Kamis, Oktober 31, 2024

Makam Pangeran Mufti Ahmad bin Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari (Datu Kalampayan).

Makam Pangeran Mufti Ahmad bin Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari (Datu Kalampayan).




Pangeran Mufti Ahmad dilahirkan pada waktu Isya malam Ahad tanggal 7 Sya'ban 1203 H atau bertepatan dengan 3 Mei 1789 M, beliau adalah anak dari Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari dan Ratu Aminah binti Pangeran Thaha yang mewarisi ilmu-ilmu orangtuanya khususnya dalam bidang ilmu Alat, ilmu Falak, dan Geografi. Beliau juga salah seorang dari anak Syaikh Muhammad Arsyad yang menjabat sebagai Mufti Kesultanan Banjar dan mempunyai bakat seni yang tinggi dalam kaligrafi dan seni ukir.


Sebagaimana anak-anak Syaikh Muhammad Arsyad lainnya, Pangeran Mufti Ahmad juga berkiprah dalam bidang pendidikan sehingga banyak pula orang yang datang belajar kepada beliau baik dari kalangan anak cucu sultan maupun yang lainnya termasuk di antaranya adalah Sultan Adam Al Watsiq Billah (Raja Banjar XIV).


Pangeran Mufti Ahmad mula-mula kawin dengan Kustan di Dalam Antasan (sekarang Kampung Melayu), tidak ada mempunyai anak. Kemudian kawin lagi dengan Hawa binti H. Abbas, melahirkan Aisyah, Atha'illah, Al 'Alimul 'Allamah H. Muhammad Khatib, Ummu Salmah, Al 'Alimul Fadhil H. Muhammad Sa'id Khatib, Al 'Alimul Fadhil H. Muhammad Hasan, Hj. Zalekha, dan Shalihah. Kemudian kawin lagi dengan Hj. Jamilah Bugis, melahirkan Fatimah. Lalu kawin lagi dengan Ratu Shafura binti Pangeran H. Musa bin H. Muhammad Amin bin Sultan Muhammad, melahirkan Pangeran Muhammad Aminullah dan Raihanah.


Pangeran Mufti Ahmad berpulang ke rahmatullah pada hari Kamis tanggal 29 Dzulqa'dah 1246 H atau bertepatan dengan 12 Mei 1831 M sebelum Ashar, beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir pada saat sedang membaca doa tepat ketika menyebut Alhamdulillah di akhir doa.

Makam beliau terletak di Jalan Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari, Desa Kalampayan Tengah, Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan.

Sumber: Maulana Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari karya Abu Daudi

Makam Habib Hasan bin Idrus Al Habsyi.

 Makam Habib Hasan bin Idrus Al Habsyi.






Letak: Turbah Alawiyin Sungai Jingah, Jalan Masjid Jami', Gang Mesjid I, Kelurahan Sungai Jingah, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan.


Habib Hasan bin Idrus bin Hasan bin Aqil Al Habsyi atau dikenal sebagai Habib Hasan Ujung Murung merupakan Kapten Arab Kedua di Banjarmasin. Dijuluki Kapten Arab, karena pada zaman itu beliaulah yang mengayomi seluruh keluarga Arab baik golongan Habaib ataupun selainnya. Tidak hanya bagi keluarga Arab, bagi Suku Banjar asli pun beliau sangat berpengaruh, sampai-sampai Belanda menjuluki beliau dengan sebutan "Raja Tanpa Mahkota".


Habib Hasan hidup sezaman dengan Syaikh Jamaluddin bin H. Abdul Hamid Qusasi Al Banjari atau Surgi Mufti. Pihak keluarga tidak memiliki catatan tahun kelahiran Habib Hasan. Dari informasi orang-orang tua, yang diketahui pasti adalah Habib Hasan kelahiran Sambas, Kalimantan Barat. Ayah beliau yaitu Sayyid Idrus bin Hasan bin Aqil Al Habsyi diperkirakan datang ke Banjarmasin pada sekitar pertengahan abad ke-19 M.


Keluarga Habib Idrus tinggal di Ujung Murung yang merupakan perkampungan Arab pada zaman penjajahan, di depan rumah mereka mengalir Sungai Martapura yang tersambung dengan Sungai Barito. Beberapa meter dari kediaman mereka, berdiri sebuah surau kecil yang diberi nama "Langgar Nur" yang merupakan binaan keluarga Sayyid Idrus dan dilanjutkan oleh Habib Hasan.


Pada tahun 1296 H (sekitar tahun 1879 M), Habib Hasan menggantikan sang ayah sebagai tokoh ulama keturunan Arab di Banjarmasin. Kharismatik yang dimiliki Habib Hasan membuat pejabat Belanda segan dan hormat kepada beliau. Bersama sahabatnya yaitu Syaikh Jamaluddin bin H. Abdul Hamid Qusasi Al Banjari, beliau dipercaya umat sebagai tempat bertanya berbagai persoalan.


Pada suatu ketika, masyarakat bingung dalam menentukan kapan Hari Raya Idul Fitri, pemuka masyarakat dan ulama kemudian mengunjungi kediaman Habib Hasan di Ujung Murung. Habib Hasan menyarankan agar mereka bertanya kepada Surgi Mufti, warga pun mengikuti petunjuk Habib Hasan untuk menanyakan perihal berakhirnya puasa Ramadhan kepada Surgi Mufti. Setelah tiba di kediaman Surgi Mufti, lagi-lagi rombongan ulama dan pemuka masyarakat Banjar mendapatkan saran serupa agar bertanya kepada Habib Hasan.


Setelah kejadian itu, rombongan akhirnya diminta menunggu isyarat dari keduanya. Habib Hasan dan Surgi Mufti bertemu dan bermusyawarah, hasilnya ditunggu hari itu. Jika beduk dibunyikan, pertanda puasa Ramadhan telah berakhir.


Sebagai tokoh berpengaruh di zamannya, Habib Hasan pernah melindungi pelarian Ratu Zaleha, pejuang Banjar dan cucu dari Pangeran Antasari. Ratu Zaleha yang diburu tentara Belanda tiba-tiba muncul dan menemui Habib Hasan, lantas beliau disembunyikan di bawah ranjang Habib Hasan. Tentara Belanda yang telah mendapatkan informasi tersebut kemudian mendatangi kediaman Habib Hasan, dengan penuh keyakinan dan tidak gentar sedikit pun, Habib Hasan menghadapi pasukan tentara bersenjata itu. "Silahkan periksa seluruh isi rumah ini", ujarnya. Setelah setiap sudut rumah diperiksa, tentara Belanda tidak menemukan buruannya. Mereka pun meninggalkan rumah Habib Hasan tanpa hasil.


Untuk menghindari kecurigaan lebih lanjut dari mata-mata Belanda, Ratu Zaleha kemudian diungsikan lagi pada suatu malam dengan menggunakan perahu yang sudah siap menjemput di depan rumah Habib Hasan. Tidak jelas ke mana perahu itu membawa Ratu Zaleha.


Habib Hasan memiliki adik bernama Syarifah Mahani yang menikah dengan Habib Muhammad bin Agil Al Habsyi. Habib Muhammad sering berdialog dengan Habib Hasan dan Surgi Mufti. Panglima Batur dan beberapa pejuang Banjar lainnya yang mati syahid dihukum gantung oleh Belanda pernah belajar ilmu agama kepada Habib Muhammad. Syarifah Fetum anak pasangan Habib Muhammad bin Agil Al Habsyi dengan Syarifah Mahani binti Idrus Al Habsyi dulu memiliki catatan Perang Banjar yang ditulis dalam bahasa Arab Melayu, buku berharga itu hilang ketika keluarga mereka mengungsi ke kampung lain pada saat Jembatan Coen (sekarang Jembatan Dewi) meledak ketika Jepang masuk ke Banjarmasin bulan Februari 1942 M.


Ratu Zaleha akhirnya ditangkap pada tahun 1905 M dan diasingkan ke Bogor menyusul suaminya yaitu Gusti Muhammad Arsyad, mereka hidup puluhan tahun di kawasan Empang Bogor sebelum akhirnya dikembalikan ke Banjarmasin setelah tua dan sakit-sakitan. Ratu Zaleha kembali ke Banjarmasin tahun 1937 M dan meninggal dunia pada tahun 1953 M.


Ada sebuah foto yang memperlihatkan Habib Hasan berdampingan dengan Gusti Muhammad Arsyad di penghujung Perang Banjar tahun 1904 M. Habib Hasan meninggal dunia pada tahun 1342 H atau 1923 M. Saat Habib Hasan meninggal dunia, Surgi Mufti menangis. Kehilangan sahabat terbaiknya membuat Surgi Mufti sangat sedih.


Habib Hasan meninggalkan dua orang putra yakni Husein dan Abu Bakar serta tiga orang putri yaitu Syarifah Sehah, Syarifah Aisyah, dan Syarifah Nur. Husein tidak meneruskan keturunan garis laki-laki, karena empat anaknya perempuan semua yakni Syarifah Mariam, Syarifah Sidah, Syarifah Mastora, dan Syarifah Salmah.


Dari jalur salah satu putri Husein tersebut, muncul Habib Abdullah bin Ahmad Al Hamid, tokoh Alawiyin di Pal 1 Kelurahan Sungai Baru. Ibunya yang bernama Syarifah Aminah binti Umar Al Habsyi adalah cucu Husein, begitu pula ayahnya yaitu Habib Ahmad bin Abdullah Al Hamid adalah cucu Husein juga.


Adapun anak Habib Hasan yang bernama Abu Bakar menetap di Alalak, Abu Bakar melanjutkan silsilah dzuriyat Habib Hasan dari jalur laki-laki dengan memiliki tiga orang putra yaitu Salim, Agil, dan Ibrahim.


Al Fatihah...


رب فانفعنا ببركتهم واهدنا الحسنى بحرمتهم وأمتنا في طريقتهم ومعافاة من الفتن.


Banjarmasin, Senin, 7 Oktober 2024 M/4 Rabi'ul Akhir 1446 H.


Al Faqir Ahmad.

Riwayat syekh abdurrahman siddiq al banjari ( datu sapat ) bin syekh muhammad afif al banjari( datu landak )

 Riwayat syekh abdurrahman siddiq al banjari ( datu sapat ) bin syekh muhammad afif al banjari( datu landak  )



Nama asli beliau adalah Abdurrahman Shiddiq. Beliau adalah salah satu ulama yang lahir di tahun 1857 M di Dalam Pagar, Martapura, Kalimantan. Beliau lahir di masa Sultan Adam Al Watsiq Billah yang memerintah kesultanan Banjar tahun 1825-1857 M


Nama ayah beliau adalah H. M. Afif bin Anang Mahmud bin Haji Jamaluddin bin kyai dipasunda bin Pardi (Pangeran Diponegoro. Sedangkan ibu beliau Shafura binti Mufti H. M. Arsyad (Mufti Lamak Pagatan) bin Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (Datu Kalampayan)


Sewaktu beliau berusia 3 bulan, ibunda beliau meninggal dunia. Kemudian beliau diasuh oleh saudara perempuan ibu beliau yang bernama sa'idah. Tak lepas juga beliau dipelihara oleh kakek beliau yaitu Mufti H. M. Arsyad (Mufti Lamak Pagatan). Mufti Arsyad wafat, beliau diasuh oleh nenek beliau yang bernama Ummu Salamah


Ummu Salamah adalah perempuan yang alim dan suka beribadah. Dalam pemeliharaan nya, Datuk Sapat kecil dididik dan diajari membaca Al Qur'an. Setelah dewasa, beliau belajar kepada guru guru yang ada di Dalam Pagar Martapura, diantaranya :


1. K.H. Muhammad Said Wali

2. K.H. Muhammad Khatib

3. K.H. Abdurrahman Muda


Kemudian setelah sekian lama belajar di dalam pagar, Martapura, beliau ingin meneruskan belajar ilmu ke tanah suci Makkah.


diceritakan bahwa Datu Sapat (Syekh Abdurrahman Shiddiq Al Banjari) lahir di Dalam Pagar, Martapura tahun 1857 M. Beliau keturunan Datu Kalampayan dan Pangeran Diponegoro. Saat dewasa, beliau belajar dengan ulama besar Martapura saat itu, seperti K.H. M Said Wali, K.H. M. Khatib, dan K.H. Abdurrahman muda. Setelah sekian lama belajar agama di Martapura, beliau ingin belajar ilmu ke Makkah. 


Menurut riwayat, sebelum beliau pergi ke Makkah, beliau rela lelah berdagang untuk mengumpulkan modal tuntut ilmu ke Makkah. Beliau berdagang emas, perak, hingga permata sampai keluar daerah, seperti pulau Bangka, Sumatera Selatan, Padang, Sumatera barat, dan daerah lain.u


Kurang lebih lima tahun pulang pergi berdagang dan beliau berhasil mendapat keuntungan yang lumayan. Akhirnya beliau pada tahun 1887 M berangkat dari tanah air menuju tanah suci Makkah.


Selama di Makkah, beliau sangat rajin berguru kepada ulama ulama besar Makkah, diantaranya :


1. Sayyid Bakri Syatha


2. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan


3. Syeikh Muhammad Sa'id Ba Bashil


4. Syekh Nawawi Al-Bantani


Menurut riwayat, ternyata beliau belajar di Makkah sezaman dengan ulama ulama besar Nusantara lainnya. Diantaranya Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syeikh Ahmad Dimyathi (Mufti Makkah), Syekh Hasyiem Asy'ari (Jombang), Syekh Ali Junaidi (Kaltim), ,Syekh Sulaiman Ar Rasuli (Bukittinggi) dan banyak ulama Nusantara lainnya. 


Beliau bermukim di Makkah kurang lebih selam 7 tahun (5 tahun belajar dan 2 tahun mengajar di Masjidil Haram) beliau berkeinginan pulang ke tanah air.


Nama beliau sebenarnya adalah Abdurrahman. Namun nama beliau ditambahkan Ash Shiddiq oleh Guru Beliau di Makkah.


 diceritakan bahwa Datu Sapat (Syekh Abdurrahman Shiddiq Al Banjari) lahir di Dalam Pagar, Martapura tahun 1857 M. Beliau keturunan Datu Kalampayan dan Pangeran Diponegoro. Saat dewasa, beliau belajar dengan ulama besar Martapura saat itu, seperti K.H. M Said Wali, K.H. M. Khatib, dan K.H. Abdurrahman muda. Setelah sekian lama belajar agama di Martapura, beliau ingin belajar ilmu ke Makkah. 


beliau berdagang terlebih dahulu untuk mengumpulkan modal belajar ke Makkah. Setelah terkumpul, beliau berangkat dari tanah air, ke Makkah. Belajar Di Makkah bersama ulama besar seperti Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dan lain lain. Beliau memiliki Teman seangkatan belajar di Makkah yang menjadi ulama besar Nusantara seperti Hadratusy Syekh Hasyim Asy'ari (Jombang)


Setelah 7 Tahun belajar di Makkah, Datu Sapat (Syekh Abdurrahman Shiddiq Al Banjari) timbul keinginan pulang ke tanah air. Setelah mendapat restu dari guru guru beliau di Makkah, maka pada tahun 1894 M beliau pulang ke Indonesia. Beliau pulang Bersama kawan beliau yang Bernama Syekh Ahmad Khatib (Minangkabau). Setelah sampai di Batavia (Jakarta), beliau berdua berpisah ke daerah masing masing.


Kedatangan Syekh Abdurrahman Shiddiq Al Banjari di Kampung Halaman beliau (Martapura) mendapat sambutan meriah dari kalangan masyarakat. Beliau pun menetap di Martapura selama hampir satu tahun. Kemudian beliau sekeluarga  pindah ke daerah Sapat di Sumatera.


Daerah Sapat berada dibawah Kerajaan Indera Giri. Di daerah ini beliau membuka lahan pertanian dan perkebunan serta irigasi untuk perairan sawah. Banyak orang yang berpindah ke kampung ini dan akhirnya ramai lah daerah sapat dengan penduduk


Sebagai ulama, beliau berkewajiban memberi nasehat kepada masyarakat. Hingga ramailah di Kampung sapat dengan pengajian ilmu agama yang beliau pimpin sendiri.


Setelah sekian lama, akhirnya nama beliau menjadi masyhur di pelosok Kerajaan Indera Giri. Hingga suatu hari, datanglah utusan dari istana Indera Giri menemui Syekh Abdurrahman Shiddiq Al Banjari. Beliau diminta bersedia datang ke istana Sultan di Rengat. Datu Sapat pun menerima dan bersedia datang ke istana.


Kedatangan beliau disambut dengan rasa persaudaraan oleh Sultan Mahmud Syah. Dalam pertemuan ini, ternyata sang Sultan bermohon agar Syekh Abdurrahman Shiddiq Al Banjari menjadi Mufti di Kerajaan Indera Giri.


Sumber : buku "Datu Datu Terkenal Kalimantan Selatan". Terbitan "Sahabat" Mitra Pengetahuan 2013. Sub judul "Datu Sapat Tambilahan", halaman 128

Makam Hj. Aisyah binti H. Abdurrahman.

 Makam Hj. Aisyah binti H. Abdurrahman.



Letak: Jalan Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari, Desa Kalampayan Tengah, Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan.


Ada pepatah yang mengatakan: "𝘋𝘪 𝘣𝘢𝘭𝘪𝘬 𝘬𝘦𝘴𝘶𝘬𝘴𝘦𝘴𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘳𝘪𝘢, 𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘯 𝘸𝘢𝘯𝘪𝘵𝘢 𝘩𝘦𝘣𝘢𝘵 𝘥𝘪 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘬𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢". Kalimat itu ternyata juga berlaku pada kehidupan Syaikh H. Ismail Khatib bin Qadhi H. Ibrahim Al Banjari, guru dari banyak ulama di zamannya.


Syaikh H. Ismail Khatib diketahui hanya memiliki satu orang istri, namun peran wanita tersebut dikatakan bisa mengalahkan empat istri oranglain. Wanita itu tidak hanya kuat menahan diri ketika ditinggalkan sang suami menuntut ilmu ke Tanah Suci, bahkan juga memiliki andil besar atas kesuksesan sang suami dalam menuntut ilmu. Wanita itu bernama Hj. Aisyah binti H. Abdurrahman, seorang wanita yang berasal dari Serawak, Malaysia. Hj. Aisyah dilahirkan pada hari Senin tanggal 21 Rabi'ul Awwal 1295 H bertepatan dengan 25 Maret 1878 M.


Ketika Syaikh H. Ismail Khatib berusia kurang lebih 23 tahun, beliau mengikuti pamannya yaitu Al 'Alimul Fadhil H. Muhammad Ali Junaidi bin Qadhi H. Muhammad Amin Al Banjari berdakwah ke Negeri Mukah, Serawak, Malaysia. Ketika berada di sana, beliau bertemu dengan Hj. Aisyah. Kemudian beliau menikahi Hj. Aisyah pada hari Senin tanggal 14 Rabi'ul Awwal 1314 H bertepatan dengan 24 Agustus 1896 M, ketika itu Hj. Aisyah berusia 18 tahun.


Enam tahun berselang, Syaikh H. Ismail Khatib berkeinginan melanjutkan menuntut ilmu ke Tanah Suci. Dalam catatan disebutkan, beliau menghabiskan waktu kurang lebih 10 tahun di sana.


"Selama kakek mengaji di Tanah Suci, nenek Aisyah-lah yang meongkosi", ujar Hj. Hilmah binti Tuan Guru H. Abdurrahman Ismail.


Nenek Aisyah, kata Hj. Hilmah, memiliki kecakapan dalam berdagang. Beliau disebut piawai dalam membuat kue. Kue yang dibuatnya diekspor ke Singapura. "Bahan-bahan kue yang digunakan beliau adalah bahan yang tidak mudah basi, tidak pakai santan", ucapnya.


Sepulang dari Tanah Suci, Syaikh H. Ismail Khatib menemui istrinya di Serawak. Kurang lebih satu tahun menetap di sana, beliau kemudian mengajak sang istri pulang ke kampung halaman di Dalam Pagar, Martapura.


Di kampung halaman, Hj. Aisyah selalu setia mendampingi sang suami dalam mengemban amanah sebagai ahli ilmu yang menjadi rujukan masyarakat dalam menimba ilmu agama.


Rumah mereka menjadi saksi banyaknya santri yang menuntut ilmu, di antara santri yang kemudian menjadi ulama besar, yaitu: Tuan Guru H. Muhammad Kasyful Anwar, Tuan Guru H. Anang Sya'rani Arif, Tuan Guru H. Muhammad Samman Mulia, dan putra mereka yaitu Tuan Guru H. Abdurrahman Ismail.


Dari pernikahannya dengan Syaikh H. Ismail Khatib, Hj. Aisyah dikaruniai delapan orang anak, yaitu:


1. Durrah.

2. Halimatul Fauziah.

3. H. Muhammad Zein.

4. Hj. Majadiyah.

5. Hj. Arabiyah.

6. Hj. Rabiatul Adawiyah.

7. Fathul Maushili.

8. Tuan Guru H. Abdurrahman Ismail.


Hj. Aisyah binti H. Abdurrahman berpulang ke rahmatullah pada hari Jum'at tanggal 23 Dzulqa'dah 1355 H bertepatan dengan 5 Februari 1937 M dalam usia 59 tahun.


Dikutip dari: Muhammad Bulkini.


Al Fatihah...


رب فانفعنا ببركتهم واهدنا الحسنى بحرمتهم وأمتنا في طريقتهم ومعافاة من الفتن.


Kalampayan, Sabtu, 1 Juni 2024 M/24 Dzulqa'dah 1445 H.


Al Faqir Ahmad.

Makam Habib Abdul Hamid bin Idrus bin Umar bin Pangeran Syarif Ali bin Abdurrahman Al Aydrus. Letak: Jalan Tatah Layap, Desa Tatah Layap, Kecamatan Tatah Makmur, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan.

 Makam Habib Abdul Hamid bin Idrus bin Umar bin Pangeran Syarif Ali bin Abdurrahman Al Aydrus.





Letak: Jalan Tatah Layap, Desa Tatah Layap, Kecamatan Tatah Makmur, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan.


Al Fatihah...


رب فانفعنا ببركتهم واهدنا الحسنى بحرمتهم وأمتنا في طريقتهم ومعافاة من الفتن.


Tatah Layap, Ahad, 27 Oktober 2024 M/24 Rabi'ul Akhir 1446 H.


Al Faqir Ahmad.

Makam Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Mahmuda. Letak: Jalan Tatah Bangkal - Pandan Sari RT. 01/RW. 02, Desa Pandan Sari, Kecamatan Tatah Makmur, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan.

 Makam Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Mahmuda.






Letak: Jalan Tatah Bangkal - Pandan Sari RT. 01/RW. 02, Desa Pandan Sari, Kecamatan Tatah Makmur, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan.


Al Fatihah...


رب فانفعنا ببركتهم واهدنا الحسنى بحرمتهم وأمتنا في طريقتهم ومعافاة من الفتن.


Pandan Sari, Ahad, 27 Oktober 2024 M/24 Rabi'ul Akhir 1446 H.


Al Faqir Ahmad.

Makam Syaikh H. Abdul Qadir Jailani bin Darman. Letak: Desa Tatah Jaruju, Kecamatan Tatah Makmur, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan.

 Makam Syaikh H. Abdul Qadir Jailani bin Darman.








Letak: Desa Tatah Jaruju, Kecamatan Tatah Makmur, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan.


Syaikh H. Abdul Qadir Jailani bin Darman atau lebih dikenal dengan AB Jailani Darman adalah seorang ulama ahli dalam bidang ilmu Tauhid dan Tasawwuf. Beliau dilahirkan di Banjarmasin, besar dan tumbuh di lingkungan keluarga di Dalam Pagar Martapura, kemudian mengajar dan bertempat tinggal di Kampung Melayu Laut Banjarmasin.


Riwayat pendidikan beliau di antaranya adalah Pondok Pesantren Darussalam Martapura (lulus 1938 M) dan Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo (satu kelas dengan KH. Idham Khalid).


Ketika Indonesia masih dalam keadaan kacau, dengan berbekal pengetahuan agama dan keinginan membela tanah air, maka beliau memutuskan untuk ikut berjuang.


Pada tahun 1944 M, beliau aktif dalam Barisan Pelopor. Tahun 1945 M, menjadi Bendahara Angkatan Muda Indonesia di Malang (langsung di bawah pimpinan Ir. Soekarno). Tahun 1947 M, menjadi anggota seksi I Tentara Pelajar Indonesia-Kalimantan. Beliau juga pernah menjadi pasukan garis depan dalam mempertahankan wilayah di Jawa Timur yaitu Jembatan Merah yang sekarang menjadi monumen bersejarah para pahlawan, dan masih banyak lagi pertempuran-pertempuran yang beliau hadapi yang belum bisa dituliskan di sini.


Pada sekitar tahun 80-an, beberapa orang TNI datang ke rumah beliau untuk menganugerahkan pangkat sebagai Veteran Perang yang berjasa, namun beliau menolaknya. Karena beliau berjuang atas nama bangsa, bukan atas nama pribadi.


Dalam suatu serangan yang dilakukan oleh Belanda, anak laki-laki beliau yang berumur kira-kira 4-5 tahun terbunuh terkena bom granat langsung di depan mata beliau saat bermain di halaman rumah. Namun beliau tidak berkecil hati dan senantiasa istiqamah dalam perjuangan. Beliau juga pernah ditangkap dan dipenjarakan oleh Jepang karena pengkhianatan salah satu temannya. Setelah dikeluarkan dari penjara, semua harta beliau habis. Yang tersisa hanya baju dan celana yang ada di badan serta uang sebesar kira-kira 5 Sen yang kemudian diberikan kepada istri dan anak perempuannya untuk membeli jagung.


Setelah beliau memberikan uang 5 Sen itu kepada keluarga, berbekal pengetahuan agama, maka beliau pun mengasingkan diri dengan tujuan untuk menjadi kaya. Singkat cerita, saat mengasingkan diri, ada seseorang menemui beliau kemudian berkata:


Apa yang kamu inginkan dari pengasingan diri ini?


Beliau menjawab: Saya ingin kaya.


Seseorang tadi berkata: Tidak, kamu tidak bisa kaya!


Beliau bertanya: Mengapa? Bukankah saya telah benar menjalankannya?


Seseorang tadi menjawab: Betul, kamu sudah benar, namun doa dari ibumu bukanlah itu (menjadi kaya).


Beliau bertanya kembali: Lantas, apa doa yang selalu dipanjatkan ibu saya untuk saya?


Kemudian seketika seseorang tadi seolah-olah membuka tabir dan terlihatlah sesosok perempuan yang sedang mengandung, maka terperanjatlah beliau karena yang dilihatnya adalah ibunya saat mengandungnya. Beliau terus mengamati penampakan itu hingga terucaplah doa dari sang ibu sambil mengelus perutnya: Mudahan ikam jadi urang alim nak ai.


Dan doa itu terus-menerus ibunya ucapkan dari hamil sampai melahirkan beliau.


Betapa bergetarnya tubuh beliau melihat dan mendengar doa dari ibunya sehingga beliau tersungkur menangis kemudian berucap: Ya Allah, ulun tarima doa kuitan ulun.


Sejak saat itu, beliau menjadi pengusaha (pedagang) untuk memenuhi kehidupan istri dan anak-anaknya, beliau sempat menjadi Pimpinan Induk 52 Persatuan Pasar di Banjarmasin selama 15 tahun. Sambil mengamalkan ilmu yang sudah dikaruniakan kepadanya, maka beliau pun membuka pengajian Tauhid dan Tasawwuf pada tahun 1961 M. Murid-murid beliau tersebar mulai dari Banjarmasin, Gambut, Martapura, Paringin, Amuntai, Sangkulirang, Kapuas, Marabahan, Palangkaraya, Surabaya, bahkan hingga ke Malaysia dan Brunei Darussalam.


Beliau pernah berucap kepada murid-muridnya: Dahulu aku meminta sugih, ternyata dengan ilmu agama yang aku terima ini aku pun jadi sugih (mendapat ketenangan batin), karena ilmu ini ilmunya urang sugih.


Beberapa karya tulis beliau antara lain:


1. Doktrin Ahlussunnah Wal Jama'ah Dan Pancasila (1971 M).

2. Risalah Asas Ilmu Tauhid-Tasawwuf (1972 M).

3. Ikhtisar Konsep Materi Dakwah Islamiyah Dan Ajaran-Ajaran Islam (1984 M).

4. Agama Islam Wahyu Ilahi (1986 M).

5. Kebenaran Kata Wihdatul Wujud Oleh Ibnu Arabi Dan Soal Nur Muhammad.


Beliau wafat di Banjarmasin pada hari Sabtu tanggal 10 April 1999 M atau bertepatan dengan 23 Dzulhijjah 1419 H.


Al Fatihah...


رب فانفعنا ببركتهم واهدنا الحسنى بحرمتهم وأمتنا في طريقتهم ومعافاة من الفتن.


Tatah Jaruju, Ahad, 17 September 2023 M/1 Rabi'ul Awwal 1445 H.


Al Faqir Ahmad.

Ziarah ke Makam Pendiri Pondok Pesantren Al Manshur Walangku 30/10/2024

 Ziarah ke Makam Pendiri Pondok Pesantren Al Manshur Walangku 30/10/2024


hari ini Abang Rafli bersama para Ustadzny ziarah ke Makam pendiri Pondok Pesantren Al Manshur Walangku 


Pondok Pesantren AL Mansyur didirikan tahun 1990 oleh KH Muhammad Yusuf bin Haji Kandil


Setelah Lima tahun berjalan, Tuan Guru Muhammad Yusuf meninggal dunia, lalu sempat vakum selama 10 tahun


“Kemudian ada seorang kiai yang berminat menghidupkan lagi ponpes ni, yaitu KH Akhmad Ansari (Pondok Pesantren Al Anshari, Batu Tungku, Tanah Laut) yang kemudian mengutus muridnya KH Abdu Samad dari Nagara, 


yang oleh KH Abdusamad  di tahun 2019

disebut Pondok Pesantren Futuhatush Shamadaniah Ma'had Al Manshur, 

smpai tahun 2023 telah masuk 150 orang terdiri laki-laki dan perempuan.


Selama dipimpin KH Abdusamad hingga tahun 2023 telah melakukan tiga kali wisuda, dengan menghasilkan 87 alumni penghafal Al quran 30 juz.


KH. Abdussamad meninggal hari, senin, 04 September 2023 / 18 Shafar 1445 H, pada pukul :

14.25 WITA di RSUD Ulin Banjarmasin dan dimakamkan, pada Hari selasa, 05 September 2023

Pukul :11.00 WITA, dekat Zawiyah Nagara Daha, Hulu Sungai Selatan 


Pondok Pesantren Futuhatush Shamadaniyah Darul Qur'an Darul Huffazh Al-Manshuri Walanngku hingga kini terus membuka pendidikan Al-Qur'an untuk para Santri 


Kegiatan Takhassus Al-Qur'an setiap senin - kamis sore di PP Futuhatush Shamadaniyah Darul Qur'an Darul Huffazh Al-Manshuri Walangku


1. Takhassus Al-Qur'an Metode Tilawati

2. Tahfidz Al-Qur'an Metode Tilawati

3. Program menghafal Hadist Arba'in An-Nawawi Metode Imtiyaz

4. Pendidikan Formal PKPPS Ula, Wustha dan Ulya


Makam KH Muhammad Yusuf, berada di Komplek Pemakaman Keluarga jalan menuju makam berada di seberang Kantor PDAM unit Kasarangan, masuk ke arah jalan Gang sekitar 200 meter


Kasarangan, 01 November 2025

(Muhammad Edwan Ansari)






Maqam  Tuan Guru Haji Manshur bin Haji Mukhtar 



Terletak di Komplek Kubur muslimin Desa Kasarangan (Walangku) Kecamatan Labuan Amas Utara 

jalan menuju maqam di terletak di samping Langgar Darul Muhibbah Walangku


Beliau termasuk salah satu ulama dan guru di Desa Walangku atau Kasarangan pada zamannya pernah menuntut ilmu di Makkah Al Mukarramah, di antara teman-teman beliau ketika belajar di Makkah adalah Haji Muhammad Saman bin H. Muhammad Ramli. (Mahang) Tuan Guru H. Hasbullah (Banua Kapayang). 


KH Mashur adalah salah satu murid dari KH.Muhammad Ramli bin KH Muhammad Amin bin Abdullah ayah dari KH Mahfudz Amin Muassis Pondok Pesantren Ibnul Amin Pamangkih 


Tabarukkan dari beliau, nama Pondok Pesantren Al Manshur oleh salah satu murid beliau yang juga Muassis Pondok Pesantren Al Manshur Walangku yaitu : KH Muhammad Yusuf bin Haji Kandil) diberikan nama Al Manshur atas pondok pesantren tersebut, maqam KH Muhammad Yusuf sendiri adalah memasuki jalan gang seberang Kantor PDAM Walangku Kasarangan 


Sekolah TK Al-Qur'an Al Mansur yang berada di samping mesjid Al Amin Walangku di ambil dari nama beliau


Tadi malam 29 September 2024 dilaksanakan Haul beliau di Mesjid Al Amin Walangku



Walangku, Kasarangan, 30 September 2024


Abah Rafli 










Muassis Pondok Pesantren Al Manshur Walangku yaitu : KH Muhammad Yusuf bin Haji Kandil) diberikan nama Al Manshur atas pondok pesantren tersebut, maqam KH Muhammad Yusuf sendiri adalah memasuki jalan gang seberang Kantor PDAM Walangku Kasarangan 




Ziarah ke Makam Pendiri Pondok Pesantren Al Manshur Walangku 30/10/2024


hari ini Abang Rafli bersama para Ustadzny ziarah ke Makam pendiri Pondok Pesantren Al Manshur Walangku 


Pondok Pesantren AL Mansyur didirikan tahun 1990 oleh KH Muhammad Yusuf bin Haji Kandil


Setelah Lima tahun berjalan, Tuan Guru Muhammad Yusuf meninggal dunia, lalu sempat vakum selama 10 tahun



“Kemudian ada seorang kiai yang berminat menghidupkan lagi ponpes ni, yaitu KH Akhmad Ansari, yang kemudian mengutus muridnya KH Abdu Samad dari Nagara, 


yang oleh KH Abdusamad 

disebut Pondok Pesantren Futuhatush Shamadaniah Ma'had Al Manshur, 

smpai tahun 2023 telah masuk 150 orang terdiri laki-laki dan perempuan.



Selama dipimpin KH Abdusamad hingga tahun 2023 telah melakukan tiga kali wisuda, dengan menghasilkan 87 alumni penghafal Al quran 30 juz.


KH. Abdussamad meninggal hari, senin, 04 September 2023 / 18 Shafar 1445 H, pada pukul :

14.25 WITA di RSUD Ulin Banjarmasin dan dimakamkan, pada Hari selasa, 05 September 2023

Pukul :11.00 WITA, dekat Zawiyah Nagara Daha, Hulu Sungai Selatan 


Pondok Pesantren Futuhatush Shamadaniyah Darul Qur'an Darul Huffazh Al-Manshuri Walanngku hingga kini terus membuka pendidikan Al-Qur'an untuk para Santri 


Kegiatan Takhassus Al-Qur'an setiap senin - kamis sore di PP Futuhatush Shamadaniyah Darul Qur'an Darul Huffazh Al-Manshuri Walangku



1. Takhassus Al-Qur'an Metode Tilawati

2. Tahfidz Al-Qur'an Metode Tilawati

3. Program menghafal Hadist Arba'in An-Nawawi Metode Imtiyaz

4. Pendidikan Formal PKPPS Ula, Wustha dan Ulya


Makam KH Muhammad Yusuf, berada di Komplek Pemakaman Keluarga jalan menuju makam berada di seberang Kantor PDAM unit Kasarangan, masuk ke arah jalan Gang sekitar 200 meter


Kasarangan, 01 November 2025

(Muhammad Edwan Ansari)

Kitab Dhiya-uz Zhulam fi Bayanil Hikam, oleh Al-Allamah Syaikh Muhammad Bakhit bin Syaikh Ahmad Mughni Al-Banjari.

Kitab Dhiya-uz Zhulam fi Bayanil Hikam, oleh Al-Allamah Syaikh Muhammad Bakhit bin Syaikh Ahmad Mughni Al-Banjari.




Dhiya-uz Zhulam fi Bayanil Hikam, merupakan uraian atas Al-Hikam Imam bnu Athaillah Assakandari yang disyarah oleh Al-Allamah Syaikh Muhammad Bakhit bin Syaikh Ahmad Mughni Al-Banjari.


Kata Syaikh Abdusshamad Al-Falimbani, kitab Al-Hikam merupakan kitab ilmu tasawwuf untuk tingkat menengah.


Kitab Al-Hikam merupakan kitab yang penuh berkah yang dibaca, dipelajari, dan disyarah dari masa ke masa di berbagai negeri.


Menurut saya pribadi, Ulama Nusantara yang saat ini uraiannya sangat bagus terhadap kitab Al-Hikam adalah Tuan Guru Haji Muhammad Bakhiet atau yang dikenal dengan sebutan Guru Bakhiet, Uraiannya mudah dimengerti dan sarat akan ilmu. Tidak jarang nasihat yang ada di dalamnya membuat hati bergetar. 



Rabu, Oktober 30, 2024

Abuya Guru H.M. Amin, Tanjung Rema, Mtp

 Abuya Guru H.M. Amin, Tanjung Rema, Mtp





Rasanya baru saja Tuan Guru H. Syarwani Kastan pergi menghadap Ilahi. Lalu disusul Tuan Guru H. Ibrahim Ismail, terus wafatnya Tuan Guru H. Syansuri. Tak berapa lama kemudian Tuan Guru H. Anang Antung lagi yang meninggal dunia. Kini Abuya Guru H.M. Amin mengikuti harus menghadap Tuhan yang Maha Kuasa. Lima dari guru-guru senior PP. Darussalam ini sepertinya berlomba dijemput kematian dalam waktu yang tidak terlalu lama secara bergiliran. Belum sempat kesedihan berlalu sudah datang lagi kesedihan lain. Belum kering lagi kuburan yang satu sudah digali lagi kubur yang lain dan yang lain lagi menjadi berkali-kali. Ada pertanda apa ini, banyak ulama pergi meninggalkan dunia ? Adakah ini cara Allah mencabut ilmu dari bumi manusia dengan mematikan para ulama ? Semoga tidak, masih banyak kader muda yang sudah siap menggantikannya, meskipun pada awalnya dengan gerak langkah yang terbata-bata, tapi lama kelamaan akan menjadi terbiasa dan sudah bisa beradabtasi untuk siap mengganti. Patah tumbuh hilang berganti, gugur satu tumbuh seribu. 


Abuya Guru H. Muhammad Amin, dipanggil ke rahmatullah hari Kamis, tanggal 6 Agustus 2020/16 Zulhijjah 1441, jam 09.20 Wita, masih pagi, hawa panas matahari terasa hangat di rumah duka Gang Sampurna, Tanjung Rema,, Martapura.  


Dari garis ayah, hanya diketahui Abuya Guru H. Muhammad Amin bin Guru H.M. Dahlan. Dari garis ibu beliau merupakan zuriyat Datu Kalampayan (Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari). Ranji silsilahnya demikian, Abuya Guru H.M. Amin bin Hafsoh binti Hj. Sa'diyah binti Syekh Ali Makkah bin H. Abdullah bin Qadi H. Mahmud bin Asiah binti Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. 


Beliau salah satu guru PP. Darussalam yang dianggap sudah mencapai tingkat ulama khos. Dalam mengajar santrinya tidak semata-mata transfer ilmu, tapi juga adab, akhlak dan spiritual. Beliau telah berhasil, mengangkat martabat dan derajat santrinya dari bodoh menjadi pintar, dari malas beribadah berubah rajin ibadah, dari tamak beralih dermawan/pemurah dan dari hubbud dunya (cinta dunia) menjadi lebih mencintai akhirat.


Di samping sebagai ulama khos, beliau juga kata santrinya dikenal sebagai sosok ulama yang sangat istiqamah (konsisten dan komitmen) dalam mengajar, beraqidah, bermazhab, beramaliyah dan lain-lain. Sebagai contoh, sikap istiqamah beliau yakni bagaimanapun keadaan dan keberadaan PP. Darussalam beliau tetap setia mengajar. Bagaimanapun kondisi badan beliau kalau masih mampu digerakkan beliau akan tetap mengajar sesuai jadwal.


Begitulah gambaran hidup dari Abuya Guru H. Muhammad Amin ayah dari Iman Banua, sarjana Bahasa Arab, Fakultas Tarbiyah UIN Antasari, yang aku yakin telah mewarisi ilmu dan amal dari ayahnya. Kita doakan bersama Abuya Guru H. Muhammad Amin memperoleh tempat yang layak di sisi Allah Swt, segala dosa beliau diampuni, segala amal baiknya diterima dan digandakan berkali-kali, segala kekurangannya ditambali, segala kesalahannya dimaafi dan selalu mendapat rahmat Ilahi. Sebaliknya untuk keluarga yang ditinggalkan agar tabah dalam menghadapi segala musibah dan terus semangat untuk memperjuangkan cita-cita dan harapan beliau yang belum selesai. Allah Yarham.


Sumber: Tulisan Ahmad Humaidi Ibnu Sami


Syeikh Fahmi Zamzam al-Banjari an-Nadwi al-Maliki ( 1959 - 2021 )

 Hari ini genap 3 tahun padamnya sebuah cahaya ilmu yang menyinari bumi Nusantara. Beliau adalah seorang ulama' yang sangat lembut tutur katanya dan bercakap dengan penuh hikmah. Allahuakbar. Pemergian beliau sesungguhnya tiada galang ganti.



Marilah kita membaca sedikit manaqib ringkas beliau :


Syeikh Fahmi Zamzam al-Banjari an-Nadwi al-Maliki ( 1959 - 2021 )


Syeikh Ahmad Fahmi Bin Zamzam an-Nadwi al-Maliki dan beliau dilahirkan di Amuntai pada tanggal 9 Jun 1959 dan berasal dari suku Banjar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Borneo), Indonesia.


Syeikh mula menuntut ilmu di daerah Amuntai, kemudian melanjutkan pelajarannya ke Madrasah Darus Salam Martapura sampai ke tingkatan ‘Aliyah (tertinggi) dari tahun 1973 sehingga 1978. Seterusnya pada tahun 1979, beliau melanjutkan pelajaran di Yayasan Pesantren Islam, Bangil, Jawa Timur sebelum berangkat ke Uttar Pradesh, India pada tahun 1980 sehingga tahun 1987 dan berjaya mendapat sarjana (MA) dalam bidang Dakwah & Sastra Arab.


Pada tahun 1988 pula, beliau berangkat ke Mekah dan menuntut ilmu dari beberapa alim ulama' di sana.


Di antara gurunya ialah :


1. Syeikh Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi - Wafat pada tahun 1999

2. Syeikh Muhammad Yasin Isa al-Fadani - Mendapat Ijazah Ammah dalam ilmu Hadis

3. Sayyid Muhammad Bin Alwi al-Maliki al-Hasani


Dari gurunya Sayyid Muhammad Bin Alwi, beliau dianugerahi gelaran "al-Maliki" pada tahun 2002 atas pemahamannya yang mendalam dalam persoalan-persoalan agama.


Pada pertengahan tahun 1984, beliau berhijrah ke Kedah sebelum pergi semula ke India pada 1987. Ketika di Kedah, beliau berkhidmat di Maahad Tarbiyah Islamiyah, Derang, Pokok Sena, Kedah. Jumlah keseluruhan Syeikh mengajar di sana ialah hampir 20 tahun. Syeikh Ahmad Fahmi Zamzam juga sering menyampaikan pengajaran di masjid masjid terutama di Kedah. Selain itu, beliau juga diminta oleh Radio RTM Kedah untuk mengisi ruang Kemusykilan Agama.


Pada tahun 2001, beliau telah mendirikan sebuah pondok pesantren di Muara Teweh, Kalimantan Tengah, Indonesia yang seterusnya diikuti dengan sebuah pondok pesantren di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Indonesia pada tahun 2003 dan yang ketiga pada tahun 2009, beliau membangunkan lagi sebuah pondok pesantren di Balikpapan, Kalimantan Timur. Seterusnya, beliau juga ada mendirikan sebuah madrasah di Sabah.


Di samping itu, beliau juga pernah dilantik menjadi Ketua Umum Majelis Ulama’ Indonesia Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah untuk sesi 2004-2009.


Sehingga kini Syeikh Fahmi Zamzam telah menghasilkan lebih daripada 15 buah buku. Di antaranya ialah :


1. Empat Puluh Hadits Peristiwa Akhir Zaman

2. Empat Puluh Hadits Penawar Hati

3. Empat Puluh Hadits Kelebihan Ilmu dan Ulama

4. Empat Puluh Hadits Akhlak Mulia

5. Terjemahan Bidayatul Hidayah

6. Terjemahan Ayyuhal Walad ( Imam Ghazali )

7. Terjemahan Lamiyah Ibnu Wardi

8. Terjemahan Bustanul Arifin

9. Terjemahan Qasidah Burdah Imam al-Busiri

10. Kiamat Hampir Tiba

11. Riwayat Hidup Sayyid Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi

12. Riwayat Hidup Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani

13. Tahqiq Sairus Salikin

14. Tahqiq Hidayatus Salikin

15. Bekal Akhirat


Beliau telah meninggal dunia pada 30 Oktober 2021, jam 6.45 pagi dalam usia 62 tahun.


Moga Allah Taala mencucuri rahmat ke atas roh al-Marhum. Amin


*Sumber - https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10155554437521999&id=295419981998


#HaulUlamak

Selasa, Oktober 29, 2024

Rumah Adat Kalimantan

 Berdasarkan wilayahnya, Kalimantan terdiri atas lima provinsi, yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Utara. Kelima provinsi tersebut memiliki beragam suku dan budaya, termasuk rumah adat.



Dikutip dari laman resmi Kemdikbud, berikut ini 15 rumah adat Kalimantan:


1. Rumah Bubungan Tinggi


Rumah adat ini adalah rumah khas suku Banjar yang sebagian besar mendiami wilayah Kalimantan Selatan.


Rumah bubungan tinggi terbuat dari kayu ulin atau kayu besi. Kayu ini terkenal sangat kuat. Kayu ini dapat bertahan sampai dengan ratusan tahun dan antirayap.


2. Rumah Gajah Baliku

Rumah ini juga termasuk rumah tradisional suku Banjar. Pada masa Kesultanan Banjar, rumah ini merupakan tempat tinggal para saudara sultan bentuk fisiknya mirip dengan rumah bubungan tinggi.


Perbedaan antara rumah bubungan tinggi dan rumah ini terletak pada ruang tamu kedua jenis rumah. Pertama, pada ruang tamu rumah bubungan tinggi, lantainya berjenjang, sedangkan pada rumah ini lantainya tidak berjenjang.


Perbedaan kedua, pada rumah bubungan tinggi, atap ruang tamu tidak memakai kuda-kuda, sedangkan rumah gajah baliku memakai kuda-kuda.


3. Rumah Palimasan


Rumah ini masih termasuk rumah tradisional suku Banjar, Kalimantan Selatan. Bahan dasarnya adalah kayu ulin yang lebih besar.


Salah satu ciri utama rumah ini adalah semua bagian atap sirapnya menggunakan atap model perisai. Penggunaan atap model ini membentuk atap berwujud limas. Karena itulah, rumah ini dinamakan rumah palimasan.


4. Rumah Balai Bini


Rumah tradisional Kalimantan yang berasal dari suku Banjar ini pada masa Kesultanan Banjar didiami oleh para putri sultan atau warga sultan dari pihak perempuan.


Bangunan induknya yang segi empat memanjang memakai atap model perisai. Bentuk bangunan induk ini biasanya dinamakan rumah gajah. Atap rumah yang menyerupai perisai ini bermakna perlindungan terhadap wanita.


5. Rumah Tadah Alas

Rumah ini juga termasuk salah satu rumah tradisional suku Banjar. Disebut tadah alas karena ada satu lapis atap perisai sebagai kanopi di bagian paling depan. Atap perisai inilah yang disebut tadah alas.


Rumah ini berbahan dasar kayu ulin. Bangunan induknya juga berbentuk segi empat memanjang. Bagian depannya beratap perisai. .


6. Rumah Gajah Manyusu


Rumah gajah manyusu adalah sebuah nama kolektif. Nama kolektif ini untuk menyebut semua bentuk rumah tradisional suku Banjar yang bangunan induknya beratap perisai buntung.


Pada zaman dulu, bahan dasar rumah ini memakai kayu ulin, baik tiang penyangga, lantai, dinding, maupun atapnya. Warna dasarnya sesuai warna kayu ini.


Setelah mengenal cat, sebagian rumah ini ada yang dicat sesuai dengan selera pemiliknya, misalnya, warna coklat.


7. Rumah Balai Laki


Rumah adat Kalimantan ini oleh suku Banjar dihuni para penggawa mantri dan para prajurit pengawal keamanan Kesultanan Banjar.


Bentuk atap bangunan depan atau induknya memakai bubungan atap yang menyerupai pelana kuda. Atap ini disebut atap pelana. Bahannya sirap yang berupa kepingan papan tipis-tipis dari kayu ulin.


8. Rumah Palimbangan


Pada masa Kesultanan Banjar, rumah tradisional suku Banjar ini adalah hunian para tokoh agama Islam dan para alim ulamanya.


Rumah ini mengandung makna kuatnya agama Islam dan penghormatan terhadap ulama di Kesultanan Banjar. Bangunan ini bahan utamanya adalah kayu ulin.


Bentuk atap bangunan depan atau induknya juga memakai bubungan atap pelana. Rumah jenis ini kebanyakannya tidak menggunakan ruang samping atau anjung.


9. Rumah Cacak Burung


Rumah ini juga termasuk rumah tradisional suku Banjar. Rumah jenis ini adalah hunian rakyat biasa. Bangunan induknya memanjang dengan beratap pelana.


Pada kedua atap, yakni atap pelana dan atap limas membentuk tanda tambah (+). Tanda ini merupakan simbol bentuk cacak burung. Simbol ini adalah tanda magis penolak bala. Bentuk tanda tambah (+) inilah yang menyebabkan rumah ini disebut rumah cacak burung.


10. Rumah Lanting


Rumah adat Kalimantan satu ini merupakan rumah rakit tradisional suku Banjar. Bangunan rumah ini mengapung di atas air, yakni di sungai atau di rawa dengan pondasi rakit.


Bagian pondasi terdiri atas susunan batang-batang pohon besar. Biasanya ada tiga batang pohon besar yang dipakai sebagai pondasinya. Rumah ini selalu oleng dimainkan gelombang yang dihasilkan kapal yang melintas di sekitarnya.


11. Rumah Joglo Gudang atau Rumah Joglo Banjar


Pemakaian kata joglo pada nama rumah ini karena bangunannya menyerupai rumah joglo khas suku Jawa.


Adapun alasan pemakaian kata gudang karena bagian kolongnya digunakan sebagai gudang menyimpan hasil hutan, karet, dan lainnya yang merupakan komoditas zaman dulu.


Rumah ini juga termasuk rumah tradisional suku Banjar. Bangunannya beratap limas dengan disambung atap sindang langit pada bagian depannya. Atap bagian depannya ini tanpa plafon.


12. Rumah Bangun Gudang


Rumah ini termasuk rumah tradisional suku Banjar. Atapnya berbentuk perisai atau atap gajah. Beranda tempat bersantai tergolong kecil karena bagian kanan dan kirinya diubah menjadi dinding depan. Beranda yang kecil ini bermakna bermakna kerja keras atau tidak bermalas-malasan.


13. Rumah Panjang


Rumah panjang merupakan rumah khas suku Dayak. Disebut rumah panjang karena rumah ini bentuknya memanjang. Panjang rumah ada yang mencapai 300 meter.


Rumah panjang memiliki nama atau sebutan yang berbeda-beda sesuai dengan sub-sub suku atau bagian-bagian dari rumpun Dayak di antaranya adalah sebagai berikut.


a) Lou


Rumah ini merupakan rumah tradisional suku Dayak Benuaq. Suku Dayak Benuaq merupakan bagian dari suku Dayak Lawangan.


Dayak Lawangan ini termasuk dalam rumpun Ot Danum. Bangunan rumah ini termasuk jenis rumah panjang di Kalimantan Timur, sesuai dengan wilayah tinggal mereka.


b) Amin Bioq


Rumah tradisional ini merupakan rumah suku Dayak Kenyah. Suku Dayak ini termasuk dalam rumpun Apou Kayan yang mendiami Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Di rumah ini disimpan barang-barang adat milik bersama.


c) Huma Betang


Huma betang adalah rumah panjang khas suku Dayak Ngaju. Suku Dayak ini termasuk dalam rumpun Ot Danum yang mendiami wilayah Kalimantan Tengah.


Rumah ini panjangnya bisa mencapai 30-150 meter. Lebarnya bisa sampai 10-30 meter. Lantainya tidak langsung menyentuh tanah. Ada tiang-tiang penyangga lantai setinggi 3-5 meter dari permukaan tanahnya.


d) Lewu Hante


Lewu hante merupakan rumah panjang tradisional suku Dayak Maanyan. Suku Dayak ini banyak mendiami daerah Kalimantan Tengah. Mereka termasuk dalam rumpun Ot Danum.


Bahan utama bangunan rumah ini adalah kayu ulin. Jarak antara lantai dan permukaan tanah sekitar 3-5 meter.


e) Lamin


Rumah Lamin adalah sebutan untuk rumah panjang suku Kutai. Suku Kutai ini sebenarnya merupakan bagian dari rumpun Dayak Ot Danum.


Panjang lamin bisa mencapai 300 meter. Lebarnya bisa mencapai 15 meter dan tingginya lebih kurang 3 meter dari permukaan tanah. Terbuat dari bahan utama kayu ulin. Orang juga menyebutnya dengan kayu besi.


f) Rumah Radakng


Rumah radakng adalah sebutan untuk rumah panjang dengan lantai panggung suku Dayak Kanayatn. Suku Dayak ini mendiami Kalimantan Barat.


Rumah ini terbuat dari bahan kayu ulin. Panjangnya hampir 300 meter dengan lebar sekitar 10 meter dan tinggi sekitar 7 meter.


g) Rumah Panjae


Rumah Panjae adalah sebutan untuk rumah panjang rumpun Dayak Iban. Rumpun Dayak ini mendiami wilayah Kalimantan Barat dan juga Malaysia bagian timur, seperti Sarawak.


14. Rumah Balai


Rumah ini merupakan rumah khas sub-sub suku Dayak yang berada di sepanjang Pegunungan Meratus. Pegunungan ini ada di Kalimantan Selatan.


Sub-sub suku Dayak ini juga merupakan bagian dari rumpun-rumpun Dayak tersebut di atas. Misalnya, ada yang termasuk rumpun Ot Danum dan ada yang masuk rumpun Iban.


15. Rumah Baloy


Rumah baloy adalah rumah tradisional suku Dayak Tidung di Kalimantan Utara. Rumah ini merupakan tempat tinggal Kepala Adat Besar Dayak Tidung.


Bangunan rumah ini juga menggunakan tiang tinggi sebagai penyangga lantainya. Bahan dasarnya pun kayu ulin. Rumah ini dibangun menghadap ke utara

Makam Dayu Pati terletak di Muara Rintis, Hst, Kalsel, nampak bertuliskan di kuburan, Dayu Pati meninggal pada tahun 1789 masehi bertepatan dengan tahun 1206 Hijriyah.

 Makam Dayu Pati terletak di Muara Rintis, Hst, Kalsel, nampak bertuliskan di kuburan, Dayu Pati meninggal pada tahun 1789 masehi bertepatan dengan tahun 1206 Hijriyah.


     Dayu Pati adalah seorang pengawal para anak raja, ketika sedang melakukan perjalanan, seperti perjalanan dari Kalua menuju kerajaan Banjarmasin.


     Ketika selesai dalam perjalanan mengantarkan anak raja, Dayu Pati menikahi perempuan yang tinggal di Muara Rintis dan pada akhirnya Dayu Pati pun menatap tinggal di Muara Rintis sampai akhir hayatnya dan dikuburkan di sana.


Akses menuju makam Dayu Pati

     Untuk akses menuju makam Dayu Pati, bisa kalian tempuh menggunakan sepeda motor ataupun mobil, letaknya berada di Gang kecil di depan Masjid Simpang Tiga Gambah, jika menggunakan sepeda motor, kalian bisa langsung menuju ke tempat lokasi makam ini dan jika kalian menggunakan mobil kalian harus berjalan kurang lebih 5 menit untuk menuju makam Dayu Pati.




Makam tuan guru H.Ahmad Supiani(guru supian)birik,matang ginalon.

 Makam tuan guru H.Ahmad Supiani(guru supian)birik,matang ginalon...Semasa beliau hidup 2 kali suah badapat,suara sidin ranggau 






Syekh Abdul Karim Al-Banjari

 Syekh Abdul Karim Al-Banjari



Syekh Abdul Karim adalah ulama besar kelahiran Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Beliau mengajar di Masjidil Haram dan merupakan orang Indonesia terakhir yang mengajar di Mesjid termulia di dunia itu.


Dikatakan demikian karena sesudah beliau wafat, sampai ditulisnya risalah ini, tidak ada lagi orang Indonesia yang mengajar di sana. Beliau seorang “Tuan Guru” berlevel Internasional, karena menjadi guru di pusat peribadatan dan kiblatnya umat Islam di seluruh dunia. Murid-murid beliau tersebar di hampir sepertiga dunia; Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina, Thailand dan Kamboja.


Banyak di antara murid beliau yang menjadi ulama ternama. Di Kalimantan Selatan antara lain: Tuan Guru H. Adnani Iskandar, Nagasari, Tuan Guru H. Sufyan, Tatah Bahalang, Tuan Guru H. Haderawi dan Tuan Guru H. Syamsurrahman, Kelayan. Di antara sahabat beliau ketika menuntut ilmu di Makkah, yang sangat ternama adalah: Tuan Guru H. Syarwani Abdan Bangil (Guru Bangil), pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Datu Kelampayan Bangil, Jawa Timur.


Nama lengkap beliau adalah Abdul Karim Al-Banjari Al-Makki Al-Arsyadi bin H. Muhammad Amin. Beliau lahir di Kampung Kuin Banjarmasin (1342 H/1923 M) dan wafat di Makkah Al-Mukarramah, pada subuh Ahad, 9 Zulhjjah 1422 H – 2002 M.


Berdasarkan silsilah Arsyadiyah, beliau turunan keempat 

dari Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yaitu garis turunan dari ibu beliau Hj.Sa’diyah (bergelar Diyang Kacil) binti Qadhi Said Jazuli Nambau bin Syekh Qadhi Abu Su’ud bin Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.


Beliau tumbuh dan berkembang di tengah keluarga yang agamis dan ketat dalam pendidikan akhlak budi pekerti. Pendidikan awal kebanyakan dari ayah beliau Tuan Guru H. Muhammad Amin, seorang ulama tokoh masyarakat Kuin pada masa itu dengan metode “mengaji duduk” yaitu mendatangi tempat tinggal guru untuk belajar.


Sebelum ke Makkah, beliau sudah menguasai dasar-dasar ilmu bahasa Arab (Nahwu-Sharaf), Fikih, Tauhid, Tasawuf/Akhlaq, dan fasih dalam membaca Alquran.Pada usia sekitar 15 tahun, beliau berangkat menuju Makkah Al-Mukarramah dan Madinah Al-Munawwarah.


Pada masa itu, untuk dapat pergi ke tanah suci tidaklah semudah seperti sekarang ini, karena tanah air masih dalam cengkeraman penjajah Belanda. Keinginan beliau untuk belajar ke sana sangatlah kuat, sedangkan jalan menuju ke sana sangat sulit. Untuk mewujudkan cita-cita mulianya, beliau bermunajat kepada Allah dalam shalat hajat dan do’a sesering mungkin agar cita-cita beliau dapat terwujud.


Akhirnya beliau dipertemukan Allah dengan seorang kapten kapal perang berkebangsaan Jerman yang mencari seorang guide. Sang kapten itu sangat suka terhadap kepribadian beliau dan merasa puas dengan pelayanan beliau. Pada suatu kesempatan, beliau mengemukakan cita-cita untuk dapat pergi ke Makkah, kapten bersedia membawa beliau dengan kapal perang yang akan dibawa pulang ke Jerman.


Setelah melewati dan singgah dibeberapa negara, dalam waktu yang berbulan-bulan, 

akhirnya sampai di kota Jeddah, dan selanjutnya berangkat ke Makkah. Di Makkah, beliau ditampung oleh seorang pedagang berasal dari Banjar. Abdul Karim membantu menjaga toko sambil belajar dengan beberapa guru yang terkenal pada waktu itu, di antaranya:


1. Al-‘allamah al-Fiqih Syekh Muhammad Ahyad bin Idris Al-Bugury Al-Makky, salah seorang ulama besar Syafi’iyah yang termasyhur pada jamannya, tempat lahir ulama ini adalah kota 

Bogor Indonesia, karena itu digelari Al-Bugury. Tetapi karenasudah menetap sejak uda di Makkah maka digelari Al-Makky. Dari ulama ini beliau banyak menimba ilmu Fiqih.


2. Al-‘Allamah Syekh Mukhtar ‘Atharid, seorang muallim yang mengajar di Mesjidil haram. Halaqah beliau di dekat pintu “Bab Nabi SAW”. Dari ulama ini, Syekh Abdul Karim banyak 

menimba ilmu hadits, tafsir dan fiqih.


3. Al-‘Allamah Abu Hafs Syekh Umar bin Hamdan Al-Mhrisy, mu’allim yang mengajar di Masjidil Haram dan di Perguruan 

Salatiyah Makkah. Dari ulama ini beliau banyak menimba ilmu Nahwu, Sharaf dan Balagah, serta Tafsir dan Hadits.


4. Al’Allamah Syekh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib Al-Mandaily, kelahiran daerah Mandailing Sumatra Utara, yang 

juga mengajar di Masjidil-Haram.


5. Al-‘Allamah Al-Qadhi Syekh Hasan bin Muhammad Al-Massyath Al-Maliky. Dari ulama ini beliau beliau banyak mendapatkan ilmu Hadits.


6. Al-Allamah Sayyid Alwi bin Abbas bin Abdil Aziz bin Abbal Al-Hasany Al-Idrisy Al-Makky Al-Maliky, yang mengajar di Masjidil-Haram dan di Perguruan Al-Falah Makkah. Dari ulama ini beliau banyak mendapatkan ilmu Tafsir dan Hadits.


7. Al-‘Allamah Syekh Hasan bin Said Al-Yamany Al-Makky, muallim yang mengajar di masjidil-Haram. Dari ulama ini beliau menuntut ilmu khhusus Fiqih Mazhab Syafi’i.


8. Al-‘Allamah Syekh Ali bin Abdul bin Mahmud bin Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary Al-Makky. Dari ulama ini, beliau memperoleh berbagai ilmu keagamaan, karena selalu 

menghadiri majelis ta’lim di rumah syekh ini di kawasan Syamiyah Makkah.


Sedangkan guru-guru beliau di Madinah Al-Munawwarah yaitu sebagai berikut: 

1. Syekh Muhammad bin Ja’far Al-Kinany.

2. Syekh Sayyid Ali bin Thahir Al-witry.

3. Syekh Sayyid Ahmad bin Isma’il Al-Barzanji.

4. Syekh Falih A-Zhahiry.


Setelah mengajar sekian lama, dan telah mendapatkan ijazah dari guru-guru beliau, maka pada tahun 1369 H/1950 M, beliau 

mendapatkan izin sekaligus surat pengangkatan sebagai guru yang mengajar di salah satu “halaqah” Masjidil Haram dari penguasa Arab Saudi pada masa itu. Murid-murid beliau yang mengikuti halaqah pengajian beliau, selain dari Indonesia, juga dari Thailand, Brunei, dan Filipina.


Di antara pelajaran yang beliau ajarkan di halaqah Masjidil-Haram adalah:

1. Al-Hadits: dengan kitab Riyadhus Shalihin bersama syarahnnya,Dalilul-Falihin, Arba’in An-Nawawiyah bersama syarahnya Fathul Mubin.

2. Tafsir: dengan kitab Al-Jalalain, dan Tafsir Ibnu Katsir.

3. Fiqih: dengan kitab Maniyyatul Mushalli.

4. Akhlaq/Tashawwuf: dengan kitab Risalatul-Mu’awanah wal-Muzhaharah, Mau’izhatul-Mu’minin, ‘Ilajul-Qulub (penawar bagi hati)

5. Qawa’id Al-‘Arabiyah (tata bahasa Arab): dengan kitab Al-Jurumiyah, Al-Asymuni, dan Jauharul-Maknun fil-Balaghah.


Kebanyakan waktu untuk pengajaran beliau di Masjidil Haram adalah antara Shalat Maghrib dan Isya. Kadang-kadang beberapa murid datang ke rumah beliau di Jarwal/Gaslah untuk mendapatkan bimbingan lebih dalam tentang pelajaran yang mereka ikuti d Masjidil Haram. Selain itu beliau juga membuka Majelis Taklim untuk ibu-ibu di rumah beliau setiap hari Kamis pagi dengan materi Fikih dan Akhlak.


Pada usia 27 tahun H. Abdul Karim dinikahkan dengan seorang gadis dari Kandangan bernama Burhaniyah yang dibawa oleh 

keluarganya melaksanakan ibadah haji. Hj. Burhaniyah tinggal di Makkah mendampingi suaminya dengan setia sampai akhir 

hayatnya.


Syekh Abdul Karim sendiri wafat pada tahun 2005 M. Sebelum berpulang ke rahmatullah, Syekh Karim sempat meninggalkan beberapa wasiat kepada murid-murid beliau, sebagian di antaranya adalah:

1. Bertaqwalah kamu kepada Allah, dan lazimkan taat kepada-Nya, serta biasakan berdzikir dengan lisan dan hati.

2. Di antara zikir yang baik diamalkan setiap hari;a. Kalimat tauhid “Laailaha-illallah” tanpa batas banyaknya. b. “Ya Hayyu ya Qayyum Laailaaha illa anta” 41x sehari.c. “Subhanallahi wa bihamdih, subhanallahi al-‘azhim, 

astaghfirullah” 100 x sehari.d. “Rabbigfirli wa tub ‘alayya, innaka antattawwaburrahim” 100 x sehari.

3. Hendaklah kalian berakhlak mulia, dan contohlah kepribadian Rasulullah SAW.

4. Hendaklah kalian berhubungan baik dengan para ulama, hadirilah Majelis Taklim mereka, berkhidmatlah kepada mereka, gali dan timbalah ilmu mereka, ikutilah “thariqat” 

mereka, karena di balik yang demikian itu terdapat rahasia keberhasilan dunia akhirat.


Syekh Karim memiliki beberapa orang saudara, yang juga merupakan ulama terkenal, yaitu:

1. Tuan guru H. Abdul Wahhab, menetap dan mengajar di daerah Kandangan dan Nagara, seorang ulama besar pada zamannya. 

Wafat sekitar tahun 1972 M

2. Tuan guru H. Abdus Samad, terakhr menetap di Kandangan. Seorang ulama besar pula pada zamannya. Wafat malam Jum’at, tanggal 2 Rabiul Awwal 1419 H/26 Juni 1998 M. dalam 

usia kurang lebih 90 tahun. Dimakamkan di dekat mesjid Darul-Khaliq Kandangan.

3. Hj. Aminah, menetap di Banjarmasin, wafat dan dimakamkan di Banjarmasin.

4. Hj. Khamsiah, menetap, wafat dan dimakamkan di Banjarmasin.

5. Hj. Aisyah, kawin dengan seorang warga Negara Arab Saudi keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary. Menetap 

sampai wafat dan dimakamkan di Mekkah Al Mukarramah.


Pada tahun 2002 M/1422 H Syekh Karim melaksanakan ibadah haji sekeluarga, dan ternyata menjadi rukun Islam kelima yang 

ditunaikan saat itu merupakan “Haji Wada” (Haji Perpisahan). Dikatakan demikian karena pada subuh hari Ahad, tanggal 19 

Zulhijjah 1422 H/ 2002 M. dalam usia kurang lebih 79 tahun, Allah memanggil beliau ke hadirat-Nya.


Beliau dishalatkan di Masjidil Haram sesudah shalat Ashar, dan dimakamkan di Ma’la. Dari masjidil Haram ke Ma’la, jenazah beliau diusung sambut-bersambut oleh para murid dan kelurga, serta oleh sebagian warga negara Arab, bagaikan terbang. Selama tiga malam sesudah diadaka“Garayah” (pembacaan Alquran Muqaddam) serta tahlil dan do’a di rumah beliau dikawasan Khalidiah Makkah, dan setiap tahun diadakan “haul’ yang dihadiri 

oleh para murid dan keluarga, juga dihadiri oleh sebagian para jema’ah haji dari Kalimantan Selatan yang belum pulang.


Beliau meninggalkan zuriat yang shaleh dan shalihat sebanyak 6 orang anak, yaitu:

1. H.Muhammad Rafi’ie bin Abdul Karim Banjar, dokter mata, bekerja di salah satu rumah sakit di Jeddah Arab Saudi.

2. H. Ahmad Rif’at bin Abdul Karim Banjar, Ustadz di salah satu Madrasah Negeri Arab Saudi di Makkah.

3. Hj. Rabi’ah binti Abdul Karim Banjar, Ustadzah di salah satu Madrasah di Makkah.

4. Hj. Ramlah binti Abdul Karim Banjar, wafat terdahulu beberapa tahun dari Syekh Karim

5. Hj. Ramziyah binti Abdul Karim Banjar, Ustadzah di salah satu Madrasah di Makkah.

6. Hj. Ruwayda binti Abdul Karim Banjar, Ustadzah di salah satu Madrasah di Makkah.


Sebagai seorang ulama besar tentu saja Syekh Karim banyak sekali memiliki murid, dan murid-murid beliau itu terdiri dari berbagai daerah bahkan dari beberapa negara. Dalam hal ini tidak terkecuali yang berasal dari Kalimantan dan daerah-daerah lainnya di tanah air. Beberapa murid Syekh Karim dimaksud hanya sebagian kecil yang dapat disebutkan di sini, yaitu sebagaimana tercantum di bawah ini.

》. Murid dari Kalimantan;

a. Syekh Muhammad Husni Tamrin bin Jaferi Al-Banjary, mengasuh salah satu majelis ta’lim di Banjarbaru.

b. Tuan Guru H. Haderawi. H.K, pengasuh beberapa majelis ta’lim di Banjarmasin, tuan guru yang cukup ternama di Kalimantan 

Selatan.

c. KH. Ahmad Sufian, ulama yang ternama, da’i kondang di Kalimantan Selatan, juga mengasuh beberapa majelis ta’lim di Banjarmasin. Pernah menjadi Rais Syuriah PWNU Kalimantan Selatan.

d. Tuan Guru H Syamsur Rahman, ulama yang cukup ternama di Banjarmasin, juga mengasuh beberapa majelis ta’lim di Banjarmasin.

e. Tuan Guru H. Abdul Muthalib Matasin Gambut.

f. Tuan Guru H. Saberan Antung Gambut.

g. H.Muhammad Matli Kandangan.

h. H. Muhammad Thayyib Martapura

i. Al-Ustadz H.Hasyim Martapura.

j. Ustadz H. Ibrahim Amuntai

k. Ustadz H. Abd. Salam bin Abd. Rahman Barabai.

l. Ustadz H. Muhyiddin Saubi, Nagara.

m. Ustadz H. Bushairi Rantau Bujur.

n. Ustadz H. Suryani Sulaiman Anjir.

o. Ustadz H. Muhammad Zaini Tambul

p. Ustadz H. Abd. Syukur Anjir

q. Ustadz H. Muhammad Yasin Amuntai


》. Murid asal Kalimantan yang muqim di Mekkah adalah sebagai berikut:

1. Syekh H. Azhari Sya’ya bin Ja’far bin Abd. Samad Al-Banjary.

2. Syekh H. Ahmad Sya’rani Thayyib Al-Martapury ad-Dary.

3. Syekh H. Marbu bin Abdullah bin Thayyib Al-Banjary.


》. Murid dari Thailand antara lain adalah sebagai berikut:

2. Syekh H. Ayang Halwang bin Ji’uma Al-Fathany

2. Ustadz H. Muhammad Zaini Ismail Al-Fathany

3. Ustadz H. Abdullah Ibrahhim Al-Fathanyd.

4. Ustadz H. Muhammad Ramli Al-Fathany


》. Murid dari beberapa daerah Indonesia, antara lain sebagai berikut:


a. Ustadz H. Abd. Raim At-Timory (Timor)

b. Ustadz H. Abd. Latif Syamsuddin Al-Ambory

c. Ustadz H. Abd. Qadir Ambon

d. Ustadz H. Mahmud Nifan Jakarta

e. Ustadz H. Muhammad Yusuf Bima (NTB)

f. Ustadz H. Ali Betawi

g. Ustadz H. Burhanuddin Palembang

h. Ustadz H. Ahyan sambas (Kal-Bar)

i. Ustadz H. Safaruddin bin Athar Ampenan

j. Ustadz H. Baderun Puyung Ampenan

k. Ustadz H. Tarmizi Bangu Ampenan

l. Ustadz H. Lalu Masyat Ampenan

m. Ustadz H. Muhsin Fanujak Ampenan

n. Ustadz H. Lalu Zakaria Abd. Azhim Ampenan

o. Ustadz H. Azhar Lombok

p. Ustadz H. Bahruddin Lombok

q. Ustadz H. Zainal Arifin Lombok

r. Ustadz H. Marzuki Dahlan Betawi

s. Ustadz H. Sulaiman Dahlan Betawi

t. Ustadz Dr H. Yasin Jakarta

u. Ustadz H. Hamim Banten

v. Ustadz H. Syamsuddin Ajyad mandailing (Sumut)

w. Ustadz H. Ahmad Dasturi Ketapang

x. Ustadz H. Ali Gusti Mandailing (Sumut)

y. Ustadz H. M. Marzuki Noor Jakarta.


Selain nama-nama yang disebutkan di atas sebenarnya masih banyak lagi yang tidak dapat disebutkan disini. Dalam hal ini khususnya mereka yang berasal dari kawasan Asia Tenggara seperti dari Malaysia, Filipina, dan Kamboja.


Allah Yarham.

Tuan Guru H. Dahlan adalah salah seorang ulama kelahiran Sumanggi, tanggal 1 Januari 1912. Nama ayahnya H. Naseri dan Ibunya Hj. Zainah.

Tuan Guru H. Dahlan adalah salah seorang ulama kelahiran Sumanggi, tanggal 1 Januari 1912. Nama ayahnya H. Naseri dan Ibunya Hj. Zainah. Tokoh ini mempunyai motto ‘khairunnas anfa’uhum linnas’ yang berarti manusia yang paling baik adalah orang yang paling banyak memberi manfaat bagi manusia lainnya.







Sebagai seorang ulama, beliau membekali dirinya dengan mengaji kitab dari Ayuang, Negara, Amuntai, hingga sampai ke Mekkah. Di tanah suci beliau menetap dan belajar selama lima tahun (1925-1930) untuk memperdalam ilmu yang telah ia dapat di tanah air.


Setelah kembali ke kampung halaman, tuan guru yang ramah ini menjadi Kepala madrasah Darul Muttaqin, kemudian menjadi Kepala madrasah Persatuan Perguruan Islam (PPI) di Ilung. Beliau sempat pula menjadi Anggota Kerapatan Qadi Barabai. Antara tahun 1955-1960 beliau diangkat menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Hulu Sungai Selatan. Kiprah beliau dalam pendidikan adalah sebagai Dosen Luar biasa pada Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Barabai. Sempat pula menjadi Kepala Madrasah Diniyah Islamiyah di Barabai. Selanjutnya antara tahun 1967-1981 diangkat menjadi Kepala Kantor Pengadilan Agama Barabai. Dan setelah purna tugas, beliau aktif memimpin Majelis Taklim yang diadakan di Ilung dan di Barabai.


Tuan Guru H. Dahlan mempunyai peran dan andil besar dalam pendirian Madrasah Darul Muttaqin yang kemudian bergabung dengan Madrasah Persatuan Perguruan Islam (PPI) Ilung, yang dalam perkembangan berikutnya menjadi Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Ilung. Demikian juga beliau dikenal sebagai pendiri sekolah Pendidikan Guru Agama 4 tahun Ilung, yang dalam perkembangan berikutnya menjadi Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Ilung. Tidak hanya itu yang dapat beliau lakukan, pada masa revolusi fisik menentang pendudukan Jepang dan penjajahan Belanda/NICA secara terus menerus mendorong masyarakat setempat supaya berjuang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.

Tokoh yang dikenal disiplin dan suka bersilaturrahim ini, mempunyai 9 orang anak yakni Hj. Rabiatul Adawiyah, H. M. Hussin Dahlan, Hj. Marwiyah, Hj. Salmaiyah, Hj. Siti Zuhrah, Hj. Atikah, H. M. Muchtar Dahlan, Hj. Hunah Dahlia, dan H. M. Zuhdi Mukhtiar. Kesembilan anak tersebut merupakan buah perkawinannya dengan Hj. Nursiah binti H. Abdul Muthalib. Kini H. Dahlan telah tiada, beliau berpulang kerahmatullah pada tanggal 31 Desember 1987 bertepatan 10 Jumadil Awal 1408 H. Jenazah almarhum dimakamkan di Alkah keluarga Komplek masjid Agung Barabai.


Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan.

ditulis dan diposting ulang oleh: Muhammad Edwan Ansari