Rabu, November 27, 2013

aktulasasi NDP dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

aktulasasi NDP dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Rumusan dan Problem NDP Secara garis besar semangat NDP berada dalam bingkai 1] kepercayaan yang melahirkan 2] tata nilai, yang kemudian darinya terbentuk 3] kebudayaan dan peradaban. Ruang-ruang teks NDP pada dasarnya penuh berisikan bagian pertama dan kedua (kepercayaan dan tata nilai), dan aktulisasi terapannya adalah tujuan terakhirnya, yakni yang ketiga (kebudayaan dan peradaban). Namun dari grand design tersebut, hal mendasar yang menjadi permasalahan adalah kehadiran tata nilai yang telah mentradisi. Tata nilai yang semula dimaksudkan sebagai basis dasar pembangunan kebudayaan dan peradaban yang bersifat dinamis, kemudian terhambat oleh beberapa tata nilai yang justeru beku dalam tradisionalitas. Tradisi sebagai sebuah warisan kebudayaan adalah hal yang positif, tetapi tradisionalitas bersikap negatif karena dia berarti sikap fanatik berlebihan pada tradisi tertentu. Dan inilah yang menghambat peradaban dan kebudayaan yang lebih maju. Rumusan dan Problem Kebangsaan Problem kebangsaan negara Indonesia sebenarnya tidak terletak pada sistem yang digunakan, melainkan terletak pada ketidaksingkronan antara sistem politik dan budaya politik yang digunakan. Sebagaimana sebuah hukum hanya akan berjalan efektif jika ia kurang lebih sejalan dengan pola hidup yang telah dipahami masyarakatnya, sistem pemerintahan juga demikian. Indonesia adalah negara besar dengan beragam budaya, tetapi letak ketidaksingkronannya bukan pada banyaknya ragam tersebut, melainkan kurangnya perhatian pada masalah kebudayaan dan peradaban. Pada kenyataannya, meski beragam, terbentuknya Sumpah Pemuda adalah kisah besar kompromi kebudayaan Indonesia. Baik pada persoalan bahasa (Jawa dan Melayu), maupun tradisi (pesisir dan pedalaman) Strategi kebudayaan/perdadaban sebagai solusi Dalam wacana ilmu sosial, kata yang paling populer adalah kata “kota”, baik dalam bahasa Barat maupun Timur. Dalam bahasa Yunani kata “kota” dikenal dengan sebutan polis, maka ketika kaisar Constantin membuat kota baru untuk ibu kota Romawi, dan ia menemukannya di tepi selat Bosphorus, ia pun memberinya nama Constantinopolis (Kota Constantin)—yang sekarang menjadi Istanbul. Dari polis inilah kemudian terambil kata-kata politik, sehingga dari perkataan politik itu sendiri sudah tergambar konsep kehidupan teratur sebuah kota. Dalam bahasa Arab kata “kota” dikenal dengan nama madinah. Karena itu tidak meng-herankan jika yang dilakukan pertama kali oleh Rasulullah adalah mendirikan sebuah negara. Negara yang didirikan Nabi itu mula-mula adalah sebuah negara kota (city state), yang kemudian diperluas meliputi seluruh Jazirah Arabia. Kelak bahkan jauh diperluas lagi oleh para sahabat menjadi suatu imperium dunia dibandingkan kekaisaran Romawi atau Byzantium dalam zaman keemasannya. Adapun perkataan lain untuk peradaban dalam bahasa Arab, selain madânîyah, ialah hadlârah, yang satu akar kata dengan hâdlir. Hadlârah adalah konsep kehidupan menetap di suatu kota untuk menciptakan kehidupan yang teratur, bukan kehidupan nomad atau berpindah-pindah. Hadlârah merupakan lawan dari badâwah, yang artinya daerah kampung (tetapi bukan kampung seperti di negeri kita, melainkan kampung di padang pasir, yaitu orang-orang yang pola kehidupannya berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain; karena itu padang pasir dalam bahasa Arab juga disebut bâdiyah). Dari kata badâwah itulah diambil perkataan badawi, yang kemudian menjadi badui, artinya orang kampung dengan konotasi orang yang tidak begitu terpelajar. Pandangan mengenai peradaban inilah yang menjadikan agama Islam, dalam tinjauan sosiologis, sering disebut sebagai agama yang berorientasi urban. Islam adalah agama kota, agama kehidupan teratur. Melalui hijrah, Nabi membangun Masyarakat madani, yang bercirikan egalitarianisme, penghargaan berdasarkan prestasi bukan prestise, keterbukaan partisipasi seluruh anggota masya¬rakat, dan penentuan kepemim¬pinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan. Sebagai identitas perjuangan, jika “kota” dalam pengertian Barat sudah sedemikian populer setelah menjelma menjadi politik, maka yang kita harus perjuangakaan adalah jelmaan “kota” dalam pengeritian kita yang berarti perdaban. Saat ini politik konotasinya sudah jelek, tetapi mustahil untuk meninggalkan dunia sosial yang memang harus kita kawal. Karenanya itu pengawalannya lewat penguatan budaya politik dan peradaban. Di samping kebudayaan Indonesia, tradisi budaya lain yang dimaksud tentu saja adalah Islam itu sendiri BACAAN PENUNJANG 1 Bahasa dan Budaya Indonesia Kita mengetahui bahwa Bahasa Indonesia diangkat dari Bahasa Melayu, dengan standar Melayu Riau. Berkaitan dengan ini, sungguh menarik bahwa pada saat Kongres Pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda 1928 para peserta tidak memilih, misalnya, Bahasa Jawa, sebagai bahasa nasional. Padahal sebagian besar yang datang ke kongres itu adalah pemuda-pemuda asal Jawa. Pilihan kepada Bahasa Melayu agaknya terjadi dengan tingkat spontanitas yang tinggi. Ini berarti ada kesadaran tertentu pada para peserta kongres: yaitu kesadaran yang mewujud nyata dalam pilihan mereka kepada Bahasa Melayu sebagai Bahasa nasional yang jika dikontraskan dengan kemungkinan kesadaran sebaliknya, maka kesadaran yang agaknya umum ada pada peserta kongres itu ialah: kesadaran tentang nilai-nilai kemasyarakatan dan kenegaraan modern, dengan ciri-ciri utama paham persamaan manusia (egalitarianisme), kosmopolitisme, keterbukaan, dan demokrasi, yakni nilai-nilai yang sekarang sedang kita perjuangkan bersama sejalan dengan era reformasi. Pada masa lalu, dalam budaya Nusantara, nilai-nilai itu semua secara potensial memang terkandung dalam watak dasar bahasa Melayu sebagai bahasa pola ekonomi perdagangan dan budaya pantai. Kemungkinan kesadaran kebalikannya ialah nilai-nilai kemasyarakatan yang t¬ra-disional dan feodal—yang menge¬nal hirarki sosial yang cukup ketat, disertai nativisme, atavisme, ketertupan, dan paternalisme seba¬gai¬mana secara potensial terkan¬dung dalam watak dasar Bahasa Jawa sebagai bahasa pola ekonomi pertanian tanah-tanah subur dan budaya pedalaman. Budaya pantai dan pedalaman (banjarmasin di wilayah pantai) Lepas dari hasil Kongres Pemuda, dalam kenyataannya bentuk-bentuk ketegangan tertentu akibat tarik-menarik antara kedua pola budaya itu (budaya pantai vs budaya pedalaman) amat terasa dalam keseluruhan proses pertumbuhan budaya bangsa kita sampai sekarang ini. Orde Baru misalnya merupakan fenomena kemenangan budaya pedalaman atas budaya pantai atau pesisir. Dan masa reformasi ini, kalau kita berhasil mengisinya sesuai dengan cita-cita yang kita bayangkan bersama, merupakan kesempatan mewujudkan nilai-nilai budaya pantai atau pesisir, apalagi kecenderungan kemanusiaan universal (global) dewasa ini, melalui apa yang disebut budaya modern, mengarah kepada nilai-nilai yang lebih egaliter, kosmopolit, terbuka, dan demokratis. Artinya, nilai-nilai kebalikannya (feodalisme) tentu akan tersudut kepada posisi defensif, untuk akhirnya harus melakukan kompromi-kompromi yang mengarah kepada terwujudnya budaya pesisir yang sangat menekankan nilai-nilai kema¬nusiaan universal, dengan ciri-ciri utama paham persamaan manusia (egalitarianisme), kosmo¬politanisme, keterbukaan, dan demokrasi. Cukup jelas bagaimana hasil akhir tarik-menarik antara kedua pola itu, tapi mungkin ketegangan akan masih kita rasakan dalam jangka waktu cukup lama mendatang. Tetapi karena sifat-sifat yang lebih terbuka dan universalistik dari pola budaya yang tercermin dalam Bahasa Indonesia tadi, maka sebuah antisipasi memperkirakan bahwa kedudukan dan nilai yang terkandung dalam watak dasar bahasa itu akan semakin kokoh akibat interaksinya dengan pola-pola budaya interna¬sional dalam suasana hidup global umat manusia. Gejala ini sebagian terbukti dengan semakin sulitnya menghidupkan kembali secara penuh Bahasa Jawa dan betapa bahasa ini sedang berubah fungsi menjadi hanya sebuah bahasa santai (casual) orang Jawa (sebab, jika pembicaraan menjadi serius pasti akan menggunakan Bahasa Indo¬nesia, biarpun di pusat-pusat Budaya Jawa sendiri seperti Sola dan Yogya). Budaya lokal yang terus bertahan Dari sudut Keindonesiaan, gejala-gejala tersebut jelas positif sekalipun tentu akan lebih baik jika suatu pola budaya lokal tidak total mati, karena berpotensi memper¬kaya budaya nasional. Karena itu, dalam rangka memperkuat wujud organik budaya bangsa, perhatian yang lebih besar dan lebih sungguh-sungguh harus diberikan kepada Bahasa Indonesia, baik sebagai kelengkapan linguistik kebangsaan kita maupun sebagai modal dan kekayaan potensial pola budaya yang bermasa depan. Berkenaan dengan itu, kita harus menyatakan dengan cukup sedih bahwa sistem pendidikan kita belum cukup memberi tempat kepada bahasa nasional, baik secara kurikuler maupun psikologis sebagai unsur kebanggaan kaum terpelajar Indonesia. Padahal dalam bahasa Indonesia inilah kita mempertaruhkan budaya baru. Sebagai misal dan perbandingan, negeri-negeri yang berbahasa Inggris, seperti Amerika Serikat, sedemikian tinggi menempatkan pelajaran bahasa Inggris dalam sistem pendidikan mereka, sehingga kualitas pribadi seorang yang terpelajar dengan sendirinya meliputi pula kemampuan berbahasa Inggris yang baik. (Di Amerika pun ada perlombaan mengeja kata-kata Inggris dari tingkat sekolah sampai tingkat nasional!). Kita dapat mencontoh negara-negara itu, dan kita tidak perlu merasa kurang dengan bahasa nasional kita. Dan serentak dengan kegiatan mengajarkan bahasa itu sebagai alat komunikasi, kita juga harus menanamkan dengan sadar kepada anak didik pola budaya yang tersimpan dalam semangat dan watak dasar Bahasa Indonesia, yaitu paham persamaan manusia (egalitarianisme), kosmopolitisme, keterbukaan, dan demokrasi, yang merupakan cita-cita politik kita dewasa ini. Tampaknya inilah bagian amat penting dari usaha menyehatkan hakikat organik budaya nasional kita sehingga dalam kehidupan global ini, segala unsur dari luar dapat dicerna dengan baik dan “tubuh kultural” kita mampu menye¬rapnya sebagai bahan per¬tumbuhan organiknya lebih lanjut. Serentak dengan itu, muatan bahasa nasional itu harus senantiasa diusahakan meningkat, antara lain dengan benar-benar menggalakan setiap bentuk kegiatan penulisan kreatif dan penerjemahan dari bahasa-bahasa lain. Dengan begitu bahasa Indonesia akan tampil sebagai wahana produksi budaya yang tinggi, sehingga dari segi budaya itu, kita sebagai bangsa Indonesia tidak hanya berke¬dudukan sebagai konsumen belaka. Maka, kesimpulan kita: dukungan linguistik dan kultural kepada wawasan kenegaraan modern terdapat di dalam jiwa dan watak dasar bahasa Melayu yang bisa kita tambahkan dengan proses setelah mengalami Islamisasi. Karena dukungan linguistik dan kultural itu kurang terdapat dalam bahasa-bahasa lain di Nusantara ini, maka perlulah bahasa Melayu—sekarang bahasa Indonesia—diberi isi dan dikembangkan secara maksimal, sebab keputusan untuk memilih Bahasa Melayu itu sebagai bahasa nasional tidak saja mer¬upa¬kan keputusan kebahasaan, tetapi juga keputusan kebudayaan dan wawasan sosial politik. Hasilnya ialah wawasan modern kebangsaan dan kenegaraan Indonesia seba¬gaimana mukadimah dan batang-tubuhnya. Sesungguhnya konsep kenegara¬an Indonesia dan budaya Keindo¬nesiaan itu sendiri dibuat berdas¬ar¬kan semangat budaya pola pesisir yang lebih demokratis, bukan budaya pedalaman yang feodal. Perkembangan inilah yang saat-saat ini sedang kita saksikan ekspresi keluarnya dalam bentuk gejala-gejala sosial-politik seperti tuntutan orang banyak untuk dapat berpartisipasi secara lebih luas dalam proses-proses pengambilan keputusan; dambaan pada tertib hukum yang lebih dapat dian¬dalkan, dan predictable; pemb¬erantasan korupsi, kolusi dan nepotisme; penegakan Hak Asasi Manusia; pemberdayaan rakyat dan wakil-wakil mereka; pelaksanaan kebebasan-kebebasan asasi (kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul, dan berserikat); percepatan laju demokratisasi, dan pelaksanaan nilai-nilai demokratis; dan seterusnya. INDONESIA: BANGSA MUSLIM DENGAN HURUF LATIN Kesenjangan intelektual dan kultural antara Indonesia dengan Dunia Islam pada umumnya, last but not least, tercermin dan sekaligus diperlebar oleh kenyataan bahwa Indonesia—di samping Turki dan Bangladesh—adalah sebuah negeri Muslim yang tidak menggunakan huruf Arab untuk menuliskan bahasa nasionalnya, berbeda dengan hampir seluruh Dunia Islam yang lain. Para kiai dari dunia pesantren—karena masih tetap lebih akrab dengan huruf dan bahasa Arab—menuangkan pikiran tertulisnya dalam huruf Arab, meskipun tidak dalam bahasa Arab. Hal ini dimungkinkan karena adanya pengaruh huruf “Pego”, yaitu huruf Melayu atau Jawi. Namun, ada juga kiai-kiai yang dalam menuangkan pikirannya menggunakan bahasa Arab, seperti Kiai Nawawi dari Banten, Kiai Ihsan dari Kediri, Kiai Ma`shum dari Jombang, Kiai Shalih Darat dari Semarang, dan Kiai Arsyad al-Banjari dari Banjarmasin. Tetapi, setelah terjadi gelombang gerakan reformasi yang dipelopori oleh Muhammadiyah, Persis, dan al-Irsyad, peranan huruf dan bahasa Arab terdesak oleh huruf latin dan bahasa Indonesia, bahkan juga oleh bahasa Barat, seperti bahasa Belanda dan Inggris. Penyajian pikiran Islam di Indonesia—terutama dalam bentuk tulisannya—tidak lagi menggunakan huruf Arab, apalagi bahasa Arab, tetapi menggunakan huruf Latin dan bahasa Indonesia. Sementara itu, di satu sisi penggunaan tulisan Latin dan bahasa Indonesia dapat dipandang sebagai sumbangan nyata tersendiri dari umat Islam bagi pertumbuhan nasionalisme Indonesia, tetapi di sisi lain tidak bisa dielakkan hal itu memperlebar kesenjangan intelektual dan kultural Islam di Indonesia dengan dunia Islam yang lain. Kalau kita perhatikan, hanya di Sumatera Barat reformisme Islam relatif banyak dinyatakan dalam bahasa Arab, terutama jika kita membatasi perhatian hanya kepada karya-karya beberapa tokoh tertentu, seperti Mahmud Yunus, Qasim Bakri, dan Abdul Hamid Hakim. Maka tidak mengherankan kalau kemudian muncul reaksi terhadap gerakan-gerakan reformasi karena anggapan bahwa gerakan-gerakan itu—untuk meminjam ungkapan yang baru-baru ini pernah terdengar—mengakibatkan pendangkalan kehidupan keagamaan (Islam) di tanah air kita. Sebenarnya masalah efek “pendangkalan” itu sendiri bisa diperdebatkan, karena menyangkut konsepsi tentang apa yang di maksudkan dengan keagamaan itu sendiri. Tetapi, efek pelebaran kesenjangan intelektual dan kultural yang disebabkan oleh minimnya penggunaan huruf dan bahasa Arab (yang di gantikan oleh huruf Latin dan bahasa Indonesia) sudah merupakan fakta yang bisa kita kaji untuk mencari solusi yang tepat. AGAMA, KEMANUSIAAN, DAN GLOBALISASI Tekanan kepada segi ke¬manu¬siaan dari agama menjadi semakin relevan, bahkan mendesak, untuk menghadapi apa yang disebut era globalisasi, yaitu zaman yang me¬nyak¬sikan proses semakin me¬nyatunya peradaban seluruh umat manusia berkat kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi. Ba¬rang¬kali peradaban umat manusia tidak akan menyatu secara total sehingga hanya ada satu peradaban di seluruh muka bumi (tentunya sedikit saja orang yang meng¬hendaki demikian, karena akan mem¬¬bosankan). Setiap tempat mem¬punyai tuntutannya sendiri, dan tuntutan itu melahirkan pola peradaban yang spesifik bagi ma¬sya¬rakat setempat. Tetapi jelas tidak ada cara untuk menghindari dam¬pak kemudahan berkomunikasi dan berpindah tempat, berupa ke¬mes¬tian terjadinya interaksi dan saling mempengaruhi antara berbagai kelompok manusia. Maka, di¬per¬lukan adanya landasan keruhanian yang kokoh untuk memper¬tahan¬kan identitas, sekaligus untuk memantapkan pandangan kemaje¬muk¬an dan sikap positif kepada sesama manusia dan saling meng¬hargai. Berkenaan dengan ini, umat Islam boleh merasa mujur, karena mereka mewarisi peradaban yang pernah benar-benar berfungsi se¬bagai peradaban global. Kos¬mo¬politanisme Islam pernah menjadi kenyataan sejarah, yang meratakan jalan bagi terbentuknya warisan kemanusiaan yang tidak dibatasi oleh pandangan-pandangan ke¬bangsaan sempit dan parokialistik. Karena itu jika sekarang kita harus menumbuhkan semangat ke¬ma¬nusiaan universal pada umat Islam, maka sebagian besar hal itu berarti merupakan pengulangan sejarah, yaitu menghidupkan kembali pan¬dangan dan pengalaman yang da¬hulu pernah ada pada umat Islam sendiri. Menyadari masalah itu se¬bagai pengulangan sejarah ten¬tunya akan berdampak meringan¬kan beban psikologis perubahan sosial yang menyertai pergantian dari pan¬dangan yang ada sekarang ke pandangan yang lebih global. GELOMBANG PERADABAN, GLOBALISASI DAN PERUBAHAN SOSIAL Salah satu kenyataan yang dapat kita amati dari sejarah ialah bahwa setiap kali muncul suatu gelombang peradaban, tentu ada dampak globalisasi, lambat atau cepat. Ketika bang­sa Sumeria memper¬kenal¬kan pertanian dan ide tentang negara, pola budaya itu se­ge­ra menyebar ke bangsa-bangsa Semit di Timur Tengah dan bangsa Hamit di Afrika Utara, kemudian mempengaruhi bangsa-bangsa Arya di Asia Tengah, khu­susnya bangsa Persia, dan dari mereka ke bangsa-bangsa lain seperti bangsa-bangsa Eropa (dimulai de­ngan Yunani dan Romawi). Bangsa Arya yang menginvasi Anak benua India memper­ke­nalkan pola budaya itu ke bangsa-bangsa setempat, seperti bangsa Dravida. Dan dari bangsa India itulah pola budaya pertanian dibawa ke negeri kita (ingat nama pula Jawa yang berasal dari bahasa Sansekerta, Javadwipa, artinya pula padi, berkat pertanian yang berkembang pesat di sana). Masih banyak alat-alat pertanian, seperti ba­jak (di Jawa dikenal sebagai brujul dan singkal, yaitu alat untuk membalik tanah agar dapat terkena sinar matahari sebagai usaha penyuburannya) adalah kelanjutan langsung dari alat-alat pertanian temuan bangsa Sumeria yang menyebar ke seluruh muka bumi. Bahkan kon­sep pembagian manusia menjadi kasta-kasta seperti pada masyarakat Hindu juga dapat ditelusuri asal-usulnya pada konsep kemasyarakatan bangsa-bangsa Mesopotamia kuno, berhubungan dengan organisasi pembagian kerja antara penduduk kawasan itu dalam sis­tem kehidupan teratur pertama berbentuk negara. Pada zaman industri, proses globalisasi terlakasana secara jauh lebih cepat dan men­­dasar. Dise¬babkan oleh unsur ilmu penge¬tahuan dan teknologi, globalisasi itu men­jadi sedemikian rupa dipermudahnya sehingga proses-proses perkembangan yang dalam zaman agraria memakan waktu selama berabad-abad, dalam zaman industri hanya sela­ma puluhan tahun saja. Jika bajak sawah sejak zaman Sumeria sampai sekarang di desa-desa Jawa hampir tidak mengalami perubahan kecuali peningkatan mutu logam mata bajak itu saja, maka dalam zaman industri, sejak James Watt menemukan mesin uap sampai Neil Arm­strong menjejakkan kakinya di rembulan terentang waktu hanya sekitar dua ratus tahun saja. Demikian pula sejak diketemu¬kannya radio sampai dengan pe¬ngembangan tekno­logi komunikasi sekarang ini, terentang waktu yang relatif amat singkat menurut ukuran sejarah umat manusia. Karena itu dikatakan bahwa perubahan di zaman pertanian adalah keistimewaan dan terjadi hanya mengikuti deret hitung. Sedangkan perubahan di zaman industri adalah suatu kemestian dan terjadi mengikuti deret ukur. Faktor deret ukur itu makin hari ma­kin besar, sehingga kecepatan dan frekwensi perubahan pun semakin cepat hampir se­ca­ra tak terkendali. Jika grafik perubahan di zaman pertanian hanya membentuk se­buah ga­ris datar dengan derajat tanjakan yang hampir-hampir tak nampak dan sangat landai, maka grafik perubahan dalam masyarakat industri membentuk garis dengan derajat tanjakan yang sedemikian tajam dan terjal. Besaran dan kecepatan perubah¬an itu lebih-lebih lagi amat terasa, dan akan se­ma­kin amat terasa, dalam pola peradaban zaman informatika. Perubahan-perubahan yang dalam zaman pertanian berlangsung dalam jangka waktu ribuan tahun dan dalam zaman industri dalam jangka waktu ratusan atau puluhan tahun, dalam zaman informatika mung­kin hanya dalam jangka waktu tahunan atau bulan saja. Perubahan-per­ubah­an itu tidak mungkin dielakkan, sekalipun barangkali dapat ditunda atau diper­lam­bat. Sebab meng¬elakkan atau apalagi menahan perubahan adalah sama dengan menen­tang hukum sejarah. Membenarkan suatu pandangan yang diajarkan dalam agama bahwa segala se­suatu berubah kecuali Diri Tuhan (Q., 28: 88), maka perubahan dapat diharapkan terjadi dan meliputi segala segi kehidupan kita, termasuk tata nilai sosial. Perubahan sosial akibat perkem¬bangan suatu pola budaya ke pola budaya ber­ikutnya meru-pakan persoalan umat manusia. Perubahan-perubahan yang terjadi terlalu cepat dan dalam ska­la besar akan menimbulkan berbagai bentuk kri­sis, baik pribadi ma­u­pun sosial. Gejala-gejala deprivasi relatif, dislokasi dan disorien­tasi me­rupakan pe­nya­kit masyarakat yang amat gawat akibat perubahan-perubahan sosial yang cepat dan besar itu. Penyakit masyarakat itu dengan mudah sekali dilihat dalam gejala-gejala ke­hidupan di kota-kota besar, tempat perbenturan paling langsung dan dahsyat berbagai pertumbuhan gelombang peradaban manusia. Krisis akibat perubahan sosial dapat berdimensi perorangan, seperti gejala ke­se­hat­an jiwa yang terganggu pada banyak kalangan penduduk kota. Dapat pula berdimensi lebih besar dengan dampak lebih gawat, seperti krisis politik dan kenegaraan. Be­be­rapa “revolusi” yang terjadi akhir-akhir ini, seperti di Iran dan Aljazair serta di ne­ga­ra-negara Amerika Latin, dapat kita golongkan ke dalam bentuk kedua dimensi krisis itu. GLOBALISASI DAN MORALITAS Menghadapi era globalisasi, yang lebih dikenal dengan era global-village, atau desa buana, arti penting moral sebagai landasan yang universal perlu disebarluaskan dan dimasyarakatkan. Perspektif atau pemahaman globalisasi yang ada sekarang ini sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai gerakan Amerikanisasi, yang konotasi sesungguhnya lebih banyak pada hal-hal yang bersifat lahiriah atau material. Globalisasi dalam perspektif Islam, pada sisi lain, justru dite¬kankan pada arti penting univer-salisme nilai-nilai transenden seperti moral, kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Untuk itu, umat Islam harus menyiapkan dan menanam¬kan moral atau akhlak yang tinggi kepada generasi muda serta memberikan harapan-harapan positif sejalan dengan pengertian takwa. Era globalisasi, yang dika¬takan didalamnya terjadi persaingan yang sangat ketat, tidak boleh menjadikan generasi muda pesimis, karena moral atau akhlak juga merupakan hal yang paling penting. Selain itu, perlu juga dikembangkan cara berpikir mereka yang benar bahwa kebahagiaan yang sesung¬guhnya adalah kebahagiaan ruhaniah atau kondisi batin (state of mind). Sikap berputus asa atau putus harapan—seperti yang dikatakan dalam kitab suci Al-Quran, …dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah: tak ada orang yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali golongan orang tak beriman (Q., 12: 87)—menjadi ciri orang kafir yang tidak mempercayai kebesaran dan kekuasaan Allah Swt. Karena itu, perlu ditanamkan sikap berpengharapan melalui bersyukur. Bersyukur mengandung pengertian berprasangka positif terhadap Allah Swt. bahwa Allah pasti dapat melakukan apa saja yang Dia kehendaki. Dengan sikap syukur tersebut, sebenarnya justru kita sedang mendapatkan tambahan rahmat, seperti dikatakan dalam Al-Quran, Dan ingatlah tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Jika kamu bersyukur, Aku akan memberi tambahan (karunia) kepadamu, tetapi jika kamu tidak bersyukur, sungguh azab-Ku dahsyat sekali” (Q., 14: 7).  GLOBALISASI Jika globalisme merupakan kemestian yang tak terhindarkan, mengapa harus dihadapi dan disongsong dengan agama? Jika masalahnya ialah kemanusiaan universal, mengapa tidak didekati melalui introduksi langsung sebagai persoalan kemanusiaan umum saja, atau, misalnya, sebagai “agama tanpa wahyu” menurut pengertian kaum humanis Barat yang menolak agama formal seperti Julian Huxley. Apalagi paham-paham kemanu¬siaan atau humanisme yang berkembang di Barat dan kini menjadi sumber “berkah” untuk seluruh umat manusia, selalu dimulai dan dikembangkan oleh tokoh-tokoh pemikir yang menolak agama, atau tak acuh kepada agama, atau mempunyai konsep sendiri tentang agama dengan akibat menolak agama-agama formal. Misalnya, Thomas Jefferson yang mengaku menganut Deisme, Unitarianisme dan Universalisme, suatu paham Ketuhanan pribadi yang berbeda dari ajaran agama-agama formal yang dia kenal saat itu di Amerika. Situasi berhadapan dengan “pe¬nanyaan” (questioning) yang mirip dengan itu juga pernah secara pribadi saya alami segera setelah diberi kehormatan dan kesempatan membaca ceramah “Maulid Nabi” di Istana Negara pada tahun 1985. Beberapa cendekiawan terkemuka Indonesia menyatakan penghargaan mereka yang tinggi kepada isi “Maulid Nabi” saya, dan memu¬jinya sebagai pemaparan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Namun demikian mereka memberi catatan dalam bentuk pertanyaan (atau “penanyaan”): “Mengapa agama? Mengapa nilai-nilai kemanusiaan universal itu harus dinyatakan dalam ungkapan-ungkapan keagamaan? Mengapa harus di-”bungkus” dan disajikan dalam simbol-simbol, jargon-jargon, idiom-idiom, dan fraseologi keagamaan?” Dan seterusnya. Mengingat situasi global umat manusia dalam kaitannya dengan persoalan keagamaan di Zaman Modern yang didominasi oleh Barat dengan segala paham yang berkembang sekarang ini, maka sikap penuh pertanyaan serupa itu adalah sangat wajar. Tetapi jawaban atas pertanyaan serupa itu kini barangkali menjadi sedikit lebih mudah, disebabkan oleh ke¬mung¬kinan interpretasi dan konklusi dari kenyataan bangkrutnya sistem Eropa Timur. BAHAN BACAAN 2 Perspektif Budaya Kewargaan (Civic Culture) Salah satu kecenderungan utama era pasca-Perang Dingin adalah meningkatnya jumlah pemerintahan yang demokratis atau pemerintahan yang menerapkan nilai-nilai demokrasi di seluruh dunia. Uniknya, hal ini tidak terjadi di negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim (Lipset, 1994; Huntington, 1997, 1991; Freedom House, 2002). Menurut Index of Political Right and Civil Liberty yang dikeluarkan Freedom House, sepanjang tiga dekade terakhir, negara-negara Muslim pada umumnya gagal membangun politik yang demokratis. Dalam periode tersebut, hanya ada satu negara Muslim yang mampu membangun demokrasi secara penuh selama lebih dari lima tahun, yaitu Mali di Afrika. Duabelas negara Muslim lainnya termasuk ke dalam kelompok semi-demokratis. Sisanya, yakni 35 negara, bersifat otoritarian. Lebih dari itu, delapan dari tigabelas negara dengan pemerintahan paling represif di dunia pada dekade yang lalu adalah negara-negara Muslim. Ini temuan penting. Praktis di semua kawasan di dunia ini, baik di Asia, Afrika, Amerika Latin, bekas negara Uni Soviet, maupun Eropa Timur, kecenderungan munculnya pemerintahan yang demokratis sangat kuat. Rezim-rezim otoritarian berjatuhan di negara-negara non-Muslim. Sayangnya, di negara-negara Muslim, otoritarianisme relatif bertahan konstan. Lebih dari itu, runtuhnya Uni Soviet diikuti dengan munculnya negara-negara baru, yang enam di antaranya berpenduduk mayoritas Muslim: Azerbaijan, Kazakhstan, Kyrgistan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Di negara-negara Muslim tersebut, berdasarkan Index of Political Right and Civil Liberty Freedom House di atas, yang justru bermunculan adalah pemerintahan otoritarian. Sedangkan di negara-negara tetangga mereka yang non-Muslim di kawasan yang sama, pemerintahan demokratis bermunculan. Siprus juga bisa dianggap sebagai contoh menarik lainnya. Negara ini terbelah ke dalam Siprus Yunani dan Siprus Turki, dengan tingkat demokrasi yang berbeda: Siprus Yunani jauh lebih demokratis dibanding Siprus Turki, yang mayoritas penduduknya Muslim. Salah satu aspek gelombang ketiga demokratisasi, mengutip pandangan Huntington (1991), adalah munculnya pemerintahan yang demokratis di belahan Eropa Timur. Uniknya lagi, dua negara berpenduduk mayoritas Muslim, yakni Albania dan Bosnia, merupakan negara yang paling tidak demokratis di kawasan tersebut. Para ahli Islam pada umumnya beranggapan bahwa Dunia Arab atau Timur Tengah merupakan pusat kebudayaan dan peradaban Islam, dan karena itu Islam hampir identik dengan Dunia Arab. Kalangan elit Muslim, para aktivis, dan intelektual dari kawasan ini, dibandingkan dengan kolega-kolega mereka yang tinggal di wilayah lain, adalah orang-orang yang paling bersemangat menunjukkan identitas, solidaritas, dan persaudaraan keislaman mereka, sebagai reaksi terhadap budaya dan politik non-Muslim. Sayangnya, lagi-lagi, sebagian besar rezim di kawasan ini bersifat otoritarian dan tidak demokratis. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: mengapa demokrasi jarang ditemukan di negara-negara mayoritas Muslim, bahkan pada era di mana demokratisasi makin mengglobal? Jika demokrasi diperkenalkan di negara-negara Muslim, mengapa hal itu cenderung untuk tidak stabil dan tidak terkonsolidasi dengan kokoh? Apakah fenomena ini terkait dengan Islam? Sebagian ahli tentang masyarakat Muslim dan ilmuwan politik percaya bahwa Islam bertanggungjawab atas tidak-berlangsungnya demokrasi di negara-negara Muslim (Kedourie, 1994, 1992; Lipset, 1994; Gellner, 1994; Mardin, 1995; Huntington, 1997, 1991, 1984; Lewis, 2002, 1993). Namun klaim ini jarang sekali diuji melalui pengamatan yang menyeluruh berdasarkan pengukuran atas dua konsep penting yang terkait di sini, yaitu Islam dan demokrasi, dan bagaimana keduanya secara sistematis berhubungan. Studi ini bermaksud mengisi kekosongan tersebut melalui pembahasan dan pengujian empiris atas sejumlah argumen yang dikemukakan para ahli, yang mendukung maupun yang menolak klaim di atas. Klaim bahwa Islam bertanggungjawab atas kelangkaan atau ketidakstabilan demokrasi di negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim bertumpu pada pendekatan budaya politik (political culture), yaitu bahwa perilaku politik, institusi politik, dan kinerja politik dibentuk oleh suatu proses budaya. Karena itu, untuk meguji klaim tersebut secara benar, saya juga harus bertumpu pada pendekatan tersebut, bukan pendekatan lain, misalnya pendekatan ekonomi-politik. Dengan cara ini kita dapat mengikuti dan memahami alur pemikiran para ahli seperti Lewis, Gellner, Kedourie, atau Huntington. Pada saat yang sama, Huntington dan lainnya tidak menawarkan pendekatan yang sistematis dalam cara mereka membangun argumen. Mereka juga tidak menawarkan bukti-bukti yang memuaskan untuk menopang klaim mereka. Studi ini ingin mendekati masalah di atas dengan lebih sistematis, dengan menerapkan perspektif civic culture (budaya kewargaan) yang pertamakalinya dikembangkan oleh Gabriel Almond dan Sydney Verba (1963). Dengan memfokuskan perhatian pada sikap, kepercayaan, dan orientasi, perspektif ini paling dekat dengan perspektif yang dikembangkan Huntington, tetapi pada saat yang sama ia lebih meyakinkan secara ilmiah. Tradisi studi demokrasi dengan pendekatan budaya politik secara analitis diawali oleh Almond and Verba dalam karya mereka Civic Culture (1963). Karya ini lebih sistematis dan analitis ketimbang karya-karya para sarjana yang secara langsung bersinggungan dengan Islam atau negara-negara Islam seperti The Third Wave (Huntington), Islam dan Democracy (Kedourie), dan banyak lagi yang lainnya. Dalam karya mereka, Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai orientasi psikologis terhadap objek-objek sosial, atau sebagai sikap terhadap sistem politik dan terhadap diri sebagai seorang aktor politik (Almond dan Verba, 1963). Orientasi ini termasuk pengetahuan atau kepercayaan, perasaan atau afeksi, dan evaluasi atau penilaian terhadap sistem politik secara umum, input dan output politik, dan peran seseorang di dalam sistem politik. Diyakini bahwa variasi di dalam orientasi dan sikap ini mempengaruhi partisipasi politik dan penerimaan terhadap sistem demokrasi, yang pada gilirannya mempengaruhi stabilitas demokrasi. Almond dan Verba meyakini bahwa variasi di dalam orientasi politik menghasilkan tiga jenis budaya politik: budaya politik parokial (parochial), budaya politik subjek, dan budaya politik partisipan. Dalam budaya politik parokial, perbedaan struktural, misalnya pembedaan antara yang religius dan yang politis, tidak ditemukan. Orang tidak mampu mengorientasikan diri mereka pada sistem politik yang secara struktural terdiferensiasi. Orang-orang dengan budaya politik ini cenderung bersikap apatis terhadap atau terasingkan dari sistem politik. Tidak seperti budaya politik parokial di atas, budaya politik subjek cenderung menjadikan orang bersikap aktif terhadap pada umumnya sistem-sistem politik yang secara struktural terdiferensiasi, khususnya terhadap sisi output dari sistem ini, namun bersikap pasif terhadap sisi input dari sistem tersebut. Sama halnya dengan budaya parokial, budaya politik ini ditandai dengan ketiadaan orientasi terhadap diri sebagai partisipan di dalam sisi input dari suatu proses politik. Yang terakhir, budaya politik partisipan, ditandai oleh adanya orientasi tidak hanya terhadap sistem politik yang terdeferensiasi secara struktural, atau terhadap sisi output sistem ini saja, tetapi juga terhadap sisi input dari sistem bersangkutan dan terhadap diri sebagai partisipan aktif. Tetapi budaya politik partisipan ini tidak serta-merta menghilangkan budaya politik parokial dan subjek di atas. Di sini orientasi partisipan merupakan faktor tambahan. Karena itu, para partisipan tidak secara otomatis meninggalkan orientasi parokial atau primordial mereka. Contohnya, seorang penganut agama yang saleh dapat menjadi partisipan yang aktif, mendukung kebijakan pemerintah dan menyuarakan pendapatnya tentang apa yang harus dilakukan pemerintah. Perpaduan budaya politik partisipan, subjek, dan parokial diyakini memiliki pengaruh positif bagi stabilitas demokrasi. Civic culture sebagaimana dikembangkan oleh Almond dan Verba pada hakikatnya bukanlah sekadar budaya politik partisipan, tetapi budaya politik partisipan “plus yang lain,” kombinasi antara aktivisme dan pasifisme. Kombinasi antara aktivisme dan pasifisme ini menghasilkan perilaku politik yang moderat, bukan radikal. Orientasinya bukanlah kepada perubahan dalam kehidupan masyarakat dan politik yang bersifat revolusioner, melainkan kepada perubahan yang gradual. Itulah kultur politik demokrasi. Sindrom civic culture pernah dikritik secara tajam oleh beberapa ahli (Barry, 1970; Pateman, 1971; Muller dan Seligson, 1994; Tarrow, 1996), tetapi ia tetap bertahan dan bahkan berkembang, setidaknya di dalam studi-studi tentang demokrasi di negara-negara maju. Bertambahnya jumlah negara-negara demokratis di dunia telah memunculkan pertanyaan mengenai tingkat stabilitas dan konsolidasi demokrasi di negara-negara yang baru menerapkan sistem demokrasi tersebut. Untuk menjawab pertanyaan ini, beberapa studi yang sangat penting kembali menoleh kepada sindrom civic culture tersebut. Inglehart bahkan menyebut terjadinya semacam “the rennaisance of civic culture” dalam dua dekade terakhir, di mana civic culture diyakini sebagai faktor penting untuk menjelaskan stabilitas demokrasi (1988). Atau, sebagai jawaban atas gagasan Skocpol untuk “membawa masuk kembali negara [ke dalam diskusi kesarjanaan]” (bringing the state back in), Inglehart mengemukakan gagasan untuk “membawa kembali masyarakat” (bringing the people back in) untuk menjelaskan fenomena politik, khususnya stabilitas demokrasi (1997). Terlepas dari kesimpulan yang dihasilkannya, karya Norris, Critical Citizens (1999) atau Democratic Phoenix (2002), adalah contoh-contoh studi tentang dukungan global untuk demokrasi dan partisipasi politik di kalangan masyarakat yang secara teoretis didasarkan atas perspektif civic culture ini. Karya Putnam, Making Democracy Work (1993) mungkin merupakan karya yang paling banyak dikutip yang menghidupkan kembali gagasan civil culture untuk menerangkan kinerja demokrasi. Buku ini membawa kembali ke dunia kesarjanaan tidak hanya Civic Culture karya Almond dan Verba, tetapi juga Democracy in America karya Tocqueville, yang memberi penekanan pada pentingnya civic culture dan civic association (asosiasi warga) bagi demokrasi di Amerika. Semua karya ini meyakini bahwa civic culture tidak dapat diremehkan dalam studi-studi tentang demokrasi. Sejalan dengan itu, dalam bagian pengantar ini, saya akan membahas masalah hubungan antara Islam dan demokrasi sejalan dengan logika yang berkembang dalam tradisi riset civic culture. Budaya dan tingkah laku demokratis dipahami sebagai kompleks gabungan beberapa unsur, yaitu: keterlibatan kewargaan yang bersifat sekular (secular civic engagement), sikap saling percaya sesama warga (interpersonal trust), toleransi, keterlibatan politis (political engagement), dukungan terhadap sistem demokrasi, dan partisipasi politik (political participation). Klaim bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi dapat dibuktikan dengan mengeksplorasi sejauh mana Islam memiliki hubungan negatif dengan dukungan atas beberapa unsur di atas: secular civic engagement, sikap saling percaya sesama warga, toleransi, political engagement, partisipasi politik, dan dukungan terhadap sistem demokrasi. Sebelum membahas masalah-masalah ini, pada bagian ini secara sekilas saya akan membahas bagaimana agama dan budaya dipahami dalam ilmu-ilmu sosial. Agama dan Budaya Demokratis Semua karya penting yang membahas hubungan antara budaya politik dan demokrasi mengakui adanya dampak agama terhadap keduanya, terlepas dari apakah dampak itu bersifat positif ataupun negatif. Tocqueville mengungkapkan bagaimana agama (sebagai nilai dan asosiasi) secara positif mempengaruhi demokrasi Amerika. Sementara itu, Putnam menemukan bahwa agama Katolik di Itali memiliki hubungan yang negatif dengan kehidupan demokrasi. Inglehart (1997, 1998, 1999) menemukan hal lain dari studi lintas bangsa yang dilakukannya, yaitu bahwa perbedaan dalam tradisi agama menghasilkan perbedaan dalam sikap saling percaya sesama warga (interpersonal trust), dan sikap ini ditemukan sebagai unsur penting dalam budaya demokrasi, khusunya untuk menjadikan sebuah demokrasi stabil. Mengapa dan bagaimana agama mempengaruhi budaya politik? Pengaruh agama atas budaya tergantung pada pentingnya peran agama dalam masyarakat. Bila agama penting bagi seseorang, maka agama dapat mempengaruhi cara pandang dan penilaiannya atas aspek-aspek kehidupan. Semakin penting seseorang memandang sebuah agama dalam kehidupan, semakin tinggi pula ia memandang aspek-aspek kehidupan dalam perspektif agama yang diyakininya. Pengaruh agama terhadap politik terletak pada sifat dasar agama itu sendiri, yakni sebagai “sebuah sistem simbol yang membentuk kegairahan (moods) dan motivasi yang kuat, besar dan berjangka panjang pada kehidupan manusia dengan merumuskan konsepsi-konsepsi mengenai tatanan umum kehidupan dan dengan membungkus konsepsi-konsepsi tersebut dengan sebuah aura faktualitas sedemikian rupa sehingga tampak bahwa kegairahan dan motivasi tersebut benar-benar nyata” (Geertz 1973, 30). Agama dan politik berinteraksi karena yang terakhir ini juga berkaitan dengan kegairahan, motivasi, dan kepentingan manusia. Agama berperan menciptakan kegairahan dan motivasi yang abadi karena ia merupakan sebuah sistem nilai. Perubahan tata nilai tidak terjadi dengan mudah karena hal tersebut tertanam dalam kepercayaan metafisik (Jagodzinski dan Dobbelaere 1995, 76). Ini tidak berarti bahwa nilai tidak bisa berubah, atau dianggap sebagai esensi yang tidak bisa berubah. Ia bukanlah esensi yang tidak bisa berubah, melainkan bentuk-bentuk kepercayaan yang relatif stabil dalam waktu dan tempat tertentu, dan karena itu boleh jadi memiliki pengaruh yang relatif independen terhadap perilaku dan sikap manusia (cf. van Deth dan Scarbrough 1995, 37). Jagodzinski dan Dobbellaere (1995, 77) berpendapat bahwa “perubahan nilai mungkin dapat lebih baik dipahami sebagai sebuah proses yang kompleks tentang penafsiran ulang atas konsep-konsep nilai lama yang sangat abstrak … perubahan nilai merupakan perubahan penafsiran atas nilai.” Lebih lanjut, perubahan nilai bisa terjadi tanpa harus disebabkan oleh perubahan sosial. Perubahan sebuah sistem nilai membutuhkan, antara lain, penafsiran kembali atas konsep-konsep lama. Konflik seringkali terjadi, di mana para penafsir konservatif berusaha mempertahankan dan membenarkan nilai-nilai lama dalam proses itu. Tidak ada esensialisme di dalam pemahaman mengenai nilai seperti ini, selain upaya untuk mempertahankan nilai-nilai tertentu berdasarkan penafsiran yang dominan (cf. van Deth dan Scrbrough, 1995: 37). Penafsiran mana pun yang dominan dalam sebuah masyarakat lebih baik dilihat secara empirik, bukan secara spekulatif. Para ilmuwan sosial terbagi ke dalam tiga kelompok dalam melihat hubungan antara agama dan politik. Kelompok pertama mengklaim bahwa agama merupakan kekuatan konservatif yang menghambat perubahan sosial dan politik, yakni modernisasi politik. Kelompok kedua mengklaim bahwa signifikansi agama dalam politik merosot ketika proses modernisasi berlangsung. Kelompok ketiga percaya bahwa agama, paling tidak, secara tidak langsung, memberikan sumbangan bagi proses modernisasi politik. Di masa lalu ilmuwan sosial memperlakukan agama sebagai sumber stabilitas politik. Agama dipercaya dapat memberikan justifikasi atau legitimasi supernatural atas ketidakadilan dalam masyarakat. Dalam perspektif Marxian misalnya, agama adalah “candu bagi masyarakat,” dalam pengertian bahwa ia membuat manusia tidak menyadari permasalahan yang sesungguhnya ada dalam kehidupan sehari-hari dengan mengalihkan perhatian mereka dari kondisi yang ada kepada sesuatu yang lain, yakni kehidupan khayali. Agama diyakini dapat mengalienasi masyarakat dari dunia ini. Dalam sebuah masyarakat yang tidak adil, karakter agama yang seperti ini cenderung menjadikan agama mendukung status quo, karena ketidakadilan ini secara metafisik dibenarkan. Dalam pengertian ini agama menghambat manusia untuk terlibat dalam politik. Perspektif Marxian ini menawarkan cara pandang yang sama dengan teori modernisasi dan pembangunan politik pada era 1960-an, di mana agama dianggap menghambat masyarakat untuk mengorientasikan diri mereka terhadap politik. Agama diyakini sebagai salah satu unsur dalam sebuah budaya politik parokial-tradisional (Almond dan Verba, 1963). Para teoretisi modernisasi berpendapat bahwa modernisasi, yang ditandai dengan diferensiasi sosial atau pembagian kerja dan rasionalisasi dalam masyarakat, menjadikan peran agama dalam masyarakat, khususnya di bidang politik, merosot (Billings dan Scott 1994). Namun demikian, diferensiasi struktural tidak kemudian membuat agama kehilangan signifikansinya dalam politik. Karakter agama yang kompensatif, yang menjanjikan kehidupan lebih baik di hari kemudian, juga dapat ditransformasikan ke dalam sebuah “agama yang secara politis mengaktifkan orang, ketika hal itu disuntikkan ke dalam semangat komunal, bukan perorangan.” (Leege, 1993: 15). Agama diyakini memiliki kekuatan untuk membangun solidaritas sosial, menghasilkan rasa bermasyarakat (sense of community). Rasa bermasyarakat ini pada gilirannya berfungsi sebagai mediasi bagi tindakan kolektif yang sangat penting di dalam demokrasi. Democracy in America karya Tocqueville merupakan locus classicus yang mendukung argumen tentang peran tidak langsung yang dimainkan agama dalam demokrasi. Bagi masyarakat Amerika, sebagaimana yang dilihat Tocqueville, agama mampu membantu mereka untuk mengatasi masalah eksistensial, seperti rasa takut mati, karena agama menawarkan konsep keabadian dan harapan (2002, 284). Agama juga membenarkan persamaan dan kebebasan, dan pesan ini tidak dapat diwujudkan bila agama berbaur langsung dengan masalah-masalah politik. Menurut Tocqueville, “ketika agama berupaya mendasarkan imperiumnya hanya di atas hasrat manusia akan keabadian yang melekat di hati mereka, maka agama dapat mengklaim universalitas [yang tak lekang oleh waktu dan tempat – ed.]; tetapi ketika ia berusaha untuk menyatu dengan sebuah pemerintahan, ia harus mengadopsi sejumlah ketentuan yang dapat dipraktikkan hanya oleh kelompok tertentu. Jadi, ketika agama bersekutu dengan kekuatan politik, ia makin berpengaruh terhadap satu kelompok, tetapi ia kehilangan harapan untuk merengkuh semua yang lainnya” (2002, 284). Demikianlah bagaimana rakyat Amerika, menurut Tocqueville, memahami agama. Bagi mereka, agama penting bagi politik, namun keduanya tidak bisa digabungkan. Agama sendiri memberi inspirasi bagi, atau bahkan menegaskan, pemisahan gereja dan negara. “Sejauh sebuah bangsa berusaha mewujudkan sebuah negara sosial demokratis,” menurut pemahaman Tocqueville atas tradisi masyarakat Amerika, “maka menjadi berbahaya bagi agama kalau ia bercampur dengan kekuasaan politik; karena saatnya akan tiba ketika kekuasaan berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya ... ketika orang, hukum, dan undang-undang akan lenyap atau diubah setiap hari ... Agitasi dan instabilitas adalah bagian inheren dari republik-republik demokratis” (2002, 285). Itu semua merupakan dasar dari tidak terlibatnya para pendeta secara langsung dalam kehidupan politik. Mereka tidak menempati jabatan-jabatan publik. Mereka mengurusi kepentingan seluruh anggota masyarakat, bukan hanya kelompok tertentu, dan karena itu mereka mengkonsentrasikan diri pada urusan sosial seperti gereja dan sekolah. Dalam sebuah sistem demokratis, warganegara terlibat dalam urusan-urusan negara. Mereka memiliki kepentingan terhadap negara, namun mereka tetap relatif independen dari pengaruh negara. Mereka merupakan pihak yang kritis, dan bahkan merekalah yang “membentuk” negara. Sifat kemandirian warganegara ini bisa jadi dipengeruhi oleh agama, atau perkumpulan keagamaan seperti gereja, dan karena itu agama menjadi landasan kultural bagi sebuah republik yang demokratis. Di gereja, para warganegara “memperoleh keterampilan penting mengenai kewarganegaraan seperti kemampuan sosial dalam mendengarkan, memediasi, dan memimpin; kesadaran akan masalah-masalah publik berdasarkan perspektif moral; anjuran untuk ikut dalam kegiatan-kegiatan masyarakat demi kemajuan dan kepentingan bersama; keyakinan bahwa ada sesuatu yang sifatnya sakral di dalam kewajiban sosial yang mengatasi kepentingan pribadi; dan meningkatnya kepercayaan diri yang berasal dari pengalaman melayani masyarakat” (Wald, 1992; cf. Verba, Schlozman, dan Brady, 1995). Dalam pengertian ini, agama merupakan sebuah bentuk budaya, dan budaya “mempengaruhi cara pandang manusia, turut membentuk keyakinan asasi dan perilaku yang tepat, serta menciptakan identitas pribadi” (Wildavsky, 1987). Dalam kasus Amerika, seperti yang diamati Tocqueville, identitas keagamaan, yang terdiri atas kebiasaan-kebiasaan tertentu, bersifat positif terhadap demokrasi. Pengaruh positif agama terhadap demokrasi ini, dan lebih khusus lagi terhadap partisipasi politik, ditekankan kembali oleh beberapa ilmuwan sosial (Verba, Schlozman, dan Brady 1995; Wuthnow 1999). Agama (gereja) membantu dalam membentuk keterampilan kewargaan (civic skills), dan warga yang terlibat dalam kegiatan gereja kemudian terdorong untuk terlibat dalam aktivitas sosial non-keagamaan, dan ini pada gilirannya mendorong mereka berpartisipasi dalam kehidupan politik (Verba, Schlozman, dan, Brady 1995). Logika yang mendasari hubungan antara agama dan partisipasi politik dikemukakan dengan amat jelas oleh Wuthnow (1999, 334): “Anggota-anggota gereja yang aktif akan cenderung diperkenalkan kepada ajaran-ajaran agama seperti bagaimana mencintai sesama dan menjadi warganegara yang bertanggung jawab, akan cenderung memiliki modal sosial (social capital) dalam bentuk hubungan mereka dengan jamaah gereja lainnya yang dapat digunakan untuk menggerakkan energi mereka, dan mereka akan cenderung lebih sadar akan kebutuhan dan kesempatan yang ada dalam masyarakat mereka sebagai buah dari kehadiran mereka dalam acara-acara keagamaan.” Bentuk hubungan antara agama dan partisipasi politik ini mungkin merupakan keunikan masyarakat Amerika. Namun, banyak kasus lain yang menunjukkan bahwa agama memberi kontribusi positif bagi demokrasi. Di Brasil dan Korea Selatan misalnya, agama diyakini dapat memberi sumbangan positif bagi partisipasi politik (McDonough, Shin, dan Moises, 1998). Di negara-negara ini, menurut McDonough, Shin, dan Moises (1998: 983) “agama menjadi faktor penggerak demokratisasi; ia tidak hanya mendorong, tapi juga menjadi salah satu faktor utama bagi aksi kolektif.” Para sarjana ini bahkan membuat klaim yang lebih besar bahwa tesis sekularisasi tidak berlaku dalam gelombang demokratisasi ketiga. Sejalan dengan pandangan ini, sejumlah ilmuwan sosial berpendapat bahwa kemunculan fundamentalisme agama telah membatalkan tesis sekularisasi di dalam teori modernisasi (Billing dan Scott, 1994). Namun demikian, Marty dan Appleby (1993: 2) berpendapat bahwa fundamentalisme agama merupakan “reaksi terhadap aspek-aspek proses modernisasi dan sekularisasi global pada abad keduapuluh.” Mereka mengklaim bahwa fundamentalisme agama “merupakan kecenderungan dan keadaan pikiran … [yang] mewujudkan diri di dalam satu atau satuan strategi di mana para penganut agama yang merasa terancam berusaha melindungi identitas mereka sebagai sebuah kelompok” (ibid.: 3). Istilah “reaksi terhadap … modernisasi dan sekularisasi” dan untuk “melindungi” agama sebagai identitas yang unik dalam sebuah kelompok tertentu merupakan ungkapan khas sekularisasi dari teori modernisasi yang jelas-jelas menyatakan bahwa fundamentalisme merupakan fenomena negatif dalam politik modern. Dalam pandangan saya, pengalaman empirik kita dengan fundamentalisme, entah ia sebagai reaksi atas politik sekular atau bukan, menunjukkan bahwa agama dapat mendorong para pemeluknya untuk bertindak secara politis, dan bukan absen dari politik. Ini bukanlah sebuah tingkah laku politik yang parokial, yang ditandai oleh tidak adanya orientasi terhadap sistem politik yang ada (Almond dan Verba, 1963). Di Iran, fundamentalisme telah berhasil merobohkan sebuah rezim yang tidak demokratis dan menggantinya dengan rezim baru yang juga tidak demokratis. Sekalipun demikian, saya cenderung percaya bahwa beberapa unsur teori modernisasi, khususnya konsep “alienasi” atau reaksi negatif yang berdasarkan agama terhadap politik sekular, yang akan didiskusikan secara singkat di bawah, masih berguna untuk menjelaskan “perilaku politik fundamentalisme Islam.” Pendapat Marty dan Appleby tentang fundamentalisme agama sebagai sebuah reaksi terhadap sekularisasi dan modernisasi tampaknya cukup meyakinkan, paling tidak dalam kasus fundamentalisme Islam. Kasus teologi pembebasan di Amerika Latin, yang menunjukkan bahwa agama tidak hanya berperan dalam menumbangkan rezim otoriter tetapi juga dalam membangun rezim demokratis (Billing dan Scott, 1994), harus dibedakan dari “fundamentalisme agama.” Kedua jenis gerakan agama ini sangatlah berbeda, baik dari segi substansi maupun orientasinya. Saya cenderung berpendapat bahwa teologi pembebasan berbeda dari fundamentalisme, paling tidak fundamentalisme Islam. Yang pertama adalah gerakan populer yang dipengaruhi oleh ajaran Katolik yang menuntut politik yang demokratis disertai semangat keadilan sosial (Sigmund 1994). Sementara itu, dalam masyarakat Islam, fundamentalisme adalah reaksi terhadap politik demokrasi, dan menuntut sistem politik yang berdasarkan Islam (cf. Moussali 1999). Di lain pihak, upaya generalisasi yang berlebihan tentang sumbangan konstruktif agama terhadap demokrasi tampaknya juga keliru. Kasus-kasus agama di Amerika Utara dan Amerika Latin dewasa ini, yang secara positif memberikan sumbangan terhadap demokrasi, sangatlah berbeda dari peran agama Katolik di Itali (Putnam, 1993). Dalam studinya tentang kehidupan demokrasi di Itali, Putnam menemukan bahwa keberagamaan Katolik (klerikalisme) memiliki pengaruh negatif terhadap civic culture, atau lebih khusus lagi terhadap kehidupan komunitas kewargaan (civic community). Ia percaya bahwa agama Katolik Itali merupakan alternatif, dan bukan bagian, dari civic community. Lebih lanjut Putnam menyatakan, Meskipun ada reformasi Konsili Vatikan Kedua dan berkembangnya kecenderungan ideologis yang berbeda-beda di kalangan pemeluk agama, Gereja Itali tetap mempertahankan warisan Kontra Reformasi, termasuk penekanan pada hirarki gereja dan nilai-nilai tradisional tentang ketaatan dan penerimaan atas nasib seseorang.… Ikatan-ikatan otoritas yang bersifat vertikal merupakan karakteristik yang lebih kuat dalam Gereja Itali daripada ikatan-ikatan yang bersifat horizontal sesama anggota jamaah. Tidak seperti di Amerika Serikat, di Itali demokrasi lebih berhubungan dengan civic community yang bersifat sekular ketimbang dengan gereja. Putnam percaya bahwa orang-orang Katolik yang saleh lebih tertarik kepada “kota Tuhan” (the city of God) daripada “kota manusia” (the city of man). Klaim negatif tentang pengaruh Katolik terhadap demokrasi di Itali mungkin dapat dibandingkan dengan klaim yang dibuat para ahli ilmu sosial dan sejarah Muslim seperti akan dipaparkan di bawah. Beberapa Hipotesis tentang Islam dan Budaya Demokratis 1. Islam dan modal sosial Demokrasi membutuhkan aksi kolektif dan koordinatif, yang dicapai melalui modal sosial, seperti saling percaya sesama warga dan jaringan keterlibatan dalam kelompok kewargaan (civic engagement). Unsur budaya demokrasi ini, seperti telah dipaparkan sebelumnya, diyakini tidak ada dalam masyarakat Muslim, dan Islam dianggap bertanggungjawab atas masalah ini. Bila asumsi ini benar, maka kita bisa berharap bahwa semakin Islami seorang Muslim, semakin besar ketidakpercayaannya pada orang lain. Lebih lanjut, terdapat sejumlah norma agama yang menunjukkan bahwa kaum non-Muslim tidak dapat dipercaya. Hipotesis yang kedua adalah: semakin Islami seorang Muslim, semakin besar ketidakpercayaannya pada non-Muslim. Modal sosial juga membutuhkan “jaringan secular civic engagement.” Karena itu hipotesis ketiga adalah: semakin Islami seorang Muslim, semakin kecil keterlibatannya dalam kelompok kewargaan sekular. 2. Islam dan toleransi sosial-politik Toleransi politik sangatlah penting bagi konsolidasi demokrasi. Islam dan Kristen diyakini sebagai agama dakwah dan missi. Para penganutnya memiliki kewajiban untuk mendakwahi orang-orang yang tidak percaya padanya. Dipercayai bahwa hal ini merupakan sumber intoleransi kau Muslim terhadap penganut Kristen, atau sebaliknya. Bila proposisi ini benar, saya berasumsi bahwa semakin Islam seorang Muslim, ia akan cenderung semakin tidak toleran terhadap orang-orang Kristen. Lebih jauh, toleransi politik dipahami sebagai toleransi terhadap kelompok yang paling tidak disukai. Kalau Islam dipandang sebagai sumber intoleransi, maka saya berharap menemukan kenyataan bahwa semakin Islami seorang Muslim, semakin tidak toleran ia terhadap kelompok yang paling tidak ia sukai. 3. Islam dan keterlibatan politik (political engagement) Keterlibatan politik (political engagement) atau budaya politik partisipan diyakini sebagai hal penting dalam demokrasi. Sebelumnya telah dipaparkan pandangan bahwa partisipasi politik merupakan sebuah gejala yang asing di dalam Islam. Jika asumsi ini benar, maka semakin Islami seorang Muslim, semakin besar pula kemungkinan ia untuk tidak terlibat di dama politik. 4. Islam dan rasa percaya terhadap institusi demokrasi Dalam literatur budaya demokrasi (civil culture), rasa percaya pada institusi politik berhubungan dengan rasa saling percaya sesama warga. Saling percaya sesama warga berdampak positif terhadap rasa percaya pada institusi politik, dan percaya pada institusi politik berpenagruh positif terhadap penguatan demokrasi dalam suatu negara. Kalau diyakini bahwa Islam bertentangan dengan penguatan demokrasi, maka diharapkan bahwa Islam juga bertentangan dengan rasa percaya pada institusi-institusi demokrasi. Karena itu, pada tingkat individu, semakin Islami seorang Muslim, semakin tidak percaya ia terhadap institusi demokrasi. 5. Islam dan prinsip-prinsip demokrasi Klaim bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi secara khusus terkait dengan dukungan terhadap prinsip-prinsip demokrasi seperti kepercayaan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik, nilai kebebasan dan hak-hak minoritas, dan pemilihan umum yang kompetitif. Seperti telah dikupas sebelumnya, kaum Muslim dipercaya lebih dekat kepada budaya politik Islam, dan budaya ini dipercaya bertentangan dengan dukungan terhadap demokrasi dan dengan nilai-nilai dasar demokrasi. Bila klaim ini benar, maka semakin Islami seorang Muslim, semakin ia tidak mendukung prinsip-prinsip demokrasi. 6. Islam dan dukungan terhadap negara-bangsa Seperti telah diuraikan sebelumnya, dalam tradisi politik Islam, gagasan tentang negara-bangsa merupakan hal yang asing. Umat Islam lebih mengenal ummah sebagai komunitas politik yang melampuai sekat-sekat negara-bangsa ketimbang negara-bangsa itu sendiri. Karena itu, semakin Islami seorang Muslim, semakin ia tidak mendukung negara-bangsa sebagai komunitas politik. 7. Islam dan partisipasi politik Partisipasi politik diyakini sebagai konsep yang asing bagi masyarakat Muslim. Partisipasi politik bagi masyarakat Muslim terkait dengan karakteristik objek dari partisipasi tersebut, apakah terkait dengan kerangka norma-norma Islam atau tidak. Karena itu, bila objek partisipasi itu tidak ada kaitannya dengan Islam, maka partisipasi itu menjadi kecil kemungkinannya. Bila klaim ini benar, maka semakin Islami seorang Muslim, semakin ia tidak berpartisipasi dalam politik kecuali politik itu terkait dengan tuntutan agama. 8. Islam, keterlibatan politik, rasa percaya kepada institusi-institusi politik, dan partisipasi politik Studi-studi tentang demokrasi beranggapan bahwa berbagai kombinasi antara keterlibatan di bidang politik dan rasa percaya pada institusi politik akan menghasilkan berbagai jenis warganegara: warganegara yang setia (allegiant), yang teralienasi (alienated), yang apatis, dan yang naif (cf. Seligson, 1980). Warga yang setia secara politis akan terlibat di dalam dan percaya pada institusi politik. Warganegara yang teralienasi secara politis juga akan terlibat di dalam institusi politik yang ada, namun ia tidak percaya dengan institusi itu dan mempunyai potensi untuk mengganggu jalannya demokrasi. Warga yang naif adalah mereka yang tidak ingin terlibat dalam proses politik namun percaya pada institusi-institusi politik yang ada. Sedangkan warga yang apatis adalah mereka yang tidak ingin terlibat dalam proses politik dan tidak percaya pada institusi-institusi politik yang ada. Klaim bahwa Islam memiliki hubungan negatif dengan demokrasi dapat dilihat bagaimana Islam berhubungan dengan keempat jenis warganegara ini. Jika klaim Islam bertentangan dengan demokrasi benar, maka semakin Islami seorang Muslim, semakin kecil kemungkinan baginya untuk menjadi warganegara yang setia dibandingkan dengan warganegara yang teralienasi, naif dan apatis. 9. Intoleransi Islam dan partisipasi politik Bila Islam memiliki hubungan yang negatif dengan toleransi, dan toleransi memiliki hubungan yang negatif dengan partisipasi politik, maka seorang Muslim yang tidak toleran akan cenderung aktif dalam politik. Pola hubungan ini penting bagi stabilitas demokrasi, yang membutuhkan aktivis yang toleran dan bukan yang tidak tolaran. Ukuran Budaya Demokrasi, Partisipasi Politik dan Islam 1. Budaya Demokrasi Budaya demokrasi terdiri dari sejumlah unsur: saling percaya pada orang lain, jaringan keterlibatan warga, toleransi, keterlibatan politik, sikap percaya pada institusi politik, kepuasan dengan kinerja demokrasi, dukungan terhadap nilai-nilai demokrasi, dukungan terhadap negara-bangsa (masyarakat politik), warganegara yang setia pada sistem, dan aktivis yang toleran. Unsur-unsur budaya demokrasi ini akan diukur sebagai berikut. a. Saling percaya pada orang lain. Mengikuti World Value Survey (WVS), saling percaya pada orang lain diukur dengan item tunggal, yakni apakah seseorang mengatakan bahwa “manusia pada umumnya dapat dipercaya,” atau “tidak dapat, harus hati-hati dalam berhubungan dengan orang lain.” Sebagai tambahan, saya secara khusus akan mengukur kepercayaan kaum Muslim terhadap kaum non-Muslim dengan melihat sejauh mana ia percaya pada warganegara yang tidak beragama Islam. b. Jaringan keterlibatan warga yang sifatnya sekular (secular civic engagement). Jaringan secular civic engagement biasanya mencakup baik jaringan yang sifatnya informal maupun yang formal; hal itu mencakup tidak saja perkumpulan warga, tetapi juga keterlibatan-keterlibatan sosial yang informal seperti makan malam dengan teman-teman, berkumpul di kafe-kafe, dan seterusnya (cf. Putnam 2002, 10). Dalam studi ini, jaringan secular civic engagement dibatasi pada yang formal saja, misalnya dengan melihat apakah seorang warganegara aktif, tidak aktif, atau bukan anggota dari kelompok/organisasi/perhimpunan: arisan, majlis atau dewan desa/kelurahan, karang taruna, kelompok tani, kelompok nelayan, atau sarekat pekerja, perkumpulan olah raga, perkumpulan budaya, perhimpunan pencinta lingkungan, perhimpunan pencita binatang piaraan, pramuka, palang merah, perkumpulan profesional seperti perkumpulan guru (Persatuan Guru Republik Indonesia), perkumpulan dokter (Ikatan Dokter Indonesia), institusi swadaya masyarakat (LSM), dan lain-lain. Total dari skor aktivitas dalam perkumpulan-perkumpulan ini membentuk sebuah indeks yang disebut sebagai indeks jaringan secular civic engagement. c. Toleransi politik. Toleransi didefinisikan sebagai “kesediaan untuk menerima perbedaan” (Sullivan, Pierson, and Marcus 1982: 2). Ada dua macam strategi untuk mengukur toleransi politik. Communism, Conformity, and Civil Liberty-nya Stouffer (1955) menjadikan komunisme sebagai satu-satunya target toleransi politik untuk mengukur tingkat toleransi orang Amerika. Studi yang lebih belakangan mengenai toleransi politik tidak memfokuskan perhatian pada kelompok tertentu, melainkan pada kelompok apa saja di mana seorang responden memilih kelompok yang paling tidak disukainya (Sullivan, Pierson, and Marcus, 1979). Ini “strategi pengukuran berdasarkan kontrol terhadap isi toleransi,” dan bukan strategi dengan menjadikan kelompok tertentu sebagai sasaran toleransi. Pengukuran dengan strategi pertama terdiri dari empat item: tingkat penerimaan orang Islam terhadap orang Kristen untuk (1) mengadakan kebaktian di lingkungan mayoritas Muslim, (2) membangun gereja di lingkungan yang mayoritas Muslim, (3) menjadi guru di sekolah negeri, dan (4) menjadi presiden Republik Indonesia. Total skor dari empat item ini membentuk indeks toleransi Muslim terhadap Kristen, yang terdiri dari tiga skala (tidak toleran, betral, toleran). Strategi ini relevan terutama untuk menguji klaim bahwa Islam secara inheren tidak akan toleran terhadap Kristen. Strategi kedua dilakukan dengan memberikan pilihan bebas kepada para responden untuk menjawab mana di antara kelompok-kelompok masyarakat yang paling tak disukainya. Atau, jika di dalam daftar yang sudah disiapkan tidak ada kelompok yang paling tak disukai sang responden, mereka diminta untuk menyebut kelompok apa saja yang paling sedikit disukainya (Sullivan et. al. 1983, 60-1). Kelompok-kelompok yang paling tidak disukai dalam daftar pertanyaan adalah: Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Yahudi, Darul Islam, Front Pembela Islam, Laskar Jihad, Cina, dan Komunis. Toleransi mereka terhadap kelompok yang paling sedikit mereka sukai diukur dari sejauh mana mereka setuju jika kelompok-kelompok itu (1) dilarang pemerintah, (2) mengadakan pertemuan umum, (3) mengadakan demonstrasi, dan (4) diizinkan menjadi pejabat publik. Total skor dari empat item ini membentuk indeks toleransi politik umum yang memiliki lima skala, berkisar dari “sangat tidak toleran” (1) ke “sangat toleran” (5). d. Keterlibatan politik (political engagement). Konsep ini mencakup ketertarikan pada politik, informasi politik, diskusi politik, idetifikasi diri dengan partai politik tertentu (partisanship), dan perasaan bergairah dan optimis dalam mengahadapi proses politik atau efikasi politik (political efficacy) (Verba, Schlozman, and Brady, 1995; Burns, Schlozman, and Verba, 2001). Ketertarikan pada politik dalam studi ini ditelusuri lewat sebuah pertanyaan dalam empat skala mengenai sejauh mana seseorang tertarik dengan politik atau masalah-masalah pemerintahan. Informasi politik adalah indeks berskala empat yang dikonstruksi dari intensitas mengikuti berita-berita politik melalui televisi, radio, surat kabar, majalah, dan internet. Diskusi politik dalam studi ini adalah intensitas melakukan diskusi dengan orang lain mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan umum, masalah pemerintahan, atau masalah sosial-politik pada umumnya. Identifikasi diri dengan partai politik adalah intensitas kedekatan seseorang dengan partai politik tertentu. Efikasi politik adalah indeks yang disusun dari tiga item, yakni perasaan sejauh mana seseorang dapat mempengaruhi keputusan pemerintah, perasaan sejauh mana pemerintah memperhatikan apa yang dipikirkan masyarakat, dan perasaan sejauh mana keputusan pemerintah pusat mempengaruhi kehidupan masyarakat. e. Percaya pada institusi-institusi politik. Percaya pada institusi-institusi politik merupakan indeks yang disusun dari sejumlah item tentang intensitas kepercayaan seseorang pada institusi-institusi pemerintah (cf. Listhaug and Wiberg, 1995; Citrin and Muste 1999): Presiden, MPR, DPR, pengadilan, TNI, polisi, dan partai politik. f. Kepuasan terhadap kinerja demokrasi. Konsep ini diukur dengan tiga hal: sejauh mana masyarakat merasa puas dengan jalannya demokrasi di Indonesia, penilaian masyarakat terhadap arah pemerintahan demokratis, apakah pemerintah ini berada pada jalan yang benar atau tidak, dan penilaian masyarakat terhadap kehidupan sosial-politik dalam masa demokrasi yang terjadi sekarang ini dibandingkan dengan dalam rezim tidak demokratis Orde Baru sebelumnya. Skor total dari tiga item ini membentuk indeks kepuasan terhadap pelaksanaan demokrasi. g. Dukungan terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Dalam studi-studi tentang demokrasi, dukungan terhadap prinsip-prinsip demokrasi dipahami sebagai sikap positif baik terhadap satuan unsur-unsur dari nilai-nilai demokrasi dan prosedurnya maupun terhadap demokrasi secara umum. Pengukuran mencakup pertama-tama sikap-sikap positif yang populer terhadap ide bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang paling baik dibanding bentuk pemerintahan lainnya (Klingemann, 1999: 35-6). Hal ini, dalam World Value Survey, telah ditanyakan sebagai bagian dari bentuk pertanyaan (battery) yang terdiri dari empat unsur. Sementara itu, prinsip-prinsip demokrasi diukur secara lebih spesifik sebagai nilai-nilai kebebasan sipil (dukungan terhadap hak-hak minoritas, kesetaraan setiap warga di muka hukum, dan terhadap kesamaan hak-hak politik bagi setiap warga), dukungan terhadap pemilu yang kompetitif, dukungan terhadap kebebasan untuk berusaha, dan dukungan terhadap independensi media massa dari campur-tangan pemerintah (cf. Gibson, Duch, and Tedin 1992). Semuanya adalah duabelas item, dan jumlah skor dari item-item ini membentuk sebuah indeks dukungan atau orientasi terhadap demokrasi. h. Dukungan terhadap komunitas politik. Dukungan terhadap komunitas politik adalah sikap positif anggota masyarakat dari suatu negara-bangsa terhadap negara-bangsa di mana mereka hidup. Dalam World Value Survey, pengukuran atas dukungan terhadap komunitas politik ini mencakup kebanggaan nasional dan keinginan untuk berjuang membela tanah air (Klingemann 1999, 38). Di samping itu, dalam studi ini digunakan juga ukuran sejauh mana seseorang lebih mengutamakan negara-bangsa ketimbang entitas lainnya, yakni suku, daerah, atau agama. Jumlah skor dari tiga item ini membentuk indeks dukungan terhadap komunitas politik. i. Empat jenis warganegara: warganegara yang setia, yang teralienasi, yang naif, dan yang apatis. Keempat tipe warganegara ini dibuat lewat kombinasi antara keinginan untuk terlibat dalam proses politik (political engagement) dan tingkat kepercayaan terhadap institusi politik. j. Intoleransi Islamis. Konsep ini diukur dari kombinasi antara dukungan terhadap Islamisme dan sikap yang tidak toleran. Mengenai Islamisme, lihat penjelasan di bawah. 2. Partisipasi Politik Verba dan Nie (1972) mendefinisikan partisipasi politik sebagai “kegiatan yang dilakukan anggota masyarakat biasa secara sukarela untuk untuk mempengaruhi keputusan pemerintah” (cf. Kaase dan Marsh 1979, Verba, Schlozman, dan Brady, 1995; Brady, 1999; Conway, 2000). Semua definisi mengenai partisipasi politik mencakup empat konsep dasar: aktivitas atau aksi, anggota masyarakat biasa, sukarela, dan bersifat politik (Brady, 1999). “Aksi” atau “aktivitas” dalam partisipasi politik merupakan sesuatu yang dilakukan seseorang; ia bukanlah hanya pikiran, sikap, atau kecenderungan (Brady, 1999). Partisipasi politik tidak hanya aksi, namun aksi yang dilakukan oleh anggota masyarakat biasa, bukan elit pemerintah. Aksi yang dilakukan elit pemerintah bersifat politis, namun bukan partisipasi politik (Brady, 1999). Aksi juga bersifat politis, artinya aksi tersebut ditujukan untuk mempengaruhi keputusan politik, yakni keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan umum, bukan kepentingan perorangan atau satu kelompok tertentu dalam masyarakat (Brady, 1999). Selanjutnya, partisipasi politik merupakan tindakan yang dilakukan secara sukarela, artinya para pelakunya tidak dipaksa untuk melakukannya, dan tidak dibayar (Verba, Schlozman, dan Brady 1995, 38-9). Studi sebelumnya mengenai partisipasi politik, pada 1950-an dan 60-an (Lane, 1959; Milbrath, 1965; cf. Kaase dan Marsh, 1979), berupaya untuk membuktikan bahwa partisipasi politik memiliki satu dimensi. Studi-studi yang lebih belakangan (Verba and Nie, 1972; Milbrath and Goel, 1977) mengkritik pengukuran yang hanya berdimensi satu ini. Verba dan Nie (1972) berargumen bahwa partisipasi politik terdiri dari banyak dimensi. Kaase dan Marsh (1979) juga berpendapat bahwa partisipasi politik terdiri dari dua bentuk yang berbeda, konvensional dan non-konvensional. Yang konvensional mencakup segala aktivitas yang dilakukan anggota masyarakat biasa untuk mempengaruhi keputusan politik menurut prosedur yang telah ditentukan, seperti ikut serta dalam pemilihan umum, kampanye, dan sebagainya. Yang non-konvensional adalah segala aktivitas yang dilakukan anggota masayrakat biasa untuk mempengaruhi hasil putusan politik dengan tidak berdasar pada norma atau prosedur yang sudah diakui dalam sebuah pemerintahan (Ibid.: 41) seperti demonstrasi, mogok, boikot, dll. Tidak ada konsensus mengenai ukuran partisipasi politik dalam karya-karya akademik. Tetapi Verba, Schlozman, dan Brady (1995, 68-72) menyatakan bahwa partisipasi politik setidaknya harus mencakup empat dimensi: keikutsertaan dalam pemilihan umum (voting), kegiatan yang terkait dengan kampanye, kontak dengan pejabat publik, dan kegiatan sosial-kemasyarakatan. Dalam studi ini, juga ditambahkan satu dimensi lagi, yakni protes politik. Pengukuran tentang partisipasi politik dalam studi ini, dengan demikian, sangat mirip dengan yang ditawarkan Kaase dan Marsh (1979), dan Perry, Moyser, dan Day (1992). Pengukuran ini mencakup aktivitas politik yang konvensional dan non-konvensional, dari memberikan suara dalam pemilihan umum sampai merusak fasilitas umum. Semua ini dijelaskan dalam Bab 8. 3. Islam Para ilmuwan sosial melihat agama sebagai sebuah sistem nilai melalui satu atau dua strategi. Yang pertama memahaminya sebagai “fenomena mental,” sedang yang kedua memahaminya sebagai “fenomena sosial” (Wald dan Smidt 1993, 32). Yang pertama berhubungan dengan masalah keyakinan (believing), dan yang kedua dengan masalah anutan atau kepemelukan (belonging). Sebagai fenomena mental, “agama berisikan keyakinan-keyakinan dasar, ide-ide, norma, dan simbol yang berhubungan dengan tradisi agama, termasuk apa yang disebut dengan teologi atau sistem keyakinan” (Wald 1992, 27). Strategi riset yang pertama ini menekankan pada pentingnya ajaran dan nilai agama, dan pengaruhnya dalam perilaku sosial dan politik. Dalam strategi riset yang kedua, agama sebagai sebuah fenomena sosial, agama dipahami sebagai sebuah kelompok sosial “yang anggota-anggotanya dapat menunjukkan identitas yang sama, model yang teratur dari interaksi sosial, atau harapan yang serupa” (Wald dan Smidt 1993, 33). Masalah identifikasi diri dengan agama tertentu dan perilaku tertentu yang merefleksikan norma kelompok merupakan hal penting dalam strategi yang kedua ini. Interaksi antara keduanya juga dimungkinkan. Keyakinan dapat melahirkan sikap dan perilaku tertentu. Melalui proses pelembagaan, sikap dan perilaku dilakukan secara kolektif, dan individu-individu dalam suatu kelompok merasa bahwa mereka merupakan bagian dari kolektivitas keagamaan. Perasaan berada dalam suatu kolektivitas yang sama ini pada gilirannya dapat mempengaruhi bagaimana keyakinan mereka terhadap agama (iman), dan demikian seterusnya. Untuk lebih sistematis, para ilmuwan sosial biasanya mendefinisikan agama paling tidak ke dalam dua unsur: sekumpulan ide dan kewajiban ibadah, dan sebuah kolektivitas sosial dengan bentuk interaksi yang rutin, atau organisasi dengan aturan, norma, dan infrastruktur tertentu (Wald, Kellstedt, dan Leege, 1993, 123). Dalam The Religious Factor, Gerhard Lenski menunjukkan sifat multidimensional dari satu agama – orientasi, komunalisme, dan asosiasionalisme – yang sejajar dengan dimensi teologis, sosial, dan organisasional. Orientasi mencakup penerimaan doktrin agama dan intensitas hubungan individual dengan yang mahakuasa. Komunalisme merujuk pada komunalitas keagamaan di kalangan keluarga dan kerabat. Asosiasionalisme berhubungan dengan keanggotaan seseorang dalam organisasi keagamaan. Dimensi-dimensi ini dipercaya memiliki pengaruh yang berbeda terhadap variabel politik seperti keikutsertaan dalam pemilu, nilai-nilai demokrasi, pilihan partai politik, dan seterusnya. Dalam ukuran yang lebih luas, dimensi-dimensi agama di atas membentuk Islam. Untuk lebih jelasnya, sebagai sebuah agama, Islam terdiri dari keyakinan dan identitas kelompok atau rasa memiliki (belonging), dan dua hal ini dalam praktiknya saling berinteraksi. Seperti umum pahami, Islam tidak dapat dibayangkan tanpa iman. Pada tingkat yang paling dasar, orang Islam pada umumnya memahami Islam sebagai sebuah kesatuan antara keyakinan dan praktik keagamaan menurut norma-norma tertentu yang diterima secara kolektif sehingga ia berkembang menjadi sebuah entitas sosial. Pada tingkat iman, seorang Muslim beriman bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah. Percaya bahwa Muhammad adalah utusan Allah berarti bahwa Tuhan mewahyukan al-Qur’an. Isi al-Qur’an secara bervariasi dipercaya sebagai ajaran, nilai, norma, atau hukum Tuhan. Dalam ortodoksi Islam, dikenal apa yang disebut dengan rukun Islam yang lima. Di samping iman, seorang Muslim wajib melaksanakan salat lima waktu (al-shalâh), mengeluarkan zakat (al-zakâh), berpuasa di bulan Ramadhan (al-shawm), dan pergi haji (al-hajj) ke Mekkah bila mampu. Rukun Islam ini pada dasarnya merefleksikan kesatuan antara iman atau keyakinan dan identitas kolektif keagamaan, iman dan amal, iman dan ibadah, iman dan ritual, dan sering pula dikatakan iman dan Islam, meskipun keduanya secara konseptual dapat dibedakan. Dalam studi ini, Islam pertama-tama diukur dari intensitas keimanan (syahâdah) dan pelaksanaan ibadah wajib. Iman adalah syahâdah bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Ibadah wajib terbatas pada pelaksanaan salat lima waktu dan puasa Ramadhan. Total skor dari intensitas ibadah ini membentuk indeks ibadah atau ritual wajib Islam, yang berkisar dari tidak pernah (1) ke sangat sering (4). Zakat dan menunaikan ibadah haji tidak disertakan dalam pengukuran ini, karena kedua parameter ini mengandung bias sosial-ekonomi sehingga mereduksi keberagamaan seorang Muslim ke dalam kategori tersebut. Selain sebagai ibadah wajib, Islam dapat didefinisikan sebagai seperangkat ibadah sunnah. Ibadah yang tidak wajib ini sifatnya sangat bervariasi. Memperbesar variasi dalam mengukur Islam sangat penting bagi kepentingan analisis. Dalam studi ini, ibadah sunnah adalah intensitas membaca doa sebelum bekerja, membaca al-Qur’an atau mengaji, salat berjamaah, menghadiri pengajian atau majlis taklim, memberi sedekah, melaksanakan puasa sunnah, dan melaksanakan salat sunnah. Masing-masing item ini adalah sebuah skala empat point, dari tidak pernah (1) ke sanat sering (4). Ketujuh item ini ditambahkan untuk membentuk indeks ibadah sunnah yang terdiri dari empat skala, mulai dari tidak pernah (1) ke sangat sering (4). Ibadah wajib dan ibadah sunnah tersebut diakui oleh semua yang beragama Islam. Namun masyarakat Islam tertentu memiliki ibadah tambahan yang unik yang menentukan kesalehan orang tersebut. Dalam konteks orang Islam Indonesia, ada kelompok tertentu yang menganjurkan seperangkat ibadah tertentu. Misalnya dalam kelompok Nahdlatul Ulama (NU). Dalam kelompok ini biasa dilakukan ibadah-ibadah atau ritual seperti haulan (perayaan tahunan) atas kematian seseorang, tujuh harian untuk kematian seseorang, tahlilan, mohon berkah dari kiai, dan ziarah kubur. Total skor intensitas melakukan ritual ini membentuk indeks ibadah kaum NU, yang berkisar dari tidak pernah (1) ke sangat sering (4). Sebagai fenomena sosial, Islam dilembagakan dalam berbagai macam organisasi sosial-keagamaan. Keterlibatan dalam organisasi Islam menentukan secara sosial tingkat keberagamaan seseorang. Mereka terlibat dalam kehidupan sosial Islam (civic engagement Islam). Keterlibatan ini juga menentukan identitas sosial keislaman seseorang. Keterlibatan dalam kehidupan sosial Islam ini diukur melalui intensitas (anggota aktif, anggota tidak aktif, dan bukan anggota) dan jumlah keanggotaan dalam berbagai organisasi Islam baik nasional dan/atau pun lokal. Total skor dari dua item ini membentuk indeks keterlibatan dalam kehidupan sosial Islami (Islamic civic engagement). Di kalangan masyarakat Islam, ada sejumlah organisasi Islam berskala nasional. Organisasi-organisasi ini dapat menentukan identitas sosial keislaman seseorang, yang pada gilirannya mungkin mempengaruhi keterlibatan seseorang dalam kelompok yang bersifat sekular, politik dan demokrasi pada umumnya. Dalam studi ini, identitas sosial keislaman seseorang adalah tingkat kedekatan seorang Muslim terhadap organisasi Islam tertentu. Dalam konteks masyarakat Indonesia, NU dan Muhammadiyah dikenal sebagai dua organisasi Islam yang paling besar. Perasaan dekat dengan dua organisasi ini menentukan identitas ke-NU-an atau ke-Muhammadiyah-an seseorang. Dalam sejarah, NU dan Muhammadiyah pada mulanya mendukung ide tentang kesatuan agama dan negara. Sekarang, NU dikenal sebagai pendukung utama diferensiasi dua kategori tersebut, yang atas dasar itu demokrasi dimungkinkan. Sementara itu, Muhammadiyah seringkali disebut sebagai kelompok modernis Muslim yang tidak jarang diasosiasikan dengan Islamisme atau fundamentalisme (akan didiskusikan di bawah). Apakah betul demikian, akan didiskusikan kemudian. Sebagai organisasi yang memiliki anggota yang besar dan berpengaruh, NU dan Muhammadiyah dapat membentuk cara bagaimana orang Islam Indonesia mendukung Islamisme atau demokrasi. Identitas NU diukur melalui tingkat kedekatan seorang Muslim dengan organisasi tersebut. Identitas Muhammadiyah juga diukur dengan cara yang sama. Klaim bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi terletak pada pemahaman tertentu mengenai Islam. Misalnya, Islam dipahami sebagai sistem kehidupan yang total di mana di dalamnya politik menjadi bagian dari agama. Islam dipahami sebagai kumpulan hukum yang mengatur kehidupan sosial dan politik masyarakat Muslim. Pemahaman mengenai Islam seperti ini sering disebut Islamisme (Roy 1993; Ruedy 1994; Guazzone 1995; Kramer 1997; Monshipouri 1998). Mengukur Islamisme tidak mudah. Tessler (2002) menyebutkan bahwa orientasi politik Islam dapat diukur dari empat unsur – dukungan terhadap ide bahwa Islam dan politik tidak dipisahkan, dukungan terhadap gerakan organisasi Islam, dukungan terhadap kepemimpinan politik para ulama, dan dukungan terhadap pelaksanaan Islam dalam kehidupan sosial politik oleh pemerintah. Dalam studi ini, saya memecah cara pengukuran ini ke dalam empatbelas unsur. Dalam studi demokrasi, salah satu hal yang digunakan untuk mengukur dukungan umum terhadap demokrasi adalah dukungan terhadap ide bahwa demokrasi, dibanding dengan bentuk pemerintahan yang lain, adalah yang terbaik. Saya mengganti demokrasi dalam bagian ini dengan syariat untuk mengukur dukungan terhadap pemerintahan Islam. Islamisme bersifat teokratik dalam pengertian bahwa di sini kedaulatan dianggap milik Tuhan, bukan milik manusia. Tingkat dukungan masyarakat Muslim terhadap ide ini merupakan unsur kedua dari dukungan terhadap Islamisme. Dalam pemerintahan Islam, pemerintah harus melaksanakan hukum Islam (syarî’ah) dalam kehidupan sosial dan politik, dan tingkat dukungan masyarakat Muslim terhadap ide ini merupakan ukuran ketiga dari dukungan terhadap Islamisme. Dalam demokrasi, gerakan-gerakan Islam dan partai politik Islam punya hak untuk ikut serta dalam pemilu. Sebagaimana akan didiskusikan dalam Bab 2, Islamisme menuntut partai dan kandidat berpartisipasi dalam pemilu untuk memperjuangkan pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan sosial dan politik. Dukungan terhadap pemikiran bahwa pemilu harus dibatasi hanya untuk partai yang memperjuangkan pelaksanaan syariat Islam juga digunakan di sini untuk mengukur dukungan terhadap Islamisme. Unsur lainnya adalah pembatasan dalam pemilu yang hanya dilakukan untuk memilih kandidat yang memperjuangkan syariah Islam. Syariah adalah konsep yang maknanya diperebutkan dalam masyarakat Muslim. Seperti akan didiskusikan di bab berikut, para Islamis percaya bahwa syariah merupakan hukum Tuhan, dan memiliki kekuatan legislatif. Dukungan terhadap Islamisme dapat ditafsirkan sebagai dukungan terhadap syariat sebagai hukum-hukum Tuhan yang bersifat legislatif tersebut. Di kalangan masyarakat Islam, terdapat sejumlah hukum Islam seperti hukum potong tangan bagi pencuri dan hukum waris – anak laki-laki memiliki hak dua kali lipat dibanding anak perempuan. Dukungan terhadap dua hukum Islam ini menunjukkan dukungan terhadap Islamisme. Dalam Islamisme, laki-laki dan perempuan diperlakukan secara tidak sama. Dalam studi ini, konsep mengenai hak yang tidak sama diukur melalui empat hal: dukungan terhadap ide bahwa laki-laki lebih unggul dibanding perempuan, dukungan bahwa perempuan tidak dapat melakukan perjalanan sendiri kecuali disertai muhrimnya, dukungan terhadap ide bahwa prioritas pendidikan harus diberikan kepada anak laki-laki, dan dukungan terhadap ide bahwa seorang perempuan tidak dapat menjadi hakim di pengadilan. Total skor empatbelas item tersebut dijumlahkan untuk membentuk indeks dukungan terhadap Islamisme. Argumen intelektual dan teologis yang mendasari butir-butir ini akan dibahas dalam bab selanjutnya. Tetapi, untuk lebih jelasnya, saya akan memberi catatan bahwa ungkapan “lebih Islami” dalam hipotesis-hipotesis di atas merujuk pada intensitas rasa keislaman dalam aspek percaya pada Tuhan, dalam berbagai macam ibadah, dalam keterlibatan dalam kehidupan sosial Islami, dalam identitas sosial Islam, dan dalam dukungan terhadap Islamisme. Agar lebih realistis dalam menilai hubungan antara variabel Islam dan unsur budaya demokrasi dan partisipasi politik, saya juga akan memasukkan variabel non-agama yang secara teoretis relevan dalam studi ini, yakni faktor-faktor demografi (jender, umur, suku-bangsa, dan kedaerahan) dan sosial-ekonomi (pedesaan versus perkotaan, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan). Di samping itu, faktor ekonomi-politik juga disertakan dalam analisis nanti. Faktor ini mencakup penilaian egotropik-sosiotropik dan retrospektif-prospectif mengenai kondisi ekonomi. Signifikansi teoretis dari faktor-faktor non-agama ini akan didiskusikan di masing-masing bab terkait. Metode dan Data Data survei digunakan untuk menguji hipotesis-hipotesis yang telah dikemukakan di atas. Kasus-kasus yang ideal untuk menguji hipotesis-hipotesis tersebut adalah negara-negara Arab, khususnya Arab Saudi karena ia dianggap sebagai pusat Islam. Namun saya tidak mengenal dengan baik kasus ini, khususnya dalam hal bagaimana survei opini publik dapat dilakukan di sana. Kasus yang saya kenal dengan baik adalah Islam Indonesia, karena saya relatif telah banyak menekuninya. Selain itu, langkanya demokrasi di negara-negara Muslim merupakan hambatan untuk membuktikan klaim bahwa Islam menghambat atau sebaliknya mendorong sikap dan perilaku politik demokratis. Sulit memahami data tentang partisipasi politik di dalam konteks pemerintahan yang tidak demokratis. Tetapi Indonesia pasca-Soeharto yang relatif demokratis memberi kesempatan bagi kita untuk mengamati hubungan antara Islam dan demokrasi, dan karenanya dapat menjadi laboratorium bagi penelitian megenai masalah ini. Dalam demokrasi Indonesia yang masih baru ini, demokrasi boleh jadi belum terlembagakan dengan baik. Proses pembelajaran dari praktik demokrasi yang dapat membentuk budaya politik massa baru saja dimulai. Karena itu faktor independen utama (Islam) bersifat cukup independen dari pengaruh demokrasi (variabel dependen). Islam jauh lebih dulu hadir di Indonesia ketimbang demokrasi. Maka lebih masuk akal kalau yang pertama menentukan yang kedua, bukan sebaliknya. Saya bekerja di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya diminta untuk menangani dua survei besar mengenai Islam dan demokrasi dan telah memperoleh izin untuk menggunakan data ini untuk keperluan penulisan buku ini. Kami melakukan survei pada 2001 dan 2002. Survei 2001 meliputi 87% dari populasi nasional, sementara survei 2002 meliputi seluruh populasi nasional minus Maluku (1% dari populasi nasional). Data yang dianalisis dalam studi ini terbatas pada sampel Muslim (90%). Untuk diskusi lebih lanjut mengenai kedua survei ini, lihat Apendiks A. Di samping itu, Indonesia, negara Muslim terbesar di dunia, merupakan kasus yang menarik karena ia memiliki beberapa karakteristik yang signifikan untuk menguji hipotesis-hipotesis dalam studi ini. Kaum Muslim Indonesia dipercaya memiliki variasi internal dibanding kaum Muslim di Timur Tengah. Di samping ada kecenderungan ortodoks (santri), sejumlah besar kaum Muslim Indonesia cenderung heterodoks (abangan) (Geertz, 1960). Di antara yang ortodoks, kaum Muslim Indonesia terbagi ke dalam golongan tradisionalis dan modernis. Golongan yang pertama adalah NU dan yang kedua adalah Muhammadiyah, seperti dijelaskan di atas. Dalam Islam Observed, Geertz (1968) membandingkan dua masyarakat Muslim, Maroko dan Indonesia. Ia menemukan bahwa Islam di Maroko lebih cenderung fundamentalis, sementara di Indonesia Islam lebih inklusif dan pluralistik. Ia percaya bahwa kecenderungan Islam Indonesia ini berhubungan dengan arus heterodoksi yang kuat, bukannya ortodoksi, yang ada dalam masyarakat. Islam Indonesia tampaknya memiliki banyak variasi, dan variasi ini merupakan hal penting untuk kepentingan analisis seperti diharapkan dalam studi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Muhammad Edwan Ansari