Minggu, Agustus 25, 2024

Benteng Tabanio.

 Benteng Tabanio.


Letak: Desa Tabanio, Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan.


Benteng Tabanio adalah bekas benteng historis pusat pertahanan militer Belanda yang terletak di Desa Tabanio, namun sayangnya benteng tersebut kini tidak lagi berbentuk dan hanya menyisakan sedikit jejak sejarah.


Pada abad ke-17 M, Tabanio merupakan sebuah kampung kecil di sekitar Sungai Tabanio di pantai selatan Kalimantan. Kampung tersebut merupakan kawasan strategis dengan potensi ekonomi yang tinggi dengan hasil lada, perikanan, dan tambang emas di daerah Pelaihari. Pada tanggal 6 Juli 1779 M, VOC Belanda membuat perjanjian dengan Sultan Banjar mengenai monopoli perdagangan. Pada pasal 7 perjanjian tersebut mengatur mengenai pembangunan benteng di Tabanio. Lalu VOC membangun sebuah benteng yang berbentuk segi empat tidak beraturan di sekitar muara Sungai Tabanio, masing-masing sudut benteng dilengkapi dengan bastion (sudut atau penjuru yang dibangun menjorok keluar pada dinding benteng dan dipersenjatai dengan artileri) berbentuk bundar. Pintu gerbang menghadap ke laut. Tembok benteng terbilang cukup tinggi yakni setinggi tubuh gapura. Pada tahun 1791 M, seorang insinyur Belanda bernama C. F. Reimer sebenarnya telah merancang sebuah desain benteng yang cukup besar di lokasi tersebut, namun sepertinya tidak direalisasikan.


Gubernur Jenderal Belanda Herman Willem Daendels yang berkuasa antara tahun 1801-1818 M suatu ketika memerintahkan untuk meninggalkan pos-pos perdagangan yang merugi di Kalimantan termasuk di Tabanio. Pada tahun 1826 M, Sultan Adam dari Kesultanan Banjar membuat kesepakatan dengan Pemerintah Hindia Belanda di mana sultan menyerahkan daerah yang jarang penduduk di sekitar Tabanio. Kemudian benteng di Tabanio digunakan sebagai pusat pemerintahan sipil di daerah tersebut dan sekitarnya. Pada tahun 1854 M, pemerintahan sipil dipindah dari Tabanio ke Pelaihari dan benteng tersebut kemudian ditinggalkan. Pelaihari berkembang menjadi wilayah penting saat itu karena adanya pertambangan batubara yang menghasilkan bahan bakar untuk kapal uap yang jumlahnya terus meningkat.


Pada masa awal Perang Banjar tahun 1859 M, sekelompok pejuang di bawah Demang Lehman, Kiyai Langlang, dan Haji Buyasin menduduki benteng di Tabanio dan menghabisi pemegang pos di benteng tersebut serta menewaskan pejabat Belanda yakni Gezaghebber Maurits beserta anak buahnya. Sementara itu Kapal Perang Bone dikirim Belanda ke Tanah Laut untuk merebut kembali Benteng Tabanio yang telah dikuasai para pejuang. Ketika pasukan Letnan Laut Cronental menyerbu Benteng Tabanio, sembilan orang serdadu Belanda tewas dan terpaksa pasukan Belanda yang tersisa mengundurkan diri dengan menderita kekalahan. Belanda kemudian melakukan serangan kedua, tetapi benteng itu dipertahankan dengan gagah berani oleh Demang Lehman, Kiyai Langlang, dan Haji Buyasin. Serangan serdadu Belanda didukung angkatan laut yang menembakkan meriam dari kapal perang, sedangkan pasukan darat menyerbu Benteng Tabanio, Demang Lehman beserta pasukannya lolos dengan tidak meninggalkan korban. Belanda menilai bahwa kemenangan terhadap Benteng Tabanio ini tidak ada artinya jika diperhitungkan dengan jumlah sarana yang dikerahkan. Sebanyak 15 buah meriam dan sejumlah senjata ternyata tidak berhasil melumpuhkan kekuatan Demang Lehman dan pasukannya. Kemudian Belanda merebut kembali benteng itu pada Agustus 1859 M, lalu 50 prajurit dan dua meriam ditempatkan di benteng. Tabanio dijadikan basecamp untuk pengamanan area tersebut. Benteng Tabanio yang terdaftar sebagai benteng kelas 4 (untuk melawan pribumi) kemudian dihapuskan dari daftar inventaris alat pertahanan Hindia Belanda.


Di-posting ulang oleh; Muhammad Edwan Ansari 









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari