Sang Pendidik Sejati
Oleh : A. Wafi Hasbullah
Melihat video ini, membuatku kembali menelaah setiap lembar kenangan di dalam sanubari, lalu menemukan sebuah cerita yang sampai saat ini dalam hatiku senantiasa abadi.
Satu kata yang timbul dalam pikiran kita ketika melihat video ini. Satu kata itu adalah "TAWADHU".
Ya, dan aku pun memiliki cerita mengenai satu kata itu.
Kala itu tahun 2012. Tepatnya hari pertama kakiku menginjak tanah dalam pagar pesantren Ibnul Amin Pamangkih. Seperti santri baru pada umumnya, suasana hatiku ketika itu sedang gundah gulana karena baru pertama kali tinggal di tempat yang jauh dari kampung halaman.
Awal mondok di Pamangkih, aku ditempatkan di sebuah asrama yang berada tepat di depan musholla. Asrama itu bentuknya memanjang dan bertingkat. Jumlah kamarnya sekitar 24 kamar dengan ruangan cukup luas hingga bisa ditempati lebih dari dua puluh santri. Komponen dari asrama itu didominasi kayu, hanya teras asrama bawah yang memakai keramik. Adapun aku tinggal di kamar nomor 4 bagian atas. Karena lantainya papan, maka kalau ada orang yang berjalan akan terdengar suara langkah kakinya.
Malam itu adalah malam pertamaku tidur di pesantren. Masih dengan rasa sedih karena merasa kesepian walau tinggal dengan puluhan orang di dalam kamar. Walau demikian, aku masih bisa tertidur pulas. Peraturan pesantren mewajibkan para santri untuk shalat lima waktu secara berjamaah. Itu artinya, para santri harus bangun sebelum azan subuh agar bisa bersegera menyiapkan diri ke musholla. Adapun aku, bangun sebelum shubuh bukanlah kebiasaanku sebelum masuk pesantren.
Aku pun menghabiskan malam pertama di pesantren dengan tidur pulas, hingga sebuah langkah kaki diiringi suara ketukan terdengar cukup jelas sebelum azan subuh berkumandang. Awalnya, langkah kaki itu terdengar jauh, lalu semakin jelas terdengar. Sepertinya suara itu adalah langkah kaki seseorang yang sedang menyisiri setiap kamar di asrama, adapun ketukan yang berpadu dengan suara langkah kaki itu terdengar seperti ketukan kayu yang beradu dengan lantai papan.
Aku awalnya merasa terganggu dengan suara itu. Tentu saja, saat itu aku masih keenakan tidur, lalu tiba² ada suara yang membuatku tak bisa terlelap kembali. Suara langkah dan ketukan itu pun semakin jelas terdengar dan semakin dekat, hingga tepat berada di depan pintu kamarku. Pintu kamar perlahan terbuka. Kemudian seseorang terlihat masuk sambil mengetuk²an tongkat kayunya ke lantai sebagai isyarat untuk menyuruh kami segera bangun dan bersiap². Teman²ku yang lain segera bangkit tanpa menunda. Aku kemudian memperjelas penglihatanku yang masih buram karena baru bangun dari tidur dengan menguceknya. Ketika sudah jelas pandanganku ke arah orang yang menimbulkan suara barusan, aku terkesiap. Terlihat seorang yang sudah tua dengan wajah berwibawa, memakai jubah abu-abu dan imamah yang melilit kepala, badannya tinggi dan tegap, dengan bahu yang lebar. Ia masih mengetuk²an tongkatnya ke lantai hingga semua santri di kamarku bangun. Aku pun juga bangun secara spontan, sambil masih terkesima dengan Wibawa sosok orang itu.
Setelah semua santri di kamar sudah bangun, ia berpindah ke kamar yang ada di sebelah dan melakukan hal yang sama hingga ke ujung asrama. Setelah itu ia berkeliling pondok untuk mengawasi para santri dan menyuruh mereka agar bergegas. Ia tidak perlu berteriak atau mengayunkan tongkatnya agar para santri bergegas, ia hanya berkeliling, dan kadang berdiam mematung di tengah jalan. Namun dengan Wibawa dan kharisma yang dimiliki, semua santri yang melihat pasti akan ciut nyalinya. Ia berkeliling hingga iqomat shalat shubuh dikumandangkan, lalu shalat berjamaah, namun ia tdk sholat di shaf terdepan, tetapi di shaf belakang. Mungkin dari sana ia bisa mengawasi para santri dengan lebih leluasa.
Ia bisa saja menyuruh ustadz lain atau aparat pesantren untuk melakukan itu, namun ia lebih memilih turun langsung menembus dinginnya udara dini hari, berjalan pelan dengan tongkat, dengan sabar menyisir kamar demi kamar, untuk membangunkan para santri. Padahal saat itu usia beliau sudah tua renta yang lebih baik di jam begitu istirahat saja.
Dan pemandangan itu kulihat hampir setiap malam di saat ia masih agak prima. Kesabarannya mendidik, dan mengayomi para santri membuatku jatuh Cinta pada sosoknya. Di Pamangkih, aku menemukan figur seorang guru, pemimpin, dan pendidik sejati seperti para ulama terdahulu yang sebelumnya hanya bisa kutemukan dalam buku-buku manakib.
Sosok itu adalah Al Mukarrom KH. Muchtar HS. Pengasuh Pondok Pesantren Ibnul Amin Pamangkih dan murid kesayangan Al Marhum KH. Mahfudz Amin.
Ini hanya setetes dari lautan akhlak mulia beliau, selama nyantri di Pamangkih, ada banyak teladan mulia yang kutemukan dari diri beliau. Arti kezuhudan, keikhlasan, kesabaran, lemah lembut, ketawadhuan dan masih banyak lagi. Ah, ruang sempit ini tentu saja tdk akan mampu memuat semuanya.
Keterangan video : acara haul KH. Mahfudz Amin ke 27 (Mu'assis PonPes Ibnul Amin Pamangkih)
Tampak dalam video KH. muchtar HS (Pengasuh Pon Pes Ibnul Amin Pamangkih saat ini) bersama Habib Geys bin Abdurrahman Assegaf Lc. Ma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari