Demang Lehman , kemudian bergelar Kiai
Adipati Mangku Negara[1] (lahir di Martapura
tahun 1832 [2] - meninggal di Martapura
tanggal 27 Februari 1864 pada umur 32 tahun)
adalah salah seorang panglima perang dalam
Perang Banjar. [3][4][5] Beliau terlahir dengan
nama Idis[6][7] Gelar Kiai Demang merupakan
gelar untuk pejabat yang memegang sebuah
lalawangan (distrik) di Kesultanan Banjar.
Demang Lehman semula merupakan seorang
panakawan (ajudan) dari Pangeran
Hidayatullah II sejak tahun 1857. Oleh karena
kesetiaan dan kecakapannya dan besarnya
jasa sebagai panakawan dari Pangeran
Hidayatullah II, dia diangkat menjadi Kiai
sebagai lalawangan/kepala Distrik Riam Kanan
(tanah lungguh Pg. Hidayatullah II). [7] Demang
Lehman memegang pusaka kerajaan Banjar
yaitu Keris Singkir dan sebuah tombak
bernama Kalibelah yang berasal dari
Sumbawa.
Pada awal tahun 1859 Nyai Ratu Komala Sari,
permaisuri almarhum Sultan Adam , telah
menyerahkan surat kepada Pangeran
Hidayatullah II, bahwa kesultanan Banjar
diserahkan kepadanya, sesuai dengan surat
wasiat Sultan Adam. Selanjutnya Pangeran
Hidayat mengadakan rapat-rapat untuk
menyusun kekuatan dan memberi bantuan
kepada Tumenggung Jalil (Kiai Adipati Anom
Dinding Raja) berupa 20 pucuk senapan.
Sementara itu Pangeran Antasari dan Demang
Lehman mendapat tugas yang lebih berat
yaitu mengerahkan kekuatan dengan
menghubungi Tumenggung Surapati dan
Pembakal Sulil di daerah Barito (Tanah Dusun),
Kiai Langlang dan Haji Buyasin di daerah
Tanah Laut .
Bulan April 1859
Pada awal Perang Banjar yaitu sekitar akhir
bulan April 1859 Demang Lehman memimpin
kekuatan dan penggempuran di sekitar
Martapura dan Tanah Laut, bersama-sama Kiai
Langlang dan Penghulu Haji Buyasin.
Selanjutnya Demang Lehman diperintahkan
mempertahankan kota Martapura, karena
pusat pemerintahan Kerajaan oleh Pangeran
Hidayat dipindahkan ke kota Karang Intan .
Bersama-sama Pangeran Antasari, Demang
Lehman menempatkan pasukan di sekitar
Masjid Martapura dengan kekuatan 500 orang
dan sekitar 300 orang di sekitar Keraton Bumi
Selamat .
Benteng Munggu Dayor
Pada akhir tahun 1859 pasukan rakyat yang
dipimpin oleh Demang Lehman, Pangeran
Antasari, Tumenggung Antaluddin , Pambakal
Ali Akbar berkumpul di benteng Munggu Dayor.
Demang Lehman terlibat dalam pertempuran
sengit di sekitar Munggu Dayor. Belanda
menilai tentang Demang Lehman sebagai
musuh yang paling ditakuti dan paling
berbahaya dan menggerakkan kekuatan rakyat
sebagai tangan kanan dari Pangeran Hidayat.
Demang Lehman menyerbu Martapura dan
melakukan pembunuhan terhadap pimpinan
militer Belanda di kota Martapura.
Serbuan terhadap Belanda di Keraton Bumi
Selamat 30 Agustus 1859
Pada tanggal 30 Agustus 1859 Demang
Lehman berangkat menuju Keraton Bumi
Selamat dengan 3000 kekuatan dan secara
tiba-tiba mengejutkan Belanda karena
melakukan serangan secara tiba-tiba,
menyebabkan Belanda kebingungan
menghadapinya, hingga hampir menewaskan
Letnan Kolonel Boon Ostade. Dalam serangan
tiba-tiba ini Demang Lehman menunggang
kuda dengan gagah berani mengejar Letnan
Kolonel Boon Ostade. Serbuan ke Keraton Bumi
Selamat ini gagal karena berhadapan dengan
pasukan Belanda yang sedang berkumpul
melakukan inspeksi senjata. Pertempuran
sengit terjadi, sehingga anggota Demang
Lehman kehilangan 10 orang yang menjadi
korban, begitu pula pihak Belanda berpuluh-
puluh yang jatuh korban.
Pertempuran di Benteng Tabanio
Sementara itu kapal perang Bone dikirim
Belanda ke Tanah Laut untuk merebut kembali
benteng Tabanio yang telah dikuasai Demang
Lehman dalam sebuah pertempuran yang
mengerikan Belanda. Ketika pasukan Letnan
Laut Cronental menyerbu benteng Tabanio, 9
orang serdadu Belanda tewas, dan terpaksa
pasukan Belanda sisanya mengundurkan diri
dengan menderita kekalahan. Serangan kedua
oleh Belanda dilakukan, tetapi benteng itu
dipertahankan dengan gagah berani oleh
Demang Lehman, Kiai Langlang, dan Penghulu
Haji Buyasin. Karena serangan serdadu
Belanda didukung oleh angkatan laut yang
menembakkan meriam dari kapal perang,
sedangkan pasukan darat menyerbu benteng
Tabanio, Demang Lehman berserta
pasukannya lolos dengan tidak meninggalkan
korban. Belanda menilai bahwa kemenangan
terhadap benteng Tabanio ini tidak ada artinya,
kalau diperhitungkan dengan jumlah sarana
yang dikerahkan 15 buah meriam, dan
sejumlah senjata yang mengkilap, ternyata
tidak berhasil melumpuhkan kekuatan Demang
Lehman.
Pertempuran di Benteng Gunung Lawak 27
September 1859
Selanjutnya Demang Lehman memusatkan
kekuatannya di benteng pertahanan Gunung
Lawak di Tanah Laut. Benteng itu terletak di
atas bukit, di setiap sudut benteng
dipersenjatai dengan meriam. Pertempuran
memperebutkan benteng ini terjadi pada
tanggal 27 September 1859. Dalam
pertempuran yang sengit dan pasukan Demang
Lehman mempertahankan benteng Gunung
Lawak dengan gagah berani, akhirnya
mengorbankan lebih dari 100 gugur dalam
pertempuran ini. Belanda sangat bangga
dengan kemenangannya ini sehingga
dilukiskannya sebagai salah satu pertempuran
yang indah pada tahun 1859. Kekalahan ini
tidak melemahkan semangat pasukan Demang
Lehman, sebab mereka yakin bahwa berperang
melawan Belanda adalah perang sabil, dan
mati dalam perang adalah mati syahid. Bahkan
pasukan yang dipimpin Kolonel Augustus
Johannes Andresen banyak korban dalam
perjalanan naik perahu ketika menuju ke
Banjarmasin, bahkan A.J. Andresen sendiri
hampir tewas dalam serangan mendadak ini.
Mendatangkan senjata
Pangeran Antasari dan Demang Lehman
mencoba mendatangkan senjata dengan cara
mengirim utusan ke Kesultanan Kutai , Paser
dan Pagatan . Tetapi rupanya sudah diketahui
oleh Belanda, sehingga Belanda menekan
semua raja-raja yang membantu Pangeran
Antasari dan Demang Lehman. Meskipun
demikian Demang Lehman memperoleh
sebanyak 142 pucuk senapan dan beberapa
buah meriam kecil (lila), tetapi sayang ketika
senjata ini dalam perjalanan diangkut dengan
perahu dirampas oleh Belanda di tengah laut.
Tiga lokasi pertempuran
Pada akhir tahun 1859 medan pertempuran
terpencar dalam 3 lokasi, yaitu di sekitar Banua
Lima , sekitar Martapura dan Tanah Laut dan di
sepanjang Sungai Barito. Medan pertempuran
di sekitar Banua Lima dibawah pimpinan
Tumenggung Jalil Kiai Adipati Anom Dinding
Raja, medan yang kedua dibawah pimpinan
Demang Lehman, sedangkan medan ketiga
dibawah pimpinan Pangeran Antasari.
Pertemuan Para Pejuang di Kandangan
Pada bulan September 1859 Demang Lehman,
bersama pimpinan lainnya seperti Pangeran
Muhammad Aminullah [8] , Tumenggung Jalil
berangkat menuju Kandangan untuk
merundingkan bentuk perlawanan terhadap
Belanda dan sikap serta siasat yang ditempuh
selanjutnya. Pertemuan ini dihadiri oleh tokoh-
tokoh pejuang dari segala pelosok. Dari
pertemuan itu menghasilkan kesepakatan,
bahwa pimpinan-pimpinan perang menolak
tawaran Belanda untuk berunding. Pertemuan
menghasilkan pula bentuk perlawanan yang
terarah dan meluas dengan cara :
1. Pemusatan kekuatan di daerah Amuntai.
2. Membuat dan memperkuat pertahanan
di daerah Tanah Laut, Martapura, Rantau
dan Kandangan.
3. Pangeran Antasari memperkuat
pertahanan di wilayah Dusun Atas.
4. Mengusahakan tambahan senjata.
Suatu sikap yang keras telah diambil bahwa
para pejuang tersebut bersumpah mengusir
penjajah Belanda dari bumi Banjar. Mereka
akan berjuang tanpa kompromi Haram
Manyarah Waja Sampai Kaputing, berjuang
sampai titik darah yang penghabisan.
Belanda Mendirikan Benteng
Untuk melumpuhkan perjuangan rakyat
Belanda mendirikan benteng-benteng. Di
daerah Tapin, diperkuat Belanda benteng
Munggu Thayor yang telah direbutnya dari
pasukan Demang Lehman. Di daerah
Kandangan , didirikan pula benteng dikenal
sebagai benteng Amawang. Demang Lehman
dan pasukannya merencanakan untuk
menyerang benteng Belanda di Amawang ini.
Demang Lehman berhasil menyelundupkan dua
orang kepercayaannya ke dalam benteng
sebagai pekerja Belanda. Informasi dari kedua
pekerja ini Demang Lehman bertekad akan
menyerbu benteng Belanda tersebut. Pihak
Belanda memperoleh informasi bahwa rakyat
telah berkumpul di Sungai Paring hendak
menyerbu benteng Amawang . Dengan dasar
informasi ini, pasukan Belanda dibawah
pimpinan Munters membawa 60 orang serdadu
dan sebuah meriam menuju Sungai Paring.
Saat pasukan tersebut keluar dan diperkirakan
sudah mencapai Sungai Paring, Demang
Lehman menyerbu benteng Amawang pada
sekitar jam 02.00 siang hari tanggal 31 Maret
1860, dengan 300 orang pasukannya Demang
Lehman menyerbu benteng tersebut. Ketika
pasukan Demang Lehman menyerbu, kedua
orang kepercayaan yang menjadi buruh dalam
benteng tersebut mengamuk dan menjadikan
serdadu Belanda menjadi kacau dibuatnya.
Kedua orang yang mengamuk tersebut tewas
dalam benteng dan sementara itu pertempuran
sengit terjadi. Pasukan Munters ternyata
kembali ke benteng sebelum sampai di Sungai
Paring. Datangnya bantuan kekuatan ini,
menyebabkan Demang Lahman dan
pasukannya mundur. Demang Lehman mundur
di sekitar Sungai Kupang dan Tabihi bersama
Pangeran Muhammad Aminullah dan Tuan
Said. Pasukan Belanda menyusul ke Tabihi
dan terjadi pertempuran. dalam pertempuran
itu komandan pasukan Belanda Van Dam van
Isselt tewas dan beberapa orang serdadu
menjadi korban keganasan perang.
Demang Lehman meneruskan ke daerah
Barabai membantu pertahanan Pangeran
Hidayatullah dan pengiringnya. Gustave Marie
Verspijck berusaha keras untuk
menghancurkan kekuatan Pangeran
Hidayatullah dan Demang Lehman yang
berkedudukan di sekitar Barabai. Gustave
Verspijck mengerahkan serdadu dari infantri
batalyon ke 7, batalyon ke 9 dan batalyon ke
13. Batalyon ke 13 berjumlah 210 orang
serdadu dibawah pimpinan Kapten Bode dan
Rhode. Pasukan ini diikutkan pula 100 orang
perantaian yang bertugas membawa
perlengkapan perang dan makanan.
Pengepungan terhadap kedudukan Pangeran
Hidayatullah ini disertai pula kapal-kapal
perang Suriname, Bone, Bennet dan beberapa
kapal kecil. Kapal-kapal perang ini pada
tanggal 18 April 1850 telah memasuki Sungai
Ilir Pamangkih . Karena banyak rintangan yang
dibuat, maka kapal-kapal perang tidak dapat
memasukinya, serdadu Belanda terpaksa
menggunakan perahu-perahu. Iringan perahu
ini mendapat serangan dari kelompok Haji
Sarodin yang menggunakan lila dan senapan
lantakan. Dalam pertempuran ini Haji Sarodin
tewas, tetapi dia berhasil menewaskan
beberapa serdadu Belanda.
Pertempuran terjadi pula di Walangku dan
Kasarangan dan Pantai Hambawang . Dengan
teriakan Allahu Akbar , rakyat menyerbu
serdadu Belanda yang bersenjata lengkap.
Mereka tidak takut mati, karena mereka yakin
mati dalam perang melawan Belanda adalah
mati syahid. Demang Lehman dan Pangeran
Hidayatullah berusaha keras dan penuh
keberanian menahan serangan serdadu
Belanda. Tetapi karena jumlah personel
Belanda lebih besar dan perlengkapan perang
lebih unggul, maka diambil suatu siasat
mundur. Pangeran Hidayatullah mengundurkan
diri ke Aluwan, sedangkan Demang Lehman
bertahan di kampung Pajukungan . Akhirnya
Belanda berhasil menduduki Barabai setelah
meninggalkan banyak korban. Belanda
berusaha keras untuk memutuskan hubungan
Pangeran Hidayat yang berada di Aluwan
dengan pasukan Demang Lehman yang berada
di sekitar Amawang. Usaha Belanda untuk
melemahkan kekuatan rakyat ternyata tidak
berhasil, karena rakyat menggunakan taktik
gerilya dalam serangannya.
Belanda berusaha memikat Pangeran
Hidayatullah dan Demang Lehman dengan
segala cara agar menghentikan perlawanannya
terhadap Belanda. Belanda kemudian
menempuh jalan untuk menangkap kedua
tokoh pejuang itu hidup atau mati, dan
mengeluarkan pengumuman kepada seluruh
rakyat agar dapat membantu Belanda
menangkap kedua tokoh itu dengan imbalan
yang menggiurkan. Imbalan yang dijanjikan
adalah dengan mengeluarkan pengumuman
harga kepala terhadap tokoh pejuang yang
melawan Belanda. Harga kepala Pangeran
Hidayatullah adalah sebesar f10.000,- dan
Demang Lehman sebesar f2.000,- Nilai uang
sebesar itu dapat memikat hati setiap orang
yang menginginkan kekayaan. Bagi pejuang
yang memegang sumpah Haram manyarah,
waja sampai kaputing, tidak tergoyah
hatinya mendengar janji-janji seperti itu,
kecuali bagi mereka yang mengingkari sumpah,
menghianati perjuangan bangsa dan yang
lemah imannya terhadap prinsip perang sabil.
Haji Isa
Meskipun segala usaha telah gagal, Belanda
tetap berusaha untuk menangkapnya dengan
cara apapun. Pemerintah Belanda mengutus
Haji Isa seorang yang dekat dengan dan tahu
Pangeran ini berada. Tugas Haji Isa adalah
menyampaikan keinginan pemerintah Belanda
terhadap Pangeran ini. Haji Isa tidak berhasil
menemukan Pangeran Hidayat, tetapi dia
bertemu dengan Demang Lehman. Ketika Haji
Isa menyampaikan tugas misinya terhadap
Demang Lehman. Demang Lehman langsung
menjawab menolak segala macam
perundingan dan akan terus berjuang sampai
akhirnya memperoleh kemenangan. Laporan
Haji Isa ini menimbulkan semangat Belanda
untuk mengatur siasat baru. Mayor Koch
Asisten Residen di Martapura mengatur dan
mengadakan hubungan dengan Demang
Lehman atas perintah Residen Verspijck.
Pertemuan dengan Demang Lehman
menghasilkan kesepakatan bahwa Demang
Lehman bersedia menemui Pangeran Hidayat
asal Belanda berjanji mendudukkan Pangeran
Hidayat sebagai Raja di Martapura. Demang
Lehman selalu merasa curiga dengan
keinginan Belanda untuk mendudukkan
Pangeran Hidayat sebagai raja di Martapura,
karena itu Demang Lehman mengkonsolidasi
pasukannya. Setelah terjadi hubungan surat
menyurat antara Demang Lehman dengan
Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang,
Demang Lehman bersedia turun ke Martapura.
Pada tanggal 2 Oktober 1861 Demang Lehman
turun ke Martapura bersama tokoh-tokoh
pejuang disertai 250 orang pasukannya.
Anggota pasukannya ini akan menyusup ke
seluruh pelosok Martapura dan akan
mengamuk kalau Belanda menipu dan
menangkap Demang Lehman. Tokoh-tokoh
pejuang yang mengiringi Demang Lehman
adalah : Kiai Darma Wijaya, Kiai Raksa Pati,
Kiai Mas Cokroyudo, Kiai Puspa Yuda Negara,
Gusti Pelanduk, Pembekal Awang, Kiai Jaya
Surya, Kiai Setro Wijaya, Kiai Muda Kencana,
Kiai Surung Rana, Pembekal Noto, Pembekal
Unus, Tumenggung Gamar dan lain-lain.
6 Oktober 1861
Tanggal 6 Oktober 1861 Demang Lehman
memasuki kota Martapura disertai 15 orang
pemimpin lainnya. Haji Isa menyambut
rombongan ini dan langsung ke rumah Regent
Martapura Pangeran Jaya Pemenang. Dalam
pertemuan empat mata dengan Demang
Lehman, Residen berusaha memikat Demang
Lehman dengan janji akan memberikan
jaminan hidup setiap bulan kepadanya asal
Demang Lehman berjanji menentap di
Martapura, di Banjarmasin atau Pelaihari dan
mengajak kepada seluruh rakyat kembali ke
kampung mereka masing-masing dan
bekerjsama seperti semula. Janji Residen itu
tidak menarik perhatiannya, tetapi kesetiannya
kepada perjuangan dan sumpah perjuangan
lebih tinggi nilainya dari pada kepentingan diri
sendiri. Disamping itu Demang Lehman tegas
mengatakan bahwa mereka akan berjuang
terus sampai Pangeran Hidayat dapat duduk
kembali di Martapura memangku Kerajaan
Banjar. Semboyan mereka huruf “Mim” (huruf
Arab mim) yang berarti Martapura atau mati
karenanya. Hasil pertemuan dengan Residen
memaksa Demang Lehman mencari tempat
persembunyian Pangeran Hidayat dan akan
merundingkannya dengan lebih teliti dan segala
akibatnya nanti.
9 Oktober 1861
Tanggal 9 Oktober 1861 Demang Lehman
berangkat ke Karang Intan dan kepergiannya
ini memakan waktu hampir sebulan. Kepergian
Demang Lehman ini mengkhawatirkan Belanda
dan meminta agar Demang Lehman kembali ke
Martapura. Tanggal 30 Desember 1861
Residen G.M. Verspyck tiba di Martapura dan
perundingan dengan Demang Lehman
dilangsungkan. Residen berjanji bahwa
Pangeran Hidayat boleh tinggal dengan
keluarganya di Martapura selama perundingan
berlangsung dan jikalau perundingan gagal
Pangeran Hidayat boleh kembali ke pusat
pertahanannya dalam tempo sepuluh hari
dengan aman. Tanggal 3 Januari 1862
Demang Lehman kembali berangkat mencari
Pangeran Hidayat menuju Muara Pahu di
daerah antara Riam Kanan dan Riam Kiwa .
Pada tanggal 14 Januari 1862 Demang
Lehman bertemu dengan Pangeran Hidayat di
Muara Pahu. Demang Lehman menyampaikan
surat Residen dan surat Regent Martapura
Pangeran Jaya Pamenang. Dalam perjanjian
itu Ratu Siti ibu Pangeran Hidayat dijemput dari
tempatnya di Paau Sungai Pinang , begitu pula
keluarga Pangeran Hidayatullah yang masih
menetap di Tamunih .
Perundingan 30 Januari 1862
Pada 22 Januari 1862, rombongan Pangeran
Hidayatullah berangkat dari Muara Pahu
dengan rakit dan perahu, melewati Mangapan
dan 3 hari kemudian sampai di Awang Bangkal
dan baru tanggal 28 Januari 1862 tiba di
Martapura. Rombongan ini disambut rakyat
dengan suka hati di Martapura. Rombongan
langsung menuju tempat Regent Martapura
Pangeran Jaya Pemenang yang masih
hubungan paman dari Pangeran Hidayat.
Regent Martapura adalah jabatan yang
dibentuk Hindia Belanda pasca penghapusan
Kesultanan Banjar, kemudian Regent Martapura
dihapus pada tahun 1884. Perundingan
dilangsungkan pada tanggal 30 Januari 1862 ,
dimulai pada jam 10.30 pagi. Pihak Belanda
terdiri dari :
1. Letkol Residen G.M. Verspijck
2. Mayor C.F. Koch, Assisten Residen di
Martapura
3. Lettu Johannes Jacobus Wilhelmus Eliza
Verstege, Controleur afdeeling Kuin
4. Lettu A.H. Schadevan, ajudan Koch
5. Pangeran Jaya Pemanang, Regent
Martapura
6. Kiai Jamidin, Kepala Distrik Martapura
7. Kiai Patih Jamidin, Kepala Distrik Riam
Kanan
8. Haji Isa
9. Tumenggung Jaya Leksana
Pihak Pangeran Hidayatullah terdiri dari 23
orang diantaranya adalah :
1. Pangeran Hidayatullah
2. Kiai Demang Lehman
3. Pangeran Sasra Kasuma, anak Pangeran
Hidayat
4. Pangeran Saleh, anak Pangeran Hidayat
5. Pangeran Abdul Rahman, anak Pangeran
Hidayat
6. Pangeran Kasuma Indra (putera Pg Kasir
bin Sultan Sulaiman), menantu Pangeran
Hidayat
7. Gusti Isa dengan gelar Pangeran
Muhammad Ali Basah (suami Ratu
Saleha), menantu Pangeran Hidayat
8. Raden Tuyong dengan gelar Pangeran
Jaya Kasuma (suami Ratu Jaya
Kasuma), ipar Pangeran Hidayat
9. Gusti Muhammad Tarip
Surat Pemberitahuan Yang terpaksa
Ditandatangani Pangeran Hidayat 31 Januari
1862
Dalam perundingan itu Belanda mengatur
siasat yang licik berpura berbaik hati dengan
tujuan untuk menangkap dan mengasingkan
Pangeran Hidayat keluar dari Bumi Selamat
(Martapura). Tujuan menghalalkan cara itulah
yang dilakukan Belanda. Dalam situasi yang
terjepit dan kondisi yang tidak memungkinkan
Pangeran Hidayat terpaksa menandatangani
Surat Pemberitahuan yang ditujukan kepada
rakyat Banjar, yang sudah disiapkan Belanda
sebelumnya. Surat Pemberitahuan itu
ditandatangani Pangeran Hidayat dengan cap
Pangeran tertanggal 31 Januari 1862. Surat
Pemberitahuan itu selengkapnya berbunyi :
1. Surat ini tidak berisikan perintah, karena
saya telah meletakkan dengan sukarela
hak itu. (hak sebagai Mangkubumi).
2. Karena mendengarkan nasihat yang
salah, saudara-saudara memberontak
terhadap pemerintah Belanda, saudara
menempuh jalan yang salah.
3. Saudara telah melihat bahwa Pemerintah
Belanda lebih kuat dari kita, bahwa ia
tidak hanya mementingkan kemakmuran
rakyat yang baik, tapi juga bersikap
lembut dan satria terhadap musuh-
musuhnya.
4. Kepada rakyat Banjar saya mohon
supaya menghentikan segala
permusuhan, saudara-saudara yang
masih melawan kembalilah ke rumah
saudara-saudara dan carilah mata
pencaharian yang damai dan jujur,
sehingga drama pembunuhan dan
permusuhan dapat dihentikan.
5. Letakkan senjata saudara, mohonkan
ampun dengan sungguh-sungguh dan
saya yakin bahwa Pemerintah Belanda
akan memberinya dengan jiwa besar.
6. Jangan sekali-kali mendengarkan
perintah pemimpin-pemimpin yang terus
berkeras meneruskan peperangan, baik
perintah dari Pangeran Antasari,
Pangeran Aminullah dan orang jahat
lainnya.
7. Saya mengatakan bahwa mereka sama
sekali tidak mengerti kepentingan
saudara-saudara, dan kepentingan
mereka sendiri dan saudara-saudara
untuk keselamatan saudara-saudara
sendiri dan demi kecintaan kepada saya,
berkewajiban untuk menangkapi dan
menyerahkan pemimpin rakyat yang
jahat itu kepada Gubernurmen.
8. Saya sendiri memberi saudara contoh
penyerahan diri itu, saudara-saudara
melihat bagaimana yang saya dapatkan.
9. Saya sudah mencoba supaya mereka
yang masih melawan mau menyerah.
10. Semakin cepat bekas-bekas perang
yang mencelakakan ini dapat
dihilangkan, semakin cepat saudara-
saudara mendapatkan pengampunan
dari Allah Yang Maha Tinggi untuk
bencana yang selama lebih dua tahun
melanda penduduk Banjar.
11. Allah Yang Maha Tinggi dan arwah-
arwah nenek moyang (raja-raja) dan
kuburnya akan mengutuk kalian,
terutama pemimpin-pemimpin rakyat
yang masih melawan, apabila
permintaan saya yang terakhir ini tidak
dipenuhi.
Pangeran Hidayat Lolos dari penipuan I ke
Batavia
Pangeran sangat terperanjat dengan ucapan
Verspijck yang bertindak sebagai Wakil
Tertinggi dari Pemerintah Belanda di daerah
Selatan dan Timur Borneo dan dia berwenang
memberi pengampunan dan melupakan apa
yang terjadi pada masa lampau dengan syarat
bahwa Pangeran Hidayat harus berangkas ke
Batavia dalam tempo 8 hari. Kepada Pangeran
diperkenankan membawa keluarga yang
disukainya dan sebelum berangkat harus
menyebarluaskan Surat Pemberitahuan yang
sudah dibubuhi cap dan tanda tangan
Pangeran. Ketika Pangeran mengajukan
keberatan atas kepergian ke pulau Jawa
tersebut, Residen menjawab bahwa bagi
Pangeran perlu menikmati istirahat .
Demang Lehman yang merasa tertipu, sangat
kecewa terhadap sikap Belanda untuk
memberangkatkan Pangeran Hidayat ke pulau
Jawa. Demang Lehman berusaha mengajak
Mufti dan Pangeran Penghulu untuk memohon
kepada Residen agar keputusan
pemberangkatan Pangeran Hidayat dibatalkan.
Demang Lehman berusaha untuk
menggagalkan keberangkatan ini dan ketika
rombongan Pangeran berangkat pada pagi hari
tanggal 3 Februari 1862, Demang Lehman telah
siap dengan pasukannya untuk
menggagalkannya. Perahu yang membawa
Pangeran dibelokkan ke rakit batang pohon
pada rumah yang dulu pernah dijadikan tempat
tinggal Demang Lehman, dan disambut dengan
gegap gempita oleh rakyat. Pangeran terus
dilarikan. Belanda tidak dapat bertindak apa-
apa, dan baru setelah Pangeran dilarikan ke
luar kampung Pasayangan, Residen
mengerahkan kekuatannya untuk menangkap
Pangeran. Seluruh kampung Pasayangan
sampai kampung Kertak Baru dibakar Belanda.
Masjid Martapura yang indah yang dibangun
lebih dari 140 tahun yang lalu digempur dan
dibakar Belanda. Ini terjadi pada 4 Februari
1862 merupakan saksi kebengisan dan
kebrutalan penjajah Belanda terhadap rakyat
Banjar yang tidak berdosa.
Penipuan 2 Maret 1862
Penipuan itu dimulai dengan ditangkapnya
Ratu Siti , Ibu Sultan Hidayatullah, kemudian
Pihak Belanda menulis surat atas nama Ratu
Siti kepada Sultan, agar mengunjungi beliau
sebelum dihukum gantung oleh Pihak Belanda.
Surat tersebut tertera cap Ratu Siti…, padahal
semua itu hanya rekayasa & tipuan tanpa
pernah Ratu Siti membuat surat tersebut.
Ketika bertemu dengan Ibu Ratu Siti
ditangkaplah Sultan Hidayatullah dan
diasingkan ke Cianjur. Penangkapannya
dilukiskan pihak Belanda :
“
Pada tanggal 3 Maret 1862 diberangkatkan ke
Pulau Jawa dengan kapal perang ‘Sri Baginda
Maharaja Bali’ seorang Raja dalam keadaan
sial yang dirasakannya menghujat dalam,
menusuk kalbu karena terjerat tipu daya.
Seorang Raja yang pantas dikasihani
daripada dibenci dan dibalas dendam, karena
dia telah terperosok menjadi korban fitnah
dan kelicikan yang keji setelah selama tiga
tahun menentang kekuasaan kita (Hindia
Belanda) dengan perang yang berkat
kewibawaanya berlangsung gigih, tegar dan
dahsyat mengerikan. Dialah Mangkubumi
Kesultanan Banjarmasin yang oleh rakyat
dalam keadaan huru-hara dinobatkan menjadi
Raja Kesultanan yang sekarang telah
dihapuskan (oleh kerajaan Hindia Belanda),
bahkan dia sendiri dinyatakan sebagai
seorang buronan dengan harga f 10.000,-
diatas kepalanya.
Hanya karena keberanian, keuletan angkatan
darat dan laut (Hindia Belanda) dia berhasil
dipojokan dan terpaksa tunduk.
Itulah dia yang namanya :
Pangeran Hidajat Oellah
Anak resmi Sultan muda Abdul Rachman dst,
dst, dst…..
”
( Buku Expedities tegen de versteking van
Pangeran Antasarie, gelegen aan de
Montallatrivier. Karya J.M.C.E. Le Rutte
halaman 10).
Baru tanggal 2 Maret 1862 Pangeran Hidayat
setelah kembali tertipu kemudian diangkut
dengan kapal Van OS berangkat dari Martapura
keesokan harinya dan terus merapat ke kapal
Bali untuk selanjutnya diangkut ke Batavia.
Pangeran Hidayat di buang ke kota Cianjur
disertai sejumlah keluarga besar kerajaan yang
terdiri dari : seorang permaisuri Ratu Mas
Bandara, sejumlah anak kandung dari
permaisuri, menantu-menantu, saudara-
saudara sebapak, ipar-ipar, ibu Pangeran
sendiri, panakawan-panakawan beserta isteri
dan anak buahnya, budak laki-laki dan
perempuan, semua berjumlah 64 orang.
Demang Lehman digantung
Demang Lehman yang merasa kecewa dengan
tipu muslihat Belanda berusaha mengatur
kekuatan kembali di daerah Gunung Pangkal,
negeri Batulicin, Tanah Bumbu . Waktu itu ia
bersama Tumenggung Aria Pati bersembunyi di
gua Gunung Pangkal dan hanya memakan
daun-daunan. Oleh seorang yang bernama
Pembarani diajak menginap di rumahnya.
Karena tergiur imbalan gulden dari Belanda,
Pembarani bekerjasama dengan Syarif Hamid
dan anak buahnya yang sudah menyusuri
Gunung Lintang dan Gunung Panjang untuk
mencari Demang Lehman atas perintah
Belanda. Demang Lehman tidak mengetahui
bahwa Belanda sedang mengatur perangkap
terhadapnya. Oleh orang yang menginginkan
hadiah dan tanda jasa sehabis dia melakukan
salat Subuh dan dalam keadaan tidak
bersenjata, dia ditangkap. Ia sempat sendirian
melawan puluhan orang yang mengepungnya.
Atas keberhasilan penangkapan ini Syarif
Hamid akan diangkat sebagai raja tetap di
Batulicin. Kemudian Demang Lehman diangkut
ke Martapura. Pemerintah Belanda menetapkan
hukuman gantung terhadap pejuang yang
tidak kenal kompromi ini. Dia menjalani
hukuman gantung sampai mati di Martapura,
sebagai pelaksanaan keputusan Pengadilan
Militer Belanda tanggal 27 Februari 1864 . [6]
Pejabat-pejabat militer Belanda yang
menyaksikan hukuman gantung ini merasa
kagum dengan ketabahannya menaiki tiang
gantungan tanpa mata ditutup.Urat mukanya
tidak berubah menunjukkan ketabahan yang
luar biasa. Tiada ada satu keluarganyapun
yang menyaksikannya dan tidak ada keluarga
yang menyambut mayatnya. Setelah selesai
digantung dan mati, kepalanya dipotong oleh
Belanda dan dibawa oleh Konservator
Rijksmuseum van Volkenkunde Leiden. Kepala
Demang Lehman disimpan di Museum Leiden
di Negeri Belanda, sehingga mayatnya
dimakamkan tanpa kepala.
Rekan-rekan Seperjuangan Demang Lehman
Rekan-rekan seperjuangan Demang Lehman:
[1]
1. Kiai Derma Wijaya - Matarip
2. Kiai Raksa Wati - Kariamudin
3. Kiai Mas Cakra Yuda - Luka
4. Kiai Puspa Yuda Negara - Tuan Konter
5. Gusti Pelanduk putera Pangeran Amir
6. Pambakal Awang
7. Kiai Jaya Surna - Dimun
8. Kiai Setro Wijaya
9. Kiai Derma Yuda - Lurah Aman
10. Kiai Muda Kencana - Bakusin
11. Pangeran Ali Basyah (Gusti Isa)
12. Kiai Guma Wijaya - Arbain
13. Kiai Surung Rana - Sahibul
14. Pambakal Noto
15. Kiai Pati Jaya Kasuma - Sanim
16. Kiai Derma Lelana - Ajudin
17. Kiai Yuda Wijaya - Garsema
18. Kiai Wira Yuda - Durahman
19. Pambakal Unus
20. Tumenggung Gamar alias Tumenggung
Cakra Yuda
21. Tuan Saaban
22. Kiai Wira Karsa
23. Kiai Jaya Pati
24. Andin Ahmad
25. Tumenggung Ali Akbar
26. Mangun Yuda
27. Kiai Singa Pati - Tagap Wajir
28. Kiai Guru Perang - Tabib Keyan
29. Jaya Wanton - Tagap Guntol
30. Kiai Puspa Wira Yuda - Acil
31. Kiai Rumi Jaya - Jamidin
32. Haji Muhammad Yasin
33. Pambakal Ulak
34. Haji Buyasin [9]
Rujukan
Van Rees WA . 1865. De Bandjarmasinsche
Krijg van 1859-1863, Arnhem : Thieme.
M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah
Perkembangan Politik, Ekonomi,
Perdagangan dan Agama Islam,
Banjarmasin : Lambung Mangkurat Press,
1994 .
Referensi
1. ^ a b (Indonesia) Kiai Bondan, Amir
Hasan (1953). Suluh Sedjarah
Kalimantan . Bandjarmasin: Fadjar.
2. ^ (Indonesia) Tamar Djaja , Pustaka
Indonesia: riwajat hidup orang-orang
besar tanah air, Jilid 2, Bulan Bintang,
1965
3. ^ (Indonesia) Indonesia, Departemen
Penerangan (1955). Republik
Indonesia: Kalimantan . Kementerian
Penerangan.
4. ^ (Indonesia) Widjaya, Roebaie (1962).
Merdeka: tjerita rakjat. Djajamurni.
5. ^ (Belanda) Van Rees, Willem Adriaan
(1865). De bandjermasinsche krijg van
1859-1863: met portretten, platen en een
terreinkaart, volume 2
. Arnhem :D. A. Thieme.
6. ^ a b (Indonesia) Rosa, Helvy Tiana
(2008). Bukavu . PT Mizan Publika. ISBN
9789791367332. 791-367-33-7
7. ^ a b (Indonesia) Usman, M. Gazali
(1994). Kerajaan Banjar: Sejarah
Perkembangan Politik, Ekonomi,
Perdagangan dan Agama Islam .
Banjarmasin: Lambung Mangkurat
Press.
8. ^ menantu Raja Muda Pangeran Prabu
Anom bin Sultan Adam
9. ^ (Belanda) de Haes, R. L. (1866).
Eenige opmerkingen over het werk
getiteld: de Bandjermasinsche Krijg van
1859 tot 1863
. D. Noothoven Van Goor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari