*Pandiran Warung: _"Kada sing akalan..."_*
Ada satu cerita dari Diogones, seorang pemikir yang dikenal jenaka tetapi anekdot-anekdotnya memiliki hikmah. Suatu hari, Diogones berada di lingkungan istana dan sedang menyantap ubi. Kebetulan ubi itu rasanya tidak terlalu enak, tetapi Diagones nampak menikmatinya. Momen itu diperhatikan oleh Aristippos, seorang cendikia namun sekaligus juga penjilat Sang Raja.
_"Kalau engkau mau belajar menghamba pada Raja, maka kau tidak perlu lagi makan sampah seperti ubi di tanganmu..."_ Ucap Aristippos dengan angkuh.
Diagones dengan santai dan terus menikmati ubi di hadapannya, menyahut ucapan Aristippos; _"Jika engkau sudah belajar hidup dengan memakan ubi, engkau tidak perlu lagi menjilat raja..."_
Dari anekdot itu, nampaknya menggambarkan situasi yang kini jadi tontonan kita semua. Situasi di mana kekonyolan dan penghambaan pada jabatan, kedudukan, dan kekuasaan seakan hal biasa dan sampai pada level 'kewajaran'. Celakanya, cacat perilaku ini justru dipertontonkan oleh mereka yang notabene berpendidikan dan mengaku beragama.
Kasus yang lagi ramai sahaja, misal, bagaimana fenomena akun medsos *fufufafa* menjadi tranding topik di berbagai media dan kesempatan. Selain tentu saja soal 'nebeng tidak nebeng' yang bahkan membuat salah seorang professor juga _kaya kada sing akalan_ di momen satu acara debat televisi atau lembaga sekelas KPK _kaya siput dipais._
Viralnya _fufufafa_ ini bukan apa, tapi perilaku yang ditunjukan si pemilik akun melalui kata dan kalimat postingannya di medsos jelas menunjukkan kekonyolan yang sampai pada batas yang bisa kita sebut pula _kada sing akalan._ Rasisme, pelecehan, penghinaan, nyinyir, bahkan sampai cabul di medsos adalah perilaku yang menyimpang atau lebih tepatnya cacat moral dan cacat mental.
Begitu akun tersebut diselidiki oleh banyak pihak, bukti-bukti yang ditemukan mengarah pada satu nama yang _(what a shame...)_ kini duduk sebagai orang nomor dua paling berkuasa di negeri ini. Begitu viralnya pembahasan soal akun *_fufufafa_* ini dengan jejak digitalnya yang cacat moral dan cacat mental tadi, tak akan meluas andai dilakukan oleh urang jaba. Tetapi banyak bukti, nyatanya, mengarah pada satu orang yang kini duduk sebagai wakil presiden.
Jelas bagi kita (yang masih waras) _kada rigi_ dipimpin oleh orang yang tidak sekadar tak suka baca, tapi sudah _kada sing akalan._ Kita tentu tak bisa membayangkan akan bagaimana wajah bangsa ini di mata negara lain jika pemimpinnya secacat itu moral dan mentalnya.
Sayangnya, kembali ke anekdot Diagones tadi, di tengah begitu banyaknya 'serangan' netizen dan para tokoh nasional yang mencela pemilik akun _fufufafa_ dan meyakini bahwa Gibranlah pemilik aslinya justru muncul para pencuci piring kotor. Bayangkan, sekelas menkominfo dengan yakinnya menyatakan akun _fufufafa_ bukan milik sang junjungan. Beberapa tokoh pejabat lain juga menyuarakan hal serupa meski sebagiannya bernada ragu. Pembelaan tak hanya soal cuci piring kotor, bahkan ada saja yang berusaha melakukan pembenaran dengan misal kalimat: 'tidak melanggar hukum, bukan kejahatan' dan kalimat senada lainnya.
Bukankah selama satu dekade ini kita sudah terlampau muak dengan tontonan perilaku konyol di ruang-ruang publik. Apakah sudah separah ini akal dan moral kita hingga demi kekuasaan dan jabatan semua bisa dipertontonkan sebagai kewajaran. Rela menggadaikan kejujuran dan mempertaruhkan harga diri hanya agar dianggap sebagai bagian dari lingkaran kekuasaan atau menikmati remah-remah kekayaan atau jabatan. Akhirnya kita bertanya, _kita ah atau buhannya tu ah nang kada sing akalan?_
Terakhir, kabarnya respon yang diambil malah pelaporan hukum bagi yang melakukan 'tuduhan' dan 'penghinaan' pada pejabat negara. _Really? Are U serious?_
Sahutan Diagones pada rekannya Aristippos, meski terkesan bercanda tetapi hakikatnya tajam sekali. Menusuknya bukan hanya untuk Aristippos, tapi juga untuk kita. Ketika kejujuran dan kebersahajaan ditertawakan tetapi kecacatan moral dan akal dicari-carikan dalil pembenaran, maka di saat itulah kita paham bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja.
Typikal manusia sejenis Aristippos ini benar-benar menggejala ke segala tingkatan sosial sampai pada taraf sindrom. Maka, hidup adalah pilihan. Apakah memilih tetap bodoh _kada sing akalan_ meski perut kenyang atau memilih berada di barisan orang waras yang dituntut mampu mengelola rasa syukur lebih besar.
_(Kayla untara, 30/09/2024)_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari