Minggu, Maret 25, 2012

keluarga mampu menjalankan fungsinya dalam mendidik anak secara Islami

BAB I
PENDAHULUAN
Agar keluarga mampu menjalankan fungsinya dalam mendidik anak secara Islami, maka sebelum dibangun keluarga perlu dipersiapkan syarat-syarat pendukungnya. Al-Qur’an memberikan syarat yang bersifat psikologis, seperti saling mencintai, kedewasaan yang ditandai oleh batas usia tertentu dan kecukupan bekal ilmu dan pengalaman untuk memikul tanggung jawab yang di dalam al-Qur’an disebut baligh. Selain itu, kesamaan agama juga menjadi syarat terpenting. Kemudian tidak dibolehkan menikah karena ada hal-hal yang menghalanginya dalam ajaran Islam, yaitu syirik atau menyekutukan Allah dan dilarang pula terjadinya pernikahan antara seorang pria suci dengan perempuan pezina. Selanjutnya, juga persyaratan kesetaraan (kafa’ah) dalam perkawinan baik dari segi latar belakang agama, sosial, pendidikan dan sebagainya. Dengan memperhatikan persyaratan tersebut, maka diharapkan akan tercipta keluarga yang mampu menjalankan tugasnya—salah satu di antaranya—mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi yang tidak lemah dan terhindar dari api neraka. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.(QS. At-Tahrim: 66)
Karena besarnya peran keluarga dalam pendidikan, keluarga dikategorikan sebagai lembaga pendidikan primer, utamanya untuk masa bayi dan masa anak-anak sampai usia sekolah. Dalam lembaga ini, sebagai pendidik adalah orang tua, kerabat, famili, dan sebagainya. Orang tua selain sebagai pendidik, juga sebagai penanggung jawab.
Untuk memenuhi harapan tersebut, al-Qur’an juga menuntun keluarga agar menjadi lingkungan yang menyenangkan dan membahagiakan, terutama bagi anggota keluarga itu sendiri. Al-Qur’an memperkenalkan konsep kelurga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Firman Allah SWT:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Ar-Rum : 21)
Dengan demikian, keluarga harus menciptakan suasana edukatif terhadap anggota keluarganya sehingga Tarbiyah Islamiyah dapat terlaksana dan menghasilkan tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Surah At-Taubah ayat 71
              •         •    
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 71)
Dalam surah at-Taubah ayat 71 ini, ada beberapa point terpenting yang Allah sampaikan kepada manusia yaitu:
1. Membiasakan tolong-menolong
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak pernah lepas dari bantuan orang lain. Setip hari, minggu, bulan dan tahun pun manusia pasti selalu memerlukan bantuan orang lain. Suatu hal yang sangat mustahil apabila manusia dapat hidup sendirian tanpa bantuan orang lain. Namun tidak diketahui dengan pasti apakah bantuan itu berupa kebaikan atau keburukan.
Membantu sama artinya dengan menolong. Dalam ajaran Islam, menolong merupakan perbuatan terpuji, baik menolong terhadap sesama ataupun terhadap hewan. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud perbuatan terpuji tersebut adalah menolong dalam hal kebaikan saja. Rasulullah sebagai suri teladan umat selalu menolong kepada orang yang mendapat kesulitan. Tidak hanya kepada orang lain saja, akan tetapi Rasulullah pun membiasakan hal ini dalam kehidupan berkeluarga. Rasulullah sering membantu istri-istrinya dalam berbagai macam urusan, kendati urusan itu seharusnya dikerjakan oleh perempuan dan beliau pun tidak malu-malu mengerjakannya. Diriwayatkan oleh Bukhari dari jalan Al-Aswad yaitu:
عَنْ الْأَسْوَدِ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ فِي بَيْتِهِ قَالَتْ كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ
Artinya: Dari Aswad berkata: “aku bertanya kepada Aisyah r.ha: ”Apa yang dikerjakan Nabi ketika berada di rumah? Aisyah r.ha berkata: ”Adalah beliau (suka) membantu keluarganya dan apabila sampai waktu shalat beliau keluar” (HR. Bukhari).
Dalam kehidupan berumah tangga, sikap tolong menolong antar anggota keluarga menjadi sebuah kebiasaan dan bahkan menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan. Membiasakan tolong-menolong dalam rumah tangga harus dimulai dari orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Misalnya: orang tua menyuruh si anak untuk memberi uang kepada pengemis. Dengan adanya perintah tersebut, secara tak langsung orang tua telah mendidik anak untuk menolong orang lain. Jika hal demikian terus dilakukan, maka tidak menutup kemungkinan anak akan mampu mengaplikasikan kebiasaan tolong menolong ini dalam kehidupan bermasyarakat.
Pada intinya, tolong menolong hendaknya untuk kebaikan saja bukan untuk keburukan (maksiat kepada Allah). Allah berfirman yang artinya:
”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (QS. Al-Maidah: 2)
2. Menghidupkan suasana beragama di rumah tangga (Keluarga Islami)
Keluarga adalah kesatuan yang utuh, teratur, dan sempurna. Dari situ bergelora perasaan yang halus dan sukma yang hidup, yang dianggap sebagai mata air perikemanusiaan dan telaga pesaudaraan sejagad yang tidak pernah kering.
Struktur rumah tangga yang terbentuk melalui hubungan pernikahan mengandung tanggung jawab sekaligus meliharkan rasa saling memiliki dan saling berharap (mutual expectation). Perikatan hukum yang diikuti perikatan batin itu akan menimbulkan saling asah, asih dan asuh yang tercermin dalam pelaksanaan hak dan kewajiban.
Setiap keluarga Muslim pasti menginginkan rumah tangga yang bernafaskan Islam atau disebut rumah tangga Islami. Rumah tangga Islami adalah sebuah rumah tangga yang didirikan di atas landasan ibadah yang di dalamnya ditegakkan adab-adab Islam, baik menyangkut individu maupun keseluruhan anggota rumah tangga. Mereka bertemu dan berkumpul karena Allah, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, serta saling menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, karena kecintaan mereka kepada Allah. Mereka betah tinggal di dalamnya karena kesejukan iman dan kekayaan ruhani. Mereka berkhidmat kepada Allah swt dalam suka maupun duka, dalam keadaan senggang maupun sempit.
Rumah tangga Islami adalah rumah yang di dalamnya terdapat iklim yang sakinah (tenang), mawadah (penuh cinta), dan rahmah (sarat kasih sayang). Perasaan itu senantiasa melingkupi suasana rumah setiap harinya. Seluruh anggota keluarga merasakan suasana ”surga” di dalamnya. Baiti jannati, demikian slogan mereka sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Allah pun berfirman yang artinya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS Ar-Ruum 30:21)
Dalam rumah tangga sakinah, mawadda wa rahmah akan ditemui suasana yang sehat bagi perkembangan dan pertumbuhan anak. Anak-anak telah diarahkan sejak dini untuk memiliki aqidah, visi hidup, pola pikir dan akhlak yang benar. Mereka tumbuh dan berkembang dalam suasana kondusif menuju pribadi dewasa yang memiliki aqidah sehat, ibadah benar, ahklak sempurna, fisik yang kuat, mandiri, pandai mengatur dan mengurus urusannya, bertanggung jawab, pandai mengatur waktu, dan optimal dalam memanfaatkan potensinya untuk meraih materi.
Prinsip-prinsip dasar rumah tangga yang bisa disebut Islami dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, tegak di atas landasan ibadah. Rumah tangga Islami harus didirikan dalam rangka beribadah kepada Allah semata. Artinya, sejak proses memilih jodoh, landasannya haruslah benar. Memilih pasangan hidup haruslah karena kebaikan agamanya, bukan sekedar karena kecantikan atau ketampanan wajah, kekayaan, maupun atribut-atribut fisikal lainnya. Nabi saw bersabda yang artinya:
Dari Jabir r.a, Nabi saw telah bersabda:”Sesungguhnya perempuan itu dinikahi orang karena agamanya, hartanya dan kecantikannya, maka pilihlah (olehmuu) yang beragama”. (HR. Muslim dan Tirmidzi).
Proses bertemu dan menjalin hubungan hingga kesepakatan mau melangsungkan pernikahan harus tidak lepas dari prinsip ibadah. Prosesi pernikahannya pun, sejak akad nikah hingga walimah, tetap dalam rangka ibadah, dan jauh dari kemaksiatan. Sampai akhirnya, mereka menempuh bahtera kehidupan dalam suasana ta’abudiyah (peribadahan) yang jauh dari dominasi hawa nafsu.
Kedua, nilai-nilai Islam dapat terinternalisasi secara kaffah. Internalisasi nilai-nilai Islam secara kaffah (menyeluruh) harus terjadi dalam diri setiap anggota keluarga, sehingga mereka senantiasa komitmen terhadap adab-adab Islami. Untuk itu, rumah tangga Islami dituntut untuk menyediakan sarana-sarana tarbiyah yang memadai, agar proses belajar, menyerap nilai dan ilmu, sampai akhirnya aplikasi dalam kehidupan sehari-hari bisa diwujudkan. Misalnya dalam pelaksanaan shalat, sebagaimana hadits Nabi saw:
عن عبد الله ابن عمر ابن العاص رضى الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مُرُّوْا أوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعَ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِى المَضَاجِعِ ( رواه أبو داود والحاكم(
Artinya: Abdullah bin Amru bin ‘Ash r.a.,Rasulullah saw. bersabda,”Suruhlah anakmu melakukan shalat bila umurnya sudah tujuh tahun, dan pukullah dia bila meninggalkan shalat sedang umurnya sudah sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur anak laki-laki dengan anak perempuan.” (HR. Abu Daud dan Hakim).
Ketiga, hadirnya qudwah yang nyata. Diperlukan qudwah (keteladanan) yang nyata dari sekumpulan adab Islam yang hendak diterapkan. Orang tua memiliki posisi dan peran yang sangat penting dalam hal ini. Sebelum memerintahkan kebaikan atau melarang kemungkaran kepada anggota keluarga yang lain, pertama kali orang tua harus memberikan keteladanan. Keteladanan semacam ini amat diperlukan, sebab proses interaksi anak-anak dengan orang tuanya dalam keluarga amat dekat. Anak-anak akan langsung mengetahui kondisi ideal yang diharapkan. Di sisi lain, pada saat anak-anak masih belum dewasa, proses penyerapan nilai lebih tertekankan pada apa yang mereka lihat dan dengar dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini orang tua sepantasnya lebih banyak memberi peringatan terhadap anak agar senantiasa menghindari maksiat dan takut kepada Allah, sebagaimana hadits Nabi saw:
عن ابن عمر رضى الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا تَرْفَعِ الْعَصَا عَنْ أهْلِكَ وَأَخَفَّهُمْ فِى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ :(رواه الطبرانى)
Artinya: Dari Ibnu Umar,Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah kamu angkatkan tongkat (untuk mengancam) keluargamu, timbulkanlah rasa takut mereka pada Allah azza wajalla.” (HR.Thabrani).
Keempat, masing-masing anggota keluarga diposisikan sesuai syariat.
Dalam rumah tangga Islami, masing-masing anggota keluarga telah mendapatkan hak dan kewajibannya secara tepat dan manusiawi. Suami adalah pemimpin umum yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup rumah tangga. Istri adalah pemimpin rumah tangga untuk tugas-tugas internal. Nabi saw bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالأمِيْرُ رَاعٍ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (متفق عليه)
Artinya: Dari Abdullah ibn Umar r.a, ia mendengar Rasulullah saw bersabda: “Kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian bertanggungjawab atas orang yang dipimpinnya. Raja adalah pemimpin, laki-laki pun pemimpin atas keluarganya dan perempuan juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya, maka kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian akan dipertanggungjawabkan atas kepemimpinannya. (HR. Bukhari-Muslim).
Kelima, membiasakan sikap ta’awun (tolong-menolong) dalam menegakkan adab-adab Islam. Berkhidmat dalam kebaikan tidaklah mudah, amat banyak gangguan dan godaannya. Jika semua anggota keluarga telah bisa menempatkan diri secara tepat, maka ta’awun dalam kebaikan ini akan lebih mungkin terjadi.
Ketujuh, tercukupinya kebutuhan materi secara wajar. Demi mewujudkan kebaikan dalam rumah tangga Islami itu, tak lepas dari faktor biaya. Memang materi bukanlah segala-galanya. Ia bukan pula merupakan tujuan dalam kehidupan rumah tangga tersebut. Akan tetapi, tanpa materi, banyak hal tak bisa didapatkan.
Kedelapan, rumah tangga dihindarkan dari hal-hal yang tidak sesuai dengan semangat Islam. Menyingkirkan dan menjauhkan berbagai hal dalam rumah tangga yang tak sesuai dengan semangat keislaman harus dilakukan. Pada kasus-kasus tertentu yang dapat ditolerir, benda-benda hiasan, dan peralatan harus dibuang atau dibatasi pemanfaatannya.
Kesembilan, anggota keluarga terlibat aktif dalam pembinaan masyarakat.
Rumah tangga Islami harus memberikan kontribusi yang cukup bagi kebaikan masyarakat sekitarnya, sebagai sebuah upaya pembinaan masyarakat (ishlah al-mujtama’) menuju pemahaman yang benar tentang nilai-nilai Islam yang shahih, untuk kemudian berusaha bersama-sama membina diri dan keluarga sesuai dengan arahan Islam. Betapa pun taatnya keluarga kita terhadap norma-norma Ilahiyah, apabila lingkungan sekitar tidak mendukung, pelunturan terhadap nilai-nilai agama akan mudah terjadi, terlebih lagi pada anak-anak.
Kesepuluh, rumah tangga dijaga dari pengaruh lingkungan yang buruk. Dalam kondisi keluarga islami yang tak mampu memberikan nilai kebaikan bagi masyarakat sekitar yang terlampau parah kerusakannya, maka harus dilakukan upaya-upaya serius untuk, paling tidak, membentengi anggota keluarga. Harus ada mekanisme penyelamatan internal, agar tak larut dan hanyut dalam suasana jahili masyarakat di sekitarnya. Pada suatu kasus yang sudah amat parah, keluarga muslim bahkan harus meninggalkan lokasi jahiliyah itu dan mencari tempat lain yang lebih baik. Hal ini dilakukan demi kebaikan mereka sendiri.
Demikianlah beberapa karakter dasar sebuah rumah tangga yang Islami. Dengan adanya bangunan rumah tangga Islami, rumah tangga teladan yang menjadi panutan dan dambaan umat inilah, maka masyarakat Islami dapat diwujudkan.
B. Surah Ali ’Imran ayat 18
                   
Artinya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Ali ‘Imran: 17)
Pada ayat 17 dalam surah Ali’ Imran ini, Allah secara tegas menyatakan kepada umat manusia bahwa hanya Dia-lah Tuhan yang patut disembah. Hal ini berarti suatu larangan untuk menyekutukan Allah, kemudian selanjutnya Allah memerintahkan untuk menegakkan keadilan.
Dalam hal ini, ada dua point terpenting yang dimaksud oleh Allah pada surah Ali ‘Imran ayat 17 tersebut. Dua point terpenting tersebut yaitu:
1. Larangan menyekutukan Allah (Syirik)
Syirik menurut bahasa adalah persekutuan/bagian. Sedangkan menurut istilah ialah mempersekutukan Allah dengan lain-Nya atau menyamakan selain Allah dengan Allah. Ada juga yang mengatakan bahwa syirik artinya kufur, disamping itu pula ada yang mengatakan bahwa syirik merupakan salah satu diantara macam-macam kekufuran.
Karena syirik bisa membawa kepada kekufuran terhadap Allah, maka syirik dihukumkan menjadi dosa besar. Allah berfirman yang artinya:
”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakinya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar.” (QS. An-Nisâ: 48)
Syirik terbagi menjadi dua macam yaitu syirik besar dan syirik kecil. Syirik besar ialah memalingkan sesuatu bentuk ibadah kepada selain Allah, seperti mendekatkan diri kepada selain-Nya dengan cara menyembelih kurban, baik untuk kuburan, jin atau syaitan, atau mengharap sesuatu selain Allah yang tidak kuasa memberikan manfaat maupun mudharat. Syirik besar ini terbagi lagi kepada empat macam, yaitu:
a. Syirik do’a yaitu disamping berdo’a kepada Alah, ia juga berdo’a kepada selainnya.
b. Syirik niat yaitu seseorang menunjukkan suatu ibadah untuk selain Allah.
c. Syirik ketaatan yaitu mentaati kepada selain Allah dalam hal maksiat kepada Allah.
d. Syirik mahabbah (kecintaan) yaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal kecintaan. Misalnya mencintai seseorang, baik wali atau lainnya layaknya mencintai Allah.
”Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah, adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah” (QS. Al-Baqarah: 165).
Mahabbah dalam ayat ini adalah mahabbatul ubudiyah (cinta yang mengandung unsur-unsur ibadah), yaitu cinta yang disertai dengan ketundukan dan kepatuhan mutlak serta mengutamakan yang dicintai daripada yang lainnya. Mahabbah seperti ini adalah hak istimewa Allah, hanya Allah yang berhak dicintai seperti itu, tidak boleh diperlakukan dan disetarakan dengan-Nya sesuatu apapun.
Sedangkan syirik kecil ialah ingin mendapatkan pujian dari orang lain dalam beramal. Syirik kecil terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Syirik zhahir (nyata) yaitu syirik dalam bentuk ucapan dan perbuatan, misalnya bersumpah dengan nama selain Allah.
b. Syirik khafi (tersembunyi) yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat, seperti riya (ingin dipuji) dan sum’ah (ingin didengar orang).
Dari penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa syirik mempunyai bahaya yang sangat besar, diantaranya yaitu:
a. Merusak amal yang tercampur dengan syirik kecil. Dari Abu Hurairah r.a (yang artinya): Nabi saw bersabda: Allah berfirman: ”Aku tidak butuh sekutu-sekutu dari kalian, barang siapa yang melakukan suatu amalan yang dia menyekutukan-Ku padanya selain Aku, maka Aku tinggalkan dia dan persekutuannya”.
b. Termasuk dosa besar dan jika meninggal dalam keadaan syirik Allah tidak akan mengampuninya sesuai firman-Nya pada surah An-Nisâ ayat 48 terdahulu.
c. Menghancurkan seluruh amal. Firman Allah yang artinya: ”Sesungguhnya jika engkau berbuat syirik, niscaya hapuslah amalmu, dan benar-benar engkau termasuk orang yang rugi”. (QS. Az-Zumar: 65).
d. Pelakunya diharamkan masuk surga. Firman Allah yang artinya: ”Sesungguhnya barang siapa menyekutukan Allah, maka pasti Allah mengharamkan jannah baginya dan tempatnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun”. (QS. Al-Maidah: 72).
e. Kekal di dalam neraka. Firman Allah yang artinya : ”Sesungguhnya orang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk”. (QS. Al-Bayyinah: 6).
f. Pelakunya adalah orang-orang najis (kotor) akidahnya. Allah Ta'ala berfirman yang artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis”. (QS. At-Taubah: 28).
Dengan demikian jelaslah sudah bahwa syirik merupakan perbuatan yang mengandung dosa besar dan tidak ada ampunannya dari Allah. Menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana menciptakan sebuah keluarga yang mampu menghindari perbuatan syirik tersebut? Jawabnya hanyalah terletak pada peran orang tua dalam membina dan mendidik akidah anak-anaknya. Bilamana orang tua buta terhadap ajaran agama Islam itu sendiri, maka kemungkinan besar berdampak terhadap anak-anaknya karena dalam hal ini orang tua merupakan guru pertama dalam mendidik anak-anak.
2. Berlaku jujur dan adil
Semua orang pasti mengakui bahwa perilaku jujur dan adil merupakan perilaku yang mulia, baik itu dilakukan oleh anak kecil maupun orang dewasa. Dalam kamus bahasa Indonesia, kata jujur memiliki arti tidak bohong; lurus hati; dapat dipercaya kata-katanya; tidak khianat. Adil berarti tidak berat sebelah; tidak memihak; berpegang pada kebenaran.
Dari definisi tersebut maka pengertian jujur/kejujuran akan tercermin dalam perilaku yang diikuti dengan hati yang lurus (ikhlas), berbicara sesuai kenyataan, berbuat sesuai bukti dan kebenaran. Sedangkan makna adil adalah menunaikan hak kepada setiap pemiliknya. Atau bisa juga diartikan dengan mendudukkan setiap pemilik kedudukan pada tempat yang semestinya.
Dalam kehidupan Nabi saw dipenuhi dengan sikap jujur dan adil, baik itu terhadap umatnya secara umum ataupun terhadap keluarga beliau sendiri. Terbukti karena kujujurannya, beliau terpilih menjadi penengah yang adil dalam perseteruan antar kabilah ketika merenovasi Baitullah untuk meletakkan Hajar Aswad pada tempatnya. Lalu bagaimana kehidupan keluarga Rasulullah yang dipenuhi dengan keadilan? Tentu masih tertanam kuat dalam ingatan kaum Muslimin dengan perkataan Rasulullah yang akan memotong tangan putrinya Fatimah apabila ketahuan mencuri. Hal ini menujukkan betapa seorang Rasul (yang juga seorang ayah) yang mempunyai kedudukan tinggi tidak lagi memandang terhadap anaknya, bilamana ia salah maka ia pantas mendapatkan hukuman dan hukuman tersebut sesuai dengan kesalahannya. Inilah keadilan yang ditegakkan Rasulullah.
Sebagai seorang Muslim yang taat, sudah sepatutnya meniru apa yang dilakukan Rasulullah. Berlaku jujur dan adil dalam keluarga terlebih dahulu diterapkan oleh orang tua, kemudian diajarkan kepada anaknya.
Ada beberapa tahapan untuk belajar jujur yang ditujukan kepada anak:
 kehamilan sampai dengan melahirkan
Peran orang tua sangat dominan dalam pembentukan sikap dan perilaku (kejujuran) anak yang akan dilahirkan. Dalam proses kehamilan perlu diikuti dengan perilaku orang tua yang benar. Secara psikologis, perilaku orang tua pada saat kehamilan sangat berpengaruh besar terhadap jabang bayi.
 melahirkan
Proses kelahiran adalah satu dari tiga kejadian yang krusial (lahir, hidup dan mati). Sebenarnya waktu bayi mau lahir, puluhan bahkan ratusan setan telah menunggu untuk membisikan kalimat-kalimat kebohongan. Untuk itu, sesuai ajaran Islam, bayi yang baru lahir agar didengarkan suara adzan sehingga bisa menghalau bisikan setan.
 1 sampai dengan 5 tahun:
Pada masa balita, hendaknya orang tua selalu memberikan bisikkan-bisikan kalimat kebenaran yang akan terpatri dalam nurani anak.
 5 sampai dengan 13 tahun:
Dalam usia ini disiplin kejujuran harus ditegakkan karena untuk memperkokoh nurani anak dalam kejujuran.
Demikian uraian singkat tentang berlaku jujur dan adil, yang mana perilaku jujur dan adil merupakan perilaku yang mulia karena dengan berperilaku jujur dan adil akan membawa kepada kemaslahatan, baik di dunia dan akhirat. Rasulullah bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا (رواه البخارى)
Artinya: Dari Abdullah r.a, Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya kejujuran akan menghantarkan kepada kebaikan dan kebaikan akan menghantarkan kepada surga. Orang yang jujur akan ditetapkan Allah sebagai orang yang benar-benar jujur. sedangkan kebohonga akan menghantarkan kepada perbuatan jelek dan perbuatan jelek akan menghantarkan kepada neraka. Orang yang melakukan kebohongan akan ditetapkan Allah sebagai seorang pembohong.” (HR. Bukhari).







BAB III
PENUTUP
Dari uraian singkat di atas, maka dapat diambil kesimpulan yaitu pada surah at-Taubah ayat 71 tersebut Allah telah memerintahkan manusia (laki-laki-perempuan) untuk saling tolong menolong dalam kehidupannya. Membiasakan perbuatan tolong menolong ini hendaknya dimulai dari lingkungan keluarga yang mana orang tua lebih berperan dalam mendidik anak-anaknya sehingga perbuatan tersebut melekat kuat pada diri anak dan anak akan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat.
Kemudian dalam ayat tersebut, ada pesan tersirat untuk membina keluarga atau rumah tangga Islami. Dimana rumah tangga Islami merupakan sebuah rumah tangga yang didirikan di atas landasan ibadah yang di dalamnya ditegakkan adab-adab Islam, baik menyangkut individu maupun keseluruhan anggota rumah tangga. Mereka bertemu dan berkumpul karena Allah, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, serta saling menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar.
Pada surah Ali ’Imran ayat 18, Allah hanya menegaskan kepada hamba-Nya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia. Dalam hal ini tentunya Allah tidak menginginkan hamba-Nya berbuat syirik, karena perbuatan syirik merupakan dosa besar yang tidak ada ampunannya. Kemudian ada point penting dalam ayat tersebut yaitu untuk berlaku jujur dan adil. Jujur merupakan perilaku yang diikuti dengan hati yang lurus (ikhlas), berbicara sesuai kenyataan, berbuat sesuai bukti dan kebenaran. Sedangkan makna adil adalah menunaikan hak kepada setiap pemiliknya.


DAFTAR PUSTAKA
 Adz-Dzahabi, Syamsuddin. 75 Dosa Besar. Surabaya: Media Idaman, 1987.
 Al-Bukhari, Ismail bin Ibrahim. Shahih Bukhary. Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-Araby, t,th.
 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
 Hasyim, Husaini A. Majid. Riyadhus Shalihin. Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, t.th.
 Muslim, Shahih Muslim. Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-Araby, t.th.
 Rasyid, Sulaiman. Fiqih Islam. Jakarta: At-Thahiriyah, t.th.
 Syamilah, Maktabah. Sunan Abu Daud.
 Syamilah, Maktabah. Mu’jam al-Kabîr li at-Thabrânî.
 www.embuntarbiyah.co.id
 www.palanta.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari