Tuan Guru H. Asmuni bin H. Masuni (Guru Danau).
Guru Danau adalah panggilan akrab bagi Tuan Guru H. Asmuni, nama Danau yang dilekatkan pada dirinya sebenarnya merupakan nama singkat dari tempat kelahiran dan tempat tinggalnya yaitu Danau Panggang. Danau Panggang merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara yang terletak sekitar 24 Km dari Kota Amuntai.
Guru Danau dilahirkan pada sekitar tahun 50-an di Danau Panggang. Ada yang menulis tahun 1951, tahun 1955, dan adapula yang menulis 1957 sebagai tahun kelahirannya. Ayahnya bernama H. Masuni dan ibunya bernama Hj. Masjubah, Guru Danau merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara. Ayahnya berasal dari daerah Danau Panggang, sedangkan ibunya berasal dari daerah Marabahan yang kemudian pindah ke Danau Panggang.
Guru Danau hidup di lingkungan keluarga yang sederhana dan taat beragama. Orangtuanya dahulu bekerja sebagai buruh kapal atau buruh angkut dengan pendapatan yang pas-pasan, pendapatan yang pas-pasan itu tidak menghalangi semangat orangtuanya untuk membiayai pendidikan anaknya.
Guru Danau menempuh pendidikan tingkat dasar di Madrasah Ibtida'iyah di lingkungan Pondok Pesantren Mu'allimin Danau Panggang dan menempuh pendidikan tingkat menengah di Madrasah Tsanawiyah di tempat yang sama, setelah itu beliau meneruskan studinya di tingkat atas (aliyah/ulya) di Pondok Pesantren Darussalam Martapura. Selama belajar di Pondok Pesantren Darussalam, Guru Danau belajar dengan beberapa ulama/tuan guru berpengaruh yang bertebaran di wilayah Martapura yang di antaranya adalah Tuan Guru H. Samman Mulia, Tuan Guru Royani, dan Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Al Banjari atau Guru Ijai. Bahkan setelah memilik pengajian dan pesantren sendiri, secara rutin Guru Danau tetap mengikuti pengajian Guru Ijai di Martapura, baik ketika masih di Keraton (Langgar Darul Aman) maupun setelah pindah ke Sekumpul (Langgar Ar Raudhah). Guru Danau terus mengikuti pengajian Guru Ijai sampai sang guru meninggal dunia pada tahun 2005.
Setelah tamat di Pondok Pesantren Darussalam, Guru Danau sempat pulang ke kampung halamannya. Tidak lama kemudian yaitu pada tahun 1978, atas anjuran Guru Ijai, beliau kembali belajar di Pondok Pesantren Datuk Kalampayan di Bangil, Jawa Timur. Di sini beliau belajar dengan ulama kharismatik keturunan Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari yaitu Tuan Guru H. Muhammad Syarwani Abdan atau Guru Bangil (w. 1989). Dengan ulama besar ini, Guru Danau mendapat bimbingan spiritual (suluk) dan belajar secara khusus dengan Guru Bangil dalam waktu tertentu.
Selain ke Bangil, Guru Danau juga berkunjung ke sejumlah wilayah di Pulau Jawa seperti Pasuruan, Jember, Malang, Wonosobo, Purwokerto, Solo, dan Yogyakarta untuk menemui ulama dan habaib yang ada di sana. Di antara ulama atau habaib yang beliau datangi adalah KH. Hamid Pasuruan, Habib Shalih Al Hamid Jember, Mbah Malik Purwokerto, Kyai Syakur Wonosobo, Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih Malang, Habib Anis Al Habsyi Solo, dan Habib Ahmad Bafaqih Tempel Yogyakarta. Kepada ulama dan habaib ini, Guru Danau belajar sejumlah ilmu, amalan, dan mengambil tarekat tertentu. Kegiatan bersilaturahmi dan belajar singkat dengan sejumlah ulama dan habaib di Jawa ini dilakukan oleh Guru Danau untuk mendapatkan keberkahan ilmu dengan bertemu dan belajar kepada mereka.
Pada tahun 1980, Guru Danau menikah dengan Hj. Jamilah binti Masykur yang berasal dari Bitin. Dari perkawinannya itu, beliau memperoleh tiga belas orang anak yang terdiri dari tujuh putra dan enam putri. Nama anak-anak beliau adalah Wahid, Ladaniah, Musanna, Mufidah, Muktiah, Nur Ainah, Nur Hasanah, Haudi, Syahli, Mujiburrahman, Mujahidah, Syamsuddin, dan Muhammad Nasih.
Guru Danau membuka pengajian agama di Desa Bitin pada tahun 1980 dan mengajar di Pondok Pesantren Shalatiyah. Pada tahun 1981, beliau kembali membuka pengajian di kampung halamannya Danau Panggang. Guru Danau menceritakan, ketika ingin membuka pengajian, Guru Danau terlebih dahulu meminta izin kepada Guru Ijai. Sang guru mengizinkan dengan syarat tidak boleh bapintaan (meminta dana dari masyarakat), harus memakai halat (dinding) yang memisahkan antara laki-laki dan perempuan, dan harus ikhlas. Agar seorang guru dapat ikhlas mengajar, dia harus memiliki kemandirian dalam ekonomi. Dengan kemandirian ini, seorang guru dapat berkonsentrasi mengajar dan berdakwah tanpa mengharap imbalan uang.
Pada tahun-tahun awal, orang yang hadir di pengajian Guru Danau di Bitin dan Danau Panggang tidak banyak, namun lama-kelamaan jumlahnya semakin meningkat hingga mencapai ribuan orang. Pengajian di Bitin dan Danau Panggang dihadiri jamaah sekitar 3 sampai 6 ribuan. Pengajian di Bitin dilaksanakan pada malam Ahad, sedangkan di Danau Panggang dilaksanakan pada malam Selasa. Di Bitin, pusat pengajian bertempat di rumah Guru Danau di sekitar Pasar Bitin. Karena tidak ada lapangan yang luas, ribuan jamaah pengajian menempati teras dan halaman rumah penduduk sekitar. Banyak dari mereka yang duduk berbaris di pinggir-pinggir jalan hingga mencapai beberapa kilometer. Hal serupa juga terjadi pada pengajian di Danau Panggang, pusat pengajian bertempat di Mushalla Darul Aman (nama yang sama dengan Langgar Darul Aman tempat Guru Ijai mengajar) yang tepat berada di samping rumah Guru Danau.
Selain mengasuh kedua pengajian besar di atas, Guru Danau juga mendirikan dan membina beberapa pondok pesantren. Pada tahun 1982, beliau mendirikan Pondok Pesantren Darul Aman di Kecamatan Babirik, Hulu Sungai Utara. Nama Darul Aman sendiri mengikuti nama Langgar Darul Aman di Keraton tempat Guru Ijai mengajar. Guru Danau juga menamai mushalla di samping rumahnya dengan nama Darul Aman. Pesantren lain yang dibinanya adalah Pondok Pesantren Raudhatus Sibyan di Desa Longkong Kecamatan Danau Panggang dan Pondok Pesantren Ar Raudah I di Jaro Tabalong dan Pondok Pesantren Ar Raudah II di Pangkalan Bun.
Pada sekitar tahun 1998, seiring dengan semakin meluasnya pengaruh dan popularitasnya, Guru Danau kembali membuka pengajian di Mabu'un Tanjung Tabalong. Menurut cerita Guru Danau, pada awalnya Mabu'un merupakan sarang pelacuran dan perjudian. Guru Danau berusaha memberantas penyakit sosial ini dengan cara menghubungi pihak-pihak berwenang untuk menutupnya, namun usaha ini tidak berhasil. Guru Danau mengubah strategi, beliau tidak lagi mengharapkan aparat, tetapi membuka pengajian di tempat itu. Dengan adanya pengajian yang dihadiri oleh ribuan jamaah ini, praktik pelacuran dan perjudian itu tidak mendapat tempat dan berhenti dengan sendirinya. Dengan cara ini, lokasi yang awalnya menjadi tempat maksiat berubah menjadi komplek pengajian.
Pengajian di Mabu'un, pengajian ketiga yang diasuh oleh Guru Danau, kemudian menjadi pengajian Guru Danau yang terbesar karena dihadiri oleh puluhan ribu jamaah, bahkan ada yang menyebutnya mencapai 40 ribuan jamaah. Kuantitas jamaah yang hadir di tempat ini jauh lebih besar dibanding pengajian di Bitin dan Danau Panggang, hal ini didukung oleh komplek pengajian Guru Danau di Mabu'un yang memiliki area yang lebih luas dibanding pengajian di Bitin dan Danau Panggang sehingga memungkinkan menampung puluhan ribu jamaah. Dengan kuantitas jamaah yang mencapai puluhan ribu ini, pengajian Guru Danau di Mabu'un disebut-sebut sebagai pengajian terbesar di kawasan Banua Anam.
Pengajian di Mabu'un dilaksanakan pada malam Rabu setiap setengah bulan sekali. Guru Danau menyatakan, jarak setengah bulan sekali dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada jamaah pengajian untuk mengumpulkan uang untuk keperluan transportasi mendatangi tempat pengajian. Jamaah yang bertempat tinggal di kawasan Amuntai, Paringin, atau yang berada di kawasan Kalimantan Tengah memiliki persiapan yang lebih panjang untuk menghadiri pengajian di Mabu'un. Jarak waktu pengajian yang ditetapkan oleh Guru Danau ini cukup membantu sebagian jamaah pengajiannya yang merupakan orang-orang yang memiliki tingkat ekonomi yang rendah. Bagi murid-muridnya yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas, mendatangi pengajian di Mabu'un bukanlah merupakan persoalan karena mereka memiliki kendaraan pribadi yang dapat digunakan setiap saat. Karena itu tidak mengherankan jika sekitar pengajian Guru Danau di Mabu'un berjejer mobil dengan jumlah mencapai ratusan buah.
Materi pengajian yang disampaikan oleh Guru Danau di beberapa pengajiannya meliputi materi Tauhid, Fiqih, Tasawwuf, Hadits, Tafsir, kisah-kisah, dan lainnya. Dari beberapa kitab yang dikaji, materi Tasawwuf tampaknya lebih dominan. Beberapa kitab yang pernah diajarkan oleh Guru Danau di pengajiannya yaitu Irsyadul 'Ibad (Syaikh Zainuddin Al Malibari), Nasha'ihul 'Ibad (Imam Nawawi Al Bantani), Maraqi Al 'Ubudiyah (Imam Nawawi Al Bantani), Risalah Al Mu'awwanah (Habib Abdullah Al Haddad), Nasha'ihud Diniyah (Habib Abdullah Al Haddad), Tuhfaturraghibin (Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari), Syarah Sittin (Syaikh Ahmad Ramli), dan Tanqihul Qaul (Imam Nawawi Al Bantani). Dilihat dari daftar kitab yang digunakan, Guru Danau lebih banyak menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab daripada kitab Arab-Melayu. Walaupun begitu, pengajiannya tetap mudah diikuti oleh jamaah karena isi kitab-kitab itu diterjemahkan dan diberi penjelasan yang mudah oleh Guru Danau.
Cara penyampaian Guru Danau dalam pengajian maupun ceramahnya cukup unik, Guru Danau termasuk ulama yang sangat humoris. Dalam setiap ceramah atau pengajiannya, beliau selalu menyampaikan cerita-cerita lucu, jokes, pantun-pantun, dan singkatan yang diplesetkan yang memancing tawa. Bahkan Guru Danau tidak segan bercanda dengan murid-muridnya yang berada pada barisan depan. Baginya humor itu penting disisipkan dalam ceramah pengajian agar orang awam dan orang tua dapat terus mengikuti pengajian tanpa merasa jenuh dan bosan.
Dalam menyajikan isi kitab pengajian, Guru Danau hanya membaca beberapa baris saja. Tetapi penjelasannya cukup luas dan terkadang tidak selalu terfokus dan relevan dengan substansi kitab atau teks yang dibaca karena banyak disisipi oleh cerita, humor, ilustrasi, canda, dan sebagainya. Teknik seperti ini tampaknya sangat disukai oleh jamaahnya. Selain mendapat tuntunan, mereka juga mendapat hiburan yang menyenangkan. Teknik ini merupakan salah satu daya tarik orang untuk menghadiri pengajian Guru Danau.
Cara penyampaian Guru Danau juga didukung oleh bahasa yang dominan digunakannya yaitu bahasa Banjar, bahasa ini merupakan bahasa yang digunakan oleh mayoritas jamaahnya. Penggunaan bahasa lokal ini kemudian dibumbui dengan contoh-contoh dan ilustrasi-ilustrasi yang pas dengan kondisi lokalitas dan keseharian masyarakat sehingga isi ceramahnya sangat merakyat. Dengan cara seperti ini, materi yang disampaikannya mudah dipahami oleh jamaahnya yang berasal dari berbagai lapisan sosial.
Walaupun penyampaian materi dakwahnya sederhana dan mudah dipahami, tidak lantas beliau dinilai sebagai ulama biasa. Sebagai ulama yang lahir dari lulusan pesantren ternama seperti Pondok Pesantren Darussalam yang diakui kualitasnya dalam memproduksi ulama, beliau juga merupakan produk dari sejumlah ulama besar seperti Guru Ijai dan Guru Bangil yang otoritas keulamaannya diakui dan memiliki pengaruh besar. Apalagi Guru Danau sendiri merupakan salah satu murid Guru Ijai yang dikader untuk meneruskan tradisi keulamaan gurunya di kawasan Hulu Sungai, karena itu tidaklah mengherankan jika beberapa gaya berceramah dan tradisi pengajian Guru Danau seperti pembacaan Maulid Al Habsyi menjelang pengajian merupakan hasil peniruan dari tradisi Guru Ijai. Ketika Guru Ijai wafat, para jamaah pengajiannya di kawasan Hulu Sungai segera mendapat figur pengganti yang mewarisi sebagian kharisma Guru Ijai yaitu Guru Danau.
Meski mengasuh tiga pengajian besar dan empat pesantren serta sibuk berdakwah di mana-mana, Guru Danau bukanlah tuan guru yang hanya terpaku pada aktivitas mengajar dan berdakwah. Guru Danau merupakan sosok ulama yang aktif bekerja dan berbisnis. Sejak muda beliau sudah sibuk bekerja, berbagai usaha telah beliau lakukan seperti bertani, berdagang, dan bisnis lainnya. Dengan kegigihannya berbisnis, beliau dikenal juga sebagai ulama yang memiliki kekayaan dan penghasilan besar dari beberapa usaha bisnisnya. Dari beberapa bisnis Guru Danau, yang terpenting adalah usaha emas dan sarang burung walet di daerah Tanjung. Usaha ini terutama usaha sarang burung walet mendatangkan keuntungan besar. Dari usaha sarang burung walet, Guru Danau dapat meraih keuntungan milyaran rupiah. Usaha burung walet ini dipelajarinya dari seorang habib di Jawa. Usaha lainnya adalah membeli tanah sebagai investasi, tanah itu bisa dijual lagi suatu saat nanti.
Dengan pendapatan yang besar dari bisnisnya, wajar jika Guru Danau menjadi orang kaya. Beliau memiliki banyak rumah dan memiliki beberapa mobil mewah jenis Alphard. Dengan mobil Alphard yang dimilikinya, Guru Danau dapat bepergian ke mana-mana dengan nyaman. Walaupun memiliki ini semua, Guru Danau tetap berpenampilan sederhana dan bersahaja. Rezeki yang cukup berlimpah ini tidak digunakan untuk bermegah-megah, tetapi digunakannya untuk kepentingan dakwah Islam. Menurutnya, mereka yang mengurusi akhirat tidak seharusnya kalah dengan mereka yang mengurusi masalah dunia. Ulama yang memiliki usaha dan kekayaan sendiri akan lebih ikhlas dalam berdakwah dan mengajar karena tidak memiliki kepentingan untuk mendapat bayaran dari jamaahnya.
Dengan kemandirian dan kekayaan yang dimilikinya, Guru Danau dapat membiayai semua pembangunan komplek pengajian dan pesantren yang didirikannya tanpa bantuan pihak lain. Beliau tidak mau meminta bantuan dana dari masyarakat karena khawatir ada yang tidak ikhlas. Demikian juga beliau tidak mau menerima dana yang berasal dari pemerintah dan partai politik, menurutnya jika satu kali saja mendapat bantuan pemerintah, ulama tidak bisa lagi untuk menasihati penguasa. Bahkan cenderung untuk dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki kepentingan tertentu. Kemandirian inilah yang membuat dirinya tidak bisa diintervensi dan didikte oleh penguasa dan partai politik.
Menjadi ulama yang kaya dan mandiri pada figur Guru Danau tidak hanya disebabkan oleh faktor kegigihannya dalam berusaha, tetapi juga terinspirasi oleh sosok gurunya yaitu Guru Ijai yang juga menjadi ulama yang kaya-raya. Guru Danau termasuk salah satu murid Guru Ijai yang berhasil meniru gurunya pada sisi ini, tidak banyak murid Guru Ijai yang dapat mengikuti jejaknya seperti Guru Danau.
Guru Danau wafat pada hari Jum'at tanggal 2 Februari 2024 M atau bertepatan dengan 21 Rajab 1445 H.
Al Fatihah...
Makam Tuan Guru H. Asmuni bin H. Masuni (Guru Danau). Terletak di Desa Danau Panggang, Kecamatan Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Provinsi Kalimantan Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari