menjadi 2 pasukan dimana pasukan yang dipimpin Sani menyerang tangsi lewat jalan raya. Sedangkan pasukan Samideri Dumam menyusur sungai Amandit dan langsung menyerang di depan bibir tangsi.


Tembakan dimulai oleh pasukan Sani dari arah simpang empat, pasukan Samideri merayap di parit depan tangsi juga mulai melepaskan tembakan. Di tengah hujan tembakan dan lemparan granat, para gerilyawan meneriakkan agar Belanda menyerah kalau tidak ingin tangsi dibakar. Tangsi sudah hampir dikuasai namun pasukan bantuan Belanda berdatangan. Melihat itu pasukan Pengawal Garis Demarkasi kemudian mengundurkan diri kembali ke Karang Jawa.


Malam hari seluruh kekuatan KMDT mulai digerakkan memasuki kota dan bersembunyi di rumah-rumah penduduk yang kosong pada pukul 02.30 hari Rabu tanggal 24 Agustus 1949, serangan sempat tertunda 2 jam, komando penyerangan mulai diteriakkan, tembakan-tembakan pancingan belum mampu memancing Belanda keluar tangsi dan pos polisi NICA.


Sambutan bertahan dari pihak belanda membuat pasukan KMDT untuk masuk lebih jauh ke dalam kota. Kemudian tiga penjuru kota diblokir oleh pasukan KMDT. Jurusan selatan oleh pasukan Gusti Aman dan Daeng Ladjida, sebelah utara pasukan Ibnu Hajar dan Sani, kemudian pada sisi timur oleh pasukan Samideri Dumam dan Setia Budi.


Pasukan dari sisi timur juga sempat merampas jeep milik Belanda dan disusul pertempuran hebat akhirnya pecah di dua tempat yakni tangsi KNIL dan tangsi Polisi NICA.  Front meluas ke sisi utara mengahadapi pasukan Belanda yang datang dari Barabai dan sisi selatan menghadapi pasukan Belanda yang datang dari Rantau dan Banjarmasin.


Api mulai menjilat ke angkasa membumi hanguskan rumah-rumah serta pos Belanda. Tekanan demi tekanan terus dilakukan oleh pasukan Komando Militer Daerah tengah, dalam suatu moment Ibnu Hajar berdiri di atas pagar kawat berduri pada tangsi Belanda seraya berseru agar pihak KNIL menyerah.


Tak lama setelah itu pada tiang bendera yang ada di dalam tangsi, berlahan merayap naik bendera Merah Putih berkibar mengipas cakrawala senja.


Bulan Agustus 1949 merupakan bulan peningkatan semua aktivitas perjuangan. Salah satu manuver itu adalah menarik para BB Ambtenar dari kegiatan pemerintahan NICA. Harian Suara Kalimantan, Rabu 24 Agustus memberitakan: peristiwa terjadinya tembak menembak di Hulu Sungai mengakibatkan hubungan transportasi sukar dilaksanakan. Tidak hanya sampai di situ keadaan chaos ini juga diiringi dengan kenaikan melambung harga bahan pokok. Supply bahan pokok diarahkan ke desa-desa di bawah lindungan ALRI yang menampung banyaknya para pengungsi yang datang. Para pengungsi menyatakan beraktivitas seperti biasa, merasa merdeka dan aman karena di bawah perlindungan ALRI D IV seperti yang diutarakan dalam surat Misbach (lihat : Revolusi Kemerdekaan di Kalimantan Selatan hal.93-95 : Wajidi).


Kebutuhan barang pokok serta bahan bakar yang menipis juga menambah tekanan dari pemerintahan ALRI D IV kepada Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda. Pemogokan kerja para pegawai pabrik dan pemerintahan menambah keterpurukan dan lumpuhnya pemerinthan sipil Hindia Belanda. Sejatinya pada bulan Agustus di tahun 1949 itu adalah “puncak kekalahan” Pemerintahan Sipil Hindia-Belanda (NICA) beserta perangkat Militernya dan sebaliknya puncak dari kemenangan pihak pejuang gerilya di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Pemerintahan Gubernur Tentara Divisi IV ALRI Pertahanan Kalimantan.


Semakin terdesak oleh serangan gencar para gerilyawan, dan lumpuhnya pemerintahan, akhirnya  memaksa Belanda berupaya melakukan perundingan dengan pihak ALRI D IV dengan meminta bantuan kepada Pemerintah Pusat Republik Indonesia dan juga ditengahi komisi bentukan PBB yaitu UNCI agar mendapatkan cease fire/penghentian kegiatan tembak menembak. Kesepakatan itu akhirnya terlaksana pada pertemuan di Munggu Raya dan  di Karang Jawa tanggal 2 September 1949. (*)

••••••••••••••••••••••••••••

Keterangan foto slide pertama: Markas Besar "Komando Militer Daerah Tengah" (KMDT) di Desa Karang Jawa



Foto slide ke 2: ALRI D IV di Kandangan, Gusti Aman (ditengah),



Foto slide ke 3: ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan,



Foto slide ke 4:Korban di pihak masyarakat akibat kebrutalan Belanda (Lintas Revolusi Fisik)


Foto Slide ke 5 : ALRI Divisi IV Koleksi 



Foto Slide ke 6:Baju bawafaq milik Samideri Dumam yang digunakan dalam Perang Garis Demarkasi Karang Jawa, Koleksi Museum WASAKA Banjarmasin



Foto Slide ke 7:Rumah Perjuangan di desa Karang Jawa tempat ramah tamah antara Delegasi RI, Belanda, UNCI (PBB) dan wakil ALRI D IV Pertahanan Kalimantan tanggal 2 September 1949.



••••••••••••••••••••••••••••


Sumber:sejarahkita.blogspot.com

Reposted: catatan edwan ansari


Catatan:Sumber sejarah adalah sesuatu yang langsung atau tidak langsung yang menyampaikan kepada kita tentang suatu kenyataan dimasa lalu ✍📖

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari