Makam Tuan Guru H. Abdul Qadir Nur bin Buwasin (Guru Janggut/Guru Dodol).
Letak: Jalan Jenderal Sudirman, Desa Kapuh, Kecamatan Simpur, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Provinsi Kalimantan Selatan.
Guru Dodol adalah gelar yang diberikan masyarakat Kandangan dan sekitarnya, bukan karena profesi beliau sebagai pembuat atau penjual dodol, melainkan hanya representatif dari Kota Kandangan yang identik dengan makanan khas dodol. Gelar ini diberikan karena beliau adalah ulama Kandangan yang masyhur di masanya, majelis pengajian beliau tidak hanya dihadiri masyarakat setempat, tapi ada juga yang datang dari luar Kota Kandangan. Mereka datang semata-mata untuk belajar dan memperdalam ilmu-ilmu agama.
Sedangkan gelar Guru Janggut dikarenakan beliau punya janggut sebagai bentuk ittiba' pada Rasulullah SAW yang memelihara janggut, maka gelar Guru Janggut itu melekat dalam diri beliau. Kemudian hari, panggilan Guru Janggut menjadi identitas dan ciri khas keulamaan beliau di masa itu. Sehingga ketika ada orang yang menyebut nama Guru Janggut, maka dapat dipastikan itu adalah beliau bukan ulama lain. Di masanya beliau adalah ulama sepuh dan dituakan, beliau terkenal akan keluasan ilmu agamanya, serta ketulusan dan kasih sayangnya. Sehingga banyak orang yang datang untuk menimba ilmu pada beliau. Ini dapat dilihat dari murid-murid yang datang belajar padanya, mulai dari masyarakat biasa sampai yang derajatnya sudah ulama. Di masa itu beliau jadi rujukan utama, tempat bertanya, urun rembuk masalah keagamaan mulai dari masyarakat biasa sampai alim ulama terkhusus yang ada di Kota Kandangan.
A. Kelahiran & Kehidupan Keluarga
Nama lengkap beliau adalah Tuan Guru H. Abdul Qadir Nur bin Buwasin, beliau dilahirkan pada hari Ahad tanggal 1 Agustus 1909 M bertepatan dengan 14 Rajab 1327 H di Desa Kapuh, Kandangan. Ayahnya bernama Buwasin dan ibunya bernama Radhiah, beliau merupakan anak ketiga dari lima orang bersaudara, empat saudaranya yang lain bernama Fatimah, Halimah, Bajuri, dan Hawi.
Tuan Guru H. Abdul Qadir hidup di lingkungan keluarga yang sangat sederhana, ayahnya hanya orang biasa yang bekerja sebagai petani, bukan ulama atau punya garis keturunan ulama. Walaupun demikian, keluarga ini sangat taat dalam beragama. Sehingga sejak kecil beliau sudah dididik secara agamis, cinta ilmu, dan cinta alim ulama. Tuan Guru H. Abdul Qadir kecil selalu dibawa ayahnya mengikuti pengajian agama di sekitar tempat tinggalnya. Belajar membaca Al Qur'an dan tata cara shalat lima waktu serta belajar akhlak pada guru agama yang ada di desanya. Karena itu, sejak kecil beliau sudah menunjukkan sifat-sifat terpuji dan taat pada kedua orangtuanya.
Tuan Guru H. Abdul Qadir memiliki dua orang istri. Istri pertamanya bernama Hj. Rubi'ah dari Desa Kapuh atau satu kampung dengan beliau. Dari istri pertama ini, beliau mendapat tiga anak yaitu Jawahir, Mukhlish Khalishi, dan Ilyas Khairi. Istri keduanya bernama Ruqaiyah berasal dari Perak, Malaysia. Dari istri keduanya ini, beliau mendapat seorang anak laki-laki bernama Imran.
B. Rihlah Menuntut Ilmu
Pada usia 7 tahun, Tuan Guru H. Abdul Qadir kecil dimasukkan orangtuanya ke Sekolah Rakyat (SR) di Kota Kandangan yang berjarak sekitar 7,5 kilometer dari rumahnya. Karena jarak sekolahnya cukup jauh, ayahnya membelikan sebuah sepeda untuk memudahkannya pergi ke sekolah. Uniknya, beliau tidak selalu menaiki sepedanya itu, malah sering beliau tuntun sambil berjalan kaki sepanjang perjalanan. Rupanya hal ini sengaja beliau lakukan agar di jalan memiliki waktu yang panjang untuk menghafal pelajaran, baik pelajaran yang telah beliau pelajari dari gurunya atau yang belum diajarkan gurunya.
Setelah menempuh pendidikan selama 6 tahun di Sekolah Rakyat, Tuan Guru H. Abdul Qadir meneruskan pelajarannya di berbagai majelis taklim (mangaji baduduk). Beliau rajin sekali belajar ilmu-ilmu agama di sejumlah pengajian yang diadakan oleh para ulama. Guru-guru tempat beliau belajar di antaranya adalah Tuan Guru H. Abdullah Shiddiq atau Tuan Qadhi (Wasah Hilir), Syaikh H. Atha'illah Al Banjari (Kapuh), dan Tuan Guru H. Mufti Sulaiman (Kandangan).
Pada tahun 1927 M ketika berusia 18 tahun, Tuan Guru H. Abdul Qadir berangkat ke Perak Malaysia mengikuti pamannya untuk berdagang. Di sinilah beliau bertemu dengan seseorang yang memberi kesan mendalam dalam dirinya untuk lebih giat belajar agama. Diceritakan bahwa pada waktu itu keduanya saling berkenalan untuk pertama kali, berbincang-bincang, kemudian shalat Zhuhur berjamaah. Pada saat ingin memulai shalat berjamaah, keduanya saling mempersilahkan untuk menjadi imam, akhirnya orang yang baru dikenalnya itu mengalah dan mau menjadi imam. Ketika selesai shalat, beliau bersalaman dengan orang itu, beliau mencium tangannya dan orang itu pun balik mencium tangan beliau. Tidak berapa lama jamaah mulai berdatangan dan berkumpul mengelilingi mereka. Beliau bingung kenapa orang-orang itu berbuat demikian, lalu beliau berinisiatif menanyakan tentang orang yang baru dikenalnya itu pada jamaah yang lain. Barulah beliau tahu bahwa orang itu adalah seorang ulama besar di Perak. Beliau pun terkejut sekaligus kagum atas ketawadhuan ulama itu, ada rasa malu masuk ke hatinya lalu beliau segera minta maaf atas perbuatan yang kurang adab tersebut. Dari sinilah muncul keinginan kuat dalam hatinya untuk lebih memperdalam lagi pengetahuan agamanya agar beliau dapat menjadi orang yang berilmu dan berakhlak karimah seperti orang yang baru dikenalnya itu. Untuk mewujudkan keinginannya, beliau masuk ke salah satu pondok pesantren di Perak. Beliau menempuh studinya selama 5 tahun.
Pada tahun 1932 M, Tuan Guru H. Abdul Qadir kembali ke kampung halamannya. Walaupun telah menempuh studi selama 5 tahun di Malaysia, tidak membuatnya merasa puas menuntut ilmu. Beliau kemudian meneruskan kembali perjalanannya menuntut ilmu-ilmu agama ke Kota Amuntai tepatnya di Arabische School (Sekolah Arab) yang menjadi cikal-bakal Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah di bawah bimbingan Tuan Guru H. Abdurrasyid. Setelah 3 tahun menempuh belajar di sekolah tersebut, beliau kemudian kembali ke Kandangan dan meneruskan pelajarannya di Madrasah Islam Pandai Kandangan yang juga dipimpin oleh Tuan Guru H. Abdurrasyid. Pada tahun 1938 M, beliau berhasil menyelesaikan studinya di tempat itu pada usia 28 tahun.
C. Aktivitas Sebagai Tuan Guru
Setahun kemudian tepatnya pada tahun 1939 M, beliau mulai mengabdikan diri sebagai guru di Madrasah Islam Pandai Kandangan. Dari sinilah kemudian aktivitas beliau sebagai tuan guru dimulai. Beliau mengajar tidak hanya di madrasah tersebut, tapi membuka juga pengajian di rumahnya sendiri. Ilmu-ilmu yang beliau ajarkan mulai dari ilmu Tauhid, Tasawwuf, Fiqih, Tafsir, Hadits, dan lainnya. Pengajian yang beliau adakan di rumahnya semakin banyak didatangi orang sehingga rumahnya tidak mampu lagi menampung jamaah yang mengikuti pengajiannya, sebagian jamaah terpaksa mengikuti pengajian dari luar rumah. Melihat kondisi ini, Tuan Guru H. Abdul Qadir akhirnya memindahkan pengajiannya ke mushalla dekat rumahnya. Setelah pindah ke mushalla, pengajian rutin diadakan setiap malam sehabis shalat Maghrib yang diakhiri dengan shalat Isya berjamaah. Jamaah yang hadir semakin banyak sehingga mushalla tidak sanggup lagi menampung, jamaah meluber sampai ke jalan dan rumah-rumah penduduk.
Majelis pengajian beliau dibagi dua, satu di mushalla khusus untuk masyarakat umum, siapa saja boleh hadir, baik laki-laki maupun perempuan, sampai anak-anak kecil ikut juga. Yang satunya lagi di rumah beliau, ini khusus bagi alim ulama, diadakan satu minggu dua kali. Melihat antusias jamaah yang terus bertambah, khususnya dari kalangan anak-anak, maka didirikanlah madrasah diniyah di seberang Mushalla Nurul Falah. Madrasah ini dinamai Madrasah Islam Nurul Falah, materi pelajarannya full ilmu-ilmu keislaman, sedangkan waktu belajarnya sekitar jam dua sore sepulang anak-anak sekolah SD.
Selain memimpin sejumlah pengajian dan mengajar di madrasah sendiri, beliau juga mengajar di sejumlah madrasah lain seperti Madrasah Islam Pandai Kandangan, Madrasah Takhassus Diniyah, Madrasah Menengah Tinggi Desa Amawang Kiri Kandangan, dan Madrasah Islam Darul Falah Wasah Hilir.
D. Murid-Murid Beliau
Sebagai tuan guru yang memimpin banyak tempat pengajian, Tuan Guru H. Abdul Qadir memiliki banyak murid. Dari sekian banyak muridnya, di antaranya ada yang menjadi ulama dan mengajar di daerahnya masing-masing. Di antara murid-murid beliau adalah Tuan Guru H. Muhammad Arifin (Kapuh), Tuan Guru H. Masri Zain (Pengarang Kitab Asrarush Shalatil Jama'ah), Tuan Guru H. Asy'ari, Tuan Guru Harli (Pahampangan), Tuan Guru Ibrahim (anak Guru Ayan Rantau), H. Qusairi, Tuan Guru H. Abad (Padang Haur), H. Anang Syukri, H. Hasan Sunni, H. Muhammad Ismail, H. Hadar, H. Sulaiman Husin, Tuan Guru Utun, Mansuri, H. Muhammad Arsyad, dan masih banyak lagi.
Adapun murid-murid beliau dari kalangan perempuan yang jadi pendidik adalah Jawahir (anak perempuan beliau sendiri), Angah Badar, dan Angah Dumal. Mereka dikenal orang sebagai tiga serangkai dari Kapuh. Selain mengajar di rumah, mereka bertiga sering diundang keluar daerah untuk berdakwah mengajarkan ilmu-ilmu keislaman.
E. Membangun Pondok Pesantren
Setelah pengajian berjalan selama lebih kurang 30 tahun, ada inisiatif dari masyarakat untuk mengembangkan Madrasah Diniyah Nurul Falah menjadi pondok pesantren. Lalu dibentuklah kepanitiaan inti yang diketuai oleh beliau sendiri dibantu oleh murid-muridnya seperti Tuan Guru H. Muhammad Arifin, Tuan Guru H. Masri Zain, dan murid-murid lainnya serta masyarakat sekitar. Untuk mencari dana, maka diadakanlah saprah amal dengan membuka donasi bagi siapa saja yang ingin menyumbang dan berjualan kalender yang disebar ke pelosok Kota Kandangan. Setelah dana terkumpul cukup banyak, maka dimulailah pembangunan pondok pesantren di dekat Mushalla Nurul Falah. Pondok pesantren ini diberi nama sama dengan nama mushalla dan madrasah beliau yaitu Pondok Pesantren Nurul Falah. Pondok pesantren ini juga mendapat bantuan dari pemerintah setempat dan dari Gubernur Kalimantan Selatan.
Pada tanggal 29 Januari 1977 M, Pondok Pesantren Nurul Falah diresmikan langsung oleh Gubernur Kalimantan Selatan yang saat itu dijabat oleh Bapak Soebarjdo. Tuan Guru H. Abdul Qadir kemudian ditunjuk dan dikokohkan sebagai pimpinan pondok pesantren ini.
F. Aktivitas Pemerintahan & Politik
Aktivitas beliau tidak hanya menjadi ulama yang memimpin majelis pengajian dan pengajar di beberapa madrasah Islam saja, tapi merambah ke bidang pemerintahan dan dunia politik. Pada tahun 1952 M, beliau diangkat oleh pemerintah menjadi Kepala Kantor Penerangan Agama Islam Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Di bidang politik, Tuan Guru H. Abdul Qadir bergabung dengan Partai Masyumi. Dan sekitar tahun 1965 M, beliau menjadi anggota DPRD Kabupaten Hulu Sungai Selatan mewakili partai Islam tersebut.
G. Akhlak & Keistimewaan Beliau
Tuan Guru H. Abdul Qadir adalah ulama kharismatik, dihormati, disegani, sekaligus disayangi oleh masyarakat. Beliau panutan semua orang, tutur kata lembut, penuh adab, sopan santun, dan penyayang pada sesama bahkan pada binatang sekalipun. Pernah suatu hari, anak-anak berburu burung pakai katapel dekat rumah beliau. Melihat hal itu, beliau segera keluar rumah dan berkata pada anak-anak tersebut: Jangan tuh lah, jangan sakiti burungnya, kasihan inya. Nah duit, jaka baulanjaan ka warung.
Anak-anak tersebut gembira dapat uang dari beliau dan segera berlari menuju warung. Ada lagi cerita lain, ketika beliau pergi mengajar pakai sepeda, di tengah jalan tiba-tiba beliau melihat kodok dimainkan ayam. Segera beliau turun dari sepeda untuk menyelamatkan kodok dan menjauhkan ayam tersebut sejauh-jauhnya, ini semua karena kasih sayang di hati beliau pada makhluk yang sangat luar biasa.
Pernah suatu hari di musim kemarau, sumur beliau kering, di tempat beliau hanya ada satu sumur yang tidak kering yaitu sumur di dekat madrasah. Semua mandi di sana termasuk beliau sendiri. Melihat itu, anak-anak kecil ikut mandi juga. Lalu beliau berkata: Coba sini lihat talapak batis kai putih banar, kata beliau sambil menekan-nekan dengan ibu jari tangannya. Anak-anak sangat senang karena disapa oleh orang yang mereka sayangi. Begitulah beliau dengan anak-anak, beliau sayangi mereka, beliau ajak bicara dan bercanda, tidak ada jarak sama sekali dengan mereka.
Begitu juga ketika ada hajatan, saat tiba waktu makan, pertama kali yang beliau pikirkan dan dahulukan adalah masalah makan anak-anak. Apalagi kalau acara itu di rumah beliau, saat sampai waktu makan, anak-anak kecil yang beliau cari lebih dulu untuk makan bersama-sama. Inilah kasih sayang beliau pada anak-anak, beliau mencontoh Rasulullah SAW yang memperlakukan anak-anak dengan penuh kasih sayang. Makanya anak-anak sangat senang dekat beliau. Dan hal yang paling mereka tunggu dalam setahun adalah malam Salikur (21 Ramadhan), karena di rumah beliau diadakan acara membaca Muqaddam (khatam Al Qur'an 30 juz) sekaligus acara haul ayah beliau. Acara tersebut dimulai setelah selesai shalat Tarawih berjamaah di Mushalla Nurul Falah. Rumah beliau penuh sesak dihadiri jamaah undangan, tidak ketinggalan anak-anak kecil juga ikut hadir. Acara tersebut ditutup dengan tahlil, doa, dan diakhiri dengan jamuan makan bersama. Bahkan ada sebagian yang sahur di rumah beliau.
Ketika ditanya masalah hukum Fiqih, beliau tidak langsung menjawab walau tahu jawabannya. Beliau buka dulu beberapa kitab Fiqih, bila ketemu baru beliau sandarkan hukum ke pengarang kitab. Kalau masalah cukup rumit, terkadang sampai beberapa hari baru ada keputusan hukum dari beliau. Inilah ketawadhuan dan kehati-hatian beliau dalam mengambil dan memutuskan sebuah hukum yang terjadi di masyarakat.
Sewaktu jadi anggota DPRD, beliau tidak pernah mengambil gajih sebagai anggota dewan. Niat beliau semata-mata karena Allah, menolong agama Rasulullah, murni mengabdi pada masyarakat, bangsa, dan negara, bukan kepentingan golongan atau memperkaya diri sendiri.
Selain mengajar ilmu agama, beliau juga sering diminta tamu yang datang ke rumah untuk dibuatkan cemeti Ali. Proses pengerjaannya satu tahun sekali, setelah Ramadhan baru bisa diambil. Cemeti ini biasanya digunakan untuk perisai diri dari orang-orang yang ingin berbuat jahat, bisa juga digunakan untuk menolak gangguan dari jin dan makhluk halus. Istimewanya cemeti buatan beliau, bila angin kencang puting beliung, pemilik cemeti tinggal keluar rumah saja lalu menggerak-gerakkan cemeti ke atas dan dengan izin Allah angin tersebut berangsur-angsur berhenti. Tapi awas jangan sembarangan memelihara cemeti dari beliau karena bisa menimbulkan mudharat bagi pemiliknya. Pernah seseorang punya cemeti dari beliau, ingin memperbaikinya sendiri karena warnanya sudah kusam. Lalu dilicinkan dengan ampelas, esok harinya seluruh tubuh terserang panas tinggi. Panas itu baru hilang setelah meminum air tawar dari beliau. Ukuran cemeti beliau mulai dari yang pendek sampai yang panjang bahkan ada yang berbentuk tongkat komando, biasanya dihadiahkan untuk pejabat militer atau kepolisian yang datang bertamu ke rumah beliau.
Beliau juga pernah cerita bahwa ada jin yang selalu datang ke rumah dan ingin menjadikan beliau sahabatnya, tapi beliau tolak. Karena menurut beliau, jin yang datang ini kelihatannya baik tapi suatu saat bisa berbahaya bagi beliau dan oranglain karena ada sifat dusta dalam diri jin tersebut.
Dulu para remaja, pemuda, dan laki-laki dewasa ketika sampai waktu shalat tidak ada yang di luar rumah karena malu kalau dilihat beliau tidak ikut shalat berjamaah di mushalla. Begitu juga ketika berbuat yang sia-sia, mereka malu kalau beliau tahu dan melihatnya. Pernah sebagian remaja main domino, mereka langsung berlari berhamburan melihat beliau lewat di depan mereka. Padahal beliau tidak melihat atau menoleh sedikit pun. Ini adalah haibah yang diberikan Allah pada diri beliau.
Amalan yang selalu beliau dawamkan atau rutinkan adalah membaca shalawat Al Qura'aniah (Basyairul Khairat) dari Sulthanul Aulia Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Dari sinilah beliau dapat futuh dari Allah dan mimpi bertemu Rasulullah SAW. Mimpi tersebut sangat berkesan dalam hidup beliau, karena menurut riwayat di dalam mimpi itu Rasulullah SAW menyapukan tangannya yang penuh berkah dan mulia ke rambut beliau. Sehingga bekas dan harumnya tangan Rasulullah SAW tetap tercium sampai beliau bangun dari tidurnya. Karena rasa cinta dan takzimnya pada Rasulullah SAW, rambut bekas sentuhan Rasulullah SAW tidak pernah beliau potong lagi. Demikianlah menurut sebagian riwayat. Wallahu a'lam.
H. Menulis Buku
Di tengah berbagai kesibukannya, Tuan Guru H. Abdul Qadir menyempatkan diri menulis beberapa buah risalah. Ada tiga buah karya tulis yang sempat beliau selesaikan, yaitu:
• Ibtida' At Tauhid Fi 'Aqa'id Ahli At Tauhid (Tauhid).
• Manasik Haji (Fiqih).
• Ilmu Fara'idh (Fiqih).
Tulisan pertama dalam bidang Tauhid menyebar di wilayah Kalimantan Selatan dan menjadi salah satu kitab Tauhid rujukan di kalangan masyarakat Banjar terutama Kota Kandangan, sementara kedua kitab fiqihnya tidak sempat menyebar luas karena tidak diterbitkan. Kedua karya fiqihnya itu masih berbentuk naskah tulisan tangan dan belum sempat dikoreksi oleh beliau.
I. Berpulang Ke Rahmatullah
Setelah mengabdikan diri selama kurang lebih 41 tahun lamanya, beliau akhirnya jatuh sakit. Beliau berpulang ke rahmatullah di Desa Kapuh pada malam Ahad pukul 19.00 WITA tanggal 5 Jumadil Akhir 1400 H atau bertepatan dengan 19 April 1980 M dalam usia 71 tahun.
Seketika angin kesedihan berhembus keras menampar hati orang-orang yang mencintai beliau, bumi basah dengan air mata, tangis berderai tidak bisa ditahan, mereka kehilangan orang yang dicintai untuk selamanya. Mendengar kewafatan beliau, masyarakat datang berbondong-bondong dari segala penjuru sehingga mushalla tempat beliau dishalatkan tidak mampu lagi menampung karena banyaknya jamaah yang datang.
Selesai shalat, mereka berjejal ingin membawa dan mengantarkan bersama-sama tuan guru yang mereka cintai, sehingga jasad beliau berjalan di antara ujung-ujung jari mereka sampai ke tempat peristirahatan terakhir. Beliau dimakamkan pada pukul 16.00 WITA tepat di depan rumahnya, sampai sekarang makam beliau masih sering diziarahi banyak orang.
Al Fatihah...
رب فانفعنا ببركتهم واهدنا الحسنى بحرمتهم وأمتنا في طريقتهم ومعافاة من الفتن.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari