INGKAR As - SUNNAH
(Kajian Sebab dan Implikasinya Terhadap Umat Islam)
A. Pendahuluan
Sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah kitab suci al-Qur'an, Hadits Nabi saw telah disepakati oleh mayoritas ulama dan Umat Islam. (Irsyadunnas, 2003: 87) Berbeda dengan al-Qur'an yang semua ayat-ayat-nya disampaikan oleh Nabi saw secara mutawatir dan telah ditulis serta dikumpulkan sejak Nabi saw masih hidup, serta dibukukan secara resmi sejak zaman khalifah Abu Baqar Shiddiq (w.13 H). Sementara Hadits Nabi saw tidaklah diriwayatkan secara mutawtir, dan peng-kodifikasian-nya pun baru dilakukan pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (w.101 H), salah seorang khalifah bani Umayyah. (Ilyas, 1999: viii)
Hal yang disebut terakhir (penangguhan kodifikasi), didukung oleh beberapa faktor lainnya, oleh sekelompok kecil Umat Islam dijadikan sebagai alasan untuk menolak otoritas Hadits Nabi saw sebagai hujjah atau sumber ajaran Islam yang wajib ditaati dan diamalkan. (Ismail, 1995: 4) Kelompok ini dalam wacana ilmu Hadits, dikenal dengan sebutan kelompok Ingkar Sunnah. (Irsyadunnas, 2003: 88)
Sementara itu, as-Sunnah sebagai wahyu pendamping al-Qur'an, tidak bisa dikesampingkan kedudukan dan fungsinya sebagai sumber hukum Islam orisinil. Prinsip demikian merupakan fakta yang tidak bisa diganggu gugat sepanjang sejarah Islam, dimana as-Sunnah selain berpungsi untuk menjelaskan, menafsirkan dan merinci muatan-muatan universalitas al-Qur'an, ia juga menjadi teladan paripurna (uswatun hasanah) dalam praktek ajaran Islam sehari-hari.
Mengesampingkan, apalagi menafikan kedudukan Sunnah sebagai wahyu, berarti memenggal pilar utama yang menyangga tegaknya ajaran Islam itu sendiri dan sekaligus menolak fungsi ke-Nabi-an Muhammad saw. (As-Suyuthy, 1997: v)
Mengapa peng-ingkar-an terhadap Sunnah itu bisa terjadi?, dan bagaimana implikasinya terhadap Umat Islam sekarang? Jawaban dari pertanyaan inilah yang akan di jawab dari makalah yang sederhana dan singkat ini.
B. Sunnah dalam al-Qur'an
Seperti yang kita ketahui bahwa Sunnah merupakan sesuatu hal yang datang dari Nabi saw, baik itu perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya akan sesuatu hal; adalah merupakan sumber kedua ajaran Islam setelah al-Qur'an (QS, An-Nazm, 3-4). Karena itu, Sunnah terhadap al-Qur'an mempunyai kedudukan sebagai: penjelas, penguat, dan penetap ketentuan hukum yang ada dalam al-Qur'an. (Soebahar, 2004)
Tentang ini, lebih lanjut, Zuhri mengemukakan: "tampaknya memang diakui bahwa untuk memahami dan mengamalkan kandungan al-Qur'an diperlukan informasi historik tentang kronologi turunnya dan informasi tentang penjelasan Sunnah Rasul yang berkaitan dengan ayat dimaksud. Karena Rasul yang membawa al-Qur'an, maka ia jualah yang paling berhak mengulas dan memberi penjelasan. Dengan demikaian Sunnah Rasul berfungsi menjelaskan kandungan al-Qur'an. Karenanya, Sunnah Rasul tidak mungkin bertentangan dengan al-Qur'an. (Zuhri, 1997: 22)
Yang berhubungan dengan hal ini, ada beberapa ayat al-Qur'an yang menguatkan kedudukan Sunnah Rasul di sisi al-Qur'an. Misalnya dalam surah al-Anfal, ayat 20, yang artinya "wahai orang-orang mukmin, taatlah kepada Allah dan Rasulnya", juga dalam surah an-Nisa', ayat 8, Allah SWT ber-firman "Barangsiapa taat kepada Rasul, sungguh telah taat kepada Allah SWT", dan dalam surah al-Hasyr, ayat 7, Allah SWT juga ber-firman "apa yang dibawa oleh Rasul kepadamu amalkan dan ambillah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah". (Zuhri, 23)
Sayyid Rasyid Ridha berpendapat, yang dinukil oleh Muhammad Zuhri, bahwa Hadits menjelaskan kandungan al-Qur'an dengan perkataan dan perbuatan. Penjelasan itu berupa tafshil, takhshish, dan taqyid, tetapi tidak pernah membatalkan informasi dan hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur'an. Dengan demikian kedudukan Sunnah terhadap al-Qur'an adalah sebagai berikut: Pertama, pemberi bayan (penjelasan/rincian) kandungan yang mujmal. (QS surah an-Nahl: 44.) Kedua, takhshis (pengecualian) terhadap 'aam dalam al-Qur'an. Ketiga, taqyid (pembatalan) terhadap kemutlakan al-Qur'an. Keempat, apa yang terkandung dalam Sunnah menguatkan kandungan al-Qur'an. Kelima, di dalam Sunnah terdapat ketentuan agama yang tidak diatur dalam al-Qur'an (ketentuan hukum baru selain al-Qur'an). (Zuhri, 23-25)
C. Kelompok Ingkar Sunnah
a. Dahulu (abad Klasik)
Dalam berbagai penuturan sejarah disebutkan bahwa sebelum terjadi perang saudara antara Shahabat Nabi saw, Umat Islam benar-benar utuh, satu dengan yang lain saling mempercayai. Tetapi setelah terjadi perang saudara, mulai dari terbunuhnya Usman ra, hingga puncaknya pada masa terbunuhnya Ali ra. Kaum Muslimin terpecah-pecah karena adanya kepentingan politik; kaum khawarij yang sebenarya anti perpecahan justru tampil dengan amat kasarnya, mengadakan pembunuhan kepada semua pihak yag terlibat dalam perang saudara.
Kalau sebelumya mereka percaya kepada Shahabat-Shahabat Nabi saw, tetapi setelah terjadi perang saudara, mereka hanya mempercayai Shahabat yang yang tidak terlibat dalam konflik perebutan kekuasaan tersebut. Artinya mereka tidak lagi mempercayai Hadits-Hadits yang diriwayatkan oleh Shahabat-Shahabat Nabi yang terlibat dalam pertikaian politik, seperti usman, Ali, dan mereka yang terlibat dalam perang onta dan tahkim ( as-Siba'I dalam Zuhri: 15)
Tentang khawarij yang oleh sebagian ulama ahli Hadits disebut-sebut sebagai salah satu golongan yang Ingkar Sunnah, dikarenakan tragedi perebutan kekuasaan antara Shahabat di atas, Mustafa Azami membantah pendapat ini (yang juga termasuk pendapatnya Prof. al-Siba'i) dengan argumentasi: bahwa seluruh kitab-kitab tulisan orang-orang khawarij sudah punah seiring dengan punahnya golongan ini, kecuali kelompok Ibadhiyah yang masih termasuk golongn khawarij. Dari sumber (kitab-kitab) yang di tulis oleh golongan ini ditemukan Hadits nabi saw yang diriwayatkan oleh atau berasal dari Ali, Usman, Aisyah, Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan lainnya. Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa seluruh golongan khawarij menolak Hadits yang diriwayatkan oleh Shahabat Nabi saw, baik sebelum maupun sesudah peristiwa tahkim adalah tidak benar, tutur Azami (lihat Azami, 2000: 42-43)
Seperti halnya golongan khawarij, golongan mu'tajilah juga tidak semuaya menolak Hadits Nabi saw. Memang mereka mungkin mengkritik sejumlah Hadits yang berlawanan dengan teori madzhab mereka. Namun demikian, hal itu tidak berarti mereka menolak Hadits secara keseluruhan (Azami, 43-45).
Masih menurut temuan Mustafa Azami, bahwa golongan syi'ah yang terbagi kepada beberapa kelompok, yang masing-masingnya saling mengkafirkan juga menerima dan memakai Hadits Nabi saw. Dari sekian banyak kelompok dalam golongan ini, hanya golongan syi'ah Itsna'ayariyah yang tetap eksis sampai sekarang.
Yang membedakan golongan syi'ah ini dengan golongan yang lain dalam hal cara penerimaan dan penetapan Hadits Nabi saw adalah: kelompok ini menganggap mayoritas Shahabat setelah wafatnya Nabi saw telah menjadi murtad, kecuali sekitar tiga sampai sebelas orang saja. Karena itu, mereka tidak menerima Hadits yang diriwayatkan oleh para Shahabat tadi; mereka hanya menerima Hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Ahlul Bait (keluarga Nabi) saja. (Azami, 45-4)
Imam Syafi'I dalam kitabnya al-Umm, menyatakan bahwa kelompok yang menolak Sunnah sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur'an telah muncul di penghujung abad kedua atau abad ketiga hijriah; kelompok ini juga telah melengkapi sejumlah argumentasi untuk menopang pendirian mereka sesuai dengan sikap mereka terhadap Sunnah, Imam Syafi'I menyebut mereka dengan istilah "al-taifah allati raddat al khabar kullahu" (kelompok yang menolak Hadits secara keseluruhan, yang dalam hal ini dapat diidentikkan dengan kolompok Ingkar Sunnah. (Irsyadunnas, 87)
Terhadap penolakan mereka kepada Hadits, Abu Zahwu membedakan mereka kepada tiga kelompok, yaitu: Pertama, kelompok yang menolak Hadits Nabi sebagai hujjah secara keseluruhan (Muthlaqah). Kedua, kelompok yang menolak Hadits Nabi saw, yang kandungannya baik secara implisit maupun eksplisit tidak disebutkan dalam al-Qur'an. Ketiga, kelompok yang menolak Hadits Nabi saw yang berstatus ahad, dan hanya menerima Hadits dengan status mutawatir. (Abu Zahwu, 1378: 21-24)
Kelompok-kelompok ini juga mengedepankan argumentasi-argumentasi atas sikap mereka terhadap Sunnah, yaitu diantaranya: kelompok pertama, bahwa al-Qur'an diturunkan oleh Allah SWT dalam bahasa Arab, dengan penguasaan bahasa Arab yang baik, al-Qur'an dapat dipahami tanpa memerlukan bantuan penjelasan dari Sunnah-Sunnah Nabi saw. Al-Qur'an sebagaimana disebutkan Allah SWT sebagai penjelas (QS. An-Nahl: 89), hal ini mengandung arti bahwa penjelasan al-Qur'an telah mencakup segala sesuatu yang diperlukan oleh Umat manusia. Dengan demikian, tidak diperlukan lagi penjelasan lain selain al-Qur'an.
Kedua, kelompok ini berargumentasi bahwa al-Qur'an telah menjelaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan ajaran Islam. Karena itu lanjut mereka, Hadits Nabi saw tidak memiliki otoritas yang menentukan hukum di luar ketentuan yang te-rmaktub dalam al-Qur'an. (Ensiklopedi Islam, 1994: 225)
Kelompok ketiga, berargumentasi bahwa Hadits ahad sekalipun memenuhi persyaratan sebagai Hadits Nabi saw adalah bernilai zhanni al wurud (proses penukilannya tidak meyakinkan). Dengan demikian, kebenarannya sebagai yang datang dari Nabi saw tidak dapat diyakini sebagaimana Hadits mutawatir, dan bahwa urusan agama hanya didasarkan pada dalil qat'iy yang diterima dan diyakini kebenarannya oleh seluruh Umat Islam.
b. Kini (Abad Modern)
Seluruh argumentasi-argumentasi yang dilontarkan oleh mereka yang enggan dengan kehujjahan Hadits Nabi saw atas, dibantah oleh Ibn hajm, al-Baihaqi, dan Imam Syafi'i, dan ternyata bantahan itu cukup ampuh untuk membuat kelompok Ingkar Sunnah abad klasik di atas menyadari kekeliruan mereka, hingga akhirnya mereka kembali mengakui kehujjahan Hadits Nabi saw.
Jika kolompok Ingkar Sunnah abad klasik hanya terdapat di Irak, khusunya di Basrah, maka kelompok Ingkar Sunnah abad modern tersebar di beberapa wilayah Islam. Hal yang disebutkan terakhir, kemungkinan besar disebabkan oleh imperialisme dan kolonialisme barat ke wilayah Islam (Jawah, 1992: 62)
kemudian jika kelompok Ingkar Sunnah abad klasik sulit untuk diidentifikasi, maka kelompok Ingkar Sunnah abad modern terutama tokoh-tokohnya dapat diketahui dengan jelas dan pasti, seperti yang ditampilkan oleh Irsyadunnas dalam tulisannya: Ingkar Al-Sunnah; sejarah kemunculan dan perkembangannya, yaitu:
1. Taufiq Shidqi ( w. 1920 m)
Tokoh ini berasal dari Mesir, dia menolak Hadits Nabi saw, dan menyatakan bahwa al-Qur'an adalah satu-satunya sumber ajaran Islam. Menurutnya "al-Islam huwa al-Qur'an" (Islam itu adalah al-Qur'an itu sendiri). Dia juga menyatakan bahwa tidak ada satu pun Hadits Nabi saw yang dicatat pada masa beliau masih hidup, dan baru di catat jauh hari setelah Nabi wafat. Karena itu menurutnya, memberikan peluang yang lebar kepada manusia untuk merusak dan mengada-ngadakan Hadits sebagaimana yang sempat terjadi (Irsyadunnas, 94). Namun ketika memasuki dunia senja, tokoh ini meninggalkan pandangannya dan kembali menerima otoritas kehujjahan Hadits Nabi saw. (Azami, 47)
2. Rasyad Khalifa
Dia adalah seorang tokoh Ingkar Sunnah yang berasal dari Mesir kemudian menetap di Amerika. Dia hanya mengakui al-Qur'an sebagai satu-satunya sumber ajaran Islam yang berakibat pada penolakannya terhadap Hadits Nabi saw. (Ensiklopedi Islam, 25)
3. Ghulam Ahmad Parwes
Tokoh ini berasal dari India, dan juga pengikut setia Taupiq Shidqi. Pendapatnya yang terkenal adalah: bahwa bagaimana pelaksanaan shalat terserah kepada para pemimpin Umat untuk menentukannya secara musyawarah, sesuai dengan tuntunan dan situasi masyarakat. Jadi menurut kelompok ini tidak perlu ada Hadits Nabi saw. Anjuran taat kepada Rasul mereka pahami sebagai taat kepada sistem/ide yang telah dipraktekkan oleh Nabi saw, bukan kepada Sunnah secara harfiah. Sebab kata mereka, Sunnah itu tidak kekal, yang kekal itu sistem yang terkandung di dalam ajaran Islam. (Azami, 55-56)
4. Kasim Ahmad
Tokoh ini berasal dari Malaysia, dan seorang pengagum Rasyad Khalifa, karena itu pandangan-pandangnnya pun tentang Hadits Nabi saw sejalan dengan tokoh yang dia kagumi. Lewat bukunya, "Hadits Sebagai Suatu Penilaian Semua", Kasim Ahmad menyeru Umat Islam agar meninggalkan Hadits Nabi saw, karena menurut penilaianya Hadits Nabi saw tersebut adalah ajaran-ajaran palsu yang dikaitkan dengan Hadits Nabi saw. Lebih lanjut dia mengatakan "bahwa Hadits Nabi saw merupakan sumber utama penyebab terjadinya perpecahan Umat Islam; kitab-kitab Hadits yag terkenal seperti kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim adalah kitab-kitab yang menghimpun Hadits-Hadits yang berkualitas dhaif dan maudhu', dan juga Hadits yang termuat dalam kitab-kitab tersebut banyak bertentangan dengan al-Qur'an dan logika. (Ismail, 1995: 20)
5. Tokoh-tokoh Ingkar Sunnah asal Indonesia
Tokoh Ingkar Sunnah yang berasal dari Indonesia adalah Abdul Rahman, Moh. Irham, Sutarto, dan Lukman Saad. Sekitar tahun 1983 an tokoh ini sempat meresahkan masyarakat dan menimbulkan banyak reaksi dikarenakan pandangan-pandangan mereka terhadap al-Hadits. Untuk menanggulangi keresahan, maka keluarlah "Surat Keputusan Jaksa Agung No. kep. 169/J. A/1983 tertanggal 30 September 1983" yang berisi larangan terhadap aliran Ingkar Sunnah di seluruh wilayah Republik Indonesia. (Ensiklopedi Islam, 225)
D. Tentang Sebab Peng-ingkaran Terhadap Sunnah Nabi saw
Melihat dari beberapa permasalahan di atas yang berhubungan dengan adanya pengingkaran Sunnah dikalangan Umat Islam, dapatlah kiranya dilihat sebab adanya pengingkaran tersebut, diantaranya:
a) Pemahaman yang tidak terlalu mendalam tentang Hadits Nabi saw. (Zuhri, 18). Dan kedangkalan mereka dalam memahami Islam, juga ajarannya secara keseluruhan, demikian menurut Imam Syafi'i. (Irsyadunnas, 98)
b) Kepemilikan pengetahuan yang kurang tentang bahasa Arab, sejarah Islam, sejarah periwayatan, pembinaan Hadits, metodologi penelitian Hadits, dan sebagainya. (Ismail, 28)
c) Keraguan yang berhubungan dengan metodologi kodifikasi Hadits, seperti keraguan akan adanya perawi yang melakukan kesalahan atau muncul dari kalangan mereka para pemalsu dan pembohong. (Al-Siba'I, 1991: 116)
d) Keyakinan dan kepercayaan mereka yang mendalam kepada al-Qur'an sebagai kitab yang memuat segala perkara. (Al-Shiba'I, 119)
e) Keinginan untuk memahami Islam secara langsung dari al-Qur'an berdasarkan kemampuan rasio semata dan merasa enggan melibatkan diri pada pengkajian Hadits, metodologi penelitian Hadits yang memiliki karakteristik tersendiri. Sikap yang demikian ini, disebabkan oleh keinginan untuk berfikir bebas tanpa terikat oleh norma-norma tertentu, khususnya yang berkaiatan dengan Hadits Nabi saw. (Ismail dalam Irsyadunnas, 28-32)
f) Adanya statement al-Qur'an yang menyatakan bahwa al-Qur'an telah menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan ajaran Islam (QS. Al-Nahl: 89), juga terdapatnya tenggang waktu yang relatif lama antara masa kodifikasi hadits dengan masa hidupnya Nabi saw (wafatnya beliau)
E. Implikasinya bagi Umat Islam
Seperti yang kita ketahui bahwa Sunnah merupakan perundang-undangan yang ke dua setelah al-Qur'an. Bahwa al-Qur'an itu mencakup seluruh persoalan kehidupan di dalamnya, dan sekaligus sebagai pemberi solusi dari persoalan tersebut, akan tetapi tidak semua persoaan hidup/aturan hidup ada di dalam al-Qur'an, dalam posisi inilah kedudukan Sunnah di temukan. Sunnah adalah penerang jalan ke dua setelah al-qur'an, yang jika dalam al-Qur'an tidak ditemukan.
Diriwayatkan dari al-Irbadl bin Sariyah yang menyampaikan, "Pada suatu hari kami shalat bersama Rasulullah saw, kemudian beliau menghadap kepada kami dan memberikan sesuatu nasihat yang sangat mendalam sehingga air mata (kami) bercucuran dan hati pun tergoncang berdebar". Kemudian datang seseorang dan bertanya, "Wahai Rasulullah saw, rasanya seperti nasehat dan kata-kata perpisahan bagi kami, maka apa saja nasehat Anda kepada kami"?
Lantas Nabi saw bersabda, yang artinya: "Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah SWT, tunduk dan taat, sekalipun orang memerintah terhadapmu budak Habasyi yang kepalanya seperti biji kurma. Maka, orang yang hidup sesudah masaku sekarang pasti akan menemukan berbagai perselisihan. Karena itu, wajib bagimu berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur-Rasyidin yang telah mendapat hidayah. Peganglah itu olehmu dan gigit pula dengan gerahammu kuat-kuat. Ingatlah, berhati-hatilah kamu agar menjauhi perkara-perkara yang baru. Sesungguhnya semua yang baru adalah bid'ah, dan semua yang bid'ah adalah sesat". (H.r. Abu Daud, Ibnu Majah dan Al-hakim, dalam: As- Suyuthy, 1997: 18-19)
Dalil Sunnah di atas merupakan panduan hidup bagi Umat Islam agar tetap berpegang teguh di jalan Allah SWT, yaitu dengan tetap menggunakan al-Qur'an dan Sunnah Nabawiyah sebagai penuntun hidup di dunia ini. Dalam sebuah Hadits yang lain diriwayatkan dari Imam Baihaqi dengan sanad dari Asy-Sya'bi, bahwasanya Nabi saw, pernah mengambil keputusan suatu hukum, yang al-Qur'an baru turun kemudian dengan ayat yang menunjukkan keputusan hukum yang berbeda. Maka hukum yang datang dari al-Qur'an itulah yang diterima dan dipakai, dan dalam hal tersebut beliau juga tidak menolak terhadap keputusan hukum semula. (As-Suyuthy: 25)
Dalil ini menunjukkan posisi Sunnah Nabi saw sebagai penentu keputusan hukum yang belum ada dalam al-Qur'an. Imam al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad dari Hisan bin Athiyah, yang mengatakan bahwa malaikat Jibril as turun kepada Rasulullah saw dengan membawa Sunnah sama seperti ketika membawa al-Qur'an kepada beliau, dan mengajarkan Sunnah seperti mengajarkan al-Qur'an kepada beliau. (H.r. ad-Darimi, dalam As-Suyuthy: 27).
Hadits ini menunjukkan keotoritasan Sunnah di samping al-Qur'an dan posisinya terhadap ketentuan hukum Islam sama seperti kedudukan al-Qur'an, sebab Hadits juga wahyu yang disampaikan-Nya dalam bentuk ucapan, perilaku, maupun ketetapan Nabi saw; Firman-Nya "Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya, ucapanya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)". (QS, An-Nazm, 3-4)
Selanjutnya Imam al-Baihaqi menjelaskan pula tentang perintah Allah SWT untuk taat kepada Rasulullah saw, dan penjelasan bahwa taat kepada Rasulullah saw berarti taat kepada Allah SWT. Tentang ini Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa', ayat: 80, yang artinya: "Barangsiapa mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah". Menurut Imam Syafi'i ayat tersebut menerangkan baiat kepada Rasulullah saw, dengan baiat kepada Allah SWT, dan bahwasannya mentaati Rasul identik dengan taat kepada Allah SWT. (As- Suyuthy: 29-30)
Lantas pertanyaannya bagaimana kalau Sunnah yang menjadi panduan hidup tadi tidak di pakai bahkan dihinakan? Menurut penulis Umat Islam akan menjadi Umat yang kehilangan sebelah matanya dalam menapaki kehidupan di dunia ini. Kalau al-Qur'an diibaratkan sebelah mata dan Hadits sebelah mata lainnya, maka Umat Islam akan mengalami kegoncangan dalam melangkah menuju ke kehidupan yang lebih baik lagi. Karena bagaimanapun, Sunnah/Hadits merupakan panduan hidup yang terang selain al-Qur'an, sebab pribadi keseharian Rasul mencerminkan kandungan-kandungan al-Qur'an itu sendiri. Bahkan dampak yang lebih ekstrim, terhadap penolakan Sunnah/Hadits Nabi saw ini sebagai sumber hukum Islam bisa menjerumuskan Umat ke jurang kekafiran (keluar atau dianggap keluar dari agama Islam).
F. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, makalah ini dapat disimpulkan ke dalam beberapa poin, yaitu:
1) Lahirnya kelompok Ingkar Sunnah dilatar belakangi oleh beberapa sebab, diantaranya: Pemahaman mereka yang tidak terlalu baik dan mendalam tentang Hadits/Sunnah Nabi saw, kedangkalan mereka dalam memahami Islam, juga ajarannya secara keseluruhan, kepemilikan pengetahuan yang kurang tentang bahasa Arab, sejarah Islam (kodifikasi Hadits), sejarah periwayatan, pembinaan Hadits, metodologi penelitian Hadits, dan adanya statement al-Qur'an yang menyatakan bahwa al-Qur'an telah menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan ajaran Islam (QS. Al-Nahl: 89).
2) Dampak dari penolakan ini bisa mengakibatkan Umat Islam akan kehilangan satu panduan hidup yang sangat berarti selain al-Qur'an; dan yang ekstrim bisa mengakibatkan seseorang kafir (keluar/dianggap keluar) dari agama Islam.
Daftar Baca’an
Abu Zahwu, Muhammad, al-Hadis Wa al-Muhaddisun, Mesir, Dar al-Fikr, 1378H
Al- Madkhaliy, Rabi' bin Hadi, Membela Sunnah Nabawiyah; Jawaban Terhadap Buku, Studi Atas Hadits Hadits, (Terj), Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1995
Al- Siba'I, Musthafa, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam; Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, Jakarta, Pustaka Pirdaus, 1993
As-Suyuthy, Jalaluddin, Argumentasi As- Sunnah; Kontra Atas Penyimpangan Sumber Hukum Orisinil, Surabaya, Risalah Gusti, 1997
Azami, Muhammad Mustafa, Hadits Nabawiyah dan Sejarah Kodifikasinya, (terj), Jakarta, Pustaka Pirdaus, 2000
Husai, Abu Lubabah, Pamikiran Hadits Mu'tazilah, Jakarta, Pustaka Pirdaus, 2003
Ilyas, Yunasar, (et al), Pengembangan Terhadap Hadits, Yogyakarta, LPPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 1996
Irsyadunnas, Inkar Al-Sunnah; Sejarah Kemunculan dan Perkembangan- nya, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an dan Hadits, Vol. 4. 1 Juli 2003
Ismail, Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela, PengIngkar dan Pemalsunya, Jakarta, Gema Insani Press, 1995
Jawas, Yazid Abdul Qadir, Kedudukan Sunnah dalam Syari'at Islam, Jakarta, Pustaka al-Kausar, 1997
Soebahar, Erfan, Materi Kuliah, Studi Hadits Teori dan Metodologi, Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Tanggal 11 September 2004
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid II, Jakrta, TAPI Ikhtiar Baru Va-Hoeve, 1994
Zuhri, Muhammad, Hadits Hadits; Telaah Historis dan Metodologi, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari