Diminta menulis epilog untuk sebuah kumpulan cerpen bertema sejarah adalah hal yang baru bagi saya. Kayla Untara memaksa saya harus membaca tiap bagian dari cerpennya dengan detail. Oleh karena itu, saya ingin berbagi dengan teman-teman tentang hasil pembacaan saya terhadap "Sirah Darah di Wajah Sejarah" yang tertuang dalam epilog yang berjudul "Sejarah Tanpa Wajah" berikut ini.
EPILOG:
Sejarah Tanpa Wajah
Oleh: Muhammad Edwan Ansari
UPAYA untuk menjelaskan pengetahuan tentang sejarah kepada masya-rakat terlebih kepada generasi muda, menurut hemat saya perlu dilakukan melalui cara-cara kreatif yang berkualitas. Selama ini, anak-anak (generasi muda) terlampau bosan dengan buku-buku sejarah yang menjadi bahan bacaan di sekolah atau di perpustakaan. Terkadang, buku-buku sejarah ini tak akan dilirik kecuali karena tugas sekolah, penelitian, atau orang-orang yang berkepentingan dengan sejarah. Tak ada inovasi berarti dalam proses penyampaian rantai sejarah agar tidak putus di tengah jalan. Entah mengapa, bacaan-bacaan bertema sejarah tidak terlalu menarik minat pembaca. Padahal, puluhan penelitian telah dilakukan tentang sejarah, bisa berupa skripsi, tesis, maupun disertasi, tetapi tetap tidak mendongkrak minat untuk menyukai sejarah itu sendiri. Hasil penelitian itu hanya tersimpan rapi di perpustakaan.
Kondisi itu bertolak belakang dengan dunia sastra. Geliat perkembangan penulisan novel, cerpen, maupun puisi bergenre sejarah mulai marak akhir-akhir ini. Hal ini sangat menggembirakan karena sejarah menjadi begitu cair ketika dinikmati bukan dalam bentuk bahasa yang kaku. Pembaca buku sastra mulai tertarik untuk membaca sejarah yang tidak lagi terkotak-kotakan dalam bentuk buku sejarah layaknya buku ajar di sekolah. Itu pula yang mulai dilakukan oleh penulis di Kalimantan Selatan. Sirah Darah di Wajah Sejarah (2017) karya Kayla Untara ini merupakan kumpulan cerpen pertama yang diterbitkan bergenre sejarah di Kalimantan Selatan.
Sebuah fiksi (dalam konteks ini—cerpen) sejarah, bagaimanapun bentuknya akan menyandang fakta sejarah. Meskipun pada realitasnya, fakta sejarah itu akan terbungkus dengan imajinasi pengarangnya. Akan tetapi, dalam menulis cerita berlatar sejarah, bagaimanapun liarnya imajinasi pengarangnya, dia harus tetap tunduk pada pakem sejarah yang dia tulis. Kebenaran di dalam sebuah fiksi sejarah akan merujuk pada kebenaran realitas sejarah.
Sirah Darah di Wajah Sejarah karya Kayla Untara memuat 13 cerpen bertema sejarah yang berlatar belakang perjuangan di Kalimantan Selatan. “Sirah Darah di Wajah Sejarah,” “Narasi Kelam Gadis Bernama Mirna,” “Jelang Pertempuran Madang,” “Arga,” “Airmata Berkarat,” “Kudahaya,” “The Journals,” “Khianat,” “Penyerbuan,” “Aku dan Surat dari Bapak,” “Tumpang Talu,” “Wafak,” dan “Sersan Shoici dan Nurbaiti.” Ke-13 cerpen tersebut tidak hanya bertutur tentang heroiknya revolusi fisik di bumi Lambung Mangkurat ini, ada pula cerita kelam yang mengiringi peristiwa perlawanan masyarakat Banjar ketika itu.
Dari 13 judul cerpen Kayla Untara yang termaktub dalam Antologi Sirah Darah di Wajah Sejarah ini berdasarkan titimangsanya, ada 10 cerpen yang ditulis pada tahun 2017, ini artinya dalam kurung waktu kurang lebih tiga bulan, KU ternyata sangat produktif dalam menulis cerpen sejarah. Namun, bertolak belakang dengan itu, KU hanya menulis satu cerpen pada tahun 2016 dan dua cerpen ditulis dalam kurun waktu 2010-2017.
Kayla Untara, selanjutnya saya sebut KU saja cukup serius menggarap cerita berlatar sejarah dengan setting kota Kandangan, Barabai, dan Martapura. Masa pendudukan Jepang, kedatangan tentara sekutu yang diboncengi NICA Belanda, masa-masa awal kemerdekaan, perjuangan tentara ALRI Divisi IV, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari cerpen-cerpen KU. Ada beberapa subtema yang menjadi fokus tulisan KU, pertama revolusi fisik ALRI Divisi IV, kedua kondisi sosial politik setelah kemerdekaan, ketiga kekejaman tentara Jepang, keempat pengkhianatan, kelima percintaan, dan keenam benturan nilai-nilai modern dan tradisional.
Kita lihat cerpen pertama, sekaligus yang menjadi judul antologi ini, “Sirah Darah di Wajah Sejarah” (SDdWS) bercerita tentang peristiwa kemedekaan bulan Agustus 1945.
Tepat pada tanggal 20 Agustus 1945, Borneo Shinboen edisi Kandangan pada halaman pertamanya memuat Teks Proklamasi yang digemakan oleh Soekarno di Jakarta tiga hari sebelumnya. Beruntunglah, yang pada malam pertemuan rahasia di rumah Comis Sasi, teks itu sempat dicatat oleh Artum. Maka gegerlah seluruh kota Kandangan.
Tiga hari setelah proklamasi dibacakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta, Jepang masih berkeliaran, tentara sekutu diikuti tentara NICA Belanda justru berusaha keras untuk menguasai kembali wilayah-wilayah di Indonesia. Gambaran pertempuran langsung tentara ALRI Divisi IV tidak akan ditemui dalam cerpen ini. Apalagi kalau mengharapkan betapa gemuruhnya sebuah pertempuran di medan peperangan, maka pembaca salah besar. Cerpen SDdWS hanya menggambarkan suasana setelah kemerdekaan yang dicekam kekhawatiran karena ketidakpastian pemerintahan. Di satu sisi mereka bangga karena bangsa Indonesia telah merdeka, tapi di sisi lain, bercokolnya sekutu disertai dengan tentara NICA Belanda telah membuat mereka ketakutan. Seperti deskripsi KU di akhir cerpen SDdWS: Suasana yang dalam sebualan terakhir tenang, perlahan tapi pasti, Kandangan mulai kembali diletiki bara. Melangkah pasti menuju sirah darah yang kelak memerah di wajah sejarah.
Bahwa, pertempuran tentara ALRI Divisi IV di Kalimantan Selatan adalah fakta sejarah, itu tak akan bisa dibantah. Salah satu tokoh yang sangat fenomenal ketika itu adalah Ibnu Hajar. KU sepertinya punya perhatian khusus dengan tokoh yang dikenal sebagai pimpinan garumbulan ini. Kita lihat kutipan cerpen yang berjudul Penyerbuan (Pe) berikut ini.
“Baik. Kita bagi pasukan. Sebagian mengambil jalan memutar, sehingga bisa masuk lewat sisi belakang rumah-rumah itu. Sisanya akan menyerbu dari arah depan dengan memposisikan gerakan pasukan secara berjejer melebar demi menghindari kemungkinan mereka melarikan diri lewat samping, “ Ibnu Hajar merumuskan taktik serangan. Seluruh pasukan serempak mengangguk, tanda paham.
Penyerbuan yang dilakukan oleh Ibnu Hajar dan kawan-kawannya di dalam cerpen itu digambarkan sebagai penyerbuan ke area perkebunan karet. Perkebunan itu dijaga oleh beberapa polisi Belanda. Penyerbuan itu berhasil dan Ibnu Hajar beserta kawan-kawanya memperoleh kemenangan. Pada beberapa bagian pertempuran, Ibnu Hajar juga menggunakan taktik gerilya. Hal ini dimaklumi karena pada waktu itu, para pejuang (orang Banjar) kalah dari segi persenjataaan.
Masih tentang Ibnu Hajar, KU menyatakan bahwa dia berusaha keras untuk menampilkan sosok kontroversial ini. KU ingin agar Ibnu Hajar dikenal sebagai pahlawan, bukan sebagai pengkhianat bangsa. Keterlibatan Ibnu Hajar dalam mempertahankan tanah Banjar dari cengkraman penjajah patut diapresiasi setinggi-tingginya.
Usaha keras KU dalam menampilkan sosok Ibnu Hajar ini juga terlihat dalam cerpen yang berjudul “The Journals” (TJ). Cerpen TJ ini berbentuk catatan harian seorang pejuang, yang merupakan bagian dari pasukan Ibnu Hajar. Dalam cerpen TJ ini, KU banyak menceritakan bagaimana seorang Ibnu Hajar terkena imbas dari rasionalisasi, dengan penurunan pangkat dari militer. Waktu itu ada banyak tentara pejuang yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah. Kondisi ini membuat Ibnu Hajar melarikan diri ke tengah hutan diikuti oleh tentara-tentara lainnya yang tidak bisa menerima kebijakan dari pemerintah.
Sejak rasionalisasi diberlakukan, banyak dari kami yang akhirnya secara diam-diam melarikan diri dari kesatuan karena kecewa terhadap kebijakan politik tersebut. Sedang tuan Ibnu Hajar telah lebih dulu lari dari kesatuan tak lama setelah kepulangan kami dari melaksanakan misi di Pontianak. (TJ)
Kondisi yang digambarkan KU tentang Ibnu Hajar seakan menjawab pertanyaan, mengapa Ibnu Hajar saat itu justru melarikan diri ke hutan. Rupanya ini sebagai bentuk protes karena para pejuang tidak dihargai layaknya pejuang. Bahkan, imbas dari pelarian itu adalah dihembuskannya isu tentang Ibnu Hajar yang ingin mendirikan Negara DI/TII. Isu itu membuat Ibnu Hajar dicap sebagai pengkhianat bangsa.
Selain dua cerpen itu, KU juga menampilkan sosok seorang pejuang bernama Haderi dalam cerpen yang berjudul “Air Mata Berkarat” (AMB). Tokoh yang masih hidup di belantara rimba Hutan Meratus. Ada beberapa ketidaksinkronan pemahaman ketika membaca cerpen ini yang menggunakan alur sorot balik ini karena pada salah satu bagian terbaca, “Terlebih ketika ia dan pengikutnya saat itu dianggap garumbulan oleh pemerintah Republik, maka petualangannya memasuki hutan-hutan perawan menjadi aktivitas harian. Perburuan demi perburuan yang dilakukan tentara Republik memaksanya mesti menjadi penunggu tetap hutan-hutan perawan sepanjang hunjur Meratus. Konteks ‘ia’ pada kalimat itu merujuk kepada Ibnu Hajar sebagai pimpinan gerombolan, namun pada bagian akhir justru ‘ia’ adalah Haderi. “Sabarlah, Haderi. Yakinlah, di luar sana namamu tetap akan dikenang sebagai pejuang, bukan pecundang. Pembaca yang tidak mengetahui bahwa nama asli Ibnu Hajar adalah Haderi akan bertanya-tanya, siapa Haderi? Apa kaitannya dengan Ibnu Hajar? Apakah ada dua orang pimpinan gerombolan di Hutan Meratus? Dan kalau benar Haderi adalah Ibnu Hajar mengapa dia masih hidup, padahal dia telah dieksekusi? Pada cerpen ini, KU sepertinya ingin membenarkan persangkaan sebagian orang yang percaya bahwa Ibnu Hajar tidak pernah benar-benar mati.
Ada pula cerpen yang diberi judul berkaitan dengan tempat seperti “Kudahaya” (Ku) dan kuburan fenomenal “Tumpang Talu” (TT) yang ada di Kandangan. Cerpen Ku mendeskripsikan tentang tempat persembunyian selama masa perang gerilya. Guha Kudahaya , sebuah liang batu yang memang jadi wadah persembunyian orang-orang pergerakan di bawah panji Gerpindom (Ku). Sedangkan cerpen TT menceritakan tentang seorang tokoh yang sekian lama merantau meninggalkan kampung halaman—Kota Kandangan.
Cerpen TT ini menarik dari segi penceritaan karena berbeda dari semua cerpen dalam antologi ini. Cerpen bergaya surealis ini dimulai dengan kenangan tentang masa lalu yang diingat sang tokoh, ketika menginjakkan kakinya kembali di kota Kandangan. Pada saat tokoh menziarahi kuburan orang tuanya yang berdekatan dengan kuburan tumpang talu, dia terisap labirin tak bertepi. Tokoh cerita dibawa terlibat untuk menyaksikan “tarian darah” alam pertempuran masa lalu yang berisi sejarah kuburan tumpang talu. Wajah-wajah itu rupanya sedang menyaksikan sebuah pertunjukan. Pertunjukan tarian darah. Tarian darah dari tiga jasad yang diarak sebuah kereta berkuda. (TT). Cerita inipun diakhiri dengan sadarnya sang tokoh namun ternyata dia masih berada di tempat asing, tempat di mana tentara KNIL Belanda masih berpatroli. KNIL? Patroli? Berbahaya? Bahaya apa? Apa-apaan ini? Di mana aku? Kupandang sekali lagi wajah Said. Ia tersenyum. Sedang aku kembali mematung. (TT).
Kekejaman tentara Jepang terhadap kaum perempuan sangat terkenal di dunia. Saat perempuan-perempuan dijadikan Jugun Ianfu adalah sejarah kelam yang sangat nista dan pernah dilakukan oleh tentara Jepang di wilayah jajahannya. Kekejaman tentara Jepang juga berimbas pada kaum perempuan di tanah Kalimantan ketika itu. Cerpen berjudul “Narasi Kelam Gadis Bernama Mirna” (NKGBM) menuturkan tentang seorang perempuan yang diperkosa oleh tentara Jepang. Berlatar belakang Kota Kandangan, cerita ini mampu menjadikan unsur kepedihan sekaligus kesengsaraan seorang perempuan yang menjadi korban kebejatan tergambar secara jelas. Mirna, tokoh cerpen ini menjadi perempuan yang sampai tua terpasung kenangan kekejaman tentara Jepang yang telah memperkosanya. Semua itu menanamkan kebencian terlebih orang tua yang ketika itu berusaha membelanya malah menjadi korban kekejaman tentara Jepang pula.
Dengan tangan masih terikat, tubuhku mereka hempaskan ke sebuah dipan kecil, pakaianku dilucuti. Inilah kali pertama aku merasa seakan dunia di hadapanku telah hancur berkeping-keping. Tangisku pecah, aku berontak dengan sisa tenaga, meski aku tahu itu semua sia-sia belaka. (NKGBM).
Dari kutipan di atas, dapat dilihat bagaimana kejamnya perlakuan tentara Jepang terhadap kaum perempuan. Kekejaman ini juga tergambar dalam artikel yang ditulis Wajidi yang berjudul Kisah Pilu Budak Seks (Jugun Ianfu) di Banjarmasin. Menurut Wajidi yang mengutip pemberitaan surat kabar Kalimantan Raya tanggal 23 maret 1942, ada banyak tempat “pelacuran” yang menjadi tempat pemuas seks para tentara jepang. Akan tetapi, selain Jugun Ianfu, tentara jepang juga berkeliaran mencari perempuan-perempuan pemuas nafsu mereka.
Sebuah sejarah tidak selalu menyajikan semangat patriotisme, terkadang terselip juga pengkhianat-pengkhianat bangsa. Hal itu juga dituturkan KU dalam cerpen “Khianat” (Kh), “Jelang Pertempuran Madang” (JPM), “Kudahaya” (Ku), dan “Arga” (Ar). Tokoh-tokoh pengkhianat perjuangan memang selalu mencari celah untuk menguntungkan diri sendiri, tak peduli apapun dikorbankan termasuk menjual harga diri bangsa demi materi dan kekuasaan. Namun, sebenarnya pengkhianatan ini tidak selalu dilakukan oleh “oknum” dari bangsa Indonesia, ada pula tokoh dari bangsa penjajah yang berperan penting bagi perjuangan bangsa Indonesia. Laksamana Tadashi Maeda salah satunya. Dia yang menyediakan rumahnya untuk penyusunan teks kemerdekaan. Konteks pengkhianatan yang dilakukan oleh Laksamana Maeda berbeda dengan para pengkhianat yang dituturkan KU dalam cerpennya. Pengkhianatan itu dilakukan atas dasar kemanusiaan karena Laksamana Maeda bersimpati dengan perjuangan bangsa Indonesia.
Sebagai penulis cerpen sejarah, tenyata KU juga lumayan melankolis. Bertolak belakang dari cover bukunya yang terlihat garang dan penuh amarah. Cerpen yang berjudul “Jelang Pertempuran Madang” (JPM) dan “Sersan Shoici dan Nurbaiti” (SSdN) malah bertutur tentang romantisnya hubungan percintaan seorang perempuan dan laki-laki. Pada JPM, tokohnya adalah perempuan yang disebut KU sebagai gadis berambut mayang, dan laki-laki pejuang yang disebut lelaki berparas satria.
Rayuan seorang lelaki yang digambarkan KU kepada perempuan pujaannya seakan menjadi bumbu dalam perjuangan. Meskipun pada bagian akhir, justru si laki-laki berparas kesatria ini harus mati diruyak meriam Belanda. Lelaki berparas satria. Luka-luka ditubuhnya meluhak diruyak meriam. Darah mengalir, menganak sungai. Dalam sisa denyut nadinya, ia sempat berbisik kepada angin lalu; “Adinda, kini aku melengkapi janji Tuhanku. Mengkhatamkan surah hidupku. Dan, di arakan mega-mega kau kutunggu.” (JPM).
Cerpen SSdN malah menceritakan hubungan seorang gadis pribumi dan seorang tentara Jepang yang bernama Sersan Shoici. Hubungan Shoici dan Nurbaiti terjalin begitu saja. Tanpa pernah ada kalimat pembuka. Hati dan rasa mereka saja yang saling bicara. Hari berganti minggu. Minggu menimba bulan. Bagi Shoici dan Nurbaiti setiap detiknya berupa ketukan rindu.
KU memang ingin menyampaikan bahwa cinta bisa dialami oleh siapa saja, tak terkecuali Nurbaiti—seorang gadis pribumi asli Kandangan dan Sersan Soichi seorang tentara Jepang. Meskipun pada bagian akhir, hubungan ini tidak bersatu karena orang tua Nurbaiti tidak setuju. Dan, pada akhirnya orang tua Nurbaiti juga ditangkap oleh tentara Jepang karena dicurigai terlibat dalam pergerakan para pejuang, sedangkan Nurbaiti berhasil melarikan diri dan tidak diketahui ke mana rimbanya. Secara tersirat, KU menjelaskan bahwa tidak semua orang Jepang—penjajah itu kejam, ada juga yang baik. Baik? Benarkah?
Cerita-cerita percintaan dalam sebuah cerpen sejarah hanya terkesan tempelan belaka. Sebagai pelengkap untuk menegaskan bahwa pelaku sejarah itu juga manusia dan tidak bisa melepaskan diri dari persoalan cinta. KU sepertinya terjebak dalam aliran romantisme, takut bermain dengan perang sesungguhnya. Perang yang kejam, jahat, dan hanya menyisakan kesengsaraan bagi manusia.
Jika dicermati, satu-satunya cerpen dalam antologi ini yang membenturkan nilai-nilai tradisional dan modern dapat dibaca pada cerpen yang berjudul “Wafak” (Wa). Berlatar belakang kehidupan masa kini, cerpen Wa ini memberikan gambaran tentang tokoh yang tidak meyakini terhadap suatu benda, yang bagi tokoh lainnya memiliki nilai sejarah. Untuk urusan ini, jelas aku tak bisa memaksa istriku bisa paham. Berasal dari keluarga berpendidikan, boleh jadi alasannya. Dia sendiri sebenarnya seorang sarjana. Tetapi lebih memilih jadi ibu rumah tangga saja. (Wa). Pemahaman yang dibangun KU tentang seorang perempuan berpendidikan yang tidak bisa menerima keyakinan suaminya tentang suatu benda yang memiliki kekuatan gaib.
“Yah, setidaknya sudah membantu almarhum kakek pada masa revolusi. Beberapa kali pernah menahan laju peluru Belanda. Dan bukan hanya itu, wafak itu juga mempermudah urusan pemakainya. Urusan apa saja. Cerita bapak begitu,” timpalku meyakinkan.
“Tidak rasional, Pak. Masa baju kumal begitu dibilang bisa membantu?” (Wa).
KU sebenarnya ingin menunjukkan bahwa benda-benda yang dianggap keramat pada zaman dahulu pada sebagian orang mungkin tidak bermakna apa-apa terlebih di era modern sekarang ini. Percakapan antartokoh pada bagian akhir cerpen Wa menunjukkan di mana posisi seorang pengarang seperti KU karena secara jelas KU juga tidak menyakini terhadap kekuatan benda-benda mistik semacam itu.
Begitulah, zaman memang boleh berubah, tetapi masih ditemui pula orang-orang yang meyakini kekuatan sebuah benda, layaknya jimat. Dalam cerpen lainnya yang berjudul “Aku dan Surat dari Bapak” (AdSdB), KU mencoba memaparkan tentang idealisme seorang tokoh yang bernama “Merdeka”.
Idealisme yang coba dibangun oleh KU pada cerpen AdSdB, dapat dilihat pada kutipan berikut, “Kau tahulah. Terlalu banyak permainan kotor disana. Nuraniku menolak semua itu.” Selanjutnya, KU masih menjelaskan kegundahan sang tokoh karena merasa gagal telah menyandang nama Merdeka.
Pada cerpen ini, KU hanya berkutat pada persoalan idealisme seorang tokoh yang tidak mau terjerembab dan menjadi bagian dari ketidakadilan yang terjadi dalam bangsa ini. Namun, sampai akhir cerita, tokoh ini tetap tak mau membuka surat dari bapaknya. Konteks ini seakan menjadi manifestasi dari orang-orang yang putus asa karena terpinggirkan oleh bobroknya sistem yang terbangun selama ini.
Sebagai sebuah antologi cerpen sejarah, terlihat sekali KU cukup teliti dalam mengumpulkan data-data yang mendukung cerita dalam cerpen ini. Bahkan, seperti diakui KU sendiri, dia juga melakukan diskusi dengan orang tuanya—abah KU, untuk menggali data. Hal ini KU lakukan karena orang tuanya pernah terlibat penggarapan buku Lintas Revolusi Fisik ALRI Divisi IV yang digagas oleh Pemerintah daerah Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Selain itu, rujukan utama KU adalah buku “Lintas Revolusi Fisik ALRI DIVISI IV” (2001) yang diterbitkan Pemda Hulu Sungai Selatan dan “Kisah Gerilya Kalimantan” (2003) karya H. Hassan Basry, diterbitkan oleh Yayasan Bhakti Banua Banjarmasin.
Selebihnya, KU tidak melakukan riset kepustakaan yang mendalam berkaitan dengan masa pendudukan Jepang, setelah kemerdekaan, dan kondisi sosial, politik, dan budaya pada masa itu. Hal ini mengakibatkan beberapa tokoh dan peristiwa menjadi tempelan saja untuk melengkapi cerita agar menjadi utuh. Padahal menulis cerpen sejarah tanpa riset yang memadai akan membuat kesesatan yang nyata pada pembaca. Bahkan mampu membuat sejarah kehilangan wajah sejarahnya. Terlepas dari semua itu, secara keseluruhan antologi KU layak untuk dibaca dan diapresiasi. Minimal untuk menambah pengetahuan tentang beberapa kejadian sejarah selama masa pendudukan Jepang dan setelah kemerdekaan.
Indonesia memang sudah merdeka 72 tahun yang lalu, namun makna kemerdekaan ini belum sepenuhnya dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Merdeka dalam arti sesungguhnya, sebagaimana pertanyaan yang dilontarkan KU dalam cerpennya yang berjudul SDdWS: Bukankah dengan adanya proklamasi ini berarti tidak ada lagi penjajahan? Tidak ada lagi penderitaan? Tidak ada lagi penindasan? Tidak ada lagi kemiskinan? Tidak ada lagi keterbelakangan? Pertanyaan KU ini menurut hemat saya merupakan kritikan sosial politik, berisi kegundahan seorang KU terhadap kondisi saat ini.
Bangsa ini sudah terlampau letih dengan berbagai persoalan yang mendera selama puluhan tahun. Merdeka, tetapi seakan-akan tidak merdeka. Banyaknya penindasan, penekanan, bahkan kekerasan politik yang dialami bangsa ini belum juga bisa diatasi. Belum lagi masalah kemiskinan, pengangguran, bahkan pendidikan tetap pula menjadi persoalan serius yang tidak bisa dilepaskan begitu saja. Ditambah dengan “tikus-tikus” berdasi yang menggerogoti bangsa ini tanpa kenal ampun.
Jangan-jangan, banyaknya kegaduhan yang dialami oleh bangsa ini karena melupakan sejarah? Kalau begitu, benarlah kata-kata salah seorang filsuf dari Spanyol, George Santayana, "Mereka yang tidak mengenal masa lalunya, dikutuk untuk mengulanginya". Sebagaimana pula kata-kata Soekarno—Presiden pertama Republik Indonesia, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”.
Sekelam apapun sejarah, ia tak akan bisa .diubah. Belajarlah dari sejarah, petiklah ilmu dari sejarah agar bangsa ini bisa bisa sejajar dengan bangsa lainnya di dunia. Tak ada bangsa yang besar dengan melupakan sejarah. Tanpa menghargai sejarah, bangsa ini akan kehilangan maruahnya.
* * *
BARABAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari