BAB II
PEMBAHASAN
A. MENINGKATKAN NILAI MAHABBAH MAHABBAH KEPADA RASUL
Rasa mahabbah terhadap Rasulullah SAW. adalah masalah yang sangat prinsipil. Mengapa begitu? Ya, karena iman kita tidak akan ada artinya bila belum menempatkan Rasullulah SAW. sebagai orang yang paling dicintai dan disayangi. Sebab Rasulullah adalah penunjuk ke jalan yang benar dan penegak keadilan. Tanpa terutusnya beliau kita akan sesat dan tidak akan bisa selamat.
Karena teramat prinsipilnya rasa mahabbah tersebut, maka wajarlah bila orang yang memilikinya akan mendapat kemulyaan di sisi Allah SWT.
Pernah suatu saat ada seorang Badui datang dari dusun pedalaman dengan pakaian yang compang-camping, kancing baju terlepas, rambut tanpa terjamah sisir, dan kaki bertelanjang tanpa alas. Di hadapan Rasullulah SAW ia bertanya, “Muhammad, kapan kiamat? Kapan terjadi kiamat?”. Nabi tertegun dibuatnya, ada orang kok menanyakan datangnya kiamat.Lalu Rasulullah SAW bertanya, “Lho, anda datang tanya kiamat, apakah anda telah siap dengan amal yang banyak?”. Lelaki Badui itu menjawab, ” Ya Rasulullah, saya ini orang dusun yang mengenal Islam belum lama, shalat belum sempurna, puasa belum sempurna, shadaqah-zakat belum, apalgi haji, karena saya orang melarat. Namun begini Rasul, saya cuma bermodalkan satu, yaitu saya senantiasa berangan-angan, melamun, kapan saya dapat bertemu Muhammad Rasullulah. Jadi cuma rasa mahabbah kepada engkau wahai Rasul.” Rasulullah kemudian menyahut,”Engkau akan bersama orang yang engkau cintai”.
Rasa mahabbah kepada Rasulullah merupakan salah satu syafa’at nyata. Tak ada kecualinya bagi Abu Lahab, dia adalah orang kafir yang sangat memusuhi Rasulullah, sehingga disebut, diolok-olok dan dicaci maki namanya dalam Al-Qur’an yang dibaca oleh umat Islam seluruh dunia sebagai ibadah yang besar sekali pahalanya. Namun dengan hanya sedikit bukti rasa mahabbah dan gembira atas kelahiran Rasullulah, yaitu waktu mendengar Rasulullah lahir, dia gembira dan berjingkrak-jingkrak, sampai-sampai Ummu ‘Aiman yang membawa berita kelahiran mendapat anugerah dimerdekakan. Hanya karena sedikit rasa mahabbah itulah, Abu Lahab dikeluarkan dari siksa neraka pada setiap hari Senin, hari kelahiran Rasul SAW, semacam liburan dari siksa. Cukupkah orang yang mengaku cinta, apalagi cinta kepada Rasul hanya mengatakan, “AKU CINTA PADAMU”. Tidak, tidak cukup!
Akan tetapi harus disertai bukti yang nyata. Harus ada alasan yang rasional dan ma’qul. Seperti seorang shufiyah Rabi’ah Al-Adawiyah, saking cintanya kepada Allah SWT, sampai ia bersyair : Aku cintai Engkau dengan dua cinta Cinta asmara dan cinta memang Engkau selayaknya dicintai Adapun cinta asmara, aku senantiasa mengingat-Mu dan melupakan selain Kau Adapun cinta yang memang Engkau selayaknya dicintai, Kau telah membuka tabir diriku, sehingga aku tahu siapa Engkau Tiada pantas puji untukku dalam ini dan itu, Tapi puji adalah untuk-Mu dalam segal-galanya
Jadi Rabi’ah Al-Adawiyah mencintai Allah SWT dengan dua macam cinta. Pertama : yang irasional, yaitu dorongan asmara yang biasanya diwujudkan dalam lamunan, khayal dan impian. Kedua : yang rasional, yaitu melihat dengan rasa kagum terhadap sifat-Nya, sehingga dengan cinta inilah, Rabi’ah patuh dan taat terhadap segala perintah dan larangan-Nya. Begitu juga halnya dalam mencintai terhadap Rasulullah SAW, dengan dua macam cinta. Pertama karena dorongan asmara. Manifestasi dari rasa cinta ini dapat terwujud antara lain : kita senantiasa mengingatnya, yaitu dengan memperbanyak membaca sholawat dan mengamalkan apa yang tertera dalam qasidah Barzanji, Diba’iy. Jadi orang yang paling kikir bagi Rasulullah adalah orang yang paling enggan membaca sholawat, apalagi sampai antipati terhadap sholawat.
Berbicara tentang cinta itu memang asyik. Karena hanya satu patah kata, yaitu CINTA, maka jarak jauh bisa menjadi dekat, gunung dapat meletus dan bumi bisa dilipat. Dikatakan bahwa orang itu akan selalu taaat kepada siapa yang ia cintai Bahkan saking cintanya dia dalam taat sampai kehilangan kontrol diri. Bagaimana tidak, misalnya seorang pemuda yang karena mencintai gadis, maka apa pun ia lakukan untuk dapat bertemu dan mendapatkannya. Hujan tidak jadi soal, petir yang menyambar-nyambar tidak terdengar, gelap gulita bukan rintangan, bahkan sakit bisa menjadi sembuh seketika. Lapar dan haus tidak terasa. Yah, memang cinta itu segala-galanya. Orang sudah sering bilang : Love is blind! (cinta itu buta-red). Karena cinta maka sentuhan jadi nikmat dan ludah terasa buah.
Ada cerita, seorang pemuda mendapat surat dari kekasihnya, belum lagi surat itu dibuka, perangko dilepas lalu ditelan. Dalam membalas surat itu, dinyatakan bahwa perangkonya telah ia telan. Justru ia menelannya karena berkeyakinan bahwa waktu menempelkan dulu memakai ludah kekasihnya. Jadi hitung-hitung menelan ludah kekasihnya walaupun sudah kering. Selanjutnya dalam surat balasan kekasihnya, dinmyatakan terima kasih atas kemurnian cintanya. Tapi ma’af, bahwa yang menempelkan perangko dulu bukan dia sendiri, akan tetapi tukang becak sebelah rumah yang disuruh untuk mengeposkan. Karuan saja pemuda tadi nyengir kecut.
Nah, mestinya tingkat cinta seperti itu dapat kita terapkan dalm mencintai Nabi SAW. Kita harus taat penuh dan selalu teringat kepada beliau, juga sering menyebut-nyebut nama beliau. Bahkan sahabat Bilal pernah diperintah membuang kencing Nabi, tetapi setelah dibawa pergi ternyata diminum , bukan dibuang. Ketika ditanya, Bilal menjawab bahwa perbuatan itu dilakukan karena cintanya kepada Nabi SAW.
Diantara perwujudan dari cinta, ia senantiasa mengimpi-impikan untuk bertemu dalam impian. Maka dalam cinta kepada Nabi SAW juga harus begitu, apabila kita bertemu dengan Nabi SAW, maka itulah rupa Nabi Muhammad yang sebenarnya. Beliau pernah bersabda yang artinya, “Barang siapa mimpi bertemu aku, maka sungguh ia telah tahu kenyataan (itulah saya yang sebenarnya), karena syetan tidak dapat menyerupai saya.” Dan orang yang mimpi bertemu Rasulullah SAW itu sebagai tanda alamat bahwa Insya Allah termasuk ahlul jannah , sebab Rasulullah pernah bersabda yang artinya : “Barang siapa bermimpi ketemu aku dalam tidurnya, maka akan bertemu aku di sorga.”
Maka kesimpulan dari rasa mahabbah terhadap Rasulullah itu mengandung beberapa keuntungan, diantaranya : 1. Dengan rasa mahabbah kepada Rasulullah, maka akan membuat kita ringan dalam menjalankan segala apa yang dikatakan beliau. 2. Dengan rasa mahabbah kepada Rasulullah, maka kita pasti dapat mimpi bertemu Rasulullah SAW. Yang perlu menjadi catatan bagi generasi muda, generasi penerus adalah bagaimana perjuangan Rasulullah. Bagaimana prinsip dalam berjuang yang memang dituntut untuk menirunya. Mengapa Rasulullah seorang anak yatim, penggembala kambing, seorang diri dapat sukses dengan gemilang dalam perjuangan, dapat merubah dunia tradisional jahiliyah menjadi negara modern (bentuk negara yang baik), dapat merubah masyarakat animisme menjadi masyarakat religius, itu semua tidak lain adalah karena Rasulullah SAW senantiasa berjalan di atas rel-rel yang telah digariskan oleh Allah SWT.
Dalam beberapa ayat dari S. Al-Mudatsir : 1-7, Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk berjuang pun dibarengi lima pedoman yang senantiasa harus dipegangi dalam berjuang, yaitu : takbirullah (mengagungkan Allah), membersihkan pakaian, menjauhi perbuatan dosa, menjauhi pamrih dan sabar.
Pertama : takbirullah senantiasa terpateri perasaan keagungan Allah SWT, takut terhadap Allah. Orang yang senantiasa mempunyai rasa takbirullah ia akan mempunyai idealisme yang kuat, pendirian yang kokoh. Tak akan rontok oleh hempasan ombak dan tiupan badai. Seribu tantangan kunjung datang, ia tak akan mundur dan tak gentar. Seribu rayuan datang, ia tak akan terbujuk.
Rasulullah adalah kekasih Tuhan, namun ternyata tidak habis-habisnya dalam derita dan coba. Apakah beliau lantas mundur dan menyesal dengan berkata : “Wahai Tuhan, aku adalah kekasih-Mu, mengapa senantiasa dalam derita?”. Tidak, tidak begitu. Ternyata Rasulullah SAW mempunyai idealisme yang kuat dan kokoh, yang tidak goyah akan hempasan ombak, sampai-sampai orang-orang kafir kewalahan, bingung dan pusing menghadapi beliau. Yang akhirnya setelah tidak mempan dengan kekerasan, mereka memakai tehnik politis, yakni mengajak toleransi. Mereka berkata, “Hai Muhammad, kita akan menyembah apa yang kamu sembah, dan engkau menyembah apa yang kami sembah. Kita bersekutu dalam suatu perkara, apabila yang engkau sembah lebih baik, sungguh kami telah mengambil bagian dari padanya. Dan apabila yang kami sembah lebih baik, sungguh engkau telah mengambil bagian dari padanya.” Manis bujukannya, dan taktis juga. Namun politik orang kafir yang cukup diplomatis, yang mereka sangka sangat jitu dan manjur itu dapat dipatahkan dengan tegas oleh Allah dalam firman-Nya S. Al-Kafirun : 1-6.
Contoh lain adalah Imam Syafi’i, Hanbali, Hanafi dan Maliki. Babaskah beliau dari derita-derita? Tidak. Sebab ternyata dalam mempertahankan idealismenya, Imam Syafi’i pernah disiksa dengan diborgol di belakang onta berjalan dari Yaman sampai Baghdad. Imam Hanbali dicambuk oleh algojo khalifah sampai celana beliau akan lepas. Imam Hanafi dipenjara dan dicambuki seratus sepuluh kali, akhirnya disuruh minum racun dengan paksa. Kedua : suci dari noda-noda bathiniyah dan dlahiriyah. Dalam ini Sayid Qutub menafsirkan dengan thaharatul qalb wal khuluq wal ‘amal. Seorang pejuang hati, akhlaq dan amalnya harus bersih. Ia tidak ambisi, tidak ada rasa sentimen, maupun dendam. Dia bukan seorang hipokrit ataupun munafik. Apa yang terlihat di luar itulah yang ada di dalam. Ketiga : Menjauhkan diri dari maksiat Rasulullah terhindar dari maksiat. Beliau selalu memberikan contoh dalam perbuatan baik.
Keempat : Jauh dari pamrih .Dengan berjuang hanya karena mencari ridla Allah SWT, bukan karena ingin mendapat pengaruh, mencari fasilitas, mencari keuntungan pribadi dan juga bukan hal-hal yang lain. Sewaktu orang kafir telah bosan dengan mengintimidasi Rasul, mereka pun membujuk dengan pangkat, harta dan wanita, tetapi tetap tidak goyah. Pada waktu itu banyak nian orang yang masuk Islam hanya ingin mencari kedudukan, karena Islam menang. Ada juga orang yang takut terhadap Islam, karena khawatir pangkatnya lepas. Dia adalah macam manusia serigala, tetapi setelah dikasih harta mereka diam. Ia luntur. Lain halnya dengan Nabi SAW, beliau adalah laksana mutiara, di mana pun akan tetap menyala. Mereka juga membuat masjid-masjid yang indah, tetapi hanya ingin memikat orang-orang Islam. Orang-orang yang masuk ke sana bukannya dididik baik, tetapi dijadikan jangkrik, maksudnya setelah ia dipelihara, ia disuruh tarung beradu sesame jangkrik. Kalau menang majikannya yang beruntung, dan jangkrik menjadi korban. Kelima : Sabar, tahan uji Berapa kali Nabi SAW disakiti, namun toh tetap sabar dan akhirnya menang. Nabi menyadari bahwa perjuangan tidak akan sekaligus membawa kemenangan dan keadilan tak akan sekaligus berhasil, akan tetapi memerlukan kesabaran dan keuletan.
Dalam Al-Qur’an , ayat-ayat yang mengandung ajaran sabar itu ada 70 ayat. Justru karena sabar adalah satu-satunya senjata untuk suksesnya dakwah, dan amar ma’ruf nahi munkar. Sebagaimana tersebut dalam S. Al-Ashr setelah ayat watawashau bil haqqi dengan amar ma’ruf nahi munkar, lalu diakhiri dengan watawashau bis shobri semakin menunjukkan satu-satunya syarat amar ma’ruf nahi munkar harus dengan sabar. Maka pemudalah sebagai penerus yang akan menjadi rijalul mustaqbal, pemimpin di hari-hari depan ini harus dihayati benar-benar untuk mempersiapkan dirinya. Pemuda harus mempunyai cita-cita yang tinggi, penuh ide-ide, dan menyerap banyak ilmu. Pemuda harus memahami masa kini, memahami keberhasilan tokoh-tokoh dahulu, sebab-sebab kegagalan dan kekurangan mereka. Apa dan mengapa? Demikianlah kalau memang si pemuda ingin menjadi rijalul mustaqbal yang benar-benar tangguh. Jangan rijal yang tanggung-tanggung. Tangguh itu tabah, tidak goyah karena cobaan-cobaan dan tidak berpindah perjalanan yang tidak semestinya, karena di sana ada harapan-harapan. Jadi pemuda harus mempunyai keyakinan yang mantap, dan segera membentuk dirinya kepribadian yang tetap.
B. MENINGKATKAN RASA INGIN MENCONTOH PERBUATAN RASUL
Rasulullah SAW adalah sebaik-baiknya teladan bagi umat manusia. Beliau diutus oleh Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak. "Tidaklah aku diutus (ke bumi ini), kecuali untuk menyempurnakan akhlak." Pernyataan ini sangat jelas menggambarkan usaha yang dilakukan oleh Rasul SAW. Sepanjang sejarah hidupnya, sebagaimana diungkapkan Muhammad Husein Haykal dalam Hayatu Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad), tak ada satu pun perbuatan yang tidak disukai oleh sahabat dari pribadinya.
Tak heran, ketika Rasulullah SAW wafat, Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq Radiyallahu Anha, istri Rasul SAW, ditanya oleh salah seorang sahabat tentang akhlak Nabi Muhammad SAW; Aisyah menjawab, akhlaknya adalah Alquran sesuai petunjuk dari Allah SWT."Dan, tiadalah yang diucapkannya itu (Alquran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)." (QS Annajm [53] 3-4).
Demikian pula apa yang dilakukan oleh sahabat-sahabatnya. Semuanya senantiasa meneladani dan mencontoh perbuatan-perbuatan yang dilakukan Nabi SAW.Dalam sebuah riwayat, disebutkan, Abu Bakar As-Siddiq RA menemui Aisyah Ummu al-Mukminin, dan bertanya tentang perbuatan Rasul SAW yang belum sempat dijalani Abu Bakar.Aisyah mengatakan, setiap pagi Rasul SAW senantiasa pergi ke sudut pasar di Madinah. Kemudian, beliau memberi serta menyuapi seorang pengemis Yahudi yang buta. Padahal, setiap harinya pula si pengemis Yahudi ini mencaci maki Rasul SAW dan berkata kepada setiap orang untuk menjauhi. Nabi Muhammad SAW agar orang-orang tidak terpengaruh. Maka, Abu Bakar pun bergegas
meniru perilaku Rasul SAW, yakni mendatangi, memberi makan, serta menyuapi Yahudi tersebut. Maka, ketika Abu Bakar sedang menyuapi, dengan serta-merta si Yahudi membuang makanan yang diberikan. Namun, setelah dijelaskan bahwa orang yang biasa memberinya makan itu adalah Muhammad dan kini telah wafat, Yahudi inipun ketakutan dan takjub. Ia akhirnya masuk Islam.Dari kisah di atas, tampak kemuliaan dan keagungan dari akhlak Nabi Muhammad SAW, hingga para sahabat seperti Abu Bakar selalu berusaha meniru dan meneladaninya. Begitu juga dengan sahabat lainnya, seperti Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Mereka senantiasa mencontoh akhlak Rasul SAW.
Sepeninggal Rasul SAW, para sahabat inilah yang dijadikan contoh dan menjadi teladan umat. Umat pun berusaha menaati perintah Nabi SAW untuk memuliakan sahabat-sahabatnya sebab mereka adalah generasi terbaik dari umat Islam.Dari Umar bin Khattab RA, Rasulullah SAW bersabda, "Muliakanlah para sahabatku karena sesungguhnya mereka adalah (generasi) terbaik kalian." (HR Abdun Ibnu Humaid dan al-Hakim dengan sanad sahih. Lihat Misykat al-Mashabih, Syekh Nashiruddin al-Albani, III/1695).
Dari Abu Musa al-Asyari RA, Rasul SAW bersabda, "Bintang-bintang itu penjaga bagi langit. Jika ia lenyap, terjadilah pada langit apa yang telah dijanjikan. Aku adalah penjaga bagi sahabatku. Jika aku telah tiada, akan terjadi pada sahabatku apa yang dijanjikan. Dan, para sahabatku adalah penjaga umat ini. Jika mereka tiada, akan terjadi pada umat ini apa yang dijanjikan." (HR Muslim, No 2531),Karena itu, umat Islam dilarang mencela dan mencaci maki sesama Muslim, terlebih terhadap sahabat-sahabat Rasul SAW. "Janganlah kalian mencaci para sahabatku. Jika di antara kalian menginfakkan emas sebesar Gunung Uhud, belum menyamai segenggam dari mereka dan tidak pula setengah genggam dari mereka." (Sahih Bukhari).
Dari ungkapan di atas, tampak jelas kemuliaan dan keagungan dari pribadi-pribadi sahabat Rasul SAW. Kendati umat saat ini berinfak sebesar Gunung Uhud, kemuliaan dan pahalanya belum seberapa dengan apa yang dilakukan para sahabat. Bahkan, jumlahnya tidak lebih dari segenggam atau setengah genggam emas yang diinfakkan. Sebab, para sahabat itu telah berjuang bersama dengan Rasul SAW, bahkan mereka rela menyerahkan harta, jiwa, raga, dan keluarga mereka demi menegakkan agama Islam. Selain itu, merekalah orang-orang yang pertamatama masuk Islam {Assabiqun al-Awwalun).
C. MENINGKATKAN SYIAR ISLAM
Kaum muslim di seluruh dunia memperingati perayaan Maulid Nabi yang bersejarah, untuk menyambut keberkatan dan kebahagian pada hari tersebut. Hal ini merupakan suatu adat (habit) dan syiar Islam yang turun temurun yang telah dilakukan oleh para petua terdahulu. Dalam memperingati hari kelahiran Nabi Saaw yang diperingati di seluruh pelosok di Indonesia diadakan sebuah acara tertentu, misalnya dengan melantunkan syair-syair dan qasidah-qasidah pujian, pembacaan maulid, ceramah yang berisikan hikmah keteladanan baginda Rasulullah Saaw dan lain sebagainya. Namun sayangnya, kaum wahabi tidaklah memanfaatkan momentum bersejarah ini, dan dianggap sebagai sebuah bid’ah yang sesat.
Islam memberikan hukum yang jelas tentang hal ini, yang mana mereka berpijak pada dalil Alqur’an dan hadist. Di dalam alqur’an Allah Swt berfirman: “Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, Maka Sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS Al-Hajj ayat 32). Dalam ayat di atas berisi perintah Allah Swt untuk menghidupkan berbagai bentuk dari syiar Allah Swt, sebagai bukti kecintaan dan ketaqwaan pada diri hamba-Nya. Banyak terdapat ayat-ayat lain sebagai bentuk pengagungan syiar agama, diantaranya; dalam surat Al-Baqarah ayat 125, Allah Swt berfirman: . “Dan (ingatlah), ketika kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat.”
Yang menjadi pengertian ‘syiar Allah’ disini, bahwasannya Pemilik Syariat (Allah SWT) telah memuliakannya dan tidak menentukannya sebagai bentuk luar (misdaq) yang khusus, dengan melalui perkembangan zaman telah menjadikannya sebagai urf (menurut kacamata pandangan masyarakat), sebagai suatu dalil didalam mengagungkan syiar-syiar agama.
Tentang kemuliaan hari kelahiran Nabi Saaw, dalam Shahih Muslim yang dinukil dari Abi Qatadah: “Sesungguhnya Rasulullah Saaw telah ditanya tentang puasa hari Senin, maka beliau berkata: “Pada hari itu aku dilahirkan dan juga pada hari tersebut Al-Qur’an diturunkan kepadaku.” Dan hadist Baihaqi yang dinukil dari Anas : “Sesungguhnya Nabi Saaw setelah kenabiaannya telah mengakikahkan dirinya dengan menyembelih seekor kambing. Dengan melalui riwayat ini, juga terdapat riwayat yang mana Abu Thalib pada hari ketujuh kelahiran Nabi Saaw telah mengakikahkan seekor kambing.”
Disini kaum Wahabisme mengatakan, perayaan maulid tersebut sebagai sebuah bid’ah yang sesat, yang dianggap halal padahal ternyata hukumnya haram. Kita katakan disini bahwa selama kita mempunyai dalil yang jelas tidaklah hal tersebut dianggap sebagai sebuah bid’ah. adanya kerancuan terhadap interpretasi bid’ah yang mereka pahami sebagai sebuah persoalan yang kini belum terpecahkan. Yang hakikat sesungguhnya adalah dalil syar’inya yang sudah cukup jelas. Namun bagaimanapun, argumentasi kita ajukan belumlah dapat menyakinkan mereka. Adanya unsur fanatisme yang hingga kini mereka pertahankan.
Sebuah landasan hukum bagi penyelenggaraan maulid Nabi Saaw adalah wujud kecintaan yang tertanam pada hati-hati pencinta Nabi Saaw yang juga diperintahkan Allah Swt dalam firman-Nya: “Katakanlah: “Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS Taubah ayat 24). Namun yang terpenting adalah perayaan maulid Nabi Saaw merupakan ajang dakwah yang berpontensial guna mengenang kembali jasa perjuangan dan integritas Nabi Saaw sebagai seorang pemimpin yang mengagumkan, yang memberikan keteladanan bagi umatnya,dalam Al-Qur’an juga disinggung;. “Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab ayat 21). Dan sekaligus membawa pesan-pesan Islami yang berguna bagi seluruh lapisan masyarakat.
D. MENINGKATKAN SILATURAHMI DENGAN TUJUAN MENGOKOHKAN PERSATUAN DAN PERSATUAN UMMAT
Ketika memasuki bulan Rabi’ul Awal, umat Islam merayakan hari kelahiran Nabi SAW dengan berbagai cara, baik dengan cara yang sederhana maupun dengan cara yang cukup meriah. Pembacaan Shalawat, Barzanji, dan pengajian-pengajian yang mengisahkan sejarah Nabi Muhammad SAW menghiasi hari-hari bulan itu. Sekitar lima abad yang lalu, pertanyaan itu juga muncul. Dan Imam Jalaludin al-Suyuthi (849 H-911 H) menjawab bahwa perayaan Maulid Nabi SAW boleh dilakukan. Sebagaimana dituturkan dalam al-Hawi Li al-Fatawi:
“Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW pada bulan Rabi’ul Awal, bagaimanakah hukumnya menurut syara’. Apakah terpuji ataukah tercela? dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala atau tidak? Beliau menjawab, “Jawabannya menurut saya bahwa asal perayaan Maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. Kemudian menghidangkan makanan yang bisa dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan Nabi SAW, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW yang mulia (Al-Hawi li al-Fatawi, Juz I, hal 251-252).
Jadi, sebetulnya hakikat perayaan maulid Nabi SAW itu merupakan bentuk pengungkapan rasa senang dan syukur atas terutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini. Yang diwujudkan dengan cara mengumpulkan orang banyak. Lalu diisi dengan pengajian keimanan dan keislaman, mengkaji sejarah dan Akhlaq Nabi SAW untuk diteladani. Pengungkapan rasa gembira itu memang dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan anugerah dari Tuhan. Sebagaimana Firman ALLAH SWT:
قُل بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَليَفرَحُوا .
“Katakanlah (Muhammad), sebab fadhal dan rahmat ALLAH (kepada kalian), maka bergembiralah kalian. (QS. Yunus, 58)
Ayat ini, jelas-jelas menyuruh kita umat Islam untuk bergembira dengan adanya rahmat Allah SWT. Sementara Nabi Muhammad SAW adalah rahmat atau anugerah Tuhan kepada manusia yang tiada taranya. Sebagaimana Firman ALLAH SWT:
وَمَا أرسَلنَاكَ اِلاَرَحمَةًَ لِلعَالَمِينَ
“Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya, 107)
Sesungguhnya, perayaan maulid itu sudah ada dan telah lama dilakukan Rasulullah SAW. Dalam sebuah Hadits diriwayatkan:
عَن أَبِي قَتَادَة اْلأنْصَارِي رَضِيَ اللهُ عَنهُ
أَنَّ رَسُولُ اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سُأِلَ عَن صَومِ
اْلاءثْنَينِ فَقَلَ فِيهِ وُلِدتُ وَفِيهِ أُنزِلَ عَلَيَ
“Diriwayatkan dari Abu Qutadah al-Anshari RA. bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa senin. Maka beliau menjawab, “Pada Hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku.” (Shahih Muslim [1997])
Beliau bersyukur kepada Allah SWT pada hari tersebut atas karunia Tuhan yang telah menyebabkan keberadaannya. Rasa syukur itu beliau ungkapkan dengan bentuk Puasa. Paparan ini menyiratkan bahwa merayakan kelahrian (Maulid) Nabi Muhammad SAW termasuk sesuatu yang boleh dilakukan. Apalagi perayaan maulid itu isinya adalah bacaan Shalawat, Barzanji atau Diba’, Sedekah dengan beraneka ragam makanan, pengajian agama dan sebagainya yang merupakan amalan-amalan yang memang dianjurkan oleh syari’at Islam. Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki mengatakan: “Pada pokoknya, berkumpul untuk mengadakan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan sesuatu yang sudah lumrah terjadi. Tapi hal itu termasuk kebiasaan yang baik yang mengandung banyak kegunaan dan manfaat yang (akhirnya) kembali kepada umat sendiri dengan beberapa keutamaan (didalamnya). Sebab, Kebiasaan seperti itu memang dianjurkan oleh Syara’ secara parsial (bagian-bagiannya) ….
Sesungguhnya perkumpulan itu merupakan sarana yang baik untuk berdakwah. Sekaligus merupakan kesempatan emas yang seharusnya tidak boleh terlewatkan. Bahkan menjadi kewajiban para da’i dan ulama untuk mengingatkan umat kepada akhlaq, sopan santun, keadaan sehari-hari, sejarah, tata cara bergaul, dan ibadah Nabi Muhammad SAW. Dan hendaknya mereka menasehati dan memberikan petunjuk untuk selalu melakukan kebaikan dan keberuntungan. Dan memperingatkan umat akan datangnya bala’ (ujian), bid’ah, kejahatan, dan berbagai fitnah. (Mafahim Yajib an Tushahhah. 224-226)
Ibn Taimiyyah berkata, “Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi SAW akan diberi pahala. Demikian pula yang dilakukan oleh sebagian orang, adakalanya bertujuan meniru dikalangan nasrani yang memperingati kelahiran ISA AS, dan adakalanya juga dilakukan sebagai ekspresi rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi SAW. ALLAH SWT akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan dosa atas bid’ah yang mereka lakukan.” (Manhaj al-Salaf fi Fahm al-Nushush Bain l-Nazhariyyah wa al-Tathbiq, 339)
Maka sudah sewajarnya kalau umat Islam merayakan Maulid Nabi SAW sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan juga karena isi perbuatan tersebut secara satu per satu, yakni membaca shalawatm mengkaji sejarah Nabi AW, sedekah, dan lain sebagainya merupakan amalan yang memang dianjurkan dalam syari’at Islam.
Orang yang pertama kali menyelenggarakan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW adalah Raja Muzhaffar Abu Sa’id al-Kukburi bin Zainuddin ‘Ali bin Buktikin yaiut seirang raja yang mulia, raja yang shaleh dan terkenal sebagai raja yang pemurah dan baik hati.
Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman al-Dzahabi mengatakan bahwa “Raja Muzhaffar merupakan raja yang agamis, beliau seorang yang rendah hati, baik hati, seorang ahl Sunnah Wal Jamaah dan mencintai fuqaha dan ahli hadits. Beliau wafat tahun 136 H pada usia beliau 82 tahun”
Setiap kali Rabi`ul Awwal menjelang, kita akan memperingati hari kelahiran Rasulullah s.a.w. Bagi pendakwah, kedatangan bulan Maulid Nabi ini adalah satu ‘stop point’ untuk kita memperbaharui keyakinan kita terhadap kesaksian bahawa Muhammad Rasulullah s.aw dan meningkatkan komitmen untuk menunaikan tanggungjawab dari keyakinan itu. Berikut adalah perkara-perkara yang perlu ditunaikan oleh setiap muslim khususnya para pendakwah yang berkaitan dengan keimanannya terhadap nabi Muhammad s.a.w;
1. Mencontohi beliau dalam semua perkara dengan berusaha untuk melakukan sunnah-sunnah beliau.
2. Menyebarkan sunnah Rasulullah s.a.w di kalangan manusia dan masyarakat. Ini dilakukan secara sempurna dengan penglibatan yang aktif dalam usaha dakwah. Usaha mengajak manusia untuk mengamalkanIslam berdasarkan ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasulullah s.a.w.
3. Mempertahankan sunnah Rasulullah s.a.w dari penyelewengan dan serangan mereka yang dengki terhadapnya. Ini juga tidak dapat dicapai kecuali dengan penglibatan dalam usaha dakwah. Bahkan lebih penting lagi ialah usaha dakwah yang kolektif.
4. Berkaitan dengan segala di atas, hendaklah ada dalam kehidupan kita masa untuk kita membaca dan mengkaji buku-buku hadits kerana tidak mungkin kita dapat melakukansunnah Rasulullah s.a.w menyebar dan mempertahankannya jika tidak mengetahuinya. Tidak mungkin pula, kita dapat mengetahui sunnah Rasulullah s.a.w jika tidak mengkaji dan membacanya. Begitu juga dengan mengkaji sirah Rasulullah s.a.w bagi mendapat panduan dan untuk dijadikan bahan iktibar dalam usaha dakwah. Usaha ini seharusnya tidak terhenti dalam kehidupan kita kerana luasnya ilmu berkaitan hadits dansirah Rasulullah s.a.w dan banyaknya buku yang ada sebagai bahan kajian. Usaha ini juga penting kerana ia akan membantu memperingatkan diri kita yang pelupa, memperbaharui kasih kita kepada Rasulullah s.a.w dan mempertingkatkan komitmen dalam usaha dakwah.
5. Hendaklah kita sentiasa berselawat ke atas Rasulullah s.a.w sebagai tanda kasih kita kepada beliau dan sebagai sebahagian dari zikir harian kita yang akan menyucikan dan menguatkan rohani kita. Bagi pendakwah, berselawat ke atas Rasulullah s.a.w setiap hari adalah sesuatu yang mesti. Bagi pendakwah, selawat adalah sesuatu yang seharusnya membasahi bibir dan mulut kita. Adalah malang jika dalam sehari selawat kita kepada Rasulullah s.a.w tidak melebihi dari jari yang kita miliki. Sedangkan ia adalah satu amal yang mudah. Ia boleh dilakukan hampir di mana sahaja dan pada bila-bila masa. Samada ketika memandu, dalam MRT, berehat sebentar dari tugas di pejabat dan sebagainya.
Hasil dari apa yang dinyatakan di atas, ialah rasa kerinduan yang amat sangat terhadap Rasulullah s.a.w dalam diri kita. Rindu untuk bertemu beliau, rindu untuk bersalam dan mengucup tangan beliau dan rindu untuk mendakap beliau. Ibarat seorang yang merindui kekasihnya atau isterinya yang lama telah ditinggalkannya kerana bermusafir. Bersedihlah kita hari ini, apabila hari-hari sebelum ini kita tidak pernah merasai kerinduan kepada Rasulullah s.a.w sedangkan kita sering merindui isteri, anak-anak atau kekasih. Kerinduan inilah yang akan membentuk dorongan yang kuat untuk terus menjayakan perjuangan ini kerana kita memahami bahawa kerinduan ini tidak akan terubat kecuali dengan bertemu dengan Rasulullah s.a.w. Untuk bertemu dengan Rasulullah s.a.w, kita haruslah layak untuk memasuki syurga dan tidak mungkin, kita dapat memasuki syurga jika amal kita sedikit dan komitmen kita kepada perjuangan ini lemah. Umat dahulu, kerana kerinduannya yang sangat kepada Rasulullah s.a.w telah mendorong mereka untuk terjun dalam medan jihad pertempuran kerana ingin cepat menjadi syuhada agar cepat pula bertemu dengan Rasulullah s.a.w.
Setelah Nabi Muhammad wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya - tidak percaya, Rasul Yang Mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui menemui Umar dan dia meminta, Ceritakan padaku akhlak Muhammad . Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yang sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib. Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula
Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari