Darah Pemimpin Banjar
Mu'allim Abdul Qadir, Syekh Ahmad, Tuan Guru H. M. Ramli (H. Walad) dan KH. Ahmad Makkie
Mu'allim Abdul Qadir
Mu'allim Abdul Qadir atau Tuan Guru H. Abdul Qadir lahir di Sungai Banar, Amuntai, sekitar tahun 1830 dan terkenal sebagai ulama besar yang sangat luas pengetahuannya terutama tentang ilmu agama, dihormati dan disegani masyarakatnya. Pengajian-pengajian dan dakwahnya tidak hanya di Kalimantan Selatan saja, tapi sampai menyebrang ke Kalimantan Timur.
Setelah sekian lama melaksanakan pengajian dan dakwah, kenyataan menunjukkan bahwa kebutuhan Kalimantan Timur terhadap ulama-ulama seperti dirinya jauh lebih besar, maka dia berangkat dan aktif berdakwah di sana. Masyarakat serta raja-raja di sana waktu itu sangat menyukainya dan aktif mengikutinya sampai akhirnya Raja Pasir beserta rakyatnya masuk agama Islam. Dia diberi rumah di Selorong dan kemudian menetap di sana sampai akhir hayat. Sedangkan pengajian di Sungai Banar dilanjutkan oleh putera beliau sendiri yang bernama Syekh Ahmad atau Mu'allim Ahmad atau Tuan Guru H. Ahmad.
Syekh Ahmad
Syekh Ahmad atau Mu'allim Ahmad putera Mu'allim Abdul Qadir diberangkatkan ke Makkah untuk menuntut Ilmu. Di Makkah beliau tinggal di Kampung Syamiah dekat Masjidil Haram. Beliau sempat mengajar beberapa murid orang Banjar antara lain Mu'allim Muhammad Imran, Mu'allim Janawi, Mu'allim Ahmad Hasan (Amuntai), Tuan Guru H. Bijuri (Tanjung), Tuan Guru H. Jamaluddin (Nagara), Tuan Guru H.M. Nawawi dan Tuan H. Mukeri (Birayang).
Beliau kawin di Makkah dengan wanita asal Turki dan memperoleh anak laki-laki yang diberi Muhammad Ramli yang sehari-harinya dipanggil Walad yang berarti anak kesayangan. Tahun 1936. Beliau kembali ke Indonesia melalui India dan sempat tinggal di Malaysia. Sesampai di Indonesia, kemudian beliau kawin dan sempat tinggal di Tanjung Batu (Kotabaru), Kalimantan Selatan dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Basnah. Lalu ke Tanah Grogot, Kalimantan Timur, beliau kawin lagi dengan Hj. Maimunah, dan kembali ke Amuntai, menetap di Sungai Banar. Perkawinan beliau dengan Hj. Maimunah memperoleh 7 orang anak yang bernama Hj. Rahmah, Hj. Sa'diyah, Hj. Rukaiyah, Hj. Zubaidah, Hj. Fatimah, Muhammad Sibeli dan Aliah.
Di sana beliau mendirikan Balai atau Langgar Baloteng (Langgar Tingkat Dua). Di bagian atas digunakan untuk sembahyang dan tempat belajar sedangkan bagian bawah dijadikan asrama. Banyak para murid beliau yang belajar di sana, salah dua di antaranya adalah Tuan Guru H. Abdurrasyid (Mu'allim Wahid atau Muassis Rakha, Amuntai) dan Tambi Sinar (orang Dayak Kapuas, Ayah H. Syafriansyah PPP). Beliau juga bergelar Tuan Guru Jukung Putih karena saat pergi mengajar atau ke masjid beliau menggunakan perahu kecil (jukung) berwarna putih. Balai yang dibangun pada tahun 1940 di Sungai Banar sampai kini masih berfungsi sebagai Langgar, sedangkan kegiatan belajar-mengajar dilaksanakan Madrasal Nurul Hidayah tidak jauh dari Balai.
Tuan Guru H. Muhammad Ramli (H. Walad)
Guru H. Walad atau Tuan Guru H. Muhammad Ramli. Beliau dilahirkan sekitar tahun 1901, di kampung Syamiah Makkah, dari pasangan Mu'allim Ahmad Sungai Banar, Amuntai dengan wanita keturunan Turki. Di Makkah beliau di samping berhaji dan menuntut ilmu, sempat pula sambil jadi sopir. Pada suatu hari beliau mendapat penumpang yang dipanggil dengan Walad oleh sang ayah. Mereka singgah di suatu tempat yang kemudian diketahui
sebagai makam sembilan orang syuhada. Di sanalah dia mendapat petunjuk untuk mengaji dan berhenti menjadi sopir.Di Makkah dia sempat menikah dengan seorang perempuan
Arab yang kemudian melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Chadijah.Sekitar tahun 1936, H. Walad kawin dengan seorang janda di Birayang yang kemudian melahirkan tujuh bersaudara, semuanya laki-laki, yaitu Ahmad Makkie, Ahmad Madani, Ahmad Hijazi,
Ahmad Yamani, Ahmad Kan’ani, Ahmad Masri (meninggal sewaktu bayi) dan Ahmad Bugdadi.
Pada tahun 1946 H. M. Ramli alias H. Walad ikut berjuang mengangkat senjata melawan penjajah Belanda. Beliau berpangkat Letnan Satu dengan jabatan Kepala Departemen Kehakiman di Markas Besar ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan. Pada tahun 1950 dia berhenti jadi tentara dan kembali mengajar agama dari kampung ke kampung. Pada tahun 1966 dia berangkat ke Makkah dan berhasil
berjumpa dengan anaknya Chadijah, yang telah bersuami dan mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Maram, kini sebagai guru di Madinah. Suami Chadijah yang berkebangsaan Sudan bernama Ihsan Radadi bekerja di perusahaan penerbangan Saudia. H. Walad ayah dari H. Ahmad Makkie ini, sempat
dipertemukan oleh anaknya Chadijah dengan mantan isterinya (ibu Chadijah) tapi hanya berbicara di balik tabir. Beliau meninggal dunia di Surabaya dalam perjalanan kembali ke tanah suci dalam usia 80 tahun. Jenazah beliau dimakamkan di samping makam ayah beliau H. Ahmad di Sungai Banar, Amuntai Selatan.
Sebelum meninggal ia sempat menulis risalah sifat dua puluh “Aqidatul Iman”. Risalah itu ia sebarkan melalui aktifitas dakwah yang dilakoninya sampai akhir hayatnya.
KH. Ahmad Makkie BA
KH. Ahmad Makkie, BA, bin Tuan Guru H. Muhammad Ramli (Guru H. Walad) bin Syekh Ahmad bin Mu'allim Abdul Qadir . Beliau lahir di Lok Besar, 21 April 1938 – meninggal di Banjarmasin, 27 Januari 2016 pada umur 77 tahun adalah tokoh Kalimantan Selatan. Beliau pernah menjabat sebagai bupati Tapin selama dua periode, yakni tahun 1983–1988 dan 1988–1993. Pendidikan terakhir Sarjana Muda IAIN Antasari tahun 1968. Ia juga pernah menjadi anggota DPD RI periode 2004-2009 dan ketua MUI Kalsel.
Dalam kegiatan berkesenian, ia menekuni seni drama (teater) dan seni baca Al-Qur'an. Pada tahun 1960-an ia dikenal sebagai Qari Terbaik mewakili Kalimantan Selatan pada Konferensi Islam Asia Afrika. Diawali pada Pekan Kesenian di Amuntai tahun 1971, Ahmad Makkie mulai aktif dalam Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Selatan. Namun setelah ia terpilih menjadi Ketua KNPI Kalimantan Selatan pada tahun 1979, perhatiannya lebih tercurah pada bidang kepemudaan dan politik sampai ia terpilih dan diangkat jadi Bupati Tapin pada tahun 1983. Selama 10 tahun bertugas di Kabupaten Tapin, H. Ahmad Makkie terpanggil untuk menggali serta mengembangkan karya-karya seni tradisional seperti Musik Panting dan lagu-lagu daerah. Untuk itu pada tahun 1987 ia mendapat Penghargaan dari Gubernur Kalimantan Selatan sebagai Pembina Seni, atas usul DKD Kalimantan Selatan. Lagu Hari Jadi Kabupaten Tapin yang berjudul Bastari dan lagu Delapan Sukses yang dimainkan dengan Musik Panting adalah merupakan ciptaan H. Ahmad Makkie yang sampai sekarang masih dikumandangkan pada setiap Peringatan Hari Jadi Kabupaten Tapin.
Dalam Musyawarah Seniman III tahun 1998 ia terpilih kembali sebagai Ketua Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Selatan untuk kedua kalinya. Di samping itu ia masih menyandang setumpuk tugas di berbagai organisasi kemasyarakatan, diantaranya Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur'an, BAZIS, GUPPI, Badan Kerjasama Pondok Pesantren, Majelis Ulama Indonesia, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, dan juga Lembaga Budaya Banjar. Di bidang pendidikan ia aktif di berbagai yayasan, antara lain Yayasan Pondok Pesantren RAKHA Amuntai, Yayasan Mu'awanah Rantau, Yayasan Pondok Pesantren Bustanul Ma'mur, yayasan ORBID ICMI, Yayasan Khadimul Ummah, disamping sebagai Anggota Dewan Penyantun di IAIN dan UNISKA (Universitas Islam Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad Albanjari). Di pemerintahan daerah, ia pernah menjabat Kepala Biro Humas Pemda Tingkat I Kalsel.
Terlihat di sini darah pemimpin, orang besar dan tokoh terus mengalir dari Mu'allim Abdul Qadir, terus ke Syekh Ahmad, lalu ke Tuan Guru H. Muhammad Ramli (Guru H. Walad), kemudian ke KH. Ahmad Makkie dan berikutnya kemungkinan kepada anak-anak beliau salah satunya H. Abdul Haries Makkie ketua PWNU Kalimantan Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari