Jumat, Desember 24, 2021

BUKAN USTADZ "PELAWAK"

BUKAN USTADZ "PELAWAK"
Dakwah itu seni. Seni berkomunikasi mempengaruhi audiens agar mengikuti ajakan, seruan, dan nasehat yang disampaikan. Jadi disebabkan dakwah itu seni retorika, maka selain pengetahuan ilmu yang mendalam, diperlukan kemampuan menganalisa psikologis audiens terhadap hal-hal yang membuat mereka senang dan betah menyimak pembicaraan si da'i berlama-lama. Faktor "Sense of Humor" atau bumbu-bumbu humor yang menghibur seringkali dijadikan "senjata pamungkas" para da'i dalam menjadikan dakwahnya diminati dan disenangi para jamaahnya. Menyelipkan ungkapan humoris atau kisah-kisah lucu dalam dakwah itu bagus sebagai sebuah strategi dan metode dakwah bagi kalangan masyarakat awam. Namun apa jadinya jika justru yang terjadi hari ini, bermunculan ustadz-ustadz dan dai yang viral disebabkan hanya faktor "Sense of Humoris" saja, bukan disebabkan tujuan dakwah atau berdasarkan keilmuannya? Padahal tujuan goal dakwah itu sendiri sesungguhnya bukan membuat orang gelak tertawa terpingkal-pingkal, melainkan membangunkan kesadaran diri para audiens atau jama'ahnya terhadap perintah, larangan, anjuran dalam beragama. Nasehat agama bukanlah bahan candaan atau olokan untuk bahan "jualan" dakwah, bukan? Sekedar perbandingan, selama berguru dan belajar di Timur Tengah bertahun-tahun pun, kami tidak pernah mendapati para masyaikh atau du'at yang menyampaikan dakwah dengan penuh candaan dan membuat orang gelak tertawa. Alih-alih, ada pendakwah yang ingin lucu dan kemudian viral, pastilah tanggapan mereka, "Kamu pengin jadi pelawak atau apa?!" Ya, mungkin kalau hal ini disampaikan pada para dai di tanah air atau da'i lokal, mereka akan menjawab, "Lah, itu kan di Timur Tengah, beda dengan karakter masyarakat kita yang senang humor atau ceramah. Kalau nggak lucu ya, orang akan bosan dan ngantuk." Nah, jika seorang da'i telah berubah pada disorientasi humorisnya saja dan kemudian melekat dengan sebutan ustadz lucu, maka tak akan salah jika audiens atau jama'ah juga akan kehilangan roh dakwah itu dan hanya terobesi mengejar dan mencari "banyolan-banyolan" terbaru dari si pendakwah. Jika demikian faktanya, maka apa bedanya seorang dai dengan seorang komika atau pelawak? Nah, jika menelisik strategi dan manhaj dakwah Nabawiyyah, maka kita tidak akan dapati seorang pendakwah pun yang bercanda-canda dalam dakwahnya, sebab dakwah merupakan misi Ilahiyyah yang begitu sangat agung dan sakral yang menjadi tugas mulia para Nabi dan Rasul sejak ribuan tahun yang lalu. Bahkan, terkadang dalam menyampaikan misi risalah dakwah itu, mereka harus berhadapan dengan penentangan dan keingkaran dari para pembully dan pembenci kebenaran. Mereka ditertawakan, diolok-olok, dicaci, disakiti, bahkan terancam dibunuh. Lantas, apakah dakwah Nabi itu terkesan kaku dan keras? Tidak juga. Dakwah Rasulullah adalah yang humanis, penuh hikmah dan pengajaran sederhana, namun begitu dahsyat merubah karakter masyarakat Jahiliyyah yang keras menjadi lembut dan mulia seumpama malaikat. Apakah dalam dakwah Nabi tidak ada humornya? Tidak juga. Sesekali Nabi juga bercanda, namun tidak berlebihan. Paling lucu, Nabi hanya tersenyum, hingga nampaklah giginya. Nabi Saw pernah bercanda dengan mengatakan bahwa orang tua tidak masuk surga atau tidak ada orang tua di dalam surga. Seorang nenek renta yang mendengar pun menangis. Nabi Saw tersenyum seraya mengatakan bahwa di surga memang tak ada orang tua, sebab semua penghuni surga akan dijadikan muda kembali seperti sediakala. Begitulah salah satu bentuk candaan Nabi Saw sesekali. Oleh karenanya, sampai hari ini ada banyak para ulama kontemporer yang menyusun karya-karya terbaik dalam meneladani dakwah Nabi Saw. Salah satunya, kitab "فقه الدعوة" karya Syekh Yusuf al-Qardhawi atau lebih lengkapnya berjudul "فقه دعوة إلى الله" yang disusun oleh Syekh Abdurrahman Jinkah al-Madani setebal 1289 halaman. Pada zaman dahulu, dai-dai yang senang bercerita dengan dongeng-dongeng atau kisah-kisah menarik yang dibuat-buat dan tidak berdasarkan dalil agama, lebih dikenal dengan sebutan "Tukang Cerita", ketimbang penamaan "Syaikh" atau "Ulama". Sayangnya, hari ini banyak masyarakat kita yang sulit membedakan antara ulama dengan selebritis. Alih-alih, dianggap ulama, artis saja bisa dilabeli "Ustadz" atau pelawak bisa berubah menjadi "Ulama" atau justru "Ulama Pelawak". Syaratnya, cukup bisa menyampaikan satu dua ayat, satu dua hadits, pandai bertutur nasehat, perpenampilan seperti ulama, syarat paling penting harus bisa melawak. Komplet.. Soal keilmuan, kemampuan Nahwu Sharaf, Pemahaman Fiqh-Ushul Fiqh, Tafsir- Ushul Tafsir, Tarikh dan Kebahasaan, itu soal belakangan, nomor sekian... Pada akhirnya, jika dai terkesan hanya mencari "jualan" dakwah yang disesuaikan dengan pangsa pasar audiensnya saja, maka janganlah heran jika paling lama hanya setahun dua tahun, si da'i akan ditinggalkan dan pesan dakwahnya dilupakan orang dikala "Sense of Humoris"-nya menurun atau tergantikan oleh da'i yang lebih berilmu bernash.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Muhammad Edwan Ansari