Sabtu, September 14, 2024

Langgar Sebagai Lembaga Pendidikan Islam

 Langgar Sebagai Lembaga Pendidikan Islam


Langgar atau Mushalla atau Surau atau Balai adalah sama saja sebagai tempat ibadah umat Islam terutama dalam salat. Dalam ungkapan lain, ia semacam masjid kecil yang terlarang dijum'ati. Ia disuruh oleh Datu Kalampayan untuk dibangun disetiap kampung buat syi'ar Islam sebagai agama yang ya'lu wala yu'la 'alaih (tinggi lagi ditinggikan) dengan berbagai kegiatan. Di Kalimantan Selatan, sebutan untuk tempat itu sangat populer sebagai Langgar.


Langgar berasal dari bahasa Banjar, yang berarti melakukan yang terlarang, yang pantangan dan yang tak boleh. Langgar sesuatu yang boleh di langgar dan tak memperoleh sanksi apa-apa untuk pelanggaran tersebut bahkan suatu yang boleh dilakukan. Menurut proses sejarahnya Langgar muncul lantaran Masjid yang dahulunya multifungsi tidak saja sebagai tempat ibadah tapi juga sebagai pusat kebudayaan, kemudian mengalami proses penyempitan makna hanya berfungsi sebagai fungsi ibadah belaka. Dalam kata lain, Masjid semakin disakralkan hanya sebagai tempat untuk urusan akhirat, dan tak boleh ada lagi di dalamnya urusan dunia yang bersifat profan. Pada saat inilah muncul Langgar yang tidak saja berfungsi sebagai tempat kegiatan ibadah salat tapi juga kegiatan yang bersifat sakral lainnya termasuk juga kegiatan yang profan minus salat Jum'at.


Dahulu di daerah Nagara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Langgar pernah berperan sangat legendaris terutama di dunia pendidikan. Di sana ada Langgar yang di kenal sebagai Langgar Baloteng atau Langgar Batingkat atau Langgar Barangkap, di samping berfungsi sebagai kegiatan salat berjamaah lima waktu kecuali salat Jum'at, juga menjadi tempat kegiatan pendidikan. Biasanya, di lantai 2 digunakan untuk kegiatan ibadah juga untuk kegiatan belajar mengajar. Sementara di lantai 1, lantai bawah menjadi tempat menginap murid yang berasal dari tempat jauh atau bisa dikatakan sebagai asrama, tempat murid istirahat, tidur, memasak, mendaras pelajaran, makan dan lain-lain. Sekitar awal abad ke-19, Langgar Beloteng tumbuh subur di sana bak cendawan di musim hujan, hampir setiap kampung mempunyai Langgar Beloteng sebagai lembaga pendidikan yang dimiliki oleh seorang ulama besar yang menguasai satu cabang atau berbagai cabang keilmuan Islam. Saat itu seorang murid sangat dimanjakan bisa belajar dan menempuh pendidikan Islam di satu atau beberapa Langgar Baloteng sekaligus, jika bisa mengatur waktu dan sedikit kecerdikan. Namun biasanya terjadi, seorang murid setelah habis pembelajaran satu kitab kuningnya dalam satu disiplin ilmu di suatu Langgar Beloteng, ia akan pindah ke Langgar Baloteng lain untuk menempuh pendidikan dalam kitab kuning yang lain dan satu disiplin ilmu yang lain pula. Pada waktu itu Nagara sempat pula mendapat julukan sebagai kota Serambi Makkah sebagaimana Martapura, karena banyaknya Langgar Baloteng yang tidak saja berfungsi sebagai tempat ibadah, tapi juga menjadi pusat pendidikan Islam. Banyak penuntut ilmu dari daerah lain, mendamba untuk mengecap pendidikan di daerah ini, bahkan muncul kesan kalau tak pernah mengaji di Langgar Baloteng, Nagara, belum hebat keulamaannya. Dari rahim Langgar Baloteng ini, telah lahir ulama-ulama Besar Kalimantan Selatan. Sebut saja misalnya Syekh Abdurrahman Shiddiq (Datu Sapat yang pernah memimpin Pondok Dalam Pagar, Martapura dan Mufti Kesultanan Indragiri Hilir, Tambilahan, Riau), KH. Idham Chalid (yang pernah beberapakali menjadi Menteri bahkan Perdana Menteri dan pimpinan NU di Jakarta), Tuan Guru H. Abdurrasyid (Pendiri Pondok Pesantren Modern Rasyidiyah Khalidiyah, Amuntai), Tuan Guru H. Mugeni (Ayah dari Guru Bakhiet, Barabai), Tuan Guru H. Mahfudz Amin (Pendiri Pondok Pesantren Ibnul Amin, Pamangkih) dan Tuan Guru H. Hasyim (salah satu guru dari Abah Guru Sakumpul, Kelayan, Banjarmasin).


Sementara, perkembangan Langgar di kota Banjarmasin, sekitar penghujung abad ke-19 sampai awal abad ke-20, bukan saja menjadi tempat ibadah, tapi juga menjadi lembaga pendidikan Islam yang berwibawa. Padanya muncul pengajaran dasar ilmu Islam pertama seperti ilmu Fiqih, ilmu Tauhid dan ilmu Akhlak dan ilmu 'Alat tingkat mubtadi (elementer). Di samping terdapat kegiatan lain yang bersifat duniawi berupa kegiatan olahraga (sepak bola, kasti, volly, bulu tangkis, tenis meja), ilmu beladiri (Sendeng, Pancar Lima, Kuntao, Kuntao Bangkui dan Silat), latihan tenaga dalam (Cempedeh, Ilmu Hikmah, Lebur Saketi dan lain-lain), berbagai kesenian (musik, tari, bapantun, basyair, madihin dan lain-lain) dan aneka permainan tradisional (main logo, main kalikir, bacirak, batiwah, saman-saman, badaku, bagapuk, main enggrang dan lain-lain). Jadi di sana murid bisa belajar dan beribadah sambil bermain, berolahraga, berseni dan bela diri.


Dalam perjalanan waktu, Langgar banyak berubah, hampir tidak ada lagi yang berfungsi seperti saat kemunculannya menjadi alternatif adanya kegiatan profan, ketika Masjid mengalami sakralisasi hanya untuk ibadah, khususnya ibadah salat. Perubahannya, ada yang berubah menjadi Masjid karena diperbesar dan diperluas bangunannya seperti yang terjadi di daerah Nagara, banyak dari Langgar Baloteng menjadi Masjid. Di samping itu, ada pula yang berubah menjadi bangunan awal dari akan berdirinya sebuah pondok pesantren seperti asal berdirinya Pondok Pesantren Rakha, Amuntai bermula dari Langgar Baloteng yang dibangun oleh Tuan Guru H. Abdurrasyid. Ada lagi Langgar yang fungsinya sebagaimana Masjid, hanya untuk salat fardlu berjamaah 5 waktu, cuma minus salat Jum'at. Kemudian, akhir-akhir ini, banyak juga Langgar, selain berfungsi sebagai tempat ibadah salat, juga menjadi tempat Taman Pengajian Alqur'an bagi anak-anak. Kesemuanya itu, belum merevitalisasi Langgar dalam fungsinya semula yang multifungsi memadukan kegiatan yang sakral dengan kegiatan yang profan. Kalau perlu setelah direvitalisasi ditambah lagi dengan menjadikan Langgar sebagai sentral pemberdayaan umat. Wallahu A'lam bis Shawaf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari