Kamis, Oktober 17, 2024

Jamaluddin adalah anak ke 17 Datu Kalampayan, tapi anak ke 6 beliau dengan isteri keempat yang bernama Puan Guwat. Dia bersaudara seibu-sebapa dengan Asiah, Khalifah Hasanuddin

 Jamaluddin Anak XVII Datu Kalampayan


Jamaluddin adalah anak ke 17 Datu Kalampayan, tapi anak ke 6 beliau dengan isteri keempat yang bernama Puan Guwat. Dia bersaudara seibu-sebapa dengan Asiah, Khalifah Hasanuddin, Khalifah Zainuddin, Reihanah dan Hafsoh. Sengaja nama dua terakhir tidak ditulis dan dilewati saja karena Reihanah memang kawin dengan Abu Su'ud dan mempunyai anak, tapi kemudian ketiganya meninggal dunia, sedangkan Hafsoh kawin juga dan mempunyai keturunan, tapi sebarannya banyak tidak diketahui.


Jamaluddin mewarisi ilmu-ilmu dari orang tua beliau dan menjabat sebagai Mufti Kesultanan Banjar yang tak bisa sembarang orang bisa menjabat kecuali kata Karel Steenbrink orang yang berpengetahuan luas tentang agama Islam. Di samping sebagai Mufti, beliau juga turut menyemarakkan dunia pendidikan, aktif mengajar di Pondok Dalam Pagar, sehingga banyak pula orang yang datang belajar kepada beliau, termasuk di antaranya Sultan Adam Al-Watsiq Billah dan Pangeran Nata. Beliau mula-mula kawin dengan Bulan di Pekauman, Martapura, melahirkan M. Seman, Kamaliah, Hasanah, Tuan Mufti H. M. Husin, Tuan Guru H. M. Amin, Reihanah dan Hamidah. Lalu kawin pula di Bakumpai, Marabahan, melahirkan Tuan Qadi H. Abdussamad. Kemudian kawin lagi dengan Khadijah di Nagara, melahirkan Halimah, Fatimah, Habibah, Rafi'ah dan Tuan Guru H. M. Thasin. Berikutnya kawin pula dengan Aisyah di Wasah, Kandangan dan dengan Nurifah di Amuntai, namun keduanya tidak ada mendapat zuriat.  Beliau ulama besar yang paling berpengaruh di Kesultanan Banjar pada masa pemerintahan Sultan Adam Al-Watsiq Billah (1825-1857M). Beberapa peneliti sejarah berpendapat bahwa Undang-Undang Sultan Adam (1251H/1835M) adalah banyak dipengaruhi oleh pendapat dan pandangan beliau. Bisa jadi, beliau salah satu tim perumus yang berperan sangat penting di dalam forum. Sebagai bukti pada pasal 31 terdapat nama beliau disebut, seperti tertulis sebagai berikut:"Sekalian kepala-kepala kampung jangan ada yang manyalahi pitua Haji Jamaluddin ini namun orang lain yang menyalahi apabila ikam tiada kawa menangat lakas-lakas bapadah kayah diaku". Menurut catatan Abdurrahman (alm), mantan Hakim Agung Indonesia, Undang-Undang Sultan Adam, tertulis dalam bahasa Banjar huruf latin ejaan lama. Ia menyimpulkan pasal 31 tersebut hanya tata tentang pemerintahan bagian pertama saja, sedang bagian akhir mengenai tentang nazar. Selanjutnya ia memberi komentar:"Tetapi yang penting di sini adalah suatu hal yang luar biasa bagi seorang ulama kalau fatwanya dimasukkan ke dalam salah satu pasal daripada undang-undang kerajaan sehingga mempunyai otoritas tersendiri sebagai hukum negara suatu hal jarang terjadi di mana-mana. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai seorang juru damai dari perselisihan keluarga Kesultanan Banjar dan pemegang "Surat Wasiat Sultan Adam pada bulan 1855 Sultan Adam menulis surat wasiat yang berisi bahwa pengganti Sultan Adam sebagai Sultan di Kesultanan Banjar ialah Pangeran Hidayatullah, bukan Pangeran Prabu Anom dan Pangeran Tamjidillah. Siapa yang melanggar atau menghalangi surat ini diancam dengan hukuman mati. Surat Wasiat Sultan Adam ini salah satunya dipegang oleh beliau. Dalam kesibukan beliau yang padat, beliau masih sempat membuat karya tulis yakni Kitab Bulugul Maram fi Takhallufil Muwaffiq fil Qiyam (1247H/1831M), Risalah Masbuq dan Parukunan Jamaluddin yang terkenal di seluruh dunia Melayu. Kitab yang disebut terakhir menurut banyak peneliti naskah bukan karya beliau, melainkan karya keponakan beliau Fathimah binti Syekh Abdul Wahab Bugis. Pendapat ini berdasarkan kesaksian dari Syekh Abdurrahman Siddiq (Datu Sapat) yang hidup sezaman dengan beliau. Pada saat itu, mungkin nama perempuan masih tabu tampil sebagai pengarang kitab, sehingga Fatimah meminjam nama pamannya ini sebagai nama samaran. Beliau wafat di Martapura dan dimakamkan di Desa Kalampayan, Martapura, di dalam Kubah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, tepatnya berada di belakang pusara ayah beliau baris ke 6. Allah Yarham.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari