Jumat, Agustus 15, 2025

Karakter bukan dibaca dari apa yang ditulis orang di biodata. Bukan pula dari ijazah atau gelar.

 Orang boleh saja menyembunyikan niatnya, membungkus wajahnya dengan senyum palsu, atau memakai pakaian serapi-rapinya agar terlihat terhormat. Tapi kata-kata tak pernah bisa berbohong. Apa yang sering keluar dari mulut seseorang, itulah jendela kecil menuju isi kepalanya — bahkan isi hatinya.



Aku sudah lama memperhatikan itu. Kau dengarkan baik-baik orang yang suka menyebut segalanya ‘bodoh’, ‘sia-sia’, ‘tidak mungkin’ — biasanya hidupnya memang dipenuhi rasa kalah sebelum berperang. Sementara mereka yang kata-katanya sederhana, tapi sering kau dengar ‘bisa’, ‘mencoba’, ‘baik’, ‘adil’, meski hidupnya tidak selalu mudah, paling tidak hatinya sedang berjuang melawan kenyataan.


Karakter bukan dibaca dari apa yang ditulis orang di biodata. Bukan pula dari ijazah atau gelar. Karakter itu meluncur diam-diam lewat obrolan sehari-hari. Dari caranya menggambarkan orang lain, dari caranya berbicara tentang dunia, dari caranya memberi nama pada kesulitan. Kata sifat itu kecil, tapi di baliknya terselip isi kepalanya: pesimis atau optimis, rendah hati atau sombong, jujur atau penuh tipu daya.


Bangsa ini pun begitu. Kita bisa lihat wajah asli masyarakat kita dari kata-kata yang mengisi beranda, televisi, mimbar-mimbar kekuasaan. Kalau isinya caci maki, hinaan, rasa putus asa — itulah cermin kita. Kalau yang tumbuh adalah kata-kata tentang harapan, tentang kerja, tentang keberanian, berarti ada yang sedang kita perjuangkan bersama.


Maka berhati-hatilah dengan kata-kata. Karena di sanalah karakter bertelur, tumbuh, lalu perlahan menentukan jalan hidupmu sendiri.

Selasa, Agustus 12, 2025

 Pada hari Rabu tanggal 23 Maret 1949 sekitar jam 17.00 wita dari arah Banjarmasin ada rombongan mobil tentara Belanda dan berhenti di Desa Ida Manggala Kec. Sungai Raya Kab. Hulu Sungsi Selatan, setelah mobil berhenti dari dalam mobil tampak keluar 6 orang laki yang rata-rata umurnya antara 25 tahun sampai dengan 35 tahun. Kemudian setelah turun dari mobil 6 orang laki-laki tersebut di suruh berbaris dan langsung ditembak mati oleh tentara Belanda


Setelah melakukan penembakan tersebut tentara Belanda meninggalkan begitu saja jenazah 6 orang laki-laki tersebut dan melaju kearah Kota Kandangan, setelah melihat tentara belanda ke arah Kandangan warga masyarakat berdatangan ke tempat penembakan, setelah dilakukan pengecekan. korban penembakan tersebut adalah tentara ITREMES dan juga dari dalam kopiahnya ditemukan selembar kertas yang bertuliskan "UNTUK KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA" Setelah mengetahui bahwa TUGAS BERJUANG korban yang ditembak tentara Belanda tersebut adalah para pejuang untuk memperjuangkan Kemerdekaan Bangsa Indonesia maka warga masyarakat segera mengurusi jenazah, mensholatkan dan memakamkannya, untuk mempercepat proses pemakaman karena takut diketahui oleh tentara Belanda maka warga membuat 2 lubang yang masing-masing lobang diisi dengan 3 orang jenazah para pejuang tersebut.


Setelah kejadian tersebut berlalu beberapa tahun ada salah satu keluarga para pejuang tersebut datang ke Desa Ida Manggala dar, menceritakan bahwa ada kerabatnya yang merupakan seorang pejuang telah dibawa oleh tentara Belanda dan diketahui ditembak Mati di Desa Ida Manggala Kec. Sungai Raya Kab Hulu Sungai Selatan setelah diberitahu warga bahwa jenazahnya telah diurusi warga dan telah dikuburkan di temapat tersebut. bari keluarga pejuang tersebut diketahui bahwa 6 orang pejuang tersebut masing-masing bernama


1. AHMAD SUMBAWA


Berasal dari Desa Kupang Rantau Kab. Tapin.


2. MUHAMMAD


Berasal dari Barabai Kab. Hulu Sungai Tengah 


3. SALAMAT 


Berasal dari Marabahan Kab. Barito Kuala


4. UGUB 


Berasal dari Anjir, Banjarmasin.


5. MARHALLAH 


Berasal dari desa Pengaron Kab. Banjar


6. DARMAWI


Berasal dari desa Malutu Kac. Padang Batung Kab. HSS


#enampejuang #idamanggala #ceritapejuang #pejuangbanjar #jangkauanluasfbpro #viral #fyp

Minggu, Agustus 10, 2025

 Negeri Ijazah


selamat, Nak

kau sudah masuk fase mahasiswa

katakanlah, kau baru masuk pintu kedua dituntut lebih mengenal makna

untuk apa manusia tercipta


selamat, Nak

kuatkanlah diri sebagaimana batu cadas

tegarlah meski ombak badai menghempas

sebab jalan hidupmu akan jauh lebih keras

menamparmu dari segala arah jarum kompas


selamat, Nak.

jika memang kau mampu kuliah

Maka bersyukurlah...

engkau harus tau, 

banyak mereka di luar sana,

jangankan mengecap sekolah

berpikir makan apa esok lusa

bapak ibunya sudah terlau lelah


apakah kamu tahu, Nak

kita sedang berada di negeri ijazah

sebab kelak nanti kau selesai kuliah

yang pertama orang tanya;

"apakah engkau punya ijazah?"


bersiaplah, Nak

dalam pergaulan dewasamu nanti

akan banyak kau temukan harga diri

yang mereka letakkan 

di selembar kertas sertipikat kompetensi

itupun sebagiannya hasil dari beli


sadarilah, Nak

di negeri ijazah ini

kecakapan, 

diukur dengan angka dan bilangan

pekerjaan, 

sangat tergantung pada eratnya kekerabatan

maka, tumbuhkanlah kebijaksanaan

karena kesempatan hadir sebab diciptakan


kuatlah, Nak

dunia adalah panggung drama

yang penuh muslihat dan pura-pura

lakon yang dimainkan seringkali berbeda

topeng yang mereka pakai,

bisa saja tak selalu sama


ingatlah, Nak

kita sedang berdiri di negeri ijazah 

jika tak mampu kau rubah

maka, bertahanlah...


Barabai, 03 Feb 2025

 JIika kita menilik Ke era kolonial berkuasa, Barabai yang lebih sering disebut Kampoeng Qadi oleh para Menir Belanda ini dulunya adalah satu wilayah di mana memang dikondisikan sebagai wadah bermukimnya para kaum borjuis dan para elit Belanda dan warga asing lainnnya. Dalam sejarahnya Barabai adalah kota kedua setelah kandangan yang jadi sentra pergerakan para pejuang di masa perlawanan terhadap pendudukan kolonial terutama di zaman gerilya atau revolusi (antara tahun 1940an-1950an).


Barabai banyak memetakan jejak juang para ksatria Borneo. Batang Alai dan Haruyan adalah dua wilayah yang tentu tak bisa dihapus dari catatan sejarah bahwa di sana pernah terjadi pergerakan bhakan pertempuran para pejuang revolusi. Masih berdirinya bangunan bergaya kolonial di beberapa tempat juga jadi bukti bahwa memang kota ini memiliki sejarah panjang bagaimana sense arsitektural akibat pengaruh subkultur banyaknya orang asing yang bermukim dan membangun kota ini di masa lalu.


Banyak kelompok pergerakan yang lahir dan melakukan berbagai upaya-upaya perlawanan terhadap kolonialisme pada masa itu baik skala kecil kelompok ataupun terorganisir misal seperti GERPINDOM yang dipimpin oleh A.R. HAKA. (Haji Abdurrahman Karim) bersama dengan pejuang lainnya semisal yang cukup dikenal; Haji Damahuri dan kawan-kawan. Tentu saja hadirnya sosok- pergerakan itu pasti terkiat dengan beragam pertempuran yang pernah tercatat dalam sejarah seperti Pertempuran Hawang atau pertempuran Hambawang Pulasan. 


Dengan fakta-fakta itu, sudah selayaknya Barabai berbangga diri menjadi bagian perjalanan sejarah yang banyak memetakan nilai-

nilai kejuangan dan nasionalisme. Barabai tidak mungkin dilepaskan dari catatan sejarah bahwa di kota ini telah memancur darah para syuhada. Bahwa di kota ini telah terpatri tekad kuat untuk merdeka dan bebas dari segala bentuk tirani. 


Tentu kita tak ingin nilai-nilai juang itu sekadar jadi monumen kejayaan masalalu karena tidak pernah ada upaya-upaya mengingatkan atau menceritakan pada generasi penerus anak banua. Lalu, dengan banyaknya peristiwa sejarah yang pernah terjadi di Barabai, entah kenapa sampai sekarang kita tak punya catatan lengkap soal itu alih-alih bicara soal museum atau seumpamanya yang diharapkan mengedukasi generasi akan datang. Sekadar peringatan pun masih minim sekali jika tak ingin dikatakan tidak ada sama sekali. Lantas, bagaimana mungkin bisa mempertahankan nilai-nilai juang dan kstaria yang notabene dulunya merupakan embrio kota ini.


Memahami dan mengetahui sejarah dengan sebenar-benar pemahaman mesti dimiliki oleh semua pihak supaya tidak terjebak dalam pengulangan aktualisasi kegagalan dalam mengisi kemerdekaan. Jangan pernah lupakan sejarah sebab bangsa yang melupakan masa lalunya sama saja tidak memiliki masa depan. Jangan sampai kita menjadi orang buta sejarah sebab mereka yang tidak dapat mengingat masa lalu dikutuk untuk mengulanginya.

 *Pandiran Warung: _"Atceh"_*


_"Taharap keu pageue, keubeue nyang pajoh padé."_ (Harapkan pagar, namun kerbau yang makan padi). 


Begitulah ujaran lama Bangsa Aceh untuk menyindir tentang orang yang mestinya menjaga, malah merusak dan mengeruk keuntungan dari apa yang seharusnya dijaga. 


Jika bicara Aceh, maka kita akan bicara tentang sejarah panjang Bangsa Melayu. Bahkan jauh sebelum ada namanya Indonesia. Jauh sebelum ada Amerika yang konon katanya ditemukan Columbus. Tanah Rencong yang tumbuh dan berkembangnya tak lepas dari darah dan airmata. Aceh dulunya adalah Bangsa yang memiliki kedaulatan penuh. Maka tidak heran tatkala menggabungkan diri menjadi bagian NKRI, sematan Daerah Istimewa pantas menjadi hak mereka. 


Kita mesti ingat, bahwa persoalan "menggabungkan diri" ini memiliki kemiripan dengan hadirnya Kalimantan adi bagian dari NKRI pasca "dianak tirikan" oleh Pemerintah Republik kala itu. Baru setelah perjanjian Linggarjati dan memproklamirkan diri tahun 1949, Kalimantan _situ saini bacuur_ sebagai bagian dari NKRI. Sayangnya posisi kita terlalu lemah secara politis. Maka sematan Daerah Istimewa tak kita miliki sebagaimana Aceh. 


Aceh hadir tatkala Indonesia hampir dianggap hilang dari peta bangsa-bangsa di dunia saat terjadi agresi milter kedua Belanda tahun 1948. Acehlah yang lantang menyuarakan bahwa bangsa ini masih eksis. Bahwa Indonesia ada, Republik masih berdulat melalui corong Radio Rimba Raya di suatu pedalaman tanah Aceh. Di kala Jogja (ibukota saat itu), Jakarta, dan kota lainnya dalam cengkraman penjajah. 


*"Indonesia masih ada! Republik masih ada!"*


Pernyataan inilah yang lantang dan tegas disiarkan Radio Rimba Raya dengan 5 bahasa. Menggetarkan dan penuh semangat juang yang tinggi. 


Rakyat Aceh pulalah yang menyumbangkan 20 kilogram emas ketika Soekarno "mengemis" minta dibelikan pesawat terbang kepresidenan. Bahkan tugu Monas Jakarta yang dibangga-banggakan Soekarno, emasnya seberat 28kg yang ada pada pucuk tugu (lidah api) adalah sumbangan dari orang Aceh. Seorang pengusaha kaya raya bernama Teuku Markam pada tahun 1960. 


Jika dituliskan, akan panjang bagaimana peran dan kiprah Aceh bagi negeri yang kini bernama Indonesia. Namun, apa yang didapatkan oleh Aceh? 


Pengkhianatan. 


Ya, Aceh dalam perjalanan waktu kemudian seringkali dikhianati. Tak hanya Aceh, namun hampir seluruh kesultanan di Pulau Sumatera dkkhianati dan justru dibumi hanguskan. 


Pasca berbagai bantuan Bangsa Aceh dan Bangsa Melayu pada umumnya, pihak Republik, Pemerintah Indonesia, bukannya membalas budi akan tetapi malah  mengirim pasukan militer yang sebagian besarnya ditunggangi oleh PKI. Alih-alih mensejahterakan, Aceh dan kesultanan lain di pulau Sumatera berubah jadi ladang pembantaian. Tak terbilang berapa nyawa yang dilenyapkan, berapa banyak darah ditumpahkan, berapa ribu anak yang harus yatim dan piatu, berapa orangtua yang kehilangan anaknya. Berapa gadis yang direnggut kesuciannya.


Lantas Aceh memerah. Bagai api dalam sekam, perlawanan sedikit demi sedikit mulai membara. Konflik bersenjata mulai terbuka. Gerakan demi gerakan mula bermuara pada satu tujuan. Merdeka.


Munculnya kelompok bersenjata ini nyatanya hanya akumulasi dari jutaan kekecewaan atas ketidakadilan dan akibat pengkhianatan. Seketika, cap sebagai pemberontak dijadikan legitimasi dalam tiap pembunuhan yang dilakukan oleh aparat dan militer. 


Sikap dan situasi ini, dianggap bagi sebagian rakyat Aceh tak ubahnya dari penjajahan baru. Bagaimana tidak, Bangsa Aceh diperlakukan semena-mena. Kekayaan alam mereka dirampas, ekspansi kuasa hendak diambil oleh Jawa, syariat Islam yang hendak mereka terapkan malah diabaikan dan ditolak oleh negara. Maka lahirlah kelompok GAM, Gerakan Aceh Merdeka. Lahir dari mereka yang memperjuangkan kemerdekaan yang hakikatnya hanya sebagai upaya untuk mempertahankan martabat dan harga diri sebagai bangsa besar yang telah ada jauh sebelum negara ini menyatakan diri sebagai bangsa Merdeka tahun 1945. Bangsa Aceh. Bangsa Melayu. 


Sejak itulah, Tanah Rencong selalu dihiasi darah. Konflik bersenjata ini baru mereda di tahun 2005. Tentara dan aparat polisi dinilai banyak pihak bahkan komunitas internasional terlalu berlebihan dalam tiap operasi militernya. Sebagai contoh, bagaimana kejamnya kasus pembantaian seorang ulama bernama Teungku Bantaqiah beserta keluarga dan para santrinya pada tahun 1999 dengan tudingan subversif. 


Tanpa perlawanan dan tanpa senjata. Berondongan peluru melesak di tiap dada para korban. Tak terkecuali Teungku Bantaqiah sendiri. Sang Ulama dihakimi tanpa bukti sebagai penyokong GAM dan pesantrennya dituduh menyimpan senjata. Tuduhan dan tudingan yang tak pernah sempat mendapatkan hak untuk membela diri sebab lesakan peluru dan tusukan bayonet lebih dulu ia terima. 


Pesantren diobrak abrik oleh pasukan gabungan TNI dan Brimob. Kitab-kitab dibakar. Para santri ditelanjangi. Putra Sang Ulama tersungkur dipukul popor senapan. Setelahnya rentetan tembakan meruyak, menjadikan halaman pesantren jadi kubangan darah yang memancur dari tubuh Teungku Bantaqiah, keluarga dan para santrinya. Kompleks pondok jadi abu dan arang. Tercatat ada lebih dari 70 jasad tergeletak tak bernyawa. 


Lantas, hukum negara bicara apa? Nol besar. Komandan pasukan gabungan saat itu tak pernah sekalipun diadili atas tindakan bengisnya. 


Kelicikan pemerintah republik macam itu tak hanya sekali dua kali terjadi, namun berkali-kali. Kita di Banua, masih ingatkah bagaimana nasib Ibnu Hajar tatkala lengan dan kakinya di rantai setelah sebelumnya disebar propaganda-propaganda yang menyebutkan dirinya sebagai pemberontak. Sebagai ekstrimis. Sebagai noda busuk dalam perjuangan kemerdekaan meski nyatanya dirinyalah tokoh terdepan dalam tiap jejak sejarah merah kemerdekaan di kalimantan. 


Bagaimana mungkin, jika kemudian banyaknya peristiwa, situasi dan kondisi di negeri ini selalu menyajikan banyolan politik membuat darah kita tak mendidih sebagai orang waras. Terlalu sering dagelan yang kadung mengecewakan terjadi. Aturan perundang-undangan sebagiannya justru mencekik dan memeras habis keringat rakyat jelata dengan kedok pajak. Mencoba sedikit melawan, jika tak disita maka dinaikan dengan ancaman pidana. _Kada ma-asi jua,_ nyawa taruhannya. Tanpa keadilan, abai pada nilai kemanusiaan.


Aceh dan kita di Banua, sama-sama sebagai bagian dari bangsa Melayu. Bangsa besar yang memilki marwah dan harga diri. Tidak layak diinjak-injak dan diperlakukan sebatas bangsa pribumi. Apalagi dikacangi orang-orang yang temaha pada kekuasaan ataupun jabatan yang demi itu semua mereka harus menggadaikan diri pada korporasi dan kepentingan segelintir orang atau pribadi. 


Maka, jangan pernah ajarkan kami tentang makna nasionalisme jika perilaku pejabat dan petinggi negeri ini masih sebatas perut sendiri. Pantang bagi bangsa melayu untuk tunduk pada ketidakadilan. Ingat pepatah; _Jangan pepat di luar, rencong di dalam!_


_(Kayla Untara, 30/07/25)_

 *Pandiran Warung; _“Babaya…”_*


Kembali, dunia medsos dihebohkan dengan pemberitaan soal rilisnya film animasi *“Merah Putih, One For All”.* Meski baru sebatas teaser, begitu tersebar di dunia maya, ragam komentar negatif justru berhamburan. Terutama dari mereka pegiat di bidang grafis digital. Yah, tak bisa disalahkan, _ulun_ yang _jaba_ saja begitu menonton klip film animasi itu terjebak dalam posisi _nang manuntun nang asa supan..._ 


Sudahlah plot ceritanya sangat jelek garapan filmnya pun secara kualitas _pina babaya hingkat._ Kita mungkin masih ingat, di awal kemunculan animasi Upin-Ipin produksi malaysia beberapa tahun silam, secara langsung atau tidak seakan “menantang” kemampuan para animator di Indonesia. Kehadiran petualangan Upin-Ipin yang digarap dengan sangat apik oleh rumah produksi _Les' Copaque Production_ coba hendak disaingi para animator Indonesia melalui berbagai serial animasi yang serupa. Sebut saja misal kartun Adit Sopo Jarwo, Nussa, Riko the Series atau serial Keluarga Somat. Lantas, lahirlah beberapa animasi dalam format film layar lebar semisal _Juki, The Battle of Surabaya_ atau yang kemaren baru booming, film animasi _"Jumbo."_ 


Sebagai penonton _jaba,_ hadirnya serial animasi 'Adit Sopo Jarwo' dan lainnya, meski seiring waktu mengalami peningkatan kualitas garapan teknisnya, secara subjektif _ulun_ menilai bahwa serial ala Indonesia ini secara kualitas penceritaan, tema dan dialog-dialognya masih di bawah serial Upin-Ipin. Bahkan jika mau jujur, dialog ataupun tema masih terasa nuansa “sinetron-sinetron” yang ada. Tanpa kekuatan plot dan tema. Contoh, Adit Sopo Jarwo. Sebagai tontonan anak-anak, ya boleh jadi oke-oke saja. Namun tak bisa dipungkiri, plot cerita, karakter tokoh, rasionalitas adegan dan narasi-narasi dialognya masih jauh di bawah serial Upin dan Ipin. Bukan berusaha memihak, tetapi faktanya semacam itu. Lemahnya plot-plot tiap episode itu membuat kita (atau setidaknya _ulun_) berpikir, apakah tidak ada orang yang memiliki ide lebih kreatif dalam membangun ceritanya.


_Ulun_ belum pernah menonton secara utuh film “Jumbo”, namun dari beberapa potongan film yang ada, _ulun_ kira kualitas animasinya sudah jauh lebih baik dari beberapa tahun terakhir. Namun tiba-tiba _euforia_ itu diruntuhkan dengan rilisnya teaser film “Merah Putih, One For All” yang di proyeksikan akan menjadi tontonan pada rangkaian hari jadi ke-80 kemerdekaan. Film animasi ini konon akan ditayangkan secara serentak di bioskop pada tanggal 14 Agustus 2025 yang akan datang. 


Tanpa perlu kita ahli dalam soal animasi atau memiliki kemampuan animator pun barangkali bisa menilai sejelek apa garapan visual animasi film ini. Jika membandingkan pasca tayangnya film animasi "Jumbo" yang cukup banyak diterima masyarakat, maka film animasi “Merah Putih, One For All” membuat semua orang yang peduli jadi tertegun. Bukan sekadar heran, tapi boleh jadi sampai pada level menyesali. Apalagi dari kabar yang beredar biaya produksi film ini memakan dana lebih dari 6 milyar. 


_Ulun_ tidak mengetahui apakah dana itu dana mandiri pihak rumah produksi atau memakai dana (anggaran) pemerintah, namun jika yang mendanai ternyata pemerintah melalui APBN atau APBD, maka akhirnya kita akan sadar dan merasa ‘wajar’ bahwa pembuatan film animasi ini digarap _babaya_ saja. Jikapun dana sponsor atau investor, nampaknya ekspektasi bahwa penjualan tiket bioskop akan menutup biaya produksi jadi ranah perjudian yang sangat beresiko.


Di banua sendiri, sudah beberapa kali pembuatan film yang di dalamnya ada keterlibatan APBD. Alhasil sudah bisa ditebak bahkan akan bisa dipastikan gagal atau tidak sesuai ekspektasi. Terakhir, garapan film _“Jendela Seribu Sungai”_ juga boleh dibilang tidak terlalu sukses. Terlalu banyak kelemahan yang bisa diungkapkan meskipun kita juga patut apresiasi atas usaha produksi film ini. Bahwa kemudian ini sebagai bentuk dukungan pemerintah dalam industri perfilman juga hal patut kita hargai. Namun kita juga tidak menampik, setiap yang terkait ‘proyek’ pemerintah akan memaksa kita masuk pada ‘wilayah abu-abu’ yang berakibat pada mempertaruhkan hasil akhir atau kualitas produksinya.


Persoalan _babaya hingkat_ ini, jika terkait dana-dana pemerintah nyatanya tidak hanya bicara di sektor infrastruktur atau pengadaan barang jasa sejenisnya, bahkan sektor industri seni dan budaya pun bisa saja terperangkap dalam pola permainan yang sama. Tak terkecuali soal produksian film tadi. Setidaknya, secara logika saja, pihak produser atau sineas yang terlibat tidak (terlalu) dibebani untuk mengembalikan modal produksi, toh ini proyek, _kok._ Mereka sadar bahwa potensi ruginya minim bahkan boleh saja tidak ada. Beda cerita jika ini dibiayai oleh investor, produser, atau rumah produksi swasta yang mau tidak mau mereka akan memasang spekulasi taruhan tiap memproduksi filmnya. 


_Ulun_ kira, jika film animasi “Merah Putih, One For All” dikerjakan dengan motivasi asal ada, _babaya_ sahaja, maka justru ini akan jadi terasa aneh. Sudahlah garapan audio dan visual animasinya di bawah standart, plot ceritanya pun (jika tak khilaf) sangat, sangat lemah yang hanya bercerita soal kehilangan selembar bendera merah putih. Apakah penggarap film ini terlampau miskin ide atau bagaimana, entahlah. Harapannya, yang pasti jangan sampai alasan garapan _babaya hingkat_ ini akibat terkena sindrom sarjana pasar pramuka. Alih-alih bisa dibanggakan, justru jadi bahan tertawaan di dunia animasi dan perfilman. 


_(Kayla Untara, 09/08/2025)_

 Pandiran Warung: "Kada incus..."


Dalam sekian kali percakapan, ulun dan dan kawan-kawan mawarung  sering berujar, bahwa pemerintah jangan ujug-ujug bangga ketika semakin tahun kemunculan pelaku UMKM kian banyak. Justru ini indikator bahwa pemerintah kada incus menciptakan lapangan kerja formal. Semakin tinggi pelaku UMKM, maka hakikatnya semakin buruk kemampuan pemerintah dalam upaya-upaya penciptaan lapangan kerja. 


Tak terkecuali kita di Banua. Di Kalimantan Selatan. Di Barabai. Jika terjadi fenomena serupa, maka ini merupakan sinyal bahwa pemerintah daerah kada incus menciptakan lapangan kerja formal. Baik dalam lingkaran pemerintahan ataukah dari kalangan swasta. 


Maka tak heran jika kemudian kita lihat ada warga satu desa berjoget-joget sembari live streaming di media sosial. Atau yang kini jadi tren baru, berlomba bermain FB Pro lewat konten-konten konyol. Meskipun juga di sana ada yang masih waras membuat konten video bagus dan mendidik,  tetapi, ya, harus berhadapan dengan konsekuensi minimnya jumlah tayangan atau sedikit sekali yang me-"like". 


Tekanan akibat kondisi ekonomi sekarang, memaksa hampir setiap orang harus ada dalam situasi bertahan atau tenggelam. Semata mengandalkan naluri survive. Sebagiannya mencoba peruntungan di sektor UMKM, sebagian lainnya memilih bertingkah konyol hingga vulgar melalui media sosial. Lantas jadi pertanyaan; apa yang dilakukan pemerintah?


Jika kemudian - sekali lagi - membanggakan menjamurnya UMKM ini sebagai sebuah prestasi, lalu berkoar-koar membikin program membina dan menumbuhkan para pelaku UMKM, ya konyol. UMKM itu tumbuh organik. Mereka akan tumbuh dan berkembang sebab keadaan yang mengharuskan. 


Kian konyolnya, pemerintah justru memalak pelaku UMKM ini lewat aturan dan pajak-pajak yang juga konyol. Sudahlah kada incus mensejahterakan melalui penciptaan lapangan pekerjaan (formil), eh, tiba-tiba main palak di sana-sini. Soal palak memalak ini tak hanya di ranah aktifitas usaha dunia nyata namun juga melingkupi mereka yang bermain di dunia maya tadi. Kurang konyol apalagi, coba?


Apa dampaknya, ketika kada incusnya pemerintah menciptakan atmosfir positif dalam pemenuhan kesejahteraan ini? Di tengah fakta bahwa kampus dan universitas hari ini lebih banyak mencetak kaum pekerja ketimbang akademisi dan enterpreneur sejati. Maka pilihannya adalah bermain di zona-zona instan. 


Bagi mereka yang agak beruntung, para sarjana ini bisa saja mencari peluang ke luar negeri, meneruskan bisnis keluarga atau melanjutkan ke jenjang sekolah lebih tinggi. Sebagian lagi berusaha menjajakan ijazahnya ke berbagai tempat meski tidak linier dengan basic pendidikan yang ia miliki. Sisanya, ya, berjudi dengan kehidupan melalui usaha UMKM atau berjoget-joget di depan kamera tadi. 


Yang menarik, ada segelintir yang lain, yang boleh dikata membuat sekolah dan segala hal terkait dengan prestasi akademik, skill personal dan semua drama perjuangan kehidupan seakan jadi absurd. Fenomena ini menjelma sindrom menahun yang mudah sekali menjangkit. Mereka yang memiliki privilige, sebab anak dari pejabat atau bekas pejabat. 


Hal inipun tak lepas dari peran Bapak atau ibunya yang mendorong si anak sebagai peyambung jabatan (politis) berikutnya. Ada yang jadi anggota DPR. Jadi Bupati. Jadi Walikota. Jadi Gubernur.  Hingga jadi Wakil Presiden meski dari hasil perselingkuhan kekuasaan. Tidak salah, hanya bikin jengah. Bukan membatasi, namun kadang ini terasa semacam politik dinasti. Mau jadi pejabat apapun dijamin haknya oleh undang-undang negara, tetapi kadang abai pada etika. 


Sindrom ini menjangkiti hingga ke daerah-daerah. Jika belum sampai pada level pejabat, setidaknya memberikan kursi untuk mengisi jabatan-jabatan politik lain. Ketua Partai, misal. Atau ketua KNPI dan setaranya, misal. Ataukah setingkat lebih keren, menjabat komisaris-komisaris BUMN atau BUMD.  Yang pasti, jabatan-jabatan yang mana akan beririsan langsung dengan kekuasaan dan banyak kemudahan. Mau setingkat gubernur hingga bupati, semua sama. 


Soal kemampuan, kapasitas, skill, pengetahuan dan lain sebagainya, nomor sekian. Realitas ini akhirnya membawa pada pemikiran serba instan. Bahwa jabatan bukan lagi sebuah pengabdian dan amanah tetapi semata berupa lowongan pekerjaan mudah, tanpa harus meperjuangkannya dengan susah payah. 


Orientasinya hanya bermuara pada soal kekuasaan dan fasilitas kemewahan. Lalu bermunculanlah anak-anak muda yang dijejali sikap pragmatis hasil warisan orangtuanya. 


Di sisi lain, ratusan, ribuan, bahkan mungkin jutaan anak muda terpaksa bergelut dengan rajaman kehidupan yang terlampau keras mendera. Dengan modal seadanya mereka berjudi di altar kenyataan bahwa saat ini hidup di sebuah negara yang pintar memeras rakyatnya namun kada incus dalam perkara memberikan hak paling mendasar; hidup yang layak dan jaminan kesejahteraan. 


Kita dipaksa masuk pada level atau mode bertahan hidup menghadapi realitas absurd. Maka, - untuk terakhir kali -  bahwa menjamurnya UMKM ini alih-alih sebagai prestasi atau sebuah suksesi, tetapi justru  merupakan kegagalan struktural dari pola kepemimpinan di negeri ini.


(Kayla Untara, 10/08/2025)

Kamis, Juli 31, 2025

Komitmen untuk memperluas akses pendidikan formal setara bagi para santri diwujudkan melalui keberadaan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Dhiyaul Amin. Berlokasi di Desa Pamangkih Seberang, Kecamatan Labuan Amas Utara, lembaga pendidikan nonformal ini menjadi solusi pendidikan kesetaraan bagi para santri di lingkungan Pondok Pesantren Dhiyaul Amin Pamangkih.

 

Hulu Sungai Tengah, Komitmen untuk memperluas akses pendidikan formal setara bagi para santri diwujudkan melalui keberadaan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Dhiyaul Amin. Berlokasi di Desa Pamangkih Seberang, Kecamatan Labuan Amas Utara, lembaga pendidikan nonformal ini menjadi solusi pendidikan kesetaraan bagi para santri di lingkungan Pondok Pesantren Dhiyaul Amin Pamangkih.



PKBM Dhiyaul Amin menyelenggarakan program Pendidikan Kesetaraan Paket B (setara SMP) dan Paket C (setara SMA), yang memungkinkan para santri tetap memperoleh pendidikan akademik secara formal tanpa harus meninggalkan sistem pembelajaran pesantren. Program ini berada di bawah naungan Yayasan Rhaudhatul Ulum Mubarak dan dipimpin oleh Tuan Guru Ahmad Junaidi, ulama karismatik dan pendiri Pondok Pesantren Dhiyaul Amin. 


Kepala PKBM Dhiyaul Amin, Muhammad Edwan Ansari, mengatakan lembaga tersebut didirikan atas dasar kepedulian terhadap para santri, khususnya yang berasal dari keluarga dengan keterbatasan finansial. PKBM Dhiyaul Amin diharapkan mampu membuka peluang pendidikan yang lebih luas dan setara bagi mereka.


“Kecamatan Labuan Amas Utara sendiri memiliki karakteristik masyarakat yang religius, dengan mayoritas penduduk bekerja sebagai petani, pedagang, dan nelayan. Di tengah keterbatasan akses pendidikan formal di wilayah ini, PKBM Dhiyaul Amin hadir sebagai sarana strategis untuk mendekatkan layanan pendidikan berkualitas kepada masyarakat, khususnya para santri,” terang Edwan Ansari di laman PKBM Dhiyaul Amin.


PKBM Dhiyaul Amin mengadopsi kurikulum yang dihadirkan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah yang disesuaikan dengan konteks pesantren dan kebutuhan peserta didik. Selain pembelajaran akademik, peserta didik juga dibekali dengan keterampilan hidup serta pendidikan agama berbasis kurikulum salafiyah. Mayoritas siswa tinggal di asrama pondok pesantren, yang memungkinkan proses pembelajaran berlangsung intensif dan berkesinambungan.


“Visi PKBM Dhiyaul Amin adalah menjadikan lembaga ini sebagai pusat pendidikan swasta Islam berbasis pesantren yang unggul dalam akademik, tangguh dalam karakter, dan cekatan dalam bekerja, baik sebagai kader umat maupun kader bangsa. Visi ini didukung oleh misi untuk memadukan sistem pendidikan nasional dan pesantren dalam pembelajaran, serta membangun lingkungan edukatif yang holistik dan religius,” lanjut Edwan Ansari.


Melalui pendidikan kesetaraan ini, PKBM Dhiyaul Amin berupaya untuk tidak hanya menjawab kebutuhan akan pendidikan formal bagi para santri, tetapi juga menjadi bagian dari upaya mencetak generasi muda yang cerdas, berakhlak mulia, dan siap berkontribusi dalam pembangunan sosial, ekonomi, dan budaya di masyarakat.

 

 

A.    Latar Belakang PKBM Dhiyaul Amin

PKBM Dhiyaul Amin adalah Program Kesetaraan Pendidikan yang dilaksanakan oleh Pondok Pesantren Dhiyaul Amin Pamangkih, Program Kesetaraan Pendidikan Paket B atau SLTP, Program Kesetaraan Pendidikan Paket C atau SLTA

PKBM Dhiyaul Amin berada dibawah Yayasan Rhaudhatul Ulum Mubarak yang merupakan Lembaga Yang beroperasi pada Bidang Pendidikan Yang didirikan berdasarkan Surat Keputusan No. SK Pengesahan Badan Hukum Menkumham : AHU-0011751.AH.01.04.Tahun 2019, tanggal SK Pengesahan Badan Hukum Menkumham : 20 Agustus 2019

PKBM Dhiyaul Amin ini merupakan lembaga pendidikan nonformal yang di upayakan dapat memberikan pendidikan yang berkualitas dan untuk santri yang umumnya memiliki keterbatasan finansial untuk mengakses pendidikan formal. Kehadiran PKBM ini diharapkan dapat menjadi solusi bagi anak-anak santri agar mendapatkan pendidikan yang layak dan setara di Pondok Pesantren Dhiyaul Amin Pamangkih

PKBM Dhiya’ul Amin terletak di Desa Pamangkih Seberang Kecamatan Labuan Amas Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan. Kecamatan Labuan Amas Utara dengan luas wilayah mencapai 161,81 km2 terbagi atas 16 desa dan memiliki jumlah penduduk 27.285 jiwa. Kecamatan Labuan Amas Utara dengan batas-batasnya sebagai berikut:

a. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Hulu Sungai Selatan

b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Labuan Amas Selatan

c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Hulu Sungai Selatan

d. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Hulu Sungai Utara

Masyarakat di kecamatan Labuan Amas Utara masyoritas bekerja sebagai petani, pedagang ataupun pencari ikan di sungai dan danau. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat kecamatan Labuan Amas Utara dikenal sebagai masyarakat yang agamis dan menjunjung tinggi norma-norma keagamaan.

Seluruh penduduk di Kecamatan Labuan Amas Utara menganut agama Islam. Dan dengan mayoritas penduduk beragama Islam tersebut maka tempat ibadah serta pendidikan islam seperti podok pesantren dan majelis taklim tumbuh dan berkembang di berbagai tempat di Kecamatan Labuan Amas Utara, salah satunya yakni Pondok Pesantren Dhiyaul Amin

Pondok Pesantren Dhiyaul Amin dibawah pimpinan, Tuan Guru Ahmad Junaidi, Beliau adalah ulama Kharismatik dari Desa Pamangkih Kecamatan Labuan Amas Utara Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Beliau adalah Muassis atau Pendiri Pondok Pesantren Dhiyaul Amin Pamangkih Seberang dan Khodimul Majelis Rhaudhatul Ulum Al Mubarakah, Tuan Guru Ahmad Junaidi atau biasa di Panggil Guru Junai.

Dengan di adakanya pendidikan Kesetaraan ini anak anak santri atau anak-anak didik yang belajar di Pondok Pesantren Salafiyah; Pondok Pesantren Dhiyaul Amin Pamangkih dapat mengakses pendidikan formal setara Pendidikan SLTP dan SLTA dengan PKBM ini diharapkan dapat memperluas kesempatan kepada seluruh Santri yang sekolah di pondok Pesantren Dhiyaul Amin Pamangkih, terutama yang kurang mampu, untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental, memberdayakan potensi Santri untuk menggerakkan pembangunan di bidang sosial, ekonomi, dan budaya, menanamkan pendidikan karakter dan meningkatkan kemandirian, keberdayaan, dan inovasi dalam mencari informasi baru

Sebagai lembaga pendidikan nonformal, PKBM Dhiyaul Amin menyelenggarakan program pendidikan kesetaraan untuk Paket B (setara SMP) dan Paket C (setara SMA). Kurikulum yang diterapkan di PKBM ini mengacu pada Kurikulum Merdeka dan Kurikulum 2013, dengan fleksibilitas dalam pendekatan pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan Santri Pondok Pesantren Dhiyaul Amin.

Peserta didik PKBM Al Dhiyaul Amin tidak hanya mendapatkan pelajaran akademis, tetapi juga dibekali dengan keterampilan hidup dan Pendidikan Agama pondok Pesantren Salafiyah, Mayoritas Peserta didik tinggal di asrama yang disediakan oleh Pondok Pesantren, selain itu, PKBM Dhiyaul Amin berkolaborasi dengan berbagai pihak, serta lembaga pendidikan lain, guna memperluas jaringan dan meningkatkan kualitas pembelajaran. Kemitraan ini bertujuan untuk memberikan wawasan yang lebih luas kepada Para Peserta didik dan Pendidik serta Tenaga Kependidikan dan memperkaya metode pengajaran.

Dengan harapan mencetak generasi yang cerdas, berakhlak mulia, dan siap mengisi berbagai sektor di masyarakat, PKBM Dhiyaul Amin terus berupaya meningkatkan kualitas layanan pendidikannya, sejalan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.

Mendapatkan legalitas pertama dari Akta Notaris dan Kemenkumham dan juga Dinas Pendidikan Kabupaten Hulu Sungai Tengah Sejak tahun 2023, berdasarkan surat Nomor :503/055-IPSPNF-PKBM/PM.PTSP.TK/IX/2023 dengan Nomor NPSN: P9999385

B.    Visi, Misi PKBM Dhiyaul Amin

a.    Visi.

Menjadikan PKBM Dhiyaul Amin Sebagai Lembaga Pendidikan Swasta Islam berbasis pesantren Unggul dalam akademik,tangguh dalam karakter, cekatan dalam bekerja sebagai kader Umat dan Kader bangsa, bekerja secara profesional menuju masyarakat madani.

b.    Misi

1.    Melaksanakan pendidikan, pengajaran dan pelatihan dengan memadukan sistem pendidikan nasional dan Sistem pendidikan pondok pesantren

2.    Menjadikan interkasi guru, siswa dan lingkungan sekitar sebagai lingkungan edukatif yang merupakan kawah candradimuka kader umat dan kader bangsa yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi berakhlakul karimah dan beramal sholeh yang siap bekerja secara professional.

3.    Dengan harapan mencetak generasi yang cerdas, berakhlak mulia, dan siap mengisi berbagai sektor di masyarakat, PKBM Dhiyaul Amin terus berupaya meningkatkan kualitas layanan pendidikannya, sejalan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.

4.    Membangun sarana dan prasarana pendidikan yang Representatif dan bekerja sama dengan berbagai pihak dalam meningkatkan kualitas pendidikan untuk melahirkan lulusan yang siap bekerja profesional atau melanjutkan ke jenjang pendidikan akademik.

5.    Dengan harapan mencetak generasi yang cerdas, berakhlak mulia, dan siap mengisi berbagai sektor di masyarakat, PKBM Dhiyaul Amin terus berupaya meningkatkan kualitas layanan pendidikannya, sejalan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan Masyarakat

Motto ; Beriman, Bertaqwa, Berkarya, Berbakti dan Mengabdi

 

c.     Tujuan

PKBM Dhiyaul Amin, Pondok Pesantren Dhiyaul Amin Pamangkih beberapa tujuannya adalah untuk:

a)    Memperluas kesempatan kepada seluruh Santri yang sekolah di pondok Pesantren Dhiyaul Amin Pamangkih, terutama yang kurang mampu, untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental

b)    Memberdayakan potensi Santri untuk menggerakkan pembangunan di bidang sosial, ekonomi, dan budaya

c)    Menanamkan pendidikan karakter

d)    Meningkatkan kemandirian, keberdayaan, dan inovasi dalam mencari informasi baru

e)    PKBM Dhiyaul Amin ini merupakan lembaga pendidikan nonformal yang di upayakan dapat memberikan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau bagi santri Pondok Pesantren Dhiyaul Amin Pamangkih

Saat ini PKBM Dhiyaul Amin di pimpin oleh Kepala Sekolah :  

Muhamad Edwan Ansari, S.Pd.I


sedikit Profil PKBM Dhiyaul Amin 

 

PKBM Dhiyaul Amin 

 

Identitas Sekolah

NPSN : P9999385

 

Status : Swasta

 

Bentuk Pendidikan : PKBM

 

Status Kepemilikan : Yayasan

 

SK Pendirian Sekolah : 503/005-IPSPNF-PKBM/PM.PTSP.TK/IX/2023

 

Tanggal SK Pendirian : 2023-09-08

 

SK Izin Operasional : 503/005-IPSPNF-PKBM/PM.PTSP.TK/IX/2023

 

Tanggal SK Izin Operasional : 2023-09-08

 

-Pondok Pesantren Dhiyaul Amin Pamangkih, PKBM Dhiyaul Amin Pamangkih

 

penulis : Tim Humas PKBM Dhiyaul Amin

@PKBM Dhiyaul Amin

 

Jumat, Juli 25, 2025

Tuan Abdul Ghani bin Abdul Manaf adalah ayah dari Ulama besar Kalimantan Selatan, Syekh M. Zaini bin Abdul Ghani. Beliau dilahirkan pada 4 rajab 1340 H/ 2 maret 1921

 Tuan Abdul Ghani bin Abdul Manaf adalah ayah dari Ulama besar Kalimantan Selatan, Syekh M. Zaini bin Abdul Ghani. Beliau dilahirkan pada 4 rajab 1340 H/ 2 maret 1921. 


Beliau juga adalah keturunan Syekh M. Arsyad Al Banjari (Datu Kalampayan Martapura). Tuan Abdul Ghani bin Abdul Manaf bin M. Seman bin H.M Sa'ad bin H. Abdullah bin Mufti H.M. Khalid bin Khalifah Hasanuddin bin Syekh M. Arsyad Al Banjari.


Menurut riwayat, beliau adalah seorang yang sabar dan sholeh. Kuat menyembunyikan cobaan tanpa mengeluh kesiapapun dan sangat menghayati sifat sifat ketuhanan Allah SWT. Maka tak lah mengherankan beliau menurunkan dzuriyat yang alim lagi sholeh


Beliau adalah seorang yang sholeh dan sabar dalam keadaan apapun. Beliau tergolong orang yang ekonominya lemah, namun beliau tetap memiliki sifat pemurah. Hal ini tampak saat anak beliau mengaji kepada guru. Walau beliau sulit ekonomi, beliau tetap memberi bantuan untuk meringankan beban sang guru.


Abdul Ghani bin Abdul Manaf kawin dengan Hj. Masliyah binti Hj. Mulya. Dari perkawinan ini melahirkan Syekh M. Zaini bin Abdul Ghani (Abah Guru Sekumpul Martapura) dan Hj. Rahmah.


Sumber : Sumber : buku "Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari" tulisan Abu Daudi halaman 43, sub judul "Allimul Allamah Khalifah H. Hasanuddin bin Syekh Muhammad Arsyad" hal 142


#pengikut #sorotan #gurusekumpul

Arif billah Al-Muhaddist wal-Mufassir asy-Syeikh Haji Anang Sya'rani bin Fathul Jannah Haji Muhammad Arif bin Al-Alim Al-Fhadil Haji Abdullah Khattib bin Al-Alim Al-Allamah Khalifah Haji hasanuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari

 Al-Arif billah Al-Muhaddist wal-Mufassir asy-Syeikh Haji Anang Sya'rani bin Fathul Jannah Haji Muhammad Arif bin Al-Alim Al-Fhadil Haji Abdullah Khattib bin Al-Alim Al-Allamah Khalifah Haji hasanuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, pendidikannya dimulai diusia dini, ia mengaji kepada beberapa ulama yang ada di Martapura di antaranya kepada pamannya yang bernama KH Kasyful Anwar, maka dibawah pengawasannya inilah ia bersama sepupunya yakni KH Syarwani Abdan Bangil banyak mendapatkan ilmu pengetahuan,pada tahun 1350 H/1930 M ia dan sepupunya Syekh Muhammd Syarwani Abdan Bangil berangkat ke Tanah suci Makkah untuk menunaikan Ibadah Haji sekaligus menimba ilmu ditempat sumbernya dengan diantar langsung oleh sang paman yakni KH.Kasyful Anwar,setibanya mereka di Tanah Suci Makkah dalam didikan dan pengawasan sang paman keduanya belajar dengan tekun, ibarat "Siang Bercermin Kitab Malam Bertongkat Pensil",diantara guru guru yang banyak memberikan pelajaran  kepada nya adalah:


1.Al-'Alim al-Allamah as-Sayyid Amin al-Kutbi


2.Al-'Alim al-Allamah Syeikh Umar Hamdan


3.Al-'Alim al-Allamah Syeikh Ali bin Abdullah al-Banjari


4.Al-'Alim al-Allamah Syeikh Bakri Syatha


5.Al-'Alim al-Allamah Syeikh Muhammad Ali bin Huseinal-Maliki


6.Al-'Alim al-Allamah Syeikh Ahyad al-Bughuri


dari didikan mereka yang penuh keikhlasan akhirnya ia menjadi ulama ternama dan ahli dalam bidang ilmu hadist dan tafsir,ia pun menyandang gelar "Muhaddist" yaitu seseorang yang ahli dan hafal dalam matan hadist beribu ribu lengkap dengan sanadnya,ia juga Khalifah dari gurunya yaitu Syeikh Umar Hamdan.karena ketekunan ia bersama sepupunya Syekh Muhammad Syarwani Abdan bangil maka terkenallah mereka berdua di tanah Suci hingga di beri gelar Dua Mutiara dari Banjar.


setelah 22 tahun menimba ilmu dari Tanah Suci Makkah dan sempat menjadi pengajar di Masjidil haram maka sekitar tahun 1952 ia kembali ke tanah air,setibanya dikampung halaman ia langsung menerima tongkat estafet kepemimpinan dari gurunya yakni KH.Kasyful Anwar.selain sebagai pemimpin di Darussalam Al-Muhaddist KH Anang Sya'rani arif juga mengadakan pengajian khusus guru guru dikediamannya di Kapung melayu,Al-Muhaddist sendiri terkenal sebagai seorang ulama yang tak kenal lelah dalam mengajar,sekalipun beliau dalam keadaan sakit,walau ia mengajar dengan berbaring,ia juga dikenal sebagai ulama yang sangat gesit dalam memecahkan masalah,sehingga apabila ada guru guru yang menmui masalah yang sulit,maka kepadanyalah mereka pergi untuk mencari jalan keluar atau pemecahannya,beliau juga sangat mencintai ilmu dan para penuntut ilmusehingga sampai akhir hayatnya ia masih aktif dan tetap mengajar.diantara murid murid beliau adalah KH.Mahfuzh Amin (Abah Pengasuh pondok Pesantren Ibnul Amin Pemangkih),Abah Guru Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Sekumpul Al-Banjari,KH.Salim Ma'ruf,KH.Mukhtar HS (pengasuh Pondok Pesntren Ibnul Amin sekarang) dan banyak lagi yang lainnya.


diantara kitab kitab karangan beliau adalah

1.Thanwirut Thulab (ilmu yang menguraikan tentang Ushul Hadist)

2.Hidayatuz Zaman (berisi hadist hadist tentang akhir zaman).

Sebelum beliau wafat  Aulia Allah ini berwasiatdan menunjuk KH.Muhammad Salim Ma'ruf sebagai gantinya menjadi Pimpinan di Madrasah Darussalam sepeninggalnya,akhirnya pada tanggal 14 Jumadil Awwal (1969 M) roh beliau yang mulia berpulang ke Rahmatullah membawa amal bakti yang tiada terhingga,jasad beliau di makamkan di Kampung melayu tengah,Martapura Kalimantan selatan,mudah mudahan Allah SWT mengumpulkan beliau dan seluruh guru guru kita,seluruh kaluarga kita  bersama baginda Nabi Muhammad SAW,para Nabi dan orang orang sholeh sebelum kita amiinnn Ya Robbal alamin,akhirul kalam kalau ada kekurangan dalam penyampaian riwayat ini alfaqir minta ampun minta redha sebesar besarnya kepada saudaraku semua,wabillahi taufik wal hidayah Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.



#pengikut #sorotan #gurusekumpul

Jumat, Juni 06, 2025

PEMBENAH TANAM PALING DAHSYAT

 Kini Jaman semakin maju masyarakat Indonesia semakin pinter penemuan penemuan semakin bermunculan kini ada penemuan terbaru 

Yaitu PEMBENAH TANAM PALING DAHSYAT 

Di bawah ini cara membuat pembenah tanah bahan dn alat sebagai berikut 

1. Humus dari bawah pohon bambu : 1 kg

2. EM4: 1 Liter

3. Nasi Basi: 500 gram

4. Gula Pasir: 500 gram (Bisa diganti molase 1 liter)

5. Air bersih yang tidak mengandung kaporit: 200 liter (Bisa air sumur, air kolam, air sungai, air hujan dll. Jangan memakai air dari PDAM)

6. Drum kapasitas 200 L : 1 unit

7. Ember Kecil: 1 buah

8. Pengaduk

9. Blender

10. Karung (Sak) untuk penutup drum

11. Tali Karet

CARA PEMBUATANNYA

1. Isi drum sekitar 180 liter air

2. Blender nasi putih sedikit demi sedikit sampai habis. Masukkan dalam ember kecil

3. Blender gula sekitar 1 menit lalu masukkan ke dalam ember kecil yang sudah berisi blenderan nadi putih. Aduk sampai tercampur

4. Tambahkan sekitar 5 liter air ke dalam ember kecil sambil diaduk

5. Masukkan EM4 ke dalam larutan gula + nasi putih. Aduk - aduk lalu didiamkan sekitar 15 - 30 menit.

6. Masukkan Humus dari bawah rumpun bambu ke dalam kantong kain lalu diikat dan dibenamkan didalam drum (biasanya dikasih pemberat dari batu)

7. Masukkan larutan EM4 + Gula + Nasi ke dalam Drum sambil diaduk.

8. Tambah air sampi drumnya mau penuh supaya tidak tumpah.

9. Tutup drum dengan karung atau sak lalu diikat dengan Erat

10. Biarkan drum di tempat terbuka (lebih bagus jika terkena sinar matahari sepanjang hari) selama 2 x 24 jam.

11. Buka Tutup dari karung atau sak. Di permukaan air akan terdapat banyak buih yg menandakan mikroba sudah sangat aktif dan Pembenah Tanah siap digunakan.

Catatan: Pembenah tanah ini sebaiknya segera digunakan dan tidak boleh disimpan lebih dari 5 hari

CARA APLIKASI

a. Untuk tanaman tahunan seperti Buah -buahan, sawit, kelapa, kopi, coklat, dll bisa langsung dikocorkan 2 - 5 liter larutan murni per pohon.

b. Untuk tanaman semusim berbatang keras seperti Jagung, Sorgum, Tebu, Padi, singkong dll. Larutan diencerkan 1 : 4 artinya 1 liter larutan dicampur dengan 4 liter air. Aplikasi bisa dikocorkan atau disemprotkan ke Tanaman.

c. Untuk tanaman hortikultura seperti cabe, tomat, terong, melon dll. Larutan diencerkan dg perbandingan 1 : 10 artinya 1 liter larutan dicampur 10 liter air. Aplikasi bisa dikocorkan atau disemprotkan ke Tanaman.

Aplikasi sebaiknya Sore Hari

Demikian tulisan singkat cara membuat pembenah tanah yang Ampuh.

Minggu, Juni 01, 2025

H.Muhammad As’ad

 Biografi/Riwayat


H.Muhammad As’ad menurut beberapa kalangan yang sempat mengenal beliau dari dekat, diantaranya KH.Abdul Gani yang menyebut beliau sebagai seorang ulama yang konsekuen, tegas dan mempunyai keikhlasan yang tinggi dalam berjuang menegakkan kalimatullah. Sementara Drs.H.M.Asy’ari, MA (mantan Rektor IAIN Antasari) menyebut beliau sebagai seorang ulama yang selama hayatnya selalu berjuang untuk menyampaikan syiar-syiar Islam kepada ummat manusia, tanpa mengenal lelah. Dalam bahasa yang lain adalah ‘izzul lslam wal muslimin. Selain itu beliau dikenal sebagai spesialis ilmu hadits, yang hafal lebih kurang enam ribu hadits.


Hal itu sesuai dengan prinsip hidup yang telah dipilih H.Asad, yakni selalu bertekad sampai akhir hayat untuk mengajarkan hadits-hadits Rasulullah SAW. Tokoh ulama kelahiran tanggal 1 Januari 1908 di Jatuh, Kecamatan Pandawan, adalah anak dari pasangan H.Muhammad Yusuf dengan Hj.Safiah.


Beliau memulai pendidikan dari Sekolah Rakyat (SR) tahun 1919 di Jatuh, tempat kelahiran beliau. Kemudian melanjutkan ke Madrasah Ma’had Rasyidiyah Khalidiyah tingkat Tsanawiyah tahun 1926 di Amuntai. Setelah itu mengikuti pendidikan Shalathijah tahun 1930 di Mekkah AI Mukarramah. Dan pada tahun 1933 masuk Darul ‘Ulum AI Azhar University Cairo tingkat Qiamul Ali di Mesir.


KH. Muhammad As’ad ketika menuntut ilmu di KSA, beliau berguru kepada lebih 30 (tiga puluh) orang ulama terkenal disana diantaranya Syeikh Yamani dan Syeikh Jamal Maliki. Di Mesir beliau memperdalam ilmu hadits dan tafsir dan berguru khusus kepada Syeikh Abdul Hay Al Kathani.


Sebagai seorang spesialis ilmu hadits, tidak kurang 6000 (enam ribu) hadits yang dihafal di luar kepala.


Setelah menyelesaikan pendidikan tersebut, KH.Muhammad As’ad kembali ke kampung halaman untuk mengabdikan diri, yakni menjadi Guru Kepala pada Sekolah Islam Barabai Kota, Guru Kepala pada Persatuan Perguruan Islam (PPI) di Jatuh, Pandawan. Sempat menjadi guru pada Madrasah Muallimin Barabai. Pernah diangkat menjadi Qadi di Barabai, dan Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari di Barabai.


Beliau meninggal hari Jum'at 27 Desember 1991 / 21 Jumadil akhir 1412 H. dan dimakamkan didepan mesjid Agung Riadhus Shalihin Barabai,juga berdekatan dengan makam Qadhi K.H Dahlan.





Tuan Gru H.Rafi'i meninggal pd tgl 10 September 1980.Beliau adalah ulama juga seorang Qari.Banyak murid2 sidin diwilayah barabai ini yg juga menjadi ahli Qur'an terutama guru2 kami jua.

 Dari kota barabai pakai kendaraan kurang lebih 15 menit sampai kedesa ini yaitu desa jatuh yang mana didesa ini terdapat sebuah mesjid tua bersejarah yang masih dijaga bentuk bangunannya dengan aslinya.Ditopang oleh 12 tiang yg masih kokoh,dari 12 itu hanya 2 tiang yg baru.

2 orang ulama waktu itu yg berperan penting dalam penyebaran islam didesa ini & terbangunnya mesjid ini yaitu K.H Dahlan & K.H M.Yusuf.Didepan mesjid ada terdapat makam umum dan disanalah bermakam seorang ulama yang bernama T. G H. Rafi'i bin K. H M. Yusuf. 

 

Tuan Gru H.Rafi'i meninggal pd tgl 10 September 1980.Beliau adalah ulama juga seorang Qari.Banyak murid2 sidin diwilayah barabai ini yg juga menjadi ahli Qur'an terutama guru2 kami jua. 



Dengan mencari menziarahi kubur para tuan guru yg telah menjadi guru dari paguruan kita mudahan kita dapat berkahnya jua.Sbb ilmu kita dari guru kita,guru kita dari gru sidin terus ke atasnya lagi sampai kepada Rasulullah.Sampai kepada yg maha ALIM,maka tidak akan putus pertaliannya..Kaya itu kira2 lah.


#Desa Jatuh, kec. Pandawan Barabai#.

Abah pengasuh nurul muhibbin ilung, berdiri tepat di belakang KH. Mahfudz Amin pengasuh pertama ibnul amin pamangkih

 Abah pengasuh nurul muhibbin ilung, berdiri tepat di belakang KH. Mahfudz Amin pengasuh pertama ibnul amin pamangkih




Rabu, Mei 21, 2025

 

Gugurnya 23 Pejuang: Antara Perjuangan dan Pengkhianatan

“Di balik keberadaan makam 23 pejuang Kambat Selatan, ada kisah tragis antara perjuangan dan pengkhianatan pada masa revolusi fisik, 12 Juni 1949”

Plang nama Taman Makam Pejuang Kambat Selatan, Kecamatan Pandawan (foto: TABIRkota/ferian sadikin)

Oleh: Muhammad Ferian Sadikin

“Bagi djang gogoer, djasadmoe boeleh hantjur namoen djiwamoe tetap hidoep”

MALAM mencekam, 90 pemuda mengendap perlahan, senyap, tak ada sedikit pun suara. Bermodalkan parang bungkul (senjata khas Kalimantan Selatan) di pinggang, mereka menyusuri hutan untuk menghidari keramaian.

12 Juni 1949, pasukan yang dikomando Salimi tergabung dalam markas daerah Z-61, berbasis di Desa Mahang, Kecamatan Pandawan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan (Kalsel), menyelinap di sela pepohonan dengan berselimutkan dingin dan hanya diterangi sinar rembulan.

Mereka menyelinap menembus hutan melewati Desa Buluan dengan dibantu oleh 13 pejuang pasukan alam gaib dan pasukan dzikir dari Alabio, Hulu Sungai Utara (HSU) yang dipimpin Haji Abdul Kadir untuk menambah kekuatan Z-61 menghancurkan pos militer Belanda yang ada di Desa jatuh.

Taman Makam 23 Pejuang di Kambat Selatan (foto: TABIRkota/ferian sadikin)

Selama perjalanan, mereka bertemu dengan beberapa masyarakat yang ingin ikut bertempur melawan penjajah, sehingga kekuatan para pejuang bertambah menjadi 150 orang. Sesampainya di pos militer Belanda, ternyata dalam kondisi kosong.

Bukan tanpa sebab, kosongnya pos militer yang ada di Jatuh memang disengaja, karena informasi penyerangan itu telah bocor oleh spion atau mata-mata Belanda, yakni pasukan kucing hitam di bawah pimpinan Pambakal (kepala desa) Haji Hasyim.

Pasukan kucing hitam merupakan kelompok pribumi yang dibayar Belanda untuk menjadi mata dan telinga mereka, pasukan itu seringkali meresahkan masyarakat, karena menangkap, menyiksa dan menghancurkan rumah para pejuang.

Makam 23 pejuang di Kambat Selatan yang gugur dalam penyerangan Desa Jatuh (foto; TABIRkota/ferian sadikin)

Merasa dapat menguasai pos militer dan menaklukkan pasukan kucing hitam tanpa perlawanan, para pejuang meneriakkan “merdeka” dan bersuka cita, setelah memastikan kemenangannya, mereka kembali menyisir jalan setapak untuk kembali pulang ke markas pangkalan Z-61 di Mahang.

Ternyata pihak Belanda telah menyiapkan strategi yang matang, mereka bersiap untuk mengepung pejuang dari segala penjuru, berbekal informasi dari pasukan kucing hitam dan mengatur posisi untuk bersembunyi.

Sesampainya para pejuang di simpang empat Kambat Selatan, mereka dikejutkan dengan dentuman tembakan yang membelah angkasa, merasa terkepung, sebagian pejuang itu berhamburan tak tentu arah dan mereka yang terlatih langsung tiarap.

Desing peluru melesat tak beraturan, menghujani para pejuang. Masyarakat yang ikut berjuang, namun belum terlatih berlarian ke sana kemari.

“Merasa situasi sangat genting, Haji Abdul Kadir mengambil alih pasukan dengan menancapkan bendera di empat penjuru agar para pejuang bisa berlindung dan memimpin dzikir,” ujar Kasi Kesenian dan Kebudayaan Dinas Pendidikan HST, Masruswian.

Riuh dzikir menggema menembus malam, pasukan pejuang duduk bersila dengan mulut yang terus merapalkan kalimat tauhid, berserah diri kepada Tuhan agar terlindung dari hujaman peluru Belanda.

Hujan peluru tak dapat dibendung lagi, namun anehnya, ribuan peluru itu tak sedikit pun menyentuh para pejuang yang sedang berdzikir dan Belanda tidak tahu keberadaan mereka, seakan terlindung dinding. Setiap peluru yang datang ke hadapan mereka nampak jatuh di sekitar bendera.

Malam itu terasa panjang, para pejuang perlahan bergerak senyap dan Belanda akhirnya mundur karena kebingungan dengan kejadian yang mereka alami, tak satu pun bayangan pejuang terlihat oleh mata mereka.

“Akibat pertempuran itu, 23 pejuang yang berasal dari masyarakat biasa gugur terkena tembakan Belanda, kejadian itu masih menyimpan amarah para pejuang terhadap Belanda dan pasukan kucing hitam,” Masruswian dengan mata berkaca menceritakan.

Ternyata penjajah tidak bekerja sendiri, ujarnya, mereka dibantu para pengkhianat bangsa yang rela menggadaikan harga dirinya untuk Belanda.

“Selain melawan penjajah, para pejuang kita terdahulu juga berjuang untuk menggempur pasukan pribumi yang bekerja sama dengan Belanda,” ujarnya.

Kini, tetesan darah dan sejarah pertempuran itu telah bersemayam bersama 23 pejuang, di Makam Pejuang Kambat Selatan, Kecamatan Pandawan.

Di makam tersebut tertulis nama 23 pejuang yang gugur dalam pertempuran menumpas penjajah, namun sayang, tulisan nama para pejuang itu sudah terkelupas dimakan usia, sehingga beberapa nama tidak dapat terbaca.

Keberadaan makam tersebut menjadi pengingat, bahwa di tempat itu pernah terjadi pertempuran hebat yang sempat membuat Belanda kebingungan dengan kekuatan yang dimiliki pasukan alam gaib dan pasukan dzikir.

Diharapkan peristiwa penting dan bersejarah di HST terus dituturkan kepada generasi muda , sebagai bagian dari perlawanan masyarakat banua terhadap imperialis Belanda pada masa menegakkan proklamasi kemerdekaan Indonesia. (fer)

Pewarta: M Ferian Sadikin

Journalist | Editor | - Hulu Sungai Tengah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Penyidikan Kasus Korupsi, Direktur Utama PT Sritex Ditangkap Kejagung

Rab Mei 21 , 2025
"Meskipun PT Sritex swasta, namun dugaan korupsi tetap diusut lantaran pemberian fasilitas kredit oleh perbankan dilakukan perusahaan plat merah"

You May Like

HUT TABIRkota 3 Tahun

TABIRklip