BAB I
PENDAHULUAN
Secara etimologis, psikologi berasal dari kata “psyche” yang berarti jiwa atau nafas hidup, dan “logos” atau ilmu. Dilihat dari arti kata tersebut seolah-olah psikologi merupakan ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Jika kita mengacu pada salah satu syarat ilmu yakni adanya obyek yang dipelajari, maka tidaklah tepat jika kita mengartikan psikologi sebagai ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa, karena jiwa merupakan sesuatu yang bersifat abstrak dan tidak bisa diamati secara langsung.
Berkenaan dengan obyek psikologi ini, maka yang paling mungkin untuk diamati dan dikaji adalah manifestasi dari jiwa itu sendiri yakni dalam bentuk perilaku individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan demikian, psikologi kiranya dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
BAB II
PEMBAHASAAN
A. PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Psikologi pendidikan adalah studi yang sistematis terhadap proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan. Sedangkan pendidikan adalah proses pertumbuhan yang berlangsung melalui tindakan-tindakan belajar (Whiterington, 1982:10). Dari batasan di atas terlihat adanya kaitan yang sangat kuat antara psikologi pendidikan dengan tindakan belajar. Karena itu, tidak mengherankan apabila beberapa ahli psikologi pendidikan menyebutkan bahwa lapangan utama studi psikologi pendidikan adalah soal belajar. Dengan kata lain, psikologi pendidikan memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan yang berkenaan dengan proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan belajar.
Karena konsentrasinya pada persoalan belajar, yakni persoalan-persoalan yang senantiasa melekat pada subjek didik, maka konsumen utama psikologi pendidikan ini pada umumnya adalah pada pendidik. Mereka memang dituntut untuk menguasai bidang ilmu ini agar mereka, dalam menjalankan fungsinya, dapat menciptakan kondisi-kondisi yang memiliki daya dorong yang besar terhadap berlangsungnya tindakan-tindakan belajar secara efektif.
B. MENDORONG TINDAKAN BELAJAR
Pada umumnya orang beranggapan bahwa pendidik adalah sosok yang memiliki sejumlah besar pengetahuan tertentu, dan berkewajiban menyebarluaskannya kepada orang lain. Demikian juga, subjek didik sering dipersepsikan sebagai sosok yang bertugas mengkonsumsi informasi-informasi dan pengetahuan yang disampaikan pendidik. Semakin banyak informasi pengetahuan yang mereka serap atau simpan semakin baik nilai yang mereka peroleh, dan akan semakin besar pula pengakuan yag mereka dapatkan sebagai individu terdidik
Anggapan-anggapan seperti ini, meskipun sudah berusia cukup tua, tidak dapat dipertahankan lagi. Fungsi pendidik menjejalkan informasi pengetahuan sebanyak-banyakya kepada subjek didik dan fungsi subjek didik menyerap dan mengingat-ingat keseluruhan informasi itu, semakin tidak relevan lagi mengingat bahwa pengetahuan itu sendiri adalah sesuatu yang dinamis dan tidak terbatas. Dengan kata lain, pengetahuan-pengetahuan (yang dalam perasaan dan pikiran manusia dapat dihimpun) hanya bersifat sementara dan berubah-ubah, tidak mutlak (Goble, 1987 : 46). Gugus pengetahuan yang dikuasai dan disebarluaskan saat ini, secara relatif, mungkin hanya berfungsi untuk saat ini, dan tidak untuk masa lima hingga sepuluh tahun ke depan. Karena itu, tidak banyak artinya menjejalkan informasi pengetahuan kepada subjek didik, apalagi bila hal itu terlepas dari konteks pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun demikian bukan berarti fungsi traidisional pendidik untuk menyebarkan informasi pengetahuan harus dipupuskan sama sekali. Fungsi ini, dalam batas-batas tertentu, perlu dipertahankan, tetapi harus dikombinasikan dengan fungsi-fungsi sosial yang lebih luas, yakni membantu subjek didik untuk memadukan informasi-informasi yang terpecah-pecah dan tersebar ke dalam satu falsafah yang utuh. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa menjadi seorang pendidik dewasa ini berarti juga menjadi “penengah” di dalam perjumpaan antara subjek didik dengan himpunan informasi faktual yang setiap hari mengepung kehidupan mereka.
Sebagai penengah, pendidik harus mengetahui dimana letak sumber-sumber informasi pengetahuan tertentu dan mengatur mekanisme perolehannya apabila sewaktu-waktu diperlukan oleh subjek didik.Dengan perolehan informasi pengetahuan tersebut, pendidik membantu subjek didik untuk mengembangkan kemampuannya mereaksi dunia sekitarnya. Pada momentum inilah tindakan belajar dalam pengertian yang sesungguhya terjadi, yakni ketika subjek didik belajar mengkaji kemampuannya secara realistis dan menerapkannya untuk mencapai kebutuhan-kebutuhannya.
Dari deskripsi di atas terlihat bahwa indikator dari satu tindakan belajar yang berhasil adalah : bila subjek didik telah mengembangkan kemampuannya sendiri. Lebih jauh lagi, bila subjek didik berhasil menemukan dirinya sendiri ; menjadi dirinya sendiri. Faure (1972) menyebutnya sebagai “learning to be”.
Adalah tugas pendidik untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya tindakan belajar secara efektif. Kondisi yang kondusif itu tentu lebih dari sekedar memberikan penjelasan tentang hal-hal yang termuat di dalam buku teks, melainkan mendorong, memberikan inspirasi, memberikan motif-motif dan membantu subjek didik dalam upaya mereka mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan (Whiteherington, 1982:77). Inilah fungsi motivator, inspirator dan fasilitator dari seorang pendidik.
C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES DAN HASIL BELAJAR
Agar fungsi pendidik sebagai motivator, inspirator dan fasilitator dapat dilakonkan dengan baik, maka pendidik perlu memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar subjek didik. Faktor-faktor itu lazim dikelompokkan atas dua bahagian, masing-masing faktor fisiologis dan faktor psikologis (Depdikbud, 1985 :11).
1. Faktor Fisiologis
Faktor-faktor fisiologis ini mencakup faktor material pembelajaran, faktor lingkungan, faktor instrumental dan faktor kondisi individual subjek didik.Material pembelajaran turut menentukan bagaimana proses dan hasil belajar yang akan dicapai subjek didik. Karena itu, penting bagi pendidik untuk mempertimbangkan kesesuaian material pembelajaran dengan tingkat kemampuan subjek didik ; juga melakukan gradasi material pembelajaran dari tingkat yang paling sederhana ke tingkat lebih kompeks.
Faktor lingkungan, yang meliputi lingkungan alam dan lingkungan sosial, juga perlu mendapat perhatian. Belajar dalam kondisi alam yang segar selalu lebih efektif dari pada sebaliknya. Demikian pula, belajar padapagi hari selalu memberikan hasil yang lebih baik dari pada sore hari. Sementara itu, lingkungan sosial yang hiruk pikuk, terlalu ramai, juga kurang kondisif bagi proses dan pencapaian hasil belajar yang optimal.
Yang tak kalah pentingnya untuk dipahami adalah faktor-faktor instrumental, baik yang tergolong perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Perangkat keras seperti perlangkapan belajar, alat praktikum, buku teks dan sebagainya sangat berperan sebagai sarana pencapaian tujuan belajar. Karenanya, pendidik harus memahami dan mampu mendayagunakan faktor-faktor instrumental ini seoptimal mungkin demi efektifitas pencapaian tujuan-tujuan belajar.
Faktor fisiologis lainnya yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar adalah kondisi individual subjek didik sendiri. Termasuk ke dalam faktor ini adalah kesegaran jasmani dan kesehatan indra. Subjek didik yang berada dalam kondisi jasmani yang kurang segar tidak akan memiliki kesiapan yang memadai untuk memulai tindakan belajar.
2. Faktor Psikologis
Faktor-faktor psikologis yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar jumlahnya banyak sekali, dan masing-masingnya tidak dapat dibahas secara terpisah.
Perilaku individu, termasuk perilaku belajar, merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas yang lahir sebagai hasil akhir saling pengaruh antara berbagai gejala, seperti perhatian, pengamatan, ingatan, pikiran dan motif.
BAB III
PENUTUP
Secara etimologis, psikologi berasal dari kata “psyche” yang berarti jiwa atau nafas hidup, dan “logos” atau ilmu. Dilihat dari arti kata tersebut seolah-olah psikologi merupakan ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Jika kita mengacu pada salah satu syarat ilmu yakni adanya obyek yang dipelajari, maka tidaklah tepat jika kita mengartikan psikologi sebagai ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa, karena jiwa merupakan sesuatu yang bersifat abstrak dan tidak bisa diamati secara langsung.
Psikologi pendidikan adalah studi yang sistematis terhadap proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan. Sedangkan pendidikan adalah proses pertumbuhan yang berlangsung melalui tindakan-tindakan belajar (Whiterington, 1982:10). Dari batasan di atas terlihat adanya kaitan yang sangat kuat antara psikologi pendidikan dengan tindakan belajar. Karena itu, tidak mengherankan apabila beberapa ahli psikologi pendidikan menyebutkan bahwa lapangan utama studi psikologi pendidikan adalah soal belajar. Dengan kata lain, psikologi pendidikan memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan yang berkenaan dengan proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan belajar.
Karena konsentrasinya pada persoalan belajar, yakni persoalan-persoalan yang senantiasa melekat pada subjek didik, maka konsumen utama psikologi pendidikan ini pada umumnya adalah pada pendidik. Mereka memang dituntut untuk menguasai bidang ilmu ini agar mereka, dalam menjalankan fungsinya, dapat menciptakan kondisi-kondisi yang memiliki daya dorong yang besar terhadap berlangsungnya tindakan-tindakan belajar secara efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Abror, Abdu Rahman, Psikologi pendidikan.cet IV.Yogyakarta;Tiara Waacana Yogya,19993
Ahmadi, Abu dan Widodo supriyono.Psikologi belajar ,Jakarta,;Reinika cipta,1991
Madge,Violet, Anak-Anak Menacari Arti Diri,Jakarta;Gunungt Mulia,19991
Allport, G.W. Personality: a Psychologycal Interpretation. New York. Henry Holt, 1937.
Sebuah catatan kecil untuk sekedar dikenang dan orang tau bahwa aku pernah Hidup. Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia!” semoga dengan catatan kecil ini dapat bermanfaat dan menebarkan kebaikan Apa yang dikatakan akan lenyap, apa yang ditulis akan abadi. Aku melintasi kehidupan Kuberanikan diri menulis catatan ini untuk mengabadikan momen hidup (Muhamad Edwan Ansari)
Senin, Desember 21, 2009
HYMNE HMI
HYMNE HMI
Bersyukur dan ikhlas
Himpunan Mahasiswa Islam
Yakin usaha sampai
Untuk kemajuan,
Hidayah dan taufiq
Bahagia HMI
Berdo'a dan ikrar
Menjunjung tinggi syi'ar Islam
Turut Qur'an dan Hadits
Jalan keslamatan
Ya Allah, berkati
Bahagia HMI
Bersyukur dan ikhlas
Himpunan Mahasiswa Islam
Yakin usaha sampai
Untuk kemajuan,
Hidayah dan taufiq
Bahagia HMI
Berdo'a dan ikrar
Menjunjung tinggi syi'ar Islam
Turut Qur'an dan Hadits
Jalan keslamatan
Ya Allah, berkati
Bahagia HMI
Pidato Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Periode 2006-2008
Pidato Ketua Umum
Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam
Periode 2006-2008
Dalam Rangka Dies Natalis ke-60
Himpunan Mahasiswa Islam
Bismillaahirrohmaanirrohiim
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam Sejahtera,
Alhamdulillah puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat illahirabbi, Allah SWT, sumber awal dan akhir kehidupan, yang telah merestui Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lahir pada 14 Rabiul Awal 1366 H bertepatan dengan 5 Februari 1947 yang saat ini kita rayakan kelahirannya untuk yang ke-60 tahun (masehi). Shalawat serta salam tidak lupa kita sanjungkan kepada Nabi Besar Muhahammad SAW beserta para sahabat.
Perjalanan panjang HMI hingga kini tentunya bukan suatu kebetulan belaka. Melainkan karena ketulusan komitmen kelahirannya serta ikhtiar dari anggota dan alumninya yang senantiasa menjaga dan mengembangkan komitmen kelahiran HMI tersebut. Sejauh ini, berbagai tantangan, cobaan, dan godaan yang dihadapi HMI secara keseluruhan selalu berhasil di atasi. Namun berbagai sura sumbang, keluhan dan kritik pedas kepada HMI akhir-akhir ini merupakan pertanda yang nyata bahwa stok energi HMI semakin terkuras sehingga nampak lemas dalam menghadapi berbagai tantangan, cobaan, dan godaan tersebut. Kondisi HMI saat ini harus diakui lebih banyak tertawan oleh keterbatasan kondisi internalnya dan gagap menghadapi kondisi kekinian-ekternal dan tuntutan futuristik yang sangat dinamis.
Enam puluh tahun bukanlah usia yang muda, namun bukan pula senja untuk sebuah organisasi. Usia 60 tahun harus dipandang secara proporsional sebagai usia penuh kedewasaan. Dewasa dalam memandang jatidirinya dan dewasa dalam memandang kesejarahannya. 60th HMI adalah HMI yang telah mengakumulasi fakta-fakta sosial dan pengetahuan dalam dirinya selama 60 tahun. Fakta-fakta sosial dan pengetahuan tersebut –-dalam perspektif arkeologi pengetahuan Michel Foucault— membentuk suatu sistem pengetahuan tersendiri melalui proses diskursif yang rumit dimana terdapat proses seleksi, distribusi, dan sirkulasi wacana di dalamnya. Dalam proses diskursif tersebut terdapat fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang dapat terus eksis, bahkan muncul sebagai “pemenang” dan menjadi ‘arus utama’ namun juga ada fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang jadi “pecundang” dan terpinggirkan. Oleh karena itu, dalam wacana keagamaan di HMI misalnya, berkembang beragam wacana. Namun proses diskursif nampaknya memenangkan wacana keagamaan yang berwatak modern-moderat-inklusif dan wacana keagamaan lain seperti yang tradisional-radikal-eksklusif menjadi pecundang. Proses diskursif juga nampaknya kini telah memenangkan kerangka berpikir political oriented dan menyisihkan kerangka berpikir berorientasi keilmuan dan profesi. Kemudian, dalam political oriented, yang dominan bukan yang mengedepankan pengaruh atau politik kebudayaan melainkan yang mengedepankan jabatan politik atau politik struktural.
Hadirin yang budiman,
Kongres XXV HMI di Makassar 20-27 Februari 2006 lalu, mengambil tema yang sangat menantang yakni ‘Membangun HMI Baru dan Masa Depan Bangsa’. Tema tersebut telah berhasil menginspirasi sejumlah perubahan penting dalam AD/ART HMI. Paham kedaulatan anggota semakin dikukuhkan. Pengaturan dalam struktur kekuasaan, struktur kepemimpinan, majelis konsultasi, dan badan-badan khusus diperbaiki dan disuntikkan semangat baru ke dalamnya. Namun demikian, hingga lebih dari satu semester ini, belum banyak yang dapat kami lakukan untuk merealisasikan ‘HMI Baru’ tersebut. Mungkin kami kurang bekerja keras, mungkin kami memiliki sejumlah keterbatasan, namun tak usah diragukan bahwa kami memiliki semangat dan tekad yang kuat untuk mewujudkannya.
Perspektif lain dalam mengenali kesejarahan HMI misalkan ditampilkan dalam pendekatan ‘gelombang’ atau karakteristik utama dari tahun-tahun kesejarahan HMI. Dalam perspektif kesejarahan ini, tahun 1947-1960an merupakan era ‘gelombang heroisme’ yang ditandai dengan keseluruhan gerak HMI yang diabdikan ke dalam perjuangan untuk mempertahankan eksistensi negara sekaligus eksistensi HMI dari segala hal yang berupaya menggugat dan menghancurkannya. Pada masa ini, HMI dihadapkan pada upaya pendudukan kembali penjajah Belanda, perpecahan NKRI, dan komunisme/PKI. Gelombang berikutnya adalah intelektualisme. Gelombang ini dihasrati oleh gairah mewujudkan kontribusi HMI, ber-itjihad, atas kemandekan berpikir dalam tradisi Islam di Indonesia. Gelombang ini mulai muncul tahun 1960-an akhir hingga tahun 1980-an dan memunculkan gelombang pembaruan pemikiran Islam yang sangat menonjol dengan icon utamanya Nurcholish Madjid (alm).
Meski gelombang intelektualisme ini terus berkembang dan bermetamorfosa di luar HMI, namun di dalam HMI, gelombang ini segera digantikan dengan ‘gelombang politisme’. Gelombang politisme mengusung dominasi logika kekuasaan dan mainstream berpikir politis dalam tubuh dan aktivis HMI. Gelombang ini diawali dengan pemaksaan asas tunggal oleh penguasa Orde Baru pada tahun 1980-an awal. Logika kekuasaan tersebut membekas sangat kuat, karena “memaksa” HMI untuk lebih erat dengan kekuasaan negara. Akibatnya, HMI larut dalam logika kekuasaan tersebut dan menghantarkan HMI pada gelombang berikutnya, yaitu ‘gelombang beku’ (freezed) di akhir tahun 1990-an hingga saat ini. Gelombang beku ditandai dengan tampilnya generasi aktivis HMI yang memitoskan generasi sebelumnya, berlindung dan menuai keberkatan dari kebesaran generasi sebelumnya. Maka jangan heran bila saat ini banyak kader yang cenderung berpikir pragmatis, minim inisiatif, dan miskin kreatifitas. Dengan demikian menjadi wajar apabila generasi ini juga mudah larut dalam agenda politik pihak eksternal dan berkonflik di internal ketimbang menjunjung tinggi persatuan dan program membangun HMI. Gelombang beku merupakan titik nadir dari produk gelombang politisme.
Hadirin yang mulia,
Perspektif kesejarahan di atas dan semangat mengusung HMI Baru yang diamanahi Kongres XXV merupakan bekal bagi kami yang saat ini diamanahi menjadi pengurus untuk mengendalikan biduk HMI. Namun demikian, secara jujur harus kami sampaikan bahwa HMI memiliki banyak keterbatasan sehingga tidak dapat menghela perubahan untuk mewujudkan ‘HMI Baru’ secara sendirian. Disinilah kami mengundang secara resmi kepada kanda-kanda alumni untuk ‘turun tangan’ membantu HMI memperbaiki dirinya. Kami siap untuk berdialog secara terbuka dengan semangat mencari yang terbaik dan bekerja keras untuk mewujudkannya. Rasanya juga tidak adil bila perubahan HMI harus ditanggung oleh anggota dan pengurus HMI sendiri karena alumni turut andil juga dalam menciptakan kondisi HMI menjadi seperti saat ini.
Kami sangat serius dalam memandang bahwa HMI harus segera lepas dari gelombang beku dan memasuki gelombang baru. Tidak dapat gelombang beku ini berlama-lama di HMI karena dengan demikian eksistensi HMI sangat terancam. Kami juga memandang bahwa ‘realitas’ dominan seperti political oriented dan politik struktural yang kini menyelimuti HMI harus segera diakhiri karena terbukti bahwa ‘realitas’ tersebut cenderung membawa HMI pada kemunduran. Menghadirkan HMI Baru merupakan kemutlakan. Oleh karena itu, kami mengimbau agar ini dijadikan semangat kita bersama, keluarga besar HMI.
Hadirin yang budiman,
M.C. Ricklefs, profesor kehormatan di Monash University menulis A History of Modern Indonesia Since c. 1200, yang berarti Sejarah Indonesia Modern sejak tahun 1200. Ada hal yang menarik dalam judul dan buku ini, yakni kata ‘modern’ yang disematkan kepada bumi nusantara yang kemudian dikenal dengan ‘Indonesia’ dimulai sejak tahun 1200-an dimana pada abad ke-13 tersebut untuk pertama kali Islam masuk ke bumi nusantara. Tentunya bukan kebetulan dan mengada-ada bila Ricklefs menyebutkan ‘Indonesia Modern’ dimulai sejak penduduk di bumi Indonesia menganut Islam. Penulis lain yang cukup terkenal Mc. Turnan Kahin dalam buku Nationalism and Revolution in Indonesia bahkan pernah menulis bahwa Islam memiliki peranan yang sangat penting dalam tumbuhnya nasionalisme Indonesia karena ia menjadi media persemaian nasionalisme itu sendiri sejak awal hingga ke depannya. Senada dengan Kahin, Yudi Latif dalam Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20 menggambarkan bahwa lahirnya Republik Indonesia tidak terlepas dari terbentuknya suatu blok historis yang disebutnya kaum intelegensia muslim. Kaum intelegensia muslim inilah yang karena kesadaran atas ketertinggalan dan penderitaan rakyat Hindia Belanda ketika itu bertekad dan berjuang memerdekakan Hindia Belanda dan berhasil mendirikan Republik Indonesia.
Kutipan di atas, sengaja kami cantumkan untuk mengingatkan kita kembali bahwa hadirnya Islam di Indonesia adalah untuk memperbaiki kualitas hidup penduduk bumi nusantara, menghantarkannya pada tingkat peradaban yang lebih tinggi sebagaimana Muhammad diutus ke muka bumi. Ikhtiar tersebut sempat terinterupsi oleh hadirnya penjajah Belanda pada abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-20. Kini bangsa Indonesia, yang mayoritasnya muslim, telah dapat memegang kembali kendali atas bumi Indonesia. Namun apakah yang telah dikontribusikan oleh muslim pada Indonesia? Tentu saja banyak. Namun bila dibandingkan dengan pencapaian peradaban yang telah diberikan hindu-budha pada nusantara di zaman Majapahit dan Sriwijaya, yang jejak-jejaknya dapat dilihat pada Candi Borobudur, Prambanan, catatan sejarah kebesaran perniagaan kerajaan Sriwijaya, dan lain-lain, maka kontribusi muslim di bumi nusantara hingga detik ini belumlah seberapa karena kita belum dapat menghantarkan Indonesia pada puncak peradaban sebagaimana kerapkali kita idamkan.
Hadirin yang budiman,
HMI dilahirkan oleh Lafran Pane dkk dengan dua tujuan yakni pertama, mempertahankan negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, melaksanakan syiar Islam. Kedua tujuan awal berdirinya HMI tersebut dalam prakteknya di coba diperjuangkan dengan ikhtiar yang optimal untuk menguasai negara sebagai pusat kekuasaan, pusat sumber daya. Strategi ini tentu saja relevan dalam konteks negara model Orde Lama dan Orde Baru dimana negara merupakan agen utama pembangunan. Apalagi strategi ini diwarnai oleh “trauma historis” zaman Hindia Belanda dimana ketika itu pribumi/muslim karena jauh dari kekuasaan maka menjadi warga negara kelas tiga setelah orang Eropa dan keturunan Asia (China, Arab, dan India).
Strategi mendekati dan menguasai negara hingga saat ini telah membuahkan hasil dengan tampilnya banyak elit negara yang berasal dari HMI yang sedikit-banyak membantu eksistensi HMI dan memudahkan pemerdayaan umat. Namun demikian, apabila kita ingin membawa muslim dan bangsa Indonesia mencapai kesejahteraan dan peradaban yang lebih tinggi lagi ke depan, maka menggantungkan diri pada strategi mendekati dan menguasai negara saja tidak lagi cukup. Saat ini sumber daya dan titik-titik kekuasaan sudah terdistribusi secara meluas di luar institusi negara. Bahkan dalam banyak hal, negara di bawah kendali titik-titik kekuasaan di luar negara tersebut. Globalisme dan kapitalisme yang memiliki slogan capital has no flag yang semakin mencengkeram bumi nusantara merupakan elemen utama yang membuat negara semakin lemah dan mempreteli kewenangannya. Oleh karena itu, pengembangan strategi HMI untuk mendekati institusi dan perusahaan transnasional dan melakukan akumulasi capital merupakan syarat mutlak bila kita ingin mewujudkan muslim/bangsa Indonesia yang adil-makmur dan diridhai Allah SWT.
Hadirin yang budiman,
Di awal tahun 2007 ini, kami ingin menyampaikan beberapa hal yang semoga menjadi perhatian kita bersama di tahun 2007. Pertama, secara internal kami berharap bahwa KAHMI dapat segera menyelesaikan dualismenya sehingga yang ada hanya satu KAHMI. Dengan demikian, KAHMI memiliki tenaga dan legitimasi yang lebih kuat dari saat ini sehingga KAHMI dapat meletakkan dasar-dasar bagi metamorfosa menjadi lembaga yang lebih memberikan kemanfaatan secara institusional bagi HMI, umat, dan bangsa. Kami kerapkali membayangkan KAHMI ke depan dapat berperan seperti lembaga-lembaga donor yang memiliki misi yang jelas dengan back up pendanaan melimpah; memiliki agency khusus untuk menyalurkan sumber daya anggota dan alumni HMI kepada lembaga-lembaga atau perusahaan tertentu yang dinilai strategis; memiliki sekolah, rumah sakit, dan perguruan tinggi; serta memiliki sejumlah perusahaan. Hal ini penting agar peran KAHMI sebagai pelanjut misi HMI menemukan medianya yang lebih nyata.
Kedua, kami mengajak kepada keluarga besar HMI agar memiliki tekad dan keinginan yang kuat untuk memperbaiki peran dan citra positif HMI yang terus terkuras akibat perilaku kurang terpuji dari pengurus, anggota atau alumni HMI itu sendiri. Oleh karena itu, mari kita meningkatkan silaturahmi, saling mengingatkan dalam kebaikan agar kita lebih terampil dalam menjaga perilaku sehari-hari. Sungguh dalam diri kita inheren nama baik HMI hingga akhir hayat sehingga baik atau buruknya kita juga turut berkontribusi terhadap citra HMI dimata publik. Citra HMI yang buruk dapat berakibat antipati terhadap HMI meskipun sungguh HMI tidak pernah menganjurkan yang demikian.
Ketiga, kepada Pemerintah Indonesia kami berharap agar Ayahanda Prof. Lapran Pane dapat ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa HMI yang didirikannya, merupakan elemen yang selalu membela NKRI dan senantiasa berkontribusi positif dalam dinamika bangsa dan negara. Selain itu, banyak tokoh yang dilahirkan HMI berjasa kepada negara, tokoh-tokoh tersebut mungkin tidak pernah ada apabila HMI tidak diinisiasi berdirinya oleh Prof. Lapran Pane.
Keempat, Pemerintah hendaknya serius memperhatikan data statistik tahun 2006 yang menunjukkan bahwa jumlah rakyat miskin bertambah meskipun pendapatan perkapita penduduk Indonesia meningkat dari tahun 2005. Data tersebut menunjukkan bahwa kesenjangan ekonomi antar penduduk Indonesia meningkat. Kondisi ini sangat memprihatinkan bila dibiarkan begitu saja karena mencerminkan hal yang sangat mendasar dalam kehidupan ini yakni ketidakadilan. Padahal, rasa ketidakadilan yang terakumulasi dibuktikan sejarah mampu menggulingkan kekuasaan manusia sebesar apapun.
Kelima, Pemerintah dan Pemerintah Daerah hendaknya serius memperhatikan pembangunan sumber daya manusia Indonesia (human resources investment) secara nasional dan regional (daerah). Program pembangunan hendaknya ditujukan bagi pembangunan manusia Indonesia itu sendiri karena bangsa adalah kumpulan manusia-manusia, maka menjadi keliru apabila pembangunan tidak diarahkan pada pembangunan manusianya. Apa yang diamanahkan konstitusi bahwa anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD, menurut kami, merupakan ketentuan visioner yang tidak sepatutnya ditunda-tunda proses implementasinya.
Keenam, tahun 2007 negara kita direncanakan akan melakukan amandemen lanjutan atas UUD 1945 dan perubahan atas paket undang-undang politik. Dalam iklim transisional, permasalahan ini sangat penting untuk kita perhatikan bersama. Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam akan memantau dan berpartisipasi secara maksimal dalam proses tersebut. Hal ini merupakan komitmen HMI dalam menjaga proses transisi dan memastikan bahwa transisi bermuara pada iklim Indonesia yang demokratis dan sejahtera. Dalam pandangan kami, Pemilu 2009 harus
Ketujuh, kami sangat mendukung gerakan antikorupsi yang dilaksanakan pemerintah. Namun demikian, kami berharap gerakan ini tidak dikotori oleh upaya mencapai sensasi politik semata dan menegakkan prinsip keadilan di dalamnya sehingga bukan hanya koruptor yang kecil dan lemah saja yang dapat diseret ke pengadilan dan penjara. Melainkan juga koruptor yang besar dan kuat. Hal ini penting dalam menepis persepsi publik yang menganggap bahwa pemerintah melakukan “tebang pilih” dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Agenda penting dalam pemberantasan korupsi yang belum dilakukan adalah radikalisasi pembenahan birokrasi. Padahal birokrasi telah lama disadari publik sebagai sarang persemain korupsi yang signifikan dan sumber inefektifitas kinerja pemerintahan.
Hadirin yang berbahagia,
Demikian yang dapat kami sampaikan. Semoga yang kami sampaikan menjadi perhatian kita bersama dan menginspirasi kita menjadi lebih baik lagi. Marilah kita terus berikhtiar tanpa lelah dan henti karena Al Qur’an memperingatkan kita bahwa ‘Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum (negara) hingga kaum (negara) itu sendiri yang merubah dirinya’. Yakin Usaha Sampai...
Billahittafiq Wal Hidayah
Wassalamu a’laikum Wr. Wb.
Jakarta, 5 Februari 2007
17 Muharram 1428 H
Pengurus Besar
Himpunan Mahasiswa Islam
Fajar R. Zulkarnaen
Ketua Umum
Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam
Periode 2006-2008
Dalam Rangka Dies Natalis ke-60
Himpunan Mahasiswa Islam
Bismillaahirrohmaanirrohiim
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam Sejahtera,
Alhamdulillah puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat illahirabbi, Allah SWT, sumber awal dan akhir kehidupan, yang telah merestui Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lahir pada 14 Rabiul Awal 1366 H bertepatan dengan 5 Februari 1947 yang saat ini kita rayakan kelahirannya untuk yang ke-60 tahun (masehi). Shalawat serta salam tidak lupa kita sanjungkan kepada Nabi Besar Muhahammad SAW beserta para sahabat.
Perjalanan panjang HMI hingga kini tentunya bukan suatu kebetulan belaka. Melainkan karena ketulusan komitmen kelahirannya serta ikhtiar dari anggota dan alumninya yang senantiasa menjaga dan mengembangkan komitmen kelahiran HMI tersebut. Sejauh ini, berbagai tantangan, cobaan, dan godaan yang dihadapi HMI secara keseluruhan selalu berhasil di atasi. Namun berbagai sura sumbang, keluhan dan kritik pedas kepada HMI akhir-akhir ini merupakan pertanda yang nyata bahwa stok energi HMI semakin terkuras sehingga nampak lemas dalam menghadapi berbagai tantangan, cobaan, dan godaan tersebut. Kondisi HMI saat ini harus diakui lebih banyak tertawan oleh keterbatasan kondisi internalnya dan gagap menghadapi kondisi kekinian-ekternal dan tuntutan futuristik yang sangat dinamis.
Enam puluh tahun bukanlah usia yang muda, namun bukan pula senja untuk sebuah organisasi. Usia 60 tahun harus dipandang secara proporsional sebagai usia penuh kedewasaan. Dewasa dalam memandang jatidirinya dan dewasa dalam memandang kesejarahannya. 60th HMI adalah HMI yang telah mengakumulasi fakta-fakta sosial dan pengetahuan dalam dirinya selama 60 tahun. Fakta-fakta sosial dan pengetahuan tersebut –-dalam perspektif arkeologi pengetahuan Michel Foucault— membentuk suatu sistem pengetahuan tersendiri melalui proses diskursif yang rumit dimana terdapat proses seleksi, distribusi, dan sirkulasi wacana di dalamnya. Dalam proses diskursif tersebut terdapat fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang dapat terus eksis, bahkan muncul sebagai “pemenang” dan menjadi ‘arus utama’ namun juga ada fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang jadi “pecundang” dan terpinggirkan. Oleh karena itu, dalam wacana keagamaan di HMI misalnya, berkembang beragam wacana. Namun proses diskursif nampaknya memenangkan wacana keagamaan yang berwatak modern-moderat-inklusif dan wacana keagamaan lain seperti yang tradisional-radikal-eksklusif menjadi pecundang. Proses diskursif juga nampaknya kini telah memenangkan kerangka berpikir political oriented dan menyisihkan kerangka berpikir berorientasi keilmuan dan profesi. Kemudian, dalam political oriented, yang dominan bukan yang mengedepankan pengaruh atau politik kebudayaan melainkan yang mengedepankan jabatan politik atau politik struktural.
Hadirin yang budiman,
Kongres XXV HMI di Makassar 20-27 Februari 2006 lalu, mengambil tema yang sangat menantang yakni ‘Membangun HMI Baru dan Masa Depan Bangsa’. Tema tersebut telah berhasil menginspirasi sejumlah perubahan penting dalam AD/ART HMI. Paham kedaulatan anggota semakin dikukuhkan. Pengaturan dalam struktur kekuasaan, struktur kepemimpinan, majelis konsultasi, dan badan-badan khusus diperbaiki dan disuntikkan semangat baru ke dalamnya. Namun demikian, hingga lebih dari satu semester ini, belum banyak yang dapat kami lakukan untuk merealisasikan ‘HMI Baru’ tersebut. Mungkin kami kurang bekerja keras, mungkin kami memiliki sejumlah keterbatasan, namun tak usah diragukan bahwa kami memiliki semangat dan tekad yang kuat untuk mewujudkannya.
Perspektif lain dalam mengenali kesejarahan HMI misalkan ditampilkan dalam pendekatan ‘gelombang’ atau karakteristik utama dari tahun-tahun kesejarahan HMI. Dalam perspektif kesejarahan ini, tahun 1947-1960an merupakan era ‘gelombang heroisme’ yang ditandai dengan keseluruhan gerak HMI yang diabdikan ke dalam perjuangan untuk mempertahankan eksistensi negara sekaligus eksistensi HMI dari segala hal yang berupaya menggugat dan menghancurkannya. Pada masa ini, HMI dihadapkan pada upaya pendudukan kembali penjajah Belanda, perpecahan NKRI, dan komunisme/PKI. Gelombang berikutnya adalah intelektualisme. Gelombang ini dihasrati oleh gairah mewujudkan kontribusi HMI, ber-itjihad, atas kemandekan berpikir dalam tradisi Islam di Indonesia. Gelombang ini mulai muncul tahun 1960-an akhir hingga tahun 1980-an dan memunculkan gelombang pembaruan pemikiran Islam yang sangat menonjol dengan icon utamanya Nurcholish Madjid (alm).
Meski gelombang intelektualisme ini terus berkembang dan bermetamorfosa di luar HMI, namun di dalam HMI, gelombang ini segera digantikan dengan ‘gelombang politisme’. Gelombang politisme mengusung dominasi logika kekuasaan dan mainstream berpikir politis dalam tubuh dan aktivis HMI. Gelombang ini diawali dengan pemaksaan asas tunggal oleh penguasa Orde Baru pada tahun 1980-an awal. Logika kekuasaan tersebut membekas sangat kuat, karena “memaksa” HMI untuk lebih erat dengan kekuasaan negara. Akibatnya, HMI larut dalam logika kekuasaan tersebut dan menghantarkan HMI pada gelombang berikutnya, yaitu ‘gelombang beku’ (freezed) di akhir tahun 1990-an hingga saat ini. Gelombang beku ditandai dengan tampilnya generasi aktivis HMI yang memitoskan generasi sebelumnya, berlindung dan menuai keberkatan dari kebesaran generasi sebelumnya. Maka jangan heran bila saat ini banyak kader yang cenderung berpikir pragmatis, minim inisiatif, dan miskin kreatifitas. Dengan demikian menjadi wajar apabila generasi ini juga mudah larut dalam agenda politik pihak eksternal dan berkonflik di internal ketimbang menjunjung tinggi persatuan dan program membangun HMI. Gelombang beku merupakan titik nadir dari produk gelombang politisme.
Hadirin yang mulia,
Perspektif kesejarahan di atas dan semangat mengusung HMI Baru yang diamanahi Kongres XXV merupakan bekal bagi kami yang saat ini diamanahi menjadi pengurus untuk mengendalikan biduk HMI. Namun demikian, secara jujur harus kami sampaikan bahwa HMI memiliki banyak keterbatasan sehingga tidak dapat menghela perubahan untuk mewujudkan ‘HMI Baru’ secara sendirian. Disinilah kami mengundang secara resmi kepada kanda-kanda alumni untuk ‘turun tangan’ membantu HMI memperbaiki dirinya. Kami siap untuk berdialog secara terbuka dengan semangat mencari yang terbaik dan bekerja keras untuk mewujudkannya. Rasanya juga tidak adil bila perubahan HMI harus ditanggung oleh anggota dan pengurus HMI sendiri karena alumni turut andil juga dalam menciptakan kondisi HMI menjadi seperti saat ini.
Kami sangat serius dalam memandang bahwa HMI harus segera lepas dari gelombang beku dan memasuki gelombang baru. Tidak dapat gelombang beku ini berlama-lama di HMI karena dengan demikian eksistensi HMI sangat terancam. Kami juga memandang bahwa ‘realitas’ dominan seperti political oriented dan politik struktural yang kini menyelimuti HMI harus segera diakhiri karena terbukti bahwa ‘realitas’ tersebut cenderung membawa HMI pada kemunduran. Menghadirkan HMI Baru merupakan kemutlakan. Oleh karena itu, kami mengimbau agar ini dijadikan semangat kita bersama, keluarga besar HMI.
Hadirin yang budiman,
M.C. Ricklefs, profesor kehormatan di Monash University menulis A History of Modern Indonesia Since c. 1200, yang berarti Sejarah Indonesia Modern sejak tahun 1200. Ada hal yang menarik dalam judul dan buku ini, yakni kata ‘modern’ yang disematkan kepada bumi nusantara yang kemudian dikenal dengan ‘Indonesia’ dimulai sejak tahun 1200-an dimana pada abad ke-13 tersebut untuk pertama kali Islam masuk ke bumi nusantara. Tentunya bukan kebetulan dan mengada-ada bila Ricklefs menyebutkan ‘Indonesia Modern’ dimulai sejak penduduk di bumi Indonesia menganut Islam. Penulis lain yang cukup terkenal Mc. Turnan Kahin dalam buku Nationalism and Revolution in Indonesia bahkan pernah menulis bahwa Islam memiliki peranan yang sangat penting dalam tumbuhnya nasionalisme Indonesia karena ia menjadi media persemaian nasionalisme itu sendiri sejak awal hingga ke depannya. Senada dengan Kahin, Yudi Latif dalam Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20 menggambarkan bahwa lahirnya Republik Indonesia tidak terlepas dari terbentuknya suatu blok historis yang disebutnya kaum intelegensia muslim. Kaum intelegensia muslim inilah yang karena kesadaran atas ketertinggalan dan penderitaan rakyat Hindia Belanda ketika itu bertekad dan berjuang memerdekakan Hindia Belanda dan berhasil mendirikan Republik Indonesia.
Kutipan di atas, sengaja kami cantumkan untuk mengingatkan kita kembali bahwa hadirnya Islam di Indonesia adalah untuk memperbaiki kualitas hidup penduduk bumi nusantara, menghantarkannya pada tingkat peradaban yang lebih tinggi sebagaimana Muhammad diutus ke muka bumi. Ikhtiar tersebut sempat terinterupsi oleh hadirnya penjajah Belanda pada abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-20. Kini bangsa Indonesia, yang mayoritasnya muslim, telah dapat memegang kembali kendali atas bumi Indonesia. Namun apakah yang telah dikontribusikan oleh muslim pada Indonesia? Tentu saja banyak. Namun bila dibandingkan dengan pencapaian peradaban yang telah diberikan hindu-budha pada nusantara di zaman Majapahit dan Sriwijaya, yang jejak-jejaknya dapat dilihat pada Candi Borobudur, Prambanan, catatan sejarah kebesaran perniagaan kerajaan Sriwijaya, dan lain-lain, maka kontribusi muslim di bumi nusantara hingga detik ini belumlah seberapa karena kita belum dapat menghantarkan Indonesia pada puncak peradaban sebagaimana kerapkali kita idamkan.
Hadirin yang budiman,
HMI dilahirkan oleh Lafran Pane dkk dengan dua tujuan yakni pertama, mempertahankan negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, melaksanakan syiar Islam. Kedua tujuan awal berdirinya HMI tersebut dalam prakteknya di coba diperjuangkan dengan ikhtiar yang optimal untuk menguasai negara sebagai pusat kekuasaan, pusat sumber daya. Strategi ini tentu saja relevan dalam konteks negara model Orde Lama dan Orde Baru dimana negara merupakan agen utama pembangunan. Apalagi strategi ini diwarnai oleh “trauma historis” zaman Hindia Belanda dimana ketika itu pribumi/muslim karena jauh dari kekuasaan maka menjadi warga negara kelas tiga setelah orang Eropa dan keturunan Asia (China, Arab, dan India).
Strategi mendekati dan menguasai negara hingga saat ini telah membuahkan hasil dengan tampilnya banyak elit negara yang berasal dari HMI yang sedikit-banyak membantu eksistensi HMI dan memudahkan pemerdayaan umat. Namun demikian, apabila kita ingin membawa muslim dan bangsa Indonesia mencapai kesejahteraan dan peradaban yang lebih tinggi lagi ke depan, maka menggantungkan diri pada strategi mendekati dan menguasai negara saja tidak lagi cukup. Saat ini sumber daya dan titik-titik kekuasaan sudah terdistribusi secara meluas di luar institusi negara. Bahkan dalam banyak hal, negara di bawah kendali titik-titik kekuasaan di luar negara tersebut. Globalisme dan kapitalisme yang memiliki slogan capital has no flag yang semakin mencengkeram bumi nusantara merupakan elemen utama yang membuat negara semakin lemah dan mempreteli kewenangannya. Oleh karena itu, pengembangan strategi HMI untuk mendekati institusi dan perusahaan transnasional dan melakukan akumulasi capital merupakan syarat mutlak bila kita ingin mewujudkan muslim/bangsa Indonesia yang adil-makmur dan diridhai Allah SWT.
Hadirin yang budiman,
Di awal tahun 2007 ini, kami ingin menyampaikan beberapa hal yang semoga menjadi perhatian kita bersama di tahun 2007. Pertama, secara internal kami berharap bahwa KAHMI dapat segera menyelesaikan dualismenya sehingga yang ada hanya satu KAHMI. Dengan demikian, KAHMI memiliki tenaga dan legitimasi yang lebih kuat dari saat ini sehingga KAHMI dapat meletakkan dasar-dasar bagi metamorfosa menjadi lembaga yang lebih memberikan kemanfaatan secara institusional bagi HMI, umat, dan bangsa. Kami kerapkali membayangkan KAHMI ke depan dapat berperan seperti lembaga-lembaga donor yang memiliki misi yang jelas dengan back up pendanaan melimpah; memiliki agency khusus untuk menyalurkan sumber daya anggota dan alumni HMI kepada lembaga-lembaga atau perusahaan tertentu yang dinilai strategis; memiliki sekolah, rumah sakit, dan perguruan tinggi; serta memiliki sejumlah perusahaan. Hal ini penting agar peran KAHMI sebagai pelanjut misi HMI menemukan medianya yang lebih nyata.
Kedua, kami mengajak kepada keluarga besar HMI agar memiliki tekad dan keinginan yang kuat untuk memperbaiki peran dan citra positif HMI yang terus terkuras akibat perilaku kurang terpuji dari pengurus, anggota atau alumni HMI itu sendiri. Oleh karena itu, mari kita meningkatkan silaturahmi, saling mengingatkan dalam kebaikan agar kita lebih terampil dalam menjaga perilaku sehari-hari. Sungguh dalam diri kita inheren nama baik HMI hingga akhir hayat sehingga baik atau buruknya kita juga turut berkontribusi terhadap citra HMI dimata publik. Citra HMI yang buruk dapat berakibat antipati terhadap HMI meskipun sungguh HMI tidak pernah menganjurkan yang demikian.
Ketiga, kepada Pemerintah Indonesia kami berharap agar Ayahanda Prof. Lapran Pane dapat ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa HMI yang didirikannya, merupakan elemen yang selalu membela NKRI dan senantiasa berkontribusi positif dalam dinamika bangsa dan negara. Selain itu, banyak tokoh yang dilahirkan HMI berjasa kepada negara, tokoh-tokoh tersebut mungkin tidak pernah ada apabila HMI tidak diinisiasi berdirinya oleh Prof. Lapran Pane.
Keempat, Pemerintah hendaknya serius memperhatikan data statistik tahun 2006 yang menunjukkan bahwa jumlah rakyat miskin bertambah meskipun pendapatan perkapita penduduk Indonesia meningkat dari tahun 2005. Data tersebut menunjukkan bahwa kesenjangan ekonomi antar penduduk Indonesia meningkat. Kondisi ini sangat memprihatinkan bila dibiarkan begitu saja karena mencerminkan hal yang sangat mendasar dalam kehidupan ini yakni ketidakadilan. Padahal, rasa ketidakadilan yang terakumulasi dibuktikan sejarah mampu menggulingkan kekuasaan manusia sebesar apapun.
Kelima, Pemerintah dan Pemerintah Daerah hendaknya serius memperhatikan pembangunan sumber daya manusia Indonesia (human resources investment) secara nasional dan regional (daerah). Program pembangunan hendaknya ditujukan bagi pembangunan manusia Indonesia itu sendiri karena bangsa adalah kumpulan manusia-manusia, maka menjadi keliru apabila pembangunan tidak diarahkan pada pembangunan manusianya. Apa yang diamanahkan konstitusi bahwa anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD, menurut kami, merupakan ketentuan visioner yang tidak sepatutnya ditunda-tunda proses implementasinya.
Keenam, tahun 2007 negara kita direncanakan akan melakukan amandemen lanjutan atas UUD 1945 dan perubahan atas paket undang-undang politik. Dalam iklim transisional, permasalahan ini sangat penting untuk kita perhatikan bersama. Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam akan memantau dan berpartisipasi secara maksimal dalam proses tersebut. Hal ini merupakan komitmen HMI dalam menjaga proses transisi dan memastikan bahwa transisi bermuara pada iklim Indonesia yang demokratis dan sejahtera. Dalam pandangan kami, Pemilu 2009 harus
Ketujuh, kami sangat mendukung gerakan antikorupsi yang dilaksanakan pemerintah. Namun demikian, kami berharap gerakan ini tidak dikotori oleh upaya mencapai sensasi politik semata dan menegakkan prinsip keadilan di dalamnya sehingga bukan hanya koruptor yang kecil dan lemah saja yang dapat diseret ke pengadilan dan penjara. Melainkan juga koruptor yang besar dan kuat. Hal ini penting dalam menepis persepsi publik yang menganggap bahwa pemerintah melakukan “tebang pilih” dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Agenda penting dalam pemberantasan korupsi yang belum dilakukan adalah radikalisasi pembenahan birokrasi. Padahal birokrasi telah lama disadari publik sebagai sarang persemain korupsi yang signifikan dan sumber inefektifitas kinerja pemerintahan.
Hadirin yang berbahagia,
Demikian yang dapat kami sampaikan. Semoga yang kami sampaikan menjadi perhatian kita bersama dan menginspirasi kita menjadi lebih baik lagi. Marilah kita terus berikhtiar tanpa lelah dan henti karena Al Qur’an memperingatkan kita bahwa ‘Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum (negara) hingga kaum (negara) itu sendiri yang merubah dirinya’. Yakin Usaha Sampai...
Billahittafiq Wal Hidayah
Wassalamu a’laikum Wr. Wb.
Jakarta, 5 Februari 2007
17 Muharram 1428 H
Pengurus Besar
Himpunan Mahasiswa Islam
Fajar R. Zulkarnaen
Ketua Umum
Sejarah HMI : Sejarah Perjuangan Kaum Intelegensia Muslim Indonesia*)
Sejarah HMI :
Sejarah Perjuangan Kaum Intelegensia Muslim Indonesia*)
Oleh Arip Musthopa
Ketua Bid. Pembinaan Anggota PB HMI 2006-2008
Sejarah HMI bukanlah sejarah HMI semata. Sejarah HMI adalah sejarah pergumulan umat dan bangsa di bumi nusantara. Tepatnya, sejarah pergumulan kaum intelegensia muda Islam-Indonesia dalam interaksinya dengan umat dan bangsa di bumi nusantara. Dengan pemaknaan demikian, maka makna kehadiran HMI tidak bisa dilihat hanya sejak tahun 1940-an ketika Lafran Pane dkk menjadi mahasiswa dan berinisiatif mendirikan HMI hingga saat ini, melainkan harus ditarik jauh hingga ke masa pemberlakuan politik etis Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 masehi; dan bahkan ditarik hingga abad ke-13 masehi ketika pertama kali Islam masuk di bumi nusantara. Penarikan sejarah yang jauh ke belakang ini untuk menggapai makna yang lebih utuh karena makna kelahiran dan keberadaan HMI merupakan bagian integral dari semangat Islam masuk ke bumi nusantara dan semangat perjuangan kaum intelegensia muslim sebagai ‘blok historis’ yang menginisiasi kelahiran Negara Republik Indonesia pada awal abad ke-20.
HMI merupakan produk sejarah yang tak terhindarkan dari dua peristiwa penting sejarah (umat) Islam di bumi nusantara, yakni sejarah permulaan Islam masuk di bumi nusantara dan sejarah kebangkitan muslim nusantara (yang dipimpin kaum intelegensia) untuk membebaskan bumi nusantara dari penjajah kolonial Belanda. Pemaknaan yang seperti ini bukanlah sesuatu yang mengada-ada karena semangat Islam masuk ke bumi nusantara yakni syiar Islam, dan semangat kaum intelegensia muslim awal abad ke-20 untuk memerdekakan Indonesia tercermin dalam dua tujuan awal berdirinya HMI pada 5 Februari 1947 bertepatan dengan 14 Rabiul Awal 1366 H, yaitu (1) mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, dan (2) menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.
Petunjuk tertua tentang permulaan Islam dipeluk oleh penduduk bumi nusantara ditemukan di bagian utara Sumatera, tepatnya di Pemakaman Lamreh. Disana ditemukan nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir yang wafat tahun 608 H/1211 M. Masuknya Islam ke bumi nusantara memiliki makna yang sangat penting bagi penduduk bumi nusantara. Karena pada periode itu Islam sedang mengalami puncak kejayaan sebagai suatu peradaban dan bahkan pemimpin peradaban global. Pada masa-masa itu (abad ke-5 s.d. 7 H), hidup pemikir-pemikir besar dunia (Islam), seperti Ibn Sina (wafat 428 H/1037 M), Al Ghazali (wafat 505 H/1111 M), Ibn Rusyd (wafat 594 H/1198 M), dan Ibn Taymiyyah (wafat 728 H/1328 M). Dengan demikian, Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang sudah mapan sebagai suatu ajaran agama dan peradaban sehingga merupakan hal yang sudah sepatutnya apabila M.C. Ricklefs, profesor kehormatan di Monash University Australia menulis buku A History of Modern Indonesia Since c. 1200 untuk menggambarkan sejarah Indonesia modern yang dimulai dari sejak pertama kali Islam dipeluk penduduk bumi nusantara. Kata ‘modern’ yang disematkan kepada bumi nusantara yang kemudian dikenal dengan ‘Indonesia’ sejak tahun 1200-an tersebut menunjukkan bahwa peradaban di bumi nusantara ketika itu belum modern karena berada di bawah kekuasaan feodalisme Hindu-Budha dan Islam hadir dengan membawa kemodernan. Dengan kata lain, Islam membawa misi memodernkan penduduk di bumi nusantara (Indonesia).
Misi Islam untuk memodernkan penduduk bumi nusantara tidaklah berlangsung dengan mudah dan lancar karena pada saat yang bersamaan dengan mulai masuknya Islam ke bumi nusantara, hinduisme dan budhisme mulai menemukan puncak kejayaannya di bumi nusantara dengan berdirinya kerajaan Majapahit (1294 M) dan berkembang menjadi kerajaan terbesar di Asia Tenggara hingga runtuh pada 1478 M. Proses Islamisasi yang berjalan secara damai di bumi nusantara, terutama di daerah Utara Sumatera berhasil menunjukkan eksistensinya dengan tampilnya kerajaan Islam di Aceh. Sebelum kira-kira tahun 1500, Aceh belumlah begitu menonjol. Sultan pertama kerajaan yang sedang tumbuh ini adalah Ali Mughayat Syah (m.1514-30). Selama masa pemerintahannya, sebagian besar komunitas dagang Asia yang bubar karena direbutnya Malaka oleh Portugis menetap di Aceh. Aceh kemudian tumbuh menjadi salahsatu kerajaan terkuat di kawasan Malaya-Nusantara.
Islam yang sedang tumbuh dan mulai membangun peradabannya di bumi nusantara pasca keruntuhan Majapahit sempat terinterupsi selama 3,5 abad (1596-1942 M) ketika bumi nusantara dijajah oleh VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda. Pada masa itu, penduduk bumi nusantara yang mayoritasnya telah muslim kehilangan kekuasaan baik secara ekonomi maupun politik sehingga tidak dapat dengan leluasa menjalankan misinya, yakni memodernkan penduduk bumi nusantara. Kondisi ini dipersulit dengan kemunduran peradaban dunia Islam pada umumnya sejak abad ke-15 M. Pada masa itu, muslim di bumi nusantara dengan kerajaan-kerajaannya seperti Aceh, Demak (didirikan pada perempat terakhir abad ke-15 M), Cirebon (berdiri akhir abad ke-15 M), Banten (berdiri abad ke-16 M), Pajang dan Mataram (berdiri pertengahan kedua abad ke-16 M), Gowa (raja Gowa memeluk Islam tahun 1605, awal abad ke-17), Ternate, Tidore dan sejumlah kerajaan lain yang lebih kecil; serta dengan dinamika internal yang rumit di bawah kepemimpinan sultan dan ulama serta kaum intelegensia sejak abad ke-20 M, selama ratusan tahun berusaha mengusir VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda, merebut dominasi ekonomi dan politik di bumi nusantara dari tangan mereka.
Ikhtiar untuk merebut kembali kekuasaan ekonomi dan politik baru dapat dilakukan secara signifikan pada awal abad ke-20 ketika mulai muncul kaum intelegensia muslim sebagai produk pendidikan pemerintah kolonial Belanda yang dikenal dengan politik etis pada akhir abad ke-19 M. Perlu diketahui bahwa penduduk pribumi (bumiputera) ketika itu merupakan kelas sosial ketiga setelah orang Eropa dan keturunan Asia (China, India, dan Arab). Akses mereka terhadap ekonomi dan birokrasi pemerintahan sangat terbatas dan sumber daya manusia mereka tidak pernah diberdayakan karena pemerintah kolonial Belanda tidak pernah membuka akses pendidikan bagi penduduk pribumi hingga diberlakukannya politik etis tersebut.
Ikhtiar merebut kekuasaan ekonomi dan politik tersebut memunculkan gerakan nasionalisme Indonesia yang menginginkan kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Peranan Islam dalam kelahiran nasionalisme ini sangat penting karena Islam merupakan media persemaian nasionalisme Indonesia itu sendiri sejak awal hingga ke depannya. George Mc. Turnan Kahin dalam buku Nationalism and Revolution in Indonesia melukiskan faktor-faktor atau kondisi awal abad ke-20 yang berperan melahirkan nasionalisme Indonesia sebagai berikut. Pertama, munculnya gerakan Pan-Islam (terinspirasi oleh Mohammad Abduh, Kairo) yang dibawa mahasiswa yang pulang belajar. Kahin menulis:
Agama Islam tidak begitu saja menyerap nurani suatu kebangsaan secara pasif. Agama ini menjadi pengadaan saluran dini dari perkembangan nasionalisme yang matang, nasionalisme modern, suatu saluran yang sampai sekarang masih sangat penting.
Kedua, lahirnya pemimpin atau elit terpelajar pribumi yang justru dilahirkan oleh pendidikan barat yang digerakkan Pemerintah Belanda sendiri. Kahin menyimpulkan:
Perhatian Belanda yang terlalu besar terhadap bahaya-bahaya Pan-Islam menyebabkan mereka tidak terlalu mengacuhkan bahaya-bahaya yang terkandung dalam pergerakan Modernis terhadap rezim mereka. Sementara itu, senjata yang mereka pilih untuk memerangi Pan-Islam, yaitu pendidikan Barat, segera tumbuh menjadi mata pisau kedua yang memotong ke arah lain. Ini benar-benar merupakan suatu ironi bagi pemerintahan Belanda, karena cara-cara yang dipilih untuk membela rezim kolonial dari ancaman Pan-Islam yang dibesar-besarkan, justru berkembang ke dalam salah satu kekuatan yang paling potensial untuk mengalahkan rezim tersebut.
Ketiga, kaum terpelajar, dengan mata pisau analisa yang mereka peroleh selama pendidikan di Belanda sendiri mulai merasakan adanya ketidakberesan kondisi negaranya. Mereka juga dapat membandingkan kondisi di negeri Belanda sendiri dengan kondisi di tanah air. Mereka juga merasakan diskriminasi dalam pekerjaan di Pemerintah Hindia Belanda dan mulai tumbuh perasaan tidak menerima perlakukan tersebut. Akibatnya, mereka menuntut diperlakukan setara karena mereka pun merasa kaum terpelajar yang sederajat dengan pegawai-pegawai Belanda. Mereka tidak menerima bila gaji mereka dibayar lebih murah dari pegawai Belanda dalam pemerintahan Hindia belanda. Selain itu, Pengalaman bekerja di pemerintahan Hindia Belanda juga menumbuhkan keyakinan bahwa elit pribumi tersebut merasa yakin dan mampu memerintah bangsanya sendiri.
Tiga kondisi utama di intern (elit) masyarakat Hindia Belanda di awal abad ke-20 inilah yang mengkristalkan kelahiran atau asal mula kesadaran nasionalisme Indonesia, disamping perkembangan di Negeri Belanda dan dunia internasional. Kesadaran ini diperjuangkan melalui organisasi-organisasi pergerakan nasional yang kemudian banyak bermunculan.
Senada dengan Kahin, Yudi Latif dalam Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20 menggambarkan bahwa lahirnya Republik Indonesia tidak terlepas dari terbentuknya suatu ’blok historis’ yang disebutnya kaum intelegensia muslim. Kaum intelegensia muslim inilah yang karena kesadaran atas ketertinggalan dan penderitaan rakyat Hindia Belanda ketika itu bertekad dan berjuang memerdekakan Hindia Belanda dan berhasil mendirikan Negara Republik Indonesia.
Latar sejarah di atas, dengan tegas menuturkan kepada kita bahwa hadirnya Islam di Indonesia adalah untuk memperbaiki kualitas hidup penduduk bumi nusantara, menghantarkannya pada tingkat peradaban yang lebih tinggi sebagaimana Muhammad diutus ke muka bumi. Ikhtiar tersebut sempat terinterupsi oleh hadirnya penjajah Belanda pada akhir abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-20. Kini bangsa Indonesia, yang mayoritasnya muslim, secara legal-formal telah dapat memegang kembali kendali atas bumi nusantara dengan berdirinya Negara Republik Indonesia di atasnya. Namun demikian, apakah semangat yang dicita-citakan Islam sehingga ia masuk ke bumi nusantara abad ke-13 dan menjadi media persemaian nasionalisme Indonesia pada permulaan abad ke-20 telah tercapai ?
Yudi Latif menggambarkan sejarah HMI dalam kontinuitas sejarah genealogi intelegensia muslim sebagai suatu blok historis yang memiliki peranan penting dalam kesejarahan Indonesia khususnya sejak awal abad ke-20. Sehingga tidak berlebihan bila HMI kerapkali mengidentikkan diri sebagai anak kandung umat dan bangsa, serta juga tidak berlebihan apabila Jenderal Besar Sudirman menyebutkan HMI bukan saja kepanjangan dari Himpunan Mahasiswa Islam, melainkan juga Harapan Masyarakat Indonesia.
Dalam perjalanannya, HMI memiliki fase kesejarahannya sendiri dalam interaksinya dengan umat dan bangsa. Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, sejarawan HMI, membagi kesejarahan HMI dalam lima zaman perjalanan HMI dan 10 fase perjuangan, yakni, pertama, zaman perang kemerdekaan dan masa kemerdekaan (1946-1949) yang dibagi dalam fase konsolidasi spiritual dan proses berdirinya HMI (November 1946-5 Februari 1947), fase berdiri dan pengokohan (5 Februari-30 November 1947), dan fase perjuangan bersenjata dan perang kemerdekaan, dan menghadapi pengkhianatan dan pemberontakan PKI I (1947-1949). Kedua, zaman liberal (1950-1959). Pada masa ini HMI sibuk membina dan membangun dirinya sehingga menjadi organisasi yang solid dan tumbuh membesar. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta. Ketiga, zaman organisasi terpimpin atau zaman Orde Lama (1950-1965). Zaman ini dibagi dua fase, yakni fase pembinaan dan pengembangan organisasi (1950-1963), dan fase tantangan I (1964-1965). Pada fase tantangan I, HMI menghadapi upaya pembubaran oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dihadapi HMI dengan strategi PKI (Pengamanan, Konsolidasi, dan Integrasi). Pada masa ini juga Ketua HMI, Mar’ie Muhammad pada 25 Oktober 1965 berinisiatif mendirikan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Keempat, zaman Orde Baru (1966-1998). Zaman ini dibagi ke dalam fase kebangkitan HMI sebagai pejuang Orde Baru dan pelopor kebangkitan angkatan 66 (1966-1968), fase partisipasi HMI dalam pembangunan (1969-sekarang), dan fase pergolakan dan pembaruan pemikiran (1970-1998) yang ”gong”-nya dilakukan Nurcholish Madjid (Ketua Umum PB HMI ketika itu) dengan menyampaikan pidatonya dengan topik ”Keharusan Pembaruan Pemikiran dalam Islam dan Masalah Integrasi Umat” tahun 1970 di Taman Ismail Marzuki. Kelima, zaman reformasi (1998 – sekarang). Zaman ini dibagi dalam fase reformasi (1998-2000) dan fase tantangan II (2000-sekarang). Dalam fase tantangan II HMI dituntut dapat terus eksis meskipun alumninya banyak tertimpa musibah dan HMI digerogoti berbagai macam permasalahan termasuk konflik internal yang ditingkat PB HMI sempat menimbulkan dua kali dualisme kepemimpinan.
Dalam mengenali kesejarahan HMI misalkan juga ditampilkan dalam pendekatan ‘gelombang’ atau karakteristik utama dari tahun-tahun kesejarahan HMI. Dalam perspektif kesejarahan ini, tahun 1947-1960an merupakan era ‘gelombang heroisme’ yang ditandai dengan keseluruhan gerak HMI yang diabdikan ke dalam perjuangan untuk mempertahankan eksistensi negara sekaligus eksistensi HMI dari segala hal yang berupaya menggugat dan menghancurkannya. Pada masa ini, HMI dihadapkan pada upaya pendudukan kembali penjajah Belanda, perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan penyebaran faham komunisme oleh Partai Komunis Indonesia. Gelombang berikutnya adalah intelektualisme. Gelombang ini dihasrati oleh gairah mewujudkan kontribusi HMI, ber-itjihad, atas kemandekan berpikir dalam tradisi Islam di Indonesia. Gelombang ini mulai muncul tahun 1960-an akhir hingga tahun 1980-an dan memunculkan gelombang pembaruan pemikiran Islam yang sangat menonjol dengan icon utamanya Nurcholish Madjid (alm).
Meski gelombang intelektualisme ini terus berkembang dan bermetamorfosa di luar HMI, namun di dalam HMI, gelombang ini segera digantikan dengan ‘gelombang politisme’. Gelombang politisme mengusung dominasi logika kekuasaan dan mainstream berpikir politis dalam tubuh dan aktivis HMI. Gelombang ini diawali dengan pemaksaan asas tunggal oleh penguasa Orde Baru pada tahun 1980-an awal. Logika kekuasaan tersebut membekas sangat kuat, karena “memaksa” HMI untuk lebih erat dengan kekuasaan negara. Akibatnya, HMI larut dalam logika kekuasaan tersebut dan menghantarkan HMI pada gelombang berikutnya, yaitu ‘gelombang beku’ (freezed) di akhir tahun 1990-an hingga saat ini. Gelombang beku ditandai dengan tampilnya generasi aktivis HMI yang memitoskan generasi sebelumnya, berlindung dan menuai keberkatan dari kebesaran generasi sebelumnya. Maka jangan heran bila saat ini banyak kader yang cenderung berpikir pragmatis, minim inisiatif, dan miskin kreatifitas. Dengan demikian menjadi wajar apabila generasi ini juga mudah larut dalam agenda politik pihak eksternal dan berkonflik di internal ketimbang menjunjung tinggi persatuan dan program membangun HMI. Gelombang beku merupakan titik nadir dari produk gelombang politisme.
HMI telah mengakumulasi fakta-fakta sosial dan pengetahuan dalam dirinya selama 60 tahun. Fakta-fakta sosial dan pengetahuan tersebut –-dalam perspektif arkeologi pengetahuan Michel Foucault— membentuk suatu sistem pengetahuan tersendiri melalui proses diskursif yang rumit dimana terdapat proses seleksi, distribusi, dan sirkulasi wacana di dalamnya. Dalam proses diskursif tersebut terdapat fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang dapat terus eksis, bahkan muncul sebagai “pemenang” dan menjadi ‘arus utama’ namun juga ada fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang jadi “pecundang” dan terpinggirkan. Oleh karena itu, dalam wacana keagamaan di HMI misalnya, berkembang beragam wacana. Namun proses diskursif nampaknya memenangkan wacana keagamaan yang berwatak modern-moderat-inklusif dan wacana keagamaan lain seperti yang tradisional-radikal-eksklusif menjadi pecundang. Proses diskursif juga nampaknya kini telah memenangkan kerangka berpikir political oriented dan menyisihkan kerangka berpikir berorientasi keilmuan dan profesi. Kemudian, dalam political oriented, yang dominan bukan yang mengedepankan pengaruh atau politik kebudayaan melainkan yang mengedepankan jabatan politik atau politik struktural.
Pemaparan beberapa perspektif dalam mengenali sejarah HMI di atas menjelaskan beberapa hal. Pertama, HMI telah berhasil meletakkan dirinya dalam kanvas kesejarahan Indonesia dan umat Islam di Indonesia sehingga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Indonesia dan umat Islam di Indonesia. Hal ini tentu saja disebabkan karena sikap HMI yang memandang Indonesia dan Islam sebagai satu kesatuan integratif yang tidak perlu dipertentangkan. Kedua, karakteristik perilaku interaksi HMI dengan umat dan bangsa Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik yang terjadi pada umat dan bangsa, utamanya dalam konteks bernegara. Ketiga, dalam interaksinya tersebut, HMI coba bersikap kooperatif terhadap arus dominan dengan tetap menjaga identitas dirinya yang pokok. Keempat, sejarah HMI adalah sejarah panjang yang didalamnya terdapat dinamika internal HMI yang sangat dinamis, kaya, dan rumit. Sehingga corak dominan yang tampil pada merupakan produk seleksi wacana yang bersifat temporer dan akan segera digantikan oleh corak yang lain apabila tidak ”pintar” mempertahankan diri di tengah pertarungan wacana yang dinamis, kaya, dan rumit tersebut.@
*) Disampaikan dalam LK II HMI Cabang Manado, Manado 3 Juli 2007.
Sejarah Perjuangan Kaum Intelegensia Muslim Indonesia*)
Oleh Arip Musthopa
Ketua Bid. Pembinaan Anggota PB HMI 2006-2008
Sejarah HMI bukanlah sejarah HMI semata. Sejarah HMI adalah sejarah pergumulan umat dan bangsa di bumi nusantara. Tepatnya, sejarah pergumulan kaum intelegensia muda Islam-Indonesia dalam interaksinya dengan umat dan bangsa di bumi nusantara. Dengan pemaknaan demikian, maka makna kehadiran HMI tidak bisa dilihat hanya sejak tahun 1940-an ketika Lafran Pane dkk menjadi mahasiswa dan berinisiatif mendirikan HMI hingga saat ini, melainkan harus ditarik jauh hingga ke masa pemberlakuan politik etis Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 masehi; dan bahkan ditarik hingga abad ke-13 masehi ketika pertama kali Islam masuk di bumi nusantara. Penarikan sejarah yang jauh ke belakang ini untuk menggapai makna yang lebih utuh karena makna kelahiran dan keberadaan HMI merupakan bagian integral dari semangat Islam masuk ke bumi nusantara dan semangat perjuangan kaum intelegensia muslim sebagai ‘blok historis’ yang menginisiasi kelahiran Negara Republik Indonesia pada awal abad ke-20.
HMI merupakan produk sejarah yang tak terhindarkan dari dua peristiwa penting sejarah (umat) Islam di bumi nusantara, yakni sejarah permulaan Islam masuk di bumi nusantara dan sejarah kebangkitan muslim nusantara (yang dipimpin kaum intelegensia) untuk membebaskan bumi nusantara dari penjajah kolonial Belanda. Pemaknaan yang seperti ini bukanlah sesuatu yang mengada-ada karena semangat Islam masuk ke bumi nusantara yakni syiar Islam, dan semangat kaum intelegensia muslim awal abad ke-20 untuk memerdekakan Indonesia tercermin dalam dua tujuan awal berdirinya HMI pada 5 Februari 1947 bertepatan dengan 14 Rabiul Awal 1366 H, yaitu (1) mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, dan (2) menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.
Petunjuk tertua tentang permulaan Islam dipeluk oleh penduduk bumi nusantara ditemukan di bagian utara Sumatera, tepatnya di Pemakaman Lamreh. Disana ditemukan nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir yang wafat tahun 608 H/1211 M. Masuknya Islam ke bumi nusantara memiliki makna yang sangat penting bagi penduduk bumi nusantara. Karena pada periode itu Islam sedang mengalami puncak kejayaan sebagai suatu peradaban dan bahkan pemimpin peradaban global. Pada masa-masa itu (abad ke-5 s.d. 7 H), hidup pemikir-pemikir besar dunia (Islam), seperti Ibn Sina (wafat 428 H/1037 M), Al Ghazali (wafat 505 H/1111 M), Ibn Rusyd (wafat 594 H/1198 M), dan Ibn Taymiyyah (wafat 728 H/1328 M). Dengan demikian, Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang sudah mapan sebagai suatu ajaran agama dan peradaban sehingga merupakan hal yang sudah sepatutnya apabila M.C. Ricklefs, profesor kehormatan di Monash University Australia menulis buku A History of Modern Indonesia Since c. 1200 untuk menggambarkan sejarah Indonesia modern yang dimulai dari sejak pertama kali Islam dipeluk penduduk bumi nusantara. Kata ‘modern’ yang disematkan kepada bumi nusantara yang kemudian dikenal dengan ‘Indonesia’ sejak tahun 1200-an tersebut menunjukkan bahwa peradaban di bumi nusantara ketika itu belum modern karena berada di bawah kekuasaan feodalisme Hindu-Budha dan Islam hadir dengan membawa kemodernan. Dengan kata lain, Islam membawa misi memodernkan penduduk di bumi nusantara (Indonesia).
Misi Islam untuk memodernkan penduduk bumi nusantara tidaklah berlangsung dengan mudah dan lancar karena pada saat yang bersamaan dengan mulai masuknya Islam ke bumi nusantara, hinduisme dan budhisme mulai menemukan puncak kejayaannya di bumi nusantara dengan berdirinya kerajaan Majapahit (1294 M) dan berkembang menjadi kerajaan terbesar di Asia Tenggara hingga runtuh pada 1478 M. Proses Islamisasi yang berjalan secara damai di bumi nusantara, terutama di daerah Utara Sumatera berhasil menunjukkan eksistensinya dengan tampilnya kerajaan Islam di Aceh. Sebelum kira-kira tahun 1500, Aceh belumlah begitu menonjol. Sultan pertama kerajaan yang sedang tumbuh ini adalah Ali Mughayat Syah (m.1514-30). Selama masa pemerintahannya, sebagian besar komunitas dagang Asia yang bubar karena direbutnya Malaka oleh Portugis menetap di Aceh. Aceh kemudian tumbuh menjadi salahsatu kerajaan terkuat di kawasan Malaya-Nusantara.
Islam yang sedang tumbuh dan mulai membangun peradabannya di bumi nusantara pasca keruntuhan Majapahit sempat terinterupsi selama 3,5 abad (1596-1942 M) ketika bumi nusantara dijajah oleh VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda. Pada masa itu, penduduk bumi nusantara yang mayoritasnya telah muslim kehilangan kekuasaan baik secara ekonomi maupun politik sehingga tidak dapat dengan leluasa menjalankan misinya, yakni memodernkan penduduk bumi nusantara. Kondisi ini dipersulit dengan kemunduran peradaban dunia Islam pada umumnya sejak abad ke-15 M. Pada masa itu, muslim di bumi nusantara dengan kerajaan-kerajaannya seperti Aceh, Demak (didirikan pada perempat terakhir abad ke-15 M), Cirebon (berdiri akhir abad ke-15 M), Banten (berdiri abad ke-16 M), Pajang dan Mataram (berdiri pertengahan kedua abad ke-16 M), Gowa (raja Gowa memeluk Islam tahun 1605, awal abad ke-17), Ternate, Tidore dan sejumlah kerajaan lain yang lebih kecil; serta dengan dinamika internal yang rumit di bawah kepemimpinan sultan dan ulama serta kaum intelegensia sejak abad ke-20 M, selama ratusan tahun berusaha mengusir VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda, merebut dominasi ekonomi dan politik di bumi nusantara dari tangan mereka.
Ikhtiar untuk merebut kembali kekuasaan ekonomi dan politik baru dapat dilakukan secara signifikan pada awal abad ke-20 ketika mulai muncul kaum intelegensia muslim sebagai produk pendidikan pemerintah kolonial Belanda yang dikenal dengan politik etis pada akhir abad ke-19 M. Perlu diketahui bahwa penduduk pribumi (bumiputera) ketika itu merupakan kelas sosial ketiga setelah orang Eropa dan keturunan Asia (China, India, dan Arab). Akses mereka terhadap ekonomi dan birokrasi pemerintahan sangat terbatas dan sumber daya manusia mereka tidak pernah diberdayakan karena pemerintah kolonial Belanda tidak pernah membuka akses pendidikan bagi penduduk pribumi hingga diberlakukannya politik etis tersebut.
Ikhtiar merebut kekuasaan ekonomi dan politik tersebut memunculkan gerakan nasionalisme Indonesia yang menginginkan kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Peranan Islam dalam kelahiran nasionalisme ini sangat penting karena Islam merupakan media persemaian nasionalisme Indonesia itu sendiri sejak awal hingga ke depannya. George Mc. Turnan Kahin dalam buku Nationalism and Revolution in Indonesia melukiskan faktor-faktor atau kondisi awal abad ke-20 yang berperan melahirkan nasionalisme Indonesia sebagai berikut. Pertama, munculnya gerakan Pan-Islam (terinspirasi oleh Mohammad Abduh, Kairo) yang dibawa mahasiswa yang pulang belajar. Kahin menulis:
Agama Islam tidak begitu saja menyerap nurani suatu kebangsaan secara pasif. Agama ini menjadi pengadaan saluran dini dari perkembangan nasionalisme yang matang, nasionalisme modern, suatu saluran yang sampai sekarang masih sangat penting.
Kedua, lahirnya pemimpin atau elit terpelajar pribumi yang justru dilahirkan oleh pendidikan barat yang digerakkan Pemerintah Belanda sendiri. Kahin menyimpulkan:
Perhatian Belanda yang terlalu besar terhadap bahaya-bahaya Pan-Islam menyebabkan mereka tidak terlalu mengacuhkan bahaya-bahaya yang terkandung dalam pergerakan Modernis terhadap rezim mereka. Sementara itu, senjata yang mereka pilih untuk memerangi Pan-Islam, yaitu pendidikan Barat, segera tumbuh menjadi mata pisau kedua yang memotong ke arah lain. Ini benar-benar merupakan suatu ironi bagi pemerintahan Belanda, karena cara-cara yang dipilih untuk membela rezim kolonial dari ancaman Pan-Islam yang dibesar-besarkan, justru berkembang ke dalam salah satu kekuatan yang paling potensial untuk mengalahkan rezim tersebut.
Ketiga, kaum terpelajar, dengan mata pisau analisa yang mereka peroleh selama pendidikan di Belanda sendiri mulai merasakan adanya ketidakberesan kondisi negaranya. Mereka juga dapat membandingkan kondisi di negeri Belanda sendiri dengan kondisi di tanah air. Mereka juga merasakan diskriminasi dalam pekerjaan di Pemerintah Hindia Belanda dan mulai tumbuh perasaan tidak menerima perlakukan tersebut. Akibatnya, mereka menuntut diperlakukan setara karena mereka pun merasa kaum terpelajar yang sederajat dengan pegawai-pegawai Belanda. Mereka tidak menerima bila gaji mereka dibayar lebih murah dari pegawai Belanda dalam pemerintahan Hindia belanda. Selain itu, Pengalaman bekerja di pemerintahan Hindia Belanda juga menumbuhkan keyakinan bahwa elit pribumi tersebut merasa yakin dan mampu memerintah bangsanya sendiri.
Tiga kondisi utama di intern (elit) masyarakat Hindia Belanda di awal abad ke-20 inilah yang mengkristalkan kelahiran atau asal mula kesadaran nasionalisme Indonesia, disamping perkembangan di Negeri Belanda dan dunia internasional. Kesadaran ini diperjuangkan melalui organisasi-organisasi pergerakan nasional yang kemudian banyak bermunculan.
Senada dengan Kahin, Yudi Latif dalam Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20 menggambarkan bahwa lahirnya Republik Indonesia tidak terlepas dari terbentuknya suatu ’blok historis’ yang disebutnya kaum intelegensia muslim. Kaum intelegensia muslim inilah yang karena kesadaran atas ketertinggalan dan penderitaan rakyat Hindia Belanda ketika itu bertekad dan berjuang memerdekakan Hindia Belanda dan berhasil mendirikan Negara Republik Indonesia.
Latar sejarah di atas, dengan tegas menuturkan kepada kita bahwa hadirnya Islam di Indonesia adalah untuk memperbaiki kualitas hidup penduduk bumi nusantara, menghantarkannya pada tingkat peradaban yang lebih tinggi sebagaimana Muhammad diutus ke muka bumi. Ikhtiar tersebut sempat terinterupsi oleh hadirnya penjajah Belanda pada akhir abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-20. Kini bangsa Indonesia, yang mayoritasnya muslim, secara legal-formal telah dapat memegang kembali kendali atas bumi nusantara dengan berdirinya Negara Republik Indonesia di atasnya. Namun demikian, apakah semangat yang dicita-citakan Islam sehingga ia masuk ke bumi nusantara abad ke-13 dan menjadi media persemaian nasionalisme Indonesia pada permulaan abad ke-20 telah tercapai ?
Yudi Latif menggambarkan sejarah HMI dalam kontinuitas sejarah genealogi intelegensia muslim sebagai suatu blok historis yang memiliki peranan penting dalam kesejarahan Indonesia khususnya sejak awal abad ke-20. Sehingga tidak berlebihan bila HMI kerapkali mengidentikkan diri sebagai anak kandung umat dan bangsa, serta juga tidak berlebihan apabila Jenderal Besar Sudirman menyebutkan HMI bukan saja kepanjangan dari Himpunan Mahasiswa Islam, melainkan juga Harapan Masyarakat Indonesia.
Dalam perjalanannya, HMI memiliki fase kesejarahannya sendiri dalam interaksinya dengan umat dan bangsa. Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, sejarawan HMI, membagi kesejarahan HMI dalam lima zaman perjalanan HMI dan 10 fase perjuangan, yakni, pertama, zaman perang kemerdekaan dan masa kemerdekaan (1946-1949) yang dibagi dalam fase konsolidasi spiritual dan proses berdirinya HMI (November 1946-5 Februari 1947), fase berdiri dan pengokohan (5 Februari-30 November 1947), dan fase perjuangan bersenjata dan perang kemerdekaan, dan menghadapi pengkhianatan dan pemberontakan PKI I (1947-1949). Kedua, zaman liberal (1950-1959). Pada masa ini HMI sibuk membina dan membangun dirinya sehingga menjadi organisasi yang solid dan tumbuh membesar. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta. Ketiga, zaman organisasi terpimpin atau zaman Orde Lama (1950-1965). Zaman ini dibagi dua fase, yakni fase pembinaan dan pengembangan organisasi (1950-1963), dan fase tantangan I (1964-1965). Pada fase tantangan I, HMI menghadapi upaya pembubaran oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dihadapi HMI dengan strategi PKI (Pengamanan, Konsolidasi, dan Integrasi). Pada masa ini juga Ketua HMI, Mar’ie Muhammad pada 25 Oktober 1965 berinisiatif mendirikan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Keempat, zaman Orde Baru (1966-1998). Zaman ini dibagi ke dalam fase kebangkitan HMI sebagai pejuang Orde Baru dan pelopor kebangkitan angkatan 66 (1966-1968), fase partisipasi HMI dalam pembangunan (1969-sekarang), dan fase pergolakan dan pembaruan pemikiran (1970-1998) yang ”gong”-nya dilakukan Nurcholish Madjid (Ketua Umum PB HMI ketika itu) dengan menyampaikan pidatonya dengan topik ”Keharusan Pembaruan Pemikiran dalam Islam dan Masalah Integrasi Umat” tahun 1970 di Taman Ismail Marzuki. Kelima, zaman reformasi (1998 – sekarang). Zaman ini dibagi dalam fase reformasi (1998-2000) dan fase tantangan II (2000-sekarang). Dalam fase tantangan II HMI dituntut dapat terus eksis meskipun alumninya banyak tertimpa musibah dan HMI digerogoti berbagai macam permasalahan termasuk konflik internal yang ditingkat PB HMI sempat menimbulkan dua kali dualisme kepemimpinan.
Dalam mengenali kesejarahan HMI misalkan juga ditampilkan dalam pendekatan ‘gelombang’ atau karakteristik utama dari tahun-tahun kesejarahan HMI. Dalam perspektif kesejarahan ini, tahun 1947-1960an merupakan era ‘gelombang heroisme’ yang ditandai dengan keseluruhan gerak HMI yang diabdikan ke dalam perjuangan untuk mempertahankan eksistensi negara sekaligus eksistensi HMI dari segala hal yang berupaya menggugat dan menghancurkannya. Pada masa ini, HMI dihadapkan pada upaya pendudukan kembali penjajah Belanda, perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan penyebaran faham komunisme oleh Partai Komunis Indonesia. Gelombang berikutnya adalah intelektualisme. Gelombang ini dihasrati oleh gairah mewujudkan kontribusi HMI, ber-itjihad, atas kemandekan berpikir dalam tradisi Islam di Indonesia. Gelombang ini mulai muncul tahun 1960-an akhir hingga tahun 1980-an dan memunculkan gelombang pembaruan pemikiran Islam yang sangat menonjol dengan icon utamanya Nurcholish Madjid (alm).
Meski gelombang intelektualisme ini terus berkembang dan bermetamorfosa di luar HMI, namun di dalam HMI, gelombang ini segera digantikan dengan ‘gelombang politisme’. Gelombang politisme mengusung dominasi logika kekuasaan dan mainstream berpikir politis dalam tubuh dan aktivis HMI. Gelombang ini diawali dengan pemaksaan asas tunggal oleh penguasa Orde Baru pada tahun 1980-an awal. Logika kekuasaan tersebut membekas sangat kuat, karena “memaksa” HMI untuk lebih erat dengan kekuasaan negara. Akibatnya, HMI larut dalam logika kekuasaan tersebut dan menghantarkan HMI pada gelombang berikutnya, yaitu ‘gelombang beku’ (freezed) di akhir tahun 1990-an hingga saat ini. Gelombang beku ditandai dengan tampilnya generasi aktivis HMI yang memitoskan generasi sebelumnya, berlindung dan menuai keberkatan dari kebesaran generasi sebelumnya. Maka jangan heran bila saat ini banyak kader yang cenderung berpikir pragmatis, minim inisiatif, dan miskin kreatifitas. Dengan demikian menjadi wajar apabila generasi ini juga mudah larut dalam agenda politik pihak eksternal dan berkonflik di internal ketimbang menjunjung tinggi persatuan dan program membangun HMI. Gelombang beku merupakan titik nadir dari produk gelombang politisme.
HMI telah mengakumulasi fakta-fakta sosial dan pengetahuan dalam dirinya selama 60 tahun. Fakta-fakta sosial dan pengetahuan tersebut –-dalam perspektif arkeologi pengetahuan Michel Foucault— membentuk suatu sistem pengetahuan tersendiri melalui proses diskursif yang rumit dimana terdapat proses seleksi, distribusi, dan sirkulasi wacana di dalamnya. Dalam proses diskursif tersebut terdapat fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang dapat terus eksis, bahkan muncul sebagai “pemenang” dan menjadi ‘arus utama’ namun juga ada fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang jadi “pecundang” dan terpinggirkan. Oleh karena itu, dalam wacana keagamaan di HMI misalnya, berkembang beragam wacana. Namun proses diskursif nampaknya memenangkan wacana keagamaan yang berwatak modern-moderat-inklusif dan wacana keagamaan lain seperti yang tradisional-radikal-eksklusif menjadi pecundang. Proses diskursif juga nampaknya kini telah memenangkan kerangka berpikir political oriented dan menyisihkan kerangka berpikir berorientasi keilmuan dan profesi. Kemudian, dalam political oriented, yang dominan bukan yang mengedepankan pengaruh atau politik kebudayaan melainkan yang mengedepankan jabatan politik atau politik struktural.
Pemaparan beberapa perspektif dalam mengenali sejarah HMI di atas menjelaskan beberapa hal. Pertama, HMI telah berhasil meletakkan dirinya dalam kanvas kesejarahan Indonesia dan umat Islam di Indonesia sehingga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Indonesia dan umat Islam di Indonesia. Hal ini tentu saja disebabkan karena sikap HMI yang memandang Indonesia dan Islam sebagai satu kesatuan integratif yang tidak perlu dipertentangkan. Kedua, karakteristik perilaku interaksi HMI dengan umat dan bangsa Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik yang terjadi pada umat dan bangsa, utamanya dalam konteks bernegara. Ketiga, dalam interaksinya tersebut, HMI coba bersikap kooperatif terhadap arus dominan dengan tetap menjaga identitas dirinya yang pokok. Keempat, sejarah HMI adalah sejarah panjang yang didalamnya terdapat dinamika internal HMI yang sangat dinamis, kaya, dan rumit. Sehingga corak dominan yang tampil pada merupakan produk seleksi wacana yang bersifat temporer dan akan segera digantikan oleh corak yang lain apabila tidak ”pintar” mempertahankan diri di tengah pertarungan wacana yang dinamis, kaya, dan rumit tersebut.@
*) Disampaikan dalam LK II HMI Cabang Manado, Manado 3 Juli 2007.
SILABUS NDP HMI
SILABUS NDP HMI
Dream kitaro track 5
A. Pengantar
- Selamat Datang
- Kata Kata Bijak
Mu’adz bin Jabal rodhiallohu ‘anhu berkata, “Belajarlah ilmu karena sesungguhnya mempelajari ilmu merupakan khosyah, menuntutnya adalah ibadah, mengulang-ulanginya adalah tasbih, mencarinya adalah jihad dan memberitahukan kepada orang yang tidak mengetahui adalah sedekah.”
- Yel yel
Himpunan : Bahagia
Mahasiswa : Sejahtera
Islam : Yes yes
- Naik pesawat NDP
- Aturan Maen naik Pesawat
a. Tidak Boleh Bicara Sesama Teman
b. Konsentrasi
c. Simpan Buku Catatan
d. No Smoking
e. Hand Phone Switch off
f. Simpan Pertanyaan
- Gelas kosong
Tinggalkan factor – factor penghambat masuknya nilai – nilai kebenaran
a. Prasangka
b. Prinsip – prinsip hidup
c. Pengalaman
d. Kepentingan
e. Sudut pandang
f. Pembanding
g. Literatur
- Benyanyi lagu anak-anak
Satu ditambah Satu
- Yel – yel
- Citra Diri Negatif & Positif (Trusco Hal 59)
B. DASAR – DASAR KEPERCAYAAN
LBCAJroun lagu the bset kitaro track 2
- Penjelasan Fungsi Otak Bagian Kanan Bawah
o Menikmati Warna
o Musik
o Perasaan
o Emosi
o Keterampilan interpersonal
o Kinestetik
o Menikmati Seni
o Merasakan Pengakuan diri
o Perenungan Diri
Untuk mendapatkan hasil terbaik gunakan semua otak yang anda miliki dan semua otak yang anda pinjam – pikiran adalah seperti parasut hanya berfungsi sewaktu di buka
- Materi
Kisah Nabi Shaleh dan Kamu tsamud
QS Al A’raf : 73,74,77,78, QS AL Hud: 67–68
QS : Asy Syu'araa' 149.
Kisah Nabi Muhammad Mendapat Wahyu di gua Hiro
Tahun 610 M
QS Al Alaq: 1-5
Agama Islam yang dibawa Nabi
QS Al A’nam ; 125
QS Ali Imran :85
QS Ar Rum : 30
Perbedaan percaya dengan yakin
(gambar sirkus)
Lagu Insan Utama
C. HAKEKAT PENCIPTAAN & KEHIDUPAN AKHIRAT
Backgroun lagu DREAM KITARA TRACk 3
Film Keajaiban dalam rahim
QS An Nahl 16;78
QS Yassin 77-79
QS Al Mu’minun 13-14
QS. An Nahl : 4
Qs. AL A”raf : 172
Cerita tentang perjuangan seorang ibu
Kehidupan Akhirat
Kisah Misteri Kematian
Hadist Nabi
Abdullah bin Abbas r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda yang maksudnya, “Bahwa malaikat maut memperhatikan wajah manusia di muka bumi ini 70 kali dalam sehari. Ketika Izrail datang melihat wajah seseorang, didapati orang itu ada yang masih tertawa. Maka berkata Izrail, "Alangkah herannya aku melihat orang ini sedangkan aku diutus oleh Allah Ta'ala untuk mencabut nyawanya tetapi dia masih bergelak tawa.”
QS Al Haj : 5
QS Al Sajdah: 11
QS An Naziat 1-2
Siksa Kubur
QS Al Imran 188
QS Al Mujadillah: 5
QS Al Ahqaaf: 26
Yel – yel
Sajak Imam Ali ra.
Ketika Ibumu melahirkanmu
Engkau menangis menjerit sementara orang disekilingmu tertawa bahagia…
Maka berusahalah untuk dirimu…
Ketika ajal menjemput..
Disaat orang – orang sekelingmu menangis sedih
Ruhmu tersenyum gembira….
Lagu : Ya Nabi Salam alaika (hada Alwi)
D. Manusia dan Nilai nilai kemanusiaan
QS. Asy Syams 1 – 5
Cerita Tentang Ahli Hadist Fudhail Bin Iyad
(maling yang mendengar ayat Al hadid : 16 )
Kebenaran sejati pada diri manusia sebenar ada pada hatinya karena hati tidak dapat ditipu oleh siapaun dan apapun termasuk diri kita sendiri hati adalah kebenaran sejati (Ary GInanjar Agustian)
Hati Manusia terpancar sifat Asmaul Husna
QS : Al A’ra:7
Melihat manusia yang memiliki nilai – nilai manusia :
Iman (Spiritual) Percayaan akan keberadaan Tuhan (Tauhid)
Akal (Intelegensia) Ativitas Otak Manusia
Rasa (Emotional) Kemampuan untuk memotiavsi diri
Kisah sorang sahabat ingin berzina (larang an berzina QS 17 : 32)
QS. Al Ahzab;21
E. HAKIKAT & TAKDIR MANUSIA
QS. Asy Syams 1 – 5
QS Al Muzamil : 20
QS Yassin 28 – 29
QS Al Zalzalah 7 – 8
Hadis Nabi
“ ini adalah jalan yang lurus sedangkan yang lainnya adalah jalan – jalan yang beragam (Bukhari & Muslim)
Dunia Ini adalah lading akhirat (Hr Bukhari)
Qs 2 : 148
F. INDIVIDU & MASYARAKAT
Film Salahudin Al Ayubi
G. KEADILAN SOSIAL & EKONOMI
H. SAIN ISLAM
1. Proses terjadinya bumi dan teori big bang
2. Gunung sebagai paku bumi QS An Nahl : 15
3. Terjadinya Hujan Qs An. Nur 43, an nahl : 10
4. Baju dari kain sutra & bulu domba An Nahl: 5
Dream kitaro track 5
A. Pengantar
- Selamat Datang
- Kata Kata Bijak
Mu’adz bin Jabal rodhiallohu ‘anhu berkata, “Belajarlah ilmu karena sesungguhnya mempelajari ilmu merupakan khosyah, menuntutnya adalah ibadah, mengulang-ulanginya adalah tasbih, mencarinya adalah jihad dan memberitahukan kepada orang yang tidak mengetahui adalah sedekah.”
- Yel yel
Himpunan : Bahagia
Mahasiswa : Sejahtera
Islam : Yes yes
- Naik pesawat NDP
- Aturan Maen naik Pesawat
a. Tidak Boleh Bicara Sesama Teman
b. Konsentrasi
c. Simpan Buku Catatan
d. No Smoking
e. Hand Phone Switch off
f. Simpan Pertanyaan
- Gelas kosong
Tinggalkan factor – factor penghambat masuknya nilai – nilai kebenaran
a. Prasangka
b. Prinsip – prinsip hidup
c. Pengalaman
d. Kepentingan
e. Sudut pandang
f. Pembanding
g. Literatur
- Benyanyi lagu anak-anak
Satu ditambah Satu
- Yel – yel
- Citra Diri Negatif & Positif (Trusco Hal 59)
B. DASAR – DASAR KEPERCAYAAN
LBCAJroun lagu the bset kitaro track 2
- Penjelasan Fungsi Otak Bagian Kanan Bawah
o Menikmati Warna
o Musik
o Perasaan
o Emosi
o Keterampilan interpersonal
o Kinestetik
o Menikmati Seni
o Merasakan Pengakuan diri
o Perenungan Diri
Untuk mendapatkan hasil terbaik gunakan semua otak yang anda miliki dan semua otak yang anda pinjam – pikiran adalah seperti parasut hanya berfungsi sewaktu di buka
- Materi
Kisah Nabi Shaleh dan Kamu tsamud
QS Al A’raf : 73,74,77,78, QS AL Hud: 67–68
QS : Asy Syu'araa' 149.
Kisah Nabi Muhammad Mendapat Wahyu di gua Hiro
Tahun 610 M
QS Al Alaq: 1-5
Agama Islam yang dibawa Nabi
QS Al A’nam ; 125
QS Ali Imran :85
QS Ar Rum : 30
Perbedaan percaya dengan yakin
(gambar sirkus)
Lagu Insan Utama
C. HAKEKAT PENCIPTAAN & KEHIDUPAN AKHIRAT
Backgroun lagu DREAM KITARA TRACk 3
Film Keajaiban dalam rahim
QS An Nahl 16;78
QS Yassin 77-79
QS Al Mu’minun 13-14
QS. An Nahl : 4
Qs. AL A”raf : 172
Cerita tentang perjuangan seorang ibu
Kehidupan Akhirat
Kisah Misteri Kematian
Hadist Nabi
Abdullah bin Abbas r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda yang maksudnya, “Bahwa malaikat maut memperhatikan wajah manusia di muka bumi ini 70 kali dalam sehari. Ketika Izrail datang melihat wajah seseorang, didapati orang itu ada yang masih tertawa. Maka berkata Izrail, "Alangkah herannya aku melihat orang ini sedangkan aku diutus oleh Allah Ta'ala untuk mencabut nyawanya tetapi dia masih bergelak tawa.”
QS Al Haj : 5
QS Al Sajdah: 11
QS An Naziat 1-2
Siksa Kubur
QS Al Imran 188
QS Al Mujadillah: 5
QS Al Ahqaaf: 26
Yel – yel
Sajak Imam Ali ra.
Ketika Ibumu melahirkanmu
Engkau menangis menjerit sementara orang disekilingmu tertawa bahagia…
Maka berusahalah untuk dirimu…
Ketika ajal menjemput..
Disaat orang – orang sekelingmu menangis sedih
Ruhmu tersenyum gembira….
Lagu : Ya Nabi Salam alaika (hada Alwi)
D. Manusia dan Nilai nilai kemanusiaan
QS. Asy Syams 1 – 5
Cerita Tentang Ahli Hadist Fudhail Bin Iyad
(maling yang mendengar ayat Al hadid : 16 )
Kebenaran sejati pada diri manusia sebenar ada pada hatinya karena hati tidak dapat ditipu oleh siapaun dan apapun termasuk diri kita sendiri hati adalah kebenaran sejati (Ary GInanjar Agustian)
Hati Manusia terpancar sifat Asmaul Husna
QS : Al A’ra:7
Melihat manusia yang memiliki nilai – nilai manusia :
Iman (Spiritual) Percayaan akan keberadaan Tuhan (Tauhid)
Akal (Intelegensia) Ativitas Otak Manusia
Rasa (Emotional) Kemampuan untuk memotiavsi diri
Kisah sorang sahabat ingin berzina (larang an berzina QS 17 : 32)
QS. Al Ahzab;21
E. HAKIKAT & TAKDIR MANUSIA
QS. Asy Syams 1 – 5
QS Al Muzamil : 20
QS Yassin 28 – 29
QS Al Zalzalah 7 – 8
Hadis Nabi
“ ini adalah jalan yang lurus sedangkan yang lainnya adalah jalan – jalan yang beragam (Bukhari & Muslim)
Dunia Ini adalah lading akhirat (Hr Bukhari)
Qs 2 : 148
F. INDIVIDU & MASYARAKAT
Film Salahudin Al Ayubi
G. KEADILAN SOSIAL & EKONOMI
H. SAIN ISLAM
1. Proses terjadinya bumi dan teori big bang
2. Gunung sebagai paku bumi QS An Nahl : 15
3. Terjadinya Hujan Qs An. Nur 43, an nahl : 10
4. Baju dari kain sutra & bulu domba An Nahl: 5
EDOMAN BADAN-BADAN KHUSUS HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
PEDOMAN BADAN-BADAN KHUSUS HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
PEDOMAN DASAR KOHATI
MUKADDIMAH
Sesungguhnya Allah SWT, telah mewahyukan Islam sebagai ajaran yang haq dan sempurna untuk mengatur umat manusia agar berkehidupan sesuai fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata kehadirat-Nya.
Di sisi Allah SWT, manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai derajat yang sama, yang membedakan hanyalah ketaqwaannya, yakni sejauh mana ia istiqamah/teguh mengimani dan mengamalkan ajaran-ajaran Ilahi dalam kehidupan sehari-hari.
Nabi Muhammad SAW, sebagai pembawa risalah terakhir juga menekankan posisi strategis kaum perempuan dalam masyarakat sebagaimana sabdanya yang berbunyi : “Perempuan adalah tiang negara, bila kaum perempuannya baik (berahlak karimah) maka negaranya baik dan bila perempuannya rusak (amoral) maka rusaklah negara itu”. Dalam rangka memaknai peran strategis tersebut maka kaum perempuan dituntut untuk menguasai ilmu agama, Iptek serta keterampilan yang tinggi, dengan senantiasa menyadari akan kodrat kemanusiaannya.
Perempuan sebagai salah satu elemen masyarakat harus memainkan peranannya mewujudkan masyarakat berkeadilan. Dan sebagai salah satu strategi perjuangan dalam mewujudkan mission HMI, diperlukan sebuah wadah yang menghimpun segenap potensi HMI dalam wacana keperempuanan untuk melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya, dan untuk mewujudkannya HMI membentuk Korps-HMI-Wati (KOHATI). Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, KOHATI harus berkesinambungan dengan HMI dan penuh kebijaksanaan yang dinafasi keimanan kepada Allah SWT, serta berpedoman pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga HMI.
Untuk menjabarkan operasionalisasi KOHATI tersebut, dibuatlah Pedoman Dasar KOHATI sebagai berikut :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pengertian KOHATI
a. KOHATI adalah singkatan dari Korps-HMI-Wati.
b. KOHATI adalah badan khusus HMI yang bertugas membina, mengembangkan dan meningkatkan potensi HMI-Wati dalam wacana dan dinamika gerakan keperempuanan.
c. KOHATI adalah bidang keperempuanan di HMI setingkat.
Pasal 2
Waktu dan Tempat Kedudukan
1. KOHATI didirikan pada tanggal 2 Jumadil Akhir 1386 H bertepatan dengan tanggal 17 September 1966 M pada Kongers VIII di Solo.
b. KOHATI berkedudukan di tempat kedudukan HMI.
Pasal 3
Tujuan
Terbinanya Muslimah Berkualitas Insan Cita.
Pasal 4
Status
a. KOHATI merupakan salah satu badan khusus HMI.
b. Secara struktural pengurus KOHATI ex officio pimpinan HMI, diwakili oleh Ketua Umum, Sekretaris Umum, Bendahara Umum dan Ketua Bidang.
Pasal 5
Sifat
KOHATI bersifat Semi-Otonom.
Pasal 6
Fungsi
a. KOHATI berfungsi sebagai wadah peningkatan dan pengembangan potensi kader HMI dalam wacana dan dinamika keperempuanan.
b. Di tingkat internal HMI, KOHATI berfungsi sebagai bidang keperempuanan.
c. Di tingkat eksternal HMI, berfungsi sebagai organisasi perempuan.
Pasal 7
Peran
KOHATI berperan sebagai Pencetak dan Pembina Muslimah Sejati untuk menegakkan dan mengembangkan nilai-nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan.
Pasal 8
Keanggotaan
Anggota KOHATI adalah HMI-Wati yang telah lulus Latihan Kader (LK I).
BAB II
STRUKTUR ORGANISASI
A. Struktur Kekuasaan
Pasal 9
Musyawarah KOHATI
a. Musyawarah KOHATI merupakan forum laporan pertanggungjawaban pengurus dan perumusan Program Kerja KOHATI.
b. Musyawarah KOHATI memilih dan menetapkan Formateur/Ketua Umum dan dua (2) orang Mide Formateur.
1. Di tingkat nasional diselenggarakan Musyawarah Nasional KOHATI dalam rangkaian Kongres HMI.
2. Di Tingkat daerah diselenggarakan Musyawarah Daerah KOHATI BADKO dalam rangkaian Musyawarah Daerah BADKO HMI.
3. Di tingkat cabang diselenggarakan Musyawarah KOHATI Cabang dalam rangkaian Konferensi HMI Cabang.
4. Di tingkat KORKOM diselengarakan Musyawarah KOHATI KORKOM dalam rangkaian Musyawarah KORKOM.
5. Ditingkat komisariat diselenggarakan Musyawarah KOHATI Komisariat dalam rangkaian Rapat Anggota Komisariat.
Pasal 10
Peserta Musyawarah
a. Peserta Musyawarah Nasional KOHATI, terdiri dari :
1. Utusan adalah pengurus KOHATI HMI Cabang Penuh.
2. Peninjau adalah Pengurus KOHATI PB HMI, Pengurus KOHATI BADKO HMI, Pengurus KOHATI HMI Cabang Persiapan dan Bidang Keperempuanan.
b. Peserta Musyawarah Daerah KOHATI , terdiri dari :
1. Utusan adalah Pengurus KOHATI HMI Cabang Penuh.
2. Peninjau adalah Pengurus KOHATI BADKO HMI, Pengurus KOHATI HMI Cabang Persiapan dan Bidang Keperempuanan diwilayah koordinasinya.
c. Peserta Musyawarah KOHATI HMI Cabang terdiri dari :
1. Utusan adalah Pengurus KOHATI HMI Komisariat Penuh.
2. Peninjau adalah Pengurus KOHATI HMI Komisariat Persiapan dan Bidang Keperempuanan.
d. Peserta Musyawarah KOHATI KORKOM HMI terdiri dari :
1. Utusan adalah Pengurus KOHATI HMI Komisariat Penuh.
2. Peninjau adalah Pengurus KOHATI KORKOM HMI, Pengurus KOHATI HMI Komisariat Persiapan, dan Bidang Keperempuanan.
e. Peserta Musyawarah KOHATI Komisariat terdiri dari :
1. Utusan adalah Anggota KOHATI HMI Komisariat.
2. Peninjau adalah Pengurus KOHATI Komisariat.
Pasal 11
Instansi Pengambilan Keputusan
a. Setiap keputusan KOHATI dilakukan secara musyawarah dengan tata susunan tingkatan instansi pengambilan keputusannya adalah rapat pleno, rapat harian, rapat presidium.
b. Untuk penyusunan rencana kerja operasional diselenggarakan rapat bidang dan rapat kerja.
B. Struktur Pimpinan
Pasal 12
Pimpinan KOHATI
a. Ditingkat PB HMI dibentuk KOHATI PB HMI.
b. Ditingkat BADKO HMI dibentuk KOHATI BADKO HMI.
c. Ditingkat HMI Cabang dibentuk KOHATI HMI Cabang.
d. Ditingkat KORKOM dibentuk KOHATI KORKOM HMI.
e. Ditingkat Komisariat dibentuk KOHATI Komisariat.
Pasal 13
Pembentukan Pimpinan KOHATI
a. Penetapan Ketua Umum KOHATI ditentukan oleh Musyawarah KOHATI.
b. Bila Ketua Umum KOHATI tidak dapat menjalankan tugasnya dan/atau melakukan pelanggaran terhadap aturan-aturan organisasi maka dapat dipilih Pejabat Ketua Umum oleh Sidang Pleno KOHATI melalui Rapat Pleno KOHATI.
Pasal 14
Personalia Pengurus KOHATI
a. Formateur/Ketua Umum menyusun struktur kepengurusan KOHATI dan dibantu oleh Mide Formateur.
b. Formasi pengurus KOHATI PB HMI, KOHATI BADKO HMI, KOHATI HMI Cabang, KOHATI KORKOM HMI dan KOHATI Komisariat terdiri dari Ketua Umum, Sekretaris Umum, Bendahara Umum, Ketua Bidang dan Departemen-Depatemen, atau sekurang-kurangnya Ketua, Sekretaris dan Bendahara.
c. Struktur Pengurus KOHATI berbentuk garis fungsional.
Pasal 15
Kriteria Pengurus
a. Yang dapat menjadi Ketua Umum/Pengurus KOHATI PB HMI adalah HMI-Wati yang pernah menjadi Pengurus KOHATI Komisariat/Bidang Pemberdayan Perempuan dan/KOHATI KORKOM HMI, KOHATI HMI Cabang dan/atau KOHATI BADKO HMI/KOHATI PB HMI, berprestasi, telah mengikuti LKK dan LK III.
b. Yang dapat menjadi Ketua Umum /Pengurus KOHATI BADKO HMI adalah HMI-Wati yang pernah menjadi Pengurus KOHATI Komisariat/Bidang Pemberdayaan Perempuan dan/KOHATI KORKOM HMI, KOHATI HMI Cabang dan/KOHATI BADKO HMI, berprestasi, yang telah mengikuti LKK dan LK II.
c. Yang dapat menjadi Ketua Umum/Pengurus KOHATI HMI cabang adalah HMI-Wati yang pernah menjadi Pengurus KOHATI Komisariat/Bidang Pemberdayaan Perempuan, KOHATI KORKOM HMI dan/KOHATI HMI Cabang, berprestasi dan telah mengikuti LKK dan LK II.
d. Yang dapat menjadi Ketua Umum/Pengurus KOHATI KORKOM adalah HMI-Wati yang pernah menjadi pengurus KOHATI Komisariat/Bidang Pemberdayaan Perempuan, berprestasi dan telah mengikuti LKK dan LK II.
e. Yang dapat menjadi Ketua Umum/Pengurus KOHATI Komisariat adalah HMI-Wati berprestasi yang telah mengikuti LK I dan LKK.
Pasal 16
Pengesahan dan Pelantikan Pengurus KOHATI
a. Di tingkat PB HMI, KOHATI PB HMI disahkan dan dilantik oleh Ketua Umum PB HMI.
b. Di tingkat BADKO HMI, KOHATI BADKO HMI disahkan dan dilantik oleh Ketua Umum BADKO HMI, KOHATI HMI Cabang, KOHATI KORKOM dan KOHATI Komisariat disahkan dan dilantik oleh Ketua Umum HMI setingkat.
BAB III
WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB
Pasal 17
KOHATI PB HMI
a. KOHATI PB HMI bertanggung jawab kepada MUNAS KOHATI dan menyampaikan laporannya kepada Kongres.
b. KOHATI PB HMI bersifat koordinatif terhadap KOHATI HMI Cabang.
c. KOHATI PB HMI adalah penanggung jawab masalah KOHATI dan wacana serta dinamika gerakan keperempuanan di tingkat nasional.
Pasal 18
KOHATI BADKO HMI
a. KOHATI BADKO HMI adalah unsur perpanjangan tangan KOHATI PB HMI yang mengkoordinir kegiatan-kegiatan KOHATI HMI Cabang di wilayah koordinasinya.
b. KOHATI BADKO HMI bertanggung jawab kepada Musyawarah Daerah KOHATI BADKO HMI dan menyampaikan laporan kepada MUSDA BADKO.
c. KOHATI BADKO HMI menyampaikan laporan informasi keja minimal enam bulan sekali kepada KOHATI PB HMI.
d. KOHATI BADKO HMI adalah penanggung jawab masalah KOHATI dan wacana serta dinamika gerakan keperempuanan di tingkat regional.
Pasal 19
KOHATI HMI Cabang
a. KOHATI HMI Cabang adalah aparat HMI Cabang yang mengkoordinir kegiatan bidang keperempuanan HMI Cabang setempat.
b. KOHATI HMI Cabang bertanggung jawab kepada Musyawarah KOHATI HMI Cabang dan memberikan laporan kepada KONFERCAB.
c. Menyampaikan/mengirimkan lampiran susunan kepengurusan KOHATI HMI Cabang serta rencana program kerja kepada KOHATI PB HMI dengan tembusan KOHATI BADKO HMI.
d. Menyampaikan laporan dan informasi kegiatan minimal 4 bulan sekali kepada KOHATI PB HMI dengan tembusan kepada KOHATI BADKO HMI.
e. KOHATI HMI Cabang bersifat koordinatif kepada KOHATI Komisariat.
f. KOHATI HMI Cabang adalah penanggung jawab terhadap masalah KOHATI dan wacana serta dinamika gerakan perempuan di tingkat cabang.
Pasal 20
KOHATI HMI KORKOM
a. KOHATI HMI KORKOM adalah perpanjangan tangan KOHATI HMI Cabang yang mengkoordinir kegiatan-kegiatan KOHATI HMI Komisariat di wilayah koordinasinya.
b. KOHATI KORKOM bertanggung jawab kepada Musyawarah KOHATI KORKOM dan menyampaikan laporan kepada Musyawarah KORKOM.
c. Menyampaikan /mengirim lampiran susunan kepengurusan KOHATI KORKOM HMI disertai dengan rencana program kerja terhadap KOHATI HMI Cabang.
d. KOHATI HMI KORKOM menyampaikan laporan dan informasi kerja minimal 4 bulan sekali kepada KOHATI HMI Cabang.
Pasal 21
KOHATI HMI Komisariat
a. KOHATI HMI Komisariat adalah aparat HMI Komisariat yang mengkoordinir pembinaan perkaderan serta kegiatan bidang keperempuanan HMI Komisariat.
b. KOHATI HMI Komisariat bertanggung jawab kepada Musyawarah KOHATI Komisariat dan menyampaikan laporan pada Rapat Anggota Komisariat.
c. Menyampaikan/mengirimkan lampiran susunan pengurus disertai dengan rencana program kerja KOHATI HMI Komisariat kepada KOHATI HMI Cabang dengan tembusan kepada KOHATI KORKOM.
d. Menyampaikan informasi kegiatan minimal 4 bulan sekali kepada KOHATI HMI Cabang dengan tembusan kepada KOHATI KORKOM HMI.
BAB IV
ADMINISTRASI DAN KESEKRETARIATAN
Pasal 22
Pedoman Administrasi dan Surat Menyurat KOHATI
a. Administrasi dan surat menyurat KOHATI disesuaikan dengan administrasi dan surat menyurat yang berlaku di HMI.
b. Untuk surat intern (kedalam) dengan kode : Nomor surat/A/Sek/KHI/bulan Hijriah/tahun Hijriah.
c. Untuk surat ekstern (keluar) dengan kode : Nomor surat/B/Sek/KHI/bulan Hijriah/Tahun Hijriah.
d. Khusus surat keluar instansi HMI ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum KOHATI.
Pasal 23
Atribut KOHATI
Yang termasuk dalam atribut KOHATI adalah mars, badge, stempel, kop surat dan busana KOHATI.
BAB V
KEUANGAN
Pasal 24
Keuangan
Sumber dana KOHATI diperoleh dari dana yang halal dan tidak mengikat.
BAB VI
PEMBENTUKAN, PEMBEKUAN DAN PEMBUBARAN KOHATI
Pasal 25
Pembentukan KOHATI
a. Pembentukan KOHATI di tingkat KOHATI PB HMI, BADKO HMI, HMI Cabang, KOHATI KORKOM HMI dan HMI Komisariat diputuskan pada putusan tertinggi HMI setingkat.
b. Status KOHATI HMI Cabang disesuaikan dengan status HMI Cabang.
c. Status KOHATI HMI Komisariat disesuaikan dengan status HMI Komisariat.
Pasal 26
Pembekuan KOHATI
Pembekuan KOHATI di tingkat KOHATI PB HMI, KOHATI BADKO HMI, KOHATI HMI Cabang, KOHATI KORKOM HMI dan KOHATI Komisariat diputuskan pada putusan tertinggi HMI setingkat.
Pasal 27
Pembubaran KOHATI
Pembubaran KOHATI hanya dapat dilakukan oleh Kongres HMI.
BAB VII
KETENTUAN TAMBAHAN
Pasal 28
a. Penjabaran tentang status, sifat, fungsi dan peran KOHATI dirumuskan dalam tafsir tersendiri.
b. Bagan struktur kepengurusan organisasi, tujuan KOHATI dirumuskan tersendiri.
Pasal 29
Hal lain yang menyangkut ketetapan yang tidak tercantum dalam pedoman ini disesuaikan dengan pedoman organisasi HMI dan/atau peraturan PB HMI/KOHATI PB HMI.
ANALISA TUJUAN KOHATI
Tujuan yang jelas diperlukan oleh sebuah organisasi, sehingga setiap usaha yang dilakukan oleh organisasi tersebut dapat dilaksanakan dengan teratur dan terarah. Tujuan organisasi dipengaruhi oleh motivasi dasar pembentukannya, status dan fungsinya dalam totalitas dimana dia berada. Dalam totalitas perkaderan HMI, KOHATI merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dalam mencapai tujuan HMI yaitu terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang di ridhoi Allah SWT.
Sebagai sebuah lembaga, Korps-HMI-Wati (KOHATI) yang ide dasar pembentukannya dilandaskan pada kebutuhan akan pengembangan misi HMI secara luas, serta kebutuhan akan adanya pembinaan untuk HMI-Wati yang lebih inspiratif, memandang penting bahwa kualitas peranan HMI-Wati perlu terus dipacu/ditingkatkan.
Dalam rangka itu KOHATI merumuskan tujuannya sebagai berikut : “Terbinanya Muslimah yang berkualitas Insan Cita”. Dengan rumusan tujuan ini KOHATI memposisikan dirinya sebagai bagian yang ingin mencapai tujuan HMI (mencapai 5 kualitas insan cita) tetapi berspesialisasi pada pembinaan anggota HMI-Wati untuk menjadi muslimah yang berkualitas insan cita.
Sesuai dengan ide dasar pembentukannya, maka proses pembinaan di KOHATI ditujukan untuk peningkatan kualitas dan peranannya dalam wacana keperempuanan. Ini dimaksudkan bahwa aktifitas HMI-Wati tidak saja di KOHATI dan HMI, tetapi juga dalam masyarakat luas, terutama dalam merespon, mengantisipasi berbagai wacana keperempuanan. Dengan demikian, maka jelas bahwa tugas KOHATI adalah melakukan akselerasi pada pencapaian tujuan HMI.
Untuk dapat menjalankan peranannya dengan baik, maka KOHATI harus membekali dirinya dengan meningkatkan kualitasnya sehingga anggota KOHATI memiliki watak dan kepribadian yang teguh, kemampuan intelektual, kemampuan profesional serta kemandirian dalam merespon, mengantisipasi berbagai wacana keperempuanan yang berkembang dalam masyarakat.
Peningkatan kualitas ini, dilakukan KOHATI melalui proses pembinaan yang terencana dan terarah melalui serangkaian aktifitasnya.
SKEMA ANALISIS TUJUAN KOHATI
HMI TUJUAN Pasal 4 AD HMI : Terbinanya insan
1. Akademis
2. Pencipta
3. Pengabdi
4. Bernafaskan Islam
5. Bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
INSAN CITA
HMI-WAN
ANGGOTA
HMI
HMI-WATI
(KOHATI)
SIFAT STATUS FUNGSI & PERAN
Latihan :
o LKK
o Kursus
Kegiatan :
o Pribadi
o Kelompok
TAFSIR STATUS KOHATI
Status sebuah lembaga merupakan pengakuan dan petunjuk tentang eksistensi lembaga tersebut. Lahirnya sebuah status didasarkan pada kebutuhan akan pengembangan organisasi dan mempermudah pencapaian tujuan organisasi. Status juga merupakan petunjuk dimana sebuah lembaga berspesialiasi.
Korps-HMI-Wati (KOHATI) adalah badan khusus HMI yang bergerak dalam wacana dan dinamika gerakan keperempuanan. Rumusan ini menjelaskan bahwa status KOHATI adalah badan khusus HMI dengan spesialisasi membina anggota HMI-Wati untuk menjadi muslimah yang berkualitas insan cita.
Spesialisasi di bidang keperempuanan menunjukkan bahwa perkembangan permasalahan keperempuanan di masyarakat perlu di respon HMI. Respon ini menempatkan kaum perempuan pada posisi periferial dan defensif. Sebagai organisasi kader, HMI bertanggung jawab untuk menciptakan iklim yang kondusif dan harmonis dalam upaya pemberdayaan kaum perempuan, melalui proses perkaderannya. Dalam perkaderan HMI, KOHATI ditempatkan sebagai ujung tombak untuk mengantisipasi dan mempelopori terjawabnya persoalan-persoalan tersebut.
Dalam kerangka tersebut, maka yang menjadi sasaran pemberdayaan KOHATI adalah anggotanya yakni HMI-Wati, dengan diselenggarakannnya berbagai aktivitas maupun pelatihan khusus bagi HMI-Wati. Aktivitas ini tentunya tidak terlepas dari rangkaian aktivitas perkaderan HMI. Adapun wujud dan aktivitas tersebut dibicarakan tersendiri dalam pedoman pembinaan KOHATI.
TAFSIR SIFAT KOHATI
Sifat dalam sebuah organisasi menunjukkan watak atau karateristik. Hal ini mengandung makna bahwa sifat adalah pembeda antar lembaga. Perbedaan ini dimaksudkan sebagai salah satu strategi dan taktik dalam perjuangan sebuah organisasi.
Sebagai badan khusus HMI, KOHATI bersifat semi-otonom. Dengan sifat ini menunjukkan keberadaan KOHATI sebagai sub-sistem dalam perjuangan HMI. Adapun latar belakang munculnya sifat ini, karena pada dasarnya anggota HMI mengakui adanya kesamaan kemampuan dan kesempatan antara anggota, baik laki-laki maupun perempuan. Namun suprastruktur masyarakat kita nampaknya masih menempatkan organisasi sebagai alat yang efektif untuk menyahuti berbagai persoalan dalam upaya pencapaian tujuannya.
Dalam operasionalisasi mekanisme organisasi, sifat semi-otonom ini mengandung arti bahwa KOHATI memiliki keleluasaan dan kewenangan dalam beraktivitas dan berkreativitas di dalam (intern) HMI, terutama dalam pembinaan potensi HMI di dalam wacana keperempuanan dalam mengembangkan kualitas kader HMI-Wati, baik dalam pengembangan wawasan maupun keterampilan yang sesuai dengan konstitusi HMI dan KOHATI yaitu AD dan ART HMI maupun Pedoman Dasar KOHATI serta kebijaksanaan umum HMI lainnya. Adapun dalam melakukan kegiatan yang bersifat luar (ekstern) HMI, KOHATI merupakan perpanjangan tangan HMI di semua tingkatan. Dengan kata lain kehadiran KOHATI pada aktivitas eksternal HMI merupakan pembawa misi perjuangan HMI. Oleh karenanya KOHATI harus senantiasa mengadakan koordinasi dengan HMI.
Hal tersebut secara keseluruhan diekspresikan dalam struktur organisasi HMI, dimana KOHATI diwakili oleh presidium KOHATI yang menjadi bagian dari kepengurusan HMI ditingkatannya. Inilah yang dinamakan pengurus KOHATI ex officio pengurus HMI.
Konsekuensi struktur tersebut, menjadikan keberadaan KOHATI sangat jelas sebagai badan khusus HMI. Karena setiap pengambilan keputusan maupun kebijaksanaan HMI dan KOHATI diputuskan secara bersama dalam mekanisme HMI. Otonomisasi KOHATI di bidang intern hanya pada bentuk aktivitas pengembangan kualits kader HMI-Wati. Oleh karena itu dengan sifat semi-otonom ini, menunjukkan bahwa kebesaran KOHATI memiliki saling ketergantungan pada sejauh mana interaksi, koordinasi dan komunikasi antara seluruh jajaran kepengurusan HMI di semua tingkatan.
Dengan sifatnya ini KOHATI dapat memasuki dan berinteraksi dengan organisasi-organisasi perempuan yang ada baik secara lokal, regional, nasional maupun internasional.
TAFSIR FUNGSI DAN PERAN KOHATI
Korps-HMI-Wati (KOHATI) sebagai badan khusus HMI, mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam mengkoordinir potensi HMI dalam melakukan akselerasi tercapainya tujuan HMI dalam mengembangkan wacana keperempuanan. Adapun fungsi KOHATI adalah sebagai wadah peningkatan dan pengembangan potensi kader HMI di dalam wacana keperempuanan.
Dunia keperempuanan yang menjadi lahan kerja KOHATI adalah sebagai pembinaan anggota HMI, yaitu HMI-Wati. Pembinaan tersebut diarahkan pada pembinaan akhlak, intelektual, ketrampilan, kepemimpinan, keorganisasian, keluarga yang sejahtera serta beberapa kualitas lain yang menjadi kebutuhan anggotanya. Maksud pembinaan tersebut adalah mempersiapkan kader HMI agar mampu berperan secara optimal sebagai pencetak muslimah yang memperjuangkan nilai-nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Oleh karena itu, KOHATI berfungsi sebagai akselerator perkaderan bagi HMI-Wati.
Sebagai wadah tentunya KOHATI hanya merupakan alat pencapaian tujuan HMI. Oleh karenanya keberhasilan KOHATI sangat ditentukan oleh anggotnya, dengan didukung perangkat dan mekanisme organisasi HMI. Oleh karena itu sebagai strategi perjuangan HMI, KOHATI berfungsi sebagai organisasi perempuan. Sebagai fasilitator, KOHATI memiliki perangkat-perangkat pembinaan berupa pedoman dan jaringan informasi. Pemanfaatan perangkat-perangkat tersebut sangat dipengaruhi oleh kualitas aparat pengurusnya.
Atas dasar itu, maka KOHATI mempunyai tanggung jawab moral yang besar dalam menjabarkan dan menyahuti komitmen HMI di bidang keperempuanan. Dalam arti yang luas yaitu menyangkut aspek pengembangan potensi perempuan dalam konteks sosial kemasyarakatan seperti potensi intelektual, potensi kepemimpinan, potensi moral dan potensi lainnya.
Operasionalisasi dan fungsi tersebut diwujudkan dalam dua aspek pembagian kerja KOHATI yaitu :
1. Aspek Internal
Dalam hal ini KOHATI menjadi wadah/media latihan bagi para HMI-Wati untuk membina, mengembangkan dan meningkatkan potensi serta kualitasnya dalam bidang keperempuanan khususnya menyangkut kodrat kemanusiaannya, dan bidang sosial kemasyarakatan umumnya melalui pendidikan, penelitian dan pelatihan serta aktivitas-aktivitas lain dalam kepengurusan HMI.
2. Aspek Eksternal
Dalam hal ini KOHATI merupakan pembawa misi HMI di setiap forum-forum keperempuanan. Kehadiran KOHATI dalam forum itu tentunya semakin mempeluas keberadaan HMI di semua aspek kehidupan. Secara khusus bagi kader HMI-Wati, keterlibatan pada dunia eksternal merupakan pengembangan dari kualitas pengabdian masyarakat yang dimilikinya. Dengan kata lain fungsi KOHATI adalah wadah aktualisasi dan pemacu selutuh potensi perempuan khususnya HMI-Wati, untuk mengejar kesenjangan yang ada serta mendorong HMI-Wati untuk berinteraksi secara optimal dalam setiap aktivitas HMI serta menjadikan ruang gerak HMI dalam masyarakat menjadi lebih luas.
FUNGSI PERSONALIA PENGURUS KOHATI
Masing-masing personalia KOHATI menjalankan tugasnya sebagai berikut :
1. Ketua Umum adalah penganggung jawab dan koordinator umum dalam menjalankan tugas-tugas intern dan ekstern organisasi yang bersifat umum pada tingkat nasional maupun internasional.
2. Ketua Bidang Intern adalah penganggung jawab dan koordinator seluruh pelaksanaan kegiatan dan tugas-tugas intern.
3. Ketua Bidang Ekstern adalah penganggung jawab dan koordinator seluruh pelaksanaan kegiatan dan tugas-tugas ekstern.
4. Sekretaris Umum adalah penanggung jawab dan koordinator kegiatan dalam bidang data dan pustaka, penerangan serta hubungan dengan pihak ekstern di tingkat nasional maupun internasional.
5. Wakil Sekretaris Umum Intern bertugas atas nama Sekretaris Umum untuk kegiatan bidang intern dan membantu ketua bidangnya di tingkat nasional.
6. Wakil Sekretaris Umum Ekstern bertugas atas nama Sekretaris Umum untuk kegiatan bidang ekstern dan membantu ketua bidangnya di tingkat nasional.
7. Bendahara Umum adalah penanggung jawab dan koordinator kegiatan di bidang keuangan dan perlengkapan organisasi di tingkat nasional.
8. Wakil Bendahara Umum bertugas atas nama Bendahara Umum dalam pengadaan peralatan administrasi, keuangan dan perlengkapan organisasi di tingkat nasional.
9. Departemen Pendidikan dan Latihan bertugas sebagai koordinator operasional dari kerja dan proyek-proyek di bidang pendidikan dan pelatihan.
10. Departemen Pengembangan Sumber Daya Perempuan bertugas sebagai koordinator operasional dari kerja dan proyek-proyek di bidang pengembangan sumber daya perempuan.
11. Departemen Informasi dan Komunikasi bertugas sebagai koordinator operasional dari kerja dan proyek-proyek di bidang informasi dan komunikasi.
12. Departemen Hubungan Antar Lembaga bertugas sebagai koordinator operasional dari kerja dan proyek-proyek di bidang hubungan antar lembaga.
13. Departemen Administrasi dan Kesekretariatan bertugas sebagai koordinator operasional dari kerja dan proyek-proyek di bidang administrasi dan kesekretariatan.
MARS KOHATI
Wahai HMI-Wati semua
Sadarlah kewajiban mulia
Pembina, pendidik tunas muda
Tiang negara jaya
Himpunkan kekuatan segera
Jiwai semangat pahlawan
Tuntut ilmu serta amalkan
Untuk kemanusiaan
Jayalah KOHATI
Pengawal panji Islam
Derapkan langkah perjuangan
Kuatkan Iman
Majulah tabah HMI-Wati
Harapan bangsa
Membina masyarakat Islam Indonesia.
LAMBANG KOHATI
Bentuk dan lambang KOHATI sebagai berikut:
1. Makna lambang KOHATI:
a. Bulan bintang, warna hijau, warna hitam, keseimbangan warna hijau dan hitam, warna putih, puncak tiga. Maknanya sebagaimana yang tercantum dalam lambang HMI.
b. Melati berarti lambang kasih sayang yang suci dan tulus.
c. Penyangga berarti lambang perempuan sebagai tiang Negara.
d. Buku terbuka berarti lambang Al-Quran sebagai dasar utama.
e. Tiga kelopak bunga berarti lambang tri darma perguruan tinggi.
f. Tulisan KOHATI berarti singkatan Korps-HMI-Wati.
2. Penggunaan Lambang
a. Lambang KOHATI digunakan untuk badge/lencana KOHATI yang pemakaiannya di baju dengan perbandingan 2:3.
b. Badge KOHATI digunakan pada acara-acara seremonial KOHATI dan acara resmi organisasi di luar KOHATI.
c. Lambang KOHATI tidak dipergunakan sebagai lambang pada kop surat dan stempel KOHATI.
BUSANA/PAKAIAN SERAGAM KOHATI
Penjelasan tentang busana/pakaian KOHATI dan seragam KOHATI adalah sebagai berikut :
1. Untuk memberikan identitas kebersaman sebagai korps dan badan khusus HMI, maka dianggap perlu untuk tetap mempunyai pakaian seragam KOHATI yang dapat dipakai pada acara-acara tertentu KOHATI maupun HMI.
2. Warna dan model pakaian seragam KOHATI terdiri dari :
a. Mengenai warna disesuaikan dengan warna HMI (hijau dan hitam).
b. Mengenai model busana adalah bebas tetapi sopan dan bercirikan busana muslimah.
PLATFORM GERAKAN PEREMPUAN HMI
PENDAHULUAN
Berbicara tentang platform adalah berbicara tentang landasan umum suatu komunitas yang memiliki basis masyarakat dengan banyak agenda. Disamping platform juga berbicara tentang suatu paradigma, yaitu sudut pandang mengenai hendak kemana suatu masyarakat dibawa.
Paradigma dianggap penting bagi suatu gerakan atau organisasi, karena paradigma yang inklusif bisa mempengaruhi aspek gerak maupun aspek pemikiran para pelaku pergerakan. Pilihan terhadap suatu paradigma bisa dilakukan melalui pendekatan ideologis, historis, sosiologis dan konsep hidup yang dimiliki suatu organisasi atau pergerakan.
Akhir-akhir ini masalah keperempuanan kembali menjadi isu sentral dan diskursus yang secara intens dibicarakan. Terbukti dengan banyaknya bermunculan pergerakan-pergerakan dan pembelaan/aksi-aksi yang jelas terhadap berbagai kasus tindak kekerasan yang dialami kaum perempuan, meskipun gerakan itu terkesan agak dinamis dan fluktuatif. Masalahnya adalah komitmen terhadap gerakan itu sendiri seringkali tidak seimbang dengan kemajuan perkembangan zaman.
Kondisi global menggambarkan adanya kesenjangan dan diskriminasi terhadap hak-hak perempuan. Akibatnya kaum perempuan terdistorsi dalam konteks peran dan fungsinya sebagai putri, istri, ibu dan anggota masyarakat. Kurang ditelaah secara komprehensif, perempuan sebagai individu yang memiliki berbagai bentuk hubungan (relasi) dengan individu lainnya, dengan kumpulan individu (masyarakat), maupun sebuah komitmen publik bernama negara. Pola relasi atau hubungan antara perempuan dan dunia sekitarnya, akan menimbulkan serangkaian problem kemanusiaan yang harus dicarikan pemecahannya, dan mau tidak mau pemecahan masalah tersebut menjadi tanggung jawab bersama antara lelaki dan perempuan sebagai manusia, terlebih kaum perempuan sendiri yang harus menjadi subyek dalam proses pencarian dan pembuktian jati diri kemanusiaannya.
KOHATI sebagai bagian intergral dari HMI yang mempunyai peran strategis untuk merespon problem kemasyarakatan, salah satu problem kemasyarakatan itu adalah problem sosial bernama ketidakadilan yang banyak menimpa kaum perempuan karena ketimpangan pola relasi antar individu di dalam masyarakat. Dengan demikian persoalan keperempuanan yang merupakan masalah sosial, harus mendapatkan perhatian serius dari HMI untuk merealisasikan cita-citanya “Mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT”.
Dalam upaya menjawab tantangan itu, KOHATI membentuk dasar kebijakan yang terformulasi secara integral dan komprehensif, sehingga gerakan yang dilakukan dapat mengenai sasaran yang tepat.
Arahan yang jelas dalam pergerakan perempuan itu adalah pengentalan ideologi gerakan perempuan (hegemoni ideologi) sebagai salah satu cara mewujudkan masyarakat adil, demokratis, egaliter dan beradab sebagai prototipe masyarakat madani (civil society). Konsekuensinya, kaum perempuan dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta ketrampilan yang mendukung, artinya kaum perempuan harus memiliki keseimbangan dalam kemandirian intelektual serta ketegasan dalam bersikap dengan landasan berpijak yang jelas.
Beberapa pemaparan di bawah ini merupakan sistematisasi yang dibuat oleh KOHATI dalam memainkan peran strategisnya pada pergerakan perempuan dengan tetap berpijak pada spirit nilai Islam yang terformulasi pada misi HMI.
TUJUAN/MISI GERAKAN
Terbinanya perempuan muslimah berkualitas insan cita.
TARGET
Meningkatkan aksi dan partisipasi yang proaktif dalam merespon permasalahan perempuan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya menuju terciptanya masyarakat adil makmur.
SASARAN
1. HMI-Wati dan HMI-Wan.
2. Komunitas intelektual/agamawan.
3. Masyarakat umum.
ISU UTAMA/MAIN ISSUE
Isu utama (Main Issue) yang hendak ditawarkan sebagai wacana gerakan perempuan HMI (GP HMI) adalah :
1. Ke-Islaman.
2. Kesejahteraan.
3. Pemberdayaan/Empowerment.
4. Egalitarianisme dan demokrasi.
5. Etika/moralitas masyarakat (public morality).
Dengan turunan wacana dan spesifikasi gerak sebagai berikut :
1. KE-ISLAMAN
a. Meretas pemahaman agama yang misoginis terhadap perempuan.
Terdapat banyak ayat-ayat, sunnah rasul, yang menjadi pemahaman misoginis dalam masyarakat. Perlunya mengkaji ulang fiqih perempuan yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi umat saat ini.
b. Adanya gerakan pemahaman keperempuanan yang mengatasnamakan Islam namun justru keluar jalur Al-Quran sebagai hukum Islam. Contoh kasus yang pernah terjadi adalah Aminah Wadud yang menjadi imam shalat Jumat. Gerakan ini harus disikapi oleh KOHATI sebagai organisasi mahasiswa yang bertanggung jawab sebagai insan intelektual untuk mengabdi ke masyarakat untuk menghadang pemahaman-pemahaman yang merusak umat Islam.
2. KESEJAHTERAAN
a. Penanganan lost Generation (rendahnya kualitas hidup masyarakat).
Adanya lost generation dimana ibu-ibu hamil dan menyusui, serta anak yang tidak mendapat proporsi gizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak, maka seyogyanya Gerakan Perempuan HMI menyikapi masalah ini dengan tindakan nyata, bekerjasama dengan instansi pemerintah, Ormas, LSM dan lain-lain. Kampanye publik seperti gerakan sayang ibu, kesehatan reproduksi, hak-hak reproduksi perempuan dengan pendekatan ke-Islaman, kampanye hak anak.
b. Pembuatan kegiatan yang bernilai produktif.
Untuk meminimalisir budaya ketergantungan terhadap alumni, perlu kiranya Gerakan Perempuan HMI membangun kerjasama positif dengan institusi atau personel terkait. Selain dengan tujuan mengupayakan kemandirian organisasi, hal ini juga berimplikasi positif pada kemandirian individu anggota di bidang ekonomi (income generating).
3. PEMBERDAYAAN (EMPOWERMENT)
a. Pemberdayaan perempuan dalam menghapuskannya dari ketergantungan psikis, ekonomis maupun politis.
b. Pemberdayaan perempuan di bidang politik. Membangun partisipasi politik dan meningkatkan posisi tawar (burgaining posititon) perempuan dalam politik, baik aktif maupun pasif.
c. Memberdayakan perempuan untuk mampu mengadvokasi terhadap pelanggaran hak asasi perempuan khususnya dan masyarakat pada umumnya.
4. EGALITARIANISME DAN DEMOKRASI
a. Pressure secara aktif terhadap produk hukum yang diskriminatif terhadap perempuan.
b. Mendobrak tirani budaya diskriminatif pendidikan bagi perempuan, baik formal maupun non-formal.
c. Merekonstruksi ajaran teologis yang adosentris (terpusat pada penafsiran yang dibuat ulama laki-laki dan cenderung bias kepentingan laki-laki).
5. ETIKA / MORALITAS MASYARAKAT (PUBLIC MORALITY)
a. Mewujudkan iklim yang kondusif bagi partisipasi aktif perempuan dalam proses politik dan ketatanegaraan.
b. Penempatan strategi religius dalam penanganan penyakit sosial di masyarakat.
c. Menumbuhkan jiwa kompetisi bagi perempuan secara profesional dengan tetap memegang asas meritokrasi (kesamaan memperoleh kesempatan).
Karena konsep yang matang tanpa metode yang efektif dan efisien menjadi tidak ada artinya, maka platform gerakan perempuan HMI ini dibuat sampai pada gambaran operasionalnya.
LANDASAN GERAKAN
1. LANDASAN FILOSOFIS
Perempuan berasal dari kata per-empu-an yang artinya “ahli/mampu”, jadi perempuan merupakan seorang yang mampu melakukan sesuatu. Wanita berasal dari kata berbahasa Jawa “wani ditata” yang artinya “orang yang bisa diatur”. Selain itu, dalam bahasa Sanskerta kata wanita berasal dari kata “wan” dan “ita” yang berarti “yang dinafsui”
Kata perempuan lebih dipilih untuk digunakan karena mengandung konotasi yang lebih pisitif (amelioratif). Sedangkan kata wanita cenderung tidak digunakan disini karena cenderung berkonotasi negatif (pejoratif) dan lebih diposisikan sebagai objek.
Gender yaitu perbedaan yang dilekatkan pada perempuan dan laki-laki yang berkaitan dengan soal sifat, nilai maupun norma yang merupakan konstruksi sosial (bentukan masyarakat), bisa berubah, berbeda bentuk dan jenisnya dari ruang dan waktu, bisa dipertukarkan.
Kodrat adalah sesuatu yang diberikan kepada manusia sebagai pemberian dari Tuhan, bersifat alami dan lebih menyangkut soal kenyataan fisik dan tidak dapat dipertukarkan. Seperti laki-laki punya penis, jakun testis dan sperma serta berpotensi untuk membuahi lawan jenisnya, atau perempuan punya vagina, payudara, kelenjar menyusui dan rahim serta dapat mengalami menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Kodrat ini tidak mungkin untuk diubah dan dipertukarkan antara perempuan dengan laki-laki. Kalaupun dapat diubah dan dipertukarkan antara perempuan dan laki-laki, maka tidak dapat berfungsi dan menjalankan peran fisik seperti yang diberikan oleh Tuhan.
2. LANDASAN TEOLOGIS
a. Hakikat Penciptaaan
o Jin dan Manusia diciptakan Allah untuk menyembah kepada-Nya.
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adz Dzariat : 56)
o Manusia diciptakan oleh Allah dimuka bumi sebagai khalifah-Nya.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah dimuka bumi”. Mereka berkata, “Mengapa engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiaa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”. Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al Baqarah : 30)
o Manusia diciptakan dari substansi yang sama untuk berkembang biak dan saling tolong menolong serta menjaga hubungan silaturrahmi.
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-Mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah dengan (mempergunakan) nama-Nya, kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An-Nisa : 1)
o Kesetaraan kedudukan manusia, baik perempuan maupun laki-laki sebagai manusia di hadapan Tuhan.
Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu semua berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat : 13)
o Kesetaraan penilaian terhadap makna kerja (amal saleh) laki-laki dan perempuan.
Dan barangsiapa mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan sedangkan ia orang yang beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak akan dianiaya walaupun sedikit. (QS. An-Nisaa : 124)
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah. Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al Ahzab : 35-36)
Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebahagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah menjanjikan kepada orang-orang mu’min laki-laki dan perempuan (akan) mendapat surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal didalamnya dan (mendapat) tempat yang bagus di surga ‘and. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar, itu adalah keuntungan besar. (QS. At Taubah : 71-72)
b. Issu Regenerasi dan Penjagaan Moralitas
o Laki-laki dan perempuan secara sunnatullah diciptakan untuk hidup saling berpasangan.
Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan pasangan hidup dari jenismu sendiri seupaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara kamu kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar Ruum: 21)
o Pembunuhan anak/aborsi merupakan suatu perbuatan yang secara prinsip tidak dikehendaki oleh Allah.
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu agar kamu memahaminya. (QS Al An’am : 151)
Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah ia dibunuh. (QS. At-Takwir : 8-9)
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rizki dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (QS. Al-Isra : 31)
o Menguji keimanan dengan perbuatan baik dan penjagaan moralitas akan memberikan keuntungan jangka panjang.
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan yang tidak berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap pasangan dan hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya dalam hal ini mereka tiada tercela. (QS. Al-Mu’minun : 1-6)
o Manusia memiliki potensi untuk menyucikan jiwa atau mengotorinya.
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptan-Nya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya. (QS. Asy Syam : 7-10)
c. Nilai Strategis Perempuan dalam Masyarakat
Ungkapan Nabi yang menyatakan bahwa perempuan menempati posisi strategis dalam masyarakat sebagai tiang negara.
Perempuan adalah tiang negara, apabila baik perempuannya maka akan baik pula negaranya dan apabila rusak perempuannya maka rusak pula negaranya. (HR. Bukhari)
3. LANDASAN HISTORIS
Gerakan perempuan, atau yang lebih populer dikenal masyarakat dengan istilah feminisme, dapat didefenisikan sebagai suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan di tempat kerja dan dalam masyarakat, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Secara formal, feminisme sebagai sebuah ideologi muncul di Barat pada abad ke-18, namun bukan berarti perspektif feminis (wawasan keperempuanan) tidak pernah muncul di belahan bumi lain.
Munculnya tokoh gerakan perempuan pribumi seperti Kartini, merupakan sebuah kesadaran akan realitas kondisi patriarkhis dalam masyarakat Indonesia. Kesadaran formal ini mengalami sebuah pergeseran menjadi bersifat kolektif sejak kecenderungan yang bersifat massif pada tahun 1920-an yang ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi gerakan perempuan seperti Pikat, Putri Mardika, Aisyiyah dan sebagainya yang menjadi cikal bakal diselenggarakannya Kongres Perempoean I tahun 1928 di Yogyakarta.
Gerakan perempuan tersebut sebenarnya muncul atas dorongan perasaan ketidakpuasan pribadi terhadap hubungan-hubungan yang bersifat patriarkhi yang didukung oleh undang-undang, sehingga hal ini menjadi suatu isu politik. Hal ini tercermin dari slogan feminis “yang pribadi adalah politis” (personal is political) yang berarti bahwa pengalaman pribadi tentang perlakuan ketidakadilan yang dialami seorang perempuan dalam kehidupan pribadi dan keluarganya dapat juga dialami oleh seorang perempuan lain dalam sistem sosial, budaya agama dan politik yang sama.
Spirit gerakan perempuan juga muncul pada konteks historis kehadiran Islam. Praktik-praktik penguburan bayi perempuan pada masa Arab Jahiliyah, keberadaan harem-harem milik para penguasa yang mengeksploitasi seksualitas budak-budak perempuan, minimnya pengetahuan perempuan terhadap berbagai masalah sosial budaya sehari-hari maupun pemahaman keagamaan merupakan realitas ketimpangan gender yang ingin dihapuskan oleh Islam melalui misi kerasulan Muhammad. Perintah untuk memberikan hak hidup, jaminan sosial, ekonomi dan keamanan bagi perempuan, perintah untuk berlajar bagi lelaki dan perempuan muslim sebagai realisasi hak mendapatkan pendidikan yang layak, serta perintah iqra yang berarti membaca sejarah masa lalu yang dapat dijadikan pelajaran hidup, merupakan upaya nyata Islam untuk menghapuskan ketidakadilan gender ini.
Berbagai hal tadi mendorong HMI untuk senantiasa berkomitmen pada jati dirinya sebagai “mahasiswa” dan “muslim” untuk memainkan peran stategisnya sebagai alat perjuangan umat dan bangsa. Realitas internal kebutuhan kader untuk membina dan menempa diri melalui proses-proses kolektif organisasi dan maraknya tantangan eksternal yang bersifat idiologis “berseberangan” dengan misi HMI maupun keinginan untuk menjadi misi tersebut lebih “membumi” maka diperlukan upaya untuk secara serius me-manage organisasi. Upaya HMI untuk bersentuhan langsung pada gerakan perempuan membawa konsekuensi logis masuknya HMI ke kancah perjuangan gerakan perempuan, baik bersifat formal maupun informal. Sebagai langkah taktis untuk masuk ke wilayah perempuan itu, akan lebih efektif bila HMI memiliki kelompok kepentingan (interest group) yang dapat diperhitungkan sebagai bagian langsung landasan gerakan perempuan.
Ada dua alasan utama waktu itu yang membuat KOHATI didirikan, yaitu :
1. Secara Internal, departemen keputrian yang ada waktu itu sudah tidak mampu lagi menampung aspirasi para kader HMI-Wati, disamping basic-needs anggota tentang berbagai persoalan keperempuanan kurang bisa difasilitasi oleh HMI. Dengan hadirnya sebuah institusi yang secara spesifik menampung aspirasi HMI-Wati, diharapkan secara internal, HMI-Wati dapat memiliki keleluasaan untuk mengatur diri mereka sendiri dan lebih memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan organisasi yang muncul dari basic-needs anggotanya sendiri (HMI-Wati).
2. Secara eksternal, HMI mengalami tantangan yang cukup pelik dikaitkan dengan hadirnya “lawan ideologisnya” HMI yaitu komunisme yang masuk melalui pintu gerakan perempuan (gerwani). Selain itu maraknya pergerakan keperempuanan yang ditandai dengan munculnya organisasi perempuan dengan berbagai variasi bentuk ideologi, pilihan isu, maupun strategi gerakannya membuat HMI harus “merapatkan barisannya” dengan cara terlibat aktif dalam kancah gerakan perempuan berbasis organisasi perempuan.
Atas pertimbangan itulah, pada tanggal 17 september 1966 M bertetapatan dengan 2 Jumadil Akhir 1386 H pada Kongres VII di Surakarta, KOHATI didirikan. Terpilih sebagai Ketua Umum KOHATI pertama pada waktu itu, Saudari Anniswati Rochlan (sekarang dikenal dengan Anniswati M. Kamaluddin).
4. LANDASAN ORGANISASI
KOHATI merupakan badan khusus HMI yang bertugas untuk mengembangkan wacana keperempuanan. Dia bersifat semi-otonom dan memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai wadah peningkatan dan pengembangan potensi kader HMI-Wati dalam mengembangkan wacana keperempuanan, di tingkat internal HMI berfungsi sebagai bidang keperempuanan, dan di tingkat eksternal HMI menjalankan fungsi sebagai organisasi perempuan.
KOHATI memiliki peran sesuai dengan keberadaan HMI sebagai organisasi perjuangan, yaitu pencetak muslimah sejati dalam menegakkan nilai-nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. KOHATI sebagai badan khusus HMI menunjukkan bahwa isu keperempuanan adalah isu spesifik yang juga harus digarap secara serius oleh HMI. Melalui institusi/lembaga yang bersifat semi-otonom menunjukkan bahwa ia adalah sub-sistem perjuangan HMI.
Dengan sifat semi-otonomnya, berarti KOHATI memiliki keleluasaan dan kewenangan untuk beraktivitas, berkreativitas dan mengatur dirinya sendiri dalam lingkup intern HMI, terutama yang berkaitan dengan pengayaan kader di bidang wacana keperempuanan dan sekaligus sebagai wahana pemberdayaan kader HMI-Wati dalam meningkatkan intelektualitas dan profesionalitasnya. Sedangkan di lingkup eksternal HMI, KOHATI menjadi pembawa misi HMI di dalam komunitas gerakan perempuan. Oleh karena itu KOHATI harus selalu mengadakan koordinasi dengan HMI demi sinergitas perjuangan organisasi.
5. LANDASAN KONSTITUSIONAL
• Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Himpunan Mahasiswa Islam (Pasal 15 AD dan Pasal 51, 52, 53 ART HMI).
• Pedoman Dasar KOHATI.
6. LANDASAN OPERASIONAL
Dalam lingkup melakukan aktivitas sehari-hari, baik dalam konteks pembinaan kader di lingkup intern HMI maupun dalam konteks perjuangan di lini gerakan perempuan di lingkup ekstern HMI, ada beberapa prinsip-prinsip (kode etik) yang harus dipegang dalam menjalankan aktivitas. Berbagai prinsip atau kode etik tersebut adalah :
1. Ta’aruf / pengenalan (Introducing).
Pendekatan ini dimaksudkan agar terjadi suasana saling mengenal dan keakraban diantara sesama anggota dengan pengurus, antara sesama pengurus dalam keseharian aktivitas organisasi maupun antara sesama peserta, antara peserta dengan pemandu latihan (master of training) maupun para pendidik (instruktur) ketika pelatihan dilangsungkan. Saling mengenal ini adalah upaya membangun kepercayaan (trust building) diantara seluruh elemen kader, dengan memperkenalkan diri dan berbagai informasi mengenai berbagai latar belakang kader seperti pendidikan, keluarga, sosial budaya, adat istiadat, suku serta lingkungan dimana kader tumbuh dan dibesarkan. Dengan menerapkan prinsip ini diharapkan muncul solidaritas (ukhuwah) diantara sesamanya berdasarkan kecintaan kepada Allah SWT.
2. Tafahum/saling bersefaham (mutual untderstanding).
Pendekatan ini dimaksudkan agar sesama anggota, antara anggota dengan pengurus, antara sesama pengurus dalam keseharian aktivitas organisasi maupun antara sesama peserta, antara peserta dengan pemandu latihan (master of training) maupun para pendidik (instruktur) ketika pelatihan dilangsungkan, dapat saling memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing dengan berusaha memulai dari diri sendiri untuk bersikap instropektif dari kekurangan, kesalahan atau kekhilafan masing-masing, di samping upaya menumbuhkan suasana saling mengingatkan.
3. Ta’awum/saling tolong-menolong (mutual assistence).
Pendekatan ini dimaksudkan agar sesama anggota, antara anggota dengan pengurus, antara sesama pengurus dalam keseharian aktivitas organisasi maupun antara sesama peserta, antara peserta dengan pemandu (master of training) maupun para pendidik (instruktur) ketika pelatihan dilangsungkan dapat terjalin sikap saling tolong-menolong dalam hal kebaikan dan kebenaran.
4. Takaful/saling berkesinambungan (sustainable).
Pendekatan ini dimaksudkan agar terjalin kesinambungan rasa dan rasio (intuisi) serta kesamaan ide atau pemikiran kedalam hubungan yang dialogis dan harmonis disamping terciptanya suasana yang kondusif. Pendekatan ini dimaksudkan agar sesama anggota, antara anggota dengan pengurus, antara sesama pengurus dalam keseharian aktivitas organisasi maupun antara sesama peserta, antara peserta dengan pemandu latihan (master of training) maupun para pendidik (instruktur) ketika pelatihan dilangsungkan.
Untuk mempermudah pelaksanaan konsep mengenai platform gerakan perempuan ini maka disusunlah suatu pelaksanaan aktivitas yang berspesifikasi pada berbagai penyelenggaraan pelatihan maupun berbagai bentuk pembinaan kader yang dibawa dalam sebuah rangkaian dokumen tersendiri yang berisi tentang Pola Pembinaan KOHATI.
POLA PEMBINAAN KOHATI
I. PENDAHULUAN
A. Landasan struktural
B. Landasan sosiologis
II. ARAH PEMBINAAN KOHATI
A. Pasal 4 AD HMI
B. Pasal 3 PDK
III. POLA DASAR PEMBINAAN KOHATI
A. Kualifikasi kader HMI-Wati
1. Watak dan Kepribadian Muslimah.
2. Kemampuan Intelektual.
3. Kemampuan Profesional.
4. Kemandirian.
B. Dasar-dasar pembentukan
o Partisipasi Individu
o Kelompok pembinaan
o Pengabdian KOHATI
PEDOMAN PEMBINAAN KOHATI
1. PENDAHULUAN
Perkembangan bangsa Indonesia yang mengarah ke arah industrialisasi, dalam skala makro memperlihatkan fenomena-fenomena kesenjangan sosial bagi pembangunan bangsa Indonesia. Banyak gejolak yang berkembang merupakan refleksi dari pergumulan masyarakat untuk mencapai cita-cita keadilan dan kemakmuran seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Namun kondisi objektif yang ada menimbulkan spektrum kesadaran bagi masyarakat untuk melaksanakan realisasi dari cita-cita luhur tersebut. Hal ini timbul karena ketidakmerataan wawasan berfikir dikalangan masyarakat, baik akibat adanya sistem yang kurang memberikan kebebasan mengartikulasikan cita-cita luhur itu, maupun adanya persepsi yang membedakan antara potensi laki-laki dan perempuan dalam mengejar cita-cita tersebut.
Bila hal tersebut dibiarkan berlarut, akan menyebabkan terciptanya kondisi yang cenderung negatif, yang dapat menyebabkan kita semakin menjauh dari cita-cita luhur itu, bahkan mungkin dapat merusak makna keadilan itu sendiri. Oleh sebab itu kita perlu mengambil langkah-langkah kongkrit untuk membebaskan kita dari belenggu sistem serta kesenjangan di atas, tanggung jawab untuk merumuskan kebebasan bagi masyarakat sesuai dengan nuansa berfikirnya, pengalaman serta kondisi objektif yang mengitarinya, dengan tetap berpijak kepada UUD 1945 dan Pancasila, juga memberikan penyadaran yang bersifat essensif bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan, dengan mempercayai bahwa perempuan mempunyai potensi yang sangat besar serta mempunyai andil optimal untuk menciptakan persepsi baru dalam merealisasikan eksistensi lajunya perkembangan pembangunan bangsa Indonesia, sesuai dengan cita-cita keadilan tesebut, yang dilandasi tanggung jawab untuk menghadapi kemajuan era industri, teknologi dan budaya. Maka bila hal itu tercapai, perempuan Indonesia bukan hanya menjadi ujung tombak yang ofensif dalam mengantisipasi serta memajukan bangsa Indonesia.
Secara struktural organisatoris, KOHATI merupakan sub-sistem dalam organisasi HMI. KOHATI merupakan suatu kekuatan yang mengemban tanggung jawab dalam mekanisme, mobilitas dan kontinuitas kehidupan organisasi. KOHATI merupakan salah satu penentu bagi tercapainya perwujudan INSAN CITA HMI.
Dalam pandangan sosiologis, KOHATI merupakan infrastruktur yang memiliki makna strategis dalam masyarakat, yakni sebagai “Komunitas Kaum Muslimah” yang memiliki karateristik keilmuan, karena anggotanya adalah mahasiswa.
Oleh karena itu KOHATI dituntut untuk mengadakan pembinaan bagi kader-kader HMI khususnya HMI-Wati. Pembinaan dimaksudkan untuk menciptakan forum atau lingkaran yang mendorong kepada peningkatan dan pengembangan kualitas kader HMI dan secara khusus membantu kader HMI dalam mencapai tujuannya.
KOHATI sebagai bagian integral dari HMI merupakan kelompok muda cendikia yang mempunyai tanggung jawab kekaderan dan menjadi pewaris yang sah untuk memanifestasikan. Hal tersebut tentu harus dijawab dalam bentuk kesiapan. Namun KOHATI sesuai dengan fungsinya dalam HMI, yaitu membina, mengembangkan serta menghasilkan potensi HMI-Wati sehingga terbentuk kader yang memiliki pola pikir yang integral dan utuh, mempunyai tugas utama mengembangkan serta meningkatkan pembentukan kader HMI dibidang keperempuanan. Dalam rangka kualitas anggotanya maka perlu dilakukan pembinaan yang terarah terpadu dan berkesinambungan, oleh karena itu dibutuhkan pedoman pelatihan sebagai rujukan atau acuan dalam rangka pembinaan yang dimaksud diatas. Secara legal Latihan Khusus KOHATI merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan HMI, khususnya dalam peningkatan peranan perempuan, sehingga mempunyai pemahaman serta kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai seorang muslimah yang berkualitas insane cita.
2. ARAH PEMBINAAN KOHATI
Arah dimaksudkan sebagai guidance/petunjuk hendak kemana pembinaan KOHATI ditujukan. Pada dasarnya seluruh proses perkaderan yang dilaksanakan HMI sebagaimana termaktub dalam pasal 4 AD HMI beserta tafsir penjelasannya.
Arah juga dimaksudkan sebagai patokan untuk melakukan usaha sistematis dalam pencapaian tujuan. Sebagai badan khusus HMI sesuai dengan fungsinya, maka KOHATI secara spesifik mempunyai tugas pembinaan terhadap anggota HMI-Wati.
Sebagai bagian integral dari HMI, maka jelas pembinaan KOHATI juga diarahkan pada pencapaian tujuan HMI. Dalam penjelasan tujuan HMI diuraikan mengenai kualifikasi kader yang diharapkan HMI, maka pembinaan KOHATI juga diarahkan pada akselerasi proses tersebut. Akselerasi ini juga menjadi perhatian tersendiri oleh karena adanya kondisi sosio-kultural yang masih memperlakukan perempuan sebagai objek pembangunan, maka pembinaan KOHATI diarahkan pada peningkatan kesadaran dan kepeloporan HMI-Wati dalam mengantisipasi persoalan-persoalan kemasyarakatan.
3. POLA DASAR PEMBINAAN KOHATI
Sebagai bagian integral HMI, KOHATI dalam menjalankan fungsinya harus senantiasa selaras dan serasi dengan perkaderan HMI. Pola dasar perkaderan HMI secara khusus telah membahas rekruitmen kader, pembentukan kader dan pengabdian kader. Dalam pola dasar tersebut KOHATI ditempatkan sebagai salah satu wadah pembentukan kader.
Namun demikian untuk lebih memberikan arah yang jelas bagi KOHATI sebagai badan khusus dalam totalitas perkaderan HMI, diperlukan pula kesamaan pembinaan KOHATI secara Nasional. Pola pembinaan ini memuat spesifikasi yang harus dimiliki HMI-Wati, dasar-dasar pembentukan serta pengabdian KOHATI.
a. Kualifikasi Kader HMI-Wati
Sebagai kader HMI, anggota KOHATI harus memiliki kualifikasi Insan Cita HMI dengan seluruh turunannya. Namun secara khusus, anggota KOHATI harus memiliki kualifikasi sebagai berikut :
1. Watak dan kepribadian seorang perempuan sadar dan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam yang tercermin dalam sikap, pola pikir dan perilaku kehidupannya sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat dan yang sadar akan kodrat kemanusiannya yang tercermin dalam pandangan jauh ke depan terhadap pentingnya kelanjutan lahirnya generasi penerus yang berkualitas. Secara alamiah hal ini akan mampu diatasi oleh setiap manusia, namun sebagai insan akademis, tinjauan ilmiah terhadap persoalan-persoalan keperempuanan sangat dibutuhkan terutama jika dikaitkan dengan aspek fisiologis dan psikis perempuan.
2. Kemampuan Intelektual, sebagai HMI-Wati harus memiliki pengetahuan (knowledge) kecerdasan (intelectuality) dan kebijaksanaan (wisdom).
3. Kemampuan profesional yaitu mampu menerjemahkan ide-ide dan pemikirannya dalam praktik kehidupan sehari-hari dalam rangka aktualisasi diri. Hal ini ditunjukkan lebih jauh dalam kemampuan keterampilan baik teknis maupun non-teknis, terutama kemampuan kepemimpinan.
4. Kemandirian, salah satu penyebab tersosialisasikannya kondisi sosial budaya yang merendahkan wanita adalah ketergantungan perempuan yang sangat tinggi. Perempuan seringkali tidak percaya akan kemampuannya dalam melakukan sesuatu. Untuk satu pekerjaan yang sama, seringkali jika dikerjakan bersamaan dengan laki-laki, perempuan sudah mengalah terlebih dulu, daya bersaingnya lemah. Oleh karena itu HMI-Wati harus memiliki rasa percaya diri yang tinggi tentunya dengan diimbangi kemampuan intelektual serta ketahanan mental. Rasa percaya diri bukan berarti meniadakan sama sekali kerjasama dengan yang lain.
b. Dasar-dasar Pembentukan
Dasar-dasar pembentukan merupakan sekumpulan aktivitas pembinaan yang terintegrasi dalam upaya mencapai tujuan HMI umumnya dan tujuan KOHATI khususnya. Sebagai kader HMI, HMI-Wati harus mengikuti seluruh rangkaian perkaderan, baik yang bersifat formal yaitu LK I, LK II dan LK III, maupun yang bersifat pengembangan.
Salah satu aktifitas pengembangan HMI yaitu pembinaan melalui wadah KOHATI. Melalui wadah ini HMI-Wati khususnya melaksanakan pengembangan individual maupun pengembangan kelompok. Pengembangan individual dilakukan dengan berpartisipasi pada berbagai aktivitas eksternal, tentunya dengan senantiasa membawa misi HMI. Di samping itu pengembangan individual dapat dikembangkan pada aneka macam aktivitas internal organisasi.
Adapun pengembangan secara kelompok dilaksanakan dengan satu upaya yang terencana, teratur, sistematis dan berkesinambungan. Pengembangan ini menekankan terbentuknya kemampuan kepemimpinan kader HMI-Wati. Dalam pengembangan kelompok ini KOHATI mengadakan training formal, yaitu LATIHAN KHUSUS KOHATI (LKK). Latihan ini berfungsi memberikan kemampuan tertentu bagi kader HMI-Wati dalam bidang keperempuanan yang luas, baik dalam pembentukan watak kepribadian, pengembangan wawasan keperempuanan maupun dalam peningkatan ktrampilan teknis.
Di samping itu, pengembangan kelompok diwujudkan pula dengan keterlibatan HMI-Wati dalam struktur kepengurusan. Hal ini memberikan kelebihan kepada HMI-Wati dalam masalah manajemen. Keterlibatan HMI-Wati dalam struktur kepengurusan akan memperkokoh sikap mental, menumbuhkan rasa percaya diri serta kemampuan memperluas jaringan informasi.
c. Pengabdian KOHATI
Pengabdian KOHATI merupakan penjabaran dari peran KOHATI sebagai pencetak muslimah sejati dalam menegakkan dan mengembangkan nilai-nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, sebagai mana terurai dalam tafsir peran KOHATI pada Pedoman Dasar KOHATI. Adapun jalur pengabdian KOHATI harus searah dengan pengabdian HMI. Namun secara individual dapat disalurkan melaui jalur-jalur pengabdian di seluruh aspek kehidupan, terutama dalam keluarga.
SKEMA POLA DASAR PEMBINAAN KOHATI
4. BENTUK-BENTUK PEMBINAAN KOHATI
Korps-HMI-Wati (KOHATI) sebagai wadah perkaderan, membina kader HMI-Wati untuk memiliki kualifikasi kader seperti dikemukakan di atas melalui proses pembinaan, antara lain :
o Training-training seperti : LKK, Up-Grading kepengurusan KOHATI serta kursus-kursus.
o Aktivitas-aktivitas baik secara individual maupun kelompok.
1. Model Training dan Pelatihan
Model Non-Formal : Latihan Khusus KOHATI
Model Non-formal (Non LKK) :
a. Latihan Kader Sensitif Gender (LKSG).
b. Publik Relation.
c. Studi Islam Intensif.
d. Advokasi Perempuan.
e. Pelatihan Kewirausahaan.
f. Up Grading Kepengurusan.
Secara legal Latihan Khusus KOHATI merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan HMI, khususnya dalam peningkatan peranan perempuan, yang memiliki kualifikasi seorang perempuan yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dan menerapkannya sebagai pola pikir, sikap dan perilakunya sehari-hari, intelektual, profesional dan mandiri.
Latihan Khusus KOHATI (LKK) ini dimaksudkan sebagai langkah awal membangun kesadaran maupun membuka wawasan kader HMI-Wati untuk keluar dari jebakan persepsi masyarakat tentang adanya realitas ketidakadilan gender, serta menemukan pemahaman akan jati diri kemanusiaannya dalam konteks idealisasi yang ingin dibangun oleh HMI.
Sedangkan training Non-formal dilakukan oleh KOHATI dapat diikuti oleh seluruh kader HMI, baik HMI-Wan maupun HMI-Wati untuk mendapatkan pengayaan wawasan tentang berbagai persoalan perempuan serta upaya teknis yang dapat dilakukan untuk menanggulanginya.
2. Petunjuk Pelaksanaan Training/Latihan
Dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan yang berupa training, beberapa komponen yang wajib ada dalam sebuah pelatihan adalah :
a. Organisasi Latihan Khusus KOHATI
1. Manajemen Latihan.
Latian Khusus KOHATI (LKK) dilaksanakan sesuai dengan sistem perkaderan HMI yang berorientasi pada usaha menjawab kebutuhan. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya haruslah didasarkan pada sistem perencanaan yang baik, pengorganisasian, serta evaluasi sesuai dengan petunjuk yang ada/ sistem POAC (planning, Organizing, Actuating, Controlling).
Dalam pelaksanaan LKK juga harus dibangun iklim keterbukaan yang ditekankan pada informasi dan komunikasi yang harmonis, baik antara para trainee dan trainer, maupun trainee dengan aparat organisasi penyelenggara training. Dengan demikian target training dapat tercapai secara maksimal.
2. Organisasi latihan.
Dalam upaya menyelenggarakan LKK yang baik maka diperlukan organisasi latihan yang secara utuh mengelola LKK tersebut. Adapaun organisasi latihan yang dimaksud ialah :
• Organizing Committee (OC)
a) OC adalah unsur organisasi latihan yang berfungsi sebagai pelaksana administrsai dan operasional aktivitas latihan.
b) OC dibentuk oleh pengurus KOHATI.
• Steering Committee (SC)
a) SC sebagai unsur organisasi latihan berfungsi sebagai pembantu KOHATI dalam mewujudkan kelancaran jalannya latihan.
b) SC bertugas merencanakan dan mempersiapkan administrasi latihan serta mengawasi dan mengarahkan jalannya pelatihan.
c) SC ditunjuk dan ditetapkan oleh pengurus KOHATI.
• Team Instruktur
Team Instruktur terdiri dari :
a) Mater of Training.
b) Wakil Master of Training.
c) Instruktur.
Tugas team instruktur ini disesuaikan dengan Pedoman Pengelolaan Latihan yang ada di HMI.
3. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan selama latihan antara instruktur dengan peserta dapat dilakukan dengan pendekatan persuasif melalui cara :
• Taaruf (saling mengenal)
Pendekatan ini dilakukan agar antara peserta dengan peserta dan peserta dengan instruktur saling mengenal, sehingga terjalin komunikasi yang akrab dan hubungan dialogis. Saling mengenal disini adalah berkenalan dan memperkenalkan diri sedalam-dalamnya mengenai latar belakang pendidikan, keluarga, sosial budaya dan lingkungan serta adapt-istiadat masing-masing, sehingga dengan demikian diharapkan tumbuh rasa kasih sayang dengan memiliki rasa ukhuwah antara sesama berdasarkan kecintaan kepada Allah SWT.
• Tafahum (saling bersefaham)
Pendekatan ini dilakukan agar antara peserta dengan peserta dan peserta dengan instruktur saling memahami kelebihan dan kelemahan masing-masing dengan berusaha memulai dari diri sendiri untuk bersikap introspektif akan kekurangan, kesalahan atau kekhilafan masing-masing di samping upaya menumbuhkan suasana saling mengingatkan.
• Ta’awun (saling menolong)
Pendekatan ini dilakukan agar antara peserta dengan peserta dan peserta dengan instruktur terjalin sikap saling menolong dalam hal kebaikan dan kebenaran.
• Takaful (salng berkesinambungan)
Pendekatan ini dimaksudkan agar terjalin berkesinambungan antara rasa dan rasio/intuisi serta kesamaan ide pemikiran kedalam hubungan yang dialogis dan harmonis di samping terciptanya suasana yang kondusif antara peserta dengan instruktur.
4. Sistem evaluasi
Evaluasi Latihan Khusus KOHATI (LKK) dimaksudkan sebagai cara atau tindakan untuk melihat keberhasilan latihan, yaitu melihat apakah sumber daya organisasi telah dijalankan secara efektif dan efisen dalam mencapai tujuan pelatihan. Dengan demikian melalui evaluasi dapat dipastikan, apakah kegiatan pelatihan berjalan sebagaimana yang direncanakan dan apabila ada penyimpangan yang signifikan dapat diambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengoreksi penyimpangan yang dilakukan.
Evaluasi latihan dilakukan melalui tiga tahapan, yang satu sama lain saling berkaitan. Evaluasi awal dilakukan terhadap input latihan dengan maksud untuk mengetahui sejauh mana pemahaman awal dan kesiapan peserta untuk mengikuti pelatihan.
Secara teknis, pelaksanaan evaluasi biasanya dilakukan dengan uji coba (test) yang bersifat objektif dan subjektif yang dilaksanakan pada saat pra-training dan post training.
Alat-alat evaluasi
a. Format evaluasi Input
1. Pre-trest berupa test objektif/test tertulis.
2. Screening berupa interview atau tes tertulis.
b. Format evaluasi proses
1. Penugasan materi.
2. Dinamika forum.
3. Kehadiran.
Bentuk-bentuk evaluasi
Evaluasi peserta dilakukan atas :
a. Test objektif.
b. Penugasan.
c. Presentasi makalah.
Sistem evaluasi ini dapat lebih dikembangkan sesuai dengan trend dan proses yang terjadi.
3. Aturan Pelaksanaan Training Non-formal/Non-LKK
Mengikuti pola format pada LKK atau dapat disesuaikan dengan jenis spesifikasi training yang diadakan.
o Kurikulum Training/Pelatihan
Kurikulum pelatihan ini berisikan tujuan pelatihan dan materi-materi pelatihan yang disampaikan, yang terdiri atas :
o Kurikulum Training/Pelatihan Non-Formal (LKK)
o Kurikulum Training/Pelatihan Non-formal (Non-LKK)
Kurikulum Training/Pelatihan Non-Formal (LKK)
1) Ke-Islaman
a. Perempuan dalam Perspektif Islam
Tujuan Pembelajaran umum
Peserta dapat memahami dan menganalisis eksistensinya dalam Islam serta tanggungjawabnya dalam struktur komunitas dan masyarakat.
Tujuan Pembelajaran Khusus
a. Peserta dapat menjelaskan hakikat penciptaan manusia dalam Islam.
b. Peserta dapat menyebutkan kedudukan perempuan dalam Islam.
c. Peserta dapat merealisasikan prinsip ketauladanan tokoh muslimah dalam Islam.
d. Peserta dapat mewujudkan tanggung jawabnya sebagai seorang muslimah dalam struktur komunitas masyarakat.
Metode : Ceramah, diskusi, studi kasus
Alokasi waktu : 5 Jam
Muatan/kisi-kisi materi :
a. Hakikat Penciptaan Perempuan.
b. Kedudukan Perempuan dalam Islam.
c. Ketauladanan Tokoh Muslimah dalam Islam.
d. Tanggung Jawab Muslimah dalam Struktur Komunitas dan Masyarakat.
e. Urgensi Fiqhunnisa’ dalam Pelaksanaan Ajaran Islam.
Referensi yang dianjurkan :
1. Annemarie Schimmel, Jiwaku adalah wanita, Mizan, Bandung, 1998.
2. Engineer, Asghar Ali, Hak-hak perempuan dalam Islam, LSPPA dan yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1997.
3. Hasyim, Syafiq, Hal-hal yang tak terpikirkan tentang isu-isu keperempuanan dalam Islam, Mizan, Bandung, 2001.
4. Husein, Muhammad, Fiqh perempuan : Refleksi kias atas wacana agama dan gender, RAHIMA dan LKIS, Yogyakarta, 2001.
5. Nasaruddin Umar, M.A., Dr., Argumentasi kesetaraan gender perspektif Al-Quran, Paramadiona, Jakarta, 1999.
6. Masdar F Mas’udi, Islam dan hak reproduksi perempuan, PPPM dan Mizan, Bandung, 1998.
7. Sachiko Murata, The Tao of Islam, Mizan, Bandung.
b. Keperempuanan
a) Psikologi Perempuan
Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)
Peserta dapat memahami psikologi dan kepribadian perempuan.
Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)
o Peserta dapat menjelaskan psikologi perempuan.
o Peserta dapat menjelaskan fase-fase perkembangan jiwa dan karakteristik perempuan.
o Peserta dapat menjelaskan pengaruh nilai-nilai sosial budaya terhadap kepribadian kaum perempuan.
o Peserta dapat menjelaskan bentuk problem solving atas permasalahan kaum perempuan.
Muatan / kisi-kisi materi :
a. Pengertian Psikologi Perempuan.
b. Fase-fase Perkembangan Jiwa dan Karakteristik Perempuan.
c. Pengaruh Nilai-nilai Sosial Budaya Terhadap Kepribadian Kaum Perempuan.
d. Problem Solving atas Permasalahan Kaum Perempuan.
Metode : Ceramah, Diskusi, dan Demonstrasi.
Alokasi waktu : 24 jam.
Referensi yang dianjurkan :
1. Annemarie Schimmel, Jiwaku Adalah Wanita, Mizan Bandung.
2. Kartini Kartono, Psikologi wanita, Rajawali Pers, Jakarta.
3. Save M Dagun, Maskulin dan feminin, Mandar Maju, Bandung 1984.
4. Sachiko Murata, The Tao Islam, Mizan, Bandung, 1984.
5. TO Ihromi (ed), Kajian wanita dalam pembangunan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993.
b) Kesehatan Perempuan
Tujuan pembelajaran umum (TPU)
Peserta dapat memenuhi kebutuhannya akan pemahaman tentang kesehatan perempuan.
Tujuan pembelajaran khusus (TPK)
o Peserta dapat menjelaskan pengertian kesehatan perempuan.
o Peserta dapat menjelaskan kesehatan reproduksi perempuan dalam tinjauan medis.
o Peserta dapat menjelaskan kesehatan reproduksi dalam tinjauan social.
o Peserta dapat menjelaskan analisis dan pemenuhan kebutuhan gizi.
o Peserta dapat menjelaskan jenis-jenis Penyakit Menular Seksual (PMS).
Muatan/Kisi-kisi :
1. Pengertian Kesehatan Perempuan.
2. Kesehatan Perempuan dalam Tinjauan Medis dan Etika Moral.
3. Analisa dan Pemenuhan Kebutuhan Gizi.
4. Mengenal Jenis-jenis Penyakit Menular Seksual (PMS).
Metode : Ceramah, Diskusi, dan Demonstrasi.
Alokasi waktu : 4 jam.
Referensi yang dianjurkan :
1. Dr. A. Firman Lubis dkk, Kesehatan Perempuan, YLKI, Jakarta.
2. Munawar Ahmad Anees, Islam dan revolusi sexual kaum perempuan, Mizan, Bandung.
3. Anonymous, Buku pintar kesehatan wanita.
c) Peran Perempuan dalam Transformasi Sosio Kultural
Tujuan pembelajaran umum (TPU)
Peserta dapat memahami peran perempuan dalam transformasi sosio-kultural.
Tujuan pembelajaran khusus (TPK)
o Peserta dapat menjelaskan sejarah gerakan perempuan.
o Peserta dapat menjelaskan posisi perempuan dalam perspektif budaya patriarkhi.
o Peserta dapat menjelaskan pengaruh media massa terhadap pembentukan citra diri perempuan.
o Peserta dapat menjelaskan eksistensi perempuan dalam konstalasi politik.
Muatan/kisi-kisi materi :
1. Sejarah Gerakan Perempuan.
2. Posisi Perempuan dalam Wilayah Patriarkhi.
3. Pengaruh Media Massa terhadap Pembentukan Citra Diri Perempuan.
4. Eksistensi Perempuan dalam Konstalasi Politik.
Metode : Ceramah dan studi kasus.
Alokasi waktu : 4 jam.
Referensi yang dianjurkan :
1. Herietta Moore, Feminisme dan antropology, Pusat Penerbitan FISIP UI, Jakarta.
2. Hizbah Ra’uf Izzat, Wanita dan politik dalam pandangan Islam, (penerbit dan tahun terbit belum didapatkan identifikasinya).
3. Irwan Abdullah, Sangkan paran gender, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
4. Leila Ahmed, Wanita dan gender dalam Islam, (terjemahan) Women and Gender in Islam, Lentera Basritama, Jakarta, 1999.
5. Lusi Margiyani, Agus Fahri Husein, Fauzie Ridjal (ed), Dinamika gerakan perempuan Indonesia, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992.
6. Mansour Fakih, Analisis gender dalam transformasi sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
7. Munawir Anis Qasim Ja’far, Menelusuri hak-hak politik perempuan dalam Islam, (penerbit dan tahun terbit belum didapatkan identifikasinya).
8. Naomi Wolf, Gegar gender, Bentang, Yogyakarta.
9. Ratna Saptari dan Brigitte Holzner, Perempuan, kerja dan perubahan sosial, Grafitti Pustaka Utama, Jakarta, 1997.
a) Perempuan dalam Perspektif Pertumbuhan dan Perkembangan IPTEK
Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)
Peserta dapat menganalisis posisi perempuan dalam perspektif pertumbuhan dan perkembangan IPTEK.
Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK):
o Peserta dapat mengetahui tantangan perempuan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
o Peserta dapat menyebutkan dampak ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kehidupan perempuan serta menyebutkan jalan pemecahannya.
Muatan/Kisi-Kisi Materi :
1. Tantangan Perempuan dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
2. Dampak Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bagi Kehidupan Perempuan.
3. Scientific Problem Solving.
Metode : Ceramah dan diskusi.
Alokasi Waktu : 3 jam.
Referensi yang dianjurkan :
1. Munawar Ahmad Anees, Islam dan revolusi sexual kaum perempuan, Mizan, Bandung.
2. Ratna Saptari dan Brigitte Holzner, Perempuan, kerja dan perubahan sosial, Grafiti Pustaka Utama, Jakarta, 1997.
3. TO. Ihromi (ed), Kajian wanita dalam pembangunan, Yayasan Obor Indonesia.
b) Perempuan dan Strategi Pembangunan
Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)
Peserta dapat mengetahui berbagai strategi pembangunan yang digunakan dalam memecahkan problem sosial yang berkaitan dengan perempuan.
Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)
o Peserta dapat menjelaskan konsep Women in development (WID).
o Peserta dapat menjelaskan konsep Women and development (WAD).
o Peserta dapat menjelaskan konsep Gender and development (GAD).
Muatan/Kisi-Kisi Materi :
1. Pengertian dan Penerapan Konsep Women in Development (WID).
2. Pengertian dan Penerapan Konsep Women and Development (WAD).
3. Pengertian dan Penerapan Konsep Gender and Development (GAD).
Metode : Ceramah dan diskusi.
Alokasi Waktu : 3 jam
Referensi yang Dianjurkan :
1. Julia Clevesse Mosse, Gender dan pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998.
2. Mansour Fakih, Analisis gender dalam transformasi sosial, Pustaka Pelajar Yogyakarta.
3. TO. Ihromi (ed), Kajian wanita dalam pembangunan, Yayasan Obor Indonesia.
c) Kekerasan Terhadap Perempuan
Tujuan Pembelajaran Umum (TPU) :
o Peserta dapat memahami berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan serta upaya penanggulangannya.
o Kekerasan terhadap perempuan terhadap perspektif hukum.
o Kekerasan terhadap perempuan terhadap perspektif sosio kultur.
Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) :
o Peserta dapat menjelaskan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam perspektif hukum.
o Peserta dapat menjelaskan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam perspektif sosiokultur.
Muatan/Kisi-Kisi Materi :
1. Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perspektif Hukum.
2. Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perspektif Sosiokultur.
Metode : Ceramah, diskusi, simulasi
Alokasi Waktu : 4 jam
Referensi yang dianjurkan :
1. Farha Ciciek, Ikhtiar mengatasi kekerasan dalam rumah tangga, Proyek Kerjasama Solidaritas Perempuan dan Lembaga Kajian Agama dan Gender (LKAJ), Jakarta, 1999.
2. Tim Yayasan Jurnal Perempuam (ed.), Kekerasan negara terhadap perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2001.
2) Keorganisasian
a) Perspektif KOHATI sebagai Kontributor Pembaharuan
Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)
Peserta dapat memahami kelembagaan KOHATI.
Tujuan Pembelajaran Khusus :
o Peserta dapat menjelaskan eksistensi KOHATI dalam struktur sosial.
o Peserta dapat mengetahui eksistensi KOHATI dalam perkembangan organisasi professional.
o Peserta dapat mengetahui posisi strategisnya sebagai kontributor pembaharuan.
Muatan/Kisi-Kisi Materi :
1. Eksistensi KOHATI dalam Struktur Sosial.
2. KOHATI dan Perkembangan Organisasi Profesional.
3. Analisis Kelembagaan KOHATI.
4. Peserta dapat Mengetahui Posisi Strategisnya sebagai Kontributor Pembaharuan.
Metode : Ceramah, diskusi
Alokasi Waktu : 3 jam
Referensi yang Dianjurkan
1. NDP HMI.
2. AD dan ART HMI.
3. Pedoman Dasar KOHATI.
4. Hasil-hasil Lokakarya Perkaderan KOHATI (Platform Gerakan dan Pedoman Pembinaan KOHATI).
b) Revitalisasi Analisis KOHATI terhadap Isu Keperempuanan
Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)
o Peserta dapat menjelaskan dinamika gerakan perempuan.
o Peserta dapat mengetahui isu keperempuanan kontemporer.
o Peserta dapat mengetahui format gerakan KOHATI dalam menyikapi isu keperempuanan.
Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)
o Peserta dapat menjelaskan dinamika gerakan perempuan.
o Peserta dapat mengetahui isu keperempuanan kontemporer.
o Peserta dapat mengetahui format gerakan KOHATI dalam menyikapi isu keperempuanan.
Muatan/Kisi – Kisi Materi :
1. KOHATI dan Dinamika Gerakan Keperempuanan.
2. Isu-isu Keperempuanan Kontemporer.
3. Format Gerakan KOHATI dalam Menyikapi Isu Keperempuanan.
Metode : Ceramah, diskusi dan simulasi.
Alokasi Waktu : 4 jam.
Referensi yang dianjurkan:
1. NDP HMI.
2. AD dan ART HMI.
3. Pedoman Dasar KOHATI.
4. Hasil-hasil Lokakarya Perkaderan KOHATI (Platform Gerakan dan Pedoman Pembinaan KOHATI).
5. Engineer, Asghar Ali, Hak-hak perempuan dalam Islam, LSPPA dan Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1997.
6. Nasaruddin Umar, MA, Dr, Argumen kesetaraan gender Perspektif Al Quran, Paramadina, Jakarta, 1999.
7. Farha Ciciek, Ikhtiar mengatasi kekerasan dalam rumah tangga, Proyek Kerjasama Solidaritas Perempuan dan Lembaga Kajian Agama dan Gender (LKAJ), Jakarta, 1999.
8. Tim Yayasan Jurnal Perempuam (ed.), Kekerasan negara terhadap perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2001.
3) Materi Penunjang
Materi penunjang ini dapat dipilih salah satu disesuaikan dengan kedudukan peserta pelatihan / LKK. Adapun materi penunjang yang dianjurkan untuk diberikan kepada peserta adalah sebagai berikut :
1. Retorika dan keprotokoleran.
2.Komunikasi Massa/Public Relation.
3. Kecerdasan Emosional (KE) dan Emosional Intelektual (EI).
4. AMT/Achievement Motivation Training.
4) Studium General
Berkaitan dengan isu-isu aktual di tingkat nasional dan lokal.
PEDOMAN DASAR KOHATI
MUKADDIMAH
Sesungguhnya Allah SWT, telah mewahyukan Islam sebagai ajaran yang haq dan sempurna untuk mengatur umat manusia agar berkehidupan sesuai fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata kehadirat-Nya.
Di sisi Allah SWT, manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai derajat yang sama, yang membedakan hanyalah ketaqwaannya, yakni sejauh mana ia istiqamah/teguh mengimani dan mengamalkan ajaran-ajaran Ilahi dalam kehidupan sehari-hari.
Nabi Muhammad SAW, sebagai pembawa risalah terakhir juga menekankan posisi strategis kaum perempuan dalam masyarakat sebagaimana sabdanya yang berbunyi : “Perempuan adalah tiang negara, bila kaum perempuannya baik (berahlak karimah) maka negaranya baik dan bila perempuannya rusak (amoral) maka rusaklah negara itu”. Dalam rangka memaknai peran strategis tersebut maka kaum perempuan dituntut untuk menguasai ilmu agama, Iptek serta keterampilan yang tinggi, dengan senantiasa menyadari akan kodrat kemanusiaannya.
Perempuan sebagai salah satu elemen masyarakat harus memainkan peranannya mewujudkan masyarakat berkeadilan. Dan sebagai salah satu strategi perjuangan dalam mewujudkan mission HMI, diperlukan sebuah wadah yang menghimpun segenap potensi HMI dalam wacana keperempuanan untuk melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya, dan untuk mewujudkannya HMI membentuk Korps-HMI-Wati (KOHATI). Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, KOHATI harus berkesinambungan dengan HMI dan penuh kebijaksanaan yang dinafasi keimanan kepada Allah SWT, serta berpedoman pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga HMI.
Untuk menjabarkan operasionalisasi KOHATI tersebut, dibuatlah Pedoman Dasar KOHATI sebagai berikut :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pengertian KOHATI
a. KOHATI adalah singkatan dari Korps-HMI-Wati.
b. KOHATI adalah badan khusus HMI yang bertugas membina, mengembangkan dan meningkatkan potensi HMI-Wati dalam wacana dan dinamika gerakan keperempuanan.
c. KOHATI adalah bidang keperempuanan di HMI setingkat.
Pasal 2
Waktu dan Tempat Kedudukan
1. KOHATI didirikan pada tanggal 2 Jumadil Akhir 1386 H bertepatan dengan tanggal 17 September 1966 M pada Kongers VIII di Solo.
b. KOHATI berkedudukan di tempat kedudukan HMI.
Pasal 3
Tujuan
Terbinanya Muslimah Berkualitas Insan Cita.
Pasal 4
Status
a. KOHATI merupakan salah satu badan khusus HMI.
b. Secara struktural pengurus KOHATI ex officio pimpinan HMI, diwakili oleh Ketua Umum, Sekretaris Umum, Bendahara Umum dan Ketua Bidang.
Pasal 5
Sifat
KOHATI bersifat Semi-Otonom.
Pasal 6
Fungsi
a. KOHATI berfungsi sebagai wadah peningkatan dan pengembangan potensi kader HMI dalam wacana dan dinamika keperempuanan.
b. Di tingkat internal HMI, KOHATI berfungsi sebagai bidang keperempuanan.
c. Di tingkat eksternal HMI, berfungsi sebagai organisasi perempuan.
Pasal 7
Peran
KOHATI berperan sebagai Pencetak dan Pembina Muslimah Sejati untuk menegakkan dan mengembangkan nilai-nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan.
Pasal 8
Keanggotaan
Anggota KOHATI adalah HMI-Wati yang telah lulus Latihan Kader (LK I).
BAB II
STRUKTUR ORGANISASI
A. Struktur Kekuasaan
Pasal 9
Musyawarah KOHATI
a. Musyawarah KOHATI merupakan forum laporan pertanggungjawaban pengurus dan perumusan Program Kerja KOHATI.
b. Musyawarah KOHATI memilih dan menetapkan Formateur/Ketua Umum dan dua (2) orang Mide Formateur.
1. Di tingkat nasional diselenggarakan Musyawarah Nasional KOHATI dalam rangkaian Kongres HMI.
2. Di Tingkat daerah diselenggarakan Musyawarah Daerah KOHATI BADKO dalam rangkaian Musyawarah Daerah BADKO HMI.
3. Di tingkat cabang diselenggarakan Musyawarah KOHATI Cabang dalam rangkaian Konferensi HMI Cabang.
4. Di tingkat KORKOM diselengarakan Musyawarah KOHATI KORKOM dalam rangkaian Musyawarah KORKOM.
5. Ditingkat komisariat diselenggarakan Musyawarah KOHATI Komisariat dalam rangkaian Rapat Anggota Komisariat.
Pasal 10
Peserta Musyawarah
a. Peserta Musyawarah Nasional KOHATI, terdiri dari :
1. Utusan adalah pengurus KOHATI HMI Cabang Penuh.
2. Peninjau adalah Pengurus KOHATI PB HMI, Pengurus KOHATI BADKO HMI, Pengurus KOHATI HMI Cabang Persiapan dan Bidang Keperempuanan.
b. Peserta Musyawarah Daerah KOHATI , terdiri dari :
1. Utusan adalah Pengurus KOHATI HMI Cabang Penuh.
2. Peninjau adalah Pengurus KOHATI BADKO HMI, Pengurus KOHATI HMI Cabang Persiapan dan Bidang Keperempuanan diwilayah koordinasinya.
c. Peserta Musyawarah KOHATI HMI Cabang terdiri dari :
1. Utusan adalah Pengurus KOHATI HMI Komisariat Penuh.
2. Peninjau adalah Pengurus KOHATI HMI Komisariat Persiapan dan Bidang Keperempuanan.
d. Peserta Musyawarah KOHATI KORKOM HMI terdiri dari :
1. Utusan adalah Pengurus KOHATI HMI Komisariat Penuh.
2. Peninjau adalah Pengurus KOHATI KORKOM HMI, Pengurus KOHATI HMI Komisariat Persiapan, dan Bidang Keperempuanan.
e. Peserta Musyawarah KOHATI Komisariat terdiri dari :
1. Utusan adalah Anggota KOHATI HMI Komisariat.
2. Peninjau adalah Pengurus KOHATI Komisariat.
Pasal 11
Instansi Pengambilan Keputusan
a. Setiap keputusan KOHATI dilakukan secara musyawarah dengan tata susunan tingkatan instansi pengambilan keputusannya adalah rapat pleno, rapat harian, rapat presidium.
b. Untuk penyusunan rencana kerja operasional diselenggarakan rapat bidang dan rapat kerja.
B. Struktur Pimpinan
Pasal 12
Pimpinan KOHATI
a. Ditingkat PB HMI dibentuk KOHATI PB HMI.
b. Ditingkat BADKO HMI dibentuk KOHATI BADKO HMI.
c. Ditingkat HMI Cabang dibentuk KOHATI HMI Cabang.
d. Ditingkat KORKOM dibentuk KOHATI KORKOM HMI.
e. Ditingkat Komisariat dibentuk KOHATI Komisariat.
Pasal 13
Pembentukan Pimpinan KOHATI
a. Penetapan Ketua Umum KOHATI ditentukan oleh Musyawarah KOHATI.
b. Bila Ketua Umum KOHATI tidak dapat menjalankan tugasnya dan/atau melakukan pelanggaran terhadap aturan-aturan organisasi maka dapat dipilih Pejabat Ketua Umum oleh Sidang Pleno KOHATI melalui Rapat Pleno KOHATI.
Pasal 14
Personalia Pengurus KOHATI
a. Formateur/Ketua Umum menyusun struktur kepengurusan KOHATI dan dibantu oleh Mide Formateur.
b. Formasi pengurus KOHATI PB HMI, KOHATI BADKO HMI, KOHATI HMI Cabang, KOHATI KORKOM HMI dan KOHATI Komisariat terdiri dari Ketua Umum, Sekretaris Umum, Bendahara Umum, Ketua Bidang dan Departemen-Depatemen, atau sekurang-kurangnya Ketua, Sekretaris dan Bendahara.
c. Struktur Pengurus KOHATI berbentuk garis fungsional.
Pasal 15
Kriteria Pengurus
a. Yang dapat menjadi Ketua Umum/Pengurus KOHATI PB HMI adalah HMI-Wati yang pernah menjadi Pengurus KOHATI Komisariat/Bidang Pemberdayan Perempuan dan/KOHATI KORKOM HMI, KOHATI HMI Cabang dan/atau KOHATI BADKO HMI/KOHATI PB HMI, berprestasi, telah mengikuti LKK dan LK III.
b. Yang dapat menjadi Ketua Umum /Pengurus KOHATI BADKO HMI adalah HMI-Wati yang pernah menjadi Pengurus KOHATI Komisariat/Bidang Pemberdayaan Perempuan dan/KOHATI KORKOM HMI, KOHATI HMI Cabang dan/KOHATI BADKO HMI, berprestasi, yang telah mengikuti LKK dan LK II.
c. Yang dapat menjadi Ketua Umum/Pengurus KOHATI HMI cabang adalah HMI-Wati yang pernah menjadi Pengurus KOHATI Komisariat/Bidang Pemberdayaan Perempuan, KOHATI KORKOM HMI dan/KOHATI HMI Cabang, berprestasi dan telah mengikuti LKK dan LK II.
d. Yang dapat menjadi Ketua Umum/Pengurus KOHATI KORKOM adalah HMI-Wati yang pernah menjadi pengurus KOHATI Komisariat/Bidang Pemberdayaan Perempuan, berprestasi dan telah mengikuti LKK dan LK II.
e. Yang dapat menjadi Ketua Umum/Pengurus KOHATI Komisariat adalah HMI-Wati berprestasi yang telah mengikuti LK I dan LKK.
Pasal 16
Pengesahan dan Pelantikan Pengurus KOHATI
a. Di tingkat PB HMI, KOHATI PB HMI disahkan dan dilantik oleh Ketua Umum PB HMI.
b. Di tingkat BADKO HMI, KOHATI BADKO HMI disahkan dan dilantik oleh Ketua Umum BADKO HMI, KOHATI HMI Cabang, KOHATI KORKOM dan KOHATI Komisariat disahkan dan dilantik oleh Ketua Umum HMI setingkat.
BAB III
WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB
Pasal 17
KOHATI PB HMI
a. KOHATI PB HMI bertanggung jawab kepada MUNAS KOHATI dan menyampaikan laporannya kepada Kongres.
b. KOHATI PB HMI bersifat koordinatif terhadap KOHATI HMI Cabang.
c. KOHATI PB HMI adalah penanggung jawab masalah KOHATI dan wacana serta dinamika gerakan keperempuanan di tingkat nasional.
Pasal 18
KOHATI BADKO HMI
a. KOHATI BADKO HMI adalah unsur perpanjangan tangan KOHATI PB HMI yang mengkoordinir kegiatan-kegiatan KOHATI HMI Cabang di wilayah koordinasinya.
b. KOHATI BADKO HMI bertanggung jawab kepada Musyawarah Daerah KOHATI BADKO HMI dan menyampaikan laporan kepada MUSDA BADKO.
c. KOHATI BADKO HMI menyampaikan laporan informasi keja minimal enam bulan sekali kepada KOHATI PB HMI.
d. KOHATI BADKO HMI adalah penanggung jawab masalah KOHATI dan wacana serta dinamika gerakan keperempuanan di tingkat regional.
Pasal 19
KOHATI HMI Cabang
a. KOHATI HMI Cabang adalah aparat HMI Cabang yang mengkoordinir kegiatan bidang keperempuanan HMI Cabang setempat.
b. KOHATI HMI Cabang bertanggung jawab kepada Musyawarah KOHATI HMI Cabang dan memberikan laporan kepada KONFERCAB.
c. Menyampaikan/mengirimkan lampiran susunan kepengurusan KOHATI HMI Cabang serta rencana program kerja kepada KOHATI PB HMI dengan tembusan KOHATI BADKO HMI.
d. Menyampaikan laporan dan informasi kegiatan minimal 4 bulan sekali kepada KOHATI PB HMI dengan tembusan kepada KOHATI BADKO HMI.
e. KOHATI HMI Cabang bersifat koordinatif kepada KOHATI Komisariat.
f. KOHATI HMI Cabang adalah penanggung jawab terhadap masalah KOHATI dan wacana serta dinamika gerakan perempuan di tingkat cabang.
Pasal 20
KOHATI HMI KORKOM
a. KOHATI HMI KORKOM adalah perpanjangan tangan KOHATI HMI Cabang yang mengkoordinir kegiatan-kegiatan KOHATI HMI Komisariat di wilayah koordinasinya.
b. KOHATI KORKOM bertanggung jawab kepada Musyawarah KOHATI KORKOM dan menyampaikan laporan kepada Musyawarah KORKOM.
c. Menyampaikan /mengirim lampiran susunan kepengurusan KOHATI KORKOM HMI disertai dengan rencana program kerja terhadap KOHATI HMI Cabang.
d. KOHATI HMI KORKOM menyampaikan laporan dan informasi kerja minimal 4 bulan sekali kepada KOHATI HMI Cabang.
Pasal 21
KOHATI HMI Komisariat
a. KOHATI HMI Komisariat adalah aparat HMI Komisariat yang mengkoordinir pembinaan perkaderan serta kegiatan bidang keperempuanan HMI Komisariat.
b. KOHATI HMI Komisariat bertanggung jawab kepada Musyawarah KOHATI Komisariat dan menyampaikan laporan pada Rapat Anggota Komisariat.
c. Menyampaikan/mengirimkan lampiran susunan pengurus disertai dengan rencana program kerja KOHATI HMI Komisariat kepada KOHATI HMI Cabang dengan tembusan kepada KOHATI KORKOM.
d. Menyampaikan informasi kegiatan minimal 4 bulan sekali kepada KOHATI HMI Cabang dengan tembusan kepada KOHATI KORKOM HMI.
BAB IV
ADMINISTRASI DAN KESEKRETARIATAN
Pasal 22
Pedoman Administrasi dan Surat Menyurat KOHATI
a. Administrasi dan surat menyurat KOHATI disesuaikan dengan administrasi dan surat menyurat yang berlaku di HMI.
b. Untuk surat intern (kedalam) dengan kode : Nomor surat/A/Sek/KHI/bulan Hijriah/tahun Hijriah.
c. Untuk surat ekstern (keluar) dengan kode : Nomor surat/B/Sek/KHI/bulan Hijriah/Tahun Hijriah.
d. Khusus surat keluar instansi HMI ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum KOHATI.
Pasal 23
Atribut KOHATI
Yang termasuk dalam atribut KOHATI adalah mars, badge, stempel, kop surat dan busana KOHATI.
BAB V
KEUANGAN
Pasal 24
Keuangan
Sumber dana KOHATI diperoleh dari dana yang halal dan tidak mengikat.
BAB VI
PEMBENTUKAN, PEMBEKUAN DAN PEMBUBARAN KOHATI
Pasal 25
Pembentukan KOHATI
a. Pembentukan KOHATI di tingkat KOHATI PB HMI, BADKO HMI, HMI Cabang, KOHATI KORKOM HMI dan HMI Komisariat diputuskan pada putusan tertinggi HMI setingkat.
b. Status KOHATI HMI Cabang disesuaikan dengan status HMI Cabang.
c. Status KOHATI HMI Komisariat disesuaikan dengan status HMI Komisariat.
Pasal 26
Pembekuan KOHATI
Pembekuan KOHATI di tingkat KOHATI PB HMI, KOHATI BADKO HMI, KOHATI HMI Cabang, KOHATI KORKOM HMI dan KOHATI Komisariat diputuskan pada putusan tertinggi HMI setingkat.
Pasal 27
Pembubaran KOHATI
Pembubaran KOHATI hanya dapat dilakukan oleh Kongres HMI.
BAB VII
KETENTUAN TAMBAHAN
Pasal 28
a. Penjabaran tentang status, sifat, fungsi dan peran KOHATI dirumuskan dalam tafsir tersendiri.
b. Bagan struktur kepengurusan organisasi, tujuan KOHATI dirumuskan tersendiri.
Pasal 29
Hal lain yang menyangkut ketetapan yang tidak tercantum dalam pedoman ini disesuaikan dengan pedoman organisasi HMI dan/atau peraturan PB HMI/KOHATI PB HMI.
ANALISA TUJUAN KOHATI
Tujuan yang jelas diperlukan oleh sebuah organisasi, sehingga setiap usaha yang dilakukan oleh organisasi tersebut dapat dilaksanakan dengan teratur dan terarah. Tujuan organisasi dipengaruhi oleh motivasi dasar pembentukannya, status dan fungsinya dalam totalitas dimana dia berada. Dalam totalitas perkaderan HMI, KOHATI merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dalam mencapai tujuan HMI yaitu terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang di ridhoi Allah SWT.
Sebagai sebuah lembaga, Korps-HMI-Wati (KOHATI) yang ide dasar pembentukannya dilandaskan pada kebutuhan akan pengembangan misi HMI secara luas, serta kebutuhan akan adanya pembinaan untuk HMI-Wati yang lebih inspiratif, memandang penting bahwa kualitas peranan HMI-Wati perlu terus dipacu/ditingkatkan.
Dalam rangka itu KOHATI merumuskan tujuannya sebagai berikut : “Terbinanya Muslimah yang berkualitas Insan Cita”. Dengan rumusan tujuan ini KOHATI memposisikan dirinya sebagai bagian yang ingin mencapai tujuan HMI (mencapai 5 kualitas insan cita) tetapi berspesialisasi pada pembinaan anggota HMI-Wati untuk menjadi muslimah yang berkualitas insan cita.
Sesuai dengan ide dasar pembentukannya, maka proses pembinaan di KOHATI ditujukan untuk peningkatan kualitas dan peranannya dalam wacana keperempuanan. Ini dimaksudkan bahwa aktifitas HMI-Wati tidak saja di KOHATI dan HMI, tetapi juga dalam masyarakat luas, terutama dalam merespon, mengantisipasi berbagai wacana keperempuanan. Dengan demikian, maka jelas bahwa tugas KOHATI adalah melakukan akselerasi pada pencapaian tujuan HMI.
Untuk dapat menjalankan peranannya dengan baik, maka KOHATI harus membekali dirinya dengan meningkatkan kualitasnya sehingga anggota KOHATI memiliki watak dan kepribadian yang teguh, kemampuan intelektual, kemampuan profesional serta kemandirian dalam merespon, mengantisipasi berbagai wacana keperempuanan yang berkembang dalam masyarakat.
Peningkatan kualitas ini, dilakukan KOHATI melalui proses pembinaan yang terencana dan terarah melalui serangkaian aktifitasnya.
SKEMA ANALISIS TUJUAN KOHATI
HMI TUJUAN Pasal 4 AD HMI : Terbinanya insan
1. Akademis
2. Pencipta
3. Pengabdi
4. Bernafaskan Islam
5. Bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
INSAN CITA
HMI-WAN
ANGGOTA
HMI
HMI-WATI
(KOHATI)
SIFAT STATUS FUNGSI & PERAN
Latihan :
o LKK
o Kursus
Kegiatan :
o Pribadi
o Kelompok
TAFSIR STATUS KOHATI
Status sebuah lembaga merupakan pengakuan dan petunjuk tentang eksistensi lembaga tersebut. Lahirnya sebuah status didasarkan pada kebutuhan akan pengembangan organisasi dan mempermudah pencapaian tujuan organisasi. Status juga merupakan petunjuk dimana sebuah lembaga berspesialiasi.
Korps-HMI-Wati (KOHATI) adalah badan khusus HMI yang bergerak dalam wacana dan dinamika gerakan keperempuanan. Rumusan ini menjelaskan bahwa status KOHATI adalah badan khusus HMI dengan spesialisasi membina anggota HMI-Wati untuk menjadi muslimah yang berkualitas insan cita.
Spesialisasi di bidang keperempuanan menunjukkan bahwa perkembangan permasalahan keperempuanan di masyarakat perlu di respon HMI. Respon ini menempatkan kaum perempuan pada posisi periferial dan defensif. Sebagai organisasi kader, HMI bertanggung jawab untuk menciptakan iklim yang kondusif dan harmonis dalam upaya pemberdayaan kaum perempuan, melalui proses perkaderannya. Dalam perkaderan HMI, KOHATI ditempatkan sebagai ujung tombak untuk mengantisipasi dan mempelopori terjawabnya persoalan-persoalan tersebut.
Dalam kerangka tersebut, maka yang menjadi sasaran pemberdayaan KOHATI adalah anggotanya yakni HMI-Wati, dengan diselenggarakannnya berbagai aktivitas maupun pelatihan khusus bagi HMI-Wati. Aktivitas ini tentunya tidak terlepas dari rangkaian aktivitas perkaderan HMI. Adapun wujud dan aktivitas tersebut dibicarakan tersendiri dalam pedoman pembinaan KOHATI.
TAFSIR SIFAT KOHATI
Sifat dalam sebuah organisasi menunjukkan watak atau karateristik. Hal ini mengandung makna bahwa sifat adalah pembeda antar lembaga. Perbedaan ini dimaksudkan sebagai salah satu strategi dan taktik dalam perjuangan sebuah organisasi.
Sebagai badan khusus HMI, KOHATI bersifat semi-otonom. Dengan sifat ini menunjukkan keberadaan KOHATI sebagai sub-sistem dalam perjuangan HMI. Adapun latar belakang munculnya sifat ini, karena pada dasarnya anggota HMI mengakui adanya kesamaan kemampuan dan kesempatan antara anggota, baik laki-laki maupun perempuan. Namun suprastruktur masyarakat kita nampaknya masih menempatkan organisasi sebagai alat yang efektif untuk menyahuti berbagai persoalan dalam upaya pencapaian tujuannya.
Dalam operasionalisasi mekanisme organisasi, sifat semi-otonom ini mengandung arti bahwa KOHATI memiliki keleluasaan dan kewenangan dalam beraktivitas dan berkreativitas di dalam (intern) HMI, terutama dalam pembinaan potensi HMI di dalam wacana keperempuanan dalam mengembangkan kualitas kader HMI-Wati, baik dalam pengembangan wawasan maupun keterampilan yang sesuai dengan konstitusi HMI dan KOHATI yaitu AD dan ART HMI maupun Pedoman Dasar KOHATI serta kebijaksanaan umum HMI lainnya. Adapun dalam melakukan kegiatan yang bersifat luar (ekstern) HMI, KOHATI merupakan perpanjangan tangan HMI di semua tingkatan. Dengan kata lain kehadiran KOHATI pada aktivitas eksternal HMI merupakan pembawa misi perjuangan HMI. Oleh karenanya KOHATI harus senantiasa mengadakan koordinasi dengan HMI.
Hal tersebut secara keseluruhan diekspresikan dalam struktur organisasi HMI, dimana KOHATI diwakili oleh presidium KOHATI yang menjadi bagian dari kepengurusan HMI ditingkatannya. Inilah yang dinamakan pengurus KOHATI ex officio pengurus HMI.
Konsekuensi struktur tersebut, menjadikan keberadaan KOHATI sangat jelas sebagai badan khusus HMI. Karena setiap pengambilan keputusan maupun kebijaksanaan HMI dan KOHATI diputuskan secara bersama dalam mekanisme HMI. Otonomisasi KOHATI di bidang intern hanya pada bentuk aktivitas pengembangan kualits kader HMI-Wati. Oleh karena itu dengan sifat semi-otonom ini, menunjukkan bahwa kebesaran KOHATI memiliki saling ketergantungan pada sejauh mana interaksi, koordinasi dan komunikasi antara seluruh jajaran kepengurusan HMI di semua tingkatan.
Dengan sifatnya ini KOHATI dapat memasuki dan berinteraksi dengan organisasi-organisasi perempuan yang ada baik secara lokal, regional, nasional maupun internasional.
TAFSIR FUNGSI DAN PERAN KOHATI
Korps-HMI-Wati (KOHATI) sebagai badan khusus HMI, mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam mengkoordinir potensi HMI dalam melakukan akselerasi tercapainya tujuan HMI dalam mengembangkan wacana keperempuanan. Adapun fungsi KOHATI adalah sebagai wadah peningkatan dan pengembangan potensi kader HMI di dalam wacana keperempuanan.
Dunia keperempuanan yang menjadi lahan kerja KOHATI adalah sebagai pembinaan anggota HMI, yaitu HMI-Wati. Pembinaan tersebut diarahkan pada pembinaan akhlak, intelektual, ketrampilan, kepemimpinan, keorganisasian, keluarga yang sejahtera serta beberapa kualitas lain yang menjadi kebutuhan anggotanya. Maksud pembinaan tersebut adalah mempersiapkan kader HMI agar mampu berperan secara optimal sebagai pencetak muslimah yang memperjuangkan nilai-nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Oleh karena itu, KOHATI berfungsi sebagai akselerator perkaderan bagi HMI-Wati.
Sebagai wadah tentunya KOHATI hanya merupakan alat pencapaian tujuan HMI. Oleh karenanya keberhasilan KOHATI sangat ditentukan oleh anggotnya, dengan didukung perangkat dan mekanisme organisasi HMI. Oleh karena itu sebagai strategi perjuangan HMI, KOHATI berfungsi sebagai organisasi perempuan. Sebagai fasilitator, KOHATI memiliki perangkat-perangkat pembinaan berupa pedoman dan jaringan informasi. Pemanfaatan perangkat-perangkat tersebut sangat dipengaruhi oleh kualitas aparat pengurusnya.
Atas dasar itu, maka KOHATI mempunyai tanggung jawab moral yang besar dalam menjabarkan dan menyahuti komitmen HMI di bidang keperempuanan. Dalam arti yang luas yaitu menyangkut aspek pengembangan potensi perempuan dalam konteks sosial kemasyarakatan seperti potensi intelektual, potensi kepemimpinan, potensi moral dan potensi lainnya.
Operasionalisasi dan fungsi tersebut diwujudkan dalam dua aspek pembagian kerja KOHATI yaitu :
1. Aspek Internal
Dalam hal ini KOHATI menjadi wadah/media latihan bagi para HMI-Wati untuk membina, mengembangkan dan meningkatkan potensi serta kualitasnya dalam bidang keperempuanan khususnya menyangkut kodrat kemanusiaannya, dan bidang sosial kemasyarakatan umumnya melalui pendidikan, penelitian dan pelatihan serta aktivitas-aktivitas lain dalam kepengurusan HMI.
2. Aspek Eksternal
Dalam hal ini KOHATI merupakan pembawa misi HMI di setiap forum-forum keperempuanan. Kehadiran KOHATI dalam forum itu tentunya semakin mempeluas keberadaan HMI di semua aspek kehidupan. Secara khusus bagi kader HMI-Wati, keterlibatan pada dunia eksternal merupakan pengembangan dari kualitas pengabdian masyarakat yang dimilikinya. Dengan kata lain fungsi KOHATI adalah wadah aktualisasi dan pemacu selutuh potensi perempuan khususnya HMI-Wati, untuk mengejar kesenjangan yang ada serta mendorong HMI-Wati untuk berinteraksi secara optimal dalam setiap aktivitas HMI serta menjadikan ruang gerak HMI dalam masyarakat menjadi lebih luas.
FUNGSI PERSONALIA PENGURUS KOHATI
Masing-masing personalia KOHATI menjalankan tugasnya sebagai berikut :
1. Ketua Umum adalah penganggung jawab dan koordinator umum dalam menjalankan tugas-tugas intern dan ekstern organisasi yang bersifat umum pada tingkat nasional maupun internasional.
2. Ketua Bidang Intern adalah penganggung jawab dan koordinator seluruh pelaksanaan kegiatan dan tugas-tugas intern.
3. Ketua Bidang Ekstern adalah penganggung jawab dan koordinator seluruh pelaksanaan kegiatan dan tugas-tugas ekstern.
4. Sekretaris Umum adalah penanggung jawab dan koordinator kegiatan dalam bidang data dan pustaka, penerangan serta hubungan dengan pihak ekstern di tingkat nasional maupun internasional.
5. Wakil Sekretaris Umum Intern bertugas atas nama Sekretaris Umum untuk kegiatan bidang intern dan membantu ketua bidangnya di tingkat nasional.
6. Wakil Sekretaris Umum Ekstern bertugas atas nama Sekretaris Umum untuk kegiatan bidang ekstern dan membantu ketua bidangnya di tingkat nasional.
7. Bendahara Umum adalah penanggung jawab dan koordinator kegiatan di bidang keuangan dan perlengkapan organisasi di tingkat nasional.
8. Wakil Bendahara Umum bertugas atas nama Bendahara Umum dalam pengadaan peralatan administrasi, keuangan dan perlengkapan organisasi di tingkat nasional.
9. Departemen Pendidikan dan Latihan bertugas sebagai koordinator operasional dari kerja dan proyek-proyek di bidang pendidikan dan pelatihan.
10. Departemen Pengembangan Sumber Daya Perempuan bertugas sebagai koordinator operasional dari kerja dan proyek-proyek di bidang pengembangan sumber daya perempuan.
11. Departemen Informasi dan Komunikasi bertugas sebagai koordinator operasional dari kerja dan proyek-proyek di bidang informasi dan komunikasi.
12. Departemen Hubungan Antar Lembaga bertugas sebagai koordinator operasional dari kerja dan proyek-proyek di bidang hubungan antar lembaga.
13. Departemen Administrasi dan Kesekretariatan bertugas sebagai koordinator operasional dari kerja dan proyek-proyek di bidang administrasi dan kesekretariatan.
MARS KOHATI
Wahai HMI-Wati semua
Sadarlah kewajiban mulia
Pembina, pendidik tunas muda
Tiang negara jaya
Himpunkan kekuatan segera
Jiwai semangat pahlawan
Tuntut ilmu serta amalkan
Untuk kemanusiaan
Jayalah KOHATI
Pengawal panji Islam
Derapkan langkah perjuangan
Kuatkan Iman
Majulah tabah HMI-Wati
Harapan bangsa
Membina masyarakat Islam Indonesia.
LAMBANG KOHATI
Bentuk dan lambang KOHATI sebagai berikut:
1. Makna lambang KOHATI:
a. Bulan bintang, warna hijau, warna hitam, keseimbangan warna hijau dan hitam, warna putih, puncak tiga. Maknanya sebagaimana yang tercantum dalam lambang HMI.
b. Melati berarti lambang kasih sayang yang suci dan tulus.
c. Penyangga berarti lambang perempuan sebagai tiang Negara.
d. Buku terbuka berarti lambang Al-Quran sebagai dasar utama.
e. Tiga kelopak bunga berarti lambang tri darma perguruan tinggi.
f. Tulisan KOHATI berarti singkatan Korps-HMI-Wati.
2. Penggunaan Lambang
a. Lambang KOHATI digunakan untuk badge/lencana KOHATI yang pemakaiannya di baju dengan perbandingan 2:3.
b. Badge KOHATI digunakan pada acara-acara seremonial KOHATI dan acara resmi organisasi di luar KOHATI.
c. Lambang KOHATI tidak dipergunakan sebagai lambang pada kop surat dan stempel KOHATI.
BUSANA/PAKAIAN SERAGAM KOHATI
Penjelasan tentang busana/pakaian KOHATI dan seragam KOHATI adalah sebagai berikut :
1. Untuk memberikan identitas kebersaman sebagai korps dan badan khusus HMI, maka dianggap perlu untuk tetap mempunyai pakaian seragam KOHATI yang dapat dipakai pada acara-acara tertentu KOHATI maupun HMI.
2. Warna dan model pakaian seragam KOHATI terdiri dari :
a. Mengenai warna disesuaikan dengan warna HMI (hijau dan hitam).
b. Mengenai model busana adalah bebas tetapi sopan dan bercirikan busana muslimah.
PLATFORM GERAKAN PEREMPUAN HMI
PENDAHULUAN
Berbicara tentang platform adalah berbicara tentang landasan umum suatu komunitas yang memiliki basis masyarakat dengan banyak agenda. Disamping platform juga berbicara tentang suatu paradigma, yaitu sudut pandang mengenai hendak kemana suatu masyarakat dibawa.
Paradigma dianggap penting bagi suatu gerakan atau organisasi, karena paradigma yang inklusif bisa mempengaruhi aspek gerak maupun aspek pemikiran para pelaku pergerakan. Pilihan terhadap suatu paradigma bisa dilakukan melalui pendekatan ideologis, historis, sosiologis dan konsep hidup yang dimiliki suatu organisasi atau pergerakan.
Akhir-akhir ini masalah keperempuanan kembali menjadi isu sentral dan diskursus yang secara intens dibicarakan. Terbukti dengan banyaknya bermunculan pergerakan-pergerakan dan pembelaan/aksi-aksi yang jelas terhadap berbagai kasus tindak kekerasan yang dialami kaum perempuan, meskipun gerakan itu terkesan agak dinamis dan fluktuatif. Masalahnya adalah komitmen terhadap gerakan itu sendiri seringkali tidak seimbang dengan kemajuan perkembangan zaman.
Kondisi global menggambarkan adanya kesenjangan dan diskriminasi terhadap hak-hak perempuan. Akibatnya kaum perempuan terdistorsi dalam konteks peran dan fungsinya sebagai putri, istri, ibu dan anggota masyarakat. Kurang ditelaah secara komprehensif, perempuan sebagai individu yang memiliki berbagai bentuk hubungan (relasi) dengan individu lainnya, dengan kumpulan individu (masyarakat), maupun sebuah komitmen publik bernama negara. Pola relasi atau hubungan antara perempuan dan dunia sekitarnya, akan menimbulkan serangkaian problem kemanusiaan yang harus dicarikan pemecahannya, dan mau tidak mau pemecahan masalah tersebut menjadi tanggung jawab bersama antara lelaki dan perempuan sebagai manusia, terlebih kaum perempuan sendiri yang harus menjadi subyek dalam proses pencarian dan pembuktian jati diri kemanusiaannya.
KOHATI sebagai bagian intergral dari HMI yang mempunyai peran strategis untuk merespon problem kemasyarakatan, salah satu problem kemasyarakatan itu adalah problem sosial bernama ketidakadilan yang banyak menimpa kaum perempuan karena ketimpangan pola relasi antar individu di dalam masyarakat. Dengan demikian persoalan keperempuanan yang merupakan masalah sosial, harus mendapatkan perhatian serius dari HMI untuk merealisasikan cita-citanya “Mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT”.
Dalam upaya menjawab tantangan itu, KOHATI membentuk dasar kebijakan yang terformulasi secara integral dan komprehensif, sehingga gerakan yang dilakukan dapat mengenai sasaran yang tepat.
Arahan yang jelas dalam pergerakan perempuan itu adalah pengentalan ideologi gerakan perempuan (hegemoni ideologi) sebagai salah satu cara mewujudkan masyarakat adil, demokratis, egaliter dan beradab sebagai prototipe masyarakat madani (civil society). Konsekuensinya, kaum perempuan dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta ketrampilan yang mendukung, artinya kaum perempuan harus memiliki keseimbangan dalam kemandirian intelektual serta ketegasan dalam bersikap dengan landasan berpijak yang jelas.
Beberapa pemaparan di bawah ini merupakan sistematisasi yang dibuat oleh KOHATI dalam memainkan peran strategisnya pada pergerakan perempuan dengan tetap berpijak pada spirit nilai Islam yang terformulasi pada misi HMI.
TUJUAN/MISI GERAKAN
Terbinanya perempuan muslimah berkualitas insan cita.
TARGET
Meningkatkan aksi dan partisipasi yang proaktif dalam merespon permasalahan perempuan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya menuju terciptanya masyarakat adil makmur.
SASARAN
1. HMI-Wati dan HMI-Wan.
2. Komunitas intelektual/agamawan.
3. Masyarakat umum.
ISU UTAMA/MAIN ISSUE
Isu utama (Main Issue) yang hendak ditawarkan sebagai wacana gerakan perempuan HMI (GP HMI) adalah :
1. Ke-Islaman.
2. Kesejahteraan.
3. Pemberdayaan/Empowerment.
4. Egalitarianisme dan demokrasi.
5. Etika/moralitas masyarakat (public morality).
Dengan turunan wacana dan spesifikasi gerak sebagai berikut :
1. KE-ISLAMAN
a. Meretas pemahaman agama yang misoginis terhadap perempuan.
Terdapat banyak ayat-ayat, sunnah rasul, yang menjadi pemahaman misoginis dalam masyarakat. Perlunya mengkaji ulang fiqih perempuan yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi umat saat ini.
b. Adanya gerakan pemahaman keperempuanan yang mengatasnamakan Islam namun justru keluar jalur Al-Quran sebagai hukum Islam. Contoh kasus yang pernah terjadi adalah Aminah Wadud yang menjadi imam shalat Jumat. Gerakan ini harus disikapi oleh KOHATI sebagai organisasi mahasiswa yang bertanggung jawab sebagai insan intelektual untuk mengabdi ke masyarakat untuk menghadang pemahaman-pemahaman yang merusak umat Islam.
2. KESEJAHTERAAN
a. Penanganan lost Generation (rendahnya kualitas hidup masyarakat).
Adanya lost generation dimana ibu-ibu hamil dan menyusui, serta anak yang tidak mendapat proporsi gizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak, maka seyogyanya Gerakan Perempuan HMI menyikapi masalah ini dengan tindakan nyata, bekerjasama dengan instansi pemerintah, Ormas, LSM dan lain-lain. Kampanye publik seperti gerakan sayang ibu, kesehatan reproduksi, hak-hak reproduksi perempuan dengan pendekatan ke-Islaman, kampanye hak anak.
b. Pembuatan kegiatan yang bernilai produktif.
Untuk meminimalisir budaya ketergantungan terhadap alumni, perlu kiranya Gerakan Perempuan HMI membangun kerjasama positif dengan institusi atau personel terkait. Selain dengan tujuan mengupayakan kemandirian organisasi, hal ini juga berimplikasi positif pada kemandirian individu anggota di bidang ekonomi (income generating).
3. PEMBERDAYAAN (EMPOWERMENT)
a. Pemberdayaan perempuan dalam menghapuskannya dari ketergantungan psikis, ekonomis maupun politis.
b. Pemberdayaan perempuan di bidang politik. Membangun partisipasi politik dan meningkatkan posisi tawar (burgaining posititon) perempuan dalam politik, baik aktif maupun pasif.
c. Memberdayakan perempuan untuk mampu mengadvokasi terhadap pelanggaran hak asasi perempuan khususnya dan masyarakat pada umumnya.
4. EGALITARIANISME DAN DEMOKRASI
a. Pressure secara aktif terhadap produk hukum yang diskriminatif terhadap perempuan.
b. Mendobrak tirani budaya diskriminatif pendidikan bagi perempuan, baik formal maupun non-formal.
c. Merekonstruksi ajaran teologis yang adosentris (terpusat pada penafsiran yang dibuat ulama laki-laki dan cenderung bias kepentingan laki-laki).
5. ETIKA / MORALITAS MASYARAKAT (PUBLIC MORALITY)
a. Mewujudkan iklim yang kondusif bagi partisipasi aktif perempuan dalam proses politik dan ketatanegaraan.
b. Penempatan strategi religius dalam penanganan penyakit sosial di masyarakat.
c. Menumbuhkan jiwa kompetisi bagi perempuan secara profesional dengan tetap memegang asas meritokrasi (kesamaan memperoleh kesempatan).
Karena konsep yang matang tanpa metode yang efektif dan efisien menjadi tidak ada artinya, maka platform gerakan perempuan HMI ini dibuat sampai pada gambaran operasionalnya.
LANDASAN GERAKAN
1. LANDASAN FILOSOFIS
Perempuan berasal dari kata per-empu-an yang artinya “ahli/mampu”, jadi perempuan merupakan seorang yang mampu melakukan sesuatu. Wanita berasal dari kata berbahasa Jawa “wani ditata” yang artinya “orang yang bisa diatur”. Selain itu, dalam bahasa Sanskerta kata wanita berasal dari kata “wan” dan “ita” yang berarti “yang dinafsui”
Kata perempuan lebih dipilih untuk digunakan karena mengandung konotasi yang lebih pisitif (amelioratif). Sedangkan kata wanita cenderung tidak digunakan disini karena cenderung berkonotasi negatif (pejoratif) dan lebih diposisikan sebagai objek.
Gender yaitu perbedaan yang dilekatkan pada perempuan dan laki-laki yang berkaitan dengan soal sifat, nilai maupun norma yang merupakan konstruksi sosial (bentukan masyarakat), bisa berubah, berbeda bentuk dan jenisnya dari ruang dan waktu, bisa dipertukarkan.
Kodrat adalah sesuatu yang diberikan kepada manusia sebagai pemberian dari Tuhan, bersifat alami dan lebih menyangkut soal kenyataan fisik dan tidak dapat dipertukarkan. Seperti laki-laki punya penis, jakun testis dan sperma serta berpotensi untuk membuahi lawan jenisnya, atau perempuan punya vagina, payudara, kelenjar menyusui dan rahim serta dapat mengalami menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Kodrat ini tidak mungkin untuk diubah dan dipertukarkan antara perempuan dengan laki-laki. Kalaupun dapat diubah dan dipertukarkan antara perempuan dan laki-laki, maka tidak dapat berfungsi dan menjalankan peran fisik seperti yang diberikan oleh Tuhan.
2. LANDASAN TEOLOGIS
a. Hakikat Penciptaaan
o Jin dan Manusia diciptakan Allah untuk menyembah kepada-Nya.
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adz Dzariat : 56)
o Manusia diciptakan oleh Allah dimuka bumi sebagai khalifah-Nya.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah dimuka bumi”. Mereka berkata, “Mengapa engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiaa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”. Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al Baqarah : 30)
o Manusia diciptakan dari substansi yang sama untuk berkembang biak dan saling tolong menolong serta menjaga hubungan silaturrahmi.
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-Mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah dengan (mempergunakan) nama-Nya, kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An-Nisa : 1)
o Kesetaraan kedudukan manusia, baik perempuan maupun laki-laki sebagai manusia di hadapan Tuhan.
Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu semua berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat : 13)
o Kesetaraan penilaian terhadap makna kerja (amal saleh) laki-laki dan perempuan.
Dan barangsiapa mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan sedangkan ia orang yang beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak akan dianiaya walaupun sedikit. (QS. An-Nisaa : 124)
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah. Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al Ahzab : 35-36)
Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebahagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah menjanjikan kepada orang-orang mu’min laki-laki dan perempuan (akan) mendapat surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal didalamnya dan (mendapat) tempat yang bagus di surga ‘and. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar, itu adalah keuntungan besar. (QS. At Taubah : 71-72)
b. Issu Regenerasi dan Penjagaan Moralitas
o Laki-laki dan perempuan secara sunnatullah diciptakan untuk hidup saling berpasangan.
Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan pasangan hidup dari jenismu sendiri seupaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara kamu kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar Ruum: 21)
o Pembunuhan anak/aborsi merupakan suatu perbuatan yang secara prinsip tidak dikehendaki oleh Allah.
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu agar kamu memahaminya. (QS Al An’am : 151)
Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah ia dibunuh. (QS. At-Takwir : 8-9)
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rizki dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (QS. Al-Isra : 31)
o Menguji keimanan dengan perbuatan baik dan penjagaan moralitas akan memberikan keuntungan jangka panjang.
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan yang tidak berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap pasangan dan hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya dalam hal ini mereka tiada tercela. (QS. Al-Mu’minun : 1-6)
o Manusia memiliki potensi untuk menyucikan jiwa atau mengotorinya.
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptan-Nya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya. (QS. Asy Syam : 7-10)
c. Nilai Strategis Perempuan dalam Masyarakat
Ungkapan Nabi yang menyatakan bahwa perempuan menempati posisi strategis dalam masyarakat sebagai tiang negara.
Perempuan adalah tiang negara, apabila baik perempuannya maka akan baik pula negaranya dan apabila rusak perempuannya maka rusak pula negaranya. (HR. Bukhari)
3. LANDASAN HISTORIS
Gerakan perempuan, atau yang lebih populer dikenal masyarakat dengan istilah feminisme, dapat didefenisikan sebagai suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan di tempat kerja dan dalam masyarakat, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Secara formal, feminisme sebagai sebuah ideologi muncul di Barat pada abad ke-18, namun bukan berarti perspektif feminis (wawasan keperempuanan) tidak pernah muncul di belahan bumi lain.
Munculnya tokoh gerakan perempuan pribumi seperti Kartini, merupakan sebuah kesadaran akan realitas kondisi patriarkhis dalam masyarakat Indonesia. Kesadaran formal ini mengalami sebuah pergeseran menjadi bersifat kolektif sejak kecenderungan yang bersifat massif pada tahun 1920-an yang ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi gerakan perempuan seperti Pikat, Putri Mardika, Aisyiyah dan sebagainya yang menjadi cikal bakal diselenggarakannya Kongres Perempoean I tahun 1928 di Yogyakarta.
Gerakan perempuan tersebut sebenarnya muncul atas dorongan perasaan ketidakpuasan pribadi terhadap hubungan-hubungan yang bersifat patriarkhi yang didukung oleh undang-undang, sehingga hal ini menjadi suatu isu politik. Hal ini tercermin dari slogan feminis “yang pribadi adalah politis” (personal is political) yang berarti bahwa pengalaman pribadi tentang perlakuan ketidakadilan yang dialami seorang perempuan dalam kehidupan pribadi dan keluarganya dapat juga dialami oleh seorang perempuan lain dalam sistem sosial, budaya agama dan politik yang sama.
Spirit gerakan perempuan juga muncul pada konteks historis kehadiran Islam. Praktik-praktik penguburan bayi perempuan pada masa Arab Jahiliyah, keberadaan harem-harem milik para penguasa yang mengeksploitasi seksualitas budak-budak perempuan, minimnya pengetahuan perempuan terhadap berbagai masalah sosial budaya sehari-hari maupun pemahaman keagamaan merupakan realitas ketimpangan gender yang ingin dihapuskan oleh Islam melalui misi kerasulan Muhammad. Perintah untuk memberikan hak hidup, jaminan sosial, ekonomi dan keamanan bagi perempuan, perintah untuk berlajar bagi lelaki dan perempuan muslim sebagai realisasi hak mendapatkan pendidikan yang layak, serta perintah iqra yang berarti membaca sejarah masa lalu yang dapat dijadikan pelajaran hidup, merupakan upaya nyata Islam untuk menghapuskan ketidakadilan gender ini.
Berbagai hal tadi mendorong HMI untuk senantiasa berkomitmen pada jati dirinya sebagai “mahasiswa” dan “muslim” untuk memainkan peran stategisnya sebagai alat perjuangan umat dan bangsa. Realitas internal kebutuhan kader untuk membina dan menempa diri melalui proses-proses kolektif organisasi dan maraknya tantangan eksternal yang bersifat idiologis “berseberangan” dengan misi HMI maupun keinginan untuk menjadi misi tersebut lebih “membumi” maka diperlukan upaya untuk secara serius me-manage organisasi. Upaya HMI untuk bersentuhan langsung pada gerakan perempuan membawa konsekuensi logis masuknya HMI ke kancah perjuangan gerakan perempuan, baik bersifat formal maupun informal. Sebagai langkah taktis untuk masuk ke wilayah perempuan itu, akan lebih efektif bila HMI memiliki kelompok kepentingan (interest group) yang dapat diperhitungkan sebagai bagian langsung landasan gerakan perempuan.
Ada dua alasan utama waktu itu yang membuat KOHATI didirikan, yaitu :
1. Secara Internal, departemen keputrian yang ada waktu itu sudah tidak mampu lagi menampung aspirasi para kader HMI-Wati, disamping basic-needs anggota tentang berbagai persoalan keperempuanan kurang bisa difasilitasi oleh HMI. Dengan hadirnya sebuah institusi yang secara spesifik menampung aspirasi HMI-Wati, diharapkan secara internal, HMI-Wati dapat memiliki keleluasaan untuk mengatur diri mereka sendiri dan lebih memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan organisasi yang muncul dari basic-needs anggotanya sendiri (HMI-Wati).
2. Secara eksternal, HMI mengalami tantangan yang cukup pelik dikaitkan dengan hadirnya “lawan ideologisnya” HMI yaitu komunisme yang masuk melalui pintu gerakan perempuan (gerwani). Selain itu maraknya pergerakan keperempuanan yang ditandai dengan munculnya organisasi perempuan dengan berbagai variasi bentuk ideologi, pilihan isu, maupun strategi gerakannya membuat HMI harus “merapatkan barisannya” dengan cara terlibat aktif dalam kancah gerakan perempuan berbasis organisasi perempuan.
Atas pertimbangan itulah, pada tanggal 17 september 1966 M bertetapatan dengan 2 Jumadil Akhir 1386 H pada Kongres VII di Surakarta, KOHATI didirikan. Terpilih sebagai Ketua Umum KOHATI pertama pada waktu itu, Saudari Anniswati Rochlan (sekarang dikenal dengan Anniswati M. Kamaluddin).
4. LANDASAN ORGANISASI
KOHATI merupakan badan khusus HMI yang bertugas untuk mengembangkan wacana keperempuanan. Dia bersifat semi-otonom dan memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai wadah peningkatan dan pengembangan potensi kader HMI-Wati dalam mengembangkan wacana keperempuanan, di tingkat internal HMI berfungsi sebagai bidang keperempuanan, dan di tingkat eksternal HMI menjalankan fungsi sebagai organisasi perempuan.
KOHATI memiliki peran sesuai dengan keberadaan HMI sebagai organisasi perjuangan, yaitu pencetak muslimah sejati dalam menegakkan nilai-nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. KOHATI sebagai badan khusus HMI menunjukkan bahwa isu keperempuanan adalah isu spesifik yang juga harus digarap secara serius oleh HMI. Melalui institusi/lembaga yang bersifat semi-otonom menunjukkan bahwa ia adalah sub-sistem perjuangan HMI.
Dengan sifat semi-otonomnya, berarti KOHATI memiliki keleluasaan dan kewenangan untuk beraktivitas, berkreativitas dan mengatur dirinya sendiri dalam lingkup intern HMI, terutama yang berkaitan dengan pengayaan kader di bidang wacana keperempuanan dan sekaligus sebagai wahana pemberdayaan kader HMI-Wati dalam meningkatkan intelektualitas dan profesionalitasnya. Sedangkan di lingkup eksternal HMI, KOHATI menjadi pembawa misi HMI di dalam komunitas gerakan perempuan. Oleh karena itu KOHATI harus selalu mengadakan koordinasi dengan HMI demi sinergitas perjuangan organisasi.
5. LANDASAN KONSTITUSIONAL
• Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Himpunan Mahasiswa Islam (Pasal 15 AD dan Pasal 51, 52, 53 ART HMI).
• Pedoman Dasar KOHATI.
6. LANDASAN OPERASIONAL
Dalam lingkup melakukan aktivitas sehari-hari, baik dalam konteks pembinaan kader di lingkup intern HMI maupun dalam konteks perjuangan di lini gerakan perempuan di lingkup ekstern HMI, ada beberapa prinsip-prinsip (kode etik) yang harus dipegang dalam menjalankan aktivitas. Berbagai prinsip atau kode etik tersebut adalah :
1. Ta’aruf / pengenalan (Introducing).
Pendekatan ini dimaksudkan agar terjadi suasana saling mengenal dan keakraban diantara sesama anggota dengan pengurus, antara sesama pengurus dalam keseharian aktivitas organisasi maupun antara sesama peserta, antara peserta dengan pemandu latihan (master of training) maupun para pendidik (instruktur) ketika pelatihan dilangsungkan. Saling mengenal ini adalah upaya membangun kepercayaan (trust building) diantara seluruh elemen kader, dengan memperkenalkan diri dan berbagai informasi mengenai berbagai latar belakang kader seperti pendidikan, keluarga, sosial budaya, adat istiadat, suku serta lingkungan dimana kader tumbuh dan dibesarkan. Dengan menerapkan prinsip ini diharapkan muncul solidaritas (ukhuwah) diantara sesamanya berdasarkan kecintaan kepada Allah SWT.
2. Tafahum/saling bersefaham (mutual untderstanding).
Pendekatan ini dimaksudkan agar sesama anggota, antara anggota dengan pengurus, antara sesama pengurus dalam keseharian aktivitas organisasi maupun antara sesama peserta, antara peserta dengan pemandu latihan (master of training) maupun para pendidik (instruktur) ketika pelatihan dilangsungkan, dapat saling memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing dengan berusaha memulai dari diri sendiri untuk bersikap instropektif dari kekurangan, kesalahan atau kekhilafan masing-masing, di samping upaya menumbuhkan suasana saling mengingatkan.
3. Ta’awum/saling tolong-menolong (mutual assistence).
Pendekatan ini dimaksudkan agar sesama anggota, antara anggota dengan pengurus, antara sesama pengurus dalam keseharian aktivitas organisasi maupun antara sesama peserta, antara peserta dengan pemandu (master of training) maupun para pendidik (instruktur) ketika pelatihan dilangsungkan dapat terjalin sikap saling tolong-menolong dalam hal kebaikan dan kebenaran.
4. Takaful/saling berkesinambungan (sustainable).
Pendekatan ini dimaksudkan agar terjalin kesinambungan rasa dan rasio (intuisi) serta kesamaan ide atau pemikiran kedalam hubungan yang dialogis dan harmonis disamping terciptanya suasana yang kondusif. Pendekatan ini dimaksudkan agar sesama anggota, antara anggota dengan pengurus, antara sesama pengurus dalam keseharian aktivitas organisasi maupun antara sesama peserta, antara peserta dengan pemandu latihan (master of training) maupun para pendidik (instruktur) ketika pelatihan dilangsungkan.
Untuk mempermudah pelaksanaan konsep mengenai platform gerakan perempuan ini maka disusunlah suatu pelaksanaan aktivitas yang berspesifikasi pada berbagai penyelenggaraan pelatihan maupun berbagai bentuk pembinaan kader yang dibawa dalam sebuah rangkaian dokumen tersendiri yang berisi tentang Pola Pembinaan KOHATI.
POLA PEMBINAAN KOHATI
I. PENDAHULUAN
A. Landasan struktural
B. Landasan sosiologis
II. ARAH PEMBINAAN KOHATI
A. Pasal 4 AD HMI
B. Pasal 3 PDK
III. POLA DASAR PEMBINAAN KOHATI
A. Kualifikasi kader HMI-Wati
1. Watak dan Kepribadian Muslimah.
2. Kemampuan Intelektual.
3. Kemampuan Profesional.
4. Kemandirian.
B. Dasar-dasar pembentukan
o Partisipasi Individu
o Kelompok pembinaan
o Pengabdian KOHATI
PEDOMAN PEMBINAAN KOHATI
1. PENDAHULUAN
Perkembangan bangsa Indonesia yang mengarah ke arah industrialisasi, dalam skala makro memperlihatkan fenomena-fenomena kesenjangan sosial bagi pembangunan bangsa Indonesia. Banyak gejolak yang berkembang merupakan refleksi dari pergumulan masyarakat untuk mencapai cita-cita keadilan dan kemakmuran seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Namun kondisi objektif yang ada menimbulkan spektrum kesadaran bagi masyarakat untuk melaksanakan realisasi dari cita-cita luhur tersebut. Hal ini timbul karena ketidakmerataan wawasan berfikir dikalangan masyarakat, baik akibat adanya sistem yang kurang memberikan kebebasan mengartikulasikan cita-cita luhur itu, maupun adanya persepsi yang membedakan antara potensi laki-laki dan perempuan dalam mengejar cita-cita tersebut.
Bila hal tersebut dibiarkan berlarut, akan menyebabkan terciptanya kondisi yang cenderung negatif, yang dapat menyebabkan kita semakin menjauh dari cita-cita luhur itu, bahkan mungkin dapat merusak makna keadilan itu sendiri. Oleh sebab itu kita perlu mengambil langkah-langkah kongkrit untuk membebaskan kita dari belenggu sistem serta kesenjangan di atas, tanggung jawab untuk merumuskan kebebasan bagi masyarakat sesuai dengan nuansa berfikirnya, pengalaman serta kondisi objektif yang mengitarinya, dengan tetap berpijak kepada UUD 1945 dan Pancasila, juga memberikan penyadaran yang bersifat essensif bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan, dengan mempercayai bahwa perempuan mempunyai potensi yang sangat besar serta mempunyai andil optimal untuk menciptakan persepsi baru dalam merealisasikan eksistensi lajunya perkembangan pembangunan bangsa Indonesia, sesuai dengan cita-cita keadilan tesebut, yang dilandasi tanggung jawab untuk menghadapi kemajuan era industri, teknologi dan budaya. Maka bila hal itu tercapai, perempuan Indonesia bukan hanya menjadi ujung tombak yang ofensif dalam mengantisipasi serta memajukan bangsa Indonesia.
Secara struktural organisatoris, KOHATI merupakan sub-sistem dalam organisasi HMI. KOHATI merupakan suatu kekuatan yang mengemban tanggung jawab dalam mekanisme, mobilitas dan kontinuitas kehidupan organisasi. KOHATI merupakan salah satu penentu bagi tercapainya perwujudan INSAN CITA HMI.
Dalam pandangan sosiologis, KOHATI merupakan infrastruktur yang memiliki makna strategis dalam masyarakat, yakni sebagai “Komunitas Kaum Muslimah” yang memiliki karateristik keilmuan, karena anggotanya adalah mahasiswa.
Oleh karena itu KOHATI dituntut untuk mengadakan pembinaan bagi kader-kader HMI khususnya HMI-Wati. Pembinaan dimaksudkan untuk menciptakan forum atau lingkaran yang mendorong kepada peningkatan dan pengembangan kualitas kader HMI dan secara khusus membantu kader HMI dalam mencapai tujuannya.
KOHATI sebagai bagian integral dari HMI merupakan kelompok muda cendikia yang mempunyai tanggung jawab kekaderan dan menjadi pewaris yang sah untuk memanifestasikan. Hal tersebut tentu harus dijawab dalam bentuk kesiapan. Namun KOHATI sesuai dengan fungsinya dalam HMI, yaitu membina, mengembangkan serta menghasilkan potensi HMI-Wati sehingga terbentuk kader yang memiliki pola pikir yang integral dan utuh, mempunyai tugas utama mengembangkan serta meningkatkan pembentukan kader HMI dibidang keperempuanan. Dalam rangka kualitas anggotanya maka perlu dilakukan pembinaan yang terarah terpadu dan berkesinambungan, oleh karena itu dibutuhkan pedoman pelatihan sebagai rujukan atau acuan dalam rangka pembinaan yang dimaksud diatas. Secara legal Latihan Khusus KOHATI merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan HMI, khususnya dalam peningkatan peranan perempuan, sehingga mempunyai pemahaman serta kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai seorang muslimah yang berkualitas insane cita.
2. ARAH PEMBINAAN KOHATI
Arah dimaksudkan sebagai guidance/petunjuk hendak kemana pembinaan KOHATI ditujukan. Pada dasarnya seluruh proses perkaderan yang dilaksanakan HMI sebagaimana termaktub dalam pasal 4 AD HMI beserta tafsir penjelasannya.
Arah juga dimaksudkan sebagai patokan untuk melakukan usaha sistematis dalam pencapaian tujuan. Sebagai badan khusus HMI sesuai dengan fungsinya, maka KOHATI secara spesifik mempunyai tugas pembinaan terhadap anggota HMI-Wati.
Sebagai bagian integral dari HMI, maka jelas pembinaan KOHATI juga diarahkan pada pencapaian tujuan HMI. Dalam penjelasan tujuan HMI diuraikan mengenai kualifikasi kader yang diharapkan HMI, maka pembinaan KOHATI juga diarahkan pada akselerasi proses tersebut. Akselerasi ini juga menjadi perhatian tersendiri oleh karena adanya kondisi sosio-kultural yang masih memperlakukan perempuan sebagai objek pembangunan, maka pembinaan KOHATI diarahkan pada peningkatan kesadaran dan kepeloporan HMI-Wati dalam mengantisipasi persoalan-persoalan kemasyarakatan.
3. POLA DASAR PEMBINAAN KOHATI
Sebagai bagian integral HMI, KOHATI dalam menjalankan fungsinya harus senantiasa selaras dan serasi dengan perkaderan HMI. Pola dasar perkaderan HMI secara khusus telah membahas rekruitmen kader, pembentukan kader dan pengabdian kader. Dalam pola dasar tersebut KOHATI ditempatkan sebagai salah satu wadah pembentukan kader.
Namun demikian untuk lebih memberikan arah yang jelas bagi KOHATI sebagai badan khusus dalam totalitas perkaderan HMI, diperlukan pula kesamaan pembinaan KOHATI secara Nasional. Pola pembinaan ini memuat spesifikasi yang harus dimiliki HMI-Wati, dasar-dasar pembentukan serta pengabdian KOHATI.
a. Kualifikasi Kader HMI-Wati
Sebagai kader HMI, anggota KOHATI harus memiliki kualifikasi Insan Cita HMI dengan seluruh turunannya. Namun secara khusus, anggota KOHATI harus memiliki kualifikasi sebagai berikut :
1. Watak dan kepribadian seorang perempuan sadar dan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam yang tercermin dalam sikap, pola pikir dan perilaku kehidupannya sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat dan yang sadar akan kodrat kemanusiannya yang tercermin dalam pandangan jauh ke depan terhadap pentingnya kelanjutan lahirnya generasi penerus yang berkualitas. Secara alamiah hal ini akan mampu diatasi oleh setiap manusia, namun sebagai insan akademis, tinjauan ilmiah terhadap persoalan-persoalan keperempuanan sangat dibutuhkan terutama jika dikaitkan dengan aspek fisiologis dan psikis perempuan.
2. Kemampuan Intelektual, sebagai HMI-Wati harus memiliki pengetahuan (knowledge) kecerdasan (intelectuality) dan kebijaksanaan (wisdom).
3. Kemampuan profesional yaitu mampu menerjemahkan ide-ide dan pemikirannya dalam praktik kehidupan sehari-hari dalam rangka aktualisasi diri. Hal ini ditunjukkan lebih jauh dalam kemampuan keterampilan baik teknis maupun non-teknis, terutama kemampuan kepemimpinan.
4. Kemandirian, salah satu penyebab tersosialisasikannya kondisi sosial budaya yang merendahkan wanita adalah ketergantungan perempuan yang sangat tinggi. Perempuan seringkali tidak percaya akan kemampuannya dalam melakukan sesuatu. Untuk satu pekerjaan yang sama, seringkali jika dikerjakan bersamaan dengan laki-laki, perempuan sudah mengalah terlebih dulu, daya bersaingnya lemah. Oleh karena itu HMI-Wati harus memiliki rasa percaya diri yang tinggi tentunya dengan diimbangi kemampuan intelektual serta ketahanan mental. Rasa percaya diri bukan berarti meniadakan sama sekali kerjasama dengan yang lain.
b. Dasar-dasar Pembentukan
Dasar-dasar pembentukan merupakan sekumpulan aktivitas pembinaan yang terintegrasi dalam upaya mencapai tujuan HMI umumnya dan tujuan KOHATI khususnya. Sebagai kader HMI, HMI-Wati harus mengikuti seluruh rangkaian perkaderan, baik yang bersifat formal yaitu LK I, LK II dan LK III, maupun yang bersifat pengembangan.
Salah satu aktifitas pengembangan HMI yaitu pembinaan melalui wadah KOHATI. Melalui wadah ini HMI-Wati khususnya melaksanakan pengembangan individual maupun pengembangan kelompok. Pengembangan individual dilakukan dengan berpartisipasi pada berbagai aktivitas eksternal, tentunya dengan senantiasa membawa misi HMI. Di samping itu pengembangan individual dapat dikembangkan pada aneka macam aktivitas internal organisasi.
Adapun pengembangan secara kelompok dilaksanakan dengan satu upaya yang terencana, teratur, sistematis dan berkesinambungan. Pengembangan ini menekankan terbentuknya kemampuan kepemimpinan kader HMI-Wati. Dalam pengembangan kelompok ini KOHATI mengadakan training formal, yaitu LATIHAN KHUSUS KOHATI (LKK). Latihan ini berfungsi memberikan kemampuan tertentu bagi kader HMI-Wati dalam bidang keperempuanan yang luas, baik dalam pembentukan watak kepribadian, pengembangan wawasan keperempuanan maupun dalam peningkatan ktrampilan teknis.
Di samping itu, pengembangan kelompok diwujudkan pula dengan keterlibatan HMI-Wati dalam struktur kepengurusan. Hal ini memberikan kelebihan kepada HMI-Wati dalam masalah manajemen. Keterlibatan HMI-Wati dalam struktur kepengurusan akan memperkokoh sikap mental, menumbuhkan rasa percaya diri serta kemampuan memperluas jaringan informasi.
c. Pengabdian KOHATI
Pengabdian KOHATI merupakan penjabaran dari peran KOHATI sebagai pencetak muslimah sejati dalam menegakkan dan mengembangkan nilai-nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, sebagai mana terurai dalam tafsir peran KOHATI pada Pedoman Dasar KOHATI. Adapun jalur pengabdian KOHATI harus searah dengan pengabdian HMI. Namun secara individual dapat disalurkan melaui jalur-jalur pengabdian di seluruh aspek kehidupan, terutama dalam keluarga.
SKEMA POLA DASAR PEMBINAAN KOHATI
4. BENTUK-BENTUK PEMBINAAN KOHATI
Korps-HMI-Wati (KOHATI) sebagai wadah perkaderan, membina kader HMI-Wati untuk memiliki kualifikasi kader seperti dikemukakan di atas melalui proses pembinaan, antara lain :
o Training-training seperti : LKK, Up-Grading kepengurusan KOHATI serta kursus-kursus.
o Aktivitas-aktivitas baik secara individual maupun kelompok.
1. Model Training dan Pelatihan
Model Non-Formal : Latihan Khusus KOHATI
Model Non-formal (Non LKK) :
a. Latihan Kader Sensitif Gender (LKSG).
b. Publik Relation.
c. Studi Islam Intensif.
d. Advokasi Perempuan.
e. Pelatihan Kewirausahaan.
f. Up Grading Kepengurusan.
Secara legal Latihan Khusus KOHATI merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan HMI, khususnya dalam peningkatan peranan perempuan, yang memiliki kualifikasi seorang perempuan yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dan menerapkannya sebagai pola pikir, sikap dan perilakunya sehari-hari, intelektual, profesional dan mandiri.
Latihan Khusus KOHATI (LKK) ini dimaksudkan sebagai langkah awal membangun kesadaran maupun membuka wawasan kader HMI-Wati untuk keluar dari jebakan persepsi masyarakat tentang adanya realitas ketidakadilan gender, serta menemukan pemahaman akan jati diri kemanusiaannya dalam konteks idealisasi yang ingin dibangun oleh HMI.
Sedangkan training Non-formal dilakukan oleh KOHATI dapat diikuti oleh seluruh kader HMI, baik HMI-Wan maupun HMI-Wati untuk mendapatkan pengayaan wawasan tentang berbagai persoalan perempuan serta upaya teknis yang dapat dilakukan untuk menanggulanginya.
2. Petunjuk Pelaksanaan Training/Latihan
Dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan yang berupa training, beberapa komponen yang wajib ada dalam sebuah pelatihan adalah :
a. Organisasi Latihan Khusus KOHATI
1. Manajemen Latihan.
Latian Khusus KOHATI (LKK) dilaksanakan sesuai dengan sistem perkaderan HMI yang berorientasi pada usaha menjawab kebutuhan. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya haruslah didasarkan pada sistem perencanaan yang baik, pengorganisasian, serta evaluasi sesuai dengan petunjuk yang ada/ sistem POAC (planning, Organizing, Actuating, Controlling).
Dalam pelaksanaan LKK juga harus dibangun iklim keterbukaan yang ditekankan pada informasi dan komunikasi yang harmonis, baik antara para trainee dan trainer, maupun trainee dengan aparat organisasi penyelenggara training. Dengan demikian target training dapat tercapai secara maksimal.
2. Organisasi latihan.
Dalam upaya menyelenggarakan LKK yang baik maka diperlukan organisasi latihan yang secara utuh mengelola LKK tersebut. Adapaun organisasi latihan yang dimaksud ialah :
• Organizing Committee (OC)
a) OC adalah unsur organisasi latihan yang berfungsi sebagai pelaksana administrsai dan operasional aktivitas latihan.
b) OC dibentuk oleh pengurus KOHATI.
• Steering Committee (SC)
a) SC sebagai unsur organisasi latihan berfungsi sebagai pembantu KOHATI dalam mewujudkan kelancaran jalannya latihan.
b) SC bertugas merencanakan dan mempersiapkan administrasi latihan serta mengawasi dan mengarahkan jalannya pelatihan.
c) SC ditunjuk dan ditetapkan oleh pengurus KOHATI.
• Team Instruktur
Team Instruktur terdiri dari :
a) Mater of Training.
b) Wakil Master of Training.
c) Instruktur.
Tugas team instruktur ini disesuaikan dengan Pedoman Pengelolaan Latihan yang ada di HMI.
3. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan selama latihan antara instruktur dengan peserta dapat dilakukan dengan pendekatan persuasif melalui cara :
• Taaruf (saling mengenal)
Pendekatan ini dilakukan agar antara peserta dengan peserta dan peserta dengan instruktur saling mengenal, sehingga terjalin komunikasi yang akrab dan hubungan dialogis. Saling mengenal disini adalah berkenalan dan memperkenalkan diri sedalam-dalamnya mengenai latar belakang pendidikan, keluarga, sosial budaya dan lingkungan serta adapt-istiadat masing-masing, sehingga dengan demikian diharapkan tumbuh rasa kasih sayang dengan memiliki rasa ukhuwah antara sesama berdasarkan kecintaan kepada Allah SWT.
• Tafahum (saling bersefaham)
Pendekatan ini dilakukan agar antara peserta dengan peserta dan peserta dengan instruktur saling memahami kelebihan dan kelemahan masing-masing dengan berusaha memulai dari diri sendiri untuk bersikap introspektif akan kekurangan, kesalahan atau kekhilafan masing-masing di samping upaya menumbuhkan suasana saling mengingatkan.
• Ta’awun (saling menolong)
Pendekatan ini dilakukan agar antara peserta dengan peserta dan peserta dengan instruktur terjalin sikap saling menolong dalam hal kebaikan dan kebenaran.
• Takaful (salng berkesinambungan)
Pendekatan ini dimaksudkan agar terjalin berkesinambungan antara rasa dan rasio/intuisi serta kesamaan ide pemikiran kedalam hubungan yang dialogis dan harmonis di samping terciptanya suasana yang kondusif antara peserta dengan instruktur.
4. Sistem evaluasi
Evaluasi Latihan Khusus KOHATI (LKK) dimaksudkan sebagai cara atau tindakan untuk melihat keberhasilan latihan, yaitu melihat apakah sumber daya organisasi telah dijalankan secara efektif dan efisen dalam mencapai tujuan pelatihan. Dengan demikian melalui evaluasi dapat dipastikan, apakah kegiatan pelatihan berjalan sebagaimana yang direncanakan dan apabila ada penyimpangan yang signifikan dapat diambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengoreksi penyimpangan yang dilakukan.
Evaluasi latihan dilakukan melalui tiga tahapan, yang satu sama lain saling berkaitan. Evaluasi awal dilakukan terhadap input latihan dengan maksud untuk mengetahui sejauh mana pemahaman awal dan kesiapan peserta untuk mengikuti pelatihan.
Secara teknis, pelaksanaan evaluasi biasanya dilakukan dengan uji coba (test) yang bersifat objektif dan subjektif yang dilaksanakan pada saat pra-training dan post training.
Alat-alat evaluasi
a. Format evaluasi Input
1. Pre-trest berupa test objektif/test tertulis.
2. Screening berupa interview atau tes tertulis.
b. Format evaluasi proses
1. Penugasan materi.
2. Dinamika forum.
3. Kehadiran.
Bentuk-bentuk evaluasi
Evaluasi peserta dilakukan atas :
a. Test objektif.
b. Penugasan.
c. Presentasi makalah.
Sistem evaluasi ini dapat lebih dikembangkan sesuai dengan trend dan proses yang terjadi.
3. Aturan Pelaksanaan Training Non-formal/Non-LKK
Mengikuti pola format pada LKK atau dapat disesuaikan dengan jenis spesifikasi training yang diadakan.
o Kurikulum Training/Pelatihan
Kurikulum pelatihan ini berisikan tujuan pelatihan dan materi-materi pelatihan yang disampaikan, yang terdiri atas :
o Kurikulum Training/Pelatihan Non-Formal (LKK)
o Kurikulum Training/Pelatihan Non-formal (Non-LKK)
Kurikulum Training/Pelatihan Non-Formal (LKK)
1) Ke-Islaman
a. Perempuan dalam Perspektif Islam
Tujuan Pembelajaran umum
Peserta dapat memahami dan menganalisis eksistensinya dalam Islam serta tanggungjawabnya dalam struktur komunitas dan masyarakat.
Tujuan Pembelajaran Khusus
a. Peserta dapat menjelaskan hakikat penciptaan manusia dalam Islam.
b. Peserta dapat menyebutkan kedudukan perempuan dalam Islam.
c. Peserta dapat merealisasikan prinsip ketauladanan tokoh muslimah dalam Islam.
d. Peserta dapat mewujudkan tanggung jawabnya sebagai seorang muslimah dalam struktur komunitas masyarakat.
Metode : Ceramah, diskusi, studi kasus
Alokasi waktu : 5 Jam
Muatan/kisi-kisi materi :
a. Hakikat Penciptaan Perempuan.
b. Kedudukan Perempuan dalam Islam.
c. Ketauladanan Tokoh Muslimah dalam Islam.
d. Tanggung Jawab Muslimah dalam Struktur Komunitas dan Masyarakat.
e. Urgensi Fiqhunnisa’ dalam Pelaksanaan Ajaran Islam.
Referensi yang dianjurkan :
1. Annemarie Schimmel, Jiwaku adalah wanita, Mizan, Bandung, 1998.
2. Engineer, Asghar Ali, Hak-hak perempuan dalam Islam, LSPPA dan yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1997.
3. Hasyim, Syafiq, Hal-hal yang tak terpikirkan tentang isu-isu keperempuanan dalam Islam, Mizan, Bandung, 2001.
4. Husein, Muhammad, Fiqh perempuan : Refleksi kias atas wacana agama dan gender, RAHIMA dan LKIS, Yogyakarta, 2001.
5. Nasaruddin Umar, M.A., Dr., Argumentasi kesetaraan gender perspektif Al-Quran, Paramadiona, Jakarta, 1999.
6. Masdar F Mas’udi, Islam dan hak reproduksi perempuan, PPPM dan Mizan, Bandung, 1998.
7. Sachiko Murata, The Tao of Islam, Mizan, Bandung.
b. Keperempuanan
a) Psikologi Perempuan
Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)
Peserta dapat memahami psikologi dan kepribadian perempuan.
Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)
o Peserta dapat menjelaskan psikologi perempuan.
o Peserta dapat menjelaskan fase-fase perkembangan jiwa dan karakteristik perempuan.
o Peserta dapat menjelaskan pengaruh nilai-nilai sosial budaya terhadap kepribadian kaum perempuan.
o Peserta dapat menjelaskan bentuk problem solving atas permasalahan kaum perempuan.
Muatan / kisi-kisi materi :
a. Pengertian Psikologi Perempuan.
b. Fase-fase Perkembangan Jiwa dan Karakteristik Perempuan.
c. Pengaruh Nilai-nilai Sosial Budaya Terhadap Kepribadian Kaum Perempuan.
d. Problem Solving atas Permasalahan Kaum Perempuan.
Metode : Ceramah, Diskusi, dan Demonstrasi.
Alokasi waktu : 24 jam.
Referensi yang dianjurkan :
1. Annemarie Schimmel, Jiwaku Adalah Wanita, Mizan Bandung.
2. Kartini Kartono, Psikologi wanita, Rajawali Pers, Jakarta.
3. Save M Dagun, Maskulin dan feminin, Mandar Maju, Bandung 1984.
4. Sachiko Murata, The Tao Islam, Mizan, Bandung, 1984.
5. TO Ihromi (ed), Kajian wanita dalam pembangunan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993.
b) Kesehatan Perempuan
Tujuan pembelajaran umum (TPU)
Peserta dapat memenuhi kebutuhannya akan pemahaman tentang kesehatan perempuan.
Tujuan pembelajaran khusus (TPK)
o Peserta dapat menjelaskan pengertian kesehatan perempuan.
o Peserta dapat menjelaskan kesehatan reproduksi perempuan dalam tinjauan medis.
o Peserta dapat menjelaskan kesehatan reproduksi dalam tinjauan social.
o Peserta dapat menjelaskan analisis dan pemenuhan kebutuhan gizi.
o Peserta dapat menjelaskan jenis-jenis Penyakit Menular Seksual (PMS).
Muatan/Kisi-kisi :
1. Pengertian Kesehatan Perempuan.
2. Kesehatan Perempuan dalam Tinjauan Medis dan Etika Moral.
3. Analisa dan Pemenuhan Kebutuhan Gizi.
4. Mengenal Jenis-jenis Penyakit Menular Seksual (PMS).
Metode : Ceramah, Diskusi, dan Demonstrasi.
Alokasi waktu : 4 jam.
Referensi yang dianjurkan :
1. Dr. A. Firman Lubis dkk, Kesehatan Perempuan, YLKI, Jakarta.
2. Munawar Ahmad Anees, Islam dan revolusi sexual kaum perempuan, Mizan, Bandung.
3. Anonymous, Buku pintar kesehatan wanita.
c) Peran Perempuan dalam Transformasi Sosio Kultural
Tujuan pembelajaran umum (TPU)
Peserta dapat memahami peran perempuan dalam transformasi sosio-kultural.
Tujuan pembelajaran khusus (TPK)
o Peserta dapat menjelaskan sejarah gerakan perempuan.
o Peserta dapat menjelaskan posisi perempuan dalam perspektif budaya patriarkhi.
o Peserta dapat menjelaskan pengaruh media massa terhadap pembentukan citra diri perempuan.
o Peserta dapat menjelaskan eksistensi perempuan dalam konstalasi politik.
Muatan/kisi-kisi materi :
1. Sejarah Gerakan Perempuan.
2. Posisi Perempuan dalam Wilayah Patriarkhi.
3. Pengaruh Media Massa terhadap Pembentukan Citra Diri Perempuan.
4. Eksistensi Perempuan dalam Konstalasi Politik.
Metode : Ceramah dan studi kasus.
Alokasi waktu : 4 jam.
Referensi yang dianjurkan :
1. Herietta Moore, Feminisme dan antropology, Pusat Penerbitan FISIP UI, Jakarta.
2. Hizbah Ra’uf Izzat, Wanita dan politik dalam pandangan Islam, (penerbit dan tahun terbit belum didapatkan identifikasinya).
3. Irwan Abdullah, Sangkan paran gender, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
4. Leila Ahmed, Wanita dan gender dalam Islam, (terjemahan) Women and Gender in Islam, Lentera Basritama, Jakarta, 1999.
5. Lusi Margiyani, Agus Fahri Husein, Fauzie Ridjal (ed), Dinamika gerakan perempuan Indonesia, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992.
6. Mansour Fakih, Analisis gender dalam transformasi sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
7. Munawir Anis Qasim Ja’far, Menelusuri hak-hak politik perempuan dalam Islam, (penerbit dan tahun terbit belum didapatkan identifikasinya).
8. Naomi Wolf, Gegar gender, Bentang, Yogyakarta.
9. Ratna Saptari dan Brigitte Holzner, Perempuan, kerja dan perubahan sosial, Grafitti Pustaka Utama, Jakarta, 1997.
a) Perempuan dalam Perspektif Pertumbuhan dan Perkembangan IPTEK
Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)
Peserta dapat menganalisis posisi perempuan dalam perspektif pertumbuhan dan perkembangan IPTEK.
Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK):
o Peserta dapat mengetahui tantangan perempuan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
o Peserta dapat menyebutkan dampak ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kehidupan perempuan serta menyebutkan jalan pemecahannya.
Muatan/Kisi-Kisi Materi :
1. Tantangan Perempuan dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
2. Dampak Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bagi Kehidupan Perempuan.
3. Scientific Problem Solving.
Metode : Ceramah dan diskusi.
Alokasi Waktu : 3 jam.
Referensi yang dianjurkan :
1. Munawar Ahmad Anees, Islam dan revolusi sexual kaum perempuan, Mizan, Bandung.
2. Ratna Saptari dan Brigitte Holzner, Perempuan, kerja dan perubahan sosial, Grafiti Pustaka Utama, Jakarta, 1997.
3. TO. Ihromi (ed), Kajian wanita dalam pembangunan, Yayasan Obor Indonesia.
b) Perempuan dan Strategi Pembangunan
Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)
Peserta dapat mengetahui berbagai strategi pembangunan yang digunakan dalam memecahkan problem sosial yang berkaitan dengan perempuan.
Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)
o Peserta dapat menjelaskan konsep Women in development (WID).
o Peserta dapat menjelaskan konsep Women and development (WAD).
o Peserta dapat menjelaskan konsep Gender and development (GAD).
Muatan/Kisi-Kisi Materi :
1. Pengertian dan Penerapan Konsep Women in Development (WID).
2. Pengertian dan Penerapan Konsep Women and Development (WAD).
3. Pengertian dan Penerapan Konsep Gender and Development (GAD).
Metode : Ceramah dan diskusi.
Alokasi Waktu : 3 jam
Referensi yang Dianjurkan :
1. Julia Clevesse Mosse, Gender dan pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998.
2. Mansour Fakih, Analisis gender dalam transformasi sosial, Pustaka Pelajar Yogyakarta.
3. TO. Ihromi (ed), Kajian wanita dalam pembangunan, Yayasan Obor Indonesia.
c) Kekerasan Terhadap Perempuan
Tujuan Pembelajaran Umum (TPU) :
o Peserta dapat memahami berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan serta upaya penanggulangannya.
o Kekerasan terhadap perempuan terhadap perspektif hukum.
o Kekerasan terhadap perempuan terhadap perspektif sosio kultur.
Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) :
o Peserta dapat menjelaskan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam perspektif hukum.
o Peserta dapat menjelaskan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam perspektif sosiokultur.
Muatan/Kisi-Kisi Materi :
1. Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perspektif Hukum.
2. Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perspektif Sosiokultur.
Metode : Ceramah, diskusi, simulasi
Alokasi Waktu : 4 jam
Referensi yang dianjurkan :
1. Farha Ciciek, Ikhtiar mengatasi kekerasan dalam rumah tangga, Proyek Kerjasama Solidaritas Perempuan dan Lembaga Kajian Agama dan Gender (LKAJ), Jakarta, 1999.
2. Tim Yayasan Jurnal Perempuam (ed.), Kekerasan negara terhadap perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2001.
2) Keorganisasian
a) Perspektif KOHATI sebagai Kontributor Pembaharuan
Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)
Peserta dapat memahami kelembagaan KOHATI.
Tujuan Pembelajaran Khusus :
o Peserta dapat menjelaskan eksistensi KOHATI dalam struktur sosial.
o Peserta dapat mengetahui eksistensi KOHATI dalam perkembangan organisasi professional.
o Peserta dapat mengetahui posisi strategisnya sebagai kontributor pembaharuan.
Muatan/Kisi-Kisi Materi :
1. Eksistensi KOHATI dalam Struktur Sosial.
2. KOHATI dan Perkembangan Organisasi Profesional.
3. Analisis Kelembagaan KOHATI.
4. Peserta dapat Mengetahui Posisi Strategisnya sebagai Kontributor Pembaharuan.
Metode : Ceramah, diskusi
Alokasi Waktu : 3 jam
Referensi yang Dianjurkan
1. NDP HMI.
2. AD dan ART HMI.
3. Pedoman Dasar KOHATI.
4. Hasil-hasil Lokakarya Perkaderan KOHATI (Platform Gerakan dan Pedoman Pembinaan KOHATI).
b) Revitalisasi Analisis KOHATI terhadap Isu Keperempuanan
Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)
o Peserta dapat menjelaskan dinamika gerakan perempuan.
o Peserta dapat mengetahui isu keperempuanan kontemporer.
o Peserta dapat mengetahui format gerakan KOHATI dalam menyikapi isu keperempuanan.
Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)
o Peserta dapat menjelaskan dinamika gerakan perempuan.
o Peserta dapat mengetahui isu keperempuanan kontemporer.
o Peserta dapat mengetahui format gerakan KOHATI dalam menyikapi isu keperempuanan.
Muatan/Kisi – Kisi Materi :
1. KOHATI dan Dinamika Gerakan Keperempuanan.
2. Isu-isu Keperempuanan Kontemporer.
3. Format Gerakan KOHATI dalam Menyikapi Isu Keperempuanan.
Metode : Ceramah, diskusi dan simulasi.
Alokasi Waktu : 4 jam.
Referensi yang dianjurkan:
1. NDP HMI.
2. AD dan ART HMI.
3. Pedoman Dasar KOHATI.
4. Hasil-hasil Lokakarya Perkaderan KOHATI (Platform Gerakan dan Pedoman Pembinaan KOHATI).
5. Engineer, Asghar Ali, Hak-hak perempuan dalam Islam, LSPPA dan Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1997.
6. Nasaruddin Umar, MA, Dr, Argumen kesetaraan gender Perspektif Al Quran, Paramadina, Jakarta, 1999.
7. Farha Ciciek, Ikhtiar mengatasi kekerasan dalam rumah tangga, Proyek Kerjasama Solidaritas Perempuan dan Lembaga Kajian Agama dan Gender (LKAJ), Jakarta, 1999.
8. Tim Yayasan Jurnal Perempuam (ed.), Kekerasan negara terhadap perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2001.
3) Materi Penunjang
Materi penunjang ini dapat dipilih salah satu disesuaikan dengan kedudukan peserta pelatihan / LKK. Adapun materi penunjang yang dianjurkan untuk diberikan kepada peserta adalah sebagai berikut :
1. Retorika dan keprotokoleran.
2.Komunikasi Massa/Public Relation.
3. Kecerdasan Emosional (KE) dan Emosional Intelektual (EI).
4. AMT/Achievement Motivation Training.
4) Studium General
Berkaitan dengan isu-isu aktual di tingkat nasional dan lokal.
Langganan:
Postingan (Atom)