Sebuah catatan kecil untuk sekedar dikenang dan orang tau bahwa aku pernah Hidup. Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia!” semoga dengan catatan kecil ini dapat bermanfaat dan menebarkan kebaikan Apa yang dikatakan akan lenyap, apa yang ditulis akan abadi. Aku melintasi kehidupan Kuberanikan diri menulis catatan ini untuk mengabadikan momen hidup (Muhamad Edwan Ansari)
Selasa, Mei 19, 2015
SEJARAH PERJUANGAN HMI
1
SEJARAH PERJUANGAN HMI
I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Sejarah Perjuangan HMI
• Sejarah:"Pelajaran dan pengetahuan tentang perjalanan masa lampau umat manusia mengenai apa yang dikerjakan, dikatakan dan difikirkan oleh manusia pada masa lampau untuk menjadi cerminan dan pedoman berupa pelajaran, peringatan, kebenaran bagi masa kini dan masa yang akan datang".
• Perjuangan : "suatu kesungguhan disertai usaha yang teratur tertib dan berencana untuk mengubah kondisi buruk menjadi baik".
• HMI adalah kepanjangan dari Himpunan Mahasiswa Islam.
B. Tujuan Mempelajari sejarah Perjuangan HMI
Untuk meninjau dan meneliti secara sistematis dengan penuh kritis masa yang lalu agar dapat dijadikan cerminan dan pedoman masa kini sehingga dapat ditetapkan arah perjuangan masa mendatang.
C. Organisasi sebagai alat berjuang dan tempat beramal
(QS. Ali Imron:104) Menyeru kepada kebaikan/Islam dan mencegah kemunkaran adalah kewajiban setiap muslim. Maka HMI sebagai organisasi yang bercirikan Islam merupakan alat untuk mengajak kepada kebaikan wajib pula ada.
II
TINJAUAN HISTORIK
A. Lafan Pane dan hubungannya dengan HMI
Lafran pane adalah tokoh pendiri utama HMI sehingga HMI tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan Lafran Pane.
B. Latar Belakang munculnya Pemikiran Berdirinya HMI
• Penjajahan Belanda atas Indonesia dan tuntutan perang kemerdekaan. Adapun dampak penjajahan adalah sbb:
o Aspek Politik: seluruh rakyat RI menjadi objek jajahan dan kehilangan kedaulatannya.
o Aspek pemerintahan: dengan diciptakannya Gubernur jenderal sebagai perwakilan pemerintah belanda dan Jayakarta - Batavia menunjukkan bahwa Indonesia berada di bawah pemerintahan hindia belanda.
o Aspek Hukum: pelaksanaan hukum bertentangan dengan kondisi sosiologis: orang-orang Islam diperlakukan diskriminatif dan Belanda selalu diuntungkan
o Aspek pendidikan: kebijakan pemerintah belanda menempatkan Islam sebagai saingan.
o Aspek Ekonomi: dengan pembentukan VOC (1902) merupakan momentum penguasaan ekonomi Indonesia oleh Belanda dan Gubernur Van Den Bosh memakai Pola Tanam Paksa (cultuurstelsel) untuk komoditi ekspor.
o Aspek kebudayaan: munculnya aliran budaya secara bebas dan bersaing.
o Aspek keagamaan: Belanda membawa misi agama nasrani.
• Berkembangnya faham dan ajaran komunis Berawal dari ISDV (Indische Social Democratische Vereeniging) 1914 yang berhasil mendekati SI sehingga SI terpecah belah. Pada tgl 23 Mei 1920 ISDV berganti nama menjadi PKI dengan Semaun dan Darsono sebagai Presiden dan Wapres. Faham komunis dikembangkan melalui PMY dan SMY yang berhaluan komunis.
• Kedudukan perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan yang strategis, dilihat dari sudut :
o Secara akademik Perguruan Tinggi akan mencetak para sarjana, intelektual dan calon pemimpim bangsa, calon dosen, guru, praktisi dll.
o Dari segi kelembagaan Perguruan Tinggi merupakan pusat kebudayaan, pembaharuan dan kemajuan
o Dari segi kegiatan intra dan ekstra kemahasiswaan: menjadi ajang pembentukan kader di kalangan mahasiswa.
• Kebutuhan akan pemahaman, penghayatan keagamaam PMY dalam aktivitasnya tidak memperhatikan kepentingan mahasiswa beragama Islam. Dengan tidak tersalurnya aspirasi keagamaan mayoritas mahasiswa di Yogyakarta merupakan alasan kuat bagi mahasiswa yang beragama untuk mendirikan organisasi mahasiswa sendiri terpisah dari PMY. Gerakan untuk memunculkan sebuah organisasi mahasiswa Islam untuk menampung aspirasi mahasiswa akan kebutuhan pengetahuan, pemahaman, penghayatan keagamaan yang aktual muncul di akhir November 1946 secara organisatoris di awal februari 1947 dengan berdirinya HMI.
• Kemajemukan Bangsa indonesia Kemajemukan Indonesia dalam segala aspek-suku, agama, ras, golongan (serta dalam aspek agama, budaya, politik dan tingkat pengetahuan yang juga dimiliki umat Islam)
• Munculnya Polarisasi Politik Sebelum HMI berdiri tahun 1947, suasana politik RI mengalami polarisasi politik antara pihak pemerintah dipelopori partai sosialis dan pihak oposisi yang dipelopori Masyumi, PNI dan Persatuan Perjuangan Tan Malaka. Pihak pemerintah menitikberatkan perjuangan memperoleh pengakuan kemerdekaan dengan perjuangan diplomasi sedang pihak oposisi menekankan pada perjungan bersenjata. Polarisasi politik ini berpengaruh membawa masyarakat mahasiswa.
• Tuntutan Modernisasi dan tantangan Masa Depan Timbulnya gerakan pembaharuan baik di dunia Islam dan di Indonesia, karena tuntutan kepada pembaharuan sebagai kebutuhan untuk menjawab berbagai persoalan yang muncul, disebabkan adanya kemunduran dan keterbelakangan, maupun menghadapi perkembangan baru sebagai akibat dari kemajuan IPTEK. Pembaharuan dalam arti modernisasi merupakan kebutuhan manusia yang tidak dapat dielakkan, karena modernisasi merupakan bagian dari kehidupan manusia.
III
BERDIRINYA HMI
A. Deklarasi Berdirinya HMI, arti dan makna 5 Februari 1947
HMI berdiri/dideklarasikan pada hari rabu tanggal 14 Rabiul awal 1366 H bertepatan dengan 5 Februari 1947, di salah satu ruangan kuliah STI dengan tokoh utama pendirinya adalah Lafran Pane (mahasiswa STI tingkat I) bersama mahsiswa STI lainnya.
B. Di sekitar kelahiran HMI
Tujuan HMI ketika pertama berdiri :
• Mempertahankan negara RI dan mempertinggi derajat rakyat indonesia.
• Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam
Tujuan HMI saat ini:
Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terbentuknya masyarakat adil makmur yang diridloi Allah SWT.
Karakteristik HMI : ( karakteristik :sesuatu yang sejak awal berdirinya sudah melekat)
• Berasaskan Islam ,dan bersumber pada Al Qur'an serta As Sunah
• Berwawasan keindonesiaan dan kebangsaan
• Bertujuan, terbinanya lima kualitas insan cita
• Bersifat independen
• Berstatus sebagai organisasi mahasiswa
• Berfungsi sebagai organisasi kader
• Berperan sebagai organisasi perjuangan.
• Bertugas sebagai sumber insansi pembangunan bangsa.
• Berkedudukan sebagai organisasi modernis.
C. Tokoh-tokoh Pemula HMI
Pemrakarsa/pendiri HMI adalah Lafran Pane, Karnoto Zarkasyi, Dahlan Husein, Maisssaroh Hilal, Suwali, Yusdi Ghozali, Mansyur, Siti Zainah, M. Anwar, Hasan Basri, Marwan, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi dan Badron Hadi.
D. Faktor Penghambat
• Dari Persyarikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY)
• Dari Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII)
• Dari Pelajar Islam Indonesia (PII)
IV
FASE-FASE PERJUANGAN HMI DAN
RELEVANSINYA DENGAN PERJUANGAN BANGSA
1) Fase Konsolidasi Spiritual dan Proses berdirinya HMI (November 1946-4 Februari 1947)
2) Fase Berdiri dan Pengokohan (5 Feb 1947 - 30 Nov 1947)
Dalam rangka mengokohkan eksistensi HMI Maka diadakan berbagai aktivitas untuk popularisasi organisasi dengan mengadakan ceramah-ceramah ilmiah, rekreasi, malam-malam kesenian.Di bidang organisasi didirikan cabang-cabang baru seperti Klaten, Solo dan Yogyakarta.
3) Fase perjuangan bersenjata dan perang kemerdekaan, serta menghadapi penghianatan I PKI (1947-1949)
Untuk menghadapi pemberontakan PKI Madiun 18 September 1948, Ketua PPMI/ Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirto Sudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM), dengan komandan Hartono, Wakil Komandan Ahmad Tirto Sudiro, ikut membantu pemerintah menumpas pemberontakan PKI di Madiun, dengan mengerahkan anggota CM ke gunung-gunung memperkuat aparat pemerintah. Sejak itulah PKI menaruh dendam pada HMI.
4) Fase pembinaan dan pengembangan organisasi (1950-1963)
Sejak tahun 1950 dilaksanakan konsolidasi organisasi sebagai masalah besar dan pada bulan juli 1950 PB HMI dipindahkan dari Yogya ke Jakarta. Diantara usaha-usaha yang dilaksanakan selama 13 tahun yaitu: pembentukan cabang-cabang baru, menerbitkan majalah media, 7 kali kongres, pengesahan atribut HMI sebagai lambang, bendera, muts, Hymne HMI, merumuskan tafsir azas HMI, pembentukan Badko, menetapkan metode training HMI, pembentukan lembaga -lambaga HMI.
Dibidang ekstern: pendayagunaan PPMI, Menghadapi Pemilu I 1955, Penegasan independensi HMI, mendesak pemerintah supaya mengeluarkan UU Perguruan Tinggi, pelaksanaan pendidikan agama sejak dari SR sampai Perguruan Timggi dll.
5) Fase Tantangan
• Setelah Masyumi dan GPII berhasil dipaksa bubar, maka PKI menganggap HMI sebagai kekuatan ketiga umat Islam. Maka digariskan Plan 4 tahun PKI untuk membubarkan HMI, dimana menurut plan atau rencana itu HMI harus bubar sebelum Gestapu/PKI meletus.
• Dendam kesumat PKI terhadap HMI, menempatkan HMI sebagai organisasi yang harus dibubarkan karena dianggap sebagai penghalang bagi tecapainya tujuan PKI. Sementara itu HMI berhasil mengadakan konsolidasi organisasi, dimana HMI tampil sebagai organisasi yang meyakinkan
• Tujuan dan target pembubaran HMI adalah untuk memotong kader-kader umat islam yang akan dibina oleh HMI.
• Untuk membubarkan HMI dibentuklah panitia aksi pembubaran HMI di Jakarta (GMNI, IPPI, GERMINDO, GMD, MMI, CGMI) dll. Menjawab tantangan tersebut, Generasi Muda Islam yang terbentuk tahun 1964 membentuk panitia solidaritass pembelaan HMI.
• Dalih Pengganyangan terhadap HMI berupa fitnah dan hasutan sejak dari yang terbaik sampai yang terkeji, HMI dikatakan anti Pancasila, anti UUD 1945, anti PBR Soekarno dan lain-lain.
• Dukungan dan pembelaan terhadap HMI walaupun HMI dituntut dibubarkan oleh PKI,CGMI dan segenap kekuatan dan simpatisannya, namun para pejabat sipil maupun militer para pimpinan organisasi dan mahasiswa serta tokoh islam turut membela dan mempertahankan hak hidup HMI.Berdasarkan kebijaksanaan Panglima Besar Kotrar Presiden Soekarno dengan surat keputusan tanggal 17 September 1965, HMI dinyatakan jalan terus.
• Strategi HMI Menghadapi PKI menggunakan PKI (Pengamanan, Konsolidasi, Integrasi)
• Anti klimaks Gestapu meletus, ketajaman politik HMI telah mencium bahwa pemberontakan tersebut dilakukan PKI. PB HMI menghadap Pangdam V Jaya Mayor Jendja Umar Wira Hadi Kusumah dan menyatakan :Pemberontakan itu dilakukan oleh PKI, HMI menuntut supaya PKI dibubarkan, Karena pemberontakaitu menyangkut masalah politik ,maka harus diselesaikan secara politik, HMI akan memberikan bantuan apa saja yang diperlukan pemerintah untuk menumpas pemberontakan Gestapu PKI.
6) Fase kebangkitan HMI sebagai pejuang Orde Baru dan pelopor kebangkitan angkatan '66 (1966-1968)
• Tanggal 1 Oktober 1965 adalah tugu pemisah antara orde lama dengan orde baru. Apa yang disinyalir PKI, seandainya PKI gagal dalam pemberontakan HMI akan tampil kedua kalinya menumpas pemberontakan PKI betul-betul terjadi. Wakil ketua PB HMI Mar'ie Muhammad tanggal 25 Oktober 1965 mengambil inisiatif mendirikan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).
• Tritura 10 Januari 1966 : Bubarkan PKI, retool kabinet, turunkan harga. Kemudian Dikeluaarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966.Dan pada tanggal 12 Maret PKI dibubarkan dan dilarang.
• Kabinet Ampera terbentuk. Alumni HMI masuk dalam kabinet, dan HMI diajak hearing dalam pembentukan kabinet.
7) Fase partisipasi HMI dalam pembangunan (1969-sekarang)
Setelah Orde baru mantap dimulailah rencana pambangunan lima tahun oleh pemerintah. HMI sesuai dengan lima aspek telah memberikan sumbangan dan partisipasinya dalam pembangunan : 10 Partisipasi dalam pembentukan suasana, situasi dan iklim yang memungkinkan dilaksanakannya pembangunan, 20 partisipasi dalam pemberian konsep-konsep dalam berbagai aspek pemikiran, 30 partisipasi dalam bentuk langsung pembangunan.
8) Fase kebangkitan intelektual dan pergolakan pemikiran (1970-1994)
Pada tahun 1970 Nurcholis Majid menyampaikan ide pembaharuan dengan topik Keharusan Pembaharuan pemikiran dalam islam dan masalah integrasi umat. Sebagai konsekuensinya di HMI timbul pergolakan pemikiran dalam berbagai substansi permasalahan timbul perbedaan pendapat, penafsiran dan interpretasi. Hal ini tercuat dalam bentuk seperti persoalan negara islam, islam kaffah, sampai pada penyesuaian dasar HMI dari Islam menjadi Pancasila.
9) Fase Reformasi (1995-sekarang)
Secara historis sejak tahun 1995 HMI mulai melaksanakan gerakan reformasi dengan menyampaikan pandangan dan kritik kepada pemerintah. Sesuai dengan kebijakan PB HMI, bahwa HMI tidak akan melakukan tindaka-tindakan inkonstitusional dan konfrontatif.Koreksi pertama disampaikan Yahya Zaini Ketum PB HMI ketika menyampaikan sambutan pada pembukaan Kongres XX HMI di Istana Negara Jakarta tanggal 21 Januari 1995. Kemudian pada peringatan HUT RI ke-50 Taufik Hidayat Ketua Umum PB HMI menegaskan dan menjawab kritik-kritik yang memandang HMI terlalu dekat dengan kekuasaan. Bagi HMI kekuasaan bukan wilayah yang haram. Pemikiran berikutnya disampaikan Anas Urbaningrum pada peringatan Dies Natalis HMI ke-51 di Graha Insan Cita Depok tanggal 22 Februari 1998 dengan judul urgensi "reformasi bagi pembangunan bangsa yang bermarbat".
V
MASA DEPAN HMI, TANTANGAN DAN PELUANG
Kritikan terhadap HMI datang dari dalam maupun dari luar HMI. Kritikan itu sangat positif karena dengan kritikan HMI akan mengetahui kekurangan dan kesalahan yang diperbuatnya sehingga dapat diperbaiki untuk masa yang akan datang.Kritik terhadap HMI berupa : Independensi HMI, Kerja sama dengan militer, Sikap HMI terhadap Komunis,Tuntutan negara islam, adaptasi nasional, Dukungan terhadap rehabilitasi Masyumi,Penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya azas, Adaptasi rasional dan lain-lain. Melalui Kritikan itu Banyak pihak menilai kredibilitas HMI mengalami kemunduran. Untuk memulihkan kredibilitas tersebut, M Yahya Muhaimin Pada kongres XX mengemukakan konsep : Revitalisasi, Reaktualisasi, Refungsionalisai, Restrukturisasi. Anas Urbaningrum memberi terapi dengan: Politik etis HMI, Peningkatan visi HMI,Intelektualisasi, penguasaan basis dan modernisasi organisasi. Untuk mencapai tujuan HMI pelu dipersiapkan suatu kondisi sebagai modal untuk merekayasa masa depan sesuai dengan 5 kualitas insan cita HMI. Tantangan yang dihadapi HMI dan bangsa Indonesia sangat kompleks tetapi justru akan menjadi peluang yang sangat baik untuk memperjuangkan cita-cita nya sehingga menjadi kenyataan.
VI
PENUTUP
Dengan mengetahui sejarah masa lampau dapat diketahui kebesaran dan semangat juang HMI. Hal tersebut merupakan tonggak bagi HMI untuk meneruskan perjuangan para pendahulunya pada masa kini dan menuju hari esok yang lebih baik. Mempelajari HMI tidak cukup dengan mengikuti Training formal. Tetapi mempelajari dan menghayati HMI harus dilakukan secara terus menerus tanpa batas kapan dan di manapun. Dengan cara seperti itulah pemahaman dan penghayatan akan nilai-nilai HMI dapat dilakukan secara utuh dan benar.
Sumber : http://insancita.4t.com/seputarhmi/sejarah.html
2
19 Februari, 2011
HMI, SEBUAH KELAHIRAN..
...jika engkau meninggalkan sejarahmu yang sudah, engkau akan berdiri diatas vacuum, engkau akan berdiri diatas kekosongan dan lantas engkau menjadi bingung dan perjuanganmu paling-paling hanya akan berupa amuk, amuk belaka! Amuk seperti kera kejepit dalam gelap... (Soekarno, 1966)
KENAPA COBA?
64 tahun sudah Himpunan yang mulai surut dan tertinggal beberapa langkah dari organisasi mahasiswa lainnya yang jauh berusia lebih muda ini hidup dan bergerak di bumi republik yang berusia terpaut 2 tahun lebih tua darinya. Hari ini kita akan mencoba ngomong apa yang telah dilewatinya di masa yang jelas tidak pendek tersebut dengan tema yang biasa kita sebut dengan “Sejarah Perjuangan HMI”.
Kita akan berbicara sejarah namun dengan catatan keras bahwa kita tidak akan menjadikannya sebagai historical romance ataupun menjadikannya sebagai historical burden bagi generasi hari ini apalagi berusaha mengulanginya, kenapa? Tidak lain agar kita tidak mengalami historical amnest dan karena HMI adalah organisasi yang selalu berlandaskan pada historical consciousness. ya, masa lalu adalah masa lalu kondisi hari ini tentu berbeda dan kita tidak memiliki masalah dengan masa lalu, kita memiliki masa depan. Walaupun dalam beberapa hal continuum ruang dan waktu tidak pernah terputus, sederhananya mustahil ada hari ini tanpa kemarin dan tidak akan mungkin ada esok kalau hari ini tidak ada!
Pertama-tama kita akan bahas apakah sejarah itu? Menurut Murtadha Mutahhari, sejarah dapat didefinisikan ke dalam tiga cara, artinya ada tiga disiplin kesejarahan yang saling berhubungan erat; pertama, pengetahuan tentang kejadian-kejadian, peristiwa dan keadaan dimasa lampau, ini kita sebut dengan sejarah tradisional. Sejarah dalam pengertian ini merupakan pengetahuan tentang yang tertentu (pengetahuan tentang rangkaian episode pribadi/individual, bukan pengetahuan tentang hukum dan hubungan umum), selain itu ia merupakan telaah atas riwayat atau tradisi (bukan disiplin rasional), selanjutnya ia merupakan pengetahuan tentang ‘maujud’ bukan ‘menjadi’ juga pengetahuan tentang masa lampau bukan masa kini. Kedua, adalah apa yang disebut dengan sejarah ilmiah yaitu pengetahuan tentang hukum-hukum yang tampak menguasai kehidupan masa lampau, yang diperoleh melalui penyelidikan dan analisis atas peristiwa-peristiwa masa lampau. Obyek telaahnya memang peristiwa-peristiwa masa lampau namun seperti ilmu pengetahuan alam, umumnya sejarawan dalam persfektif ini mencoba untuk menganalisis, menyelidikinya guna menemukan hukum-hukum umum tertentu, melalui penyimpulan berkenaan dengan alam dan sifat-sifat bendawinya serta hubungan sebab akibatnya dan menemukan hukum-hukum umum dan semesta yang berlaku pada semua peristiwa serupa di masa lampau dan masa kini bahkan masa mendatang. Ketiga, adalah falsafah kesejarahan. Pengertian ini didasarkan pada pengetahuan tentang perubahan-perubahan bertahap yang membawa dari satu tahap ke tahap lain. Ia membahas hukum-hukum yang menguasai perubahan-perubahan ini. Dengan kata lain ia adalah ilmu tentang ‘menjadi’ masyarakat bukan ‘maujud’nya saja. Kata ‘kesejarahan’ dalam ‘falsafah kesejarahan’ bukan berarti pengertian ini berhubungan dengan masa lampau, melainkan berarti bahwa falsafah kesejarahan merupakan telaah tentang arus menerus yang berasal dari masa lampau dan terus mengalir menuju masa mendatang.
Maka dari itu ngomong sejarah adalah sangat penting—dalam konteks HMI, sejarah perjuangan HMI adalah salah satu materi wajib bagi kadernya—karena sejarah tidak saja sekedar gambaran perjalanan masa lalu tetapi juga cerminan bagi masa yang akan datang, karena sejarah pula orang akan mengenal dirinya, samen bundeling van alle revolutionaire krachten in de natie kata Soekarno, sejarah yang sama akan menjadi pengikat kekuatan suatu bangsa atau kelompok, sejarah juga menciptakan suatu lapangan yang membangkitkan kesadaran kemanusiaan. Ingat bahwa suatu bangsa atau organisasi bangkit dari sejarah dan melalui sejarah pula kita terbentuk. Al Qur’an sendiri menunjuk pada segi-segi bermanfaat kehidupan para saleh yang dipandangnya sebagai teladan yang patut ditiru seperti “Sungguh, pada diri Rasulullah itu kamu memiliki suri tauladan yang baik bagi siapapun yang merindukan Allah dan hari akhir, dan ia banyak mengingat Allah” (Qs. 33: 21) atau “Kamu memiliki satu contoh yang baik pada diri Ibrahim, dan mereka yang bersamanya..." (Qs. 60: 4). Sejarah yang akan mengingatkan kita pada mimpi, cita-cita dan tujuan kenapa kita berhimpun? Aku tau ngomong sejarah pasti cukup membosankan, tetapi aku tidak mau dengar ada yang ogah-ogahan karena kupikir beberapa alasan diatas cukup setimpal untuk satu yang bernama kebosanan, cukup setimpal...
SEDIKIT TENTANG AYAHANDA...
Lafran Pane(1) lahir di Padangsidempuan tanggal 5 Februari 1922(2) adalah anak bungsu dari enam bersaudara, dua tahun setelah Lafran kecil lahir ibunya meninggal dunia, ayahnya bernama Sutan Pangurabaan Pane(3), neneknya adalah adik dari ulama besar di Sipirok yaitu Syekh Badurrahman Pane. Dua abangnya, Sanusi Pane dan Armijn Pane, dicatat sebagai tokoh dan pelopor Pujangga Baru di lembar kesusasteraan Indonesia. Menurut cak Nur—panggilan ta’dzim kepada kakanda Prof. DR. Nurcholish Madjid—dalam diri Lafran terdapat suatu kearifan (wisdom) yang tersembunyi dan latent, yaitu kesadaran keangamaan dan kebangsaan yang inklusifistik. Pandangan ini jauh lebih luas dan bersifat melampaui primordialisme keagamaan konservatif.(4) karena tumbuh dikeluarga terpelajar menurut cak Nur, Lafran telah terbiasa dengan wawasan keagamaan-keindonesiaan modren dengan pandangan sosial-politik-religius yang serba meliputi. Namun kalau kita berspekulasi lebih jauh kata Prof. DR. Azyumardi Azra, MA., M.Phil.(5) kosmopolitanisme pandangan Lafran tidak hanya karena ia anak Sutan Pangurabaan Pane—tokoh pergerakan nasional “serba komplit”—melainkan lebih-lebih merupakan “buah” dari pergulatan Lafran kecil, remaja hingga menginjak dewasa yang tidak “normal”.(6) Hal lain antaranya disebabkan oleh situasi penjajahan yang memaksa Lafran muda ikut berpindah-pindah tempat mengikuti orang tuanya bertugas.
Sepanjang pengembaraannya itu Lafran Pane mengalami proses konversi kejiwaan yang radikal. Talenta insan kamilnya tergugah untuk mencari apa sebenarnya hakekat hidup, Lafran menyadari betul akan arti pentingnya kembali kepada keyakinannya yang mendasar, ia sering merenung dan tafakkur. Dasar agama yang didapat dari proses pendidikan, asuhan dan didikan agama serta jiwa nasionalisme yang ditanamkan ayahnya serta realitas masyarakat kampung halamannya yang taat melaksanakan ajaran agama semakin mendorong dirinya untuk kembali menemukan jati dirinya menjadi seorang muslim yang teguh. Pada desember 1945 Lafran pindah ke Yogyakarta, tidak lama berselang, 4 Januari 1946 Presiden dan Wakil Presiden hijrah ke Yogyakarta, yang kemudian menjadi ibukota Republik Indonesia.
Sekolah Tinggi Islam (STI) yang didirikan di Jakarta pindah ke Yogyakarta(7), Lafran mendaftar sebagai mahasiswa STI, disini pelajaran agama ia dapatkan lebih intensif dari dosen-dosen STI seperti Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Husein Yahya, H.M. Rasyidi, dll selain di bangku kuliah ia juga pelajari secara otodidak. Belum sempat tamat di STI atau UII pada 1948 Lafran pindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP). Tatkala Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada bersama Fakultas Kedokteran di Klaten, Surakarta, dan AIP Yogyakarta dinegerikan pada 19 Desember 1949 menjadi Universitas Gajah Mada (UGM), otomatis Lafran menjadi mahasiswa UGM pertama. Di UGM, AIP diubah menjadi fakultas Hukum Ekonomi Sosial Politik (HESP). Lafran Pane adalah mahasiswa yang lulus pertama, memperoleh gelar sarjana dalam ilmu politik (Drs.) pada 26 Januari 1953.
Itu mungkin sedikit tentang siapa ayahanda Lafran Pane dan perjalanan hidupnya dalam mencari jati diri yang jelas akan sangat susah di gambarkan dengan tulisan dalam beberapa carik kertas, namun yang lebih penting sebagaimana diakui secara jujur oleh Sudjoko Prasodjo bahwa “sesungguhnya tahun-tahun permulaan riwayat HMI hampir identik dengan kehidupan Lafran Pane sendiri. Karena dialah yang memegang andil terbanyak pada mulabuka lahirnya HMI, untuk tidak menyebutnya sebagai pendiri utamanya.”(8) atau tidak berlebihan mungkin seperti kata Cak Nur bahwa Lafran Pane adalah seorang “visioner jenius pada abad ke-20” dan seorang inovator yang lahir 100 tahun mendahului zamannya.(9)
IDE DASAR DAN LATAR BELAKANG...
Sebagaimana ditulis diatas bahwa kelahiran HMI tidak terlepas dari peran Lafran Pane sebagai pemrakarsa pendiri, maka menjadi wajib bagi kita untuk mengetahui ide dasar, gagasan awal atau pemikiran tentang berdirinya HMI, dimana pemikiran jelas tidak mungkin muncul tanpa konteks, tentang pemikiran ini bisa kita lacak dari tulisan Lafran Pane dalam menyambut Kongres Muslimin Indonesia yang diadakan di Yogyakarta tanggal 20-25 Desember 1949 dengan judul “Keadaan dan Kemungkinan Islam di Indonesia” yang ditulis tanggal 12 Desember 1949.
Ada beberapa pokok pikiran yang bisa kita catat dalam tulisan itu yakni; Pertama, bahwa manusia memiliki banyak sifat asasi diantaranya adalah manusia sebagai makhluk sosial dan sifat contoh mencontoh. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa melepaskan diri dari masyarakat, maka ia harus bisa menyelaraskan dirinya dalam kehidupan masyarakat atau mengubah masyarakat sebagaimana kehendaknya. Dalam sifat mencontoh, manusia tidak akan mencontoh apa yang dianggapnya jelek atau dipandangnya lebih rendah darinya. Kedua, akibat tindasan dan pendidikan Belanda, umumnya bangsa Indonesia merasa lebih rendah derajatnya dari bangsa itu dan bangsa barat lainnya. Padahal kalau agama Islam diterapkan dalam kehidupan masyarakat di segala lini, tidak mungkin Belanda menjajah dan mengeksploitasi kita begitu lama. Ketiga, kondisi umat Islam indonesia yang terbagi menjadi 3 golongan, yaitu; golongan alim ulama yang mempraktekkan ajaran agama sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. yang tidak lepas dari kondisi masyarakat arab yang sebenarnya berbeda kondisi dengan masyarakat Indonesia, golongan ini mengganggap bahwa bangsa arab lebih tinggi derajatnya, akhirnya mereka mencoba hidup seperti orang arab karena hidup golongan ini sangat tertutup maka hampir tidak ada perubahan dalam pikiran mereka. Berikutnya, golongan alim ulama yang terpengaruh mistik, golongan ini berorientasi pada akherat, tidak memikirkan dunia apalagi perubahan. Mereka bahkan berpandangan hidup miskin dan menderita adalah jalan bersatu dengan Tuhan. Golongan terakhir adalah golongan kecil yang mencoba menyesuaikan perkembangan zaman. Mereka berusaha supaya agama itu benar-benar dapat dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat. Dalam suatu masyarakat dimana berada bermacam aliran kebudayaan, maka timbullah perjuangan antara satu mempengaruhi yang lain dan masing-masing berlomba mencari penganut. Demikianlah kebudayaan Islam pun akan menghadapi tantangan itu kalau ingin hidup sewajarnya, diantaranya yang terbesar adalah; (1). Aliran kebudayaan barat yang diwakili Amerika dan Belanda, (2). Komunisme dan Sosialisme, (3). Agama kristen yaitu Katolik dan Protestan, (4). Aliran kebudayaan kebangsaan yang cenderung sosialisme (marxisme) dan dikembangi sedikit oleh kebatinan dan kesusilaan (Hindu Jawa). Aliran kesatu, dua dan tiga sangat kuat organisasinya, dan juga materi tenaga seperti keuangan, alat-alat dll. Melihat kondisi umat islam indonesia seperti diatas maka menurut Lafran Pane kita harus melakukan Pembaharuan selain agar tidak tersingkir dari beberapa aliran diatas. Maka untuk melakukan gerakan pembaharuan mutlak dibutuhkan alat perjuangan yang berupa organisasi, karena gerakan tidak bisa dilakukan sambil lalu melainkan harus dengan suatu usaha yang teratur dan berencana.(10)
Dalam Seminar Sejarah HMI di Malang tanggal 27-30 November 1975 ada dua buah tulisan yang membahas mengenai Latar Belakang berdirinya HMI yang kemudian dijadikan bahan dalam Buku Pedoman Latihan Kader I HMI11 yakni tulisan A. Dahlan Ranuwiharja, Ahli Stratak HMI, Ketua Umum PB HMI periode 1953-1955 dan tulisan Agus Salim Sitompul, Sejarahwan HMI, Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta periode 1968-1969. Dari kedua buah tulisan tersebut dapat kita simpulkan, bagaimana latar belakang kelahiran atau berdirinya HMI, yaitu sebagai berikut;
Pertama, Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) yang berdiri bulan Oktober 1946 yang terdiri dari mahasiswa STT, STI dan BPT gajah Mada—dan Syerikat Mahasiswa Indonesia (SMI) terdiri dari mahasiswa Klaten, Solo dan Jakarta—yang cenderung sekuler dan berhaluan komunis sehingga kehidupan mahasiswa jauh dari sentuhan spiritual disamping itu PMY tidak memperhatikan kepentingan mahasiswa beragama (dengan begitu gerakan untuk memunculkan organisasi mahasiswa Islam yang didorong oleh alasan untuk menampung aspirasi mahasiswa Islam akan kebutuhan, pemahaman, penghayatan keagamaan yang aktual baru muncul di akhir November 1946).
Kedua, Polarisasi politik akhir tahun 1946 sampai awal 1947 khususnya di ibukota RI Yogyakarta, antara Pemerintah (dipelopori oleh Partai Sosialis, Pimpinan Syahrir Amir Syarifudin) yang menitikberatkan perjuangan memperoleh pengakuan kedaulatan RI dengan cara diplomasi dan Pihak Oposisi (yang dipelopori Masyumi, PNI dan Persatuan Perjuangan) dengan perjuangan bersenjata.
Ketiga, Dominasi Partai Sosialis terhadap PMY—karena PMY sedari awal lebih berorientasi pada Partai sosialis—akhirnya membawa pada polarisasi gerakan mahasiswa. penentangan terhadap dominasi PMY oleh partai sosialis tidak cuma datang dari mahasiswa Islam tapi juga mahasiswa Katolik, Kristen dan mahasiswa yang berwarna polos. (disinilah kemudian momen tepat untuk membuat organisasi mahasiswa Islam karena pada akhir 1946 alasan kenapa tidak melakukannya adalah pada saat itu dibutuhkannya persatuan disamping memang akan sangat tidak simpatik ketika potensi mahasiswa digalang untuk mempertahankan negara RI. Dan penentangan mahasiswa terhadap dominasi Partai Sosialis kelak melahirkan HMI, PMKRI, GMKI, PMI yaitu organisasi mahasiswa “polos”).
Keempat, Suasana bangsa Indonesia yang tengah mengalami masa revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan disamping itu perlunya persatuan mahasiswa dalam menghadapi Agresi Militer Belanda,—dibentuknya Perhimpunan Persyerikatan-persyerikatan Mahasiswa Indonesia (PPMI) oleh Kongres Mahasiswa Seluruh Indonesia di Malang tanggal 8 Maret 1947—. (kita pasti tidak lupa dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda tanggal 27 Desember 1949 yang bagi kita adalah Pengakuan Kedaulatan karena kita telah memproklamirkan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 namun bagi Belanda adalah Penyerahan Kedaulatan dan tidak mengakui Proklamasi 17 Agustus 1945 sehingga dalam paruh 45-49 masih melakukan Agresi Militer I dan II bulan Juli 1946 dan Desember 1948).
Kelima, Tenggelamnya ruh dan semangat Islam dalam mahzabisme, sufisme dan tertutupnya pintu ijtihad. Namun disamping itu bangkitnya Islam yang dimulai dari dunia arab berupa gerakan reformasi dan modernisasi dalam tata kehidupan keagamaan umat Islam dan resonansinya mengilhami dan mendorong umat Islam Indonesia untuk bangkit, kebangkitan terlihat dari munculnya Serikat Dagang Islam, Muhammadiyah, Al-Jamiatul Wasliyah, Persatuan Umat Islam, Persatuan Islam dan Masyumi.
Keenam, Terjadinya krisis keseimbangan dikalangan mahasiswa akibat perguruan tinggi yang tidak mengintegrasikan antara disiplin Ilmu dan Agama.(kelak integrasi Ilmu-Agama akan melahirkan konsepsi Ulama-Cendikiawan, Cendikiawan-Ulama)(12)
Akhirnya setelah “menahan diri” selama 3 bulan 15 orang mahasiswa STI Tingkat I Yogyakarta—yang kemudian ditetapkan sebagai pendiri HMI—telah berketetapan hati mengambil keputusan pada hari Rabu Pon 1878, 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan 5 Februari 1947 di Kampus STI pada jam kuliah tafsir dari bapak Husein Yahya pukul 16.00, menetapkan berdirinya organisasi “Himpunan Mahasiswa Islam” disingkat HMI, yang bertujuan; a. Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan Mempertinggi Derajat Rakyat Indonesia, b. Menegakkan dan Mengembangkan Agama Islam.(13)
Kelahiran HMI yang hanya berselang 2 tahun dari proklamasi kemerdekaan, cukup menggambarkan suasana revolusioner kala itu, bagaimana HMI juga ikut mempertahankan kemerdekaan membuktikan bahwa HMI adalah anak kandung revolusi dan anak kandung umat Islam yang gelisah atas gelagat sejarah yang jauh dari nuansa keagamaan, sedang dari latar belakang yang digambarkan diatas, dapat terlihat bahwa ketika organisasi ini lahir cenderung menempatkan diri sebagai Anak Umat dan Anak Bangsa sekaligus. Namun bagaimanapun juga HMI lebih menempatkan diri sebagai Anak Umat dari pada Anak Bangsa, ini tak terelakkan lagi setelah 9 bulan HMI berdiri dengan dilaksanakannya Kongres I HMI di Yogyakarta, 30 November 1947 yang memutuskan rumusan tujuan mengalami perubahan, sehingga berbunyi; a. Mempertegak dan mengembangkan ajaran agama Islam, b. Mempertinggi derajat rakyat dan negara Republik Indonesia(14) Dalam perjalanan selanjutnya rumusan tujuan tersebut lebih dikenal dengan istilah komitmen keislaman dan komitmen keindonesiaan.
Billahittaufiq Wal Hidayah.
Catatan
1) Biografinya pertama kali ditulis oleh Sudjoko Prasojo di Majalah Media terbitan PB HMI Nomor 7 tahun III, Rajab 1376 H/Februari 1957, halaman 32. Tulisan ini menjadi sangat penting bahkan menjadi sumber sejarah yang paling lengkap yang dijadikan landasan Kongres ke-11 HMI di Bogor tahun 1974, yang menetapkan Lafran Pane sebagai Pemrakarsa Pendiri HMI, pengukuhannya berdasarkan kesaksian sejarah. Selain diujudkan dalam Ketetapan Kongres Nomor XIII/K-XI/1974, juga diujudkan Piagam yang terbuat dari Perunggu dibungkus kaca, yang ditandatangani Ketua Umum PB HMI Akbar Tanjung dan Sekretaris Jendral PB HMI Gambar Anom. Lihat Agus Salim Sitompul, Historiografi Himpunan Mahasiswa Islam Tahun 1947-1993 (Jakarta : Intermasa, 1994) hal.32-33
2) Untuk menghindari berbagai macam tafsiran, karena bertepatan dengan tanggal berdirinya HMI, Lafran Pane mengubah tanggal lahirnya menjadi 12 April 1923. Hal ini untuk pertama kali diungkapkan Dra. Tetty Sari Rakhmiati, putri bungsu Lafran Pane yang didampingi abangnya Ir. M. Iqbal Pane dan Bu Lafran Pane pada tanggal 25 Januari 1991 ketika jenazah almarhum Lafran Pane menjelang dimakamkan. Ibid., 4 hal.37
3) Seorang tokoh pergerakan nasional di Kecamatan Sipirok khususnya di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Sumatera Utara pada umumnya. Sipirok terletak 38 km dari Padangsidempuan, ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan. Sutan Pangrabaan adalah tokoh Partindo (Partai Indonesia) di daerah Sumatera Utara, berprofesi sebagai wartawan dan penulis. Disamping itu beliau juga seorang pengusaha, menjabat sebagai direktur jasa angkutan ODP (Oto Dinas Pengangkutan) sibualbuali, yang berdiri 1937 dan berkedudukan di Sipirok. Dalam pergerakan Islam, Sutan Pangurabaan termasuk salah seorang pendiri Muhammadiyah di Sipirok pada 1921. Lihat Agus Salim Sitompul, Menyatu dengan Umat, Menyatu dengan Bangsa; Pemikiran Keislaman-Keindonesiaan HMI (1947-1997) (Jakarta : Logos, 2002). hal.45
4) Nurcholish Madjid, “HMI, dari Anak Umat ke Anak Bangsa,” dalam Ramli H.M. Yusuf (ed.), 50 Tahun HMI Mengabdi Republik (Jakarta : LASPI, 1997), hal. 114
5) Ketua Umum HMI Cabang Ciputat periode 1981-1982 sekarang Rektor Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
6) Pendidikan awal Lafran ditempuh di Pesantren Muhammadiyah Sipirok, kemudian masuk sekolah desa selama 3 tahun (tidak tamat) lantas ke H.I.S Muhammadiyah di Sibolga, kembali lagi ke Sipirok masuk Ibtidaiyah dengan tingkat Al-Wustha (tingkat menengah). Di Al-Wustha Lafran tidak bertahan lama dia pindah ke Taman Antara Taman Sipirok, kemudian berpindah ke Sekolah yang sama di Medan, kehidupannya di tanah Deli ini bertambah merosot. Lafran dikeluarkan sebelum sempat menamatkan sekolahnya. Dia meninggalkan rumah kakaknya Ny. dr. Tarip, dan Lafran hidup bertualang di sepanjang jalan kota Medan, tidur tidak menentu, kadang-kadang sudah tergeletak di kaki lima, di emper-emper pertokoan. Untuk menyambung hidupnya, Lafran menjual karcis bioskop, main kartu, menjual es lilin,dll.
Tahun 1937 Lafran hijrah ke Jakarta, dibawah asuhan abangnya Sanusi Pane dan Armijn Pane. Di sini ia masuk H.I.S lantas ke MULO Muhammadiyah, seterusnya masuk ke A.M.S. Muhammadiyah. Dari pendidikan Muhammadiyah ia pindah lagi ke Taman Dewasa Raya Jakarta—disini Lafran bertemu Djakfar Nawawi (DN) Aidit yang kemudian berganti nama Dipa Nusantara (DN) Aidit—sampai pecah Perang Dunia II pada tahun 1941. Di sekolah yang pernah dimasukinya Lafran tercatat sebagai murid cerdas walau nakalnya luar biasa. Tahun 1942 Lafran pulang ke kampung halamannya sebagai Pokrol. Nasib malang menimpanya, dia difitnah dan dituduh memberontak kepada jepang dengan tuntutan hukuman mati. Berkat pengaruh ayahnya dan wibawa ayahnya Lafran tidak jadi dihukum mati. Lafran belum menyerah pada tahun 1943 dia merantau ke Jakarta untuk kedua kalinya. Ibid., hal. 45-46
7) STI didirikan di Jakarta 8 Juli 1945. Karena ibukota RI hijrah ke Yogyakarta, maka STI pun ikut pindah. Setelah perpindahan itu baru pada 10 April 1946 STI dibuka kembali secara resmi yang memiliki Fakultas Agama, Hukum, Pendidikan dan Ekonomi. Pada 10 Maret 1948 STI diubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).
8) Lihat Azyumardi Azra, “Mengabdi Republik, Memberdayakan Umat. Apresiasi atas Pemikiran Keislaman dan Kiprah Keindonesiaan HMI” dalam Agus Salim Sitompul, Menyatu dengan Umat, Menyatu dengan Bangsa; Pemikiran Keislaman-Keindonesiaan HMI (1947-1997) (Jakarta : Logos, 2002). hal.xiv
9) Lihat Nurcholish Madjid, “HMI Sebuah Gejala Keislaman dan Keindonesiaan” dalam Agus Salim Sitompul, Pemikiran HMI, hal.vi
10) Lihat Lafran Pane, “Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia” dalam Agus Salim Sitompul, ed., HMI Mengayuh di antara Cita dan Kritik. (Yogyakarta : Aditya Media, 1997) hal.3-6
11) Sebagai hasil dari pemikiran, pendapat dan pandangan maka Sidang Pleno Seminar Sejarah HMI, telah menuangkan tentang motivasi dan latar belakang berdirinya HMI. Proses berdirinya dan pendiri HMI dalam Ketetapan Seminar Sejarah HMI No. 001/SS-HMI/1975 dengan formulasi sederhana.
12) Lebih jelas lihat Hasil Kongres XXIV HMI
13) Kelima belas orang pendiri itu adalah; Lafran Pane, Kartono Zarkasi, Dahlan Husein, Maisaroh Hilal, Soewali, Yusdi Ghozali, Mansyur, Siti Zainah, M. Anwar, Hasan Basri, Marwan, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi dan Bidran Hadi. Lihat Agus Salim Sitompul, Historiografi Himpunan Mahasiswa Islam Tahun 1947-1993 (Jakarta : Intermasa, 1994) hal.156-157
14) Bandingkan dengan rumusan tujuan hasil rapat 5 Februari 1947, Pasal 4 Anggaran Dasar hasil Kongres I ini membalik angkanya saja b) menjadi a) dan a) menjadi b). rumusan tujuan ini kemudian mengalami perubahan lagi pada Kongres IV di Bandung, Oktober 1955 dengan pertimbangan akan kurang tepat jika memposisikan HMI sebagai organisasi massa apalagi kekuatan politik (praktis), sehingga disepakati memfungsikan HMI sebagai organisasi Kader. Dengan demikian rumusan tujuan menjadi “Ikut mengusahakan terbentuknya manusia akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan Islam”. Namun dalam perjalanan HMI selanjutnya terasa ada yang kurang dari rumusan tujuan tersebut yakni fungsi lebih lanjut dari “manusia akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan Islam” itu serta di bumi apa insan cita itu hidup dan bergerak. Karena itu pada Kongres X di Palembang, Oktober 1971 melengkapi rumusan tujuan tersebut sambil memperbaiki redaksinya sehingga berbunyi “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah Subhanahu Wa Ta’ala." Dimana rumusan tujuan itu dikokohkan dalam kongres-kongres berikutnya sampai yang terakhir Kongres XXVII di Depok, Nopember 2010.
Sumber : http://minsatu.blogspot.com/2011/02/hmi-sebuah-kelahiran.html
3
Sejarah HMI dari Zaman Kemerdekaan Sampai Reformasi
Oleh M. Chozin Amirullah
Harian Kedaulatan rakyat tertanggal 28 Februari 1947 memuat sebuah berita demikian : “Baru-baru ini di Yogyakarta, telah didirikan Himpunan Mahasiswa Islam. Anggota-anggotanya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa seluruh Indonesia yang beragama Islam. Perhimpunan akan menjadi anggota Kongres Mahasiswa Indonesia. Sekretariat : Asrama Mahasiswa, Setyodinigratan 5 Yogyakarta”. Hanya ini pemberitaan yang kita dapati dari pers, sehubungan dengan berdirinya HMI.
Rabu Pon, 14 Rabiulawal 1366 H atau bertepatan dengan 5 Februari 1947 M pukul 16.00 WIB, lahir sebuah organisasi mahasiswa yang kelak menjadi wadah perkaderan bagi calon-calon pemimpin bangsa. Di tengah pergolakan nasional mempertahankan kemerdekan dan polarisasi kaum terpelajar ke dalam paham sosialisme, HMI muncul sebagai organisasi mahasiswa pertama yang memakai label Islam. HMI adalah singkatan dari Himpunan Mahasiswa Islam yang ide pertamanya dikemukakan oleh Lafran Pane. Bertempat di salah satu ruang kuliah Sekolah Tinggi Islam/STI (sekarang UII), Jl. Setyodiningratan 30 (Sekarang P. Senopati 30), Lafran Pane, sebagai penggagas pertama HMI memanfaatkan jam kuliah tafsir Alqur’an yang diasuh oleh Prof. Husein Yahya untuk mendeklarasikan pembentukan HMI. Dengan berdiri tegak di hadapan kelas yang dihadiri oleh lebih kurang 20 mahasiswa, ia membacakan prakata sebagai berikut: “Hari ini adalah rapat pembentukan organisasi mahasiswa Islam, karena seluruh persiapan maupun perlengkapan yang diperlukan sudah siap…”. Acara deklarasi tersebut selesai seiring dengan terbenamnya matahari di ufuk barat. Sejak itu HMI secara resmi berdiri dengan beberapa tokoh pendiri antara lain: Lafran Pane, Kartono, Dahlan Husein, Anton Timur Djaelani, Yusdi Ghozali dan lain-lain.
Berbicara mengenai berdirinya HMI, maka kita tidak akan lepas dari sosok yang paling berperan yaitu Lafran Pane. Lafran Pane dilahirkan di Tapanuli Selatan pada tahun 1925. Beliau adalah satu keluarga dengan Sanusi Pane dan Armyn Pane (penyair angkatan Pujangga Baru). Masa mudanya dipenuhi dengan petualangan dan pergulatan pemikiran yang amat keras, sehingga Lafran Pane muda dikenal dengan tingkah lakunya yang aneh dan ide-idenya sangat cerdas namun seringkali tidak sistematis. Pendidikan agamanya diawali di lingkungan Islam tradisionalis Sumatera. Metode pembelajaran agama dengan pengenalan sifat dua puluh (konsep ini sama dengan model pembelajaran agama yang diterapkan oleh NU di Jawa) dikecap Lafran Pane waktu kecil. Setelah menginjak dewas, Lafran Pane kemudian melanjutkan pendidikan formalnya di sekolah-sekolah modern milik Muhammadiyah (Sitompul 1976). Semenjak berdirinya, HMI merupakan organisasi independen yang berbasis mahasiswa dengan mengutamakan kebebasan berpikir dan bertindak sesuai dengan hati nurani. Komitmen pada perjuangan Islam dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan idealisme yang selalu dipegang teguh oleh para kader HMI, Hal ini sebagaimana tercantum dalam tujuan awal pembentukan HMI :
1. Mempertahankan Negara republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia.
2. Menegakkan dan mengembangkan Agama Islam
I
Latar Belakang Berdirinya HMI
a. Situasi Pergolakan Nasional
HMI berdiri pada saat dimana Indonesia harus mempertahankan kemerdekaan yang direbutnya pada tanggal 17 Agustus 1945 dari tangan penjajah. Keinginan untuk menjajah kembali, menjadikan Belanda datang lagi setelah Jepang bertekuk lutut di hadapan tentara sekutu. Dengan menumpang pasukan Sekutu yang mendarat pada tanggal 29 September 1945, Belanda kembali ke Indonesia dan melakukan serangan-serangan atas beberapa wilayah Indonesia. Perang kembali berkobar dan teriakan-teriakan “Allahu Akbar” kembali menggema, memberikan semangat pada pejuang-pejuang Indonesia.
Beberapa perlawan dilakukan oleh bangsa kita, diantaranya adalah: Pertempuran 5 hari di Semarang (15-20 Oktober 1945), Pertempuran 15 Oktober 1945 di Padang, Pertempuran 7 Oktober 1945 di Kotabaru, Yogyakarta, dan puncaknya adalah Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Semuanya adalah dalam rangka mempertahankan bumi pertiwi dari tangan para penjajah. Selain perlawanan fisik, perlawanan dengan cara diplomasipun dilakukan. Dengan mengikuti perundingan Lingar Jati, Renville dan KMB (Konferensi Meja Bundar), para pemimpin kita berusaha menggunakan cara-cara moderat dan anti kekerasan untuk menjaga kesatuan wilayah nusantara.
Perundingan Linggar Jati dilakukan pada tanggal 25 maret 1947, menghasilkan kesepakatan tentang eksistensi wilayah Indonesia yang hanya meliputi: Jawa, Madura dan Summatera, serta pengakuan terhadap terbentuknya Negara Indonesia Serikat (RIS). Terlepas dari pro dan kontranya hasil perundingan itu, di kalangan tokoh-tokoh pergerakan waktu itu, perundingan ini merupakan sebuah kemajuan bagi perjuangan pergerakan bangsa kita. Pasca perundingan, di tubuh kabinet terjadi perpecahan. Partai sosialis (yang memimpin kabinet) terpecah menjadi dua, yaitu sosialis demokrat yang dipelopori oleh Sutan Syahrir dan sosialis revolusioner (PKI) dengan tokohnya Amir Syarifuddin. Perpecahan ini berimbas diturunkannya Syahrir dari kursi perdana menteri dan digantikan oleh Amir Syarifuddin. Penggantian ini menimbulkan kemarahan di kalangan Masyumi dan termasuk HMI. Dengan demonstrasi-demonstrasi yang dilakukanya HMI bersama kekutan Islam lain, mereka menuntut dibubarkannya kabinet Amir Syarifuddin. Dasar penjajah, secara sepihak Belanda melakukan pelanggaran terhadap hasil-hasil perundingan itu. Tanggal 29 Juni 1947, Belanda melakukan agresi militer I dengan mengultimatum pengakuan wilayah Belanda atas Indoesia. Maka dengan segala kegigihan semangatnya, TNI yang dipimpin oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman melakukan perang gerilya di hutan-hutan dan pegunungan. Perlawanan ini berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian Renville di atas geladak kapal Renville milik AS.
Poin penting dari perundingan tersebut adalah diadakanya gencatan senjata sambil menunggu perundingan lebih lanjut. Secara umum, hasil perundingan ini tidak memuaskan para pemimpin bangsa Indonesia waktu itu. Oleh kubu yang menentangnya, perundingan ini dijadikan sebagai alat untuk memukul balik Amir Syarifuddin dengan mengatakannya sebagai sebuah kemunduran dan kegagalan kabinetnya. Atas kegagalan ini, kabinet Amir Syarifuddin kemudian diganti dengan kabinet baru pimpinan Mohammad Hatta yang mendapat dukungan dari kalangan Islam, termasuk dari HMI.
Tentu saja penggantian pergantian dari kabinet Amir Syarifuddin ke kabinet Mohammad Hatta ini sangat mengecewakan PKI dan para pengikutnya. Mereka berpikir keras bagaimana mengembalikan kekuasaan yang sebelumnya sudah di tangan, melalui Amir Syarifuddin. Kepulangan salah satu kader PKI, Muso, dari tugas belajarnya di Uni Sovyet (sekarang Rusia) menjadikan PKI seakan mendapatkan ruh barunya. Muso mampu memberikan pijakan ideologis yang kuat bagi PKI. Muso mengimpikan menjadikan Indonesia sebagai negara komunis murni, yang merupakan sebagai bagian dari Komunisme Internasional (Komintern). Duet Amir dan Muso inilah yang kemudian menjadikan PKI semakin radikal dan berani. Hatta dianggap sebagai representasi kaum borjuis yang kontra revolusi dan merupakan antek-antek kapitalis.
Klimaksnya adalah peristiwa berdarah, Madiun 1948, yang mengakibatkan hilangya lebih dari 150.000 nyawa anak bangsa tak berdosa. Waktu itu, PKI berhasil memobilisir massa petani Madiun untuk melakukan perlawanan terhadap negara. Konflik petani yang pada mulanya hanya perebutan atas tanah (yang kebanyakan dikuasai oleh golongan beragama dan nasionalis) berubah menjadi konflik antar kelompok pengikut komunis dan non-komunis, bahkan antar golongan agama dan non-agama (Juliantara 199). HMI sebagai bagian dari kelompok yang anti komunis terlibat dalam konflik ini. Dalam rangka penumpasan PKI di Madiun, HMI mengirimkan kader-kadernya dikirim ke Madiun. Mereka tergabung dalam CMI (Corps Mahasiswa Indonesia) yang dipimpin oleh Achmad Tirto Sudiro.
Pasca konflik di Madiun, lagi-lagi Belanda mengkhianati perjanjian. Secara sepihak Belanda membatalkan perjanjian Renville dan melakukan penyerangan mendadak pada tnggal 19 Desember 1949 di Yogyakarta (terkenal dengan Agresi Milter II). Beberapa tokoh penting seperti Sukarno, Hatta, Agus Salim dan lainya ditangkap dan diasingkan. Beruntunglah pemerintah cekatan bertindak dengan segera membentuk pemerintahan Darurat di Summatera yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara. Maka secara de jure pemerintahan Indonesia masih eksis, meskipun Ibu Kotanya dikuasai oleh tentara gabungan (NICA) pimpinan Belanda.
Tanggal 23 Agustus s.d. 2 November 1949, atas instruksi PBB, diadakanlah Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda. Dalam perundingan itu diputuskan pengakuan kedaulatn Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tangga 10 Desmber 1949. Melalui momen inilah kemerdekaan Indonensia, yang sudah dideklarasikan 17 Agustus 1945, kembali direbut dan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kembali berdaulat.
b. Kondisi Pergerakan Islam
Abad ke-19 merupakan abad modern dalam sejarah perkembangan peradaban Islam. Abad ini ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran modern Islam yang mengilhami gerakan revivalisme Islam sebagai counter dari kuatnya hegemoni Barat terhadap peradaban dunia. Pemikir-pemikir Islam yang banyak dikenal pada masa itu misalnya adalah Jamalauddin Al-Afgani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1915), Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), M. Iqbal (1876-196) dan sebagainya. Melalui karya-karya dan gerakannya meraka mengilhami munculnya gerakan revivalisme Islam di berbagai negara. Beberapa gerakan revivalis yang Muncul adalah Pan Islamisme, Jemi’at Al-Islami, Ikhwanul Muslimin dan sebagainya. Beberapa diantara pemikiran tersebut kemudian sampai ke Indonesia melalui tokoh-tokoh Islam Indonesia yang belajar ke timur. Hasim Asy’ari (NU), Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), dan A. Hassan (Persis) merupakan beberap tokoh pelopor yang besar dan terdidik di Timur Tengah dan kemudian kembali ke Indonesia mendirikan organisasi ke-Islaman seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Persatuan Islam (PERSIS).
Di sisi lain, penerapan politik etis (Etische Politiek) oleh Belanda semakin memberikan kesempatan kepada para tokoh pribumi untuk mendapatkan pendidikan di Barat. Berbekal pendidikan inilah lantas tak sedikit kaum pribumi mulai dapat menyerap narasi-narasi besar (nansionalisme, demokrasi dan sosialisme) yang telah lebih dahulu berkembang di negeri lain. Mereka mulai mempelajari metode perjuangan terorganisasi, bahkan kemudian mempelopori gerakan penyadaran rakyat secara terorganisasi sebagai salah satu alat perjuangan (Purwanto 1999).
Tersebutlah beberapa organisasi pergerakan Islam seperti yang lahir pada fase itu: Serikat Dagang Islam (1908), Sarikat Islam (1912), Muhammadiyah (1912), Persatuan Ummat Islam (1917), Persatuan Islam (1923), Nahdlatul Ulama (1926), Al-jami’atul Wasliyyah (1930) Perti, dan Al Irsyad (1931), yang mempelopori era baru perjuangan kemerdekan Indonesia secara lebih terorganisir. Meskipun pada mulanya organisasi-organisasi tersebut hanya bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan saja, akan tetapi sesuai dengan tuntutan perkembangan bangsa yang berkeinginan untuk segera mencapai kemerdekaannya, beberapa organisasi itu kemudian berubah menjadi partai politik.
Salah organisasi kemasyarakatan Islam yang berubah menjadi partai politik adalah Sarekat Islam (SI). Pada tahun 193, SI berubah menjadoi Partai Sarikat Islam Indonesia atau disingkat PSII. Platform Islam sosialis atau Islam populis yang digagas oleh tokoh SI, HOS Cokroaminoto, mengalami kontraksi ideologis Ketika faksi-faksi SI yang lebih sekuler dan radikal berusaha menarik SI ke dalam wacana Sosialisme-Marxisme. Hendrik Sneevliet, pimpinan pusat Partai Sosialis di Belanda, bahkan sempat mengintrusikan beberapa orangnya masuk ke tubuh SI untuk tujuan ini. Semaun dan Darsono adalah dua orang yang berhasil dipengaruhinya. Sebagai pimpinan SI cabang Semarang, mereka berhasil membawa SI Cabang Semarang keluar dari hierakhi struktur SI dan masuk ke haluan komunis. Hal inilah yang kemudian menjadika SI terbelah menjadi dua, yaitu: SI merah, yang berhaluan komunis, dan SI putih, yang tetap berhaluan Islam.
SI merah kemudian dikenal dengan Sarekat Rakyar (SR) dan menjadi embrio lahirnya PKI (23 Mei 1923), sedangkan SI putih, meski secara formal adalah SI yang asli, namun dalam perkembangannya mengalami gejala konservatisasi ideologi dan bergerak ke arah lebih kanan. Akibatnya SI mengalami kemerosotan luar biasa (Purwanto 1999). Karena mengalami degradasi, SI putih kemudian berubah menjadi PSII (Paerai Serikat Islam Indonesia) dan pada era pasca kemerdekaan lalu melebur bersama organisasi Islam yang lain ke dalam Masyumi.
Puncak dari massifikasi perjuangan keorganisasian Islam adalah lahirnya Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) pada tahun 1945. Masyumi sebagai sebuah partai politik, lahir dari hasil dari Muktamar I Ummat Islam Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 7 November 1945. Pada mulanya Masyumi bukanlah merupakan sebuah partai politik, akan tetapi merupakan wadah tunggal yang dibentuk oleh pemerintah Jepang bagi ummat Muslim untuk mengkooptasi kekuatan-kekuatan Islam. Waktu itu namanya adalah MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang dipimpin oleh K.H. Hasyim As’ari (pendiri NU). Masyumi bisa menjadi payung bagi seluruh ummat Islam karena terbentuk dari gabungan beberapa organisasi Islam yang berbeda-beda. Dalam Mu’tamar Ummat Islam I tersebut, dihasilkan beberapa keputusan :
1) Mendirikan satu partai Islam yang bernama MASYUMI
2) MASYUMI adalah satu-satunya partai politik Islam, dan tidak boleh mendirikan partai politik Islam lain kecuali Masyumi.
3) MASYUMI-lah yang akan memperjuangkan nasib ummat Islam di bidang politik
Di Masyumi bukan hanya tergabung organisasi-organisasi Islam modernis saja, melainkan juga organisasi Islam puritan seperti Persis, organisasi yang mewakili kalangan Islam tradisional (NU dan Perti), juga organisasi Islam populis seperti PSII.
Bersamaan dengan itu, dikalangan generasi muda, sebenarnya juga lahir organisasi yang bukan bercorak politik maupun sosial, akan tetapi bercorak intelektual. Organisiasi tersebut adalah Jong Islaminten Bond, yang didirikan pada tahun 1925 oleh seorang anak muda bernama R. Samsurijal (seorang anggota SI, mantan Wali Kota Jakarta). Tujuan organisasi ini adalah menyeru kepada para anggota agar sungguh-sungguh mempelajari Islam, memperkokoh cinta-kasih demi keimanan Islam, dan agara dengan sabar menjaga hubungan bersahabat dengan mereka yang menganut keimanan dan keyakinan ideologi lain (Mintareja 1974 dalam Sitompul 1976).
Dilihat dari karakternya, organisasi ini identik dengan HMI. Dan berdasarkan keterangan beberapa sumber, berdirinya HMI memang salah satunya atas inspirasi dari Jong Islaminten Bond ini (Tanja 1978).
c. Kondisi Kampus dan Yogyakarta
Sebutan Yogyakarta sebagai kota pelajar dikarenakan kota ini sangat kondusif untuk menjadi pusat pengembangan pendidikan. Pada saat berdirinya HMI, beberapa perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta adalah :
1. Sekolah Tinggi Islam (STI), tempat di mana HMI didirikan pada tanggal 8 Juli 1945. Mulanya sekolah ini berkedudukan di Jakarta, akan tetapi seiring pindahnya Ibu Kota RI ke Yogyakarta pada tahun 1946 akibat agresi Belanda, menjadikan STI juga turut pindah Ke Yogyakarta. Pada tanggal 20 Mei 1948, sekolah ini berubah nama menjadi UII (Universitas Islam Indonesia).
2. Universitas Gadjah Mada yang berdiri pada tanggal 17 Februari 1946 dan waktu itu belum menjadi universitas negeri. UGM baru dinegerikan pada tanggal 19 Desember 1949.
3. Akademi Ilmu Kepolisian (Akpol).
4. Sekolah Tinggi Teknik
Kuatnya penyebaran ide-ide sosialisme dikalangan masyarakat menjadikan organisasi mahasiswa yang ada didominasi oleh pemikiran-pemikiran sosialis. Nuansa-nuansa keagamaan menjadi kering karena PMY (Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta), sebagai satu-satunya wadah mahasiswa waktu itu, meletakan landasanya pada non-agama. Tentu saja, bagi Lafran Pane dan kawan-kawannya, hal ini tidak bisa dibiarkan terus menerus. Harus ada organisasi mahasiswa yang perduli terhadap persoalan-persoalan keagamaan anggotanya. Meskipun untuk pembinaan generasi mudanya, masyarakat Islam Indonesia sudah mempunyai GPII (Gabungan Pemuda Islam Indonesia), akan tetapi belum ada organisasi untuk membina ke-Islaman untuk kalangan mahasiswa. Maka, atas kondisi ini, Lafran Pane dan kawan-kawanya berinisitaif mendirikan organisasi kemahasiswaan yang berlabelkan Islam. Organisasi tersebut kemudian diberi nama Himpunan Mahasiswa Islam atau disingkat HMI.
Meskipun pada waktu itu status ia sendiri adalah sebagai salah satu pengurus PMY, dengan mendirikan HMI, ia dibenci oleh kawan-kawanya di PMY dan bahkan kemudian dipecat dari anggota PMY. Ia dianggap sebagai pembangkang dan sosok yang akan mengancam keberadan PMY.
Menurut Lafran Pane, motivasi utama didirikannya HMI adalah sebagai berikut : “… Sebagai alat mengajak mahasiswa-mahasiswa mempelajari, mendalami ajaran Islam agar mereka kelak sebagai calon sarjana, tokoh masyarakat maupun negarawan, terdapat keseimbangan tugas dunia-akhirat, akal-kalbu, serta iman-ilmu pengetahuan, yang sekarang ini keadaan kemahasiswaan di Indonesia diancam krisis keseimbangan yang sangat membahayakan, karena sistem pendidikan barat. Islam harus dikembangkan dan disebarluaskan di kalangan masyarakat mahasiswa di luar STI (Sekolah Tinggi Islam), apalagi PMY secara tegas menyatakan berdasarkan non-agama…” (Saleh, 1996).
II
HMI tahun 50-an : “Perkembangan dan Pendewasaan”
a. Disorganized
Pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) kedaulatan kembali ke tangan Pemerintah RI. Namun demikian bukan berarti semua persoalan selesai. Konflik-konflik internal antara berbagai kepentingan ideologi semakin memanas dan menghabiskan banyak energi dan korban jiwa. Tiga ideologi besar yang menjadi kompartemen utama bangsa Indonesia, yaitu : Islam, Nasionalisme dan Komunisme saling berebut kekuasaan untuk mendominasi pimpinan kabinet. Akibatnya situasi politik tidak pernah stabil dan sering terjadi gonta-ganti kabinet. Pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 adalah salah satu klimaks dari adanya pertarungan ideologi-ideologi tersebut.
Bagi HMI sendiri, masa tahun awal 50-an, oleh Dahlan Ranuwiharjo, disebut sebagai masa disorganized (kekacauan organisasi). Diresmikanya Perguruan Gadjah Mada menjadi Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadikan beberapa perguruan tinggi yang berada di wilayah Yogyakarta dan beberapa kota lainnya diintegrasikan ke dalam UGM. Beberap diantaranya ialah Perguruan Kedokteran yang semula berada di Klaten, Solo dan Malang diintegrasikan menjadi Fakultas Kedokteran UGM, termasuk juga Akademi Pertanian di Klaten, kemudian menjadi Fakultas Pertanian UGM.
Oleh penyatuan beberapa perguruan tinggi ini, sebagai konsekuensinya, HMI kehilangan beberapa cabang yang berada beberapa daerah tersebut. Kondisi kampuspun menjadi kurang kondusif untuk aktifitas pergerakan karena ada kecenderungan mahasiswa kembali menggeluti dunia akademis (back to campus). Dunia akademis yang sebelumnya mengalami kevakuman karena ditinggalkan mahasiswanya turun ke medan perang melawan agresi militer Belanda, kini kembali marak oleh mahasiswa yang kembali lagi ke kampus dan menjalankan kuliah seperti biasanya. Sementara di sisi lain, sehubungan dengan kembalinya ibu kota negara ke Jakarta, personel PB HMI juga banyak yang pindah ke Jakarta. Beberapa pengurus PB HMI juga ada yang meneruskan kariernya di bidang militer, seperti A. Tirto Sudiro dan Hartono.
Keadaan ini sangat mempengaruhi kinerja kepengurusan yang waktu itu dipimpin oleh oleh SH. Mintaredja. Akhirnya Lafran Pene dan beberapa pengurus lain seperti Dahlan Ranuwiharjo berusaha mengantisipasi keadaan ini dengan mengambil alih kepengurusan HMI. Beruntunglah, dengan cara ini, HMI masih bisa terselamatkan. Meskipun PB dalam keadan lemah, ekspansi cabang-cabang masih bisa berlangsung, Beberapa ekspansi cabang yang dilakukan diantaranya adalah pembentukan HMI Cabang Jakarta, Cabang Bogor, Cabang Bandung dan Cabang Surabaya. Di tingkat nasional, kepengurusan PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia – semacam KNPI-nya zaman itu) masih selalu dipegang kepemimpinanya oleh HMI.
Pindahnya Ibu Kota kembali ke Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1950 menjadikan HMI juga harus segera memindah sekretariatnya ke ibu kota yang baru. Pada bulan Juni 1950, secara resmi sekretariat HMI pindah ke dari Yogyakarta ke Jakarta, waktu itu HMI diketuai oleh Lukman Hakim. Pada kepemimpinan Lukman hakim ini rupanya HMI masih juga belum bisa terlepas dari kondisi keterpurukanya. Kinerja organisasi lamban, manajemen organisasi tidak bagus, dan anggotanya banyak yang tidak terurusi.
Dalam kongres HMI II di Yogyakarta (Desember 1950) diputuskan Dahlan Ranuwiharjo sebagai ketua Umum HMI yang ke-3. Dibawah kepemimpinannya HMI mulai melakukan pembenahan kembali dengan membuka cabang-cabang baru. HMI juga aktif melakukan penggalian kembali nilai-nilai ke-HMI-an dengan tetap aktif mengontrol negara dengan memberikan aktif memberikan kritik dan saran kepada Presiden Sukarno. Masa-masa periode kepengurusannya, Dahlan Ranuwiharjo adalah sebagian kecil tokoh HMI yang dikenal sangat dekat dengan Sukarno.
b. Munculnya Organisasi onderbouw-nya partai
Semakin kuatnya persaingan antar kekuatan-kekuatan arus politik untuk menguasai parlemen, mendorong mereka untuk melakukan perluasan pengaruh di tingkat bawah. Beberapa cara yang ditempuh diantaranya ialah dengan membentuk organisasi-organisasi baru untuk dijadikan sebagai underbouw-nya. Termasuk di tingkat dunia kemahasiswaan, pertai-partai besar seperti PNI dan PKI, pada tahun 1953-1954, membentuk organisasi-organisasi kemahasiswaan underbouw. Tersebutlah GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia) yang merupakan underbouw PNI dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang menjadi underbouw PKI. Dengan lahirnya organisasi mahasiswa underbouw partai tersebut, maka program-program organisasi mahasiswa tidak lagi lahir dari hasil pemikiran kritis mahasiswa yang Independen, akan tetapi lebih merupakan penerjamahan dari program-program partai induknya.
Sebagai organisasi mahasiswa yang independen, HMI mendapatkan tantangan yang sangat besar. HMI adalah organisasi independen yang tidak dimaksudkan untuk menjadi senjata politik Masyumi atau suatu gabungan dari organisasi sosial atau pendidikan muslim apapun (Tanja, 1978). Akan tetapi sikap independen HMI ini tidak tersosialisasikan dengan baik ke organisasi lain. Dengan ciri Islam-nya, HMI sering dituduh sebagai alat kepentingan partai Islam seperti Masyumi. Bahkan tahun 1964 HMI nyaris dibubarkan karena tuduhan ini. HMI akhirnya masuk dalam pusaran konflik antar organisasi mahasiswa.
Persaingan dalam memperebutkan kader baru dan dominasi di kampus tak jarang menimbulkan bentrokan fisik antar para pendukungnya. CGMI seringkali meneror anggota HMI dan melarang mereka aktif. CGMI bahkan melakukan gerakan-gerakan provokasi di kampus untuk membubarkan HMI. Demikian juga GMNI, sedikit banyak, organisasi ini turut serta dalam usaha-usaha mengganyag HMI.
III
HMI Tahun 60-an: “Perjuangan dan Eksistensi”
Bagi PKI, HMI merupakan musuh utama yang harus dilenyapkan setelah Masyumi. Sebab golongan agama, dalam doktrin komunis, adalah kelompok kontra revolusi isisnya adalah kaum borjuis kecil yang pro kapitalis-imperialis. PKI menuduh Masyumi (dan juga HMI) sebagai antek-anteknya Amerika yang berusaha menanamkan pengaruhnya di dunia ketiga untuk memenangkan perang dingin (Aidit 2001). Jika ingin menguasai Indonesia, tak ada jalan lain, selain yang pertama kali harus dihancurkan adalah kekuatan-kekuatan kaum beragama. Kaum nasionalis, meskipun juga menjadi penentang komunisme tidak cukup mempunyai kekuatan siginikan, karena merupakan produk ideologi lokal.
NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis) diharapkan oleh Sukarno dapat menjadi pemersatu ketiga kekuatan ideologi besar yang berkompetisi menanamkan pengaruhnya dalam struktur negara. Ide tersebut ternyata hanya menjadi slogan yang semakin melegitimasi kekuasaan Sukarno. Pada tahap berikutnya Nasakom menjadi alat bagi PKI untuk melakukan hegemoni politiknya tanpa mau mengakomodasi kekuatan-kekuatan lain. Sebenarnya ide ini cukup baik jika diikuti dengan itikad baik dan perimbangan kekuatan antara elemen-elemen penyusunya. Akan tetapi lemahnya kekuatan Nasionalis dan Islam secara kualitatif menjadi tidak seimbang dengan kekuatan dan ambisi komunis untuk mengusai kabinet.
Kekukuhan HMI dalam membela Islam dan keterlibatanya dalam aksi pembasmian pemberontak PKI di Madiun tahun 1948 bersama militer cukup menjadi stimulus dendam mendalam bagi PKI. Oleh karena itu permusuhan HMI dengan PKI/CGMI semakin menjadi setelah Nasakom diberlakukn oleh Presiden Sukarno. HMI adalah organisasi yang menentang Nasakom. Tuduhan-tuduhan bahwa HMI merupakan underbouw-nya Masyumi, HMI terlibat dalam pemberontakan-pemberontakan Islam bersama Masyumi, HMI anti Pancasila, HMI menjadi antek Amerika dan sebagainya menjadi dalih bagi PKI untuk mengganyang HMI.
Terhitung sejak tahun 1964 aksi-aksi mengganyangan HMI dengan berbagai tuduhan di atas mulai dilakukan oleh PKI. Koran-koran, majalah, aksi massa, forum-forum ilmiah dan bahkan menggunakan institusi perguruan tiggi untuk melarang aktifitas HMI. Lebih dari 30 mass media dan 46 organisasi massa digunakan oleh PKI untuk melakukan usaha-usaha pembubaran HMI. Bentuk-bentuk aksi yang mengarah pada pengganyangan HMI. Beberapa aksi tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Pelarangan HMI di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Cabang Jember pada tanggal 12 Mei 1964 oleh sekretaris fakultas yang bernama Prof. Dr. Ernest Utrecht S.H.
2. Mengeluarkan HMI dari Dewan Mahasiswa/Senat Mahasiswa yang tertuang dalam instruksi Majlis Mahasiswa Indonesia (MMI) pada bulan Agustus 1964. Semenjak bulan itu, diberbagai perguruan tinggi seperti di Yogyakarta, Medan, Jakarta dan sebagainya, HMI dikeluarkan dari DEMA bahkn tidak diperkenankan untuk mengikuti pemilihan ketua.
3. HMI dikeluarkan dari keanggotanya di PPMI.
Keberhasilan CGMI mendominansi PPMI menjadikanya hanya sebagai alat kepanjangan CGMI. HMI dikeluarkan dari keanggotaan PPMI secara sepihak. Protes yang dilakukan PMII mengnai keputusan itupun ditolak karena PKI telah menjadikan PPMI sebagai alat kepentinganya.
4. Memfitnah HMI dengan berbagai pamflet yang isinya antara lain memprovokasi massa agar mendukung pembubaran HMI.
5. Petisi Pembubaran HMI dengan memanfaatkan momen-momen rapat akbar seperi peringatan 17 Agustus 1945 untuk mengeluarkan statemen-statemen yang berisi pembubarn HMI.
6. Penyingkiran anggota HMI dari jabatan-jabatan strategis di kampus. Di beberapa perguruan tinggi, dosen-dosen yang berasal dari HMI tidak pernah diberi kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan tinggi oleh pengurus fakultas yang telah di dominasi PKI.
Beruntunglah hampir semua ormas Islam yang ada waktu itu secara gigih melakukan pembelaan terhadap HMI. Sehingga Sukarno, yang semula hampir-hampir saja membuat surat keputusan pembubaran HMI, membatalkan rencananya dan HMI bisa bertahan sampai sekarang.
Pada tahun 1952, Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam mulai mengalami perpecahan. Perpecahan itu dimulai dengan keluarnya NU dari Masyumi. Kekecewan golongan NU atas komposisi kepemimpinan di Masyumi yang dirasa tidak adil menyebabkan NU keluar dan mendirikan partai sendiri. NU merupakan konstituen terbesar Masyumi, sehingga dengan keluarnya NU dari Masyumi sangat mempengaruhi nasib Masyumi selanjutnya. Beberapa waktu kemudian beberapa elemen lain seperti Perti dan PSII juga ikut keluar. Selanjutnya Masyumi praktis hanya diisi oleh Muhammadiyah dan Persis (keduanya cenderung modernis dan puritan).
Pada masa kepemimpinan M. Natsir kebijakan-kebijakan Masyumi banyak di arahkan kepada gerakan-gerakan ke arah formalisasi Islam dalam struktur negara. Contoh kongkritnya ialah Ketika Masyumi memperjuangkan negara Islam dalam sidang konstituante 1955. Keadaan ini menjadikan program-program yang berorientasi pada sosial dan kultural banyak terabaikan. Beberapa organisasi pendukung yang berasal dari kaum tradisionalis akhirnya melakukan protes yang berujung pada perpecahan itu. Akan tetapi hal ini bisa dipahami, mengingat saat itu Masyumi berhadap secara frontal dengan gerakan-gerakan marxis-sosialis (PKI) yang cenderung anti agama. Masyumi dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada tahun 1960.
HMI: KAMI Sebagai Pelopor Tumbangnya Orde Lama
Kondisi negara yang kian terpuruk dengan ditandai oleh tingginya inflasi, mendorong HMI kembali mengambil inisiatif melakukan aksi-aksi protes terhadap pemerintah. Hegemoni PKI dalam kabinet yang kian kuat juga mendorong HMI bersama elemen-elemen Islam lainya berusaha untuk melakukan kritik kepada Presiden Sukarno melalui gerakan massa. Ditingkat organisasi mahasiswa PKI juga sudah semakin menghegemoni. PPMI yang pada awalnya merupakan independen akhirnya dikuasai oleh CGMI (PKI), termasuk juga MMI dan Front Pemuda. Dengan demikian nyaris tak ada lagi organisasi mahasiswa yang bisa kritis terhadap kekuasaan.
PKI ada tanggal 30 September 1965 melakukan penculikan terhadap para petinggi Angkatan Darat yang terkenal dengan sebutan G 30 S/PKI. Peristiwa berdarah ini menjadi momen awal bagi masifnya gerakan-gerakan anti PKI oleh militer dan mahasiswa. Atas inisiatif Mar’ie Muhammad (wakil ketua HMI), mahasiswa membentuk organisasi bersama bernama KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). KAMI berdiri pada tanggal 25 Oktober 1965 di Jakarta, tepatnya di Rumah salah satu menteri kabinetnya Sukarno bernama Syarif Thayib.
Aksi pertama KAMI adalah rapat umum yang diselenggarakan di Fakultas Kedoteran Umum UI, Salemba, dengan tuntutan pembubaran beberapa organisasi yang menjadi underbouw PKI seperti CGMI, PERHIMI, HIS dan Akademi PKI. Seiring kuatnya tuntutan terhadap pembubaran PKI, KAMI kemudian menjadi satu-satunya lembaga aksi yang mewadahi seluruh mahasiswa Indonesia dengan tanpa membedakan agama dan golongan. Aksi-aksi Kami bisa melibatkan massa yang sangat banyak dan spontan karena mendapat dukungan dari seluruh mahasiswa Indonesi. Selain itu, dukungan dari TNI Angkatan Darat juga turut memperkuat mental para anggota KAMI.
Puncak aksi KAMI adalah Ketika mengumandangkan Tritura (tiga tuntutan rakyat) bersama elemen-elemen aksi lain seperti KAPI, KAGI, KASI dan sebagainya di halaman fakultas kedokteran UI, pada tanggal 10 januari 1966. Adapaun isi Tritura adalah :
• Bubarkan PKI
• Retooling cabinet
• Turunkan harga
Sukarno menanggapi aksi-aski tersebut dengan menyatakan sebagai aksi yang kontra revolusioner. Ia malah membentuk kabinet baru yang beranggotakan beberapa orang yang disinyalir sebagai simpatisan PKI. Hal ini semakin menimbulkan kemarahan mahasiswa dan rakyat. KAMI meneruskan aksi-aksi dengan melibatkan lebih banyak massa. Pada tanggal 24 Januari 1966, saat pelantikan Kabinet Dwikora, KAMI melakukan aksinya lagi keluar kampus dengan melakukan pemboikotan jalan yang akan dilalui para calon menteri untuk pelantikan. Dalam aksi itulah terjadi bentrok antara mahasiswa dengan pasuka Cakrabirawa. Dua pahlawan Ampera yaitu Arif Rahman Hakim dan Zubaidah tewas tertembus peluru. Sehari setelah penguburan jenazah Pahlawan Ampera tersebut, Sukarno mengumukan pembubaran KAMI.
Dengan pembubaran ini bukan berarti perjuangan berhenti, KAPPI yang dikomandani oleh M. Husni Thamrin mengambil alih posisi KAMI sebagai organisator massa. Sementara beberapa pimpinan KAMI seperti Cosmas Batubara (PMKRI), Zamroni (PMII) dan David Napitupulu diculik oleh orang tak dikenal, beberapa anggota KAMI yang lain tetapi berjuang dengan membentuk laskar-laskar Ampera di tiap daerah. Laskar-laskar inilah yang mengorganisir massa sehingga gaung Tritura sampai ke daerah-daerah. Aksipun berkembang sampai wilayah-wilayah propinsi. Bahkan aksi-aksi di Yogyakarta, Makasar dan lainya lebih heroik dan memakan lebih banyak korban jiwa.
Keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) menandai lahirnya Orde Baru pimpinan Suharto. Ia diangkat menjadi pejabat presiden pada tahun 1967 oleh MPRS dan akhirnya dikukuhkan sebagai presiden definitif pada tahun 1969. Pasca kejatuhannya, Sukarno hidup sakit-sakitan isolasi oleh rezim Orde Baru sampai akhirnya wafat tahun 1972.
IV
HMI Tahun 70-an : “Intelektualitas dan Ambivalensi”
Banyak orang mengatakan bahwa tahun 70-an bisa dikatakan merupakan masa-masa bulan madu antar militer dan mahasiswa. Akhir tahun 60-an, militer bekerja sama dengan gerakan mahasiswa telah berhasil menumbangkam Orde Lama dan menggantinya dengan Orde Baru. Dalam hal ini yang dimaksud militer tentunya adalah Angkatan Darat, sedangkan dari gerakan mahasiswa HMI merupakan unsur dominan yang mempelopori gerakan lahirnya Orde Baru. Suharto yang berasal dari militer naik menjadi Presiden menggantikan Sukarno. Sebagai balas budi terhadap gerakan mahasiswa, Suharto memberikan jabatan-jabatan menterinya ke beberapa alumni HMI. Maka tak heran jika pada masa rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Suharto, banyak sekali alumni yang menduduki jabatan-jabatan penting kenegaraan. Sebutlah nama-nama seperti Akbar Tandjung, A. Tirtosudiro, Abdul Gofur, dan sebagainya.
Sebenarnya gerakan mahasiswa tidak sadar kalau ternyata dalam gerakan penumbangan Orde Lama, militer mengambil keuntungan situasi untuk mengambil alih kekuasaan. Pasca tumbangnya Orde Lama, negara dipimpin oleh seorang militer dengan gaya kepemimpinan yang milteris pula. Kalaupun ada beberapa posisi penting diberikan kepada mantan aktivis gerakan mahasiswa, mereka hanya dijadikan subordinat saja dari sebuah kebijakan besar yang didikte oleh militer. Ibarat mobil mogok, tahun 60-an mahasiswa diminta bantuanya untuk mendorong mobil yang mogok tersebut agar hidup kembali. Akan tetapi setelah mobil bisa berjalan, mahasiswa ditinggalkan dan militerlah yang mengendarai mobil tersebut.
Orde Baru dibangun atas dasar ideologi “developmentalisme” (pembangunanisme), di mana kemajuan suatu bangsa diukur dengan hanya secara material dan matematis. Pertumbuhan ekonomi menjadi parameter keberhasilan pembangunan suatu bangsa tanpa melihat kemerataan ekonominya. Ujung-ujungnya, pengistimewaan terhadap satu kelompok ekonomi tertentu menafikan dan bahkan mengorbankan ekonomi kerakyatan. Untuk mendukungnya kekuasaanya, Suharto memelihara para taipan menjadi konglomerat dan hutang luar negeri dijadikan pijakan utama pembangunan ekonomi. Di bidang politik, Golkar – yang waktu itu tidak mau disebut sebagai partai politik - sebagai partai pendukung utama Suharto, difungsikan sebagai alat pengontrol kehidupan warga negera sekaligus sebagai alat legitimasi kekuasaan yang pada tiap pemilu bertindak sebagai mesin pendulang suara. Sementara partai politik yang jumlahnya cukup banyak, dimandulkan fungsinya dengan cara difusikan menjadi hanya dua partai, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sementara Pancasila yang sebenarnya lahir dari pergulatan panjang atas pluralitas bangsa, ditafsirkan secara sempit oleh Suharto hanya dengan dengan menggunakan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Di sisi lain, milter dengan dwifungsi TNI-nya dijadikan sebagai anjing-anjing penjaga proyek-proyek konglomerasi penguasa. Mereka siap menerkam siapa saja yang berani berpendapat berbeda dengan pemerintah. Tak heran jika gedung-gedung, pabrik-pabrik dan tempat-tempat hiburan dibangun dengan cara menggadikan warisan generasi mendatang, yaitu dengan mengeksploitasi sumber daya alam secara massif. Sementara rakyat hanya menjadi penonton proses-proses tersebut, jika tidak menjadi korban dari sebuah proses yang dinamakan pembangunan. Parahnya lagi, mereka lantas dipakasa untuk menyebut Suharto sebagai “Bapak Pembangunan”.
Pada era Orde Baru, HMI merupakan organisasi yang cukup disegani dengan kemampuan kader-kadernya yang sudah terbukti bisa menumbangkan Orde Lama. Purnanya beberapa fungsionaris HMI angkatan ’66 sebagai pengurus di dunia pergerakan, menuntut adanya regenerasi. Generasi baru ini adalah energi-enregi baru yang telah mewarisi kebesaran sejarah HMI. Kondisi bangsa yang stabil dan nyaris tanpa pergolakan, menjadikan generasi baru ini lebih menekankan kerja-kerja organisasinya pada pengembangan aspek intelektual. Sebagaimana saat berdirinya, karakter khas dari HMI adalah intelektualitas dan independensi. Trade mark bahwa HMI (angkatan ’66) adalah generasi yang berhahsil menumbangkan Orde Lama, maka tidak heran jika dikampus-kampus HMI sangat populer mengalami peningkatan jumlah anggota secara signifikan.
Era intelektual ini dipelopori oleh kepemimpinan Nurkholis Madjid yang pernah menjabat sebagai ketua HMI selama dua periode (1966/1969-1969/1971). Ia adalah mahasiswa IAIN Syarif Hdayatullah Jakarta yang lahir dari keluarga nahdliyyin di Jombang. Perpaduan antara kecakapanya dalam penguasaan teks-teks agama dengan dialektika di lingkungan Islam modernis menjadikan ia sosok intelektual peripurna, yang oleh Greg Barton (1999) disebut sebagai neo-modernis. Ide sekularisasi dan statemen kotroversialnya “Islam yes, partai Islam no” sempat menjadi polemik panjang di media massa karena mendapatkan bantahan yang cukup keras dari kalangan pemikir Islam lainnya, yang juga kebanyakan dari HMI.
Dibawah kepemimpinannya, materi-materi perkaderan mulai disusun secara lebih sistematis dengan diciptakanya NDP (Nilai Dasar Perjuangan) sebgai pedoman perkaderan di HMI. Pada masanya, juga mulai dirintis majalah HMI sebagai sarana untuk pengembangan dan pertukaran pemikiran. Di tingkat internasional, eksistensi HMI semakin mapan dengan aktifnya kembali di World Asembly Youth (WAY). HMI juga membidani lahirnya International Islamic Federation of Student Organizations (IIFSO) atau Federasi Mahasiswa Islam Internasional. Untuk keperluan eksistensi di tingkat internasional ini, Nurkholis mengunjungi AS, Kanada, Inggris, jerman, dan Timur Tengah dengan atas nama sebagai Ketua Umum PB HMI.
Tokoh lain yang pernah menduduki jabatan ketua umum pada masa tahun-tahun 70-an adalah Akbar Tanjung. Ia adalah mahasiswa kedokteran UI yang menandatangani kesepakatan Cipayung. Kelompok Cipayung, yang merupakan forum irisan antar elemen gerakan mahasiswa seperti HMI, PMKRI, GMNI, PMII, dan GMKI cukup mempunyai peran dalam memberikan ide-ide tentang pluralism. Beberapa tokoh yang kritis mensinyalir kelompok Cipayung merupakan bentuk kooptasi dari penguasa terhadap gerakan mahasiswa.
Perisriwa Malari (5 januari 1974) di Bandung menandai mulai bangkitnya kembali gerakan kritis mahasiswa. Aksi protes mahasiswa terhadap maraknya modal Jepang yang masuk ke Indonesia disikapi penguasa dengan represif oleh militer. Merespons kasus ini, HMI belum menunjukan kontribusinya yang siginifikan untuk membela kepantingan mahasiswa. Demikian juga dalam kasus-kasus lain, HMI lebih banyak mengurusi perebutan kursi-kursi di DEMA (Dewan Mahasiswa) sebagai berbagai lembaga intra kampus, dibandingkan aksi langsung di masyarakat. Secara individu memang banyak anggota HMI yang terlibat dalam bebagai aksi mahasiswa. Akan tetapi, HMI secara organisasi tidak banyak terlibat dalam pembentukan arah sejarah mahasiswa sat itu (Tuhuleley 1990). Untuk menyikapi isu-siu nasional seringkali HMI bersikap ambivalen. Kadang ia berlaku kritis terhdap penguasa, seperti penolakanya pada konsep NKK/BKK sebagai pengganti DEMA, akan tetapi pada sisi lain HMI tetap saja bercokol di lembaga intra kampus (yang dianggapnya telah terkooptasi) dan selalu berjuang merebutkan kursi ketua.
Tahun-tahun 70-an akhir, merupakan era kebangkitan gerakan modern Islam kedua di Indonesia. Keberhasilan Ayatullah Khumaeni (1979)) memimpin revolusi Iran menjadi inspirasi tersendiri bagi tokoh-tokoh Islam untuk melakukan melakukn perlawanan. Gerakan-gerakan Islamisasi ditiap institusi mulai marak lagi, dan kelompok-kelompok gerakan di timur tengah seperti Ikhwanul Muslimin, Jama’ah Tabligh, dan sebagainya mulai meluaskan pengaruhnya di ndonesia. Gerakan-gerakan ini membidik kaum terdidik (kampus) sebagai obyek dakwahnya. Makanya tak heran jika awal tahun 80-an merupakan era masjid kampus, dimana pengajian-pengajian sangat marak dan kampus. Berbondong-bondong mahasiswa ikut dalam halaqoh-halaqoh dan ustadz-ustadz “karbitan” muncul dari kalangan akademis yang tercerahkan.
Di internal HMI-pun tidak terlepas dari kecenderungan semacam ini. Kritikan-kritikan bahwa HMI kurang Islami memicu beberapa pengurus HMI melakukan gerakan ‘hijaunisasi’ kembali. Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) sangat berperan dalam hal ini. LDMI membentuk kelompok kajian NDI (Nilai-nilai Dasar Islam) yang kemudian setelah lepas dari HMI bernama FOSI (Forum Silaturrahmi Islam). Diantara tokoh-tokohnya adalah Eggy Sudjana, M.S. Ka’ban, dan lain-lain. Penggunaan metode brain washing dalam training-trainingnya menjadikan klompok kajian ini sangat efektif dalam membentuk kader-kader militan di HMI.
Adanya hijaunisasi ini pada akhirnya mengkutub pada perdebatan ideologis di HMI. Perdebatan panjang mengenai Islam dan Pancasila memakan energi para pemikir HMI yang tidak sedikit. Lama-lama wacana ini berkembang sampai tingkat bawah dan mulai mendapatkan pengikutnya masing-masing. Kelompok “Islamis” mengidealisasikan bahwa Islam harus mewujud dalam sebuah sistem yang mengatur kehidupan warga negara karena sebagai sebuah tatanan hidup, Islam sudah paripurna. Meskipun tidak semuanya berpendapat demikian, kader-kader yang prihatin dengan sekularisasi yang dialami HMI juga masuk dalam blok ini. Sudah tentu kelompok inilah yang gigih melakukan “hijaunisasi” kembali di HMI. Beberapa eksponen HMI yang mendukung cenderung pada kelompok ini diantaranya adalah Abdullah Hehamahua, Ismail Hasan Metarium, Deliar Noer dan sebagainya.
Sebagian kader yang melakukan elaborasi pemikiran ke-Islaman lebih ekletis dan dialektis berpendapat bahwa negara merupakan bentuk dari sebuah keinginan untuk hidup bersama yang terikat dalam konsensus, dalam hal ini Pancasila. Sehingga, terlepas dari penyelewengan-penyelewengan yang dilakuka oleh rezim, Pancasila merupakan produk yang paripurna bagi bangsa Indonesia dalam kerangka kehidupan kebangsaan. Pemikiran demikian banyak dipelopori oleh orang-orang yang tergabung dalam limitted group-nya Ahmad Wahib, Dawam Raharjo, dan Djohan Efendi di Yogyakarta serta tokoh-tokoh lain di Jakarta seperti Nurkholis Madjid, Dahlan Ranuwiharjo, dan sebagainya. Dalam lokakarya tafsir asas atas tafsir asas organisasi dalam lokakarya tafsir asas di mataram dan Yogyakarta dua polarisasi pemikiran ini sempat mengalami perdebatan panjang.
Polarisasi bukan hanya terjadi dalam pemikiran saja, akan tetapi perbedaan pendapat mengenai sikap politik HMI terhadap negara ternyata juga lebih seru dan bahkan menumbuhkan bibit perpecahan. Beberapa kader mengkritik bahwa HMI telah kehilangan daya kritisnya karena terlalu akomodatif terhadap pemerintah. Kelompok ini menginginkan HMI harus tetap independen dan berdiri diluar negara. Orde Baru sudah banyak melakukan penyelewengan-penyelewengan terhadap kekuasaan yang mereka pegang. Rencana penerapan UU ke-ormasan yang akan memaksa semua organisasi menerapkan Asas Tungal Pancasila adalah edisi baru dari cara Suharto melakukan kontrol terhadap warga negara. Kelompok ini secara taktis berafiliasi dengan kelompok Islamis. ‘Pengalaman historis revolusi Iran menunjukan bahwa ternyata Islam juga bisa menjadi kekuatan revolusi’.
Pada sisi lain sebagian anggota HMI memilih jalan kompromistis sebagaimana yang biasa dilakukan HMI sebelumnya. Kesediaanya bekerja sama dengan pemerintah dan karena kedekatanya dengan beberapa alumni yang sudah duduk dalam birokrasi menjadikannya kurang peka terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan pemerintah. Masuk menjadi anggota HMI bukan berati harus berjuang dan hidup susah, akan tetapi bisa saja sebagai salah satu jalan karir masa depan. Menjadi anggota HMI, setidaknya menurut persepsi beberapa orang, berati menjadi calon pejabat dalam birokrasi negara. Pendapat-pendapat demikian sah-sah saja dan tidak salah. Posisi HMI yang sudah sedemikian mapan secara riil memberikan peluang untuk itu. Akan tetapi jika pendapat demikan hanya akan menjadikan HMI tidak independen dan oportunis. Beberapa anggota yang berpendapat demikian ternyata lebih sepakat jika HMI mengikuti keinginan pemerintah memakai Asas Tunggal Pancasila.
V
HMI Tahun 80-an : “HMI (MPO) Menolak Tunduk”
Tahun 80-an dikenal sebagai masa pertumbuhan bagi gerakan-gerakan Islamisasi kampus. Bibit-bibit semangat “kembali ke-Islam” yang disemai pada akhir tahun 70-an kuncup-kuncupnya mulai tumbuh. Kelompok-kelompok pengajian kampus (halaqoh) semakin ngetrend dan bulan Ramadhan menjadi selalu ramai. Meskipun sebenarnya terdiri dari berbagai aliran, akan tetapi mereka mempunyai kesamaan isu, yaitu kebangkitan Islam. Harapan akan kebangkitan Islam di Asia Tenggara ternyata cukup memberikan visi dan ruh yang menghidupkan semangat para da’i kampus untuk terus mengobarkan semangat Islam.
Bagi Orde Baru, hal ini merupakan pertanda buruk, karena akan menjadi ancaman bagi keberlangsungan kekuasaanya. Beberapa kasus di negara lain radikalisme kaum beragama bisa menciptakan revolusi yang bisa menumbangkan kekuasaan. Ancaman terbesar bagi Orde Baru setelah hancurnya komunisme adalah kelompok beragama ini. Penolakan Suharto atas keinginan Muhammad Roem menghidupkan kembali Masyumi merupakan bukti ketakutanya pada kekuatan kaum beragama.
Bentuk antisipasi yang dilakukan Orde Baru untuk mengontrol kehidupan kebangsanya ialah dengan rencana dikeluarkanya Undang-undang Keormasan No. 8 tahun 1985. Dalam rancangan UU ini disebutkan adanya kewajiban bagi tiap organisasi massa untuk memakai Pancasila sebagai asasnya. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat kebhinnekaan yang menjadi ruh Pancasila itu sendiri. Penyeragaman asas dalam tiap AD/ART adalah bentuk kontrol yang sangat kuat dari negara terhadap warga negaranya yang berati pula hilangnya kebebasan warga negara untuk berbeda. Oleh karena itu muncul banyak kritik dalam pemunculan paket UU ini (baca bukunya Deliar Noor berjudul “Islam, Pancasila dan Asas Tunggal”).
Meskipun demikian, kuatnya hegemoni kekuasan Orde Baru, menjadikan organisasi-organisasi massa yang ada seperti Muhammadiyah, NU, GMNI, PMKRI, GMKI, PMII, IMM dan sebagainya tidak bisa berbuat banyak. Berbondong-bondong organisasi-organisasi tersebut mengubah AD/ART-nya menjadi berasaskan Pancasila. Bebera alasan yang dikemukan oleh organisasi yang mengubah asasnya tersebut rata-rata ialah untuk mencari keamanan. Dari sini dapat kita rasakan betapa kuat dan ditakutinya kekuasaan Orde Baru saat itu.
Dukungan militer dalam mengamankan kekuasaan negara yang sangat kuat seringkali menimbulkan tindakan-tindakan represif dan anarkis oleh negara terhadap warga negara. Sehingga kepatuhan warga negara terhdap pemerintah bukan karena disebabkan oleh semangat dan komitmen kebangsaan akan tetapi lebih dikeranakan oleh adanya ketakutan-ketakutan terhadap aparat.
HMI sebagai organisasi mahasiswa terbesar dan berpengaruh saat itu jelas akan menjadi sasaran selanjutnya bagi proyek “Pancasilaisasi” ini. Anggota HMI yang banyak dan tersebar diseluruh pelosok nusantara merupakan aset bangsa yang tidak bisa diabaikan. Pemerintah berkeinginan menjadikan HMI sebagai pelopor yang akan mendukung pelaksanaan UU tersebut. Sewaktu pengumuman akan diterapkanya UU keormasan tersebut, HMI belum menyatakan kesediaanya untuk mengikuti keinginan pemerintah.
Maka disusunlah strategi oleh pemerintah untuk membujuk beberapa fungsionaris HMI agar bersedia memakakan Asas Tunggal. Dikirimlah beberapa alumni HMI yang sudah duduk dalam kabinet untuk mendekati HMI. Jawaban pengurus HMI ialah agar semuanya diserahkan pada hasil kongres yang akan diselenggarakan di Medan tahun 1983. Dalam kongres tersebut pemerintah mengutus Abdul Gafur (menteri Pemuda dan Olah raga, yang juga alumni HMI) untuk membujuk peserta agar bersedia mengubah asas. Abdul Gafur bahkan mengancam akan melarang kongres tersebut, jika HMI menolak merubah asas.
Pada akhir Mei 1983 diadakanlah kongres HMI XV di Medan. Kongres ini dinamakan kongres perjuangan, karena diselenggarakan dalam tekanan yang kuat dari pemerintah untuk merubah asas. Dalam majalah Tempo edisi 4 Juni 1983 dilukiskan suasana kongres sebagai berikut : “….Ketika sampai pada Anggaran Dasar pasal 4, bahwa asas HMI tetap Islam teriak Allahu Akbar gemuruh menyambutnya…..”. HMI secara tegas menolak menggunakan Asas Tunggal Pancasila dalam AD/ART-nya dan masih setia mempertahankan asas Islam.
Dalam kongres itu terpilih Hary Azhar Azis sebagai ketua umum HMI, yang akan bertugas mengemban amanat ini. Kegagalan Abdul Gafur untuk membujuk adik-adiknya ini tidak membuat pemerintah menghentikan usaha-usahanya. Pemerintah terus berusaha untuk membujuk HMI dengan melakukan pendekatan-pendekatan persuasif kepada pengurus HMI hasil kongres. Usaha-usaha tersebut berhasil Ketika pada saat sidang Majelis Pekerja Kongres (MPK) II dan rapat pleno PB HMI tanggal 1-7 April, di Ciloto-Puncak-Bogor, PB HMI bersedia mengubah asas Islam dengan asas Pancasila. Keputusan ini diumumkan di media massa seminggu kemudian dengan menggunakan rumah Bp. Larfan Pane sebagai tempatnya.
Reaksi keraspun mengalir dari cabang-cabang di daerah. Cabang Yogyakarta sebagai cabang embrionya HMI, melakukan protes keras terhadap keputusan tersebut. Cabang Yogyakarta mengeluarkan pernyataan sikap dengan judul : “Sikap jama’ah HMI Yogyakarta terhadap perilaku dan siaran pers PB HMI”. Dalam pernyataan sikap tersebut secara tegas Yogyakarta menolak keputusan PB dan menganggapnya inkonstitusional. Seharusnya keputusan perubahan AD/ART adalah wewenang kongres HMI, bukan pengurus besar (PB). Cara pengambilan keputusanyapun dianggap cacat karena tidak memenuhi kuorum. Dalam sidang MPK tersebut 19 orang melakukan walk out.
PB HMI malah menanggapi sikap cabang Yogyakarta ini dengan kurang arif. PB HMI tidak bersedia melantik M. Chaeron A.R. yang secara aklamasi terpilih sebagai Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta. Akhirnya pelantikan dilakukan oleh HMI Badko Jawa Bagian Tengah yang juga bersikap menolak terhadap keputusan PB HMI. Penolakan ini tertuang dalam sidang pleno HMI Badko Jawa bagian tengah pada tanggal 29-30 Oktober 1985 di Yogyakarta. Atas sikap ini PB HMI kemudian mamecat ketua Badko (Yati Rachmiati) dari pengurusannya.
Protes terhadap keputusan PB HMI ini bukan hanya berlangsung di Yogyakarta. Cabang Jakarta, di mana Harry Azhar Azis, secara adminstratif terdaftar sebagai anggota HMI, membuat keputusan dengan memecat Harry Azhar Azis dari keanggotaan HMI. Secara konstitusional pemecatan ini sah, karena (dalam aturan administrasi HMI) meskipun keduduknya sebagai Ketua Umum PB HMI, akan tetapi kartu anggota dikeluarkan oleh pengurus cabang. Pemecatan ini menimbulkan kemarahan PB HMI, atas nama Ketua Umum PB HMI ia kemudian membekukan HMI cabang Jakarta dari struktur keorganisasian HMI. Sebagai gantinya PB HMI membentuk cabang-cabang transitif yang pengurusnya dipilih oleh PB HMI.
Menjelang diselenggarakannya kongres XVI di Padang, Summatera Barat, HMI Adapun kongres XVI pasti akan dijadikan forum untuk melegitimasi perubahan asas tersebut oleh PB HMI. Dengan demikian takkan ada lagi alasan bagi cabang-cabang untuk menolak perubahan asas dalam AD-ART HMI. Demi mengantisipasi hal ini, maka cabang-cabang yang menolak keputusan PB tersebut membentuk forum yang bernama Majlis Penyelamat Organisasi (MPO). Pada mulanya forum tesebut dibentuk untuk berdialog dengan PB HMI dan MPK (Majelsi Pekerja Kongres) mengenai perubahan asas dalam kongres yang derencanakan. Akan tetapi karena tanggapan PB HMI terkesan meremehkan, maka akhirnya MPO melakukan demonstrasi di kantor PB HMI (Jl. Diponegoro 16, Jakarta). Dalam demonstrasi tersebut PB HMI malah menanggapinya dengan mengundang kekuatan militer untuk menghalau MPO. Beberapa anggota MPO malah ditangkap oleh aparat dengan tuduhan subversif. Keadaan ini berlangsung sampai diselenggarakanya kongres HMI XVI di Padang yang berlangsung pada tanggal 24-31 Meret 1986.
Dengan diwarnai kekacauan karena adanya dua kubu yang saling bertentangan, maka kongres XVI di Medan menjadi tonggak sejarah bagi pecahnya HMI menjadi dua bagian, HMI Dipo dan HMI MPO. Kehadiran MPO, yang telah berhasil mengorganisir 9 cabang-cabang terbesar di HMI, ditolak oleh panitia kongres. Kongres hanya diikuti oleh cabang-cabang yang tidak terlibat dalam MPO dan cabang transitif. Kehadiran cabang transitif ini mendapat tantangan keras dari peserta kongres sehinga menimbulkan kekacauan fisik dalam ruangan sidang. Adapun 9 cabang yang mendukung MPO adalah: HMI Cabang Jakarta, HMI Cabang Bandung, HMI Cabang Yogyakarta, HMI Cabang Ujung Pandang, HMI Cabang Pekalongan, HMI Cabang Metro, HMI Cabang Tanjung Karang, HMI Cabang Pinrang dan HMI Cabang Purwokerto.
Kongres berlangsung sampai selesai dengan menetapkan Pancasila sebagai asas HMI. Sementara MPO, yang sebenarnya mempunyai lebih banyak pendukung, pulang dari Padang dengan menyungging kekecewaan mendalam. Dipandegani oleh HMI cabang Yogyakarta, barisan ini kemudian juga melakukan kongres di Yogyakarta dan memakai nama kongres HMI XVI juga.
Tentunya kongres ini merupakan kongres ilegal dan sangat diharamkan oleh pemerintah saat itu. Pemerintah menganggap kongres ini sebagai bentuk pembangkangan terhadap negara dan anti Pancasila. Meskipun demikian kongres tetap di selenggarakan dengan membuat pengumuman bahwa “kongres akan diselenggarakan di Kaliurang-Yogyakarta”. Aparatpun mengancam akan membubarkan kongres ini dan menangkap para pesertanya. Menjelang pintu gerbang Kaliurang mobil pengangkut peserta dibelokan ke Gunung Kidul. Kongres berhasil diselenggarakan selama tiga hari di sebuah desa di Gunung Kidul ini. Aparat terkecoh karena mereka melakukan pengejaran ke Kaliurang akan tetapi ternyata buronnya di tempat lain. Saat mereka tahu bahwa kongres ternyata di adakan di Gunung Kidul maka mereka mengejar. Akan tetapi setelah sampai, kongres sudah selesai dan “HMI Perjuangan” sudah berdiri. HMI ini kemudian disebut HMI MPO atau HMI Islam atau HMI 1947. Disebut HMI Islam karena HMI ini yang tetap mempertahankan Islam sebagai asasnya, dan disebut HMI 1947 karena HMI ini mengangap dirinya sebagai ‘yang benar-benar mewarisi HMI pada tahun aal berdirinya pada 1947, yaitu HMI yang independen.
HMI hasil kongres XVI di Padang merupakan HMI yang diakui secara sah oleh pemerintah. HMI ini sekretaraitnya di Jl. Diponegoro 16, sehingga sering disebut HMI Dipo. Atau bisa juga disebut HMI Pancasila karena asasnya Pancasila, atau di mass media biasa disebut dengan menggunakan huruf “HMI” saja. Pasca reformasi, dalam kongresnya yang ke-22 di Aceh, pada tahun 1999, HMI ini merubah kembali asas ke Islam. Sehingga sekarang dari segi asas, sudah tidak ada bedanya antara HMI Dipo dengan dengan HMI MPO. Namun demikian, proses panjang lebih dari 20 tahun menjadi dua institusi yang sendiri-sendiri menjadikan struktur, perkaderan, tradisi dan sikap politik kaduanya berbeda. Tradisi kooperatifnya dengan Golkar dan kedekatanya dengan kebanyakan alumni (KAHMI) menjadikan HMI Dipo lebih mapan secara finansial dan rapi dalam keorganisasian. Sementara HMI-MPO identik dengan tradisi proletarian, komunitas eksklusif, dan tidak mapan dalam organisasi.
HMI MPO terlahir sebagai sosok anak haram dalam gua garba Orde Baru. Ditengah situasi kehidupan kebangsaan dihegemoni militer, dalam suasana kebungkaman warga negara serta diliputi ketakutan untuk berbeda, HMI MPO hadir sebagai “pendekar muda” yang berani berteriak lantang menentang kekuasaan. HMI MPO-lah organisasi Islam pertama yang menuntut Suharto harus turun. HMI MPO harus berjuang dibawah tanah demi mempertahankan idealisme dan eksistensinya yang semakin lama-semakin ditinggalkan cabang-cabang pendukungnya. Aparat selalu mengawasi training-traning yang dilakukan oleh HMI dengan mengirimkan intelnya. Penyelenggaraan LK I tak jarang gagal karena tiba-tiba digrebek aparat dan pesertanya diintrogasi. Pada tahun 1987, di Yogyakarta terjadi penggrebekan terhadap sekretariat HMI cabang Yogyakarta, di Jl. Dagen 16. Pengurus yang waktu itu sedang berada di lokasi lari tungang-langgang mencari perlindungan bersamaan dikokangnya senjata oleh tentara.
Sebenarnya penggrebekan tersebut dilakukan karena cabang HMI Dipo Yogyakarta yang baru didirikan berkeinginan untuk menempati sekretartat di jalan Dagen. Karena terusir dari markasnya, para aktifis HMI MPO memindahkan base camp-nya di sebuah rumah di Gang Sambu (dekat kampus Universitas Negeri Yogyakarta). Tidk lama HMI-MPO bermarkas di Gang Sambu, atas jasa simpatisan aktivis Islam, markas HMI-MPO Cabang Yogyakarta pindah di Karangkajen. Sampai sekarang HMI-MPO Cabang Yogyakarta identik dengan Karangkajen, karena kontrakan sekretariatnya selalu di sekitar wilayah Karangkajen.
Pada awal perjalananya, HMI MPO dikenal dengan sosok organisasi mahasiswa yang radikal dan sangat kanan (untuk tidak disebut fundamentalis). Penekanan pada nilai-nilai ke-Islaman dan kejuangan menjadi materi utama dalam training-trainingnya. Khittah perjuangan diciptakan sebagai pedoman dalam perkaderan untuk mengganti NIK (Nilai-nilai Identitas Kader) yang sudah dirasa tidak menggigit lagi. Sementara banyak anggota-anggotanya adalah mahasiswa-mahasiswa yang aktif di pengajian (halaqoh), yang saat itu memang sedang menjamur.
Demi mengurangi konflik dengan Negara, HMI MPO harus memilih jalan-jalan yang tidak banyak mengekspos diri dan jauh dari jangkauan khalayak. HMI lebih banyak bergerak dibelakang layar sambil sesekali muncul dengan menggunakan kamuflase. Kajian-kajian epitemologis menjadi trade mark-nya, yang mana kemudian menjadi identitas HMI MPO pada awal tahun 90-an. Kajian-kajian epistemologis ini ditempuh karena tidak banyak membutuhkan biaya, aman dari tuduhan-tuduhan subversif, dan merupakan jalan alternatif dalam tradisi intelektual di Indonesia.
Alasan HMI Penolakan Asas Tunggal
Alasan penolakan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal dikemukakan oleh Abdullah Hehamahua (Mantan Ketua PB HMI) dalam suratnya tertanggal 16 Mei 1985 kepada PB HMI. Ada empat alasan yang melatar belakanginya yaitu :
1. Alasan Ideologis
Islam sebagai agama paripurna, selain memiliki sistem aqidah yang kokoh dan bersih, sekaligus memiliki sistem-sistem muamalah, sebagian terdiri dari garis-garis besar saja-baik sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, militer maupun sistem keluarga. Dengan demikian sistem-sistem yang ada dalam masyarakat tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah umum yang ada dalam Islam.
2. Latar Belakang Historis
Bahwa perjuangan memerdekakan Indonesia dari tangan penjajah kebanyakan dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam. Justru semangat teriakan Allahu Akbar-lah yang mampu membakar perlawanan-perlawanan di segala penjuru Indenesia. Boleh dikata Islam-lah yang melakukan perlawanan dalam mengusir penjajah. Oleh karena itu harus ada bagian dari bangsa ini yang selalu melakukan pembelaan terhadap ummat Islam. Munculnya Pancasila sebagai dasar negara merupakan kompromi tertinggi dari ummat Islam demi kepentingan bangsanya. Pemimpin Islam pada awal pembentukan negara menerima Pancasila, karena:
• Pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1948 yang menghasilkan nama Pancasila merupakan kompilasi dari pidato-pidato tokoh Islam sebelumnya.
• Sila-sila dalam Pancasila merupakan penjabaran dari Al-Qur’an mengenai sistem kenegaraan, jadi bukan hanya sekedar warisan leluhur bangsa Indonensia.
• Pancasila hanyalah sebagai konsensus nasional, katakanlah sekedar kompromi nasional tentang atribut ketatanegaraan sehingga tidak memiliki kewenangan untuk mencampuri urusan intern kelompok sosial-politik yang ada, apalagi sampai ke tingkat keluarga dan pribadi, sebagaimana yang dilakukan pada penerapan UU ormas tersebut.
• Diterimanya Pancasila sebagai dasar Negara, karena Pancasila yang diinginkan adalah sebagaimana yang termaktub dalam Piagam Jakarta.
3. Latar Belakang Konstitusional
Dekrit presiden 5 Juli 1959 disahkan oleh MPRS pada tahun 1969 dan kemudian dikukuhkan lagi pada sidang MPR tahun 1972. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sukarno bahwa sila pertama dalam Piagam Jakarta yang berbunyi : …” Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”, menjiwai pembukaan UUD ’45 yang kemudian manifes dalam pasal 29 menunjukan bahwa secara konstitusional negara membiarkan dan melindungi pelaksanaan syariat Islam termasuk penggunaan asas Islam dalam sebuah organisasi Islam. Hal ini berarti menjadikan Pancasila sebagi asas tunggal bertentangan dengan Pancasila itu sendiri.
4. Alasan Latar Belakang Operasional
Proses peneriman asas tungal yang dilakukan oleh PB HMI jelas melalui keputusan yang dilakukan oleh beberapa gelintir orang saja. Adanya tindakan-tindakan intimidasi, teror dan juga pembelian dengan uang menjadikan proses penggunaan asas tunggal oleh HMI tersebut telah menyalahi aturan.
Kita ketahui bahwa proses penerimaan itu tidak masuk akal dan cacat dalam hal mekanisme pemunculanya. Sebab sidang MPK (Majelis Pekerja Kongres) PB HMI dan pleno PB HMI kedudukanya lebih rendah dari pada kongres HMI. Kongres HMI XV di Medan yang merekomendasikan untuk mempertahankan asas Islam telah dikhianati oleh PB HMI sendiri, dengan mengubahnya di tengah jalan tanpa melalui mekanisme yang sah. Adapun kemudian asas itu disahkan dalam kongres XVI di Padang, akan tetapi mekanisme penyelenggaraan kongres Padang tersebut juga mengalami kecacatan. Mayoritas cabang yang hadir waktu itu masih menghendaki HMI memepertahankan Islam sebagai asas. Akan tetapi apa boleh buat, tekanan dari penguasa dan diskrimatifnya peserta kongres menjadikan keputusanya lain.
VI
HMI Tahun 90-an: “Reformasi Menumbangkan Suharto”
Tahun 90-an bisa dikatakan merupakan tahun kemesraan antara kekuatan Islam dengan Orde Baru. Berdirinya ICMI oleh sebagian besar kalangan dianggap sebagai angin segar atas akomodasi Suharto terhadap Islam yang selama ini lebih banyak disingkirkanya. Kegiatan dakwah Islam dalam kantor-kantor birokrasi pemerintah mulai marak. Berbondong-bongong pada tiap kantor pemerintah didirikan pengajian-pengajian dan majelis ta’lim. Perusahaan yang mendirikan pabrik di suatu lokasi diwajibkan mendirikan musholla untuk karyawanya. Masjid dibangun dimana-mana dengan bantuan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, milik Suharto.
Akan tetapi keadaan ini bukan berarti Orde Baru telah berubah menjadi baik. Akomodasi penguasa terhadap kelompok Islam hanyalah salah satu cara untuk menutupi borok-borok penguasa dan memperoleh dukungan dari mayoritas penduduk. Kelompok-kelompok Islam yang independen dan kritis masih menjadi momok bagi penguasa. Demikian juga bagi HMI MPO, kebebasan merupakan hal yang paling mahal dan HMI MPO tetap sebagai organisasi bawah tanah harus memakai taktik kucing-kucingan dengan aparat untuk bertahan.
Perjuangan HMI MPO untuk mempertahankan eksistensinya dilakukan dengan cara membentuk lembaga-lembaga kantong yang akan menjadi wadah-wadah bagi suara HMI MPO. Hal ini dilakukan karena tidak mungkin HMI MPO melakukan kritik secara langsung. Dibentuklah beberapa lembaga kantong aksi seperti: LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta), FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta), SEMMIKA dan sebagainya. Jika kita perhatikan strategi ini mirip dengan apa yang dilakukan HMI pada tahun 60-an dengan membentuk KAMI sebagai mantelnya. Lembaga-lembaga ini melakukan mobilisasi massa dengan melakukan parlemen jalanan (demonstrasi) yang tak jarang bentrok dengan aparat.
Selain itu HMI MPO berusaha menguasai lembaga-lembaga intra kampus sebagai wadah perkaderan dan perjuangan. Lemahnya sumber daya finansial tidak menghentikan kreatifitas kader-kader HMI untuk berkativitas. Salah satunya ialah dengan memanfaatkan lembaga intra kampus. Lembaga intra kampus merupakan sarana perkaderan yang cukup efektif untuk membentuk jiwa-jiwa kepemimpian kader. Selain itu netralitas lembaga intra kampus menjadikan lembaga ini mudah untuk melakukan mobilisasi massa. Hal ini sangan mendukung dalam aksi-aksi HMI. Contoh kongkrit dari pemanfaatan lembaga intra kampus ini adalah pada saat memontum turunnya Suharto pada tanggal 20 Mei 1998.
Suharto yang sudah berkuasa selama 30 tahun harus tumbang ditangan aksi-aksi massa yang dilakukan oleh mahasiswa. Krisis ekonomi yang melanda Asia tahun 1997 ternyata berimbas pada terkuaknya semua borok yang dimiliki oleh rezim Orde Baru. Megahnya pembangunan yang selama ini sangat diagung-agungkan ternyata keropos, karena di bangun atas pondasi hutang luar negeri yang sangat besar. Ketika fluktuasi nilai tukar rupiha terhadap dollar tidak bisa ditolerir lagi, tiba-tiba jumlah hutang melambung tinggi dan Indonesia harus menangis. Yang terhormat Suharto, terpaksa harus merunduk di depan lipatan tangan Hubert Neiss (wakil IMF-International Monetary Fund), waktu menandatangani kesepakatan hutang baru terhadap IMF. Para kapital-imperialis Amerika tertawa karena telah berhasil membuat Indonesia makin tergantung. Indonesia belum merdeka, Bung !
Mahasiswa bergerak, aksi demonstrasi menuntut diturunkannya Suharto menjalar mulai dari kampus-kampus besar sampai ke kampus-kampus kecil. Tak jarang korban berjatuhan di mana-mana. Kasus terbunuhnya beberapa mahasiswa Trisakti 12 Mei 1998, tertembaknya Moses Gatot Kaca di Yogyakarta, dan tindakan-tindakan anarkis aparat terhadap mahasiswa semakin membuka kesadaran masyarkat luas untuk turut dala aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa. Arus tak terbendung lagi Ketika pada tanggal 20 Mei 1998, lebih dari satu juta massa melakukan aksi di silang monas dengan tuntutan “Suharto harus turun”. Demikian juga di alun-alun utara Yogyakarta, setengah juta massa berjubel sampai jalan Malioboro dengan tuntutan yang sama. Suharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 jam 09.15 WIB. Aksi juga dilakukan di Makasar, Purwokerto, Bandung, Malang dan kota-kota lain.
Harus diakui bahwa fenomena munculnya aksi-aksi massa menjelang reformasi banyak dipelopori oleh kader-kader HMI MPO. Beberapa kader yang kebetulan menjadi fungsionaris lembaga intra kampus turut mengusung isu-isu penurunan Suharto ke dalam kerja-kerja lembaganya. Aksi setengah juta massa di Yogyakarta di pelopori oleh Keluarga Mahasiswa (KM UGM), dimana yang menjadi think-tank-nya adalah kader-kader HMI MPO. Sebelum aksi itu, KM UGM mengadakan polling yang menghasilkan rekomendasi bahwa lebih dari 80% responden menolak kepemimpinan Suharto. Hasil polling ini mempengaruhi opini nasional, terutama di kalangan para aktifis pergerakan.
Di Jakarta juga demikian, meskipun banyak ditentang oleh elemen-elemen Islam lainya, HMI MPO bersama FKMIJ-nya tercatat sebagai salah satu elemen mahasiswa yang sejak awal melakukan aksi untuk menolak Suharto. Bahkan setelah Suharto turun dan diganti oleh Habibie, HMI MPO tetap melakukan aksi-aksi penolakannya di gedung DPR/MPR bersama elemen-elemen kiri. HMI-MPO adalah satu-satunya elemen Islam yang menolak BJ Habibie naik menjadi presiden. HMI MPO sempat dicap “bukan Islam” (atau biasa disebut dengan istila “bukan orang kita”) oleh kelompok-kelompok aksi pembela Habibie, yang kebanyakan berasal dari kelompok-kelompok Islam. Oleh kelompok-kelompok politik Islam Habibie dianggap mewakili kepentingan Islam karena ia pelopor ICMI dan dekat dengan kalangan Islam.
Begitulah ketegasan sikap independen HMI yang tidak mau tunduk kepada siapapun, kecuali kepada kebenaran dan keadilan. HMI selalu siap bekerja sama dengan siapapun asalkan untuk meneriakan kebenaran dan keadilan. HMI Akan selalu kritis dengan siapapun tanpa pandang bulu, termasuk dengan saudaranya sendiri. Sikap HMI yang tidak mau didikte alumni (KAHMI), berlaku jujur pada siapapun, selalu berdiri diluar negara merupakan bukti indepndensi HMI MPO.
Berbicara mengenai sejarah HMI, pada dasarnya juga membicarakan sejarah bangsa Indonesia. HMI merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dinamika bangsa yang sangat kita cintai ini. Usia HMI yang sebanding dengan umur NKRI ini bukanlah usia yang singkat. Dalam usianya yang lebih dari setengah abad, HMI telah menempuh asam-garamnya sejarah dan akan selalu setia mengukir sejarah itu lagi dimasa depan. Tentu dengan kisah-kisah perjuangan atas kebenaran dan keadilan yang lebih heroik. Siapa lagi kalau bukan generasi penerusnya !.
Pecahnya HMI menjadi HMI MPO dan HMI DIPO adalah bagian dari dinamika sejarah yang tidak harus disesali. Manusia hanya bisa melakukan penilaian sehingga dapat mengambil pelajaran darinya. Bagi kader-kader baru, yang dibutuhkan bukanlah romantisme sejarah masa lalu, akan tetapi warisan semangat perjuangan dan independensi untuk berbuat yang terbaik bagi kemanusiaan. Wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil aalamin !.
Penulis: M. Chozin Amirullah, Ketua Umum PB HMI 2009-2011,
Email: mchozin@pbhmi.net
Daftar Pustaka :
• Al Mandari, S., 1999. HMI dan Wacana Revolusi Sosial. Pusat Studi Paradigma Ilmu (PSPI). Ujung Pandang.
• Aidit, D. N., dkk. 2001. PKI Korban Perang Dingin (Sejarah Peristiwa Madiun 1948). Era Publisher. Jakarta.
• Barton, G. 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Paramadina. Jakarta.
• Dahlan, M. M. 1999. Sosialisme Religius. Penerbit Kreasi Wacana. Yogyakarta
• Grant, T. dan Woods, A. 2001. Melawan Imperialisme. Penerbit Sumbu. Jakarta
• Halim, Z. 1990. HMI, Nasakom dan Pasca Gestapu. Makalah dalam buku putih “Dinamika Sejarah HMI”. HMI Badko Jawa Bagian Tengah. Yogyakarta
• Hehamahua, A. 1985. HMI Membunuh Diri Sendiri. Surat Abdullah Hehamahua pada PB HMI. Jakarta
• Pratiknya, A. W. Pesan Perjuangan Seorang Bapak. Penerbit Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan Lembaga Laboratorium. Jakarta
• Ranuwiharjo, D. 1996. Catatan : Dahlan Ranuwiharjo, S.H. pada dies natalis HMI ke-43. Diterbitkan oleh PB HMI. Jakarta.
• Roem, M. 1972. Bunga Rampai dari Sedjarah. Penerbit Bulan Bintang. Djakarta.
• Sitompul, A. 1976. Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam tahun 1947-1975. Penerbit Bina Ilmu Offset. Surabaya
• Suharsono. 1998. HMI MPO dan Rekonstruksi Pemikiran Masa Depan. CIIS Press. Yogyakarta
• Sundhaussen, U. 1986. Polilti Militer Indonesia 1945-1967. LP3ES. Jakarta
• Tanja, V. 1978. HMI, Sejarah dan Kedudukanya di Tengah Gerakan-gerakan Muslim Pembaharu di Indonesia. Penerbit ‘sh’. Jakarta.
• Tuhuleley, S. 1990. HMI di Mata Seorang Praktisi (Mahasiswa) 77-78: Sebuah Upaya Permakluman. Makalah dalam buku putih: “Dinamika Sejarah HMI”. HMI Badko Jawa Bagian Tengah. Yogyakarta
Sumber : http://siminikui.files.wordpress.com/2012/02/sejarah-hmi-dari-zaman-kemerdekaan-sampai-reformasi.pdf
4
Himpunan Mahasiswa Islam
Lambang Himpunan Mahasiswa Islam
Singkatan
Pembentukan
Jenis
Tujuan
KantSitus web
HMI
5 Februari 1947 M / 14 Rabiul Awal 1366 H
Organisasi Kemahasiswaan, Organisasi Pengkaderan dan Perjuangan
Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Subhanahu wata'ala.
Jakarta, Indonesia
http://www.hmi.or.id (HMI DIPO)
http://www.pbhmi.net (HMI MPO)
Himpunan Mahasiswa Islam (disingkat HMI) adalah sebuah organisasi yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 5 Februari 1947, atas prakarsa Lafran Pane beserta 14 orang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam Yogyakarta.
Sejarah
Sebelum Lahirnya HMI
Sebelum lahirnya Himpunan Mahasiswa Islam, terlebih dulu berdiri organisasi kemahasiswaan bernama Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) pada tahun 1946 yang beranggotakan seluruh mahasiswa dari tiga Perguruan Tinggi di Yogyakarta, yaitu Sekolah Tinggi Teknik (STT), Sekolah Tinggi Islam (STI) dan Balai Perguruan Tinggi Gajahmada yang pada waktu itu hanya memiliki Fakultas Hukum dan Fakultas Sastra. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta selalu berbau Kolial Belanda. Sering pesta dengan poloniase, dansa serta minum-minuman keras.
Oleh karena Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta dirasa tidak memperhatikan kepentingan para mahasiswa yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Tidak tersalurnya aspirasi keagamaan merupakan alasan kuat bagi para mahasiswa Islam untuk mendirikan organisasi kemahasiswaan yang berdiri dan terpisah dari Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta.
Pada tahun 1946, suasana politik di Indonesia khususnya di Ibukota Yogyakarta mengalami polarisasi antara pihak Pemerintah yang dipelopori oleh Partai Sosialis, pimpinan Syahrir - Amir Syarifuddin dan pihak oposisi yang dipelopori oleh Masyumi, pimpinan Soekiman - Wali Al-Fatah dan PNI, pimpinan Mangunsarkoro - Suyono Hadinoto serta Persatuan Pernyangannya Tan Malaka. Polarisasi ini bermula pada dua pendirian yang saling bertolak belakang, pihak Partai Sosialis (Pemerintah) menitik beratkan perjuangan memperoleh pengakuan Indonesia kepada perjuangan berdiplomasi, pihak oposisi pada perjuangan bersenjata melawan Belanda.
Polarisasi ini membawa mahasiswa yang juga sebagian besar dari mereka adalah pengurus Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta berorientasi kepada Partai Sosialis. Melalu mereka inilah Partai Sosialis mencoba mendominir Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta. Namun mahasiswa yang masih memiliki idealis tidak dapat membiarkan usaha Partai Sosialis hendak mendominir Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta. Dengan suasana yang sangat kritis dikarenakan Belanda semakin memperkuatkan diri dengan terus-menerus mendatangkan bala bantuan dengan persenjataan modern yang kemudian pada tanggal 21 Juli 1947 terjadilah yang dinamakan Agresi Militer Belanda I. Dengan situasi yang demikian para mahasiswa yang berideologi murni tetap bersatu menghadapi Belanda, mencegak setidak-tidaknya mengurangi efek-efek dari polarisasi politik yang sangat melemahkan potensi Indonesia menghadapi Belanda. Karenanya mereka menolah keras akan sikap dominasi Partai Sosialis terhadap mahasiswa yang dinilai akan mengakibatkan dunia mahasiswa terlibat dalam polarisasi politik.
Berbagai hal ini yang mendorong beberapa orang mahasiswa untuk mendirikan organisasi baru. Meskipun sebenarnya jauh sebelum adanya keinginan untuk mendirikan organisasi baru sudah ada cita-cita akan itu, namun selalu ditunda dan dianggap belum tepat. Namun melihat dari berbagai kondisi yang ada dirasa cita-cita yang sudah lama diharapkan itu perlu diwujudkan karena bila membiarkan Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta lebih lama didominasi oleh Partai Sosialis adalah hal yang tidak tepat. Penolakan sikap dominasi Partai Sosialis terhadap Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta tidak hanya datang dari kalangan mahasiswa Islam, melainkan juga mahasiswa kristen, mahasiswa katolik, serta berbagai mahasiswa yang masih menjunjung teguh ideologi keagamaan.
Awal Berdirinya HMI
Himpunan Mahasiswa Islam di prakarsai oleh Lafran Pane, seorang mahasiswa tingkat I (semester I) Sekolah Tinggi Islam (sekarang Universitas Islam Indonesia (UII)). Ia mengadakan pembicaraan dengan teman-temannya mengenai gagasan membentuk organisasi mahasiswa bernafaskan Islam dan setelah mendapatkan cukup dukungan, pada bulan November 1946, ia mengundang para mahasiswa Islam yang berada di Yogyakarta baik di Sekolah Tinggi Islam, Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada dan Sekolah Teknik Tinggi, untuk menghadiri rapat, guna membicarakan maksud tersebut. Rapat-rapat ini dihadiri kurang lebih 30 orang mahasiswa yang di antaranya adalah anggota Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia. Rapat-rapat yang digelar tidak menghasilkan kesepakatan. Namun Lafran Pane mengambil jalan keluar dengan mengadakan rapat tanda undangan, yaitu dengan mengadakan pertemuan mendadak yang mempergunakan jam kuliah Tafsir oleh Husein Yahya. Pada tanggal 5 Februari 1947 (bertepatan dengan 14 Rabiulawal 1366 H), di salah satu ruangan kuliah Sekolah Tinggi Islam di Jalan Setyodiningratan 30 (sekarang Jalan Senopati) Yogyakarta, masuklah Lafran Pane yang langsung berdiri di depan kelas dan memimpin rapat yang dalam prakatanya mengatakan : "Hari ini adalah rapat pembentukan organisasi Mahasiswa Islam, karena semua persiapan yang diperlukan sudah beres".
Kemudian ia meminta agar Husein Yahya memberikan sambutan, namun beliau menolak dikarenakan kurang memahami apa yang disampaikan sehubungan dengan tujuan rapat tersebut.
Pernyataan yang dilontarkan oleh Lafran Pane dalam rapat tersebut adalah :
• Rapat ini merupakan rapat pembentukan organisasi Mahasiswa Islam yang anggaran dasarnya telah dipersiapkan.
• Rapat ini bukan lagi mempersoalkan perlu atau tidaknya ataupun setuju atau menolaknya untuk mendirikan organisasi Mahasiswa Islam.
• Diantara rekan-rekan boleh menyatakan setuju dan boleh tidak. Meskipun demikian apapun bentuk penolakan tersebut, tidak menggentarkan untuk tetap berdirinya organisasi Mahasiswa Islam ketika itu, dikarenakan persiapan yang sudah matang.
Setelah dicerca berbagai pertanyaan dan penjelasan, rapat pada hari itu dapat berjalan dengan lancar dan semua peserta rapat menyatakan sepakat dan berketetapan hati untuk mengambil keputusan :
• Hari Rabu Pon 1878, 15 Rabiulawal 1366 H, tanggal 5 Februari 1947, menetapkan berdirinya organisasi Himpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI yang bertujuan :
o Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat Rakyat Indonesia
o Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam
• Mengesahkan anggaran dasar Himpunan Mahasiswa Islam. Adapun Anggaran Rumah Tangga akan dibuat kemudian.
• Membentuk Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam.
Adapun peserta rapat yang berhadir adalah Lafran Pane, Karnoto Zarkasyi, Dahlan Husein, Maisaroh Hilal (cucu pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan), Suwali, Yusdi Ghozali; tokoh utama pendiri Pelajar Islam Indonesia (PII), Mansyur, Siti Zainah (istri Dahlan Husein), Muhammad Anwar, Hasan Basri, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi dan Bidron Hadi.
Selain itu keputusan rapat tersebut memutuskan kepengurusan Himpunan Mahasiswa Islam sebagai berikut :
Ketua Lafran Pane
Wakil Ketua Asmin Nasution
Penulis I Anton Timoer Djailani, salah satu pendiri
Pelajar Islam Indonesia (PII)
Penulis II Karnoto Zarkasyi
Bendahara I Dahlan Husein
Bendahara II Maisaroh Hilal
Anggota Suwali,
Yusdi Gozali, pendiri Pelajar Islam Indonesia (PII)
Mansyur
Perkembangan HMI
Sejalan dengan perkembangan waktu, HMI terbelah menjadi dua pasca diselenggarakannya Kongres ke-15 HMI di Medan pada tahun 1983. Pada tahun 1986, HMI yang menerima azas tunggal Pancasila dengan pertimbangan-pertimbangan politis beserta tawaran-tawaran menarik lainnya, rela melepaskan azas Islam sebagai azas organisasnya. Selanjutnya HMI pihak ini disebut sebagai HMI DIPO, dikarenakan bersekretariat di Jalan Pangeran Diponegoro Jakarta. Sedangkan HMI yang tetap mempertahankan azas Islam kemudian dikenal dengan istilah HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi).
Karena alasan untuk menyelamatkan HMI dari ancaman pembubaran oleh rezim Orde Baru, maka melalui Kongres Padang disepakatilah penerimaan asas tunggal Pancasila. Setelah penerimaan azas tunggal itu, HMI yang bermarkas di Jalan Diponegoro sebagai satu-satunya HMI yang diakui oleh negara. Namun pada Kongres Jambi 1999, HMI (DIPO) kembali ke kepada asas Islam. Namun demikian, HMI DIPO dan HMI MPO tidak bisa disatukan lagi, meski azasnya sudah sama-sama Islam. Perbedaan karakter dan tradisi keorganisasian yang sangat besar di antara keduanya, membuat kedua HMI ini sulit disatukan kembali. HMI DIPO nampak lebih berwatak akomodatif dengan kekuasaan dan cenderung pragmatis, sementara HMI MPO tetap mempertahankan sikap kritisnya terhadap pemerintah. Sampai saat ini, HMI merupakan salah satu organisasi mahasiswa terbesar dan tertua di Indonesia.
Pimpinan
• HS Mintareja, periode 1947 - 1951
• A. Dahlan Ranuwiharja, periode 1951 - 1953
• Deliar Noer, periode 1953 - 1955
• Amir Rajab Batubara, periode 1955 - 1957
• Ismail Hasan Metareum, periode 1957 - 1960
• Sulastomo, periode 1963 - 1966
• Nurcholish Madjid, periode 1966 - 1969
• Nurcholish Madjid, periode 1969 - 1971
• Akbar Tanjung, periode 1971 - 1974
• Ridwan Saidi, periode 1974 - 1976
• Chumaidy Syarif Romas, periode 1974 - 1976
• Abdullah Hehamahua, periode 1979 - 1981
• Harry Azhar Azis, periode 1983 - 1986
Kongres
• Kongres ke-1 di Yogyakarta pada tanggal 30 November 1947, dengan ketua terpilih HS Mintareja
• Kongres ke-2 di Yogyakarta pada tanggal 15 Desember 1951, dengan ketua terpilih A. Dahlan Ranuwiharja
• Kongres ke-3 di Jakarta pada tanggal 4 September 1953 dengan formatur terpilih Deliar Noer
• Kongres ke-4 di Bandung pada tanggal 14 Oktober 1955 dengan formatur terpilih Amir Rajab Batubara
• Kongres ke-5 di Medan pada tanggal 31 Desember 1957 dengan formatur terpilih Ismail Hasan Metareum
• Kongres ke-6 di Makassar (Ujungpandang) pada tanggal 20 Juli 1960 dengan formatur terpilih Nursal
• Kongres ke-7 di Jakarta pada tanggal 14 September 1963 dengan formatur terpilih Sulastomo
• Kongres ke-8 di Solo (Surakarta) pada tanggal 17 September 1966 dengan formatur terpilih Nurcholish Madjid
• Kongres ke-9 di Malang pada tanggal 10 Mei 1969 dengan formatur terpilih Nurcholish Madjid
• Kongres ke-10 di Palembang pada tanggal 10 Oktober 1971 dengan formatur terpilih Akbar Tanjung
• Kongres ke-11 di Bogor pada tanggal 12 Mei 1974 dengan formatur terpilih Ridwan Saidi
• Kongres ke-12 di Semarang pada tanggal 16 Oktober 1976 dengan formatur terpilih Chumaidy Syarif Romas
• Kongres ke-13 di Makassar (Ujungpandang) pada tanggal 12 Februari 1979 dengan formatur terpilih Abdullah Hehamahua
• Kongres ke-14 di Bandung pada tanggal 30 April 1981 dengan formatur terpilih Ahmad Zacky Siradj
• Kongres ke-15 di Medan pada tanggal 26 Mei 1983 dengan formatur terpilih Harry Azhar Aziz
• Kongres ke-16 di Padang pada tahun 1986, dengan formatur terpilih M. Saleh Khalid, terpecahnya HMI menjadi dua yakni HMI DIPO dan HMI MPO
Kongres HMI DIPO
• Kongres ke-17, di Lhokseumawe, Aceh (6 Juli 1988) dengan formatur terpilih Herman Widyananda
• Kongres ke-18, di Jakarta (24 september 1990)dengan formatur terpilih Ferry Mursyidan Baldan
• Kongres ke-19, di Pekan baru (09 Desember 1992)dengan formatur terpilih M. Yahya Zaini
• Kongres ke-20, di Surabaya (29 Januari 1995)dengan formatur terpilih Taufik Hidayat
• Kongres ke-21 di Yogyakarta (26 Agustus 1997), dengan formatur terpilih Anas Urbaningrum
• Kongres ke-22 di Jambi (03 Desember 1999), dengan formatur terpilih Fakhruddin
• Kongres ke-23 di Pontianak (30 April 2002), dengan formatur terpilih Cholis Malik
• Kongres ke-24 di Jakarta (23 Oktober 2003), dengan formatur terpilih Hasanuddin
• Kongres ke-25 di Makassar (20 Februari 2006), dengan formatur Terpilih Fajar R Zulkarnaen
• Kongres ke-26 di Palembang (28 Juli 2008), dengan formatur terpilih Arip Musthopa
• Kongres ke-27 Depok pada tanggal 5 - 10 November 2010, dengan formatur terpilih Noer Fadjriansyah
• Kongres ke-28 Jakarta pada tanggal 15 Maret - 15 April 2013, dengan formatur terpilih Arief Rosyid Hasan
Kongres HMI MPO
• Kongres ke-16 di Yogyakarta pada tahun 1986, Ketua Umum : Eggy Sudjana
• Kongres ke-17 di Yogyakarta pada tanggal 5 Juli 1988, Ketua Umum : Tamsil Linrung
• Kongres ke-18 di Bogor pada tanggal 10 Oktober 1990, Ketua Umum : Masyhudi Muqarrabin
• Kongres ke-19 di Semarang pada tanggal 24 Desember 1992, Ketua Umum : Agusprie Muhammad
• Kongres ke-20 di Purwokerto pada tanggal 27 April 1995, Ketua Umum : Lukman Hakim Hassan
• Kongres ke-21 di Yogyakarta pada tanggal 28 Juli 1997, Ketua Umum : Imron Fadhil Syam
• Kongres ke-22 di Jakarta pada tanggal 26 Agustus 1999, Ketua Umum : Yusuf Hidayat
• Kongres ke-23 di Makassar pada tanggal 25 Juli 2001, Ketua Umum : Morteza Syafinuddin Al-Mandary
• Kongres ke-24 di Semarang pada tanggal 11 September 2003, Ketua Umum : Cahyo Pamungkas
• Kongres ke-25 di Palu pada tanggal 17 Agustus 2005, Ketua Umum : Muzakkir Djabir
• Kongres ke-26 di Jakarta Selatan pada tanggal 16 Agustus 2007, Ketua Umum : Syahrul Effendi Dasopang
• Kongres ke-27 di Yogyakarta pada tanggal 9 Juni 2009, Ketua Umum : Muhammad Chozin Amirullah
• Kongres ke-28 di Pekanbaru, Riau tanggal 14 - 19 Juni 2011, Ketua Umum : Alto Makmuralto
• Kongres ke-29 Next Time
Lembaga Kekaryaan
1. Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI), pencetus terbentuknya Lembaga Dakwah Kampus (LDK)
2. Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI)
3. Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam (LEMI)
4. Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI)
5. Lembaga Bantuan Hukum Mahasiswa Islam (LBHMI)
6. Lembaga Seni dan Budaya Mahasiswa Islam (LSBI)
7. Lembaga Penelitian Mahasiswa Islam (LAPENMI)
8. Lembaga Teknologi Mahasiswa Islam (LTMI)
Sumber : Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
5
Memoar Seorang Mantan Ketua Umum PB HMI
Deliar Noer
Keterlibatanku dalam Himpunan Mahasiswa Islam sebenarnya merupakan perkembangan biasa saja, apalagi pada permulaannya. Bukankah aku semenjak kecil sudah diperkenalkan dengan segala yang berbau Islam? Ketika di MULO aku mengajak kawan-kawan untuk memberikan sumbangan guna membantu para mukimin di Mekkah. Ketika itu aku juga menjadi anggota aktif Persatuan Pemuda Islam.
Di samping memperbanyak bacaan, aku sengaja ingin aktif bersama orang-orang seiman; tempatnya ketika itu adalah Himpunan Mahasiswa Islam.
Suatu rapat diadakan di rumah sekolah Muhammadiyah di Kramat bulan Maret 1950. Tentu Pak Broto dari Muhammdiyah dan aku pergi menghadirinya. Aku berkenalan dengan kawan-kawan yang pada umumnya lebih tua dariku. Ada Pak Broto yang kusebut tadi, adapula Syarif Usman yang beberapa tulisannya telah pernah aku baca dalam Pedoman Masyarakat sebelum Perang Dunia II. Disepakati untuk mendirikan cabang HMI Jakarta, dengan ketua AS Broto. Aku diusulkan Kamil untuk menjadi sekretaris, disertai pengantarnya tentang pengalamanku di berbagai organisasi pelajar, baik di Medan maupun di Jakarta. Kamil memang termasuk kawan yang sering mempromosikan aku. Dan aneh juga, kupikir, yang hadir menyetujui; aku juga tak menolak. Bukankah sudah kukatakan, aku ingin dekat dengan Tuhan, dengan kawan-kawan seiman, dengan maksud agar imanku kokoh, dan tidak lagi bertanya-tanya seperti yang kurasakan selama itu.
Tetapi pada tahun berikutnya, ketika jumlah anggota HMI yang terdaftar masih saja seperti tahun sebelumnya (15 orang), aku terpilih sebagai ketua cabang. Broto ikhlas sekali tampaknya dalam menyerahkan pimpinan cabang ini kepadaku sehingga ia pun membantu benar dalam memajukan HMI di bawah pimpinanku. Hubungan kami berkawan memang termasuk erat. Jauh sesudahnya, ketika aku menjadi Rektor IKIP Jakarta, hubunganku dengannya berlanjut mesra.
Kongres Darurat di Yogyakarta
Dalam tahun itu juga bulan Desember, kami pergi ke Yogyakarta mewakili HMI Cabang Jakarta menghadiri kongres darurat HMI. Kami terdiri dari tiga orang: Broto, Usuluddin Hutagalung dan aku. Ketika itu HMI sudah membuka cabang di beberapa kota lain, termasuk Yogyakarta tempat berdinya HMI dan sampai permulaan tahun 1950 masih merupakan tempat kedudukan pimpinan pusat organisasi ini. Kemudian juga Bandung, Surabaya dan tentu saja Jakarta. Perkembangan ini menghendaki konsolidasi organisasi, di samping perlunya kejelasan tentang personalia dan struktur pimpinan pusat sendiri.
Dalam masa revolusi mulanya Achmad Tirtosudiro yang ketua, tetapi ia segera masuk resimen mahasiswa (malah kudengar kemudian ia jadi komandannya) dan akhirnya, menurut kabar ketika itu, itu ia tetap di Angkatan Darat. Wakilnya Mintaredja, tetapi setelah aksi militer Belanda kedua, wakilnya ini pindah ke Bandung. Hutagalung sendiri pada waktu revolusi sudah menjadi anggota pengurus pusat, tetapi ia juga pindah ke Jakarta setelah aksi militer Belanda itu. Ada Asmin Nasution dan Dahlan Ranuwihardjo yang di Jakarta, tetapi tetap belum jelas amat bagaimana sebenarnya pimpinan pusat itu. Keduanya memang duduk di dalam kepengurusan pusat, namun susunannya dibentuk oleh orang-orang pusat itu sendiri tanpa persetujuan cabang-cabang yang sudah beberapa buah. Apakah, umpamanya Lafran Pane, yang dalam masa revolusi juga turut dalam pimpinan pusat, mengetahui segala macam perkembangan ini? Kami di Jakarta tahu bahwa perkembangan itu diikuti juga oleh Lafran, karena ada juga di Jakarta berbicara sesama anggota pimpinan pusat itu.
Kongres darurat diperlukan tampaknya, dan tempatnya lebih tepat di Yogyakarta. Sungguh pun demikian aku sendiri tidak merasa perlu status kongres itu ditekankan; konperensi atu pertemuan antara cabang dengan pimpinan pusat sudah memadai. Tetapi Dahlan sendiri mempunyai pendapat lain, dan ini dikemukankannya dalam pertemuan di Yogya itu. Ia merasa perlu adanya kongres, walau darurat, agar keputusan lebih mantap. Aku tidak bersikukuh dengan pendirianku, karena yang perlu ialah kesepakatan, bukan status suatu pertemuan. Agaknya Dahlan sendiri merasa perlu status kongres ini, agar kedudukannya di pimpinan pusat dikukuhkan oleh kongres tersebut. Dan inilah yang terjadi.
Ketika itu Dahlan Ranuwiharjo memang sudah menjadi ketua umum pilihan sesama anggota pimpinan pusat, dan dialah yang memimpin kongres. Lagi pun Perserikatan Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), suatu federasi organisasi mahasiswa ekstern seluruh Indonesia, akan mengadakan kongresnya di Yogyakarta yang tentu juga akan diikutsertai oleh HMI. Ini berarti HMI akan mengirimkan delegasinya, dan sebaiknya delegasi ini terdiri dari orang pusat dan orang cabang. Ketika itu wilayah belum dikenal dalam HMI.
Maka aku pun berangkatlah ke Yogyakarta dengan kereta api sebagai utusan HMI Jakarta, bersama Broto dan Hutagalung. Seperti kukatakan, kawan yang akhir ini sebenarnya sudah duduk juga di pimpinan pusat, dan oleh sebab itu ia lebih banyak sebagai orang pusat. Sebelum berangkat, kami di cabang mengadakan lebih dahulu rapat khusus untuk membekali delegasi ke Yogyakarta. Namun bekal ini tak banyak, oleh karena pada umumnya kami di cabang belum banyak mengenal HMI dan belum juga banyak mengenal organisasi mahasiswa. Cabang Jakarta ketika itu pun lebih banyak terdiri dari rekan-rekan mahasiswa di Universitas Nasional dan Universitas Islam Djakarta (namanya ketika itu masih Perguruan Tinggi Islam Djakarta); seorang dua saja dari Universitas Indonesia. Pengalaman berkongres kami pun belum ada, sungguh pun ada juga keyakinan kami bahwa kongres hanya merupakan rapat anggota suatu cabang.
Di Yogyakarta aku menginap di rumah yang papan namanya masih bertanda Mr. Mohammad Roem, karena dahulunya memang Pak Roem tinggal di rumah itu. Letaknya di Gondokusuman. Rumah ini juga tempat Dahlan Ranuwihardho tinggal (atau menginap) serta juga seorang kemenakan lain Pak Roem, kakak dari Dahlan, yaitu Arismunandar. Aris ini pada masa Jepang sekelas denganku di SMPT Jakarta. Ia masih mengingatku, tetapi mungkin karena bukan mahasiswa melainkan seorang yang sudah bekerja penuh (ia mempunyai bengkel sepeda) ia tak banyak bicara denganku. Namun ia gembira dengan kedatanganku.
Broto dan Hutagalung menginap di rumah Anton Timur Djaelani, di daerah Kota Baru juga. Timur atau Anton, tokoh Pelajar Islam Indonesia (PII), walau pun ketika itu ia sudah menjadi mahasiswa. Aku sering ke sana menjumpai Broto dan Hutagalung, sambil berkenalan juga untuk pertama kali dengan tuan rumah.
Seperti kukatakan, kongres HMI kami disebut kongres darurat. Wakil Bandung, Sdr. Achamd Sadali yang kemudian terkenal sebagai tokoh seni rupa di Institut Teknologi Bandung, dan wakil Yogyakarta , dipimpin oleh Sdr. Daldiri yang kemudian menjadi dokter dan profesor tenar di Surabaya, bersama seorang dua temannya hadir. Tak lama kemudian Daldiri mendirikan cabang di Surabaya. Ia sendiri mengatasnamakan kawan-kawan di Surabaya dalam menghadiri kongres HMI itu.
Kongres darurat ini antara lain memilih ketua umum Pengurus Besar. Seperti kukatakan, Dahlan kelihatannya ingin dikukuhkan dalam kongres, walau pun yang sifatnya darurat. Memang kedudukan Pengurus Besar, apalagi ketua umumnya, akan lebih kuat bila ia dipilih oleh suatu kongres, walau pun kongres itu sifatnya darurat dan dihadiri oleh hanya beberapa orang, tanpa tata tertib yang jelas pula, kecuali tata tertib menurut rapat biasa seperti yang kami lakukan di Yogya itu.
Lafran Pane hadir juga sebagai orang dari Yogyakarta, walau kehadirannya tidak terus-menerus. Aku segera menangkap kesan bahwa ia kurang serasi dalam berbagi hal dengan Dahlan. Yang akhir ini, umpamanya, menyarakankan agar kongres mengambil keputusan untuk mendesak pemerintah mengadakan kursus atau kuliah bahasa Belanda, terutama bagi mahasiswa Fakultas Hukum yang memang memerlukan pengetahuan bahasa Belanda ini untuk studi sebagai ahli hukum. Hukum Indonesia ketika itu, agaknya juga sampai kini, masih sangat dipengaruhi oleh pengertian-pengertian hukum asal Belanda, malah kitab undang-undangnya masih berbahasa Belanda. Lafran menolaknya, dan dengan keras pula. Dua hal ia kemukakan sebagai alasan: perlunya kita berusaha lebih mandiri, dan kedua, karena bahasa Belanda termasuk bahasa yang sulit, dan oleh sebab itu akan menyulitkan para mahasiswa saja. Ia lebih suka agar segala bahasa Belanda di dalam hukum diterjemahkan saja ke dalam bahasa Indonesia dan ini bisa dipercepat, katanya.
Kalau sekiranya masalah itu dibatasi pada perbedaan pendapat tentang sesuatu hal, tentu tidak menjadi masalah. Tetapi kesanku tadi, kekurangserasian antara kedua tokoh mahasiswa Islam ini mengherankan aku juga. Apalagi seharusnya memberi kesan yang lebih positif terutama bagi kami yang baru mengenal HMI itu.
Kongres HMI itu juga memutuskan untuk mempergiat penyebaran organisasi ini ke kota-kota universitas yang belum mengenalnya. Malah ada semacam anjuran agar HMI mendapat pendukung lebih besar di universitas umum. Masalahnya, perguruan tinggi Islam sudah jelas Islamnya, dan oleh sebab itu para mahasiswanya sudah boleh dikatakan sejalan saja dengan HMI dalam aspirasi dan penjabarannya.
Ada pula diputuskan untuk membuat logo HMI yang akan menghias bendera, dan dijadikan insinye serta dalam rangka penggunaan kalung kepengurusan. Soal logo ini diserahkan ke Cabang Bandung yang memang mempunyai orang-orang dari bidang senirupa. Achmad Sadali tampak sekali antusias dengan hal ini. Cabang Jakarta sendiri mendapat tugas dari kongres untuk mengkaji ulang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga sehingga pada kongres berikut akan dapat diadakan perubahan-perubahan. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ini memang telah perlu dirombak; ia berasal dari tahun 1947.
Kongres juga membicarakan beberapa hal yang berkaitan dengan kongres PPMI yang akan dihadapi oleh HMI Yogyakarta itu juga. Bukankah sudah kukatakan bahwa kami dari HMI dapat menghadapi kongres PPPMI? Dahlan memang sudah aktif di PPMI yang sampai kongres di Yogya itu diketuai oleh Subroto dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Menarik juga mengingat bahwa Subroto ini kemudian menjadi menteri dalam kabinet Soeharto, dan kemudian menjadi sekretaris jenderal organisasi minyak sedunia, OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries).
Kongres PPMI
Di kongres PPMI aku mulai mengenal gerakan mahasiswa pada tingkat nasional. Aku termasuk dalam delegasi HMI di kongres itu, bersama Dahlan (yang sebenarnya memang sudah di PPMI), Broto dan Hutagalung. Ada juga kawan dari HMI Yogyakarta yang hadir, seperti juga Lafran yang sesekali muncul dalam forum PPMI. Tetapi masalah-masalah di PPMI tidak merupakan isu yang terlalu diperdebatkan, kecuali tentang International Union of Students (Gerakan Mahasiswa Internasional) yang merupakan gerakan kiri. Sampai masa-masa akhir aku aktif di HMI (1955 dan sebagian 1956 walau pun secara resmi tidak aktif duduk lagi sebagai anggota pengurus) hubungan PPMI dengan IUS ini tetap saja menjadi bahan perdebatan.
Sesekali aku, Hutagalung dan Broto berbicara bergantian. Kesanku ialah bahwa utusan-utusan dari organisasi mahasiswa lain, baik dari Yogya mau pun dari Jakarta, tetapi juga dari Surabaya, Bandung dan Bogor, melihat HMI sebagai organisasi yang diperhitungkan. Kalau ada orang HMI yang bicara di depan kongres itu, delegasi lain pada umumnya memperhatikan. Peran HMI seperti itu tentu merupakan lanjutan dari perannya semasa revolusi, karena PPMI juga dibentuk di masa revolusi itu. Peran ini tampaknya lebih meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Aku merasa bangga juga dengan peran HMI seperti ini. Apalagi dalam kongres di Yogyakarta itu Dahlan Ranuwihardjo terpilih sebagai ketua PPMI.
Menjadi Ketua Umum PB HMI
Pada permulaan September 1953 dalam Kongres HMI se-Indonesia di Jakarta aku terpilih sebagai ketua umum pengurus besar. Ketika itu aku mengetuai delegasi HMI Jakarta sungguhpun aku bukan lagi ketua cabang. Oesodo yang ketua cabang, dan yang pada masa aku mengetuai cabang menjadi wakil ketua, menjadi wakil ketua delegasi. Ia memang sangat mendukung aku dalam posisi yang sangat memungkinkan aku terpromosikan. Aku mengenang ia sebagai orang baik dan lurus, bukan karena ia mempercayaiku melainkan karena memang demikianlah sifat orangnya.
Dalam kongres ada beberapa cabang baru yang muncul: Medan (yang pendirian cabangnya turut kupelopori ketika aku datang ke sana tahun 1952) dan Makassar. Kawan-kawan yang tinggal di asrama Pegangsaan Timur dan jalan Bunga sibuk membantu, bukan saja dalam rangka sidang-sidang, resepsi dan sebagainya, melainkan juga karena kongres disibukkan pula dengan acara pertandingan olah raga dan deklamasi sajak.
Sidang kami adakan di asrama Pegangsaan Timur, olah raga di halamannya, sedangkan perlombaan sajak di Lembaga Mikrobiologi, juga di Pegangsaan Timur, dan akhirnya resepsi di aula UI di Salemba. Para peserta menginap di asrama Jalan Bunga, asrama Pegangsaan Timur, dan satu orang puteri dari Bandung dan dua dari Yogyakarta di rumah Pak Samsoeridjal, walikota Jakarta.
Sidang-sidang kami kadang-kadang hangat juga. Kupikir, Cabang Jakarta (itu berarti aku karena aku yang menyuarakan pendapat cabang tersebut) terlalu keras menghadapi kerja dan kebijaksanaan pengurus besar. Ada berbagai penyesalan yang kami sampaikan dalam hubungan dengan pengurus besar: rangkapan ketua umum pengurus besar dengan kedudukan di organisasi lain (seperti Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia di mana ketua umum PB HMI juga menjadi ketua umum PPMI); dalam rangka ini Dahlan Ranuwihardjo pernah bepergian lama ke luar negeri, dengan akibat berkurangnya perhatian pada kegiatan pokok di HMI; kecenderungan berpolitik pada sebagian kalangan PB HMI (Dahlan memang secara pribadi besar perhatiannya terhadap bidang politik) sehingga tertinggal dalam usaha peningkatan kemahasiswaan. Termasuk di dalamnya permintaan ketua umum PB kepada Bung Karno untuk menjelaskan masalah "Negara Nasional dan Negara Islam".
Seperti kukatakan di atas, kesempatan ini dipergunakan presiden -- yang mempunyai kedudukan konstitusional -- untuk menyampaikannya ke tengah masyarakat yang bisa mempengaruhi massa. Ini akan merugikan kalangan Islam karena Bung Karno sudah diketahui lama, akan menolak negara Islam.
Ketika itu isu negara Islam (atau negara berdasar Islam) sedang dipopulerkan oleh partai-partai Islam (praktis pada permulaan 1950-an sampai menjelang pemilihan umum 1955 udara politik Indonesia dipenuhi oleh kampanye tak resmi tentang sifat negara yang hendak dibangun di Indonesia ini).
Namun, perlu pula dicatat segera bahwa perbedaan pendapat seperti ini tidak mempengaruhi kongres dan hubungan antara cabang Jakarta dengan PB, serta hubungan pribadi pihak-pihak bersangkutan. Memang benar, suara-suara yang kadang-kadang keras diperdengarkan itu menyeramkan juga, namun selesai sidang, ataupun bila menghadapi acara lain, suasana pun sudah berubah pula.
Aku sendiri mencatat dalam hubungan ini betapa perdebatan di dalam lingkungan partai Islam, terutama Masjumi baik yang kudengar dari beberapa tokoh, maupun yang kubaca dari berbagai notulen rapat yang kemudian kuperoleh kemudian dari beberapa tokoh itu, memang bisa sangat menghangat.
Tapi seusai rapat atau sidang, hubungan antara mereka yang berdebat itu pulih seperti biasa kembali. Tidak pula ada yang menyampaikan isi perdebatan itu kepada orang lain, kecuali yang dipercaya; dan tentu tidak pada kalangan pemerintahan. Masalah perdebatan seperti itu adalah masalah dalam partai atau organisasi.
Kongres menyetujui logo yang direncanakan oleh Cabang Bandung sesuai keputusan kongres darurat tahun 1951. Masalah logo ini berkaitan dengan atribut HMI dalam bentuk lencana, bendera, stempel dan kartu anggota. Ada kesalahpahaman antara Cabang Jakarta dan Cabang Bandung dalam rangka keputusan kongres darurat tentang logo ini.
Kami melihat keputusan kongres darurat meminta cabang Bandung merencanakan logo tadi bukan dalam pengertian secara mutlak, yaitu bahwa rencana yang dibuat oleh Cabang Bandung harus diterima secara otomatis. Oleh sebab itu menjelang kongres di Jakarta, kami di Jakarta pun meminta Budiman, pelukis yang seorang lagi yang tidak turut pameran setahun sebelumnya di Gedung Proklamasi, untuk membuat rencana logo itu. Hasilnya kami kemukakan ke sidang kongres.
Hal ini ditanggapi oleh Cabang Bandung, terutama Achmad Sadali yang ketua cabang, dengan emosi tinggi, karena merasa bahwa yang hanya berhak merencanakan logo itu adalah Cabang Bandung, sesuai kongres darurat 1951.
Achmad Sadali sampai mengancam akan keluar dari HMI bila rencana logo Cabang Jakarta ikut dipertimbangakan oleh kongres, dan rencana dari Bandung tidak diterima.
Kurasa reaksinya ini terlalu berlebihan. Kongres seperti di Jakarta, menurut aku, bisa saja memilih rencana yang ada walau yang dari Bandung dipertimbangkan secara serius. Lagipun kalau hanya rencana Bandung yang dibicarakan, kemudian kongres menolaknya, bukankah bisa, malah perlu, dicari rencana logo yang lain? Tetapi pemikiranku ini tidak kulanjutkan, dan setelah ancaman dari Cabang Bandung itu dilontarkan, kami dari Jakarta pun diam-diam saja. Kongres menerima rencana logo Cabang Bandung tersebut.
Kongres tentu mendengar laporan dari pengurus besar, dan dari cabang-cabang. Laporan pengurus besar yang hangat dibicarakan adalah sehubungan dengan pidato Bung Karno tentang "Negara Nasional dan Negara Islam" seperti yang telah kuceritakan di atas. Beberapa cabang lain, di samping Jakarta, Medan, Makassar, juga kurang menyetujui inisiatif Ketua Umum PB yang mengundang Bung Karno dalam rangka menerangkan masalah negara tersebut.
Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga HMI, sesuai tugas yang diberikan kongres darurat di Yogyakarta (1951), dikemukakan oleh Cabang Jakarta. Berbulan-bulan lamanya suatu komisi khusus yang dibentuk cabang Jakarta mempersiapkan hal ini yang dipimpin oleh Suhariman yang dibantu dengan tekun oleh Ahmad Bustami. Keduanya memang dikenal di kalangan HMI Jakarta sebagai tenaga-tenaga yang serius dan tekun. Aku pun bergembira bahwa jerih payah seperti ini membuahkan hasil yang baik dalam kongres. Memang AD/ART yang berasal dari tahun 1947 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan.
Suatu bagian baru, Bahagian Keputerian, diputuskan oleh kongres untuk dibentuk, baik pada tingkat pusat maupun tingkat cabang. Keputusan ini berdasar usul Cabang Yogyakarta. Umumnya kami di Jakarta tidak merasa perlu mengadakan bagian khusus ini, karena selama ini keperluan anggota puteri HMI terpenuhi secara otomatis tanpa adanya bagian khusus. Anggota puteri bisa ikut bersama dalam kegiatan apa pun juga. Ada kecenderungan, demikian pemikiran kami, kalau bagian keputerian dibentuk para anggota puteri akan terpisah kegiatannya dari kegiatan putera. Atau masing-masing akan melaksanakan kegiatan seakan-akan untuk bagiannya sendiri-sendiri.
Kemungkinan lain ialah bahwa kepengurusan HMI secara umum akan terdiri semata-mata atas anggota putera, dan hanya bagian puteri saja yang akan diisi oleh bagian puteri. Padalah kegiatan kaderisasi, penerangan, penerbitan, studi secara umum, kesenian, pendek kata segala segi hidup ini praktis dilakukan bersama, baik puteri maupun putera.
Namun demikian, delegasi HMI Jakarta tidak mempersoalkan amat pembentukan bagian puteri ini. Memang diakui juga bahwa ada hal-hal khusus yang dihadapi kalangan puteri, yang berbeda dengan kalangan putera. Kami hanya berharap bahwa bagian puteri ini hanya menghadapi hal-hal khusus tersebut, dan dalam hal-hal yang lain yang bersifat umum kegiatan dilakukan bersama.
Tentu hal ini menyangkut pula soal pergaulan, dalam pendidikan, agaknya ini juga menyangkut soal pembauran segregasi. Tetapi kami pikir, kedewasaan lebih memungkinkan pembatasan yang terpelihara. Tampaknya hal seperti ini masih harus kita hadapi zaman sekarang.
Tentu kongres peduli terhadap kedudukan ummat Islam di negeri ini. Pada umumnya mahasiswa yang bergabung dalam HMI mendambakan cita-cita Islam tegak di tengah masyarakat dan bangsa kita. Salah satu sarananya ialah turut serta dalam pemilihan umum, hal yang oleh kongres diputuskan juga mahasiswa Islam hendaklah "turut aktif dalam pemilihan umum".
Dalam rangka ini HMI menjaga supaya kedudukannya di tengah perpolitikan Islam tidak memihak ke salah satu partai Islam yang ada. Pengalamanku di Cabang Jakarta, dan kemudian sebagai ketua umum PB menunjukkan bahwa keinginan kami adalah supaya partai-partai Islam itu bersatu kembali. Maka kami pun menghubungi semua pimpinan partai bersangkutan secara berkala. Dalam rangka Islam atau non-Islam, kami memang tidak netral, dalam rangka sikap terhadap partai-partai Islam, kami netral. Oleh sebab itu kongres juga memutuskan agar di antara partai-partai Islam tadi terdapat semacam gentleman's agreement dalam menghadapi pemilihan umum, maksudnya agar tidak serang-menyerang, dan kalau mungkin saling memperkuat. Seperti ternyata kemudian, harapan seperti ini tinggal harapan belaka.
Kongres juga menyatakan simpati terhadap perjuangan rakyat Maroko, Tunisia dan Aljazair yang ketika itu sedang berusaha mencapai kemerdekaan penuh mereka dari Perancis.
Ketua kongres yang dipilih oleh kongres adalah Mashud yang Ketua HMI cabang Yogyakarta. Mashud ini sebelumnya juga adalah Senat Mahasiswa Gadjah Mada dan aktif dalam kesebelasan universitas tersebut. Aku senang bergaul dengannya malah sampai aku berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar, dan kemudian kembali ke tanah air, berangkat lagi ke Australia tahun 1975, kami tetap berhubungan. Setelah ia menikah diperkenalkannya istrinya ketika mereka ke Jakarta kepadaku dengan mendatangiku di rumah "lajang" Pegangsaan Barat. Oleh sebab itu sesudah aku kembali dari Australia 1985, dan kuundang ia dan istrinya ke rumah bersama kawan lain, aku termenung mendengar lewat telepon (istrinya menelepon istriku) bahwa ia telah meninggal dunia. Jalan kami agak berbeda di masa Demokrasi Terpimpin. Tetapi persaudaraan kami rasanya tambah erat saja. Aku merasa kehilangan benar-benar.
Seorang kawan lain juga yang juga setelah menikah membawa istrinya berkenalan denganku di Pegangsaan Barat adalah ketua Cabang HMI Jakarta 1950-51, AS Broto. Dahulu dalam tahun 1950-an itu, arti kunjungan kawan dengan istrinya ke rumahku, padahal aku sendiri belum berumah tangga, kurang kufahami secara dalam. Aku melihatnya sebagai cermin keakraban pergaulan belaka. Tetapi setelah berumah tangga, aku menyadari sangat hal ini, karena istri kita tidak kita bawa ke setiap rumah kawan untuk diperkenalkan, kita memilih-milih dalam hal ini. Dan akupun tambah berterima kasih saja atas kunjungan Mashud dan Broto dengan istrinya masing-masing itu ke rumahku.
Kedudukanku sebagai Ketua Umum PB HMI tentu menuntut kesibukan khusus yang bertambah pula. Apalagi suasana tanah air ketika itu menghangat terus, dan ini berpengaruh pada kehidupan mahasiswa. Di samping itu, perlu pula diperhatikan bahwa aku bekerja pula mencari nafkah, sebagai anggota redaksi bahasa Inggris di kantor berita PIA.
Penyusunan anggota pengurus besar tidak sukar amat. Dahlan yang juga mede-formateur bersama Wartomo (ia ini sekretaris kongres), mengusulkan agar Wartomo dijadikan wakil ketua. Aku sebenarnya tidak berkeberatan, apalagi kulihat Wartomo memang serius, dan punya pengalaman dalam organisasi walaupun dalam PII. Tetapi dia juga menjadi anggota PB PII ketika itu, dan ini menyebabkan aku tak bisa menerima usul Dahlan. Kepada Wartomo sendiri hal ini kukemukakan pula, setelah sibuk mencari aku usulkan agar Usuluddin Hutagalung menjadi wakil ketua. Baik Dahlan dan Wartomo menyetujuinya.
Usuluddin ini orangnya besar, umurnya lebih tua dari kami. seperti sudah kukatakan ia sudah turut aktif dalam PB waktu revolusi di Yogyakarta. Jadi sebenarnya ia "stok lama". Tetapi begitulah tidak mudah mencari orang untuk kedudukan ini. Aku masih ingat betapa kami di cabang, untuk mendapatkan calon ketua harus mendatangi beberapa mahasiswa yang senior yang belum menjadi anggota HMI, tetapi yang diketahui ke-Islamannya dengan menawarkan kedudukan ketua itu. Tampaknya kesulitan itu dijumpai lagi dalam mencari wakil ketua untuk PB.
Hutagalung bersedia, dan dengan demikian salah satu kesukaran teratasi. Ia studi di fakultas hukum UI. Untuk kedudukan lain dalam rangka PB itu, tidak sesukar mencari wakil ketua.
Gunadirdja (dari Sinologi), Harmaini (Ekonomi), Bintoro Tjokroamidjojo (Ekonomi) kuajak masuk dalam PB sebagai sekretaris. tetapi belakangan Bintoro merasa terlalu sibuk, sehingga kedudukannnya digantikan oleh mulanya Zaini Bahri (kalau tak salah dari UID) dan kemudian oleh Hasbullah (Ekonomi). Bintoro sendiri tetap menangani urusan perguruan tinggi dan kemahasiswaan. Kelihatannya memang ia menyukai bidang ini. Wasul (Ekonomi) yang pernah bendahari di cabang, kuminta untuk duduk di PB dalam kedudukan yang sama. Belakangan ia dibantu oleh Muchsin (dari Hukum), juga yang bekerja sama denganku di cabang. Pembantu umum mulanya hanya Anas Karim, seorang mayor yang kuliah di Sinologi, belakangan pembantu umum ini ditambah lagi dengan Ismail Hasan Metareum (Hukum), sedangkan Bintoro dibantu oleh Djoko Sanyoto (Ekonomi).
Ismail Hasan Metareum, seperti kuceritakan di atas, sering ke rumahku di Pegangsaan Barat, berbincang panjang-panjang, dan sering makan siang bersamaku. Ismail peduli benar dengan sikap orang HMI yang menurutnya ada yang kurang dapat sesuai dengan tuntutan Islam. Aku mengakui ini, tetapi kukatakan bahwa dengan pergaulan kebiasaan kawan-kawan seperti itu bisa berubah.
Kita tidak dapat mengharapkan kawan-kawan seperti itu bisa berubah. Kita tidak dapat mengharapkan kawan-kawan dari berbagai macam daerah, dengan segala macam pembawaan dan kebiasaan, serta sosialisasi yang beragam, akan dapat memperlihatkan hasil final sekaligus. Kelemahan manusia juga harus diakui, walaupun tidak berarti dibiarkan. Ismail tampaknya memahami ini, dan akhirnya ia bersedia masuk sebagai anggota HMI. Aku pun senang dengan keberadaannya dalam lingkungan kami. Karena ia memang ingin memberikan sumbangannya kepada kami di HMI, kuajak ia masuk dalam pengurus, mulanya di cabang, kemudian di pengurus besar. Aku juga berbesar hati kemudian ketika ia menjadi Ketua Umum PB.
Aku sangat berterima kasih kepada semua kawan yang duduk dalam PB bersamaku. Terlebih pula karena agak lama juga aku sakit, dari bulan Nopember 1953 sampai Pebruari 1954. Tak kusangka sama sekali aku terbaring seperti itu.
Dalam bulan Desember 1953 organisasi-organisasi pemuda Islam (termasuk Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Pemuda Muhammadiyah, Pemuda Anshor, Fatayat Nahdhatul Ulama, Pemuda Al-Irsyad, Perti, Pemuda PSII, Pemuda Al-Jamiatul Washliyah, Pelajar Islam Indonesia (PII) dan HMI) mengadakan kongres untuk menggalang persatuan pemuda Islam umumnya. Sidang-sidang diadakan di gedung Adhuc Stat, kantor Bappenas sekarang.
Kongres memutuskan untuk membentuk suatu federasi Perserikatan Organisasi-organisasi Pemuda Islam Seluruh Indonesia. HMI dipercayakan untuk memimpin panitia politik dari federasi, tetapi sebagaimana dapat diduga panitia ini tidak dapat berjalan dengan baik. Penyakit di kalangan partai-partai Islam tidak mengecualikan pemudanya, sehingga kian lama ide federasi ini kian kabur. Rapat panitia politik pun akhirnya tidak dapat berjalan oleh karena undangan banyak tidak dipenuhi oleh para anggota sehingga quorum sering tidak tercapai.
Suatu Konperensi Pemuda Islam internasional diselenggarakan di Karachi ketika aku berbaring di rumah sakit. Konperensi ini pun kurang berhasil, terbukti dengan terpilihnya presidennya dari Indonesia, Harsono Tjokroaminoto, yang sudah tidak pemuda lagi. Akibatnya, konperensi itu sekali itu saja diselenggarakan. Tetapi hal ini agaknya merupakan kesalahan pihak Indonesia juga. Kelemahan kita dalam rangka ini antara lain kurangnya dana yang dapat digunakan untuk mengembangkan organisasi dunia ini.
Kongres yang di Jakarta ditutup oleh Presiden Soekarno. Sambutan dari pihak peserta kongres disampaikan oleh Anton Timur Djaelani dari PII. Kongres memutuskan hal-hal biasa: persatuan ummat Islam, kutukan terhadap Perancis yang ingin terus menjajah Aljazair, dan persatuan dunia Islam. Cita-cita memang boleh tinggi, sayang usaha pelaksanaannya kurang kuat mengiring.
Dikutip dari : http://lapmidenpasar.s5.com/profil/profil%5Bdeliar%5D.html
Sumber : https://www.facebook.com/notes/himpunan-mahasiswa-islam-hmi/memoar-seorang-mantan-ketua-umum-pb-hmi/310739008961767
6
Latar Belakang Sejarah Berdirinya HMI
Desember 14, 2007
Kalau ditinjau secara umum ada 4 (empat) permasalahan yang menjadi latar belakang sejarah berdirinya HMI.
Situasi Dunia Internasional.
Berbagai argumen telah diungkapkan sebab-sebab kemunduran ummat Islam. Tetapi hanya satu hal yang mendekati kebenaran, yaitu bahwa kemunduran ummat Islam diawali dengan kemunduran berpikir, bahkan sama sekali menutup kesempatan untuk berpikir. Yang jelas ketika ummat Islam terlena dengan kebesaran dan keagungan masa lalu maka pada saat itu pula kemunduran menghinggapi kita.
Akibat dari keterbelakangan ummat Islam , maka munculah gerakan untuk menentang keterbatasan seseorang melaksanakan ajaran Islam secara benar dan utuh. Gerakan ini disebut Gerakan Pembaharuan. Gerakan Pembaharuan ini ingin mengembalikan ajaran Islam kepada ajaran yang totalitas, dimana disadari oleh kelompok ini, bahwa Islam bukan hanya terbatas kepada hal-hal yang sakral saja, melainkan juga merupakan pola kehidupan manusia secara keseluruhan. Untuk itu sasaran Gerakan Pembaharuan atau reformasi adalah ingin mengembalikan ajaran Islam kepada proporsi yang sebenarnya, yang berpedoman kepada Al Qur’an dan Hadist Rassullulah SAW.
Dengan timbulnya ide pembaharuan itu, maka Gerakan Pem-baharuan di dunia Islam bermunculan, seperti di Turki (1720), Mesir (1807). Begitu juga penganjurnya seperti Rifaah Badawi Ath Tahtawi (1801-1873), Muhammad Abduh (1849-1905), Muhammad Ibnu Abdul Wahab (Wahabisme) di Saudi Arabia (1703-1787), Sayyid Ahmad Khan di India (1817-1898), Muhammad Iqbal di Pakistan (1876-1938) dan lain-lain.
Situasi NKRI
Tahun 1596 Cornrlis de Houtman mendarat di Banten. Maka sejak itu pulalah Indonesia dijajah Belanda. Imprealisme Barat selama ± 350 tahun membawa paling tidak 3 (tiga) hal :
• Penjajahan itu sendiri dengan segala bentuk implikasinya.
• Missi dan Zending agama Kristiani.
• Peradaban Barat dengan ciri sekulerisme dan liberalisme.
Setelah melalui perjuangan secara terus menerus dan atas rahmat Allah SWT maka pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta Sang Dwi Tunggal Proklamasi atas nama bangsa Indonesia mengumandangkan kemerdekaannya.
Kondisi Mikrobiologis Ummat Islam di Indonesia
Kondisi ummat Islam sebelum berdirinya HMI dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) golongan, yaitu : Pertama : Sebagian besar yang melakukan ajaran Islam itu hanya sebagai kewajiban yang diadatkan seperti dalam upacara perkawinan, kematian serta kelahiran. Kedua : Golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang mengenal dan mempraktekkan ajaran Islam sesuai yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketiga : Golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang terpengaruh oleh mistikisme yang menyebabkan mereka berpendirian bahwa hidup ini adalah untuk kepentingan akhirat saja. Keempat : Golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman, selaras dengan wujud dan hakekat agama Islam. Mereka berusaha supaya agama Islam itu benar-benar dapat dipraktekkan dalam masyarakat Indonesia.
Kondisi Perguruan Tinggi dan Dunia Kemahasiswaan
Ada dua faktor yang sangat dominan yang mewarnai Perguruan Tinggi (PT) dan dunia kemahasiswaan sebelum HMI berdiri. Pertama: sisitem yang diterapkan dalam dunia pendidikan umumnya dan PT khususnya adalah sistem pendidikan barat, yang mengarah kepada sekulerisme yang “mendangkalkan agama disetiap aspek kehidupan manusia”. Kedua : adanya Perserikatan MAHASISWA Yogyakarta (PMY) dan Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) di Surakarta dimana kedua organisasi ini dibawah pengaruh Komunis. Bergabungnya dua faham ini (Sekuler dan Komunis), melanda dunia PT dan Kemahsiswaan, menyebabkan timbulnya “Krisis Keseimbangan” yang sangat tajam, yakni tidak adanya keselarasan antara akal dan kalbu, jasmani dan rohani, serta pemenuhan antara kebutuhan dunia dan akhirat.
LATAR BELAKANG PEMIKIRAN
Berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) diprakasai oleh Lafran Pane, seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam), kini UII (Universitas Islam Indonesia) yang masih duduk ditingkat I yang ketika itu genap berusia 25 tahun. Tentang sosok Lafran Pane, dapat diceritakan secara garis besarnya antara lain bahwa Pemuda Lafran Pane lahir di Sipirok-Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Beliau adalah anak seorang Sutan Pangurabaan Pane –tokoh pergerakan nasional “serba komplit” dari Sipirok, Tapanuli Selatan-. Lafaran Pane adalah sosok yang tidak mengenal lelah dalam proses pencarian jati dirinya, dan secara kritis mencari kebenaran sejati. Lafran Pane kecil, remaja dan menjelang dewasa yang nakal, pemberontak, dan “bukan anak sekolah yang rajin” adalah identitas fundamental Lafran sebagai ciri paling menonjol dari Independensinya. Sebagai figur pencarai sejati, independensi Lafran terasah, terbentuk, dan sekaligus teruji, di lembaga-lembaga pendidikan yang tidak Ia lalui dengan “Normal” dan “lurus” itu (-Walau Pemuda Lafran Pane yang tumbuh dalam lingkungan nasionalis-muslim terpelajar pernah juga menganyam pendidikan di Pesantren Ibtidaiyah, Wusta dan sekolah Muhammadiyah-) ; pada hidup berpetualang di sepanjang jalanan kota Medan, terutama di kawasan Jalan Kesawan; pada kehidupan dengan tidur tidak menentu; pada kaki-kaki lima dan emper pertokoan; juga pada kehidupan yang Ia jalani dengan menjual karcis bioskop, menjual es lilin, dll.
Dari perjalanan hidup Lafran dapat diketahui bahwa struktur fundamental independensi diri Lafran terletak pada kesediaan dan keteguhan Dia untuk terus secara kritis mencari kebenaran sejati dengan tanpa lelah, dimana saja, kepada saja, dan kapan saja.
Adapun latar belakang pemikirannya dalam pendirian HMI adalah: “Melihat dan menyadari keadaan kehidupan mahasiswa yang beragama Islam pada waktu itu, yang pada umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Keadaan yang demikian adalah akibat dari sitem pendidikan dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Karena itu perlu dibentuk organisasi untuk merubah keadaan tersebut. Organisasi mahasiswa ini harus mempunyai kemampuan untuk mengikuti alam pikiran mahasiswa yang selalu menginginkan inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang, termasuk pemahaman dan penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tujuan tersebut tidak akan terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya melarat. Maka organisasi ini harus turut mempertahankan Negara Republik Indonesia kedalam dan keluar, serta ikut memperhatikan dan mengusahakan kemakmuran rakyat”
Namun demikian, secara keseluruhan Latar Belakang Munculnya Pemikiran dan Berdirinya HMI dapat dipaparkan secara garis besar karena faktor, sebagai berikut :
1. Penjajahan Belanda atas Indonesia dan Tuntutan Perang Kemerdekaan
• Aspek Politik : Indonesia menjadi objek jajahan Belanda
• Aspek Pemerintahan : Indonesia berada di bawah pemerintahan kerajaan Belanda
• Aspek Hukum : Hukum berlaku diskriminatif
• Aspek pendidikan : Proses pendidikan sangat dikendalikan oleh Belanda.
o Ordonansi guru
o Ordonansi sekolah liar
• Aspek ekonomi : Bangsa Indonesia berada dalam kondisi ekonomi lemah
• Aspek kebudayaan : masuk dan berkembangnya kebudayaan yang bertentangan dengan kepribadian Bangsa Indonesia
• Aspek Hubungan keagamaan : Masuk dan berkembagnya Agama Kristen di Indonesia, dan Umat Islam mengalami kemunduran
2. Adanya Kesenjangan dan kejumudan umat dalam pengetahuan, pemahaman, dan pengamalan ajaran islam
3. Kebutuhan akan pemahaman dan penghayatan Keagamaan
4. Munculnya polarisasi politik
5. Berkembangnya fajam dan Ajaran komunis
6. Kedudukan perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan yang strategis
7. Kemajemukan Bangsa Indonesia
8. Tuntutan Modernisasi dan tantangan masa depan
Peristiwa Bersejarah 5 Februari 1947
Setelah beberapa kali mengadakan pertemuan yang berakhir dengan kegagalan. Lafran Pane mengadakan rapat tanpa undangan, yaitu dengan mengadakan pertemuan secara mendadak yang mempergunakan jam kuliah Tafsir. Ketika itu hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan 5 Februari 1947, disalah satu ruangan kuliah STI di Jalan Setiodiningratan (sekarang Panembahan Senopati), masuklah mahasiswa Lafran Pane yang dalam prakatanya dalam memimpin rapat antara lain mengatakan “Hari ini adalah pembentukan organisasi Mahasiswa Islam, karena persiapan yang diperlukan sudah beres. Yang mau menerima HMI sajalah yang diajak untuk mendirikan HMI, dan yang menentang biarlah terus menentang, toh tanpa mereka organisasi ini bisa berdiri dan berjalan”
Lafran Pane mendirikan HMI bersama 14 orang mahasiswa STI lannya, tanpa campur tangan pihak luar.
Pada awal pembentukkannya HMI bertujuan diantaranya antara lain:
1. Mempertahankan dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia.
2. Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.
Sementara tokoh-tokoh pemula / pendiri HMI antara lain :
1. Lafran Pane (Yogya),
2. Karnoto Zarkasyi (Ambarawa),
3. Dahlan Husein (Palembang),
4. Siti Zainah (istri Dahlan Husein-Palembang)
5. Maisaroh Hilal (Cucu KH.A.Dahlan-Singapura),
6. Soewali (Jember),
7. Yusdi Ghozali (Juga pendiri PII-Semarang),
8. Mansyur M. Anwar (Malang),
9. Hasan Basri (Surakarta)
10. Marwan (Bengkulu),
11. Zulkarnaen (Bengkulu)
12. Tayeb Razak (Jakarta)
13. Toha Mashudi (Malang),
14. Bidron Hadi (Yogyakarta).
Faktor Pendukung Berdirinya HMI
1. Posisi dan arti kota Yogyakarta
a. Yogyakarta sebagai Ibukota NKRI dan Kota Perjuangan
b. Pusat Gerakan Islam
c. Kota Universitas/ Kota Pelajar
d. Pusat Kebudayaan
e. Terletak di Central of Java
2. Kebutuhan Penghayatan dan Keagamaan Mahasiswa
3. Adanya tuntutan perang kemerdekaan bangsa Indonesia
4. Adanya STI (Sekolah Tinggi Islam), BPT (Balai Perguruan Tinggi)
5. Gajah Mada, STT (Sekolah Tinggi Teknik).
6. Adanya dukungan Presiden STI Prof. Abdul Kahar Muzakir
7. Ummat Islam Indonesia mayoritas
Faktor Penghambat Berdirinya HMI
Munculnya reaksi-reaksi dari :
1. Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY)
2. Gerakan Pemuda Islam (GPII)
3. Pelajar Islam Indonesia (PII)
FASE-FASE PERKEMBANGAN SEJARAH HMI
1. Fase Konsolidasi Spiritual (1946-1947)
Sudah diterangkan diatas
2. Fase Pengokohan (5 Februari 1947 – 30 November 1947)
Selama lebih kurang 9 (sembilan) bulan, reaksi-reaksi terhadap kelahiran HMI barulah berakhir. Masa sembilan bulan itu dipergunakan untuk menjawab berbagai reaksi dan tantangan yang datang silih berganti, yang kesemuanya itu semakin mengokohkan eksistensi HMI sehingga dapat berdiri tegak dan kokoh.
3. Fase Perjuangan Bersenjata (1947 – 1949)
Seiring dengan tujuan HMI yang digariskan sejak awal berdirinya, maka konsekuensinya dalam masa perang kemerdekaan, HMI terjun kegelanggang pertempuran melawan agresi yang dilakukan oleh Belanda, membantu Pemerintah, baik langsung memegang senjata bedil dan bambu runcing, sebagai staff, penerangan, penghubung. Untuk menghadapi pemberontakkan PKI di Madiun 18 September 1948, Ketua PPMI/ Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM), dengan Komandan Hartono dan wakil Komandan Ahmad Tirtosudiro, ikut membantu Pemerintah menumpas pemberontakkan PKI di Madiun, dengan mengerahkan anggota CM ke gunung-gunung, memperkuat aparat pemerintah. Sejak itulah dendam kesumat PKI terhadap HMI tertanam. Dendam disertai benci itu nampak sangat menonjol pada tahun \’64-\’65, disaat-saat menjelang meletusnya G30S/PKI.
4. Fase Pertumbuhan dan Perkembangan HMI (1950-1963)
Selama para kader HMI banyak yang terjun ke gelanggang pertempuran melawan pihak-pihak agresor, selama itu pula pembinaan organisasi terabaikan. Namun hal itu dilakukan secara sadar, karena itu semua untuk merealisir tujuan dari HMI sendiri, serta dwi tugasnya yakni tugas Agama dan tugas Bangsa. Maka dengan adanya penyerahan kedaulatan Rakyat tanggal 27 Desember 1949, mahasiswa yang berniat untuk melanjutkan kuliahnya bermunculan di Yogyakarta. Sejak tahun 1950 dilaksankanlah tugas-tugas konsolidasi internal organisasi. Disadari bahwa konsolidasi organisasi adalah masalah besar sepanjang masa. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta.
5. Fase Tantangan (1964 – 1965)
Dendam sejarah PKI kepada HMI merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi HMI. Setelah agitasi-agitasinya berhasil membubarkan Masyumi dan GPII, PKI menganggap HMI adalah kekuatan ketiga ummat Islam. Begitu bersemangatnya PKI dan simpatisannya dalam membubarkan HMI, terlihat dalam segala aksi-aksinya, Mulai dari hasutan, fitnah, propaganda hingga aksi-aksi riil berupa penculikan, dsb.
Usaha-usaha yang gigih dari kaum komunis dalam membubarkan HMI ternyata tidak menjadi kenyataan, dan sejarahpun telah membeberkan dengan jelas siapa yang kontra revolusi, PKI dengan puncak aksi pada tanggal 30 September 1965 telah membuatnya sebagai salah satu organisasi terlarang.
6. Fase Kebangkitan HMI sebagai Pelopor Orde Baru (1966 – 1968)
HMI sebagai sumber insani bangsa turut mempelopori tegaknya Orde Baru untuk menghapuskan orde lama yang sarat dengan ketotaliterannya. Usaha-usaha itu tampak antara lain HMI melalui Wakil Ketua PB Mari\’ie Muhammad memprakasai Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) 25 Oktober 1965 yang bertugas antara lain : 1) Mengamankan Pancasila. 2) Memperkuat bantuan kepada ABRI dalam penumpasan Gestapu/ PKI sampai ke akar-akarnya. Masa aksi KAMI yang pertama berupa Rapat Umum dilaksanakan tanggal 3 Nopember 1965 di halaman Fakultas Kedokteran UI Salemba Jakarta, dimana barisan HMI menunjukan superioitasnya dengan massanya yang terbesar. Puncak aksi KAMI terjadi pada tanggal 10 Januari 1966 yang mengumandangkan tuntutan rakyat dalam bentuk Tritura yang terkenal itu. Tuntutan tersebut ternyata mendapat perlakuan yang represif dari aparat keamanan sehingga tidak sedikit dari pihak mahasiswa menjadi korban. Diantaranya antara lain : Arif rahman Hakim, Zubaidah di Jakarta, Aris Munandar, Margono yang gugur di Yogyakarta, Hasannudin di Banjarmasin, Muhammad Syarif al-Kadri di Makasar, kesemuanya merupakan pahlawan-pahlawan ampera yang berjuang tanpa pamrih dan semata-mata demi kemaslahatan ummat serta keselamatan bangsa serta negara. Akhirnya puncak tututan tersebut berbuah hasil yang diharap-harapkan dengan keluarnya Supersemar sebagai tonggak sejarah berdirinya Orde Baru.
7. Fase Pembangunan (1969 – 1970)
Setelah Orde Baru mantap, Pancasila dilaksanakan secara murni serta konsekuen (meski hal ini perlu kajian lagi secara mendalam), maka sejak tanggal 1 April 1969 dimulailah Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). HMI pun sesuai dengan 5 aspek pemikirannya turut pula memberikan sumbangan serta partisipasinya dalam era awal pembagunan. Bentuk-bentuk partisipasi HMI baik anggotanya maupun yang telah menjadi alumni meliputi diantaranya :
1) Partisipasi dalam pembentukan suasana, situasi dan iklim yang memungkinkan dilaksanakannya pembangunan,
2) Partisipasi dalam pemberian konsep-konsep dalam berbagai aspek pemikiran
3) Partisipasi dalam bentuk pelaksana langsung dari pembangunan.
8. Fase Pergolakan dan Pembaharuan Pemikiran (1970 – 1998 )
Suatu ciri khas yang dibina oleh HMI, diantaranya adalah kebebasan berpikir dikalangan anggotanya, karena pada hakikatnya timbulnya pembaharuan karena adanya pemikiran yang bersifat dinamis dari masing-masing individu.
Disebutkan bahwa fase pergolakan pemikiran ini muncul pada tahun 1970, tetapi geja-gejalanya telah nampak pada tahun 1968. Namun klimaksnya memang terjadi pada tahun 1970 dimana secara relatif masalah-masalah intern organisasi yang rutin telah terselesaikan. Sementara dilain sisi persoalan ekstern muncul menghadang dengan segudang problema.
Pada tahun 1970 Nurcholis Madjid menyampaikan ide pembaharuan dengan topic keharusan pembaharuan didalam pemikiran Islam dan masalah integritas umat. Sebagai konsekuensinya di HMI timbul pergolakan pemikiran dalam berbagai substansi permasalahan yang. Perbedaan pendapat dan penafsiran menjadi dinamika di dalam menginterpretasikan dinamika persoalan kebangsaan dan keumatan. Hal ini misalnya dalam dialektika dan perbincangan seputar Negara dan Islam, konsep Negara Islam, persoalan Islam Kaffah sampai pada penyesuaian dasar HMI dari Islam menjadi Pancasila sebagai bentuk ijtihad organisasi didalam mempertahankan cita-cita jangka panjang keummatan dan kebangsaan.
9. Fase Reformasi
Secara histories sejak tahun 1995 HMI mulai melaksanakan gerakan reformasi dengan menyampaikan pandangan, gagasan dan kritik terhadap pemerintahan. Sesuai dengan kebijakan PB HMI bahwa HMI tidak akan melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional dan konfrontatif. Gerakan koreksi pemerintahanpertama disampaikan pada jaman konggres XX HMI di Istana Negara tanggal 21 Januari 1995. kemudian peringatan MILAD HMI Ke 50 Saudara Ketua Umum Taufiq Hidayat menegaskan dan menjawab kritik-kritik yang menyebutkan bahwa HMI terlalu dekat dengan kekuasaan. Bagi HMI kekuasaan bukanlah wilayah yang haram. Tetapi adalah wilayah pencermatan dan kekritisan terhadap pemerintahan. Kemudian dalam penyampaian Anas Urbaningrun pada MILAD HMI ke 51 di Graha Insan Cita Depok tanggal 22 Pebruari 1998 dengan judul “Urgensi Reformasi bagi Pembangunan Bangsa Yang Bermartabat”.
MASA DEPAN HMI TANTANGAN DAN PELUANG
Kritik terhadap HMI datang dari dalam dan dari luar HMI. Kritik ini sangat positif karena dengan demikian HMI akam mengetahui kekurangan dan kelebihan organisasi. Sehingga kedepan kita mampu memperbaiki dan menentukan sikap dan kebijakan yang sesuai dengan keadaan jaman.
Dari masa kemasa, beberapa persoalan yang dihadapkan pada HMI tentang kritik independensi HMI, kedekatan dengan militer, sikap HMI terhadap komunisme, tuntutan Negara Islam, dukungan terhadap rehabilitasi masyumi, penerimaan azas tunggal Pancasila, adaptasi rasionalitas pemikiran, dan lain-lain yang memberikan penilaian kemunduran terhadap HMI, Yahya Muhaimin dalam konggres HMI ke XX mengemukakan konsep tentang revitalisasi, reaktualisasi, refungsionalisasi, dan restrukturisasi organisasi. Anas Urbaningrum menjawabnya dengan pemberian wacana politik etis HMI. Yakni dengan langkah : Peningkatan visi HMI, intelektualisasi, penguasaan basis dan modernisasi organisasi.
Untuk pencapaian tujuan HMI perlu dipersiapkan kondisi yang tepat sebagai modal untuk merekayasa masa depan sesuai dengan 5 kualitas insan cita HMI. Tantangan yang dihadapi HMI dan masa depan bangsa Indonesia sangat komplek. Tetapi justeru akan menjadi peluang yang sangat baik untuk memperjuangkan cita-cita HMI sampai mencapai tujuan.
PENUTUP
Dengan mengetahui sejarah masa lampau dapat diketahui kebesaran dan semangat juang HMI. Hal tersebut merupakan tonggak bagi HMI untuk meneruskan perjuangan para pendahulunya pada masa kini dan menuju hari esok yang lebih baik. Mempelajari HMI tidak hanya cukup dengan mengikuti training formal. Mempelajari dan menghayati HMI harus dilakukan secara terus menerus tanpa batas kapan dan dimanapun. Dengan cara seperti itulah pemahaman dan penghayatan akan nilai-nilai HMI dapat dilakukan secata utuh dan benar.
Yakin usaha sampai bahagia hmi.
Sumber : http://insanlimacita.wordpress.com/2007/12/14/latar-belakang-sejarah-berdirinya-hmi/
7
Menengok Masa Lalu HMI
5 Februari 1947, 66 tahun yang lalu menjadi tonggak bersejarah berdirinya HMI. Perjalanan 66 tahun Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) telah menorehkan tinta sejarah di pentas nasional. Banyak tokoh nasional dan lokal telah dilahirkan oleh organisasi yang lahirnya diprakarsai oleh Lafran Pane ini. HMI pun diharapkan tetap dapat memberikan kontribusinya dalam mengisi perjalanan bangsa.
Bulan Oktober 1946 berdiri Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa di Yogyakarta waktu itu yang anggotanya meliputi mahasiswa BPT Gadjah Mada, STT, STI. Di Solo tahun 1946 berdiri Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI). Kedua organisasi itu berhaluan komunis. Tidak satupun diantara organisasi mahasiswa itu yang berorientasi Islam.
Lafran Pane, seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI) (kini UII- Universitas Islam Indonesia) yang baru duduk di tingkat I, mengadakan pembicaraan dengan teman-teman mengenai gagasan pembentukan organisasi mahasiswa Islam. Lafran Pane lantas mengundang para mahasiswa Islam yang ada di Yogyakarta baik yang ada di STI, Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, Sekolah Tinggi Teknik (STT), guna menghadiri rapat, membicarakan maksud tersebut. Rapat dihadiri lebih kurang 30 orang mahasiswa, di antaranya terdapat anggota PMY dan GPII. Rapat-rapat yang sudah berulang kali dilaksanakan, belum membawa hasil, karena ditentang oleh PMY. Dengan mengadakan rapat tanpa undangan, secara mendadak, mempergunakan jam kuliah tafsir Bapak Husin Yahya almarhum ( mantan Dekan Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ), diselenggarakanlah pertemuan untuk mendeklarasikan berdirinya HMI.
Ketika itu hari Rabu Tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan tanggal 5 Febuari 1947, di salah satu ruangan kuliah STI di jalan Setiodiningratan 30 (sekarang Jl. Panembahan Senopati), masuklah mahasiswa Lafran Pane yang dalam prakatanya ketika memimpin rapat antara lain mengatakan : Hari ini adalah rapat pembentukan organisasi mahasiswa Islam, karena persiapan yang diperlukan sudah beres. Sikap ini diambil, karena kebutuhan terhadap organisasi ini sudah sangat mendesak. Yang mau memerima HMI sajalah yang diajak untuk mendirikan HMI, dan yang menentang biarlah terus menentang, toh tanpa mereka organisasi ini bisa berdiri dan berjalan.
Adapun latar belakang pemikirannya dalam pendirian HMI adalah: “Melihat dan menyadari keadaan kehidupan mahasiswa yang beragama Islam pada waktu itu, yang pada umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Keadaan yang demikian adalah akibat dari sitem pendidikan dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Karena itu perlu dibentuk organisasi untuk merubah keadaan tersebut. Organisasi mahasiswa ini harus mempunyai kemampuan untuk mengikuti alam pikiran mahasiswa yang selalu menginginkan inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang, termasuk pemahaman dan penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tujuan tersebut tidak akan terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya melarat. Maka organisasi ini harus turut mempertahankan Negara Republik Indonesia kedalam dan keluar, serta ikut memperhatikan dan mengusahakan kemakmuran rakyat.
Ketika mendirikan HMI 5 Febuari 1947, Lafran Pane genap berusia 25 Tahun. Ide Lafran Pane mendirikan HMI dilakukan bersama 14 orang temannya yaitu Kartono Zarkasi, Dahlan Husain, Maisaroh Hilal, Suwali, Yusdi Ghozali, Mansyur, Siti Zainab, M. Anwar, Hasan Basri, Zukkarnaen, Thayeb Razak, Toha Mashudi, Bidron Hadi. Terpilih menjadi Ketua HMI pertama Lafran Pane dan Wakil Ketua Asmin Nasution.
Sejarah mencatat HMI telah memberikan kontribusi tidak kecil sejak awal kelahirannya. Setidaknya itu terlihat dari tekad awal (1947) yang tertuang dalam tujuan organisasi yang secara konsisten dilaksanakan, yaitu mempertahankan Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia yang sedang berjuang melawan agresi Belanda dan kondisi umat Islam yang mengalami stagnasi.
Demikian pula ketika terjadi gerakan PKI pada 1965. HMI menjadi satu elemen yang paling diperhitungkan, bahkan dianggap sebagai musuh utama. Sampai-sampai DN Aidit memprovokasi anak buahnya dengan mengemukakan, “Jika tidak bisa membubarkan HMI, lebih baik pakai sarung saja.” Berkat rahmat Tuhan, bukan HMI yang bubar melainkan PKI yang gulung tikar.
Sampai pada dua pertiga masa kekuasaan Orde Baru, HMI masih memperlihatkan kekuatan luar biasa. Bahkan ketika kekuasaan Orde Baru dengan gaya represif dan otoriter ingin memaksakan kehendak agar seluruh ormas termasuk OKP menggunakan asal tunggal Pancasila, HMI dalam kongres di Medan (1983) dengan tegas dan suara bulat menolak. Walaupun dalam kongres berikut (1986), HMI dengan sangat terpaksa mengakomodasi keinginan penguasa tersebut dengan pertimbangan yang bersifat sangat politis. Dalam artian ingin menyelamatkan wadah perjuangan HMI dari gerusan penguasa otoriter, lantaran bila tidak mau menerima Pancasila sebagai asas tunggal HMI akan dibubarkan. Meskipun itu harus dibayar mahal oleh HMI dengan menyempal organ HMI yang kemudian menamakan diri HMI Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) yang dimotori Eggy Sudjana.
Sejarah Perumusan NDP (Nilai Dasar Perjuangan) HMI
NDP kali pertama dikenal pada tahun 1969 pada saat Pengurus Besar HMI yang bertempat di Jakarta dipimpin oleh Nurcholis Madjid yang sering dikenal dengan Cak Nur, tepatnya padi Kongres ke-9 di Malang, pada saat itu Cak Nur memberikan presentasi mengenai Nilai Dasar Islam, selanjutnya kertas kerja yang telah disampaikan oleh Cak Nur dalam kongres tersebut dimintu oleh peserta kongres dan selanjutnya kongres mengamanahkan untuk disempurnakan dengan menugaskan Sakib Mahmud, Endang Ashari serta konseptornya Cak Nur.
Pada Kongres ke-10 di Palembang tahun 1971 konsep dasar Islam ini dikukuhkan dengan nama “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan” yang disingkat dengan NDP tanpa perubahan isi sama sekali, adapun alasan dipilihnya nama ini adalah: karena Nilai Dasar Islam (NDI) dianggap justru menyempitkan makna Islam itu sendiri, apalagi mengklaim dengan nama Islam. Selain itu kata perjuangan memiliki makna usaha yang sungguh-sungguh untuk merubah suatu keadaan, kata perjuangan itupun terinspirasi dari sebuah kata judul sebuah buku “Perjuangan Kita” karya Syahrir.
Adapun beberapa faktor yang melatarbelakangi lahirnya NDP adalah sebagai berikut :
• Belum adanya literature yang Memadai bagi kader HMI untuk rujukan filsafat sosial dalam usaha melakukan aksi dan kerja kemanusiaan.
• Kondisi umat Islam khususnya di Indonesia yang masih mengalami kejumudan dan kurang dalam penghayatan serta pengamalan nilai- nilai ajaran Islam.
• Kaca perbandingan, karena kader PKI mempunyai buku panduan yang dijadikan pedoman untuk menjalankan idiologi marxisnya, maka dari mahasiswa Islam juga harus memiliki buku panduan sebagai dasar perjuangan.
Dalam perjalanan sejarah NDP, ketika negeri ini menganut asas tunggal yang ditetapkan oleh pemerintah yang saat itu rezim Soeharto, dengan Orde Barunya dengan dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1985 tentang Asas Tunggal Pancasila, NDP pun berubah nama lagi menjadi Nilai Identitas Kader (NIK) namun isinya tetap tidak berubah, selanjutnya perubahan nama ini kemudian disahkan pada kongres ke-16 di Padang.
Setelah orde baru tumbang dan alam demokrasi yang kian berkibar, maka pada Kongres ke-22 di Jambi tahun 2000, NIK kembali menjadi nama NDP. Kedudukan NDP : Sebagai Landasan Perjuangan, tujuan NDP : Sebagai Filsafat Sosial.
Demikianlah perjuangan berat yang pernah dialami. Akan tetapi setelah itu HMI terbuai lantaran kedekatannya dengan kekuasaan, bahkan ada yang secara ekstrem menyatakan hampir tidak ada lagi sekat yang membatasi antara HMI dan kekuasaan. Hampir dapat dipastikan hal itu lantaran pada masa-masa tersebut banyak alumnus HMI menempati posisi-posisi strategis dalam birokrasi pemerintahan.
HMI dan Kekuasaan.
Dalam masa setelah roda reformasi dapat menggulingkan komandan rezim Orde Baru, terlihat kondisi lebih buruk lagi pada HMI. Dalam masa itu seperti yang telah saya sebutkan di atas, HMI tidak lagi menjadi mainstream. Di tengah kebebasan dalam menyampaikan pendapat, HMI terlihat sedemikian serak. Jarang sekali melakukan penyikapan terhadap kondisi-kondisi sosial yang timpang termasuk dalam bentuk aksi-aksi demonstrasi atau yang lain.
Ada dua hal yang kemungkinan besar menyebabkan hal tersebut. Pertama, telah tumpul pisau analisis yang dahulu menjadikannya sebagai organisasi kritis. Kedua, HMI tidak lagi mampu menghimpun kekuatan untuk menyuarakan sikapnya secara bersama-sama lantaran telah terjadi kritis militansi. Selain itu di tengah-tengah gerakan Islam baik keagamaan maupun politik dengan politik aliran, HMI justru kalah dengan yang lain.
Serpihan-serpihan pemikiran yang dahulu pernah dilontarkan oleh senior-senior dan sekaligus adalah ideolog HMI seperti Ahmad Wahib, DjohanEffendy, dan Nurcholish Madjid tidak mampu dilanjutkan oleh HMI secara institusional sehingga HMI seakan kehilangan akar genealogisnya. Pemikiran senior-senior itu sekarang justru banyak dielaborasi di tempat dan komunitas lain, seperti Komunitas Islam Utan Kayu dengan bendera Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dengan sangat intens melanjutkan gagasan-gagasan senior HMI tersebut.
Bila dalam komunitas itu sebagian besar adalah kader HMI, sekali lagi itu bukan HMI secara institusional. Dan itu, justru menunjukkan bahwa HMI memang sudah tidak lagi menyediakan ruang untuk menggali pemikiran-pemikiran ideologis. Padahal dewasa ini, ide-ide yang dulu kontraversial itu telah menjadi mainstream dan mulai banyak mendapat apresiasi positif dari khalayak masyarakat.
Karena itu, HMI sesegera mungkin menyadari kesalahan langkah yang diambilnya selama ini. Jika tidak dilakukan, dalam waktu tidak lama judul di atas akan menjadi sangat pas untuk menggambarkan kondisi HMI yang bagaikan anak ayam yang mati bukan lantaran kekurangan makanan, melainkan justru tertimbun padi yang menggunung di dalam lumbung yang seharusnya ia makan dengan porsi lebih banyak.
Tegakkan Identitas
Mantan Ketua Umum PB HMI periode 1974-1976, Chumaidi Syarif Romas melihat tantangan HMI saat ini adalah harus menegakkan identitas kembali, hingga nilai-nilai dasar perjuangan HMI. Supaya nilai itu diterapkan sesuai dengan kebutuhan sekarang, dan memberikan alternatif pemikiran di tengah arus globalisasi yang sekarang terjadi.
”Apalagi tantangan HMI saat ini ialah ditengah maraknya koruptor, kader HMI acap mengedepankan kepentingan pribadi,” tegas Chumaidi yang juga guru besar di UIN Yogyakarta ini.
Untuk itu, menurut Pimpinan Kolektif Majelis Nasional KAHMI 2012-2017 Taufiq Hidayat untuk kondisi akan datang, HMI harus lebih konsern menata pengkaderannya. Pengkaderan yang dipunyai sejauh ini sudah memberikan hasil positif di tengah masyarakat, tapi untuk tantangan jauh ke depan, mulai harus dipikirkan perubahan-perubahannya. Kembali pada bagaimana mengintensifkan intelektualitas kader HMI, bagaimana menguatkan network kader HMI, itu penting untuk dijaga.
Taufiq menegaskan HMI haruslah tetap pada jalur sebagai organisasi independen. Karena independensi itu yang memberi suatu keleluasaan dalam bertindak, berpikir, dan dalam berkiprah di tengah masyarakat. Karena dia tidak memandang strata dan latar belakang.
Referensi :
1. Bagai Anak Ayam Mati di Lumbung ; Catatan Kongres Ke-23 HMI, Oleh: Mohammad Nasih Aminullah
2. Sejarah Perumusan NDP (Nilai Dasar Perjuangan), notedanpena.blogspot.com
3. HMI Diharapkan Terus Mampu Lahirkan Pemimpin Bagi Umat dan Bangsa. Pelitaonline
Sumber :
8
Sejarah Gerakan Mahasiswa di Indonesia
Abdi
Gerakan Mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa.
1908
Boedi Oetomo, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya.
Pada konggres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan : Kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan.
Dalam 5 tahun permulaan BU sebagai perkumpulan, tempat keinginan-keinginan bergerak maju dapat dikeluarkan, tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan monopoli dan oleh karena itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah mempunyai 40 cabang dengan lk.10.000 anggota.
Disamping itu, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, salah satunya Mohammad Hatta yang saat itu sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di Rotterdam mendirikan Indische Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922, disesuaikan dengan perkembangan dari pusat kegiatan diskusi menjadi wadah yang berorientasi politik dengan jelas. Dan terakhir untuk lebih mempertegas identitas nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi ini kembali berganti nama baru menjadi Perhimpunan Indonesia, tahun 1925.
Berdirinya Indische Vereeninging dan organisasi-organisasi lain,seperti: Indische Partij yang melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV) yang berhaluan Marxisme, menambah jumlah haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal ini di satu sisi membantu perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan BU karena banyak orang kemudian memandang BU terlalu lembek oleh karena hanya menuju “kemajuan yang selaras” dan terlalu sempit keanggotaannya (hanya untuk daerah yang berkebudayaan Jawa) meninggalkan BU. Oleh karena cita-cita dan pemandangan umum berubah ke arah politik, BU juga akhirnya terpaksa terjun ke lapangan politik.
Kehadiran Boedi Oetomo,Indische Vereeninging, dll pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi 1908, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.
1928
Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.
Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.
Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI.
1945
Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.
Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.
Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok.
1966
Sejak kemerdekaan, muncul kebutuhan akan aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, diantaranya Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang tahun 1947.
Selanjutnya, dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan merupakan organisasi dibawah partai-partai politik. Misalnya, PMKRI Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia dengan Partai Katholik,Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan PNI, Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan Partai NU, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, dan lain-lain.
Diantara organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI lebih menonjol setelah PKI tampil sebagai salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955. CGMI secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh berusaha mempengaruhi PPMI, kenyataan ini menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI dan, terutama dipicu karena banyaknya jabatan kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan diduduki oleh CGMI dan juga GMNI-khususnya setelah Konggres V tahun 1961.
Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1966 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni PMKRI, HMI,PMII,Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan.
Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain.
Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan ’66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Cosmas Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi ketiganya dari PMKRI,Akbar Tanjung dari HMI dll. Angkatan ’66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan ’66 pun mendapat hadiah yaitu dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabibet pemerintahan Orde Baru. di masa ini ada salah satu tokoh yang sangat idealis,yang sampai sekarang menjadi panutan bagi mahasiswa-mahasiswa yang idealis setelah masanya,dia adalah seorang aktivis yang tidak peduli mau dimusuhi atau didekati yang penting pandangan idealisnya tercurahkan untuk bangsa ini,dia adealah soe hok gie
1974
Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer.
Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti:
• Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang.
• Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut.
Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan “Mahasiswa Menggugat” yang dimotori Arif Budiman yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi.
Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas, pada 1970 pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat.
Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.
Muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan.
Dalam tahun 1972, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.
Protes terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Gerakan mahasiswa di Jakarta meneriakan isu “ganyang korupsi” sebagai salah satu tuntutan “Tritura Baru” disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden.
1978
Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada.
Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat lokal. Gerakan ini juga mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.
Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan berkampanye di berbagai perguruan tinggi. Namun demikian, upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa. Pada periode ini terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus karena mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer dengan cara yang brutal. Hal ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia.
Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil. Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.
Era NKK/BKK
Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa.
Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.
Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.
Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB.
1990
Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menamggapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.
Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.
Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa ditahun 1990-an.
Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus pada 1987 – 1990 sehingga akhirnya demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi. Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke DPR/DPRD tetap terlarang.
1998
Gerakan 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya “KKN” (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu 1999.
Sumber : http://fokmim.wordpress.com/2011/01/13/sejarah-gerakan-mahasiswa-di-indonesia/
9
Perjuangan Angkatan 66 Menuju Orde Baru
Oleh : Wahyu Barata | 24-Sep-2011
KabarIndonesia - Paham komunisme di Indonesia pada awalnya dibawa tokoh komunis Belanda , Sneevliet. Partai Komunis Indonesia (PKI) memberontak pertama kali melawan pemerintah kolonial Belanda tahun 1926. Kemudian memberontak di Tegal, Brebes, dan Pemalang tanggal 11 Desember 1945, dan di Madiun tanggal 18 September 1948.
Dari tiga kali pemberontakan tersebut menunjukkan kecintaan sesungguhnya PKI terhadap negara dan bangsa Indonesia. Tetapi karena rakyat Indonesia tengah sibuk menghadapi kembalinya Belanda ke Indonesia melalui Nederland Indische Civil Administration (NICA), maka pemerintah dan rakyat Indonesia cepat sekali memaafkan dan melupakan kesalahan PKI.
Sehingga PKI berkembang dengan cepat. Hasil kerja keras PKI tampak dalam hasil pilihan raya (pemilihan umum) tahun 1955, di mana PKI muncul sebagai kekuatan keempat terbesar setelah Partai Nasional Indonesia (PNI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), dan Nahdlatul Ulama (NU).
Berdirinya Organisasi-Organisasi Mahasiswa di Indonesia
Sejak Indonesia merdeka, muncul kebutuhan aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, di antaranya Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang dibentuk melalui kongres mahasiswa pertama di Malang tahun 1947.
Pada masa demokrasi liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, oganisasi mahasiswa extra kampus sebagian besar merupakan organisasi di bawah partai-partai politik. Misalnya Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) dengan Partai Katholik, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dengan PNI, Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GEMSOS) dengan Partai Sosial Indonesia (PSI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dengan Nahdlatul Ulama, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, dan lain-lain.
CGMI paling menonjol tampil sebagai salah satu anak partai kuat hasil pemilihan umum tahun 1955. CGMI berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi-organisasi mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh berusaha mempengaruhi PPMI, hal ini menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI , terutama dipicu karena banyak jabatan kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan diduduki CGMI dan GMNI khususnya setelah Kongres V tahun 1961. Lahirnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Pada tanggal 5 Februari 1947 beberapa orang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI) , Lafran Pane (pemrakarsa), Karnoto Zarkasyi, Siti Zaenab, M. Anwar, Hasan Basri, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi, dan Bidron Hadi, yang hadir dalam rapat pertama, mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Latar Belakang berdirinya HMI, karena organisasi mahasiswa yang telah ada, yaitu Perhimpunan Mahasiswa Yogya (PMY) masih bersifat kedaerahan, berbau feodalisme, dan sangat kebarat-baratan. Sehingga aspirasi keislaman tidak tersalurkan melalui PMY. Kondisi ummat Islam saat itu sangat memprihatinkan, terbelakang, dan jumud, kondisi perguruan tinggi terlalu berat kepada hal-hal duniawi dan pendidikan umum, meninggalkan ukhrawiyah dan pendidikan agama.
Secara institusional Jong Islamieten Bond, satu-satunya wadah perjuangan Angkatan Muda Islam sudah lama tidak aktif. HMI berharap dapat melanjutkan perjuangan Jong Islamieten Bond. Secara institusional HMI melengkapi organisasinya dengan Korp Alumni HMI (KAHMI) yang berisi seluruh alumni atau mantan pengurus dan anggota HMI, Korp HMI-wati (KOHATI) yang beranggotakan para mahasiswi atau putrid HMI, Lembaga Petanian Mahasiswa Islam (LPMI), Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI), Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI), Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LPMI), Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam (LAPEN MI), Lembaga Seni Budaya Mahasiswa Islam (LSMI). Secara struktural, HMI berstruktur mulai dari tingkat nasional atau pusat (Pengurus Besar), tingkat propinsi atau gabungan beberapa propinsi (Pengurus Badan Koordinator/Badko), tingkat kabupaten atau Kota (Pengurus Cabang), tingkat Perguruan Tinggi (Pengurus Koordinator Komisariat/Korkom), tingkat Fakultas atau Akademi (Pengurus Komisariat), dan tingkat daerah kecil (Pengurus Rayon). Independensi HMI dapat bersifat positif karena HMI merasa sebagai anak kandung ummat Islam secara menyeluruh, bukan hanya anak kandung organisasi atau kekuatan Islam tertentu. Tetapi independensi itu juga bisa bersifat negatif, karena tidak ada partai atau organisasi kekuatan Islam yang sungguh merasa "sayang" kepada HMI, karena masing-masing organisasi telah mempunyai sayap organisasi mahasiswa sendiri, seperti NU mempunyai PMII, PSII memiliki SEMMI, Muhammaddiyah memiliki IMM, dan PERTI memiliki GERMAHI/KMI.
Kekuatan Dan Pengaruh PKI
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Soekarno menetapkan konstitusi ini di bawah Dekrit Presiden dengan dukungan penuh dari PKI. Lalu mengangkat para jendral ke posisi penting untuk memperkuat Angkatan Bersenjata. Soekarno menjalankan demokrasi terpimpin yang disambut hangat oleh PKI, dengan anggapan bahwa ia memiliki mandate untuk persekutuan konsepsi Nasional, Agama, dan Komunis (NASAKOM).
Di era "Demokrasi Terpimpin" kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional gagal menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politik dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor turun, cadangan devisa turun, inflasi terus naik, korupsi birokrat dan militer mewabah.
Kekuatan PKI mencapai puncak ketika berhasil membangun beberapa perguruan rakyat seperti Panti Pengetahuan Rakyat (PANPERA), Balai Pengetahuan Rakyat (BAPERA), dan Mimbar Pengetahuan Rakyat (MIPERA) di hampir seluruh wilayah dan kota di Indonesia. PKI juga berhasil membangun perguruan tinggi, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, Instititut Pendidikan Harjono, Akademi Ilmu Sejarah Ronggowarsito, Akademi Ilmu Ekonomi Dr. Ratulangi, Akademi Ilmu Teknik Ir. Anwari, Universitas Bachtaruddin, dan IKIP Kujang di kota-kota di Jawa.
PKI pun mendirikan organisasi-organisasi Comite Daerah Besar (CDB) di tingkat propinsi, Comite Seksi (CS) di tingkat kabupaten dan kota, Comite Subseksi (CSS) di tingkat kecamatan, dan Comite Resort (CR) di tingkat kelurahan dan desa di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Bahkan PKI berhasil membentuk dan menggerakkan organisasi bagian dari sayapnya, antara lain : 1). Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BEPERKI), untuk keahlian warga keturunan Cina. 2). PGRI Non Fak Sentral, untuk keahlian profesi guru-guru, untuk menandingi Persatuan Guru Republik Indonesia.3). Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), untuk keahlian buruh dan pekerja. 4). Barisan Tani Indonesia (BTI), untuk para petani dan nelayan.5). Persatuan Pamong Desa Indonesia (PPDI)untuk menampung keahlian para pegawai tingkat kelurahan/desa. 6). Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) untuk mahasiswa.7). Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI) untuk wanita. 8). Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), untuk pelajar dan siswa.9). Pemuda Rakyat (PR) untuk pemuda dan belia. 10). Himpunan Sarjana Indonesia (HIS), untuk sarjana dan graduan perguruan tinggi.11). Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) untuk keahlian seniman dan budayawan.
Seluruh organisasi dan lembaga tersebut menghimpun tidak kurang dari 20 juta anggota dan simpatisan, terdiri dari 3,5 juta anggota, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya, pergerakan 3,5 juta anggota serikat buruh, 9 juta anggota barisan tani Indonesia, pergerakan wanita (GERWANI), organisasi penulis, artis, dan pergerakan sarjananya. Sehingga PKI menjadi salah satu partai komunis terbesar di dunia, setelah Cina dan Uni Sovyet.
Untuk menyebarluaskan komunisme dan ajaran-ajarannya PKI menerbitkan tiga surat kabar, yaitu : Harian Rakyat, Warta Bhakti, dan Bintang Timur. PKI mampu mempengaruhi isi surat kabar lain seperti Harian Zaman Baru, Harian Republik, Pendorong, Sin Po, dan terompet Masyarakat. Untuk memperkuat kedudukannya PKI menguasai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan lembaga Kantor Berita Antara.
Dan melalui tangan Soekarno, memperalat proses Nasakomisasi, PKI berhasil menguasai banyak lembaga negara, lembaga tinggi negara, dan angkatan udara. Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI semakin menghindari bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dengan polisi dan militer. Para pemimpin PKI mengutamakan kepentingan bersama polisi dan rakyat. Pemimpin PKI D. N. Aidit mengilhami slogan untuk ketentraman umum "Bantu Polisi".
Pada bulan Agustus 1966, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dan tidak bersikap sectarian terhadap Angkatan Bersenjata, menghimbau semua pengarang dan seniman sayap kiri membuat "massa tentara" sebagai subjek karya-karya mereka.Akhir tahun 1964 dan awal tahun 1965, kaum buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan secara resmi.
Pada saat bersamaan jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota cabinet, karena jabatannya di militer oleh Presiden Soekarno disamakan dengan mentri. Terbukti dengan adanya jabatan Mentri Panglima Angkatan Bersenjata (Menpangab), Mentri Panglima Angkatan Darat (Menpangad), dan lain-lain.
Menteri-menteri PKI yang duduk di sebelah para petinggi militer dalam kabinet Soekarno mendorong ilusi yang sangat berbahaya, bahwa angkatan bersenjata merupakan bagian dari revolusi demokratis rakyat. Aidit pernah berceramah kepada sekolah angkatan bersenjata tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan" yang semakin kuat setiap hari antara Tentara Nasional Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis.
Pada kunjungan Mentri Luar Negri Subandrio ke Cina, Perdana Mentri Zhou Enlai berjanji akan mempersenjatai dengan lengkap 40 batalyon Tentara Nasional Indonesia, gratis tanpa syarat. Kemudian dilaporkan kepada Presiden Soekarno, tetapi belum juga ditentukan waktunya sampai meletusnya G 30 S.
Pada awal tahun 1965 Bung Karno mengungkapkan ide pembentukan angkatan ke lima yang berdiri sendiri terlepas dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Pandangan lain mengatakan PKI-lah yang mengusulkan pembentukan angkatan ke lima ini dan mempersenjatai mereka. Tetapi para petinggi Angkatan Darat tidak setuju, sehingga masalah ini menimbulkan nuansa saling mencurigai antara militer dan PKI. Rezim Soekarno, melarang aksi-aksi mogok para pekerja di industri. Kepemimpinan PKI tidak keberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Isu Dokumen Gilchrist
Dokumen Gilchrist diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist, beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu dewan jendral. Dokumen ini oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelijen Ceko di bawah pengawasan Jendral Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli pihak barat. Kedutaan besar Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti."
Dinas intelijen Amerika Serikat mendapatkan data-data dari berbagai sumber, salah satunya yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval" yang dijadikan basis skenario film "The Year of Living Dangerously", ia sering menukar data-data yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.
Faktor Amerika Serikat
Amerika Serikat waktu itu terlibat perang Vietnam dan berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis. Peranan CIA dalam hal ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (nilai uang saat itu) kepada Adam Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia.
Politisi Amerika Serikat pada bulan-bulan menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka merasa ditarik oleh Soekarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia. Menurut salah satu sumber bahwa peran Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar, dapat dilihat dari telegram duta besar Green ke Washington tanggal 8 Agustus 1965 yang mengeluh karena usahanya melawan propaganda anti Amerika Serikat di Indonesia tidak berhasil dan tidak berguna.
Dalam telegram kepada Presiden Johnson tanggal 6 Oktober 1965, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang tak masuk akal karena situasi politik Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, hingga akhir Oktober 1965 masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan oleh PKI, NU, atau PNI? Sumber lain, terutama dari kalangan korban insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika Serikat menjadi aktor di balik layar, dan setelah dekrit Supersemar, Amerika Serikat memberikan nama-nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga sekarang kedua sumber di atas tidak punya banyak bukti fisik.
Isu Bung Karno Sakit
PKI telah mengetahui persiapan-persiapan pembentukan rezim militer, lalu mengusulkan pendirian angkatan ke lima, di dalam angkatan bersenjata, terdiri dari para pekerja dan petani yang dipersenjatai. Bukan memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang, kepemimpinan PKI malah berusaha membatasi gerakan massa yang makin mendalam pada batas-batas hukum kapitalis negara.
Mereka di depan para jendral berusaha meyakinkan bahwa usul PKI itu akan memperkuat negara. Aidit melaporkan ke komite sentral PKI bahwa Nasakomisasi Angkatan Bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerja sama mendirikan angkatan ke lima. Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Bulan Mei 1965, polit biro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparat militer dan negara sedang diubah untuk mempersempit aspek anti rakyat dalam alat-alat negara.
Isu Masalah Tanah Dan Bagi Hasil
Pada tahun 1960 terbit Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil sebagai kelanjutan dari Panitia Agraria yang menghasilkan Undang-Undang Pokok Agraria terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai organisasi massa tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik saat itu. Namun tak ada yang melaksanakan undang-undang itu di daerah sehingga timbul gesekan-gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya yang dibacking aparat keamanan.
Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini adalah peristiwa Bandar Betsi di Sumatra Utara dan peristiwa di Klaten, sebagai aksi sepihak dan kemudian militer menggunakannya sebagai dalih untuk membersihkannya.
Sementara di Jawa Timur juga terjadi keributan antara PKI dengan NU, PERSIS, dan Muhammadiyah, bahkan hamper di semua tempat di Indonesia. Kiai-kiai NU yang kebanyakan tuan tanah menolak gerakan PKI membagi-bagikan tanah kepada petani yang tak punya tanah. Di beberapa tempat PKI mengancam akan menyembelih para kiai setelah tanggal 30 September 1965 (ini membuktikan seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30 September 1965)
Faktor Malaysia
Konfrontasi Indonesia-Malaysia, saat negara federal Malaysia baru terbentuk tanggal 16 September 1963, menyebabkan kedekatan Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang bergabung dalam gerakan G 30 S/ PKI atau Gestok, juga akhirnya menyebabkan PKI menculik dan membunuh para petinggi Angkatan Darat.
Sejak demonstrasi-demonstrasi anti Indonesia di Kuala Lumpur di mana para demonstran menyerbu gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia, merobek-robek photo Bung Karno, membawa lambang Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdurrahman, Perdana Mentri Malaysia saat itu dan memaksanya menginjaknya. Amarah Bung Karno terhadap Malaysia meledak.
Bung Karno mengutuk tindakan Tunku Abdurrahman dan penghinaan terhadap Indonesia itu, lalu membalasnya dengan gerakan "Ganyang Malaysia". Perintah Bung Karno kepada Angkatan Darat untuk mengganyang Malaysia ditanggapi dingin oleh para jendral saat itu. Di satu pihak Letnan Jendral Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu Inggris dengan anggapan tentara Indonesia saat itu tidak memadai dalam skala tersebut.
Sedangkan Kepala Staf Angkatan Darat Jendral A. H. Nasution menyetujui usulan Bung Karno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini ditunggangi PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik Indonesia.
Posisi Angkatan Darat saat itu serba salah karena mereka tidak yakin dapat mengalahkan Inggris, dan mereka akan menghadapi Bung Karno yang akan mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih berperang setengah hati di Kalimantan. Brigadir Jendral Supardjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tidak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang. Operasi gerilya di Malaysia gagal, padahal sebenarnya tentara Indonesia sangat mahir dalam perang gerilya.
Mengetahui tentara Indonesia tak mendukungnya, Bung Karno kecewa dan mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Bung Karno dalam otobiografinya, mengakui bahwa ia seorang yang memiliki harga diri sangat tinggi, dan tak ada yang dapat dilakukan untuk merubah keinginannya mengganyang Malaysia.
PKI menjadi pendukung utama gerakan "Ganyang Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek neokolonialisme, PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, motif PKI mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelijen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka tanggal 13 Januari 1965 menyebutkan adanya percakapan santai Bung Karno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia sehingga tidak bisa menindak tegas mereka. Namun Bung Karno pun menegaskan bahwa suatu waktu giliran PKI akan tiba. "Bung Karno berkata,"Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu...Untukku Malaysia itu musuh nomor satu.
Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang." (Wikipedia).Kedudukan PKI semakin kuat dan menjadi ancaman serius bagi para penantangnya, ditambah hubungan internasional PKI dengan partai komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow- Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno mengetahui hal ini, tetapi mendiamkannya karena ia masih meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang tengah berlangsung, karena posisi Indonesia melemah di lingkungan internasional sejak ke luar dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa (20 Januari 1965).
Gerakan 30 September 1965
Pada saat-saat genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jendral yang mengungkapkan bahwa beberapa petinggi Angkatan Darat tidak puas terhadap Soekarno dan berniat menggulingkannya. Menanggapi isu ini Soekarno disebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa menangkap dan membawa mereka untuk diadili.
Seluruh akumulasi kekuatan PKI menyimpulkan bahwa mereka telah siap merebut kekuasaan, dan tinggal menunggu waktu. Dalam bahasa isyarat PKI menyebut kondisi dan kekuatan itu dengan, "Ibu telah hamil tua.", tinggal menunggu saat-saat melahirkan, waktunya tak lama lagi.
PKI telah menyiapkan tiga pasukan utama, yaitu pasukan Pasopati yang bertugas menculik dan membunuh para jendral Angkatan Darat yang berlawanan dengan PKI. Pasukan Pringgodani bertugas menguasai lapangan udara Halim Perdana Kusuma dan sarana-sarana penting politik dan ekonomi. Pasukan Bima Sakti bertugas menguasai sekitar Monas, Istana Negara, Radio Republik Indonesia, dan Telekomunikasi, dan tempat-tempat strategis lain.
Pada tanggal 30 September 1965 terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap enam pejabat tinggi militer Indonesia, seorang perwira pertama, dan beberapa orang lain, dalam suatu usah pemberontakan atau kudeta yang dituduhkan kepada para anggota PKI. Keenam pejabat tinggi Angkatan Darat yang dibunuh tersebut adalah :
1) Letnan Jendral TNI Ahmad Yani (Mentri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi).
2) Mayor Jendral R. Suprapto (Deputi II Mentri /Panglima Angkatan Darat bidang Administrasi).
3) Mayor Jendral Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Mentri/Panglima Angkatan Darat bidang Perencanaan dan Pembinaan).
4) Mayor Jendral Suwondo Parman (Asisten I Mentri/Panglima Angkatan Darat bidang Intelijen).
5) Brigadir Jendral Donald Izaacus Panjaitan (Asisten IV Mentri/Panglima Angkatan Darat bidang Logistik).
6) Brigadir Jendral Sutoyo Siswomihardjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jendral Angkatan Darat).
Jendral TNI Abdul Haris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Tetapi, putrinya, Ade Irma Suryani Nasution, dan ajudannya , Letnan Satu Pierre Andreas Tendean gugur dalam peristiwa itu. Ada beberapa orang lain yang menjadi korban,yaitu :
1) Bripka Karel Satsuit Tubun (pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Mentri II dr. J. Leimana).
2) Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas Yogya).
3) Letnan Kolonel Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Umum Korem 072/Pamungkas Yogya).
Para korban yang di Jakarta jenazahnya dibuang ke suatu lokasi (sumur tua) di daerah Lubang Buaya, Pondok Gede. Mayat mereka ditemukan pada tanggal 3 Oktober 1965.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 07.00 waktu Indonesia bagian Barat, PKI mengumumkan melalui siaran RRI Pusat, tentang pembentukan gerakan perjuangan yang berfungsi sebagai pemerintahan sementara, yang disebut Gerakan 30 September, yang dalam praktek sehari-hari dilaksanakan oleh Dewan Revolusi Indonesia, akan dibentuk Dewan Revolusi Propinsi, Dewan Revolusi Kabupaten, Dewan Revolusi Kecamatan.
Menurut pengamat sejarah, PKI dengan cepat membentuk Dewan Revolusi yang terdiri dari 45 orang, lima di antaranya bertindak sebagai presidium, selebihnya sebagai anggota. Tetapi hasil pemberontakan mereka hanya sampai pada tahap ini. Karena sebelum mereka dapat menguasai berbagai posisi dan lokasi pengambila keputusan serta proyek vital, mereka telah kehabisan energi dan akhirnya keadaan berbalik kea rah kehancuran mereka.
Soekarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner para "pemberontak" dengan berpindah ke pangkalan udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan. Kesalahan kecil tetapi berpengaruh pada tahap operasi militer Gerakan 30 September 1965 adalah lolosnya Jendral A. H. Nasution dan tidak diperhitungkannya Komando Strategi Angkatan Darat (KOSTRAD) yang dipimpin Mayor Jendral Soeharto. Dua Jendral yang kurang diperhitungkan inilah yang menjadi motor dan lokomotif penghancuran PKI.
Mayor Jendral Soeharto langsung mengontak Panglima Angkatan Laut, Panglima Angkatan Kepolisian, Komandan Batalyon Kujang Siliwangi di Bandung, dan menggerakkan pasukan elit Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) untuk merebut RRI Pusat dan Gedung Telkom.
Pada pukul 19.00WIB tanggal 1 Oktober 1965, Soeharto sudah tampil berbicara di corong radio, mengumumkan bahwa Gestapu/PKI dan Dewan Revolusioner adalah makar dan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah, dan meminta rakyat tidak melibatkan diri dalam pemberontakan tersebut. Inilah pertama kalinya seorang jendral menegaskan siapa kawan, siapa lawan, meminta rakyat menghancurkan pemberontakan tersebut.
Tanggal 6 Oktober 1965 Soekarno menghimbau rakyat menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara Angkatan Bersenjata dengan para korbannya dan penghentian kekerasan. Biro politik dan komite senttral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "Pemimpin Revolusi Indonesia" dan tidak melawan Angkatan Bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di Koran CPA bernama Tribune.
Tanggal 12 Oktober 1965, para pemimpin Uni Sovyet Brezhnev, Mikoyan, dan Kosygin, mengirim pesan khusus untuk Soekarno, "Kita dan rekan-rekan kita bergembira mendengar bahwa kesehatan Anda telah membaik... Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato Anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tenang dan menghindari kekacauan...Himbauan akan dimengerti secara mendalam." Tanggal 16 Oktober 1965, Soekarno melantik Mayor Jendral Soeharto menjadi Mentri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Dalam Konferensi Tiga Benua di Havana bulan Februari 1966, perwakilan Uni Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka menghindari pengotakan atas penangkapan dan pembunuhan orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia.Pendirian mereka mendapat pujian dari rezim Soeharto. Parlemen Indonesia menegesahkan resolusi tanggal 11 Februari 1966, menyatakan " penghargaan penuh atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni Sovyet dan negara-negara lain di konferensi solidaritas negara-negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisasi usaha-usaha para kontra revolusioner gerakan 30 September, dan para pemimpin serta pelindung mereka, untuk campur tangan terhadap urusan dalam negri Indonesia.
Asumsi Penangkapan Dan Pembunuhan
Pada bulan-bulan setelah peristiwa G 30 S - PKI, mereka yang dianggap simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui, ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi untuk diinterogasi dan disiksa tanpa perlawanan. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November), dan Bali (bulan Desember) 1965. Tidak diketahui dengan pasti berapa orang dibantai? Perkiraan konservatif menyebutkan 500 ribu orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidaknya satu juta orang menjadi korban bencana kemanusiaan enam bulan pasca kudeta itu.
Tentara menghasut dan membantu kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap kanan seperti barisan Anshor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakuakan pembunuhan missal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya sampai di tempat-tempat tertentu terbendung mayat.
Sewaktu regu-regu militer yang didukung CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan dengan keji membantai mereka, majalah "Time" saat itu memberitakan, "Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala besar sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi sangat serius di Sumatra Utara, di mana udara lembab membawa bau mayat membusuk.
Orang-orang dari daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang terbendung mayat-mayat. Transportasi sungai terhambat secara serius." (Wikipedia). Di Bali, yang sebelum peristiwa G 30 S dianggap sebagai kubu PKI, sedikitnya 35.000 orang menjadi korban di awal tahun 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elit PNI adalah pelaku pembunuhan ini.Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar perburuan rasialis "anti Tionghoa" terjadi. Para pekerja dan pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Diperkirakan sekitar 110.000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir tahun 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan, termasuk terhadap belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tahanan politik, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman, dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Isu Keterlibatan Soeharto
Sampai sekarang Soeharto tak terbukti terlibat dalam G 30 S/PKI. Satu-satunya bukti yang dapat dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada masa itu tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.
Angkatan 66
Jauh sebelum pemberontakan Gestapu/PKI, sudah ada pihak dan golongan anti komunis, baik secara terang-terangan maupun diam-diam. Golongan-golongan itu antara lain adalah beberapa perwira Angkatan Darat, tokoh-tokoh Islam seperti bekas-bekas anggota Masyumi, HMI, PII, kalangan muda NU dan Muhammadiyah, bekas-bekas anggota PSI, tokoh-tokoh tertentu Katholik/PMKRI, SOKSI, dan lain-lain, secara naluriah, kelompok inilah yang paling cepat terpanggil untuk memerangi PKI.
Sulastomo, ketua umum Pengurus Besar HMI saat itu, bersama Syarifuddin Harahap, pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi langsung menghubungi Subchan Z. E. , ketua PBNU yang dekat angkatan muda, untuk menilai situasi dan menentukan sikap bersama. Atas inisiatif Subchan Z. E., diadakan rapat umum pertama untuk menentang, mengutuk Gestapu/PKI, menuntut pembubaran PKI dan antek-anteknya, di Taman Sunda Kelapa, Jakarta tanggal 4 Oktober 1965.
Sore harinya, Subchan Z. E. bersama tokoh-tokoh anti komunis membentuk badan yang mengkoordinasikan aksi-aksi penumpasan PKI di kalangan sipil, yang dinamakan "Kesatuan Aksi Pengganyangan Kontra Revolusi Gestapu" disingkat KAP Gestapu, merupakan kesatuan aksi pertama di Indonesia yang bertujuan menghancurkan komunisme di Indonesia, dengan alamat pejabatnya di Jl. Sam Ratulangi No. 1 (Sekretariat Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia) dan juga Jl. Banyumas No. 4 (rumah Subchan Z. E.). KAP Gestapu ini didukung NU, Partai Katholik, Muhammadiyah, Angkatan Muda Muhammadiyah, GP Anshor, IPKI, HMI/KAHMI yang ikut dalam susunan pengurus KAP-Gestapu adalah Syarifuddin Harahap (Biro Keuangan), Ismael Hasan Metareum, Mar'ie Muhammad, Dahlan Ranumihardja, dan Sulastomo (anggota). KAP- Gestapu menjadi "dapur pemikiran" untuk menilai setiap perkembangan situasi dan mengolahnya menjadi berbagai program aksi, mulai dari aksi jalanan (demonstrasi) sampai pada pengiriman petisi dan utusan kepada lembaga yang berkepentingan.
KAP-Gestapu memperkenalkan dan memulai aksi-aksi jalanan dan demonstrasi yang kemudian menjadi program rutin seluruh kesatuan aksi lainnya. Sejalan dengan itu, seluruh kantor induk pejabat PKI dan organisasi pendukungnya, dihancurkan oleh kelompok-kelompok PII, HMI, dan Pemuda Muhammadiyah, atau diserahkan kepada militer.Setelah tanggal 1 Oktober 1965 dan beberapa bulan berikutnya terjadi perubahan situasi yang luar biasa di dalam konstelasi politik di Indonesia. Dampaknya sangat terasa di dunia kampus. Bukan saja karena gelombang-gelombang politik selalu memukul-mukul dinding kampus, juga karena peranan mahasiswa sangat menonjol dalam peristiwa di sekitar peralihan 1965-1966.
Berbagai aksi demonstrasi terjadi terus-menerus pada bulan-bulan terakhir 1965, menjadi salah satu indikator ketidakpuasan masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah, khususnya dalam menuntaskan krisis politik akibat G 30 S 1965. Krisis politik belum selesai, pemerintah pada tanggal 22 November 1965 memperparah krisis bidang ekonomi dengan menaikkan harga bensin dari Rp 4 per liter menjadi Rp 250 per liter. Sehingga berbagai harga kebutuhan pokok dan tarif angkutan umum melonjak. Indeks biaya hidup meningkat tajam dari 22.651 menjelang bulan November menjadi 36.347 menjelang bulan Desember 1965.
Ekonomi masyarakat Indonesia waktu itu sangat rendah sehingga melemahkan dukungan rakyat kepada Soekarno dan PKI. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia.Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan dalam kenaikan harga ini adalah keputusan Soeharto-Nasution untuk menaikkan gaji tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa sehingga mereka kabur. Akibat inflasi, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, dan bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya, mereka juga memakai pakaian dari bahan karung.
Belum sempat Indonesia sembuh dari berbagai luka politik, ekonomi, dan dampak yang disebabkan oleh peristiwa G 30 S 1965 masih menjadi trauma berkepanjangan bagi bangsa Indonesia, pada tanggal 3 Januari 1966 pemerintah menaikkan harga BBM. Harga bensin dinaikkan lagi secara drastis menjadi Rp 1.000,00 per liter. Minyak tanah yang menjadi kebutuhan rakyat Indonesia juga harganya naik menjadi lebih dari 100%, dari seratus lima puluh rupiah per liter menjadi empat ratus rupiah per liter.
Diikuti kenaikan berbagai harga kebutuhan pokok dan tarif angkutan. Tarif bis, kereta api, dan pesawat terbang naik hingga 500%, tarif pos dan telekomunikasi naik hingga sepuluh kali lipat. Kenaikan harga BBM dan berbagai harga kebutuhan pokok yang menyengsarakan rakyat ini mengundang reaksi keras dari berbagai pihak, terutama dari para mahasiswa yang tampil menjadi moral force rakyat Indonesia. Pada tahun 1965-1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan mendirikan Orde Baru.
Gerakan ini disebut Angkatan 66, sebagai awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan.Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu antara lain Cosmas Batubara (Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi, ketiganya dari PMKRI, Akbar Tanjung dari HMI, dan lain-lain. Angkatan 66 mengangkat isu komunis sebagai bahaya laten Negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan untuk mendukung mahasiswa menentang komunis yang ditukangi PKI. Di masa ini ada tokoh yang sangat idealis, sampai sekarang ia menjadi panutan bagi mahasiswa-mahasiswa idealis setelah masanya, ia seorang aktivis yang tidak peduli mau dimusuhi atau didekati yang penting pandangan idealisnya tercurahkan untuk bangsa ini, dialah Soe Hok Gie.
Lahirnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) pada tanggal 25 Oktober 1965 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Mentri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayor Jendral dr. Syarief Thayeb, di antaranya adalah PMKRI, HMI, PMII, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi Lokal (SOMAL), SEMMI, GERMAHI, IMM, Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI).
Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa Indonesia dalam menggalang aksi dan melancarkan demonstrasi menuntut pembubaran PKI dan underbouw-underbouwnya, termasuk Central Gerakan Mahasiswa Indonesia, menjadi lebih terorganisasi, terkoordinasi, dan memiliki kepemimpinan.
Lahirnya KAMI diikuti berbagai kesatuan aksi lain, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI),Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain. Sejarah lahirnya KAMI berkaitan dengan peristiwa hamper sebulan sebelumnya, yaitu penculikan dan pembunuhan terhadap enam jendral dan satu perwira pertama oleh gerombolan Gerakan 30 S (G 30 S) yang dengan cepat berimbas terhadap sosial politik di tengah kehidupan bangsa Indonesia, termasuk kelompok mahasiswa saat itu.
Tuduhan PKI sebagai dalang pun segera merebak. Terlebih setelah Angkatan Darat yang dipimpin Mayor Jendral Soeharto melarang surat kabar afiliasi terbit. Hanya koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha milik Angkatan Darat saja yang bebas menyiarkan berita yang umumnya provokatif. Beritanya seolah ditelan mentah-mentah tanpa knofirmasi itu kemudian memberi angin segar bagi kelompok anti komunis untuk melancarkan tuduhan dan serangan terhadap PKI dan underbouw-underbouwnya. Partai-partai yang bersebrangan dengan PKI seperti Partai Katholik, Partai Murba, IPKI, NU, mengecam tindakan PKI.
Di mana-mana didirikan front pembubaran PKI, hingga markas PKI di Jl. Kramat Raya Jakarta pun dibakar. Dunia mahasiswa, salah satu komponen masyarakat yang umumnya sudah dikotak-kotakkan dengan afiliasi partai politik-partai politik (termasuk seni, wanita, buruh, dan surat kabar) ketika itu mendirikan wadah anti PKI.
Dendam kalangan mahasiswa non komunis terhadap CGMI telah berlangsung lama sebelum peristiwa G 30 S. Sebab dengan naik daunnya PKI, karena kedekatannya dengan Presiden Soekarno membuat CGMI bersikap angkuh terhadap organisasi-organisasi mahasiswa lain. Perhimpunan Pergerakan Mahasiswa Indonesia (PPMI) sebagai gabungan organisasi-organisasi mahasiswa dikuasai CGMI. Tindakan mereka yang paling tidak disukai adalah menuntut pembubaran HMI, padahal sama-sama tergabung dalam PPMI.
Tuduhan kepada HMI saat itu adalah HMI memiliki hubungan dengan Masyumi, partai terlarang pada pemerintahan Presiden Soekarno. Tetapi keputusan yang tinggal ditandatangani Soekarno itu tidak terjadi, karena "gertakan" Mentri Agama K. H. Saifuddin Zuhri. Dendam kesumat itu memuncak pasca G 30 S. Giliran HMI membabat CGMI. Kemudian sejarah mencatat, dengan bantuan Angkatan Darat aktivis CGMI ditangkapi dengan mata-mata mahasiswa anti PKI.
Seluruh elemen masa bergerak untuk membubarkan PKI meskipun Bung Karno bersikukuh mempertahankannya, tetapi tidak berhasil, wibawanya telah terkikis.HMI melibatkan diri dan menjadi pendukung utama kegiatan KAMI, mulai dari perencanaan kegiatan, persiapan sampai dengan pelaksanaan aksi dan kemudian evaluasi setiap aksi. Mulai dari penyusunan konsep, agenda, gagasan, dan ide, sampai pada mengerahkan massanya pada setiap kegiatan. Bahkan HMI, beberapa organisasi mahasiswa, dan pelajar dari kalangan Islam, menghiasi aksi-aksi jalanan dengan ucapan takbir membahana, sehingga aksi sangat bersemangat dan berwarna Ilahiah.
Dalam kepengurusan KAMI Pusat periode I 25 Oktober 1965-21 Juli 1966, HMI mengirimkan wakilnya Nazar E. Nasution (sebagai sekretaris jendral), dan Ismael Hadad (biro penerangan). Dalam kepengurusan periode II (mulai 21 Juli 1966), HMI mengirimkan Mar'ie Muhammad (sebagai salah seorang ketua), Farid Laksmana (sekretaris jendral), dan Ismael Hadad (biro penerangan), di mana peran HMI semakin kuat dan dominan di setiap kegiatan KAMI, karena dua hal yaitu pertama karena jumlah anggota (massa) HMI sanagat besar, sehingga setiap ada kegiatan aksi di jalan massa HMI yang ikut paling banyak. Kedua, HMI merupakan organisasi mahasiswa paling dibenci PKI dan bahkan dituntut untuk dibubarkan, sehingga bagi HMI komunisme adalah musuh sejak lama dan musuh sepanjang sejarahnya.
Aksi Tritura
Selanjutnya KAMI menuntut pemerintah agar meninjau berbagai kenaikan harga, lalu KAMI menggelar seminar untuk membahas masalah ekonomi Indonesia pada tanggal 10 Januari 1966, di Universitas Indonesia. Tampil sebagai pembicara antara lain Jendral A. H. Nasution, Letnan Jendral Soeharto, Syarief Thayeb, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik, Subchan Zaenuri Echsan. Saat itu HMI melahirkan pemikiran pada aspirasi rakyat yang dikenal dengan Amanat Penderitaan Rakyat dan memperjuangkan berbagai keluhan, tuntutan, dan hati nurani rakyat.
Kemudian memformulasikannya menjadi Tritura, substansinya disusun oleh Cosmas Batubara , David Napitupulu (PMKRI, dan Mar'ie Muhammad (HMI), sedangkan redaksinya disusun oleh Ismid Hadad (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia), dan Saverinus Suardi (PMKRI).Tiga tuntutan rakyat yang mendasar kepada pemerintah itu mendapat dukungan penuh dari Angkatan Bersenjata. Isinya adalah :
1) Bubarkan PKI beserta ormasnya
2) Turunkan harga dan perbaiki sandang pangan.
3) Perombakan dan pembersihan kabinet Dwikora dari unsur PKI.
Dari ketiga pasal tersebut, dua tuntutan pertama merupakan produk lama karena sebelumnya telah disuarakan Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September (KAP-Gestapu) sejak bulan Oktober 1965, sementara tuntutan terakhir merupakan produk baru. Keberadaan tuntutan yang ketiga dalam Tritura bernilai paling strategis karena langsung bersentuhan dengan kepentingan rakyat banyak.
Keberhasilan KAMI memformulasikan Tritura dalam perkembangan selanjutnya mampu menyimbolkan perjuangan bersama seluruh kekuatan mahasiswa. Sejak dicetuskannya Tritura, aksi-aksi demonstrasi mahasiswa berkembang semakin membesar dan intens, menjadi semakin bermakna dengan dukungan penuh rakyat dan Angkatan Bersenjata. Aksi-aksi Tritura yang diperjuangkan mahasiswa secara konsisten sejak awal Januari 1966 akhirnya terbukti menjadi semacam kata sandi bagi berbagai perubahan politik mendasar di tanah air sepanjang pertengahan tahun 1960, termasuk suksesi kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto.
Titik puncak keruntuhan wibawa Bung Karno salah satunya disebabkan aksi-aksi Tritura. Aksi-aksi Tritura sebagai reaksi terhadap keadaan politik, sosial, ekonomi, masyarakat dan pemerintahan waktu itu yang telah mengarah kepada kehancuran dan konflik di antara para elite politik yang berkuasa dalam pemerintahan. Timbul kecemasan rakyat di seluruh tanah air terhadap kelangsungan hidup negara. KAMI, organisasi extra universitas, memimpin menyampaikan aspirasi masyarakat dengan berdemonstrasi di pekarangan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia kampus Salemba.
Didahului upacara yang diikuti pimpinan Resimen Para Komando Angkatan Darat, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo beserta staff. Yang dipakai dalam aksi-aksi Tritura adalah panji-panji KAMI. Jaket kuning Universitas Indonesia menonjol dalam perjuangan menegakkan Orde Baru, disebabkan karena massa KAMI terbesar terdapat di UI dan diorganisasi oleh KAMI UI. Kampus UI merupakan pusat perjuangan Orde Baru, di mana berbagai kekuatan Orde Baru, khususnya mahasiswa dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia bertemu.Perjuangan angkatan 66 telah meluas dan melebar dari sekadar penghancuran komunisme di Indonesia, bukan sekadar masalah permukaan dan ringan, tetapi sudah masuk ke dalam perjuangan rakyat Indonesia.
Pemboncengan modus ekonomi ke politik menguntungkan KAMI, gelombang aksi mendapat dukungan luas ke daerah-daerah, sehingga KAMI menjadi kekuatan politik. Pemimpin-pemimpin KAMI Pusat seperti Cosmas Batubara, Sulastomo, Harry Tjan Silalahi, David Napitupulu, Arif Rahman, Mar'ie Muhammad menjadi idola baru tidak hanya di kalangan mahasiswa, tetapi juga di kalangan masyarakat umum.
Hasanuddin Haji Madjedi menjadi pahlawan Ampera pertama, gugur di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, gugur karena tembakan oknum tentara Batalyon K Kodam Diponegoro Jawa Tengah yang di-BKO-kan di Banjarmasin pada tanggal 10 Februari 1966. Ketika almarhum yang sedang memegang spanduk bertuliskan "Tak Ada Pilihan Lain, Menjadi Bangsa Indonesia atau Bangsa Asing", bersama rekan-rekan demosntran lain pulang dari berunjuk rasa di konsulat Republik Rakyat Tionghoa di Jl. Pacinan Laut (kini Jl. Kapten Pierre Tendean) Banjarmasin.
Pahlawan Ampera ini dimakamkan satu kompleks dengan makam pahlawan nasional Pangeran Antasari, di kawasan pekuburan muslim Jl. Masjid Jami' Banjarmasin. Puncak aksi terjadi pada tanggal 24 Februari 1966. Demo mahasiswa di depan istana negara berbuntut bentrok dengan pasukan Cakrabirawa. Pasukan Cakrabirawa mungkin telah kehilangan akal sehat menembak membabi buta kearah kerumunan hingga seorang mahasiswa kedokteran UI, Arif Rahman Hakim gugur tertembak. Revolusi membutuhkan korban.
Sang pahlawan yang kelak diberi gelar pahlawan Ampera itu membawa semangat baru di kubunya. Perjuangan KAMI dalam angkatan 66 mengalami suka duka, pahit manis, berhadapan dengan kekuatan, berhadapan dengan kekuatan penguasa militer yang memihak Soekarno (Orde Lama) dan PKI. Banyak mengambil resiko mulai dari kekurangan makan, tekanan, siksaan fisik, hingga kematian. Banyak korban tewas dalam perjuangan panjang menegakkan Orde Baru.
Dalam aksi tanggal 24 Februari 1966, gugur dua orang pejuang angkatan 66, Zubaedah (PII/KAPPI) dan Arif Rahman Hakim (HMI/KAMI). Rekan-rekan mereka mengantar jenazah mereka ke pemakaman tanggal 25 Februari 1966, dengan prosesi yang sangat sahdu dan mengharukan, seluruhnya memperkuat tekad dan semangat generasi muda untuk terus berjuang.
Para pejuang yang lain yang gugur dalam memperjuangkan Ampera pada saat itu antara lain Hasanuddin Noor (mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin) wafat tanggal 10 Februari 1966, Muhammad Syarif Al Kadri (mahasiswa Ujung Pandang) gugur tanggal 25 Februari 1966, Arismunandar (pelajar SMP Muhammadiyah X Yogyakarta), Margono (pelajar SPG Muhammadiyah I Yogyakarta) keduanya gugur tanggal 10 Maret 1966.
Yusuf Hasim dan Dicky Oroh (pelajar di Manado) gugur tanggal 31 Maret 1966, Mohd. Syafi ‘i (pelajar Jakarta) gugur tanggal 9 Mei 1966, Yulius Usman (mahasiswa Fakutas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung) gugur tanggal 18 Agustus 1966, Ahmad Karim (pelajar STM Bukittinggi) gugur tanggal 11 Desember 1966, Zaenal Zakse (wartawan Harian KAMI) gugur tanggal 8 Mei 1967. Mereka semua dicatat dengan tinta emas dalam sejarah sebagai pejuang yang membela hak-hak rakyat dan diangkat sebagai pahlawan Ampera, dan rakyat Indonesia tidak akan pernah melupakan perjuangan mereka. Taufik Ismail, seorang tokoh angkatan 66 dari kalangan penyair, mengabadikan suasana kedukaan itu dalam sajaknya yang sangat terkenal "Sebuah Jaket Berlumuran Darah" :
"Sebuah jaket berlumuran darah Kita semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun .............................................................
Akan mundurkah kita sekarang?
Seraya mengucap
"Selamat tinggal perjuangan!"
Berikrar setia kepada tirani Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan? ...........................................
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata Semuanya berkata
Mereka gugur sebagai pahlawan perubahan yang menjadi inovator perjuangan. Konsep kepemimpinan selalu dimualai oleh oarng muda. Perubahan memang memerlukan pengorbanan. Angkatan 66 yang terdiri dari pejuang muda, baik dari organisasi mahasiswa, pelajar dan pemuda, atau dari kampus yang tergabung dalam berbagai organisasi seperti KAMI, Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia, Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia, Kesatuan Aksi Wanita Indonesia, bergabung dengan Angkatan 66. Mereka berjuang meluruskan arah dan tujuan bangsa Indonesia yang diselewengkan Orde Lama dan komunisme.
(Dari berbagai sumber, penulis peminat sejarah)
Sumber : http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&dn=20110923221715
10
Sejarah Singkat HMI-MPO
Monday, December 03, 2012 Rahmadi M Ali
Sesuai dengan AD/ART-nya, nama sesungguh dari HMI-MPO adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Adapun ada tambahan MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) di belakang kata Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah untuk identifikasi bahwa HMI yang ini berbeda dengan HMI yang bersekretariat di Jl. Diponegoro (atau biasa disebut denga HMI-Dipo). Penambahan istilah MPO ini lahir saat menjelang kongres HMI XVI di Padang, Sumatera Barat tanggal 24-31 Maret 1986, HMI mengalami perpecahan internal sebagai akibat dari represi dari rezim Orde Baru yang memaksakan penerapan Asas Tunggal Pancasila. HMI yang sejak semula berasaskan Islam terbelah menjadi dua kubu, yaitu antara kubu yang tetap mempertahankan asas Islam dengan kubu yang berusaha mengikuti perintah Presiden Suharto mengubah asasnya menjadi Pancasila.
Pada mulanya MPO merupakan nama sekelompok aktivis kritis HMI yang prihatin melihat HMI yang begitu terkooptasi oleh rezim orde baru. Kelompok ini merasa perlu bergerak untuk mengantisipasi intervensi penguasa pada HMI agar HMI mengubah azasnya yang semula Islam menjadi pancasila. Bagi aktivis MPO, perubahan azas ini merupakan simbol kemenangan penguasa terhadap gerakan mahasiswa yang akan berdampak pada termatikannya demokrasi di Indonesia.
Perpecahan tersebut berlangsung hingga kongres XVI, di mana kubu yang mempertahankan asas Islam akhirnya menyelenggarakan kongres sendiri di Yogyakarta. Pasca itu terbentuklah dua kepengurusan PB HMI, yaitu PB HMI yang menerima telah menerima penerapan Asas Tunggal dan PB HMI yang tetap menolak Asas Tunggal dengan tetap mempertahankan Islam sebagai asasnya. Dalam perkembangannya, pemerintah Orde Baru melakukan opresi terhadap kepengurusan HMI yang mempertahankan Islam ini, atau biasa dikenal dengan nama HMI-MPO (Himpunan Mahasiswa Islam – Majelis Penyelamat Organisasi). Selain dengan sebutan HMI-MPO, eksponen organisasi ini lebih senang menamakan dirinya sebagai HMI 1947, mengacu pada tahun pendirian HMI .
Sejak awal kemunculannya tahun 1980-an, HMI MPO tumbuh menjadi gerakan bawah tanah yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan negara. Pada periode 90-an awal HMI MPO adalah organisasi yang rajin mengkritik kebijakan Rezim Orba dan menentang kekuasaannya dengan menggunakan sayap-sayap aksinya yang ada di sejumlah provinsi. Sayap aksi HMI-MPO yang terkenal antara lain adalah FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta) dan LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta) di Yogyakarta.
Di Yogyakarta LMMY merupakan sebuah organisasi masa yang disegani selain PRD dan SMID. Aksi solidaritas untuk Bosnia Herzegovina di tahun 1990 yang terjadi di sejumlah kampus merupakan agenda sayap aksi HMI MPO ini. Aksi demonstrasi menentang SDSB ke Istana Negara dan DPR/MPR pada tahun 1992 adalah juga kerja politik dua organ gerakan tersebut sebagai simbol melawan rezim. Aksi penolakan terhadap rezim orde baru di Yogyakarta merupakan bukti kekuatan HMI MPO dimana aksi 2 dan 3 April 1998 yang menjadi pemicu dari gerakan selanjutnya di Jakarta. Pada peristiwa pendudukan gedung DPR/MPR tanggal 18-23 Mei 1998, HMI MPO adalah ormas satu-satunya yang menduduki gedung tersebut di hari pertama bersama FKSMJ dan FORKOT yang kemudian diikuti oleh ratusan ribu mahasiswa dari berbagai universitas dan kota hingga Soeharto jatuh pada 21 mei 1998.
Pasca jatuhnya Soeharto, HMI MPO masih terus demonstrasi dan aksi-aksi lainnya dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh penguasa.
Sumber : http://rahmadimali2010.blogspot.com/2012/12/sejarah-singkat-hmi-mpo.html
11
64 Tahun HMI, Restorasi dan Tantangan Zaman
Harry Febri
Pada 5 Februari, seluruh kader dan alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di seluruh Nusantara akan merayakan milad HMI ke 64. Suatu usia yang sangat matang bagi sebuah organisasi mahasiswa.
Kalau diibaratkan manusia, usia tersebut sudah cukup tua dan sudah mendekati kematian. Pada usia ini kebanyakan manusia telah menjadi pikun dan tidak kuat lagi men¬jalan¬kan aktivitas sehari-sehari seperti layaknya orang muda. Akankah HMI bernasib demi¬kian?
Pertanyaan ini perlu dire¬nungi dan diresapi bersama. Mengingat beratnya tantangan yang dihadapi oleh HMI, baik dari eksternal organisasi mau¬pun dari internal organisasi sendiri.
Pada awal berdirinya, HMI telah diuji dengan perjuangan bersenjata melawan penjajah Belanda, selanjutnya pada dekade 60-an HMI juga telah berhasil melewati fase genting ketika PKI hendak mem¬bubarkan HMI. Begitu juga pada masa Orde Baru, ketika Orde Baru hendak me-nguasai seluruh organisasi dengan pemaksaan asas tunggal (Pan¬casila), HMI masih bisa eksis dan bertahan sebagai kekuatan pemuda garis depan, meskipun harus dibayar dengan dengan harga mahal, dengan terpe¬cahnya HMI menjadi dua, yaitu MPO dan DIPO.
Bagaimana dengan zaman sekarang? Harus diakui bahwa HMI sebagai sebuah organisasi menghadapi kondisi yang sangat berat.
Dari sisi eksternal, dengan hadirnya organisasi-organisasi mahasiswa lain yang mengu¬sung berbagai ideologi dan dengan strategi yang ber¬beda, HMI menjadi pilihan yang terdengar kurang menjual. Apalagi dengan isu-isu yang dihembuskan oleh pihak lain berkaitan dengan perilaku sebagian kecil alumni HMI yang bobrok, membuat HMI semakin jauh dari sumbernya yaitu mahasiswa. Padahal tidak ada hubungan organisatoris antara HMI dengan alumninya. Yang ada hanya hubungan emosional, sebagai sesama orang yang pernah berkiprah di HMI.
Adalah sangat wajar sekali, organisasi yang telah berumur 60 tahun, dengan jumlah alumni yang sangat banyak dan tentunya dengan lapangan pengabdian yang berbeda, kemungkinan alumninya untuk berbuat salah juga besar, meskipun alumni yang mem¬punyai prestasi dan integritas tinggi juga tidak sedikit.
Ban¬dingkan dengan orga¬nisasi mahasiswa lain yang baru berdiri, bisa jadi mengklaim diri paling bersih dan peduli, tetapi siapa yang dapat men¬jamin ketika sudah berada pada posisi yang cukup berpengaruh dapat terus mempertahankan kebersihan dan kepeduliannya?.
Kondisi mahasiswa saat ini yang menjadi tanah bagi tum¬buhnya pohon HMI juga sangat memprihatinkan. Budaya pop yang disebabkan oleh kemajuan teknologi dan informasi, mera¬cuni sedemikian rupa para pemuda termasuk mahasiswa.
Masalah-masalah sosial tidak begitu menjadi perhatian lagi. Para mahasiswa telah menjel¬ma menjadi makhluk apatis yang cenderung indi-vidualis yang ingin menda¬patkan segala sesuatu secara instan. Kondisi ini harus diha¬dapi oleh seluruh organisasi mahasiswa saat ini. Banyak fakta membuktikan, berapa banyak mahasiswa yang me¬lakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi masya¬rakat.
Berapa banyak mahasiswa yang bersedia melakukan aksi terhadap ketidakadilan sebagai suatu bentuk kontrol sosial. Sebaliknya berapa banyak mahasiswa yang mengikuti kegiatan-kegiatan yang bersifat hiburan, meskipun harus mem¬bayar dengan harga yang cukup mahal.
Menghadapi persoalan diatas, HMI perlu mereposisi diri. Charles Darwin pernah mengatakan, bukan siapa yang terkuat, tapi siapa yang mampu menyesuaikan diri yang akan bertahan. Kita boleh menga¬takan saat ini HMI merupakan organisasi mahasiswa tertua dan terbesar yang ada di Indonesia. Dengan sebaran cabang yang merata di tiap pelosok negeri. Belum lagi potensi alumni HMI yang mengabdi di setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tapi fakta lain berbicara, berapa banyak mahasiswa yang tahu tentang HMI?. Dari jumlah yang tahu itu berapa orang yang tertarik masuk menjadi anggota HMI?. Perta¬nyaan ini harus dijawab dengan jujur bahwa sedikit sekali mahasiswa yang tahu tentang HMI. Kalaupun ada, lebih karena faktor ikut-ikutan, orang tua atau keluarga yang HMI (HMI keturunan) atau malah karena “di karuangan” oleh pengurus atau anggota HMI. Jarang sekali ditemukan para calon anggota HMI masuk karena motivasi dari dalam diri, karena tahu pergerakan HMI atau karena ingin memperbaiki nasib bangsa ini.
Hal ini terjadi karena seba¬gai organisasi HMI tidak ‘sexy’ lagi, tidak ada magnet yang membuat mahasiswa tahu dan tertarik dengan HMI. Kalaupun ada anggota HMI di kampus, tapi tidak memperlihatkan kiprah yang signifikan.
Tidak ada manfaat lain yang dida¬patkan dari ber HMI apabila dibanding mahasiswa yang mengikuti organisasi maha¬siswa intra kampus, organisasi mahasiswa ekstra kampus lainnya atau bahkan Multi Level Marketing. HMI tidak punya ‘core competency’ yang membuat para anggota dan kader mendapatkan manfaat lebih dari ber HMI.
Kalau dulu para senior bercerita, bahwa dengan HMI mereka mendapatkan ilmu berorganisasi, ilmu agama dan segala macam ilmu yang mem¬bentuk karakter dan perilaku yang membuat mereka men¬jadi tokoh di tempat mereka berkiprah, apakah itu sewaktu mahasiswa ataupun ketika sudah terjun ke masyarakat. Saat ini perlu dipertanyakan lagi, apakah yang didapatkan anggota HMI dari berkegiatan di HMI.
HMI saat ini tidak punya arah yang jelas dalam bergerak. Disebut organisasi pergerakan, tanggung. Karena tidak ada arah gerakan yang jelas. NDP dan Mission HMI yang menjadi Ideologi HMI hanya menjadi cuap-cuap di ruangan Training HMI. Bukan menjadi dasar dan landasan untuk bergerak. Banyak fenomena sosial di masyarakat yang tidak mampu disikapi dengan baik oleh HMI. Pengurus HMI hanya sibuk dengan diri sendiri dengan agenda politik untuk merebut dan mempertahankan posisi meskipun dengan resiko mengorbankan organisasi HMI sendiri.
Jika disebut organisasi kader berbasiskan kajian juga tidak bisa. Karena tidak ada kajian yang benar-benar solid. Saat ini sangat jarang ditemui diskusi rutin di HMI, baik itu di tingkatan Komisariat apalagi di tingkatan yang lebih tinggi. Kalaupun ada, hanya bersifat artifisial dan seremonial.
Tidak benar-benar kajian seperti yang pernah dilakukan oleh Ahmad Wahib, Johan Effendi dan kawan-kawan di masa lalu.
Hal lain yang membuat HMI semakin susah untuk berbuat adalah pola pentra¬iningan di HMI yang tidak mengikuti pola mahasiswa saat ini. Pentrainingan saat ini seperti isi kulkas yang telah lama tidak diganti. Penuh dengan berbagai jenis makanan dan sayuran, tapi tidak segar lagi dan kering bahkan mem¬busuk. Seperti itulah analogi pentrainingan sekarang. Hanya berisi seremonial, materi-materi dan tradisi-tradisi.
Training sekarang miskin nilai. Target bagi pengurus hanya untuk memenuhi kewajiban melaksanakan Latihan Kader, dan target bagi pengelola hanya untuk membe¬rikan materi. Tidak ada nilai-nilai dan doktrin yang ditana¬mkan. Padahal esensi training adalah bagaimana peserta mendapatkan pencerahan. Dan dengan kesadaran yang dida-patkan bisa ditransformasikan di kampus masing-masing sebagai kader HMI.
Menyikapi keadaan ini, pengurus HMI perlu mela¬kukan langkah-langkah luar biasa. HMI harus merestorasi diri. Seperti yang telah dila¬kukan Kaisar Meiji di Jepang pada abad ke 19 untuk mengej¬ar ketinggalan Jepang dari negara lain. Yang mampu membalikkan keadaan dari negara miskin menjadi salah satu negara besar dan bermar¬tabat. HMI harus berubah.
Perlu sebuah kajian yang mendalam mengenai arah dan strategi organisasi ke depan. Kajian yang menjadi acuan gerakan HMI, baik jangka panjang, menengah dan jangka pendek.
Sebuah kajian yang meng¬hasilkan gagasan bernas untuk menjawab tantangan zaman yang sudah tidak sama dengan yang dulu. HMI harus me¬nyesuaikan diri dengan keadaan apabila tidak mau digilas zaman.
HMI harus mampu men¬jadi organisasi mahasiswa yang modern. HMI harus menjadi gaya hidup dengan semua keunggulan mahasiswa harus ada di HMI. HMI harus mam¬pu menghasilkan profil kader unggulan yang menjadi magnet bagi para mahasiswa lain di kampus.
Dari proses rekrut¬men bisa dimulai dengan merekrut calon anggota yang punya potensi untuk mem¬be¬sarkan organisasi. Dengan menerjemahkan NDP dan mission HMI ke kehidupan kekinian, diharapkan HMI kembali menjadi primadona yang menjadi magnet bagi mahasiswa di Indonesia.
Bahagia HMI... Yakin Usa¬ha Sampai...
HARRY FEBRI
(Ketua HMI Komisariat Ekonomi Universitas Andalas 2005-2006)
Sumber : http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1262:64-tahun-hmi-restorasi-dan-tantangan-zaman&catid=11:opini&Itemid=83
12
Membaca Cuaca Kultural HMI, Melawan Aktivisme Ortodoks: Sebuah pertanggungjawaban Lembaga Seni & Budaya PB HMI
June 13, 2011
Oleh: Qusthan Abqary[1]
Setiap pertanggungjawaban di internal organisasi kepemudaan maupun kemahasiswaan seringkali terjebak pada dua hal. Pertama, mengedepankan berbagai klaim keberhasilan – terlepas dari derajat kebenarannya. Kedua, menitikberatkan pada apologi pengurus – di setiap jenjang struktural – selama masa kepengurusan. Dalam kesempatan singkat ini, saya berusaha untuk tidak terjebak pada salah satu kebiasaan tersebut, tetapi berusaha untuk mengukur diri dengan basis program kerja yang dibahas pada beberapa pleno sebelumnya. Sebelum beranjak jauh ke sana, jauh lebih baik apabila saya mengisahkan sedikit mengenai awal mula pendirian Lembaga Seni & Budaya (LSB) PB HMI (1947),[2] kemudian disusul dengan sedikit wacana[3] yang boleh jadi berguna bagi pengurus maupun kader HMI masa depan, baik dalam mengelola LSB secara khusus, maupun mengelola HMI secara keseluruhan.
Dalam Pleno II di Palu, PB HMI (1947) membentuk Lembaga Seni & Budaya (LSB) yang kemudian ditetapkan melalui Surat Keputusan Nomor 054/A/KPTS/03/1431 tentang Pengesahan Susunan Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Hasil Reshuffle Periode 1430-1432 H/2009-2011 M di Jakarta pada tanggal 22 Rabiul Awwal 1431 H/15 Maret 2010. Saya pun harus membentuk kepengurusan inti di samping kewajiban sehari-hari untuk bekerja di sebuah yayasan di bidang pendidikan. Tidak mudah untuk mencari dan meyakinkan beberapa kader yang memiliki minat pada kesenian maupun kebudayaan. Kalaupun ada kader yang sedemikian rupa, kerapkali terbentur pada kewajiban untuk menafkahi diri sendiri dan keluarga – sebuah situasi yang pelik bagi LSB. Ketua Umum PB HMI (1947) pun memperkenalkan dan merekomendasikan Sdr. Ayat Muhammad pada bulan Mei 2010 untuk menjadi sekretaris dan membantu saya di LSB.
LSB memandang bahwa HMI (1947) dalam beberapa dekade terakhir sedang dilanda “cuaca” kultural yang tergelincir pada apa yang disebut dalam tulisan ini sebagai “aktivisme ortodoks.” Ia sebentuk hasrat menggebu dari sebagian besar kader untuk (1) reaksioner terhadap berbagai ketidakadilan di muka bumi; (2) miopi atau rabun jauh terhadap masa depan[4]; (3) meremehkan penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan; (4) miskin konsep perjuangan, perkaderan, dan keilmuan; (5) berorientasi elitis yaitu mendambakan mobilisasi vertikal melalui jalur politik praktis semata; (6) melakukan aksi demonstrasi yang sifatnya temporer; (7) mengklaim sebagai gerakan moral tetapi miskin ilmu, padahal semakin berilmu seseorang maka semakin bermoral dirinya – sesuai dengan pendapat “guru pertama” Aristoteles.
Sejak gelombang reformasi tahun 1998, aksi demonstrasi menjadi semakin “murah” karena dapat dilaksanakan siapa saja yang merasa menjadi pejuang keadilan maupun korban ketidakadilan. Reformasi yang berjalan tanpa konsep dan pandu yang disiplin, dibumbui dengan sekelompok aktivis yang ingin mengulang ‘reformasi tanpa konsep’ tahun 1998; semakin memperparah penyakit miopi atau rabun jauh terhadap masa depan yang diidap para pengelola organisasi kemahasiswaan. Aktivis mahasiswa pun gagal mendefinisikan siapa musuh barunya setelah ‘reformasi tanpa konsep’ tahun 1998. Musuh para aktivis mahasiswa maupun pemuda Indonesia sesungguhnya ialah para mahasiswa dan pemuda di negara maju yang belajar secara serius dan tekun guna menyiapkan diri menjadi pemimpin negara-bangsa maju, yang akan menentukan arah gerak peradaban manusia di muka bumi. Apabila mereka mendapat fasilitas luar biasa dari pemerintah masing-masing, sementara kita – pasca-Reformasi 98 – masih terjebak dengan aktivisme ortodoks, maka Indonesia akan tetap menjadi negara tidak berkembang. Bahkan, dalam situasi rezim otoritarian Orde Baru pun, mahasiswa maupun pemuda tidak sepatutnya terjebak pada aktivisme ortodoks.
Wajah penguasa korup dan zalim selalu berganti dari zaman ke zaman, tak akan habis ditelan waktu, tetapi mahasiswa, pemuda, dan kader HMI (1947) yang mampu membaca masa depan tak akan tergelincir pada aktivisme ortodoks. Penguasa korup dan zalim dapat diganti oleh para pemimpin yang berilmu dan berakhlak mulia bila – jauh hari sebelumnya – para pemuda dan mahasiswa serius mempersiapkan diri, sementara “virus” aktivisme ortodoks tidak akan pernah lenyap di negara maju sekalipun. Bacalah dan pikirkanlah situasi dan kondisi aktivisme kemahasiswaan dan kepemudaan di Jerman dan Malaysia. Di satu sisi, para pemuda pengangguran yang hidup dari jaminan sosial Pemerintah Jerman justru tergelincir pada aktivisme ortodoks dengan menjadi kader aktif dan militan dari partai yang mengusung aliran neo-Nazi[5], sementara sebagian besar mahasiswa di sana asyik-masgul dengan ilmu pengetahuan dan teknologi guna menjadi pemimpin di berbagai bidang kehidupan di Jerman maupun seluruh Eropa. Di sisi lain, para aktivis mahasiswa di Malaysia tetap fokus pada proses perkuliahan sebab mereka yakin bahwa suatu hari di masa depan, rezim UMNO akan jatuh dan mereka harus menyiapkan diri – melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi – guna memimpin bangsa dan negara. Mereka pun merapatkan diri pada barisan oposisi yang digalang oleh Anwar Ibrahim melalui Pakatan Rakyat. Namun, pemimpin oposisi seperti Anwar Ibrahim tentu tidak sabar dengan penantian panjang tersebut – mengingat usia dan berbagai fitnah keji terhadap dirinya – sehingga kerapkali memuji proses reformasi di Indonesia. Bagaimana dengan kita?
Aktivisme ortodoks tetap menggeliat di akal pikiran dan hati sanubari para aktivis, entah sebagai pelarian akibat kegagalan di bangku perkuliahan, entah sebagai wujud dari kegagalan untuk mengidentifikasi musuh sejati. Elit politik negeri ini pun turut menikmati geliat aktivisme ortodoks sebagai alat penekan dari jalanan. Tawar-menawar pun terjadi. Aktivisme ortodoks menjadi semacam modus mobilisasi vertikal baru bagi mereka yang merasa menjadi pejuang keadilan tapi mengidap penyakit akut berupa miopi masa depan. Para aktivis ortodoks di negeri ini sibuk menghujat dosen, dekan, rektor, menteri, hingga presiden yang dianggap lalim dan zalim tanpa melakukan aksi kelas melalui jalur hukum. Alhamdulillah, PB HMI (1947), misalnya, berhasil melakukan beberapa terobosan seperti aksi kelas mulai dari judicial review terhadap UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum; terlibat dalam judicial review terhadap UU BHMN; hingga gugatan hukum terhadap Ruhut Sitompul yang terjebak pada fallacy of dramatic instance dengan mengatakan bahwa siapapun yang menolak pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto merupakan keturunan PKI (Partai Komunis Indonesia).[6] Dengan demikian, sudah saatnya HMI (1947) melaksanakan budaya perjuangan baru: mulai dari aksi kelas, penekanan pada gerakan berbasis keilmuan, hingga peningkatan program kebudayaan.
HMI (1947) sebagai “laboratorium politik” sudah tidak memadai lagi untuk menghasilkan calon pemimpin masa depan yang memiliki komitmen moral yang kuat. LSB memandang bahwa hal ini berkaitan dengan semakin merosotnya kapasitas keilmuan kader. Hal ini sejalan dengan pendapat Aristoteles – yang didapuk sebagai ‘guru pertama’ oleh para ilmuwan cum filosof muslim pada masa Abad Pertengahan – yang menyatakan bahwa:
“Virtue, then, is of two kinds: that of the intellect and that of character. Intellectual virtue owes its origin and development mainly to teaching, for which reason its attainment requires experience and time; virtue of character (ēthos) is a result of habituation (ethos), for which reason it has acquired its name through a small variation on `ethos’. From this it is clear that none of the virtues of character arises in us by nature. For nothing natural can be made to behave differently by habituation…So virtues arise in us neither by nature nor contrary to nature, but nature gives us the capacity to acquire them, and completion comes through habituation.”
[Kebajikan, kemudian, terdiri dari dua jenis: yaitu mengenai intelek dan mengenai karakter. Kebajikan intelektual berasal dari pembangunan dan pengembangan (proses—penulis) pengajaran, yang mana pencapaiannya membutuhkan pengalaman dan waktu; (sementara—penulis) kebajikan karakter (ēthos) adalah sebuah hasil dari pembiasaan (ethos), yang namanya (ēthos—penulis) diperoleh melalui sebuah variasi kecil pada ‘ethos.’ Dari sini menjadi jelas bahwa tak ada satupun kebajikan karakter yang muncul dalam diri kita secara kodrati. Tak ada kodrat yang dapat diubah melalui pembiasaan...Jadi, kebajikan muncul dalam diri kita tidak secara kodrati/alamiah tetapi juga tidak melawan kodrat, namun kodrat (manusia—penulis ) memberi kita kapasitas untuk memerolehnya, dan pemenuhannya datang melalui pembiasaan][7]
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa “raksasa” etika seperti Aristoteles pun percaya bahwa kebajikan melibatkan intelektualitas, sementara yang terakhir ini senantiasa melibatkan penguasaan terhadap ilmu (pengetahuan, dan lain-lain). Kebajikan (virtue) yang dalam segala keterbatasan khazanah Bahasa Indonesia dipahami sebagai sesuatu yang mendatangkan kebaikan (termasuk keselamatan, keberuntungan), maupun perbuatan baik; merupakan pangkal atau hulu dari kebaikan (goodness). Sebagai pangkal dari kebaikan (goodness), kebajikan (virtue) relatif lebih sulit untuk dijangkau manusia, sehingga Aristoteles pun memberikan pandu bagi individu yang sekedar ingin mengejar kebaikan (goodness). Aristoteles percaya bahwa kesulitan dalam menuju kebaikan (goodness) – sebagai hilir dari kebajikan (virtue) – dapat diatasi dengan menempuh jalan tengah di antara dua keburukan (vices)[8] dan hal tersebut hanya mungkin dilakukan oleh orang yang memiliki pengetahuan.[9]
Sidang pembaca boleh saja tidak sepakat dengan pendapat Aristoteles tersebut, tetapi sejarah telah membuktikan bahwa sejak sekitar 400 tahun SM hingga kini, gagasan Aristoteles tetap dipelajari dan diajarkan sementara penolakan terhadap etika Aristotelian kerapkali timbul-tenggelam dalam “samudera” sejarah. HMI (1947) tentu konsisten untuk memproduksi kader yang berakal pikiran sehat agar tidak tenggelam dalam “samudera” sejarah. Oleh karena itu, segala usaha di berbagai bidang kehidupan perlu untuk digenjot, khususnya guna mengubah cuaca kultural di internal HMI agar organisasi dapat membantah secara tegas tuduhan produsen koruptor dengan cara menghasilkan alumni yang berilmu dan berakhlak – termasuk memiliki komitmen moral yang kuat – guna mengabdi di segala sektor kehidupan, tak hanya lapangan politik praktis yang semakin jumud.
Oleh karena itu, program kerja pertama yang digarap LSB ialah melanjutkan kepanitiaan sayembara cerita pendek (cerpen) keislaman yang sebelumnya diselenggarakan oleh PB HMI (1947) pada Januari 2010. Sekitar 30 cerpen dari Aceh, Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Makassar, Malang, Semarang, Surabaya, Banjarmasin, Sumbawa, Cianjur, hingga Tual – baik kader HMI maupun bukan – turut berpartisipasi dalam seleksi yang dilakukan oleh Kanda Tulus Widjanarko – wartawan senior sekaligus penyair. Kanda Tulus memberikan catatan penting bahwa kualitas cerpen yang masuk maupun para pemenang masih jauh panggang dari api. Sedikit-banyak, hal ini berpengaruh pada ikhtiar penggalangan dana sebab calon penyandang dana turut membaca dan mengamati kualitas cerpen. Alhamdulillah, pada bulan April 2010 telah diumumkan sembilan pemenang.
PB HMI (1947) sebagai panitia awal sayembara menawarkan hadiah berupa penerbitan sembilan cerpen terbaik oleh Penerbit Universal. Oleh karena itu, LSB sebagai ‘panitia lanjutan’ turut berusaha untuk menggalang sponsorships ke berbagai pihak, mulai dari instansi pemerintah hingga swasta. Namun, keberuntungan agaknya belum berpihak pada LSB sehingga untuk sementara waktu program penerbitan ditunda. Dalam penundaan tersebut, beberapa masalah muncul ke permukaan yang penting untuk dikemukakan di sini sebagai bahan pembelajaran bagi pengurus periode berikutnya.
Di antara sembilan cerpen pemenang, terdapat satu pemenang yang ternyata melanggar ketentuan sayembara bahwa cerpen belum pernah dipublikasi – secara online maupun offline. Setelah dikonfirmasi, yang bersangkutan mengakui memang memublikasi cerpennya dan meminta maaf karena kemudian turut menandatangani dan mengirim surat pernyataan dan kesediaan penerbitan. Selain itu, tidak semua pemenang mengirimkan surat pernyataan kesediaan untuk menerbitkan dan belum pernah sebelumnya menerbitkan cerpen masing-masing.
Di tengah beberapa persoalan dan kesulitan penggalangan dana, LSB mengambil inisiatif untuk melakukan penerbitan dengan cara print on demand (POD) yang tidak membutuhkan biaya besar. Tawaran pun diajukan kepada masing-masing pemenang, akan tetapi hanya satu orang yang memberikan respon. Bahkan, di kemudian hari – setelah antologi cerpen keislaman berhasil diterbitkan pada Mei 2011 – terdapat informasi yang masuk melalui Ketua Umum PB HMI (1947), M. Chozin Amirullah, bahwa judul buku antologi – yang diambil dari judul cerpen pemenang pertama – sama dengan sebuah majalah sastra yang terbit secara terbatas di Solo. Dengan demikian, sebagian para pemenang sayembara tidak menunjukkan komitmen penuh untuk mengirimkan cerpen yang ‘belum pernah’ dan ‘tidak akan’ dipublikasi di media lain. Alhamdulillah, LSB berhasil menerbitkan buku antologi cerpen keislaman Tikus-tikus di Sayapku yang bekerjasama dengan Penerbit GRE di Yogyakarta pada bulan Mei 2011 secara POD (print on demand)[10] dengan dana talangan dari PB HMI (1947) yang juga telah dikembalikan secara utuh.
Program lain LSB ialah penggarapan manifesto kebudayaan HMI yang dapat menjadi pijakan bagi pengurus LSB maupun HMI dalam melakukan kerja kesenian maupun kebudayaan di kemudian hari. Pemosisian entitas kesenian dan kebudayaan dalam keluasan Islam pun dilakukan secara cermat dan hati-hati pada bulan Mei 2010. Manifesto Kebudayaan HMI dapat diraih pada beberapa tautan berikut:
• http://pbhmi.net/images/stories/manifesto-kebudayaan-hmi.pdf
• http://hminews.com/oase/manifesto-kebudayaan-hmi/
• http://ureport.vivanews.com/print_detail/printing/150282-manifesto_kebudayaan_hml
• http://ifile.it/wfyead8/manikebu.pdf
• https://docs.google.com/fileview?id=0B4lNiR8wpEeCYjUzM2YzZjAtMTEwOC00YjU1LTk4NmEtN2EzZjJkNTM2MDU2&hl=in
Manifesto disebar ke berbagai pihak di dalam maupun di luar HMI. Beberapa respon positif maupun negatif muncul. Kanda Taufiq Ismail menyatakan, “Dari segi berfikir abstrak, oke. Tapi perincilah kepada hal-hal praktikal yang gawat kita hadapi saat ini: kemelaratan, ketertiban, kerja keras, adiksi. Kalau lebih detail lagi: sedikit-sedikit marah, sedikit-sedikit ngamuk, melanggar aturan, tidak tepat waktu, dst. Dengan detail yang terperinci HMI bisa mendesain program kerja mengatasinya. Ini yang jauh lebih penting. Jadi lebih riil dan tepat guna, tidak berhenti jadi teori atau pemikiran saja.” Tak hanya itu, Kanda Taufiq pun merekomendasikan kepada panitia perayaan Musyawarah Nasional PKS 2010 untuk turut mengundang LSB PB HMI (1947) untuk hadir dalam diskusi “Manifesto Kebudayaan Islam” di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki. LSB pun didapuk untuk turut mempresentasikan ide dan gagasan yang terkandung dalam Manifesto Kebudayaan HMI kepada audiens.
Selain itu, seorang antropolog asing yang fokus pada kajian Indonesia dan terlibat dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh melalui AMM (Aceh Monitoring Mission), Sini Castren, turut memberikan penilaian sebagai berikut, “Against that background, I am positively surprised and impressed to learn about your activist voluntary role in HMI. The Himpunan Mahasiswa Indonesia (Islam—penulis) Cultural Manifesto that you attached, is very beautiful in language, style and content. I really liked to read it, and so it means it also speaks across lines of culture and religion separating us!”
Tak hanya komentar positif, komentar negatif pun muncul dari Kanda Anies Baswedan, “Saya baca sepintas. Yang muncul dalam benak saya: HMI masih berbicara masa lalu. HMI tidak berbicara masa depan. Sebuah keterjebakan yang memprihatinkan.” Namun, Kanda Cahyo Pamungkas pun memberikan respon, “Btw (by the way—penulis), manifesto kebudayaannya bagus banget, clear visi misi MPO ada di situ, tidak terlalu fundamentalis dan tidak terlalu liberal, di tengah-tengah.”
Beberapa komentar di atas sengaja dihadirkan di sini guna menjadi bahan pertimbangan bagi kader HMI (1947) masa depan mengenai posisi organisasi terhadap sektor kesenian maupun kebudayaan. Kader pun memiliki kebebasan untuk mengubah maupun memperbaiki manifesto yang sesuai dengan tuntutan zaman. Manifesto bukanlah kitab suci yang tak dapat diganti. Ia tak berpretensi untuk menjadi abadi.
Di tengah segala keterbatasan, Sdr Ayat Muhammad turut membantu dalam kerja formal maupun informal. Sdr Ayat berhasil menyelenggarakan diskusi terbatas mengenai kesenian di sekretariat PB HMI (1947). Sayangnya, minat kader terhadap lapangan kesenian maupun kebudayaan masih relatif sedikit, sehingga diskusi pun belum mampu untuk menerobos kesadaran kader bahwa kebudayaan tak kalah penting ketimbang, misalnya, politik etis maupun praktis. Sdr Ayat pun kerapkali mewakili LSB dalam rapat koordinasi maupun proses pengayaan isu yang berlangsung secara formal maupun informal di lingkungan PB HMI (1947). Sungguh sumbangsih yang tidak terkira dalam ikhtiar mengimbangi kesadaran dan kosmologi politik praktis di lingkungan PB HMI (1947).
LSB juga bekerja sama dengan Institut Riset Nasional (IRN) yang dipimpin Sdr. Usman Thaher Aan untuk menerbitkan newsletter sederhana bertajuk IPTEK & CULTURE yang terbit sebulan sekali dan disebarluaskan melalui email cabang maupun ketua masing-masing cabang. IRN memasok berbagai informasi mengenai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara LSB memberikan perspektif kebudayaan terhadap perkembangan tersebut, maupun sebaliknya. Hal ini didasarkan pada kesadaran bahwa unsur ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dilepaskan sepenuhnya dari kebudayaan sebuah bangsa maupun sejarah kemanusiaan. Pada awalnya, newsletter diterbitkan dalam English guna memompa dan memacu kapasitas kader di seluruh Indonesia dalam penguasaan English. Uniknya, hanya satu respon yang muncul di antara ribuan kader HMI (1947), yaitu dari seorang kader di Sulawesi Selatan, yang mendo’akan kebaikan kepada pimpinan LSB.
Beberapa bulan menjelang akhir masa kepengurusan LSB, IPTEK & CULTURE diterbitkan dalam Bahasa Indonesia disebabkan minimnya respon dari cabang. Respon kedua pun muncul ketika saya mengisi diskusi di HMI (1947) Cabang Bogor yang mengapresiasi secara positif newsletter IPTEK & CULTURE karena dapat turut memompa wacana kader cabang, sesuai dengan tujuan awal penerbitan newsletter. Keunikan lain yang perlu disampaikan di sini ialah pemanfaatan salah satu artikel newsletter IPTEK & CULTURE oleh LAPMI tanpa seizin dan sepengetahuan saya sebagai pengampu tulisan tersebut. Pengampu tulisan tersebut pun tak disebut oleh LAPMI. Semoga LAPMI diberi petunjuk oleh Allah SWT, amin.
LSB pun turut mengampu rubrik Slilit di pbhmi.net yang merupakan kumpulan anekdot seputar HMI. Sdr Ayat Muhammad memberikan kontribusi signifikan dalam penulisan anekdot dan turut melibatkan kader lain di luar LSB. Pada masa awal dan kepengurusan LSB, kader lain di level PB HMI (1947) terlibat secara massif untuk menyumbang cerita lucu. Uniknya, pasca-pleno III PB HMI (1947) di Surabaya pada November 2010, kontribusi kader lain di lingkungan PB semakin merosot – barangkali terpengaruh “konflik” yang memuncak pada pleno tersebut. Saya pun sebagai pimpinan LSB, di satu sisi, menyesal karena tak dapat menghadiri pleno karena demam dan meriang. Di sisi lain, saya berbahagia karena tidak melibatkan diri dalam permasalahan seputar pembangunan gedung pusat pelatihan pemuda Islam di Parung, Bogor, yang dilakukan oleh Yayasan PB HMI. Boleh jadi betul pendapat yang mengatakan bahwa isu keuangan hanya pemicu terhadap kepemimpinan PB, tetapi juga boleh jadi dugaan “korupsi” hanya isapan jempol belaka. Biarlah persoalan tersebut diselesaikan melalui cara yang tepat, yaitu melalui mekanisme di internal yayasan tersebut. LSB memang bagian dari PB HMI (1947) tetapi bukan bagian dari Yayasan PB HMI.
Siaran pers seputar kesenian dan kebudayaan turut dikirim LSB ke beberapa media massa nasional. Salah satu siaran pers yang cukup penting untuk dikemukakan di sini ialah perihal penundaan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cagar Budaya yang dianggap sebagian besar kalangan pekerja maupun pengamat kesenian dan kebudayaan sebagai draf yang sangat merugikan bangsa Indonesia. LSB Hijau Hitam menyatakan bahwa RUU tersebut berpotensi represif (pasal 1 ayat 11), terdapat banyak kerancuan (pasal 9 huruf a, d; pasal 48 ayat 6, pasal 48 ayat 8, pasal 49 ayat 2 huruf b, pasal 50 ayat 1, 2, dan 3, pasal 56 ayat 2, pasal 62 ayat 1), memperbesar kemungkinan penyelewengan (pasal 6 ayat 2 huruf d; pasal 17 ayat 3; pasal 19 ayat 3; pasal 22 ayat 1 huruf c; pasal 22 ayat 2), merugikan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya (pasal 30 ayat 1, pasal 33, pasal 57). Hasilnya, untuk sementara waktu Komisi X DPR RI menunda pengesahan RUU tersebut walau kemudian tetap memaksakan diri untuk mengesahkannya.
Beberapa uraian ringkas di atas miskin dari rasa percaya diri, tetapi refleksi sekaligus proyeksi mengenai LSB tetap harus dilakukan.
Identitas HMI (1947) sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan kerapkali dipahami sebagian kader secara beragam. Namun, dalam keseragaman itu terdapat semacam pola bahwa kapasitas akademik sebagian besar kader aktif di setiap jenjang struktur organisasi agak ketinggalan ketimbang mahasiswa yang tidak terjun pada dunia aktivisme. Seolah-olah, terjadi dikotomi yang saling bertentangan antara proses perkuliahan dengan aktivisme organisasi. Padahal, keduanya bisa berjalan beriringan, khususnya apabila HMI (1947) tak hanya menjadi organisasi perkaderan dan perjuangan, tetapi juga keilmuan.
Istilah keilmuan bisa terdengar sumbang di telinga sebagian kecil kader, tetapi dapat menjadi solusi alternatif, khususnya bagi sebagian kader (non-aktif) yang kesulitan untuk membagi waktu sehingga untuk sementara meninggalkan HMI (1947). Padahal, potensi kader (non-aktif) sangat besar mengingat masa keanggotaan selama 12 tahun dan tidak jarang justru turut menopang sebagian besar aktivitas organisasi, khususnya melalui sektor pendanaan (muhibah). Namun, solidaritas antara kader aktif dengan kader non aktif tidak bisa hanya dibangun melalui sektor pendanaan (muhibah), tetapi juga dapat dibangun melalui sektor penguatan kapasitas keilmuan[11] kader (aktif maupun non-aktif). Oleh karena itu, kader non aktif tidak dapat dipersepsikan sebagai bagian dari alumni seperti yang terjadi selama ini. Interseksinya terletak antara kepentingan kader untuk menyelesaikan kuliah sebaik mungkin (tak harus cepat) dengan kepentingan organisasi untuk meningkatkan kapasitas keilmuan kader, khususnya setelah HMI (1947) menjadi organisasi perkaderan, perjuangan, dan keilmuan.
PB secara khusus maupun HMI (1947) secara umum perlu untuk mengimplementasikan Gerakan Berbasis Keilmuan (GBK) sebagai budaya atau kultur baru organisasi. Tanpa GBK, organisasi ekstra-kampus mana pun akan semakin kurang diminati oleh mahasiswa. Sejujurnya, transformasi menuju GBK sudah sangat terlambat apabila dibandingkan dengan transformasi yang dilakukan oleh pers mahasiswa/kampus melalui sarasehan nasional di Lombok pada tahun 1998. Lebih lanjut mengenai hal ini dapat dibaca pada tulisan saya Mengapa Gerakan Mahasiswa Kurang Diminati? pada situs hminews.com. Selain itu, lembaga kekaryaan sepatutnya tidak lagi berkutat dengan persoalan yang seharusnya sudah selesai di level komisariat maupun cabang, seperti minimnya antusias/semangat berorganisasi. Minimnya semangat tersebut agaknya berkaitan dengan minimnya interseksi antara prospek/proyeksi seorang kader (aspek keilmuan) dengan apa yang disediakan HMI (aspek kepemimpinan dan jaringan).
Program HMI (1947) di setiap jenjang struktural (PB, cabang, komisariat, lembaga kekaryaan) sepatutnya lebih mengedepankan kegiatan yang memiliki efek jangka menengah dan jangka panjang ketimbang efek jangka pendek (seminar, workshop/bengkel tanpa follow-up, pelatihan tanpa follow up dan sejenisnya) yang dalam situasi tertentu justru menyisakan hutang. LSB melihat dan menyadari hal tersebut sehingga dalam masa kepengurusan periode pertama ini lebih fokus pada kegiatan dengan biaya minimalis, tetapi kiranya memiliki efek jangka menengah dan jangka panjang seperti penerbitan antologi cerpen keislaman, perumusan manifesto kebudayaan HMI (1947), penggarapan newsletter, dan lain sebagainya. Bukankah, menulis ialah bekerja untuk keabadian seperti pepatah “apa yang diucapkan menguap, apa yang dituliskan abadi.” Selain itu, agaknya tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa sebagian besar kader HMI (1947) saat ini lebih berbakat untuk berbicara ketimbang menulis.
Di samping itu, LSB periode berikutnya perlu untuk memikirkan dan melaksanakan ikhtiar guna mendorong masing-masing cabang HMI (1947) untuk membentuk LSB laiknya lembaga kekaryaan lain. Pembentukan Pokja (Kelompok Kerja) kesenian dan kebudayaan lintas cabang maupun lintas komisariat tentu akan memudahkan jalan terjal pembentukan LSB di masing-masing cabang maupun komisariat. Dengan demikian, diharapkan terjadi proses perkaderan yang berjenjang dan simultan. Pembentukan LSB di masing-masing cabang hingga komisariat juga diharapkan dapat mengimbangi kultur politik praktis yang boleh jadi cukup kental di lingkungan HMI (1947).
Rasa terima kasih yang tulus dan mendalam wajib disampaikan kepada Ketua Umum PB HMI (1947), Sdr. M. Chozin Amirullah, yang telah memberikan kesempatan seluas mungkin dan dukungan sebesar mungkin bagi aktivitas kesenian dan kebudayaan di lingkungan HMI (1947) serta memberikan kepercayaan kepada saya untuk merintis, memimpin dan mengelola LSB. Iklim politik praktis yang kental di internal organisasi sepatutnya dapat dinetralisir dengan pemassifan kegiatan kesenian dan kebudayaan jangka menengah, bukan jangka pendek. Saya pun perlu menyampaikan terima kasih kepada Sdr. Ayat Muhammad yang senantiasa mengingatkan untuk singgah di sekretariat PB HMI (1947) serta menunjukkan bagaimana seorang pegiat teater dapat memisahkan sekaligus menggabungkan aksi teatrikal di panggung sandiwara maupun di panggung kehidupan.
Demikianlah pembacaan ringkas terhadap cuaca kultural di internal HMI sekaligus gerilya melawan aktivisme ortodoks sebagai bagian dari rangkaian pertanggungjawaban kerja sejak dibentuknya LSB pada Maret 2010. Apa yang baik dari LSB PB HMI (1947) datangnya dari Tuhan, sementara apa yang kurang baik datangnya dari pengurus LSB periode pertama ini.
Jagakarsa, 4 Juni 2011
© Qusthan Abqary
Direktur Lembaga Seni & Budaya (LSB)
Pengurus Besar HMI (1947) periode 2009-2011
________________________________________
(1) Direktur Lembaga Seni & Budaya (LSB) PB HMI (1947) periode 2009-2011. Ia dapat ditemui di http://blog.abqary.net
(2) Saya memilih untuk menggunakan simbol ‘1947’ ketimbang ‘MPO’ disebabkan faksi MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) sesungguhnya hanya forum yang telah bubar sejak berhasil diselenggarakannya Kongres Himpunan Mahasiswa Islam ke-XVI di Gunung Kidul, Yogyakarta.
(3) Tak ada aksi yang sukses tanpa wacana yang matang dan berkelanjutan. Selain itu, aksi mudah tenggelam dalam banjir informasi, sementara wacana yang dituliskan akan abadi.
(4) Terima kasih kepada Daoed Joesoef yang memperkenalkan istilah “miopi masa depan” dalam memoar pribadinya. Sebuah bacaan yang wajib dibaca kader HMI maupun aktivis gerakan mahasiswa sebelum terburu-buru mengutuk kebijakan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) – tanpa BKK (Badan Koordinasi Kampus). Bukankah, mengutuk tanpa mengetahui secara komprehensif akan terjebak pada kepicikan dan dosa?
(5) Golongan pemuda ini melakukan aksi demonstrasi rusuh untuk menolak G8 Summit 2007. Sebagian besar dari mereka berpenampilan ala ‘Nazi Punk’ dan melakukan tindak anarkis terhadap aparat kepolisian. Aksi demonstrasi mereka relatif kurang simpatik ketimbang aksi demonstrasi yang dilakukan oleh aktivis sosial demokratis dari seluruh dunia yang berkumpul di Jerman untuk menolak hal yang sama.
(6) Menarik untuk digarisbawahi bahwa Presiden Yudhoyono pun – yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat di mana Ruhut menjadi salah satu pengurus DPP – pada akhirnya justru menolak usulan tersebut. Dengan kata lain, secara tidak langsung Ruhut menggolongkan Presiden Yudhoyono sebagai keturunan PKI sebab menolak usulan Kementrian Sosial yang sebelumnya diusulkan oleh organisasi kepemudaan nasional melalui cabangnya di Jawa Tengah.
(7) Aristotle, Nicomachean Ethics, (translated and edited by Roger Crisp), ebook version, http://ifile.it/byw5c1/ebooksclub.org__Aristotle__Nicomachean_Ethics__Cambridge_Texts_in_the_History_of_Philosophy_.pdf; last access 12th March 2011; Book II, p. 23. Sebagian besar kajian etika maupun moral tidak beranjak jauh dari buku tersebut sehingga sangat disarankan kepada para peminat etika maupun para calon politisi untuk turut membaca buku itu. Sekedar informasi tambahan bahwa Nicomachean Ethics terdiri atas beberapa buku.
(8) Aristoteles menjelaskan dua kejahatan tersebut berkaitan dengan dua hal, yaitu kelebihan (excess) dan kekurangan (deficiency).
(9) Aristotle, ibid, Book II, p. 35.
(10) Perlu dijelaskan di sini bahwa mode POD ialah model percetakan yang memungkinkan buku dicetak sesuai dengan jumlah pesanan – sekalipun hanya satu buah. Dengan demikian, cabang HMI (1947) yang ingin melakukan bedah buku dapat menggalang sponsorships tersendiri untuk mencetak buku sesuai dengan kemampuan dan keinginan untuk menjual. Dengan demikian, tidak ada buku yang tersisa. Jauh berbeda dengan model percetakan konvensional.
(11) Ilmu dipahami dalam spektrum yang paling luas sehingga tidak terbatas pada ilmu pengetahuan semata.
Tentang Penulis
Qusthan Abqary - I am a lecturer and teach a subject called Critical and Creative Thinking. My research interesets are political philosophy, ethics, peace, and war.
Sumber : http://blog.abqary.net/2011/06/13/membaca-cuaca-kultural-hmi-melawan-aktivisme-ortodoks-sebuah-pertanggungjawaban-lembaga-seni-budaya-pb-hmi/
13
TRANSNATIONAL ISLAMISM AND ITS IMPACT IN MALAYSIA
AND INDONESIA
By Mohamed Nawab Bin Mohamed Osman August 29, 2011
This article argues that the Islamist resurgence of the 1980s and anti-American sentiments following the events of September 11 have led to the strengthening of political Islamism in both Malaysia and Indonesia. It also discusses the impact of Islamist movements and governments outside of Southeast Asia (i.e., the Middle East) in shaping the political thinking of Islamist organizations and political parties in Southeast Asia and how this has affected the politics of both Indonesia and Malaysia.
INTRODUCTION
Southeast Asian Islam has been portrayed as a moderate, Sufi apolitical variant throughout much of history.[1] Yet these assertions are problematic for several reasons. In Malaysia, ethnic and religious factors have shaped the two main Malay parties, the United Malays National Organization (UMNO) and Pan Malaysian Islamic Party (PAS); and in Indonesia Islamist parties have played an important role throughout the history of the republic (albeit in a domesticated state during the Suharto era). However, the political context in Southeast Asia was not defined by religion, and these parties have had little impact on regional policies. Since the late 1990s, Islamist parties have begun to play more dominant roles in defining the politics of Southeast Asia’s two largest Muslim countries, Malaysia and Indonesia. At the same time, even secular political parties are starting to use Islam to propound their political positions.
Today, increasing numbers of Muslims in Southeast Asia support the implementation of Islamic laws in their countries. This is evident from the number of votes won by Islamist parties in elections as well as from the ability of Islamist groups to influence policies so as to favor the Islamist position. This article will focus on the future role of political Islam in Indonesia and Malaysia. It argues that the Islamist resurgence of the 1980s and anti-American sentiments following the September 11 terror attacks have led to the strengthening of political Islam in Malaysia and Indonesia.
The first part of the article will analyze the Islamist resurgence of the 1980s and how this led to the establishment of Islamist organizations in the region and shaped their political ideologies. It will also document the impact of external Islamist movements and governments on Southeast Asian Islamist groups, in Indonesia and Malaysia in particular. Next, the article will show how external developments post-September 11 have led to greater coordination between Islamist groups in the region and those abroad as well as the strengthening of political Islam in the region. Lastly, the article discusses how the September 11 terror attacks and the events that followed have led to cooperation between Islamist parties and transformed their political dynamics and strategies, and in turn led to a more prominent role for Islam within the Malaysian and Indonesian political landscapes.
ISLAM IN SOUTHEAST ASIA: HISTORICAL BACKGROUND
Ties between Southeast Asian Muslims and Muslims outside the region have existed for hundreds of years, dating back to the Islamization of Southeast Asia, which began around the eleventh century. Several theories have emerged about the origins and the early spread of Islam.[2] Arab and Indian Muslim traders, some of whom were Sufis, played a significant role in the Islamization process. By the mid-eighteenth century, Arabs, in particular the Sayyids, assumed the position of qadis (religious judges) and acted as royal envoys and advisors. It is also noteworthy that most of the royal family in the western Indonesian archipelago had Arab blood.[3]
These earlier ties were an important precursor to subsequent links between the Middle East and Southeast Asia that occurred in the early eighteenth century. By this period, Muslims were already traveling to the Middle East, mainly to perform the obligatory pilgrimage to Mecca and to seek religious knowledge in places such as Egypt. Some of these individuals were influenced by the ideas of Muslim reformist thinkers such as Sayyid Jamal-al-Din Afghani, Muhammad Abduh, and Rashid Rida.[4] These individuals, who were mostly trained as religious scholars, became prominent members of the “group” known as the Kaum Muda. The Kaum Muda reinterpreted Islam and rejected syncretic practices, which they believed had marred the Islamic doctrine.[5] They also held strong nationalist beliefs that the Malay world should be freed from colonial rule.
Many organizations that were to play important roles in the fight against colonialism such as Sarekat Islam and Hizbul Muslimin (HM) (the precursor to the PAS) were formed by Kaum Muda leaders and supporters. A considerable number of these groups espoused an Islamist political ideology. However, unlike the current Islamists who seek to implement Islamic laws in every realm of life, Islamist ideology was simply used to fight colonialism. This form of Islamism also tended to be less concerned with the implementation of Islamic law.
Southeast Asian Muslims have thus always been linked to the larger Muslim World. In a way, a globalized Muslim identity is not a new development. Nevertheless, these ties tended to be limited to the Malay elites. The ideologies of the Muslim reformists in the Middle East, which were adopted by Kaum Muda leaders, influenced only a small group of educated Muslims. Few Muslims saw Islam as a political ideology or sought to form an Islamic state governed by Islamic laws.[6]
Iranian-Saudi Competition in Southeast Asia
The 1979 Iranian Revolution caught the attention of many Muslims throughout the world. In Southeast Asia, many Islamic groups and parties began to see the Iranian model of Islamic governance as one they could emulate. The admiration for the Iranians had to do more with the regime’s stance against the West than any ideological affiliation. In Malaysia, groups like the Malaysian Assembly of Muslim Youth (ABIM) quickly adopted the political slogans of Ayatollah Ruhollah Khomeini, leader of the revolution.[7] The Iranian Revolution had an important impact on the PAS in particular. In November 1981, the ulama (religious clerics) of the PAS Youth went to Iran to support the success of the revolution and the Iranian ulama leadership.[8] During the meeting, the PAS Youth Council concluded that only the ulama had the strength to lead the Muslim community and that the leadership of PAS must be led by them.[9] Another group influenced by the Iranian Revolution was the Islamic Republic Group (IRG), which sought to establish an Islamist state à la Iran in Malaysia. Subsequently, many of those in the IRG joined the PAS and other Islamist groups such as the Jama’a Islah Malaysia (JIM).
The Iranian government sought to export its revolution to other Muslim countries, including Indonesia.[10] The writings of Iranian religious thinkers such as Khomeini and Ali Shariati flooded Indonesian Islamic bookstores.[11] In addition, the Iranians began sponsoring students to study in Iran. The Iranian cultural attaché in Indonesia also distributed propaganda materials aimed at encouraging an Iranian-inspired revolution in Indonesia.[12] While an Iranian-style revolution did not take place in Indonesia, the Iranian efforts did encourage some Southeast Asian Muslims to convert to the Shi’i sect of Islam. Nevertheless, Shi’i Islam remains limited in the region, as most Southeast Asian Muslims perceive it as a deviant Islamic sect and Islamic bodies such as the Malaysian Islamic Religious Department (JAKIM) and the Indonesian Ulama Council (MUI) have warned against conversion to Shi’ism.
The Iranian Revolution was a major concern to many Muslim governments, which feared that the Iranian influence would incite their people to bring about similar revolutions in their own countries. Reacting to fears that its Shi’i population might revolt against the government, the Saudis, for example, began to fund and support less threatening groups throughout the Muslim world, including those in Southeast Asia. In Malaysia, the beneficiaries of this Saudi funding included the Assembly of Malaysian Muslim Youth (ABIM), headed by Anwar Ibrahim, the current opposition leader in Malaysia.[13]
In Indonesia, Saudi funding has had a more wide-ranging impact. Greg Fealy and Anthony Bubalo have identified three organizations that have benefited from the Saudi funding. These organizations include the Indonesian Islamic Predication Council (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, DDII), the Islamic Association for Enlightenment (Jamiat Islam wal-Irsyad, generally referred to as al-Irsyad), and the Islamic Union (Persatuan Islam, Persis).[14] Of these organizations, the DDII was the most politically active. It was established in 1967 by leaders of the banned Masyumi Islamic Party. DDII’s chairman, Muhammad Natsir, who was widely respected in Middle Eastern Wahhabi and Salafi circles, became the most important conduit for Saudi funds flowing into Indonesia during the 1970s and 1980s.[15] Beyond this direct funding, the Saudi government also provided financial support to madrasas (Muslim religious schools) and higher institutions of Islamic learning in order to indoctrinate students with Wahhabism. Financial support was also given to individual students in the form of bursaries and scholarships to universities in Saudi Arabia and elsewhere in the Middle East.[16] The “success” of the Saudi project to popularize its Wahhabi doctrine in Southeast Asia was largely due to the fact that the local governments did not see the Saudis as a threat in comparison to the Iranians.[17]
Islamist Movements in Southeast Asia: The Muslim Brotherhood and Jama’at-i-Islami
Besides the Iranian Revolution, the impact of Islamist groups in Southeast Asia has perhaps been more important. The primary aim of Islamist groups is the establishment of an Islamist state based on the tenets and laws of Islam. Among the most important of these Islamist groups are the Arab Muslim Brotherhood and the Pakistani Jama’at-i-Islami.[18] From the early 1950s and 1960s, the two groups began influencing Southeast Asian Muslims. The works of Hassan al-Banna and Mawlana Abul Ala Mawdudi became popular among leaders of some of the region’s Islamist movements. Some of them, such as Zulkifli Md–who later became a leader of the PAS–received religious training directly from prominent Islamist figures such as al-Banna.[19] Md was also responsible for sending ten students to Iraq for advanced studies and to learn the Muslim Brotherhood ideology.[20]
In 1968, PAS attended an Islamic ideology seminar organized by the Jama’at, thus officially establishing relations with the latter group.[21] The organizations have since maintained ties. Another group that was closely linked to the Salafists was ABIM. Many ABIM leaders were exposed to the Brotherhood and Jama’at ideologies at universities in the United Kingdom and in the United States.[22] Through the Malaysian Islamic Studies Group (MISG) and organizations with ties to the Muslim Brotherhood and Jama’at-influenced Federation of Islamic Societies (FOSIS), Malaysian students became acquainted with the ideas of al-Banna and Mawdudi.[23]
In Indonesia, a small number of modernist Muslim intellectuals, such as Muhammad Natsir, were exposed with the Brotherhood ideology as early as the 1950s.[24] However, the ideas and organizational methods of the Brotherhood and Jama’at did not become popular until the late 1970s and early 1980s.[25] The main group that was influenced by these ideas was known as the Jama’ah Tarbiyah group. Unlike in Malaysia, where Islamists leaders had direct relationships with Brotherhood and Jama’at leaders, Indonesian Islamist leaders learned these ideas mainly through books by Brotherhood activists that were translated into Indonesian. The only exception to this was Natsir, who had direct links with leaders of the Brotherhood and Jama’at due to his involvement in various international Islamist organizations such as the Muslim World League.
During the 1980s, Indonesia was still ruled by the authoritarian New Order regime, which was suspicious of Islamist parties and groups. It was Natsir and his organization, the DDII, that encouraged Islamist student activism at the various universities.[26] While the extent of Natsir’s relationship with Brotherhood and Jama’at leaders is not known, Natsir played a major role in facilitating sending Indonesian students to Brotherhood- and Jama’at-dominated universities in the Middle East and Pakistan.[27] He was also responsible for introducing the Muslim Brotherhood’s religiopolitical ideas and methods of organization to Muslim students on various campuses by translating works written by prominent Brotherhood and Jama’at ideologues.
It was through these students that the Campus Proselytizing Network (Lembaga Dakwah Kampus, LDK) was established. Interestingly, in addition to students influenced by the Muslim Brotherhood, some LDK members were inspired by groups such as Hizb al-Tahrir (HT). It was only in the early 1990s that a formal relationship was established between the LDK and the Brotherhood. In light of the long-standing ideological dispute between the Brotherhood and HT in the Middle East, the former’s leadership disapproved of the presence of HT members within the LDK.[28] In 1994, following a decision made by its leader in Indonesia, Abd al-Rahman al-Baghdadi, HT members decided to withdraw from the LDK.
In March 1998, after the 1997 Asian financial crisis and the resulting political instability, the Brotherhood-inspired students formed the Indonesian Muslim Undergraduate Action Association (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, KAMMI). With the collapse of the New Order regime in May 1998, KAMMI activists formed the Justice Party (Partai Keadilan, PK), now known as the Prosperity Justice Party (Partai Keadilan Sejahtera, PKS). Today, the PKS maintains strong links with the larger Muslim Brotherhood network, often attending international Islamist gatherings organized by the Brotherhood and Jama’at. PKS leader Zulkifli Mansyah even claimed that the PKS was under the jurisdiction of a larger Brotherhood network known as Ikhwan Alami (the World Muslim Brotherhood).[29]
Saudis and Muslim Brotherhood Influences
By the 1980s, faced with the Iranian challenge, the Saudis began to work closely with the Islamist movements, providing financial support to both the Brotherhood and Jama’at. While the Brotherhood and Jama’at ideologies are not exactly the same as the Wahhabi doctrine, they share many common ideals including the desire to introduce strict Islamic laws and establish an Islamic state.
During this time, the Saudi government also began funding schools and universities established by the Brotherhood and Jama’at in the Middle East (i.e. Egypt) and South Asia (i.e. Pakistan). Among the universities was the University of Medina in Saudi Arabia. Even in “moderate” institutions such as al-Azhar in Egypt and Mutah in Jordan, the Saudis provided funds, and in exchange, the institutions accommodated Wahhabi scholars.[30] Due to the increased financial support, Brotherhood members became more prominent in unions and student groups.
Wahhabi and Brotherhood thought had a significant impact on the budding Southeast Asian ulama.[31] Exposure to these ideas occurred on several fronts. Most religious students were exposed to a more rigid interpretation of Islam through their lectures in these universities, and more importantly, the religiopolitical ideology preached by the Brotherhood was imbibed by many of these students.[32] As previously mentioned, studies in the Wahhabi-Brotherhood universities were funded by the Saudis, while groups such as the DDII in Indonesia and PAS in Malaysia have managed these scholarships.
To ensure that students from Southeast Asia continue to be influenced by the Wahhabi and Brotherhood ideologies, groups like the PAS and DDII have set-up Malaysian and Indonesian student organizations that assist the students with settling into their host countries and organize various social activities for them. Malaysian and Indonesian Islamist leaders also visit the host countries frequently and meet with the students. Upon completion of their studies in the Middle East, Southeast Asian students then return to support local Wahhabi or Brotherhood- inspired groups. Several PAS leaders, including Deputy President Nasharudin Mat Isa, were recruited in this way.[33]
However, not all Malaysian and Indonesian students were influenced by the Salafi or Brotherhood ideologies. Many Malaysian and Indonesian Azharites are part of the government bureaucracy and support their respective governments against the onslaught of Islamists in their countries. Still, the dominant thinking that has had the most pronounced influence on Southeast Asian Muslims is that of the Brotherhood.
This Wahhabi and Brotherhood movements also provided platforms through which Islamists throughout the Muslim world could interact and exchange ideas, for example through the formation of organizations such as the Muslim World League and World Assembly of Muslim Youth (WAMY), which organize annual events to bring together leaders of Islamist organizations from Southeast Asia and Islamist leaders from other Muslim countries. In 1973, Anwar Ibrahim, then leader of the ABIM, was appointed as the WAMY representative for the Asia-Pacific region. That same year, as executive director of the International Islamic Federation of Students Organization (IIFSO), he came into contact with a wider circle of international Islamist leaders.[34]
Such interactions are important for networking, especially since many members of these student and youth movements later go on to become leaders of their respective parties or organizations. For example, the personal relationship Ibrahim forged with Turkish Prime Minister Recep Tayyip Erdogan continues till today.[35] Ibrahim’s ties with the Islamist leaders also led to the introduction of Jama’at and Brotherhood ideological literature within the ABIM. Many ABIM activists who studied this literature subsequently introduced such materials in the PAS’ own training programs.[36] Anwar also brought many of his ABIM colleagues into the government, placing them in important positions within the government bureaucracy. This was part of his supposed plan to Islamize the government from within, which he had also used as a justification to his Islamist colleagues for his decision to join the UMNO.[37]
Creating a Global Network of Islamists
The most significant development of the first wave of Islamist resurgence was the establishment of an informal global network of Islamists. This network would prove important for coordinating Islamist efforts to advocate Muslim causes worldwide. In Southeast Asia, student groups in Indonesia (Himpunan Mahasiswa Islam), Malaysia (ABIM), and Singapore (National University of Singapore Muslim Society) came together to form an informal network of Islamist groups, with annual meetings chaired on a rotational basis.[38] The purpose of the meetings was to strengthen the ties between the three groups and enhance their proselytizing efforts among Muslims in the region.
Some of the leaders of this network including Anwar Ibrahim, Ghani Shamsuddin, and Nurcholish Madjid were to play major roles within their respective societies. Many went on to become leaders of various Islamist groups, with the exception of Madjid–who distanced himself from Islamist thinking and became a proponent of moderate Islam in Indonesia. Members of the PAS Youth and ABIM were also known to have visited Indonesian Islamist leaders such a Natsir.[39] In fact, it was during one of these meetings that Natsir advised Ibrahim to join PAS.[40]
At the international level, cooperation among Islamist parties was enhanced during the late 1980s. They began to organize conferences and seminars to discuss the issues they were facing, and they cooperated closely to try to resolve issues affecting the Muslim world.[41] In Southeast Asia, the PAS and other Malaysian Islamist organizations have been the most active in coordinating these efforts. Until 1998, there was no real involvement from any independent Indonesian Islamist party. However, some Islamist organizations have remained linked to the larger Islamist organization.
In 1988, the PAS organized the first international Islamist gathering, the International Gathering for the Solidarity of Muslims. It was attended by representatives of the Jama’at (Pakistan), Brotherhood (Egypt), Tarbiyah (Indonesia), as well as from the Philippines, Iran, Afghanistan, Saudi Arabia, Sudan, and other countries.[42] While such gatherings may not appear to be intrinsically important, as no significant achievements were made, the close relationships formed during such encounters paved the way for enhanced cooperation between Islamist parties.
When the 1990 war in Kuwait broke out, Islamist parties and groups coordinated their efforts to try to resolve the conflict. A group led by former Turkish Prime Minister Necmettin Erbakan and made up of Jama’at, Brotherhood, and PAS (represented by its current president, Hadi Awang) representatives traveled to Europe and the United States to propose a solution to the conflict.[43] While the mission did not succeed, it led to the establishment of a formal grouping of Islamist parties in 1991 at the International Gathering of Islamic Groups, held in London.[44] Its secretariat was to be based in Istanbul, Turkey. The PAS represented Malaysia in this grouping. After the fall of the New Order regime, the PKS also became involved in these international Islamist gatherings as the Indonesian representative.
Throughout the 1990s, the Islamist grouping tackled issues affecting Muslims, such as the conflicts in Bosnia, Kashmir, and Chechnya. They also adopted an anti-Western and anti-American stance. At the same time, they learned from each other’s strategies and political positioning. For example, in 1987, a study trip to Malaysia was organized by Jama’at leaders. Qazi Hussain Ahmad, the new head of Jama’at at that time, wanted the Jama’at to shift from being a cadre-based elitist party to a mass-based political party. The Jama’at leadership chose to emulate the PAS model. Since its founding, the PKS had also made several trips to Turkey to learn from the experience of the Justice Development Party (AKP), a party with Islamist roots and Turkey’s current ruling party.[45]
Anti-Americanism Among Southeast Asian Muslims
Following the September 11, 2001, terrorist attacks, the U.S. government responded by launching its War on Terror. The United States invaded Afghanistan to remove the Taliban regime from power for harboring al-Qa’ida leaders and operatives. In 2003, the United States then invaded Iraq and deposed Saddam Hussein from power.
Most Southeast Asian Muslims considered the events of September 11 to be inhumane and many strongly condemned the al-Qa’ida’s actions. However, many were also disturbed by what was deemed as a disproportionate U.S. retaliation against Muslims. Many Muslims, including those in Southeast Asia, began to see the War on Terror as a war against Islam, especially following the 2003 invasion of Iraq.[46] Various surveys conducted in the immediate aftermath of the Afghan and Iraqi campaigns showed that a growing number of Muslims in Indonesia and Malaysia supported the role of Islam in their countries’ politics.
In Indonesia, surveys conducted by the Center for the Study of Islam and Society (PPIM) of the State University for Islamic Studies, in Jakarta, showed that the majority of those surveyed agreed that Indonesia should have an Islamic government based on the Koran and that all Muslims be required to abide by Islamic law. Over 40 percent felt that one should only vote for candidates who understood Islamic teachings and were prepared to fight for their implementation and supported Islamist organizations that advocated violence, such as the Laskar Jihad and the Dar al-Islam. In 2004, in a survey conducted by the Merdeka Center, a Malaysian opinion research firm, more than 50 percent of Muslim correspondents polled believed that the implementation of Islamic criminal laws would lead to a lower crime rate, and as many as 91 percent supported the formation of an Islamic state.
Southeast Asian Islamists and Anti-Americanism
Following the September 11 terror attacks, many Islamists in Southeast Asia were caught in a dilemma as to how they should react. At an official level, both the PAS and the PK gave measured condemnations of the terrorist act.[47] However, with the start of the U.S. anti-terror campaign in Afghanistan, the Islamists began to condemn the Americans. Soon after, it was discovered that PAS members and supporters were involved in the Kumpulan Mujahidin Malaysia, a terrorist group with links to al-Qa’ida.[48] As part of its strategy to drum up support for its cause, some PAS leaders urged its members to fight alongside the Taliban.[49]
While, PK was quick to capitalize on this feeling of anti-Americanism, it tactfully distanced itself from explicitly supporting it in order in order to downplay its Islamist leanings. This was a wise move, as the worldwide fear of terrorism had led to a fear of Islamists as well, and Southeast Asian governments capitalized on this by demonizing Islamist parties.[50] In the case of the PAS, this led to its poor electoral performance in the 2004 Malaysian elections, as it lost support from non-Muslim Malaysians. However, many Muslims in the region increasingly believed in the growing rift between the Muslim world and the West. As for the Islamist groups, they channeled their anger towards encouraging Muslim activism against the West, for example, through the organization of campaigns to galvanize Southeast Asian Muslims to protest against American and Western hegemony.
The wave of anti-Americanism also saw the emergence of new Islamist players on the political scene. One such group was the Hizb al-Tahrir (HT). HT defines itself as an international political party seeking to implement Islamic laws in the world and to revive the Islamic Caliphate. It has chapters in over 40 countries, including Malaysia and Indonesia. While the movement first found a foothold in Southeast Asia in the late 1980s, it was not until early 2000s that the Southeast Asian chapters emerged openly in the Malaysian and Indonesian political arenas.[51] Unlike many of the Islamist parties that accept elements of Western society such as democracy and capitalism, HT rejects these ideas as un-Islamic. Its global strategy of pitting the Muslim world against the West also seems to enhance its position in among Muslims. Groups like HT have emerged as a threat to many of the mainstream Islamist parties, as it argues that these parties are confused in their methods of how to revive the Islamic state.
Coordinating the Islamist Strategy
While cooperation among Islamist groups and political parties had already begun in the early 1990s, following the September 11 terror attacks, such efforts increased. The Islamists viewed the new foreign policies adopted by the United States and other Western countries in response to the attacks as an American “war against Islam” that must be confronted.[52] Following the 2003 U.S. invasion of Iraq, Islamist parties held a meeting in London to discuss their response to the Iraqi invasion. The Muslim Brotherhood (including chapters from Egypt, Jordan, Iraq, and the Palestinian territories), Jama’at (its Pakistani and Bangladeshi chapters), the Refah Party (Turkey), as well as the PAS and PKS attended the meeting.[53] At the meeting, it was decided that a worldwide peaceful protest would be held in March 2003. Each party also vowed to place pressure on their respective governments to boycott American and British products. They also agreed to organize humanitarian aid to ease the burden of war on the Iraqi people. Muslims in Indonesia and Malaysia supported the efforts by the Islamists, with many turning up at the demonstrations organized by the PAS and PKS.
During the 2006 war in Lebanon between Israel and the Hizballah, Islamist groups in Southeast Asia cooperated and in assisting the Hizballah. On the August, 12, 2006, the PAS organized the Southeast Asian Islamic Organizations Roundtable Conference of Palestine and Lebanon in Facing the Zionist and Anglo-American Imperialism. Among the Islamist groups from Southeast Asia who attended were the Jama’at-i-Islami of Pakistan, Bangladesh, and Sri Lanka and others.[54] The Iranian government also sent a senior cleric, Ayatollah Ali Tashkiri, and Hamas leader Khalid Mash’al sent several representatives.[55]
In his opening speech, the moderator of the event, PAS member Dato Yeop Adlan Rose, condemned the Israelis and criticized the Organization of Islamic Conference (OIC), which he described as “impotent.” The conference also placed great emphasis on the need for new platforms for Muslim cooperation,[56] in effect presenting the Islamist groups’ newly formed platform as an alternative to the OIC. At the same time, several ideas that were proposed, including the boycott of Western products and a plan to assemble a team of legal experts to initiate war crime tribunals against the United States and Israeli leaders, were populist measures aimed at gaining ground within the Muslim world.
Following the 2009 Gaza War between the Hamas and Israel, Islamist movements cooperated to assist Muslims in Gaza.[57] Prior to the war, an economic blockade had been imposed on Gaza by Israel and Egypt. This was after Hamas had gained control of the Gaza Strip following violent street battles with its rival Palestinian faction Fatah. In 2009, several meetings involving Islamist leaders from Turkey, Egypt, Jordan, Palestine, Europe, and Malaysia took place in London in 2009 in order to aid the Palestinians in Gaza. The movements agreed to work closely with international humanitarian aid groups, including the Free Gaza Movement, to break the Israeli blockade. It was also decided that the Foundation for Human Rights and Freedoms and Humanitarian Relief (IHH), an Islamic NGO with links to the Islamist Sa’adet party in Turkey, would coordinate the efforts of these movements.[58] In May 2010, the IHH and the Free Gaza Movement organized the Gaza flotilla, which was halted by the Israeli security forces. The incident, which led to massive condemnation of Israel and forced Israel to ease the blockade, showed that such collaboration among Islamists could indeed be effective.
Islamist cooperation regarding Palestinian and Lebanese issues is just one of the many ways in which the Islamists are attempting to become an alternative voice to their governments. This strategy is also important as it forges a sense of Muslim unity. The involvement of the PAS and PKS in the hosting these events and their networking with other Islamists is an attempt to create for their respective parties the image of true advocates of Muslim causes. Through this collaboration, Islamist parties have learned from each other, sometimes even adopting the strategies of their fellow Islamist colleagues.
CONCLUSION
Islamist ideologies first emerged in the late 1920s in the Middle East and South Asia, and had reached Southeast Asia by the 1950s and 1960s. However, it was not until the first wave of Islamist resurgence in the late 1970s that translational ties began to develop among these Islamist networks. The second wave of Islamist resurgence after the September 11 terror attacks led to strategic cooperation on a global scale. As relations between Middle Eastern and South Asian Islamist networks remain strong, this will continue to affect the politics, strategies, policies, and ideologies of Islamists in Southeast Asia.
NOTES
[1] This assertion is often made in journalistic articles about Islam in Southeast Asia, but also in some academic works. See Bilveer Singh, The Talibanization of Southeast Asia (Westport, CT: Praegar Security International, 2007); and Sadanand Dhume, My Friend the Fanatic: Travels with an Indonesian Islamist (New York: Skyhorse Publishing, 2009).
[2] T.W Arnold, The Preaching of Islam: The History of the Propagation of the Muslim Faith (New York: MS Press, 1974); S.Q Fatimi, Islam Comes to Malaysia (Singapore: Malaysian Sociological Research Institute, 1963). Fatimi supports the theory of Islam having Indian origins. Others such as Syed Naquib al-Attas have supported the Arab theory. See Syed Naquib al-Attas, Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago (Kuala Lumpur, Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969). Among those scholars supporting the Chinese origins theory is Cesar Majul Adib. See Cesar Majul Adib, Muslims in the Philippines (Quezon City, Philippines: University of the Philippines Press, 1999).
[3] Barbara Andaya and Yoneo Ishii, “Religious Developments in Southeast Asia, 1500-1800,” in Nicholas Tsarling (ed.), The Cambridge History of Southeast Asia: From Early Times to 1800, Vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), p. 559. Theorists also differ on the professional backgrounds of these missionaries. Anthony H. Johns supports the view that Sufis played an important role, because Indonesia’s Islamization process coincided with the emergence of Sufism in the Muslim world following the Mongols’ siege of Baghdad. Dispelling this view, Merle Ricklefs notes that no record of Sufi brotherhood was found in the early history of Indonesia. He proffers that missionaries hailed from different backgrounds, including traders and Sufis. However, he does notes the strong presence of mysticism within Islam in Java, which proves that holy men and mystics who claimed to possess special mystical powers could have led people to convert. See Anthony H. Johns, “Islam in Southeast Asia: Reflections and New Directions,” Indonesia, No. 9 (April 1975), pp. 33-55; and Merle Ricklefs, A Modern History of Indonesia Since C. 1200 (London: Palgrave Macmillan, 2001).
[4] These figures were important Muslim reformers who sought to reform Islam to suit the modern context. The best analysis of Afghani’s and Abduh’s ideas can be found in Elie Kedourie, Afghani and `Abduh: An Essay on Religious Unbelief and Political Activism in Modern Islam (London: Frank Cass and Co. Ltd, 1966).
[5] William Roff, The Origins of Malay Nationalism (Kuala Lumpur, Malaysia: University of Malaya Press, 1967), p. 58.
[6] Islamic parties in Indonesia captured less than one-third of the votes in the 1955 elections, and the PAS won only one seat in the Malaysian elections held the same year.
[7] Chandra Muzaffar, Islamic Resurgence in Malaysia (Petaling Jaya, Malaysia: Fajar Bakti Sdn. Bhd., 1987), p. 20.
[8] Among those who went were Abu Bakar Chik and Mustafa Ali. PAS Youth Annual Report, 1981-1982, p.6
[9] Mohamed Nawab Mohamed Osman, “Politicisation of Malaysian Ulama,” Unpublished paper.
[10] Interview with a staff member at the Iranian Embassy in Jakarta, Indonesia, May 8, 2010.
[11] Rizal Sukma, Islam in Indonesian Foreign Policy (London: Routledge, 2003), p. 46.
[12] Examples of these materials include magazines Yaum al-Quds and Warits. See Lutfie Assyakaunie, “The Diffusion of Middle Eastern Radicalist Ideas to Indonesia,” Substantia, Vol. 1, No. 1 (March 2009), p. 56.
[13] ABIM, Angkatan Belia Islam Malaysia [The Assembly of Malaysian Muslim Youth], (Petaling Jaya, Malaysia: Blue T Sdn Bhd, 1996), p. 50.
[14] Greg Fealy and Anthony Bubalo, Between the Local and the Global: Islamism, the Middle East and Indonesia (Brookings: Saban Center, 2005), p. 59.
[15] Ibid.
[16] For more on the impact of the Wahhabi petro-dollar on Islamist groups, see Fred R. Von Mehden, Two Worlds of Islam: Interactions Between Southeast Asia and the Middle East (Gainesville: University Press of Florida, 1993), p. 19.
[17] Sukma, Islam, p. 49. See also Shanti Nair, Islam in Malaysian Foreign Policy (London: Routledge, 1997), p. 74.
[18] It must be noted here that the Muslim Brotherhood founded by Hassan al-Banna was not Salafi in its orientation. Its discourse began to radicalize over the years, partly due to the persecution it faced in Egypt. It became more Salafi in its orientation under the leadership of Sayyid Qutb in the 1960s. The Brotherhood movement referred to in this paper refers to the period after the 1960s. See Carrie Rocefsky Wickham, Mobilizing Islam: Religion, Activism and Political Change in Egypt (New York: Columbia University Press, 2002).
[19] Mokhtar Petah, Zulkifli Muhammad: Pelopor Angkatan Islam Di Malaysia [Zulkifli Muhammad: The Inspiration to the Islamic Movement in Malaysia] (Subang Jaya, Selangor: Penerbitan Tra-Tra, 1983), pp. 12-20.
[20] Interview with Hassan Shukri, August 2004, Gombak, Malaysia. Shukri was one of the ten students sent to Iraq.
[21] Bulan Bintang [Crescent Moon Magazine], April 1968, p. 9.
[22] Zainah Anwar, Islamic Revivalism: Dakwah Among the Students (Petaling Jaya, Malaysia: Pelanduk Publications, 1987), p. 25.
[23] Muhammad Kamal Hassan, “The Influence of Mawdudi’s Thoughts on Muslims in Southeast Asia,” The Muslim World, Vol. 93 (July/October 1993), p. 433.
[24] Muhammad Natsir was Indonesia’s former prime minister and information minister. He was a leader of the Islamist Masyumi party, which was banned in 1965 under the New Order regime. For more on Natsir, see Luth Thohir, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya [M. Natsir: Proselytizer and Thinker] (Jakarta: Gema Insani, 1999).
[25] Fealy and Bubalo, Global Islamism, p. 105.
[26] Any Muhammad Furkon, Partai Keadilan Sejahtera: Ideologi dan Praksis Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer [Prosperity Justice Party: Ideology and Praxis of Contemporary Indonesian Muslim Youths] (Jakarta: Penerbit Terajau, 2004), p. 124.
[27] Interview with Amin Lubis, Member of DDII, Jakarta, Indonesia, September 2010.
[28] Mohamed Nawab Mohamed Osman, “Reviving the Caliphate in the Nusantara: Hizbut Tahrir Indonesia’s Mobilization Strategy and Its Impact in Indonesia,” Terrorism and Political Violence, Vol. 22, No. 4 (September 2010), p. 610.
[29] Interview with Zulkifli Mansyah, August 2007, Jakarta, Indonesia.
[30] Daniel Pipes, In the Path of God: Islam and Political Power (New York: Basic Books Publisher, 1983), p. 299.
[31] For a more detailed account of the interactions between Malaysian students and the Brotherhood in Egypt, see Mohamed Nawab Mohamed Osman, “The Politicisation of Malaysian Ulama,” unpublished paper.
[32] Mona Abaza, Islamic Education Perceptions and Exchanges: Indonesian Students in Cairo (Paris: Association Archipel, 1994).
[33] Interview with PAS Deputy President Nasharudin Mat Isa, August 2004, Kuala Lumpur, Malaysia.
[34] Kamal Hassan, “The Influence of Mawdudi’s Thoughts,” p. 435.
[35] Interview with PAS Secretary General Mustafa Ali, Kuala Lumpur, Malaysia, August 2010.
[36] The PAS’ introductory manuals for its cadres quote heavily from both Brotherhood and Jama’at sources. See Lajnah Tarbiah dan Perkaderan PAS Pusat [PAS's Department for Cadre and Internal Development], Manhaj Usrah PAS Peringkat 1 (Kuala Lumpur, Malaysia: PAS, 2009).
[37] Interview with PAS President Hadi Awang, August 2004, Rusila, Malaysia.
[38] Confidential source.
[39] PAS Youth Annual Report 1976-1977, p. 36.
[40] Interview with Hassan Shukri, former PAS deputy president, July 2006, Kuala Lumpur, Malaysia.
[41] Interview with Dr. Azzam Tamimi, Director of the Institute of Islamic Political Thought and Muslim Brotherhood member, July 2007, London, UK.
[42] See program booklet of the International Gathering for the Solidarity of Muslims, September 1998, Masjid Rusila, Terengganu, p. 9-10.
[43] Harakah Newspaper, July 19, 1996.
[44] Interview with PAS Deputy President Nasharudin Mat Isa, August 2004, Kuala Lumpur. Malaysia.
[45] Interview with PKS leader Zulkifli Mansyah, August 2007, Jakarta, Indonesia.
[46] These views were expressed in Pew Global Attitudes Survey, What the World Thinks in 2002 (Washington, D.C.: Pew Center for Research, 2002), http://people-press.org/files/legacy-pdf/165.pdf, pp. 5-10.
[47] “Justice Party Chairman Condemns Attacks on America,” Antara, September 14, 2001. See also, “PAS Describes Attacks as ‘Heinous Crime,’” New Straits Times, September 13, 2001.
[48] “Southeast Asia’s Terror Crackdown,” CNN Online, January 11, 2002, http://edition.cnn.com/2002/WORLD/asiapcf/southeast/01/07/terror.factbox (accessed January 14, 2002).
[49] “Nik Aziz: US Threat to Attack Unreasonable,” Bernama, September 23, 2001.
[50] See for instance, Zubaidah Abu Bakar, “PM Exposes Militant Links,” New Straits Times, August 5, 2001.
[51] For a detailed discussion on HT in Malaysia and Indonesia, see Mohamed Nawab Mohamed Osman, “Reviving the Caliphate in Malaysia,” Studies in Conflict and Terrorism, Vol. 32, No. 7 (July 2009), pp. 646-63; Mohamed Nawab Mohamed Osman, “The Recruitment Strategies of Hizbut Tahrir Indonesia,” Terrorism and Political Violence, Vol. 22, No. 4 (September 2010), pp. 601–22.; Mohamed Nawab Mohamed Osman, “Transnational Network of Hizbut Tahrir Indonesia” Southeast Asia Research, Vol. 18, No. 4 (December 2010), pp. 735-755; Mohamed Nawab Mohamed Osman, “An Alternative Islamism: Hizbut Tahrir Malaysia and the Quest for the Caliphate in Malaysia,” in Sophie Lemiere (ed.), From Mosque to the Ballot Box: An Introduction to Islam in Malaysia (Bangkok: IRASEC, 2010).
[52] Interview with PAS Deputy President Nasharudin Mat Isa, August 2004, Kuala Lumpur. Malaysia.
[53] Ibid.
[54] See Mohamed Nawab Mohamed Osman, “Israel, Lebanon and the Rise of the Islamists,” IDSS Commentaries, No. 88, August 24, 2006.
[55] The current author attended the event as an observer.
[56] Ibid., p. 3.
[57] Interview with Viva Palestina Malaysia activist, August 2010, Kuala Lumpur, Malaysia. Founded in the United Kingdom by Respect Party leader George Galloway, the organization works to assist Palestinians in establishing an independent state. It has branches in several countries, including Malaysia and Indonesia. Most Viva Palestina members in both countries Malaysia and Indonesia are activists in the Islamist parties, including the PAS, PKS, and the PPP.
[58] Interview with a Sa’adet International Relations Committee member, June 2010, Istanbul, Turkey.
2011-09-10
ASIA/INDONESIA - Muslim students at the Vatican: from the post-September 11 protests to the invite to the Pope
Vatican City (Agenzia Fides) – To seek support to open the door to dialogue and religious pluralism; to begin forms of collaboration; to invite Pope Benedict XVI in Indonesia to give a speech at an international conference on the themes of dialogue and peace to be held in Bali October 2012: that of young representatives of the Association of Indonesian Muslim Students (Himpunan Mahasiswa Islam, HMI) is an ambitious agenda, and were received today, September 10, at the Vatican by Cardinal Jean Louis Tauran, President of the Pontifical Council for Interreligious Dialogue . Founded in 1947, the HMI is the oldest, the largest and most influential Muslim student association in Indonesia (more than one million members), which has trained many Indonesian politicians such as Nurcolish Madjid (1939-2005), a well-known moderate Muslim intellectual .
As sources of Fides explain, the delegation comprises the President of the HMI, Noer Fajrieansyah; the Secretary-General, Basri Dodo; and Nuhammad Makmoen Abdullah, head of the international relations. The Pontifical Council for Interreligious Dialogue has welcomed the request to receive the delegation, to hear the proposals and start a worthwhile comparison.
The leaders of the Islamic scholars are in the Vatican on the occasion of the 10th anniversary of the Twin Towers attack, September 11, 2001. Ten years ago the HMI - with other names such as the Indonesian Islamic Movement (GPI), the Indonesian Muslim Workers Union (BBDC), the Islam Defenders' Front (FPI), the Muslim Student Action Front (KAMM ) - vigorously protested the U.S. bombing and military intervention in Afghanistan, rejecting the accusations of al Qaeda ties to radical Islam of Indonesia. The then leader of the HMI, Ahmad Muzak, and his colleague Ayat Hidayat were even arrested for the burning of the American flags.
Today, Muslim students have once again embarked, peremptorily, the path of dialogue and pluralism, and intend to work next to Christian and other religious organizations, to build inter-religious harmony and combat extremism and fundamentalism in Indonesia. This is why they seek support from the Indonesian Church and the Holy See. (PA) (Agenzia Fides 10/09/2011)
Sumber : http://www.fides.org/en/news/29806?idnews=29806&lan=eng#.UaS8mmVX6jw
Ifda Hanum, Perempuan Pertama Calon Ketua Umum HMI
Ditulis oleh LIPUTAN6/NUH
BERITANUSA - Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menggelar kongres ke-28. Salah satu agenda kongres yakni memilih pucuk pimpinan tertinggi yang baru. Menariknya, dari 30 calon ketua HMI terselip 1 perempuan yang berani mencalonkan diri.
Ifda Hanum adalah calon ketua umum wanita satu-satunya, dalam sepanjang sejarah berdirinya HMI sejak 1947. Sejak saat itu memang belum pernah ada ketua umum Pengurus Besar HMI perempuan.
Ifda mengatakan, persoalan kepemimpinan bukan masalah gender atau jenis kelamin laki-laki atau perempuan tapi sejauh mana seseorang mampu berkompetisi serta memiliki kepercayaan diri dan semangat juang tinggi. Dia juga menyakini, terlepas dari identitas gender bahwa setiap orang adalah khalifah (pemimpin).
Tentu perjuangan Ifda terbilang tak mudah. Meski bersaing dengan para kandidat lain yang berjumlah mencapai sekitar 30 orang.
"Banyak kandidat perempuan sebetulnya ingin maju tapi masalahnya kerap kali cabang tempat dia berasal tidak percaya diri. Tidak ada masalah kalau dipimpin perempuan. Salah kalau ada yang berpikir HMI dipimpin perempuan bisa hancur. Tidak menjamin juga kalau dipimpim pria bisa maju," kata Ifda dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (16/3/2013).
Bila terpilih, Ifda mengaku akan membawa HMI kepada jalan pembaruan agar organisasi bisa bertahan dalam menghadapi tantangan zaman. Termasuk melalui optimalisasi penggunaan teknologi di dalam organisasi. Serta pembenahan soal pola pengkaderan sehingga mampu mencetak kader yang profesional.
"Saya maju membawa gagasan, visi dan misi pembaruan dalam membawa perbaikan HMI," tegas dia.
Dalam kongres yang kemungkinan akan berlangsung selama 5 hari di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur, sekitar lebih dari 280 cabang HMI seluruh Indonesia menghadirinya.
Selain itu hadir juga tokoh-tokoh nasional yang merupakan alumni HMI pada acara pembukaan kongres tersebut, seperti Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh, Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai Golkar Akbar Tandjung, dan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Namun pada pertemuan itu, Presiden SBY batal hadir. (*)
M Arif Upayakan Perbaiki Citra HMI
H U : victory news Tanggal: 16-04-2013 - 12:04 Wita | 0 Comments and 0 Reactions
Ketua Mahkamah Konstitusi M Akil Mochtar (kiri)
Victorynews-media.com- Kongres Ke-28 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Gedung Olahraga Ragunan, Jakarta Selatan, kemarin, akhirnya ditutup dengan terpilihnya Ketua Umum Pengurus Besar HMI. Adalah Muhammad Arif Rosyid dari HMI Cabang Makassar Timur yang terpilih menjadi pemimpin organisasi mahasiswa Islam di Indonesia itu.
Arif mengungguli Noer Fadjriansyah, Ketua Umum PB HMI periode sebelumnya. Beban besar kini ada di pundak Arif. Pasalnya, belakangan ini citra HMI semakin tercoreng dengan perilaku anarkistis anggotanya.
Belum sempat melakukan aksi untuk negeri, Sabtu (13/4) lalu tindak kekerasan yang melibatkan kader HMI kembali terjadi. Safiudin, anggota HMI, dikeroyok sesama kader HMI peserta kongres saat menjadi pemimpin sidang. Kala itu, kongres masih berlangsung di GOR Ragunan.
Peristiwa itu bukanlah kali pertama. Kongres yang dimulai 15 Maret 2013 lalu itu memang kerap diwarnai kekisruhan. Hal itu diakui Rudy Gani, Ketua Umum Badan Koordinasi HMI Jabotabek-Banten.
Meski mengakui kekerasan internal HMI itu tidak sepatutnya terjadi, Rudy menyebut kejadian itu sebagai dinamika organisasi. “Pencitraan HMI sebagai organisasi yang kasar dan keras itu karena dinamika politiknya,” tambahnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan hasil pemilihan tersebut merupakan ‘bangunan’ yang sangat instan. Pekerjaan besarnya, jelas dia, ialah pada usaha memastikan komitmen HMI yang sebenarnya dan tidak membudayakan kekerasan.
Sebagai Ketua Umum PB HMI yang baru, menurut Rudy, kini Arif juga berkewajiban menyelesaikan berbagai kerusakan dan kerugian kongres. Hal itu terkait dengan citra buruk yang terbentuk selama kongres yang digelar hampir sebulan.
Dia berharap Ketua Umum PB HMI yang baru tidak datang hanya dengan bermodalkan janji kosong melompong. “Seluruh kader HMI berharap pada kader HMI untuk merealisasikan janji, yakinkan kalau HMI memang buat umat dan rakyat,” ujarnya.
Dihadapkan dengan tuntutan untuk perbaiki citra HMI, Arif mengaku tak mau mengobral janji. Mengenai perbuatan anarkistis yang mewarnai kongres sebulan itu, dia menganggapnya sebagai pembelajaran.
“Ini saya anggap miniatur perjalanan ke depan,” kata Arief, yang menyadari penerimaan HMI di masyarakat dan penguatannya secara internal juga tidak mudah.
Kendati demikian, dia berencana mendorong gerakan sosial sukarelawan untuk mengubah citra buruk HMI di masyarakat. “Tindakan-tindakan kekerasan memang sudah menjadi cara usang saat ini,” tegasnya.
(RA/P-1) sumber : http://www.victorynews-media.com/nasional/16/04/2013/m-arif-upayakan-perbaiki-citra-hmi/
Edisi 04/02 - 29/Mar/1997
Analisa & Peristiwa
________________________________________
Wawancara Victor Tanja:
"Orde Baru Sesuai Dengan Cita-Cita HMI"
________________________________________
Kesamaan pandangan antara HMI dengan pemerintah, rupanya yang membuat organisasi mahasiswa ekstra universitas ini yang kini tampak sejuk. "HMI adalah satu-satunya organisasi mahasiswa yang didirikan untuk menegakkan kemerdekaan, " kata Victor Tanja, pendeta asal Pulau Sawu, Nusa Tenggara Timur, yang juga pengamat HMI.. Menurut Victor, HMI punya kesamaan dengan pemerintah Orde Baru, yang menginginkan Islam tampil sejuk dan modern. "HMI 'kan anti komunis, paham kiri dan kanan, dan pandangan ini sama dengan pemerintah Orde Baru," ujar Victor. Begitu pula kedekatan HMI dengan militer, menurutnya juga terkait dengan akar sejarah.
Untuk mengetahui peran dan posisi HMI di masa kini, berikut wawancara Ali Nur Yasin dari TEMPO Interaktif dengan Victor Tanja, di Gereja Effatha, Jakarta, Selasa 25 Maret lalu. Pendeta ini menulis disertasi yang berjudul HMI: Sejarah dan Kedudukannya Di Tengah Gerakan-Gerakan Muslim Pembaharu, di Hartford Seminary Foundation America, 1979. Berikut petikan wawancara itu:
________________________________________
Bagaimana Anda melihat HMI sekarang?
Saya menilai HMI lebih cocok dengan kondisi politik sekarang, yang menjauhi komunisme, adanya peranan ABRI, dan umat Islam semakin dekat dengan pemerintah. HMI didirikan sebagai organisasi perjuangan. Dengan kata lain, untuk menghimpun cendekiawan muslim. HMI tidak hanya berperan dalam universitas, tapi juga secara fisik aktif dalam perang kemerdekaan. Sehingga, ada beberapa anggota HMI yang langsung menjadi tentara, seperti Achmad Tirtosudiro. Kedekatan HMI dengan ABRI bukan baru sekarang, tapi kedekatan sejarah. Juga dalam beberapa peristiwa sejarah, HMI tidak dekat dengan Soekarno-Hatta, tapi dekat dengan Jenderal Sudirman. Saat Orde Lama, ketika Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno atas desakan PKI, HMI juga ingin dibubarkan, tapi Jenderal Achmad Yani bilang," Tidak. Langkahi mayat saya jika ingin bubarkan HMI."
Maka kedekatan HMI dengan Orde Baru adalah konsekuensi kedekatan sejarah. Bahwa HMI sekarang dikucilkan oleh organisasi mahasiswa yang lain, menurut saya salah kaprah. Mereka (organisasi mahasiswa non HMI) latar belakangnya dibentuk bukan pada masa perjuangan kemerdekaan, tapi pasca perang kemerdekaan. Dan mereka dibentuk untuk berafiliasi dengan partai politik dan ormas yang ada pada saat itu. Seperti, PMII dengan NU, IMM dengan Muhammadiyah, GMNI dengan PNI, GMKI yang ada hubungannya dengan gereja, dan organisasi lainnya. Tapi HMI, sangat independen dalam sikap politiknya. Kalaupun ada yang mengatakan bahwa HMI berafiliasi dengan Masyumi, itu adalah penilaian yang salah. Hal ini dapat dilihat pada saat perundingan Linggarjati, Masyumi menolak, tapi HMI menerimanya. Ini salah satu bukti bahwa HMI bukan onderbouw-nya Masyumi.
Walau dikucilkan organisasi mahasiswa lain, HMI tetap independen. Menurut HMI, Orde Baru sudah mendekati cita-cita perjuangan HMI, bahwa Islam mendapat peranan dalam pemerintahan, tapi bukan berarti menjadi negara Islam, seperti peranan budaya, ahlak dan lainnya. Dan juga nasionalisme kita bukan nasionalime sekuler, tapi nasionalime religius. Dan kalau kita mau konsekwen, memang tidak ada nasionalime sekuler. Saya juga tidak setuju pendapat beberapa pakar, bila gerakan agama, adalah gerakan sektarian. Yang salah bila ada gerakan yang menggunakan agama, itu yang sektarian.
Anda menyatakan, bahwa kedekatan HMI dengan Orde Baru karena adanya kesamaan dalam memandang bangsa dan negara. Bisa Anda jelaskan?
Kesamaan itu karena HMI aktif mendirikan Orde Baru. Cita Orde baru yang sama dengan HMI. Misalnya Islam mendapat peranan dalam pemerintah, tapi bukan negara agama.
Apakah kedekatan HMI dengan pemerintah sudah sesuai dengan semangat HMI sewaktu didirikan?
Oh ya, ini bukan karena HMI oportunis, tapi karena kesamaan ide dan cita-cita dengan pemerintah sekarang. HMI didirikan untuk menegakkan kemerdekaan. HMI merasakan masa penjajahan, sementara organisasi mahasiswa lain tidak merasakan, sehingga ada kecenderungan mereka lebih mendengar suara luar negeri ketimbang di dalam negeri.
Apakah kedekatan HMI dengan pemerintah karena pengaruh alumni yang duduk dalam pemerintahan?
Menurut saya tidak. Alumni HMI yang duduk dalam pemerintah atas nama pribadi bukan atas nama HMI. Akbar Tandjung diangkat sebagai menteri kan bukan karena HMI-nya, tapi karena kemampuan. Akbar memang kader yang dibuat oleh HMI dan kebetulan cocok dengan politik Orde Baru. Tapi pribadi-pribadi mereka tidak bisa diidentikkan dengan HMI. Mereka diangkat jadi menteri karena penilaian presiden, bukan karena HMI-nya.
Apakah HMI hanya dijadikan alat oleh pemerintah?
Oh, tidak. HMI tetap independen. Secara kebetulan, organisasi mahasiswa lain tidak sesuai dengan aspirasi mereka. Karena mereka lebih mendengar suara LSM dari barat. Tapi, jika aspirasi mereka sama dengan pemerintah, mereka juga akan seperti HMI.
Belum lama ini, berdiri Forum Komunikasi Pemuda Indonesia yang didirikan oleh kelompok Cipayung, tanpa HMI. Apakah HMI menjauhi mereka?
Oh, tidak. Justru Kelompok Cipayung yang meninggalkan HMI. Mereka meninggalkan HMI, sama saja dengan kehilangan momentum yang baik sebagai pemuda Indonesia. HMI pasti jaya, karena konsekuen dengan sikapnya sebagai gerakan modern Islam. Walaupun HMI jaya, Indonesia tidak akan menjadi negara Islam. Ini kan pola yang digunakan oleh Nurcholis Madjid, yang hingga kini masih diterapkan. Dengan pola Nurcholis, kita akan mendapatkan orang-orang Islam yang sejuk dan toleran terhadap yang lain.
Sekali lagi saya katakan, organisasi-organisasi mahasiswa kelompok Cipayung kecuali HMI, didirikan bukan atas kehendak memperjuangkan membebaskan bangsa ini dari jajahan Belanda. Kalaupun ada, mereka berafiliasi dengan organisasi sekuler, ormas-ormas tertentu, atau partai politik yang ada. HMI walau menggunakan nama Islam, tetap independen. Tapi memiliki afiliasi filsafah gerakan modernis yang sama dengan masyumi, tapi bukan berarti HMI berafiliasi dengan Masyumi. Hanya pemahaman terhadap Islam-nya, yang sama.
Belakangan kelompok Cipayung minus HMI gencar melakukan koreksi dan kritik terhadap berbagai kejadian belakangan ini. Mengapa HMI tidak melakukan hal yang sama?
Apa yang dikritik?! Perjuangan HMI sama dengan perjuangan pemerintah. Apa yang dibuat oleh Pak Harto selama Orde Baru kebetulan sama dengan yang diperjuangkan HMI waktu dulu. Artinya tidak ada sekuler, tidak kiri, tapi dalam menegakkan Pancasila, secara konsekwen. Sejak dulu HMI berpihak kepada ABRI, tapi bukan untuk mencari kekuasaan. Kedekatan dengan militer semata-mata untuk bersama mencapai kemerdekaan. Karena itu banyak anggota HMI yang masuk ABRI. Tapi organisasi yang lain tidak.
Mengenai kritik terhadap berbagai kejadian belakangan ini, kenapa baru sekarang mereka bersuara. Kenapa sewaktu peristiwa Tanjung Priok mereka tidak bersuara. Waktu itu kan terjadi juga pembakaran gereja, tapi kenapa bungkam. Kejadian di Timor-Timur mengapa tidak diprotes, mengapa hanya di Situbondo dan Tasikmalaya saja. Harusnya mereka juga mengkritik semua peristiwa itu.
Ini karena mereka tidak melihat realisme perjuangan kemerdekaan, dan terbiasa dengan cara yang sekuler. Sehingga cara berfikir mereka sektarian. Sementara HMI menggunakan Islam untuk kepentingan perjuangan bangsa, bukan diri sendiri.
Di zaman Orde Lama HMI aktif menyuarakan kritik-kritik sosial, dan ketimpangan sosial masih terjadi sampai sekarang, tapi mengapa HMI tak melakukan koreksi?
Dari dulu juga sudah ada ketimpangan sosial. Kita harusnya melihat Orde baru itu sukses, walaupun masih ada kekurangannya. Saya setuju dengan kritik tapi harus memberikan jalan yang terbaik. Jangan menganggap mereka benar dan lainnya salah. Mereka yang sering bersuara itu kan yang tidak berkuasa. Jika mereka berkuasa sama saja kondisinya.
Ada yang menilai HMI tidak lagi kritis terhadap berbagai situasi belakangan ini, apakah karena pengaruh alumninya yang duduk di pemerintahan?
Itu konsekuensi dari peran HMI. Orang yang mengkritik HMI saya nilai kerdil, karena tidak memisahkan antara pribadi dengan organisasi. Mereka yang diangkat jadi menteri kan karena kemampuan pribadi, kebetulan mereka anggota HMI. Sikap kritis HMI tidak hilang, karena HMI tahu cara mengkritik yang membangun. Bukan dengan cara seperti yang dilakukan organisasi lain.
Apakah karena pengurus-pengurus HMI banyak yang berambisi duduk di pemeritahan ?
Semua juga berambisi ke sana. GMNI bila diberi kesampatan seperti pada masa Orde Lama, saya kira akan begitu. Punya ambisi boleh saja, tapi jangan merugikan yang lain. Selain HMI, GMNI, GMKI, PMKRI dan lainnya juga punya ambisi untuk duduk di pemerintahan, tapi mereka tidak punya kesempatan saja.
Bagaimana HMI harus menempatkan posisinya sekarang?
Ya, harus mendukung Orde Baru. Tapi juga harus memberikan koreksi dan kritik. Tapi jangan mengkritik karena menganggap dirinya sudah baik.
Bagaimana Anda melihat perayaan HMI yang dihadiri oleh Pak Harto? Manuver politik menjelang pemilu?
Oh bukan, itu bukan karena HMI ingin melakukan manuver politik. Hadirnya Pak Harto, karena melihat HMI yang konsekwen dengan perjuangan bangsa dan khususnya Orde baru.
Hadirnya Pak Harto, apakah sebagai salah satu dukungan kepada Pak Harto untuk jadi presiden lagi?
Secara otomatis, mau tidak mau HMI 'kan harus memperjuangkan sikapnya. Sebab dalam UUD 45 sendiri kan sudah ditegaskan bahwa presiden dapat dipilih kembali.
Apakah HMI akan mengesampingkan berbagai ketimpangan-ketimpangan yang ada?
Tidak. Jika terjadi ketimpangaa HMI akan ngomong. Tapi dalam program bersama dalam bernegara, HMI tetap sejalan dengan pemerintah. Seperti yang dikatakan Taufik Hidayat dalam pidatonya, bahwa HMI akan tetap mendukung Orde Baru, dan akan tegar membela kepentingan masyarakat.
Pesta HMI dianggap pemborosan. Bagaimana menurut Anda?
Tidak ada pemborosan uang. Banyak organisasi Islam dan Kristen yang menyelenggarakan acara seperti itu. Sewaktu Orde Lama, GMNI membuat acara seperti itu lebih banyak dari HMI, seperti sidangnya di Senayan yang dihadiri oleh Soekarno. GMKI apalagi, lebih wah. Kenapa baru sekarang diributkan mengadakan acara seperti itu, kenapa yang dulu-dulu tidak.
Bagaimana dengan peran HMI di masa datang?
HMI akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang nasionalis. Dan HMI tidak akan berubah dari konsepnya Nurcholis Madjid. Dimana Islam dapat diterima oleh pemerintah Orde Baru. Serta menempatkan citra Islam yang universal. Konsep Nurcholis ini harus ada yang meneruskan. Saya pesimis HMI dapat bertahan jika konsep ini tidak digunakan.
Copyright © PDAT
Sumber : http://www.tempo.co.id/ang/min/02/04/utama7.htm
1
KADERISASI DAN POLITISASI HMI
Buku HMI dan Kekuasaan Kaderisasi HMI dalam mengisi Struktur Kekuasaan di Indonesia, yang ditulis Sidratahta Muchtar, sangat menarik perhatian saya. Dalam buku ini, walau tidak secara tegas menyatakan kekuasaan politik atau jabatan-jabatan politik dan birokrasi adalah sasaran kaderisasi HMI, dalam Bab Kesimpulan, disebutkan “sangat banyak kalangan HMI yang berperan dan berpartisipasi dalam kehidupan kenegaraan khususnya di lembaga legislatif dan birorkrasi.” Ironisnya, dalam Bab Kesimpulan itu disebutkan pula, “…orientasi kekuasaan itu telah menyebabkan HMI dewasa ini mengalami degradasi baik sistem perkaderan maupun wacana dan tradisi pemikiran-pemikirannya.”
Memahami pernyataan itu, mungkin perlu ada penelitian lebih lanjut, dengan indikator yang lebih akurat, terutama mengenai yang pertama apakah benar kaderisasi HMI adalah ditujukan untuk mengisi atau dengan bahasa yang lebih lugas “merebut” kekuasaan politik. Sedangkan mengenai premis kedua, apakah benar bahwa dewasa ini telah terjadi degradasi sistem perkaderan atau degradasi tradisi intelektualisme HMI karena HMI berorientasi kepada kekuasaan. Benarkah HMI berorientasi kepada kekuasaan?
Organisasi mahasiswa yang telah berusia 58 tahun ini memang banyak menghasilkan kader-kader yang mengisi jabatan-jabatan politik dan birokrasi di Indonesia. Sebagian bahkan telah meninggalkan wilayah itu baik karena proses politik maupun proses penuaan usia, sebagian lagi sedang on top of the country’s political power play dan yang lain on going process. Seberapa besar kata “sebagian” itu dibanding dengan jumlah total kader yang telah dihasilkan HMI selama ini, memang menjadi pertanyaan besar, yang belum mampu dijelaskan oleh suatu hasil penelitian yang lebih bersifat kuantitatif. Pertanyaan yang lebih menjurus, atau mungkin lebih tepat diajukan, apakah benar perkaderan HMI mengarahkan anggotanya untuk merebut kekuasaan politik? Jawabannya cukup jelas: tidak. Dalam konteks HMI, bukan alumni HMI, karena sifat organisasinya yang independen, anggota atau pengurus HMI tidak mungkin merangkap menjadi pengurus organisasi politik. HMI memang bukanlah organisasi politik. Penyebutan bahwa HMI sebagai organisasi quasi-politik juga tidak dapat dipertanggungjawabkan, kecuali bila pengertian quasi politik mengandung paham zoon politicon, dimana politik diartikan secara luas tidak sekedar terkait dengan kekuasaan atau organisasi politik. Dalam konteks inipun, hasilnya tidak dapat dikatakan langsung sebagai merebut kekuasaan politik untuk kepentingan anggotanya seperti dikenal dalam perjuangan partai-partai politik agar anggota atau kadernya memperoleh posisi-posisi politik tertentu. Bahkan dalam perebutan posisi-posisi politik organisasi intra-kampus pun, apakah itu Dewan Mahasiswa (dulu) atau Senat Mahasiswa, kecuali KNPI atau Kelompok Cipayung, HMI tidak dapat disebut bermain politik secara langsung.
Bila hal ini benar, HMI bukan organisasi quasi-politik atau apalagi organisasi politik, dimana sebenarnya posisi HMI dalam konteks politik? Jawaban yang mungkin lebih tepat adalah politisasi HMI. HMI dengan sejarahnya yang panjang dan jumlah anggota yang besar dan alumni yang tersebar di pelbagai bidang pekerjaan memang telah dianggap sebagai suatu “kekuatan” politik. Ini terlihat, misalnya, ketika di era Kemerdekaan kehadiran HMI dipertentangkan, di era Orde Lama HMI diharapkan bubar, di era Orde Baru HMI mulai “dijinakkan” dan di era reformasi HMI kembali diperebutkan. Kini, di arena politik praktis, kita melihat alumni HMI tersebar hampir di semua partai politik, yang dengan misleading pernah disebut telah terbentuk sebagai suatu HMI Connection. Dengan sistem politik yang ada sekarang, alumni HMI yang berpolitik tidak mungkin secara sempurna beridealisasi seperti harapan tujuan HMI, betapapun tujuan HMI telah menjadi semacam spirit perjuangan mereka ketika di HMI. Bukan saja penafsiran aktual atas tujuan HMI di kalangan HMI, ataupun alumni HMI, bisa berbeda-beda, tetapi juga kepentingan partai masing-masing dimana alumni HMI berafiliasi mungkin saja tidak sama. Dalam kaitan itu, alumni HMi yang kemudian memegang kekuasaan politik, pada akhirnya lebih bersifat individual, atau paling tidak berorientasi kepada partainya, bukan kepada HMI. Yang menarik, tidak sedikit alumni HMI berusaha menghilangkan afiliasinya dengan HMI ketika citra politik HMI tidak menguntungkan. Sebaliknya, tidak sedikit pula yang mengaku pernah menjadi anggota HMI ketika citra HMI atau lebih tepat ketika alumni HMI memegang kekuasaan politik yang berarti, dimana afiliasi HMI dapat mendukung karir politiknya. Dibantu dengan publisitas media massa, HMI sebagai simbol suatu kekuatan politik akhirnya tidak terhindar digunakan untuk mendukung atau menolak suatu premis kebijakan politik, baik disadari atau tidak oleh pengurus HMI itu sendiri.
Dalam politisasi HMI memang tidak suatu kekuatan politik manapun menguasainya, tetapi paling sedikit mempengaruhi pengambilan keputusan-keputusannya. Keputusan-keputusan HMI, apakah itu yang dilakukan oleh institusi kepengurusan HMI, seperti PB HMI, maupun institusi musyawarah HMI, seperti Kongres, tidak pernah luput dari jangkauan pengaruh politik negeri yang sedang berlangsung, dari dulu dan sekarang. Dalam kacamata positif, politisasi HMI bisa saja merupakan refleksi dari kekuatan-kekuatan yang “bertarung” di HMI, yang sekaligus memberikan nuansa demokratisasi HMI. Ketika saya memimpin HMI, kepada seorang wartawan dari koran yang berpengaruh saya bertanya, mengapa anda begitu antusias meliput berita tentang HMI? Jawabnya cukup mengejutkan saya, menurut korannya, karena HMI adalah satu-satunya organisasi yang masih tetap mampu mengambil keputusan secara independen dan demokratis dalam kondisi dimana hampir semua organisasi lainnya tidak mungkin melakukannya.
Kembali kepada pertanyaan di atas, apakah benar bahwa kaderisasi HMI membawa anggota atau kadernya menuju ke wilayah kekuasaan politik itu. Pengamatan yang hati-hati, menurut saya, jawabnya bisa ya atau tidak. Pertama, tidak semua kader HMI memiliki orientasi politik praktis atau bersedia menjadi politisi atau birokrat. Sebagian mereka memilih jalur pengusaha, sebagian lagi jalur intelektual dan professional, da’i, makelar, wartawan, petani, supir, tukang ojek atau mungkin pengangguran, walau dengan terpaksa. Prosentase alumni HMI yang kemudian terjun ke dunia politik mungkin saja relatif kecil. Kedua, jarak waktu dari anggota atau pengurus HMI menjadi politisi, apalagi yang kemudian memegang jabatan politik, bisa panjang atau pendek, yang semua bergantung momentum, kemampuan, relasi patron-client dan lainnya. Ketiga, kaderisasi HMI tidaklah secara spesifik mengarahkan anggota HMI menjadi politisi, tetapi lebih kepada pembentukan kualitas kepemimpinan, sesuatu yang memang tidak ditemui secara kurikula di dunia perguruan tinggi formal. Kepemimpinan yang terbentuk diharapkan bukan hanya berkembang di arena politik, tetapi di semua bidang yang menjadi minat anggota. Denga alasan-alasan itu, kaderisasi HMI tidak difokuskan menjadikan anggotanya pemimpin politik. Bahwa kualitas kepemimpinan berpengaruhi terhadap pilihan politik, pada dasarnya memiliki kans yang sama untuk pilihan pada bidang pekerjaan lain.
Karena itu, kritik yang menyatakan telah terjadi degradasi kualitas sistem perkaderan HMI atau degradasi kualitas intelektual HMI, memang memerlukan penelaahan tersendiri. Begitu pula kritik atas perilaku alumni HMI yang dianggap menyimpang dari norma-norma yang diajarkan dalam proses kaderisasi HMI. Sebutlah, misalnya, bahwa beberapa koruptor yang terungkap adalah alumni HMI tidak secara otomatis dapat diserahkan pertanggungjawabannya kepada sistem perkaderan HMI. Masih banyak alumni alumni yang tidak terkontaminasi oleh perilaku korupsi atau kejahatan lainnya, yang bekerja dengan sungguh-sungguh dan memegang teguh norma-norma ajaran yang diterimanya ketika menjadi anggota HMI.
Dengan menggunakan cara pandang ini, saya ingin menyambut buku ini dengan antusias karena telah membuka sebagian fenomena HMI dan alumninya, khususnya dalam konteks kekuasaan politik dan birokrasi. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih hati-hati dan fokus, kajian atas perilaku HMI maupun alumni HMI, di masa datang, diharapkan dapat dijelaskan dengan lebih rinci, lebih kuantitatif, sehingga beberapa kritik yang ditujukan kepada HMI, oleh pengurus HMI, dapat dijadikan acuan dalam memperbaiki pola perkaderan yang memenuhi kebutuhan zaman. Pemikiran-pemikiran HMI, atau mungkin lebih tepat pikiran kader-kader HMI, yang berkaitan dengan dunia politik maupun keagamaan relatif berkembang, dibanding pemikiran di bidang ilmu lainnya, sebutlah ekonomi atau sosial budaya. Pola perkaderan HMI yang mampu menciptakan keseimbangan output kader di semua bidang kehidupan memang menuntut perhatian yang lebih serius, jika tidak ingin HMI kehilangan kesempatan merebut hati mahasiswa-mahasiswa baru yang gaya, perhatian dan cita-citanya mungkin saja telah berubah dibanding dengan senior-senior mereka terdahulu. Kunci kesinambungan keorganisasian HMI, menurut saya, bukan terletak pada keberhasilan alumninya, tetapi lebih tergantung pada pembaharuan sistem perkaderan serta kesinambungan kegiatan perkaderan HMI itu sendiri. Tanpa perhatian yang lebih serius dan fokus dalam menentukan pilihan atas keanekaragaman trend zaman yang mampu diadopsi dalam sistem perkaderan HMI, jelas akan merugikan kesanggupan organisasi ini untuk menghadapi tantangan yang berbeda dalam setiap kurun zaman kepengurusan HMI. Sekali lagi, buku ini amat bermanfaat bagi penelitian lebih lanjut dalam menjelaskan fenomena politik HMI ke depan, yang kualitas kadernya bergantung pada kemampuan pengurus HMI untuk memperbaiki secara terus menerus sistem perkaderan organisasi yang besar ini. Selamat membaca.
Sumber : http://hharryazharazis.com/detail/83/kaderisasi-dan-politisisasi-hmi.cnet
2
Bedah Buku HMI 1963-1966
Written by Redaksi Buku, Gerakan, News, News 1 June 2013 - 95 views
HMINEWS.Com - Buku terbaru karya M Alfan Alfian ‘HMI 1963-1966; Menegakkan Pancasila di Tengah Prahara’ dibedah. Acara digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) dengan pembedah yang merupakan para pelaku sejarah kala itu, dari kalangan HMI maupun non-HMI.
Para pembedah adalah Sayidiman Suryohadiprojo (mantan Danyon Siliwangi di masa Orba), Harry Tjan Silalahi (mantan aktivis PMKRI), Waluyo Martosugito (mantan aktivis GMNI) dan moderator sekaligus komentator Fachri Ali (mantan aktivis HMI). Hadir pula dan memebrikan sambutannya, mantan KEtua PB HMI 1963-1966 Sulastomo dan mantan Ketua MK, Mahfud MD, serta mantan aktivis HMI lintas generasi.
Sebagaimana diketahui, Periode 1963-1966, merupakan periode yang sangat kritis bagi Indonesia maupun HMI dengan musuh bersama yaitu pihak komunis yang tergabung dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi yang berafiliasi dengannya seperti CGMI dan BTI (Barisan Tani Indonesia). Waktu itu PKI ingin mengganti Pancasila dengan ideologi komunis yang dipaksakan dengan berbagai cara.
PKI berhasil pula mempengaruhi Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno, sehingga menciptakan konsep ‘Nasakom’ (Nasionalis-Agama-Komunis). Menurut Sayidiman, bahkan Pancasila dari lima sila diperas sampai menjadi hanya satu sila yaitu gotong-royong, hal itu akibat pengaruh PKI. Eka Sila ‘Gotong royong’ di sinilah yang menjadi kemenangan komunis atas kelompok nasionalis dan Islam, yang masing-masing diwakili PNI dengan sejumlah partai lainnya serta Masyumi (dibubarkan 1960) dan NU.
HMI turut memainkan peran penting dalam perlawanan terhadap PKI. Bekerjasama dengan TNI Angkatan Darat dan elemen lainnya, setelah pemberontakan G30S/PKI, menggalang kekuatan secara nasional mengganyang PKI. Pemerintah yang baru (Orde Baru) akhirnya resmi membubarkan dan melarang PKI di Indonesia.
Sumber : http://hminews.com/news/bedah-buku-hmi-1963-1966/
3
Resensi Buku Otokritik Terhadap HMI
Judul : Otokritik Terhadap HMI
Penulis : Taufik Z. Karim
Penerbit : Buku Litera
Tanggal Terbit : 12 Juni 2012
Kategori : Motivasi
TAUFIK Z. KARIM sapaan akrab Opik merupakan sosok anak muda yang kritis, penuh dengan gagasan-gagasan konstruktif, pribadinya yang selalu komunikatif, seorang aktifis yang sangat bijak jika di ajak berdiskusi dan selalu menjadi motivator untuk orang-orang di sekelilingnya.
Di dalam buku ini banyak sekali hal yang harus kita semua ketahui. Menurut Imanuel Kant,”Sejarah bukanlah Sesuatu yang terjadi, tapi sejarah adalah sesuatu yang terjadi dan memiliki arti”.
Dari buku kita akan tahu latar belakang berdirinya HMI di tinjau secara umum ada 4 permasalahan yang mendasar sehingga berdirinya HMI. Salah satunya adalah situasi dunia Internasional yakni kemunduan umat Islam dalam berfikir bahkan Islam sama sekali menutup kesempatan untuk berfikir serta umat Islam terlena dengan kebesaran dan keagungan masa lalu, adapun kemunduran tak pelik terhadap kita. Tentu dari keterbelakangan orang islam, maka munculah gerakan untuk menentang keterbatasan sesorang untuk melaksanakan ajaran Islam secara benar dan utuh. Ini adalah salah satunya, masih ada 3 permasalahan lagi yang harus kita semua ketahui.
Buku ini menjelaskan Berdirinya HMI yang diprakarsai oleh Lafran Pane, seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam) yang sekarang UII(Universitas Islam Indonesia),dan juga terdapat 10 fase sejarah perjalanan HMI selama 65 tahun ,fase pertama adalah Fase Konsolidasi spiritual, dan dan proses berdirinya HMI (1946-1947),serta Fase reformasi (1995-1999) dan fase tantangan II (2000-sekarang), fase-fase di dalam buku ini sangat menarik, ada 8 fase menarik yang harus kita semua ketahui dari buku ini.
Masih ingatkah kita dengan pesan orang tua sewaktu mau menjejakan kaki di bangku perkuliahan, tentu kita masih ingat bahasa orang tua kita masing-masing yang menekankan kita semua agar kita cepat lul[1]us, tetapi coba kita fikir baik-baik, betapa pentingnya organisasi itu, bagi si penulis buku ini mengatakan Organisasi merupakan stimulus untuk menjunjung aktivitas akademik seorang mahasiswa.
Buku ini bercerita tentang pentingnya bergabung dengan Organisasi Mahasiswa, organisasi memang sangat penting sebagai tempat wadah dimana orang-orang berkumpul, berkerja sama secara rasional dan sistematis, terencana, terorganisasi, terpimpin dan terkendali, secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan organisasi. Setiap calon anggota memiliki motivasi tertentu dalam bergabung dengan organisasi HMI seperti mencari teman, belajar, manajemen waktu, mengisi waktu luang, memperluas pengetahuan, belajar berorganisasi, mencari jatidiri dan sebagainya.
Dalam buku ini kita mencari jati diri Hmi yang telah hilang, kemana tradisi Intelektual di HMI.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, HMI di kenal sebagai lembaga kemahasiswaan yang mempu melahirkan kader-kader bangsa di berbagai bidang, terutama eksekutif dan legislatif dan lain-lain. Sebelum penulis membahas degradasi intelektual, di dalam buku ini menjelaskan kemunculan istilah Intelektual. Di dalam buku ini di katakan komisariat lah yang merupakan alat, atau mesin pencetak keder-kader HMI berkualitas, perlu mengadakan program-program untuk pembinaan dan peningkatan kualitas keilmuan setiap kader HMI. Selain itu bahkan sering muncul bukan hanya degradasi intelektual tetapi pengkhianatan intelektual.
Hal yang menarik lagi di dalam buku ini ialah HMI melawan money politik .
Hmi cabang Malang mengawal pesta demokrasi di Kota Batu. Akhir-akhir ini Money Politik menjadi konsumsi publik sehari-hari, kita di pertontonkan secara fulgar.
Istilah yang terdengar menusuk jantung kita semua sebagai kader yaitu Istilah politik transaksional mungkin ini sudah tidak asing lagi bagi politisi, bagi HMI seperti apa? Transaksional bukan hanya jual beli atau tukar menukar, melainkan bagi-bagi jatah kue pengurus (kekuasaan) salama 1 periode mendatang. Menjadi masalah ketika kue yang dibagikan tidak merata serta penerima kue tidak dapat menjalankan amanah sehingga roda organisasi menjadi pincang. Apakah pesta demokrasi di tubuh HMI mulai dari RAK sampai Kongres juga di warnai dengan cara-cara transaksional?. Semua akan kita temukan jawabanya di dalam buku ini, dan kita semua akan menilai sesuai kacamata masing-masing.
Selanjutnya kita akan paham di mana kader adalah orang yang di dipersiapkan untuk memegang jabatan atau dipersiapkan untuk memegang jabatan atau menjadi tulang punggung dalam organisasi tertentu, dari buku ini kita akan tau jenis-jenis kader, dan definisi dari jenis-jenis kader yang tertulis dalam buku ini, ada yang dinamakan, Kader Ideologis, Kader Pragmatis, Kader Matrialis, Kader Hedonis, Kader Biologis, Kader Retoris, Kader Administrasi, dan kader Kader Simbolis, kita akan tau kita di posisi mana dalam perkaderan dari buku ini, dan maksut dari istilah-istilah di atas terdapat dalam buku ini.
Yang menarik lagi dari buku ini adalah tradisi Fatsun Abang, bagi kader HMI sebutan Abang-abangan (senior), sudah menjadi panggilan yang sudah tidak umum lagi, pengilan ini semata-mata untuk lebih dekat dari adik dan kakak dalam bingkai kekeluargaan di HMI, tetapi ada maksud lain dari panggilan ini biasanya yang terdapat dalam buku ini.
Di dalam buku ini kita mengenal Demonstrasi sebagai satu cara kita melawan Dominasi dengan cara Intelektual.
Berikutnya kita akan tau bahwa HMI itu candu, pernah secara sadar kita mengatakan apa yang kita cari ada di HMI adalah perkataan yang secara tidak lansung terkonstruk dalam ikiran kita. Kita akan tau labih luas lagi tantang candu kita ini di dal buku ini.
Dari buku ini kita akan tau dengan apa yang dimaksutkan penulis dengan salah satu bab yang membahas Independensi Harga Mati. HMI sebagai organisasi mahasiswa yang independen, Hmi bukan organisasi politik praktis dan tidak menjadi onderbouw sebuah partai politik, termasuk partai politik islam.
Dari sisi lain kita akan memperjuangkan untuk Membumingkan Tujuan dari HMI yang di mana di dalam ini terdapat kualitas Insan cita HMI, Kualitas insan cita Akademis.
Sumber : http://nurdin0705hidayat.blogspot.com/p/blog-page.html
4
Jalan Ketiga Pemikiran Islam HMI
Judul : Jalan Ketiga Pemikiran Islam HMI
Penulis : Azhari Akmal Tarigan
Penerbit : Citapustaka Media Perintis, Bandung, Juli 2008
Tebal : 257 halaman.
Dalam dunia ke-HMI an, pembahasan tentang NDP ( Nilai Dasar Perjuangan) memang menjadi sebuah pembahasan “ wajib” yang mendasari cara berfikir,berbuat dan menjadi nilai ukur dalam mengembangkan pemikiran keislaman HMI di Indonesia. Dalam setiap proses kaderisasi, NDP menjadi salah satu titik tumpu pembahasan. Oleh karenanya, pembahasan tentang Nilai Dasar Perjuangan selalu saja di “ Upgrade” dalam setiap Kongres. Hal ini menunjukan bahwa NDP adalah pembahasan penting dalam menjawab tolak ukur ber-Islamnya komunitas HMI.
Lahirnya HMI yang diprakarsai oleh Prof Drs. Lafran Pane setidaknya meninggalkan “ kado “ istimewa terhadap perjalanan bangsa ini, hal ini terbukti bahwa HMI tetap menjadi salah satu lokomitif pergerakan dalam kemajuan bangsa. HMI juga telah banyak melahirkan tokoh-tokoh nasionalis dan Islamis. HMI juga melahirkan beragam pemikiran bernuansa kebangsaan, kesejahteraan, politik pergerakan, serta keislaman yang universal. oleh karenanya, dalam perjalanan ke-HMI an, lahirlah sosok Nurcholish Madjid yang juga pernah mendapat amanah menjadi Ketua Umum PB HMI selama 2 periode.
Kali ini, Azhari Akmal Tarigan ( Bang Akmal; sapaan akrabnya) menelurkan karya baru tentang ke-HMI an yang berjudul “ Jalan Tengah Pemikiran HMI; NDP dalam Peranan Liberalisme dan Pluralisme “ buku yang melihat secara lebih luas tentang perjalanan pemikiran HMI dalam bungkus NDP. Sebelumnya, Bang Akmal mengeluarkan buku yang bertajuk Islam Universal dan di-refresh dalam cetakan kedua dengan judul Islam Madzhab HMI. Konsistensi bang Akmal dalam menelurkan karya dalam ruang lingkup ke-HMI an seolah menjadikan sosok beliau dianggap seperti “ cak Nur kedua yang ada di Sumatera Utara “. Sebab, selain beraktivitas sebagai “ dosen HMI” yang wara-wiri keluar daerah antar kota antar provinsi demi menjadi dosen HMI, bang Akmal juga tetap berkarya demi kelangsungan perkembangan pemikiran ke-HMI an.
Buku yang terangkum dalam VI bab ini mengetengahkan wacana ke-HMi an dalam versi artikel-artikel. Bicara tentang spirit keislaman HMI, Kontekstualisasi NDP dalam perubahan social, kepemimpinan, melihat Islam Indonesia yang modern, serta isu-isu Islam aktual, seperti teroris dan lahirnya aliran-aliran baru dalam islam serta feminisme di Indonesia. Secara khusus, buku ini sangat menarik, sebab aktualisasi pembahasannya menyuguhkan tema-tema hangat dan sentral ke-tengah-tengah pembaca. Menariknya, dalam wacana ke-HMI an isu-isu aktual ini yang harus disikapi secara serius oleh kalangan HMi untuk melahirkan nilai-nilai dasar baru dalam perjuangan ke HMI an dan pemikiran keislaman HMI.
Semoga karya ini menjadi khazanah baru dalam perkembangan pemikiran ke-HMI an,perkembangan nilai-nilai spiritual orang-orang HMI.serta perkembangan pluralisme pemikiran HMI yang mendukung wacana keislaman, kebangsaan dan kemoderenan yang kesemuanya bisa “ dikawinkan “ dalam nuansa keharmonisan religiusitas, berbangsa dan bertanah air.terlebih-lebih karya ini juga dapat menjadi setawar –sedingin buat kader-kder HMI yang haus akan karya-karya intelektual yang bernuansakan ke-HMI an dimana karya-karya seperti ini hampir tak pernah tumbuh lagi diladang intelektual HMI setelah wafatnya “professor HMI” Nurcholis Madjid. [Resensi: Iqbal Hanafi Hsb).
5
Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia
Pengarang : Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul
Penerbit : CV Misaka Galiza
Tebal Buku : 355 halaman
LATAR BELAKANG SEJARAH BERDIRINYA HMI
Seminar sejarah HMI yang berlangsung di Malang 11 tahun yang lalu tanggal 27-30 November 1975 menampilkan beberapa makalah dari tokoh-tokoh HMI baik yang senior maupun yang junior.Diantara makalah tersebut ada dua makalah yang menulis tentang latar belakang berdirinya HMI. Pertama, A. Dahlan Ranuwiharjo adalah seorang tokoh HMI, bahakan pada saat-saat kritis pernah menjadi Ketua Umum PB tahun 1953-1955, termasuk dalam barisan yang paling dekat dengan awal kehadiran HMI. Kedua, Agussalim Sitompul yang membuat makalah tentang naskah yang mencakup sejarah HMI secara Nasional, sejak tahun 1947-1975 dengan judul Sejarah Perjuangan HMI.
Menurut A. Dahlan Ranuwiharjo latar belakang berdirinya HMI meliputi empat hal;
• pertama, karena Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) yang tidak memperhatikan kepentingan para mahasiswa beragama islam, ceramah-ceramah keagamaan tidak pernah diselenggarakan, tidak memikirkan kebutuhan para mahasiswa untuk Sholat Magrib karena kuliah berlangsung dari jam 16.30-20.30 WIB.
• Kedua, karena adanya dominasi Partai Sosialis terhadap PMY sebagai satu-satunya wadah mahasiswa pada waktu itu, sebagai satu strategi menguasai mahasiswa untuk tujuan kepentingan-kepentingan politik Partai Sosialis.
• Ketiga, karena adanya polarisasi politik di tanah air, PS di satu pihak dan Masyumi, PNI, Persatuan Perjuangan lain pihak.Polarisasi politik nitu membawa masyarakat mahasiswa, karena sebagian besar pengurus PMY berorientasi kepada Partai Sosialis, padahal banyak di antara mahasiswa yang tergabung dalam PMY tidak mau berorientasi kepada Partai Sosialis, mereka independent.
• Keempat, perlunya persatuan dikalangan mahasiswa menghadapi egresi Belanda, mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945.
Apa yang diungkapkan poleh A. Dahlan Ranuwiharjo, memiliki beberapa persamaan dengan yang ditulis oleh Agussalim Sitompul. Menurut Agussalim Sitompul, untuk menelusuri latar belakang berdirinya HMI, ada factor-faktor dominant yang meliputi 3 hal, yaitu:
• Pertama, situasi Negara Republik Indonesia. Di mana dengan kedatangan bangsa Inggris, Portugis, Spanyol, dan Belanda ke Indonesia, di samping sebagai penjajah sekaligus membawa misi peradaban barat yang bercorak sekularis.
• Kedua, situasi umat islam Indonesia. Sangat dirasakan bahwa pengalaman, pemahaman ajaran islam di Indonesia berlaku ridak sebagaimana mestinya. Roh dan semangat islam tenggelam di tengah-tengah peradaban barat.
• Ketiga, situasi dunia perguruan tinggi dan kemahasiswaan. Akibat logis dari penjajahan Belanda, dunia pendidikan umumnya serta dunia perguruan tinggi dipengaruhi sistem pendidikan Barat, yang mengarah kepada sekularisme, mendangkalkan pemahaman dan penghayatan agama dalam setiap aspek kehidupan. Dengan pengaruh sekularisme tersebut maka PMY mengambil basis sebagai organisasi yang berhaluan komunis sehingga situasi perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan dilanda krisis keseimbangan. Krisis keseimbangan yang dimaksud adalah tidak adanya perpaduan antara pemenuhan tugas hidup didunia dan akhirat, akal dan budi, jasmani dan rohani.
Dari kedua kerangka dasar diatas secara konkrit dapatlah dideskripsikan latar belakang sejarah berdirinya HMI. Himpunan Mahasiswa Islam yang disingkat HMI didirikan di Yogyakarta tanggal 14 Rabiulawal 1366 H, bertepatan tanggal 5 Februari 1947 oleh para mahasiswa tingkat I Sekolah Tinggi Islam (STI) yang sekarang bernama Universitas Islam Indonesia (UII), yang dicetuskan dan diprakarsai Lafran Pane, tanpa campur tangan pihak luar, kecuali oleh mahasiswa sendiri, di dalam ruang kuliah, karena konfigurasi politik, agama islam, pendidikan, ekonomi dan kebudayaan yang mewarnai kehidupan bangsa Indonesia umumnya.
Konfigurasi yang dimaksud adalah:
1. Politik. Negara Republik Indonesia masih dijajah oleh Belanda. Kedaulatan yang dicita-citakan Proklamasi 17 Agustus 1945 belum sepenuhnya berada ditangan bangsa Indonesia karena cengkraman dan dominasi kekuasaan Belaknda masih sangat kuat.
2. Ekonomi. Kondisi perekonomian bangsa Indonesia sangat jauh terbelakang, rakyat hidup dalam kesengsaraan dan kemiskinan karena semua kekayaan bumi bangsa Indonesia diperas untuk kepentingan politik Belanda. Adanya propaganda dari Belanda bahwa kaum muslimin cukup beribadah saja, berdoa, berpuasa, mengurusi mesjid, tidak pantas mengurusi perekonomian. Pemikiran seperti ini bertujuan untuk melemahkan potensi dan kekuatan umat islam yang seharusnya menganut prinsip keseimbangan antara dunia dan akhirat.
3. Pendidikan. Pendidikan bangsa Indonesia masih jauh terbelakang, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmati pendidikan.Walaupun pada awal abad ke-20 sudah berdiri organisasi-organisasi islam dan nasional seperti Jami’atui Khair, Al-Irsyad, Muhammadiyyah dan Nahdatul Ulama namun masih terbatas dengan masalah dana. Pada umumnya pendidikan masih didominasi dengan sistem pendidikan Barat yang mengarah pada sekularisme.
4. Islam. Menurut Prof.Dr.Harun Nasution, dalam bukunya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek mengatakan bahwa di kalangan masyarakat Indonesia terdapat kesan bahwa Islam bersifat sempit karena kebanyakan masyarakat Indonesia mengenal Islam dari tiga aspek saja yaitu ibadat, fikih, tauhid, yang akhirnya menimbulkan pengertian yang tidak lengkap tentang Islam. Sementara menurut Lafran Pane dalam tulisannya yang berjudul Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia, menggambarkan kondisi sosiologi umat islam di mana tingkat pemahaman, pengalaman, dan penghayatan agama Islam disamping bagian terbesarnya melakukan agama Islam itu sebagai kewajiban yang diadatkan seumpamanya upacara kawin, mati, dan selamatan, masih ada 3 golongan lagi, yaitu:
o Pertama, golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya, yang mengenal dan mempraktekkan agama Islam sesuai dengan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Golongan ini umumnya berpendapat supaya mempraktekkan agama Islam seperti yang dilakukan di negeri Arab 14 abad yang lalu tanpa memperhatikan tempat dan waktu di abad mana mereka hidup sehingga perubahan-perubahan dalam cara hidup dan alam pikiran mereka hampir-hampir tidak ada, selamanya statis.
o Kedua, golongan alim ulama dan pengikutnya yang terpengaruh oleh mistik. Golongan ini menganggap bahwa hidup ini hanya untuk kehidupan akhirat belaka. Mereka tidak memikirkan kehidupan dunia dan pendirian mereka bahwa kemiskinan dan penderitaan itu salah satu jalan untuk bersatu dengan Tuhan.
o Ketiga, golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman selaras dengan ujud dan hakikat agama Islam. Mereka berusaha supaya ajaran Islam benar-benar dapat dilaksanakan dalam kehidupan nyata dalam masyarakat Islam.
5. Kebudayaan. Persoalan kebudayaan memang dan selalu kompleks dan sangat rumit. Islam sendiri menghadapi berbagai aliran kebudayaan di Indonesia seperti kebudayaan Barat, Komunis, Sosialis, serta kebudayaan yang dibawa oleh Kristen.
Kondisi-kondisi obyektif diatas yang mendorong berdirinya HMI. Kelahiran HMI merupakan keharusan sejarah, dan mempunyai arti dan tempat tersendiri dalam sejarah perjuangan nasional. HMI dengan idealisme pemikirannya telah ikut membuat sejarah, mewariskan suatu nilai perjuangan serta pemikiran, yakni kebulatan tekad: Mempertahankan Negara republik Indonesia dan mempertinggi derajat Rakyat Indonesia serta menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam, seperti tertuang dalam rumusan tujuan HMI yang pertama, pada waktu disahkan dan didirikan 5 Februari 1947.
PILAR-PILAR PERJUANGAN HMI
Ibarat bangunan, HMI terdiri dari beberapa pilar yang menopang kelahirannya. Pilar yang dimaksud disini adalah fase-fase perkembangan HMI. Setelah meninjau dan meneliti kembali sejarah perkembangan HMI, kini telah memasuki 8 fase. Fase-fase tersebut adalah:
2. Merintis Jalan Menuju Konsolidasi Spiritual
3. Menghadapi Batu Ujian Pertama
4. Perjuangan Bersenjata Menghadapi Penjajah Belanda dan Penghianatan PKI I
5. Pembinaan HMI sebagai Organisasi Kader dan Alat Perjuangan Bangsa
6. HMI Menghadapi Pengkhianatan PKI II
7. HMI Sebagai Penggerak Angkatan 6, Pelopor dan Pejuang Orde Baru
8. Partisipasi HMI dalam Pembangun.an
9. Pergolakan Pemikiran Tahun 1970-sekarang
Di dalam buku ini juga diuraikan peran HMI dalam kaitannya terhadap perjuangan Bangsa Indonesia yang dikaitkan dengan rumusan tujuan HMI ketika didirikan dimana tujuan HMI yang pertama dapat berfungsi sebagai tolak ukur sampai seberapa jauh HMI dapat memberikan partisipasi dalam membela, mempertahankan, membina, membangun Negara Republik Indonesia.
Berikut diuraikan 5 aspek rumusan pemikiran HMI pada awal berdirinya, yaitu:
a. Bidang Politik. Ajaran agama islam tidak mungkin disiarkan dan dikembangkan dengan baik dan sempurna kalau Negara Republik Indonesia masih dijajah Belanda. Oleh karena itu Proklamasi 17 Agustus 1945 harus dipertahankan agar bebas dari cengkraman penjajahan.
b. Bidang Ekonomi. Bangsa Indonesia hharus dimajukan bidang material sesuai Hadist Nabi kefakiran itu mengakibatkan kekafiran. Ekonominya harus dimajukan karena jika semakin baik dan kuat ekonomi orang Islam, otomatis akan membawa pengaruh positif bagi pertumbuhan dan perkembangan agama Islam di segala bidang.
c. Bidang Pendidikan. Agama Islam tidak bisa maju dan berkembang dengan baik dan sempurna kalau rakyat Indonesia bodoh. Oleh sebab itu rakyat Indonesia harus dididik supaya cerdas, dengan mendapatkan pendidikan yang merata, terbebas dari kebodohan agar menjadi kader-kader penerus perjuangan bangsa di segala bidang
d. Bidang Agama. Lafran Pane berkeinginan agar agama Islam itu jangan hanya dimiliki mahasiswa STI saja, tetapi harus diikuti dan dipelajari mahasiswa di luar STI, baik di Yogyakarta maupun seluruh Indonesia. Oleh karena itu mutlak perlu adanya pembaharuan pemikiran Islam dikalangan umat Islam itu sendiri sehingga agama Islam dapat menampakkan wajahnya yang hakiki dimata masyarakat.
e. Bidang Kebudayaan. Dalam kondisi ini islam menghadapi berbagai macam kebudayaan, mulai dari kebudayaan Barat, Komunisme, Sosialisme, Kristen, katolik, dan Protestan. Kalau kebudayaan Islam tidak mampu bertanding maka derajat Islam akan merosot.
Selanjutnya di dalam buku ini memuat pidato-pidato Ketua Umum Pengurus Besar mulai dari peringatan Dies Natalis HMI yang ke 7 sampai yang ke 49. pidato-pidato yang disampaikan merupakan pemikiran HMI sepanjang sejarah terhadap kemajuan HMI dan Bangsa Indonesia.
HMI KINI DAN ESOK
Dalam perjalanannya HMI telah mencapai masa-masa gemilang dan cerah seperti diuraikan dibawah ini:
• Kondisi organisasi HMI yang telah merata di kota Perguruan Tinggi
• Dalam tingkatan sekarang ini HMI sudah mencapai tingkatan organisasi modern walaupun ridak luput dari kelemahan dan kekurangan
• Anggota dan alumni HMI banyak
• Pengalaman sejarahnya yang panjang dan berhasil
• Peranan pemuda, mahasiswa dalam kehidupan suatu negara adalah besar dan menentukan.Hal ini bisa disaksikan dalam moment-moment sejarah bangsa Indonesia tahun 1908, tahun 1928, tahun 1925, dan tahun 1966
• Pemikiran dan perjuangan HMI relevan dengan dimensi sejarah perjuangan bangsa Indonesia
• Aktivitas dan kegiatan HMI berorientasi untuk kepentingan anggotanya dan masyarakat luas
• Secara fisik memiliki asset nasional berupa 64 cabang penuh, 4 cabang persiapan, 9 buah Badan Koordinasi, 2 buah Badan Khusus, 11 buah Lembaga, dan 150.000 orang anggota.
Semua masa depan yang gemilang dan cerah itu tidak datang begitu saja, tetapi baru bisa dicapai tergantung kepada pengemudi organisasi sejak dari Pengurus Komisariat, Pengurus Cabang, Badan Koordinasi, Pengurus Besar, bahkan anggota dan Alumni HMI seluruhnya. Pengurus, Anggota, dan Alumni harus berani mengadakan koreksi terhadap diri sendiri dan menerima koreksi dari pihak lain agar tidak melakukan kesalahan terus menerus. Suatu tinjauan atau perenungan kembali atas sesuatu yang telah berlalu mungkin akan dapat membrikan motivasi baru dalam peningkatan aktivitas. Di samping itu, akan memberikan suatu pelajaran dan pengalaman untuk menjadi lebih bijaksana dalam mengemban amanat dan tugas Himpunan.
Dalam penjabaran isi buku ini, ada banyak hal yang dapat diambil manfaatnya. Membaca buku ini dapat memperkaya wawasan kita akan sejarah lahirnya organisasi HMI terkait dengan kondisi bangsa Indonesia pada saat itu. Buku ini mengupas secara rinci mulai dari tahapan-tahapan latar belakang berdirinya HMI sampai fase-fase perjuangan dan perkembangan yang dialami HMI dari masa ke masa dengan berbagai peristiwa yang dialami Bangsa Indonesia. Buku ini juga menyajikan naskah-naskah pidato Dies Natalis Ketua Umum Pengurus Besar HMI mulai dari Dies Natalis yang ke-7 sampai 49 walaupun tidak lengkap secara keseluruhan dan tidak berurut. Dengan adanya naskah pidato-pidato tersebut bisa menambah khazanah pemikiran anggota-anggota HMI dan mengetahui kondisi dan perjuangan HMI pada masanya.
Selain itu, buku ini juga melampirkan dokumentasi-dokumentasi tokoh-tokoh sejarah dan kondisi HMI sehingga memudahkan kita untuk mengenal para tokoh sejarah perjuangan HMI serta memiliki gambaran segala aktivitas dan perjuangan HMI. Penggunaan gaya bahasa di dalam buku ini sederhana sehingga tidak sulit untuk dipahami dan uraian sejarah yang disampaikan sistematis. Di akhir buku ini diberikan masukan-masukan yang ahrus dilakukan kader-kader HMI agar HMI dapat mengoreksi diri untuk terus bangkit dan mempertahankan eksistensinya. Buku ini bagus direkomendasikan untuk dibaca karena dengan membaca buku ini dapat memperkaya wawasan kita tentang sejarah perjuangan HMI dan bisa menyadarkan serta meningkatkan motivasi kita sebagai kader HMI untuk terus beraktivitas dalam mewujudkan tujuan HMI.
*) diresensi oleh: Ratna Sari
Sumber : http://achillesmuda.blogspot.com/2010/06/pemikiran-hmi-dan-relevansinya-dengan.html
6
Judul Buku: Dari Aktivis Menjadi Diplomat
Penulis: Nazaruddun Nasution
Penerbit: Expose (PT. Mizan Publika), Cetakan pertama: Mei 2012,
Jumlah halaman: 371, tersedia di took-toko buku: Hubungi penulisnya di: nenasution@yahoo.com. No Hp penulis: 0815-814-1692 (Nazaruddin Nasution)
Memoar Seorang Diplomat Senior Indonesia
Oleh: Indriani Eriza
Sumber: kepri.antaranews.com/ 27 Juni 2012
Apa jadinya seorang aktivis, yang terbiasa mengkritisi kebijakan pemerintah, menjadi seorang diplomat yang notabene harus membawa nama negara di panggung internasional?. Pergolakan batin tersebut diungkapkan oleh diplomat senior Indonesia, Nazaruddin E Nasution, dalam memoarnya “Dari Aktivis Menjadi Diplomat” yang diluncurkan pertengahan Mei lalu.
“Baik buruk Indonesia, adalah negara saya,” ungkap lelaki yang akrab disapa dengan panggilan Bung Nazar itu. Dalam memoar setebal 371 halaman itu, Nazar (70) menceritakan kisah hidupnya dalam empat bagian yakni kisah masa kecilnya, kehidupan sebagai aktivis, kiprahnya sebagai diplomat dan purnatugas.
Sebagai aktivis, kiprah putra Muhammad Yunan Nasution, tak perlu diragukan lagi. Kiprahnya itu diawali dari organisasi di lingkungan rumah yakni Persatuan Pemuda Kotabaru Grogol, organisasi di sekolah, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan sederet organisasi lainnya. Di HMI, dia pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal dan Ketua I PB HMI.
Ada cerita menarik yang diungkap oleh Nazar yakni ketika Kongres X HMI yang berlangsung di Palembang. Waktu itu banyak pihak yang mendorongnya untuk menjadi kandidat ketua umum, mulai dari Nurcholis Madjid, Mar’ie Muhammad, Eki Syachruddin, Jusuf Kalla, Zakaria Siregar dan lainnya.
Namun, semua permintaan seniornya tersebut ditampiknya dengan halus. Alasannya sederhana yakni ketika itu sudah lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan ingin berprofesi menjadi seorang pengacara. Nazar kemudian merekomendasikan nama Akbar Tanjung, dan dengan tangan dinginnya pula, dia berhasil meyakinkan Akbar untuk menjadi Ketua Umum HMI. Tak heran, belakangan Akbar Tanjung menyebut Nazar sebagai mentornya. Nazar pula lah yang menjadi salah seorang perumus Tiga Tuntutan Rakyat atau Tritura (1966) yang digaungkan oleh mahasiswa pada pemerintahan Soekarno.
Beralih ke Diplomat
Aktivitas Nazar yang dekat dengan panggung politik nasional di Tanah Air, tak membuatnya berhasrat untuk terjun ke dunia politik. Karir yang dirintisnya sebagai pengacara pun, dipandangnya tak sesuai dengan hati nurani. Untuk menjadi pengacara ternama, kata Nazar, dalam bukunya sulit untuk untuk tidak “bermain” dalam lingkaran hakim-polisi-jaksa-pengacara.
Nazar juga berkali-kali harus menghadapi “godaan” seperti ketika Anton Haliman mengutus seseorang untuk menyuapnya atas kasus Simprug. Nurani Nazar merasa terhina, dan serta merta mengusir utusan itu keluar dari rumahnya.
Awal karirnya sebagai diplomat dimulai pada Desember 1972 saat diterima di Kementerian Luar Negeri.”Profesi diplomat lebih cocok dengan watak saya. Saya merasa “exciting” ketimbang menjadi politisi ataupun pengacara. Sebagai politisi, tak bisa dielakkan, suatu saat akan dihadapkan pada pertarungan politik yang kotor.
Sebagai diplomat, Nazar bertugas di berbagai pos :Bangkok, New York, Ottawa, Washington, Phnom Penh dan akhirnya mencapai karir sebagai Dubes RI untuk Kamboja.
Dalam memoarnya juga, Nazar menceritakan bagaimana sikap seorang diplomat ketika menjelaskan persoalan yang ada Tanah Air di panggung internasional.
Apalagi pada saat itu sedang hangat-hangatnya persoalan Timor-Timur karena adanya insiden Santa Cruz (1991) dan Insiden Liquisa (1992). Indonesia dituduh telah melanggar hukum internasional, karena secara tidak sah melakukan aneksasi terhadap Timor-Timur. Saat menjabat sebagai Kabid Politik di Ottawa (1992-1995), Nazar harus marathon dari satu kota ke kota lain dan melakukan pendekatan ke LSM di Kanada mengenai persoalan Timor-Timur.
“Untuk menghadapi tuduhan miring itu, perlu dilakukan lobi dan pertemuan dengan LSM, wartawan setempat dan kalangan akademisi Kanada,” paparnya seperti yang tertulis di halaman 183. Rekannya di Sekolah Staf Dinas Luar Negeri (Sekdilu) dan sesama diplomat, Makarim Wibisono, mengatakan terdapat tiga hal pokok untuk menjadi seorang diplomat yakni integritas, kompetensi dan jiwa kepemimpinan.
Makarim menilai apa yang ditulis oleh Nazar adalah salah satu cara untuk mempersiapkan diplomat muda, karena diplomasi tidak bisa dipelajari namun bisa ditularkan. Oleh karena itu, kata Makarim, buku tersebut wajib dipunyai oleh setiap orang yang ingin menjadi diplomat dan juga membina rumah tangga yang berlandaskan nilai-nilai religius.(I025/B/Z003) Editor: Dedi
Milad HMI: Transformasi Intelektual dalam Rekayasa Peradaban
Sosial Pasca Kapitalisme Global
Wednesday, February 21, 2007
Pada abad ke -16, pada saat Nicolas Copernicus mengajukan hipotesis tentang heliosentris, yang kemudian dilanjutkan Johanes Keppler dengan teori peredaran bumi dan Galileo Galilei dengan teori bintang jatuhnya merupakan awal dibukanya akal manusia dari abad kegelapan. Sampai akhirnya Francis Bacon dengan metode induktifnya mampu menempatkan alam sebagai objek penelitian, tentunya dengan metode ilmiah. Mulai pada saat itulah kebenaran diukur hanya dengan pandangan positivistik, yang merupakan akal permasalahan kapitalisme.
Konsep kapitalisme lahir bersamaan dengan awal lahir gerakan reformasi yang menggugat terhadap praktek absoulutisme kekuasaan Gereja (Katholik). Inilah yang kemudian melahirkan apa yang oleh Max Webber dalam "The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism", disebut sebagai etika Protestan sebagai landasan ajaran Calvin. Menurut Calvin bahwa "kerja bukanlah semata-mata sarana atau alat ekonomi, kerja adalah tujuan akhir sipiritual.."
Ideology kapitalisme juga telah melahirkan masyarakat konsumtif yakni masyarakat yang hanya menerima kebutuhan sebagai penampung hasil produksi. Ideology kapitalisme juga sangat mengagungkan ilmu dan teknologi serta mengingkari nilai-nilai instrinsik alam. Menurut Hermann Kahn seorang futurlog "kapitalis menyatakan bahwa teknologi ialah motor kemajuan dan ilmu adalah bahan bakarnya."
Dalam perkembangannya kapitalisme bukan lagi hanya berupa sistem ekonomi tetapi telah berkembang lebih kompleks. Kapitalisme kini telah menjadi sistem yang telah menguasai seluruh kehidupan dari sistem sosial sampai sistem pendidikan. Bahkan telah menjadi 'agama baru' bagi manusia. Kompleksitas dari ideology kapitalisme itulah yang kini telah menjadi sebuah peradaban baru. Peradaban baru tersebut tidaklah seperti peradaban klasik yang bersifat regional terapi peradaban global, diamana umat manusia dibelahan bumi manapun menjadi pengikut ajarannya.
Sedangkan pada tataran ekonomi kapitalisme pun mengalami perkembangan yang terbagi dalam beberapa periode yakni,
Pertama: periode kapitalisme liberal. Dalam periode ini negara ditempatkan sebagai subordinat atau sekedar institusi yang bertugas pasif, tidak campur tangan dalam urusan warga negaranya, kecuali hal yang menyangkut kepentingan publik.
Kedua: periode kapitalisme teroraginisir atau Keynesian Period (period of organized capitalism). Periode ini berlangsung pada akhir abad ke-19 sampai pasca Perang Dunia Ke-II. Perubahan setelah kekalahan kaum liberal, yakni dengan perkembangan sistem ekonomi dan sosial. Dalam sistem ekonomi muncul sentralisasi produksi, modal dan perdagangan. Pasca Perang Dunia Ke-II, perubahan-perubahan terjadi sesuai dengan merebaknya paham sosialisme dan pengaruh aliran ekonomi yang di pelopori oleh ahli ekonomi Inggris, John Maynard Keynes (1883-1946). Penguatnya doktrin Keynes akarnya adalah kegagalan sistem 'ekonomi pasar' yang di usung oleh kaum Ordo-Liberal. Gagasan Keynes ini menggunakan kebijakan eknomi terdistribusi kemudian teori ekonomi ini menggeser kebijakan ekonomi liberal menjadi ekonomi state-isme, yang mengarah pada menguatnya peran negara selaku penyelenggara kesejahteraan rakyat.
Ketiga: periode kapitalisme tak terorganisir atau kapitalisme neoliberal (period of disorganized capitalism) yang dimulai pada awal 1970-an dan berlangsung hingga kini. Perubahan ini terjadi pada akhir 1973, ketika negara-negara Arab, produsen minyak utama dunia membentuk sebuah kartel, OPEC, dan menyebabkan harga minyak melambung tinggi. Karena harga minyak yang terus meningkat, terjadilah gerak naik harga-harga dan upah-upah. Akibat lebih jauh adalah terjadinya resesi ekonomi, pengangguran dan inflasi harga mencapai lebih 20 persen di sejumlah negara, serta meluasnya ketidakmampuan negara-negara Dunia Ketiga untuk membayar utangnya. Doktrin Keynes yang telah berjaya pada sebelum dan pasca Perang Dunia ke-II terbukti tidak mampu menghadapi situasi ini. Tidak hanya bahwa Keynesian tak lagi mampu memberi solusi, banyak orang yakin bahwa doktrin Keynesian-lah penyebab utama dari crisis. Kemudian munculah sebuah gagasan baru yang di pelopori oleh Milton Friedman dan Friedich Hayek. Ekonom-ekonom ini tidak membantah bahwa pasar dapat gagal dan memang telah gagal, tapi mereka meyakini bahwa pasar bebas (free trade) mampu mengalokasikan barang dan jasa secara lebih efektif dibandingkan negara. Kemunculan gagasan baru ini menyebabkan peranan negara dimarginalkan (stateless) dan peranannya digantikan oleh perusahaan multinasional (MNC) yang melintasi batas negara. Dengan jargon globalisasi dan pasar bebas neoliberalisme semakin menguatkan hegomoni kapitalisme. Dan permasalahan neoliberalisme bukan hanya berkutat pada ekonomi, kerusakan alam, eksploitasi manusia, kelaparan, perang serta penghisapan-penghisapan lainnya merupakan konsekuensi dari perkembangan kapitalisme global.
Untuk itu harus ada sebuah gerakan yang purikatif untuk melawan hegemoni tersebut untuk mencegah kerusakan peradaban yang lebih dahsyat. Perlawanan itu adalah dari skema besar manusia yang memang terkena dampaknya lansung. Manusia itu manusia yang harus berada pada ranah sistem sosial yang tertinggi dalam piramida tatanan masyarakat. Kelas itu tidak lain adalah kaum intelektual.
Gerakan Intelektual Sebagai Agen Rekayasa
Julian Benda menyatakan bahwa "intelektual sejati menciptakan tatanan dalam masyarakat dengan menjunjung standar kebenaran dan keadilan abadi. Intelektual sejati dengan jati dirinya, digerakan oleh dorongan metafisik dan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran". Ali Syari’ati juga menambahkan seorang intelektual tidak mencari tujuan praktis, tetapi mereka yang menemukan kepuasan dalam mempraktekan seni dan ilmu pengetahuan, atau spekulasi metafisik. Figur intelektual, bercirikan seorang yang bisa berbicara tentang kebenaran kepada penguasa, yang tanpa tendeng aling-aling, fasih, sangat berani, dan individu pemberang. Bagi dia, tak ada kekuasaan yang terlalu besar untuk dikritik. Dan mengkritiknya adalah tugas dia. Seorang intelektual dalam perjalanannya mengalami tantangan dan hambatannya, seorang intelektual mengalami keterasingan dan kesendirian, berisiko ditiang bahkan dikeluarkan dari komunitasnya atau bahkan juga disalib.
Kaum intelektual yang keberadaannya berawal adanya transformasi sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Kaum intelektual merupakan martir atau bagian orang-orang tertentu yang bersedia menjadi tumbal dalam menjalankan kehidupan berdasarkan inteprestasi baru persepsional yang mendasar dalam masyarakat. Keberadaan seorang intelektual sesungguhnya merupakan fenomena umum dalam sejarah kehidupan manusia, terutama dapat kita saksikan pada munculnya status masyarakat baru yang mampu mengemban dan manjadi kiblat peradaban umat manusia pada zamannya.
Masa Depan Peradaban Manusia
Neoliberalisme sebagai tonggak lahirnya kapitalisme global sudah sangat mengurita dan hampir tak terbendung. Kapitalisme global merupakan peradaban lama harus dilawan dengan cara me-revolusinya (hijjrah) dengan peradaban baru yang lebih berpihak kepada masyarakat demi terciptanya kesejaterahan dan keadilan sosial di masyarakat itu sendiri. Hegomoni arus kapitalisme global telah merusak hampir seluruh tatanan masyarakat dunia yang menimbulkan dampak ketimpangan-ketimpangan sosial melalui Multinational Corprations (MNC).
Seperti yang dikatakan Soeharsono bahwa salah satu timbulnya peradaban baru adalah ketika adanya perseps-perseps baru dalam memaknai realitas. Pandangan positivistik yang melatari peradaban yang kini berkembang menganggap bahwa dunia merupakan mesin raksasa dimana manusia merupakan bagian dari sekrup-sekrup penyusunnya. Begitu juga manusia dimaknai seperti mesin, hanya dipandang dari sisi materi. Dan kini pandangan tersebut semakin mengalami ketimpangan dan kerancuan dalam aplikasinya. Untuk itu manusia memerlukan konsepsi paradigma alternatif yang lebih holistik.
Konsepsi ilmu yang memisahkan secara tegas permasalahan ide dan materi telah menjadi pokok permasalahan keterasingan ilmu dan realitas sosial. Dalam peradaban alternatif pasca kapitalisme hubungan antara manusia dan alam semesta tidak dapat lagi saling menguasai tetapi harus adanya keseimbangan antara keduanya. Sebagaimana yang dikatakan Fritjof Capra dalam bukunya "Titik Balik Peradaban" bahwa pemaknaan dunia sebagai mesin raksasa telah mendatangkan berbagai macam problem dan peradaban tersebut telah mencapai titik balik. Sebagai gantinya perlu adanya pemaknaan terhadap realitas dengan perseps yang baru dan lebih sistemik.
Pada abad XX arah peradaban telah bergeser dari pandangan yang mekanis kearah pandangan dunia ekologis organis. Kalau dulu dunia dipandang sebagai balok-balok yang tersusun dan membentuk sistem dunia kini semakin berubah ke arah pandangan dunia yang sistemik, bahwa dunia merupakan satu-kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Begitu pula dengan paradigma positivistik yang hanya mengakui materi sebagai unsur kehidupan yang bergeser kepada paradigma integralistik yang mengakui adanya ide dan hal yang bersifat spiritual sebagai penyusun kehidupan.
Dalam berbagai sistem kehidupan paradigma tersebut telah berkembang. Dalam sistem keilmuan dengan diakuinya intuisi sebagai salah satu metode pencarian ilmu telah menggugat metode ilmiah sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Metode ilmiah kini tidak lagi menjadi ilmu yang pasti kebenarannya karena masih ada faktor lain yang menentukan kebenaran suatu penelitian. Dalam sistem sosial sekarang tidak hanya berkonsentrasi pada relasi antar manusia saja, tetapi lebih luas yaitu relasi alam dengan manusia menjadi sub pokok dalam membentukan sistem sosial eco-humanisme.
Dalam aplikasi ilmu kedokteran kini cara pandang manusia yang diasumsikan sebagai mesin telah bergeser dengan dikenalnya psikologi dan psikoanalisa sebagai bagian dari metode kedokteran. Dan dalam aplikasi ekonomi kini pertumbuhan tidak hanya diorientasikan pada moneter dan fiskal saja bahkan lebih luas, yaitu termasuk fleksibelitas sosial dan kelestarian lingkungan.
HMI Sebagai Perlawanan
Hari ini bertepatan dengan tanggal 5 Februari 2007 genap sudah HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) berusia 60 tahun. Di usia yang sudah tidak muda lagi seharusnya HMI juga semakin matang dalam berfikir dan bertindak. HMI yang didirikan oleh Lafran Pane 60 tahun silam merupakan organisasi intelektual keagamaan pertama di Indonesia yang menjadi harapan ummat dan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan saat itu. Dalam perjalanannya, HMI juga aktif berperan dalam melakukan perubahan-perubahan pada zamannya. Selama ini kader HMI selalu aktif melakukan perlawanan-perlawanan, baik itu perlawanan terhadap penjajahan terlebih pada perlawanan rezim otoriter. Perlawanan terhadap sikap otoriterian merupakan sebuah keniscayaan sebagai kader HMI yang merupakan kaum intelektual yang berfungsi mangayomi ummat dan masyarakat. Dunia perlawanan bukan suatu yang asing lagi bagi kader HMI, mulai dari perlawanan fisik hingga pada perlawanan intelektual (pemikiran). Kini dalam belenggu kapitalisme global sudah saatnyalah kader HMI sebagai kaum intelektual melakukan perubahan peradaban dalam bentuk pemikiran-pemikiran alternatif sebagai bentuk gerakan perlawanan sosial. Kader HMI tidak hanya diciptakan sebagai insan ulull albab tetapi juga kader yang mempunyai tanggung jawab moral sebagai anak ummat dan anak bangsa untuk melakukan perubahan. Maka untuk itu dibutuhkan bentuk transformasi inheren terhadap ummat dan bangsa untuk melawan peradaban yang bertentangan dengan nilai-nilai peradaban itu sendiri. Kader HMI tidak hanya unggul dalam diskursus pemikiran dalam bentuk grand narasi saja tapi, ia juga harus mampu mentransformasikannya dalam bentuk aktualisasi konkret yang dapat dirasakan langsung oleh ummat. Proses transformasi tidak akan berjalan jika kader HMI merasa ekslusive terhadap ummat itu sendiri. HMI dan ummat merupakan satu kesatuan yang linear, yang dapat bersinergis untuk mewujudkan gerakan perlawanan massal, terhadap peradaban kapitalisme global tersebut. Seperti yang kita tahu kapitalisme global telah melahirkan bentuk penjajahan gaya baru (neoimperialisme) yang di luar batas kesadaran kitapun ikut menikmati hasil dari penjajahan tersebut.
Yang menjadi pertanyaan mendasar saat ini, mampukah kader HMI sebagai kaum intelektual menjadi agen pengerak masyarakat sipil (civil society movement) sebagai perlawanan hegemoni yang menjadi harapan ummat, ditengah dahsyatnya serangan arus kapitalisme global? Bagaimana HMI melakukan perlawanan tersebut? Mampukah HMI menjawab semua tantangan tersebut disaat usia sudah beranjak mapan? HMI yang diharapkan sebagai martir penggerak perubah peradaban, justeru terjebak kedalam arus peradaban tersebut. Seperti perilaku konsumtif dan perilaku hedonisme yang merupakan bagian dari dampak ancaman kapitalisme global. Meskipun kejadian tersebut tidak dapat digeneralisir, karena masih banyak kader-kader HMI yang masih tetap konsisten menjalakan idealismenya sebagai agen rekayasa peradaban. HMI sebagai organisasi intelektual yang berbasiskan keummatan sudah seharusnyalah HMI lebih banyak berperan melakukan perubahan untuk ummat. Last but not least rupanya hanya kaum intelektual yang memiliki integritas tinggi sajalah yang harus serius memikirkannya. Dan bukan dari kaum intelektual yang justeru menjadi momok bagi masyarakatnya itu sendiri. Bahkan yang lebih parah lagi, ada sebagian kaum intelektual justeru menjerumuskan masyarakatnya kedalam jurang kapitalisme global demi kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri. Wallahu'alam bissawab
Diposting oleh AmbudayA di 7:54 PM
Sumber : http://ambudaya.blogspot.com/2007/02/milad-hmi-transformasi-intelektual.html
Solidaritas HMI, ke Mana?
Januari 25, 2011 | Tagged HMI |
Logo Himpunan Mahasiswa Islam
Dalam sejarah HMI, dari zaman Akbar Tandjung hingga Anas Urbaningrum, belum pernah terjadi Ketua Umum HMI diinjak-injak polisi
Siklus kejayaan, menurut Ibnu Khaldun, memudar setelah konsolidasi hilang lalu meluncur ke tahap dekadensi. Peletak dasar sosiologi modern (via risalah tebal berjudul Mukaddimah itu), secara terperinci menyebut tahapan-tahapan kerusakan itu. Tentu dengan kaidah dan kasus-kasus klasik (di massa ia hidup). Tetapi satu dua hikmah bisa kita paralelkan dengan kejadian-kejadian terkini.
Bisnis konglomerasi yang menggurita, menguasai alur usaha dari hulu hingga hilir dan ke hulu lagi, bisa tumbang dalam hitungan bulan, hanya karena lambat merespon tabiat dekaden para pewarisnya. Tak sedikit negara adidaya yang keunggulannya laksana horor, toh hancur berkeping. Ini adalah permisalan awal.
Lalu bagaimana dengan kasus yang lebih spesifik. Misalnya,akankah HMI meluncur deras ke titik terendah, bukan lagi dekaden, tetapi delinkuen, alias ke luar dari trek kesejatiannya? Bukan saja pamor intelektualitasnya yang surut, tetapi bahkan untuk sekedar membangun solidaritas saja tak mampu. Jangan-jangan ada yang lebih parah dari itu. Dasar pijaknya, pasang surut dekadensi selalu mengenal tahap, bergerak pelan dan terbaca satu demi satu. Lain cerita jika yang terjadi adalah ketidaklaziman dan ke luar dari ciri dasar secara mengejutkan.
Mari adu dokumentasi. Kalau premisnya hanya dekaden, bukankah ada bukti segunung? Bahkan jauh-jauh hari orang mulai cemas. Orang-orang itu, bila disebut sebagai exemplary person dan otoritatif, adalah Nurcholis Madjid dan Anas Urbaningrum. Dengan gradasi bahasa yang berbeda tetapi kontrasnya sama-sama pekat, Cak Nur ataupun Anas merasakan betul memudarnya intelektualitas HMI. Menurut Anas, warisan intelektual HMI memfosil (menjadi batu tua maksudnya) dalam buku-buku Nurcholis Madjid. Sementara Nurcholis Madjid sendiri tanpa sungkan menyebut HMI besi rongsokan! Itu dulu (Karena kini bukan hanya menyurut, tetapi menyimpang).
Maka istilah delinkuen untuk aktivis HMI terasa kejam tetapi ada parsialitas yang cocok. Teori delinkuensi adalah unit analisis yang membantu menerangkan fenomena kenakalan anak-anak dan remaja. Garis besarnya, delinkuensi adalah penyimpangan (terutama psikologis dan kepribadian) dari norma-norma umum.
Itu konteks personal. JIka ditarik ke konteks komunal (misalnya korps Hijau Hitam), maka penyimpangan itu adalah dari kultur dan tradisi-tradisi yang telah berlangsung. Faktor-faktor penyebab delinkuen(si), tak lain adalah psikogenis dan sosiogenis. Motivasi keliru, sikap yang salah, dan fantasi irasional, adalah faktor psikogenis yang hinggap pada anak-anak dan remaja delinkuen. Sementara faktor penopang, yaitu sosiogenis, tak lain adalah terjadinya kesalahan dalam mewariskan nilai-nilai dan norma-norma yang baik. Jadi sumbernya, dalam konteks HMI, adalah para senior yang gagal member keteladanan!
Senior yang tak betah lagi dengan kredo Yakusa, tetapi memilih Ya aku saja! Alumni yang lupa bahwa dalam HMI, jika tak menang,maka harus memenangkan (tak ada prinsip bumi hangus, karena politik hari ini bukan lagi perang gerilya). Tradisi-tradisi guyub tetapi cerdas, mungkin telah lama kikis. Tergerus oleh Pilkada, pemekaran daerah, berebut DAK, DAU, dan macam-macam lagi.
Hingga tak ayal, poin pertama yang segera hilang adalah: solidaritas. Mohon catat, hanya para intelektual yang bisa mewariskan spirit intelektual (dan ini sulit). Tetapi yang lebih bersahaja dari itu, yakni semangat korps, pun sudah tak muncul. Ketika hari ini, begitu terjadi pemukulan terhadap Ketua Umum HMI, dan responnya sepi, maka kita segera maklum
Esprit de Corp
Satu-satunya sandaran klasik untuk ber-apologi adalah menuding perubahan zaman sebagai biang kerok. Seraya menyebut contoh organisasi setipe HMI, yang sama-sama tergerus marwah-nya. Bila argumennya adalah kehendak zaman, mengapa tak dibalik. Bukankah teknologi kini memudahkan aktivis HMI melakukan apapun: termasuk mereformulasi dan menyegarkan kembali tradisi intelektual, tradisi solidaritas (sesamar apapun). Bukankah orang luar kenal persis dengan spirit HMI connections, Korps Hijau Hitam, atau Loby HMI (sekonyol apapun sebutan itu, tetapi menjadi serpihan bukti adanya kesatuan solidaritas warga hijau hitam?).
Tak ada lagi klaim agen perubahan, bila untuk berempati dengan sesamanya saja tak muncul (malah terpantau saling ejek, diantara aktivis HMI, menanggapi kasus pemukulan Noer Fajriansyah). Dunia belum benar-benar berganti identitas, karenanya masih perlu sebuah kekuatan kolektif, untuk melakukan perubahan-perubahan.
Dan kita tahu, kekuatan kelompok memiliki akar tunjang dari hadirnya keyakinan yang sama, kecintaan yang sama. Sebuah esprit de corp, yang artinya adalah: corps A common spirit of comradeship, enthusiasm, and devotion to a cause among the members of a group. HMI kini, miskin perkawanan, antusiasme bersama, dan rendah kesetiaan
Sumber : http://endibiaro.blogdetik.com/index.php/2011/01/25/solidaritas-hmi-ke-mana/
Monday, 30 April 2012 20:20
Kader HMI dihimbau lakukan perubahan
Warta
WASPADA ONLINE
JAKARTA - Belajar dari masalah yang melanda Ketum DPP Partai Demokrat sekaligus mantan Ketua Umum PB HMI Anas Urbaningrum, para kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) diimbau untuk melakukan perubahan karena banyak kadernya yang masuk penjara.
Citra HMI hanya bisa dipertahankan dengan sikap antikorupsi, keteladanan dan kebajikan. Di Makassar, seruan itu hari ini, disampaikan Senator Aksa Mahmud yang mengimbau kepada kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) agar tidak selalu terjerembab jurang pragmatisme dan korupsime. Sudah sering kader HMI dijebloskan ke penjara karena korupsi, suatu perbuatan yang selalu dikutuk dan dicela HMI sendiri.
Belum lama ini, ratusan kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jawa Barat menyerukan beberapa petisi terkait masalah-masalah yang belakangan ini menimpa nama baik HMI dan para alumninya. Berkaitan dengan kasus Anas, salah satu petisi tersebut berisi komitmen kader-kader HMI Jawa Barat dalam melawan segala bentuk korupsi.
Para ketua umum HMI cabang kota/kabupaten yang ada di Jawa Barat menyerukan petisi perlawanan terhadap segala bentuk korupsi, kader HMI Jawa Barat juga berkomitmen untuk mengawal jalannya demokrasi dan menjaga independensi mereka agar mampu melahirkan pemimpin yang berintegritas pada kepentingan bangsa serta umat.
Para alumni HMI Jawa Barat yang kini menjabat sebagai anggota DPR-RI, Berliana Kartakusuma dan Agun Gunanjar, menegaskan komitmen kaderr HMI untuk antikorupsi.
Agun Gunanjar, ketua Komisi II DPR-RI, mengimbau pada kader HMI agar tidak risau terkait dengan masalah korupsi yang menimpa Anas. Menurutnya kasus tersebut adalah masalah pribadi Anas. Dan yang perlu HMI lakukan saat ini adalah terus berupaya membentuk kader yang mempunyai idealis.
''Tidak perlulah galau Anas, itu adalah masalah pribadi masing-masing. Kita fokus saja pada pembentukan idealisme kader, agar HMI tetep eksis,'' katanya.
Sementara Aksa Mahmud, sang pendiri Bosowa Corporation, yang membawakan materi Latihan Dasar (LK) III Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Badan Kordinasi Sulselbar di Hotel Lamacca UNM, Jl AP Pettarani, Makassar, hari ini menegaskan, "Saat amandemen undang-undang di 2000, hampir semua pengambil kebijakan kita adalah kader HMI.
Dan hampir juga semua kader HMI yang masuk penjara, tahanan KPK juga adalah banyak Kader HMI . Untuk itu HMI perlu perubahan," kata tokoh HMI Sulsel ini, disambut aplaus perih para kader HMI Sulselbar.
Ada banyak kader HMI yang tampil di pentas politik, namun ternyata pentas tersebut digunakan untuk meraup harta sebanyak-banyaknya. Bukan menjadi sosok pembela publik, atau negarawan.
Penyebabnya, adalah kader HMI bersangkutan tidak memiliki kemapanan dari segi ekonomi. Tidak punya usaha ekonomi sebagai instrumen pengabdian kepada publik. Politik justru dijadikan mata pencaharian, yang menjontrongkan mereka ke dalam kekalutan korupsi.
Oleh karena itu, mindset awal HMI yang hanya fokus menggali politik dan kekuasaan harus diubah, jangan boleh menjarah sektor perekonomian atau sektor dunia usaha. Namun harus pada pengabdian dan ketulusan bagi pembangunan bangsa. Maukah dan mampukah mereka? Kader HMI sendiri yang harus menjawabnya.
(dat06/inilah/wol)
Embassy Attends Islamic Students Association Training Conference, Discusses Human Rights and Democracy
February 04, 2013
Embassy Attends Islamic Students Association Training Conference, Discusses Human Rights and Democracy
The Islamic Students Association (HMI) hosted U.S. Deputy Chief of Mission (DCM) Kristen Bauer for a discussion on human rights and democracy at their leadership training conference in Depok. DCM Bauer delivered remarks outlining some of the important elements that contribute to the success of a democracy , including a vibrant civil society, religious freedom, and protection of minorities. The audience of 150 Muslim university students discussed with the DCM democracy and human rights, U.S. foreign policy, and education exchange opportunities. Chandra, chairman of HMI Depok, said the students highly appreciated the opportunity to speak with the DCM and said her talk was constructive and inspiring.
HMI Anti SBY Menentang Keras Kedatangan SBY Di Kongres HMI Ke XXVII
BeritaKaget.com // Aidhyl Materazzi Firkov // 14 Mar 2013 // Belum Ada Komentar
Gerakan Nasional HMI Anti SBY sangat menentang keras kedatangan Presiden SBY pada Kongres HMI ke XXVII besok. Jikalau SBY bersikeras datang, Gerakan Nasional HMI Anti SBY telah menyiapkan aksi untuk menghadang orang nomor satu di Indonesia tersebut.
“Kami akan lakukan aksi memblokade, penghadangan,” kata Koordinator Aliansi Nasional HMI Anti SBY Abdul Syukur Oumo di Jakarta, Kamis (14/3/2013).
Abdul menuturkan, jika aksi penghadangan tidak berhasil, pihaknya pun telah menyiapkan penolakan dalam bentuk lainnya. Yaitu dengan melempar sepatu ke arah SBY.
“Lempar sepatu tersebut tindakan yang halal,” ujar Abdul.
Selain itu, Gerakan Nasional HMI Anti SBY juga akan melakukan aksi walk out jika SBY tetap datang dan membuka kongres.
“Kami akan walk out supaya SBY pidato tidak ada yang mendengarkan,” kata Abdul.
Hingga saat ini sudah ada 10 cabang HMI yang tergabung dalam aliansi. Cabang-cabang tersebut antara lain, HMI cabang Depok, HMI cabang Kupang, HMI cabang Bengkulu, HMI cabang Curup, HMI cabang Sukoharjo, HMI cabang Selong, HMI cabang Namlea, HMI cabang Batu Raja, HMI cabang Bekasi.
JK Minta HMI Kembali ke Khittah
Jumat, 24 Mei 2013, 17:47 WIB
Republika/Yogi Ardhi
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sebagai alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), ada pesan khusus yang disampaikan Jusuf Kalla (JK) kepada para juniornya. Ia menghimbau agar HMI kembali ke khittah. Apa khittah HMI?
"Jadilah insan akademis yang Islami," ujar JK di sela acara diskusi sebelum pelantikan PB HMI, di kampus UGM, Yogyakarta, Jumat (24/5).
Jika berbicara masa depan HMI, lanjut dia, setidaknya ada empat hal yang perlu dilakukan. Yaitu, harus menciptakan aktivis yang baik, menciptakan akademisi yang baik, memilki sifat profesionalisme serta harus menghasilkan enterpreneur.
Menurutnya, seorang aktivis akan menjadi politisi dan mewarnai dunia politik Tanah Air. Sementara jika seorang kader HMI yang akademis, maka dia akan menjadi pendidik dan peneliti yang meghasilkan berbagai karya ilmiah.
Jika seorang HMI bertindak profesional, maka dia akan memimpin berbagai institusi secara profesional. Lalu jika seorang HMI memiliki enteprenuership, JK mengatakana, dia akan mencetak pengusaha Islam yang baik.
"Jika HMI tidak mampu memiliki empat hal penting ini, masa depan bangsa direbut orang lain," ujarnya.
Untuk mencapai empat hal tersebut, JK berpesan agar kader HMI memperbanyak membaca, membangun tradisi akademik, serta memperbaiki sistem pelatihan dasar yang selama ini berjalan. Selain itu, kembali memperluas jaringan di kampus kampus serta memanfaatkan teknologi sebaik baiknya.
JK mengatakan, pengurus HMI saat ini, harus lebih menunjukkan pengabdiannya pada bangsa. Meskipun sambil menyindir, jika pengurus HMI yang dilantik saat ini lahir dari kongres yang berlangsung cukup lama, yaitu 30 hari. "Pakai bakar-bakaran pula. Jadi semoga bisa lebih baik," ujarnya.
Reporter : Andi Nur Aminah
Redaktur : Mansyur Faqih
Sumber : http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/05/24/mnatyl-jk-minta-hmi-kembali-ke-khittah
Hormati Hasil Kongres Ke-28 HMI
Created on Thursday, 18 April 2013 12:59
Published Date
Jakarta, GATRAnews - Mantan anggota Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) Periode 2010-2012, Yusuf Ahmad, menghimbau semua pihak agar menerima dan menghormati keputusan kongres PB HMI ke-28, dengan terpilihnya Arief Rosyid sebagai Ketua Umum (Ketum).
"Mau tidak mau, para kompetitor kandidat-kandidat ketua umum yang terkalahkan dan semua kader harus dewasa menanggapi ini, demi tranformasi nilai dan kebaikan bersama," imbau Yusuf, di Jakarta, Kamis (18/4).
Menurutnya, kongres HMI, khususnya yang ke-28, merupakan ajang pendewasaan dan pendidikan politik kader. HMI merupakan organisasi berazaskan Islam yang bersifat independen, berperan sebagai organisasi perjuangan, berfungsi sebagai organisasi kader.
"Jadi kongres HMI ke-28 adalah ajang pendidikan perpolitikan, sarana perkaderan di dalam internal HMI. Artinya, HMI merupakan organisasi perjuangan kader bukan organisasi politik," tandasnya.
Yusuf menilai, terpilihnya Arief sebagai Ketum untuk dua tahun ke depan, karena dia mampu merebut amanah kepemimpinan, bertahan dalam retorika panjang selama kongres, serta mampu mengungguli 30 kandidat lain dari awal menyatakan maju dalam kongres.
Kongres kali ini sangat luarbiasa karena menempuh waktu paling lama dalam sejarah HMI. Namun lamanya kongres harus dilihat dari sisi pisitif, yakni sebagai ajak pendidian kader HMI agar berperan aktif, sehingga mampu berinteraksi dan melakukan negosiasi serta mencari solusi-solusi untuk menentukan arah perjuangan HMI.
"Jadi, kongres ini sebagai pendidikan politik, bukan sebagai ajang pertarungan politik yang memecah belah internal organisasi HMI," tandasnya.
Sedangkan terpilihnya Arief, Yusuf menilai merupakan bukti dia mampu merangkul semua pihak melalui kearifan, sehingga kepemimpinan HMI diamanahkan sebagian besar kader kepadanya dengan perolehan mutlak 238 suwara.
"Ini sebagai bukti kematangan pendidikan berpolitik yang di tunjukan Arief, sehingga mampu menunjukan, bahwa HMI adalah organisasi perjuangan dan perkaderan," nilanya.
Kongres kali ini, imbuh Yusuf, adalah ajang pendidikan politik bagi sebagian besar kader untuk membangun serta mengasah intelektualitas yang akan dijadikan modal awal perjuangan nyata implementasi sesungguhnya kepada masyarakat nantinya, sebagamana platform Arief, bertema "HMI untuk Rakyat". Artinya, mengembalikan para kader HMI ke tengah-tengah masyarakat. (IS)
Sumber : http://www.gatra.com/politik-1/28545-hormati-hasil-kongres-hmi-ke-28.html
Pernyataan Sikap: Kongres HMI ke-28 Tidak Sah
Kamis, 18/04/2013 11:08:20 | Shodiq Ramadhan |
PERNYATAAN SIKAP
BAHWA PROSES PELAKSANAAN KONGRES HMI KE 28 TIDAK SAH
1. PENDAHULUAN
a. Bahwa kongres HMI adalah forum dan mekanisme tertinggi organisasi dalam menentukan kebijakan yang bersifat mengikat semua unsur yang ada dalam organisasi.
b. Bahwa kongres saat ini adalah kongres ke XXVIII yang dilaksanakan dalam situasi dualisme kepengurusan PB HMI antara kepemimpinan Noer Fajrieansyah dan Basri Dodo.
c. Bahwa karena hal tersebut di atas maka kongres ke XXVIII kali ini mempunyai arti sangat penting dan strategis dalam memperbaiki dan menata kembali gerakan HMI ke depan dalam kerangka tujuan HMI yaitu: Terbinanya Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi yang Bernafaskan Islam dan Bertanggungjawab atas Terwujudnya Masyarakat Adil Makmur yang Diridhoi Allah SWT.
2. KRONOLOGIS DAN FAKTA-FAKTA
a. Kongres ke XXVIII dibuka sejak 15 Maret 2013 di Hotel Borobudur, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, maka jika dihitung (per tanggal 15 April 2013) maka kongres telah berlangsung selama 32 hari, ini adalah kongres terlama yang pernah dilakukan oleh HMI bahkan terlama dari organisasi lainnya baik skala nasional maupun internasional.
b. Kongres mulai tanggal 16-27 Maret dilaksanakan di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta Timur, namun pada tanggal 28 Maret 2013 dilaksanakan di Graha Insan Cita Depok karena Asrama Haji tidak dapat digunakan lagi sebagai arena kongres karena alasan keamanan dan kontrak yang telah dijalin oleh pihak pengelola asrama haji dengan pihak lain.
c. Alasan keamanan sebagaimana dimaksud diatas disebabkan oleh perilaku anarkis yang dilakukan oleh sebagian “peserta kongres” dengan memecah kaca-kaca ruangan yang ada di Asrama Haji terutama ruang sidang kongres.
d. Keributan dan aksi anarkis yang dilakukan oleh sebagian “peserta kongres” beberapa diantaranya disebabkan oleh masalah dualisme kepengurusan cabang-cabang yang berimplikasi pada legalitas cabang terkait untuk mengikuti kongres saat ini serta beberapa masalah lain berkaitan dengan teknis pelaksanaan kongres.
e. Beberapa masalah diatas sebenarnya mulai dapat diselesaikan secara bertahap, namun masalah lain yang bersifat laten muncul ke permukaan. Yaitu pusaran kepentingan menjadi pemenang kongres menyertai semua pihak termasuk panitia OC maupun SC yang semestinya hanya berfihak pada kepentingan dan kesuksesan pelaksanaan kongres yang baik dan berkualitas.
f. Kepentingan penanggungjawab Kongres dan Perangkat Kongres berbeda dengan kecenderungan peserta kongres yang menghendaki pemecatan saudara Noer Fajrieansyah sebagai anggota HMI sebagaimana telah dinyatakan secara terbuka oleh masing-masing cabang dalam pandangan umum cabang atas laporan pertanggungjawaban yang disampaikan oleh PB HMI. Terdapat 90 % lebih cabang yang menolak LPJ yang disampaikan sekaligus mengusulkan pemecatan saudara Noer Fajrieansyah sebagai anggota HMI.
g. Dalam hal mewujudkan kehendak dan sikap cabang diatas maka dibentuklah komisi khusus (komisi D) dalam sidang komisi yang dilaksanakan. Komisi D telah menghasilkan keputusan yang senada dengan sebagian besar peserta kongres yaitu: memecat saudara Noer Fajrieansyah dari keanggotaanya di HMI. Sebagaimana mekanisme yang ada bahwa hasil sidang komisi harus di-sah-kan dalam sidang pleno (paripurna) kongres maka semua hasil sidang komisi harus di-sah-kan di sidang pleno. Pengesahan hasil sidang komisi A, B dan C relatif lancar tanpa ada kendala yang berarti. Masalah mulai muncul dengan eskalasi yang besar ketika memasuki pengesahan hasil sidang komisi D yang menyepakati pemecatan saudara Noer Fajrieansyah dari anggota HMI sehingga menyebabkan forum deadlock.
h. Sampai tanggal 13 April kongres belum dapat dilaksanakan karena alasan belum ada tempat yang dapat dijadikan arena kongres, alasan keamanan menjadi faktor utama, baru pada dini hari tanggal 14 April kongres dapat dilanjutkan di GOR Ragunan Jakarta selatan dengan agenda pertama pengesahan hasil sidang komisi D, begitu sidang dibuka oleh presidium sidang langsung terjadi perdebatan hebat hingga berujung pada PENGEROYOKAN presidium sidang yang mengakibatkan Sdr. Saifudin (sekum Badko Jateng-DIY) mengalami luka para di wajah dan tubuh bagian atas akibat pukulan benda tumpul. Ini kembali menunjukkan bahwa kongres tidak bahwa kongres tidak steril dari anasir preman baik di luar maupun di dalam forum. Kongres deadlock.
i. Pada 15 April dini hari kongres dilanjutkan kembali. Pembahsan hasil Komisi D tiba-tiba dipaksakan untuk dihilangkan, cabang-cabang yang mencoba untuk mempertahankan pembahasan komisi D kembali mendapatkan intimidasi bahkan pemukulan dari “peserta” kongres yang lain. Ini jelas menunjukkan bahwa ada proses yang dipaksakan yaitu penghilangan pembahasan komisi D.
j. Penanggung jawab Kongres beserta perangkatnya yaitu Steering Comitte dan Organizing Comitte tidak mampu menyelesaikan masalah yang muncul sebelum Kongres dilaksanakan yaitu permasalahan kepesertaan Kongres sehingga menimbulkan anarkisme diantara calon peserta Kongres.
k. Proses pelaksanaan Kongres HMI ke XXVIII tidak berjalan dengan baik karena besarnya tekanan psikologis dan fisik dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab terutama pihak eksternal.
l. Dalam setiap tahapan pelaksanaan Kongres validasi kepesertaan berupa registrasi peserta tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga mengakibatkan forum Kongres tidak steriil.
m. Peralihan presidium sidang tidak melalui mekanisme persidangan yang seharusnya.
n. Terjadinya intimidasi mental dan fisik terhadap Pimpinan dan Presidium Sidang dalam setiap tahapan persidangan Kongres.
o. Kongres HMI telah melanggar konstitusi organisasi yang antara lain yaitu Anggaran Dasar (AD HMI) pasal 11, 12 dan Anggaran Rumah Tangga (ART HMI) BAB I bagian I pasal 10 BAB II pasal 11. Pasal 12,
3. PERNYATAAN SIKAP
Dengan adanya permasalahan-permasalahan dan fakta-fakta yang terjadi dalam pelaksanaan Kongres HMI ke XXVIII kami para Kandidat Ketua Umum PB HMI Periode 2013 – 2014 menyatakan bahwa :
a. Proses pelaksanaan Kongres HMI ke XXVIII Tidak Sah, karena tidak sesuai mekanisme dan aturan organisasi.
b. Menghimbau kepada seluruh komponen organisasi dan keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam untuk melanjutkan pelaksanaan Kongres HMI ke XXVIII.
c. Mengecam, mengutuk keras dan meminta pertanggungjawaban anarkisme didalam tubuh Himpunan Mahasiswa Islam.
d. Kami mendesak penyelesaian secara hukum atas semua aksi anarkisme yang terjadi didalam tubuh Himpunan Mahasiswa Islam.
e. Menghimbau kepada seluruh keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam untuk menjaga keutuhan Organisasi.
4. PENUTUP
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan.
Billahittaufiq wal hidayah.
Jakarta, 16 April 2013
Tertanda,
KANDIDAT KETUA UMUM PB HMI PERIODE 2013 - 2015
Adi Putra Ridwan
Asal Cab. Malang
Aulia Kosasih
Asal Cab. Depok
Agus Hilman
Asal Cab. Yogyakarta
Zuli Hendriyanto
Asal Cab. Jakarta Raya
Bebeng Ahyani
Asal Cab. Kota Salatiga
Erpandi Dalimunte
Asal Cab. Depok
Amsori
Asal Cab. Jakarta Selatan
Toni Hasibuan
Asal Cab. Jakarta Timur
Puan Rizky Wahyuni
Asal Cab. Pontianak
Kamis, 14 Februari 2013 - 13:28 WIB
Presiden: Apa Yang Dipikirkan HMI Juga Dipikirkan Pemerintah
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengemukakan, hubungan antara Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Pemerintah selama ini sangat baik. Presiden berharap hubungan baik ini dapat terus dijalin dengan siapapun presiden Indonesia nantinya.
Saat menerima jajaran Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) yang dipimpin Ketua Umum Noor Fajriansyah, di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (14/2), Presiden SBY menegaskan, apa yang dipikirkan HMI, itu juga yang pemerintah dan ia pikirkan.
“HMI ingin korupsi benar-benar bisa dicegah dan diberantas, kami pun memiliki pikiran dan ihtiar yang sama. HMI ingin agar kehidupan di negeri ini rukun dan damai, itu juga yang ingin kami usahakan. HMI ingin kehidupan masyarakat semakin religius, saling hormat-menghormati, itu pun yang menjadi agenda kami. HMI berdiri di depan untuk sebuah keadilan, termasuk untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran, maka pemerintah juga berihtiar yang sama," tegas Presiden SBY.
Kepala Negara juga menegaskan bahwa pemerintah berada di posisi yang sama dengan HMI yang menginginkan solidaritas negara Islam yang kokoh, termasuk juga dukungan untuk perjuangan Palestina. "Itu juga yang kami suarakan. Sehingga tidak ada alasan untuk kita tidak bermitra dan berkolaborasi," ujar Kepala Negara.
Oleh karena itu, lanjut SBY, tidak ada alasan apapun untuk adanya jarak antara HMI yang berada di depan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dengan pemerintah dan negara.
Saling Mengingatkan
Dalam kesempatan itu, Presiden SBY juga menyinggung sikap kritis HMI terhadap pemerintah. Ia menilai kritik yang disampaikan HMI terhadap pemerintah sangat baik. Kritik yang konstruktif itu diperlukan supaya pemerintah bisa tetap menjaga amanah dan menjalankan tugas dengan baik.
"Meskipun kritis, kita tidak harus membenci apalagi saling memaki karena politik yang kita wujudkan adalah politik yang amanah, demokrasi yang bermartabat, sesuai dengan nilai-nilai Islam dan nilai bangsa kita," pesan Presiden SBY.
Presiden juga menitipkan pesan agar di era reformasi dan demokratisasi ini, semua pihak harus saling mengingatkan untuk sama-sama menjaga idealisme, menjaga amanah yang dipercayakan rakyat.
"Perjalanan pimpinan HMI masih panjang. Saya berpesan jaga idealisme dan perilaku politik yang baik. Insya Allah, Allah akan membukakan jalan yang baik untuk adik-adik semua," ujar Presiden sembari menyampaikan ucapan terima kasih atas kontribusi HMI kepada negara selama ini.
Undang Presiden
Sementara Ketua Umum PB HMI Noor Fajriansyah menjelaskan, bahwa PB HMI akan menyelenggarakan Kongres di Jakarta, pada 15 Maret mendatang. PB HMI berharap, Presiden SBY bisa menghadiri kongres tersebut sekaligus memberikan motivasi kepada segenap peserta kongres.
Ketua Umum PB HMI itu juga memastikan, bahwa HMI akan tetap menjunjung idealisme dan mendukung gerakan mahasiswa dalam memberikan kritik kepada pemerintah. "Kongres ke-28 ini adalah suatu bentuk resolusi konkret penyelesaian masalah bangsa pada hari ini,” tutur Noor.
Pengurus PB HMI yang menghadap Presiden SBY itu antara lain Ketua Umum PB HMI Noor Fajriansyah, Sekjen Rijal Akbar Tanjung, Bendahara Umum M Syafii, dan Wakil Sekjen Hermansyah. Sementara Presiden didampingi antara lain oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menko Kesra Agung Laksono, Mensesneg Sudi Silalahi, Mendikbub M Nuh, Menpora Roy Suryo, dan Seskab Dipo Alam. (WID/ES)
HMI 63 Tahun, Riwayatmu Kini
5 Februari 2010 at 2:38 AM Hanafi Mohan 1 komentar
1947, itulah angka tahun yang harus selalu kuingat pada beberapa kali kegiatan LK-I ketika aku menjadi pemateri sejarah perjuanganmu. Itulah tahun berdirimu, tepatnya pada tanggal 5 Februari yang kebetulan waktu itu bertempat di sebuah ruangan kuliah Sekolah Tinggi Islam (STI)-Yogyakarta yang kini bernama Universitas Islam Indonesia (UII). Lafran Pane, itulah pendirimu pertama kali yang kebetulan beliau tidak sendirian, melainkan bersama beberapa orang temannya.
Pada hari ini, engkau tepat berusia 63 tahun. Sungguh usia yang tak muda lagi jika disamakan dengan usia manusia. Kini, entah sudah berapa ratus banyaknya jumlah cabangmu, dan entah sudah berapa ribu banyaknya jumlah komisariatmu di seantero nusantara. Di usia yang setua ini, entah berapa banyak pula alumnimu yang sudah menjadi pembesar negeri ini, kebanyakan memang menjadi politikus di hampir semua partai politik yang jumlah partainya juga tak sedikit. Di antara alumnimu juga ada yang menjadi cendekiawan, namun tak sedikit pula yang hanya menjadi masyarakat biasa dengan kedudukan yang biasa-biasa saja di tengah-tengah masyarakat.
Di dalam riwayat Isra’ Mi’raj dilukiskan mengenai pertemuan Rasulullah dengan seorang nenek tua. Nenek tua itu katanya sungguh cantik menawan menarik semua orang untuk mendekatinya. Tak lain dan tak bukan, nenek tua itu adalah gambaran dunia yang semakin tua semakin indah memukau membuat hampir semua manusia semakin mencintainya dan juga ingin memilikinya. Begitu juga dirimu, mungkin hampir sama dengan nenek tua di dalam riwayat Isra’ Mi’raj itu. Di usiamu yang kini semakin renta, semakin banyak saja mahasiswa yang tertarik padamu, entah tertarik karena cinta, atau mungkin hanya tertarik karena ingin memanfaatkanmu demi kepentingan pribadi atau golongan.
Sungguh telah cukup banyak beban sejarah yang kau tanggung. Bahkan dalam perjalananmu dapat dikatakan bahwa dirimu tak lulus sejarah, kadermu terpecah belah ketika berhadapan dengan rezim Orde Baru beberapa puluh tahun silam. Karena buruk muka, cermin dibelah. Begitulah kata pepatah. Tapi ini bukanlah cermin yang dibelah, melainkan badanmulah yang dibelah dua menjadi Dipo dan MPO. Beberapa kali kepengurusan pusatmu (PB atau Pengurus Besar) juga sempat terbelah-belah, hingga menimbulkan dualisme kepemimpinan.
Di era Demokrasi Terpimpin, dirimu pernah ingin dibubarkan oleh pihak penguasa. Kala itu dirimu lulus sejarah. Di saat-saat genting tersebut untungnya banyak organisasi Islam di negeri ini yang membelamu karena dirimu dianggap sebagai aset umat dan aset bangsa ini. Di era Orde Baru kembali dirimu mengalami cobaan. Kali ini sungguh dirimu tak lulus sejarah. Engkau memang tidak dibubarkan, namun engkau terpecah menjadi dua badan (Dipo dan MPO).
Pasca Reformasi, kembali kau menghadapi deraan dan cobaan. Engkau menjadi common enemy bagi hampir semua organisasi mahasiswa. Kala itu engkau dikatakan sebagai bagian dari Orde Baru atau bagian dari GOLKAR atau entah apa lagi namanya. Darahmu habis, semangatmu sirna, berjiwa elitis, selalu dekat dengan birokrasi, rapuh dan keringnya intelektualitas kadermu, serta selalu yang dikedepankan adalah politik daripada intelektualitas. Hingga salah seorang alumnimu yang tak lain adalah Guru Bangsa ini pada titik nadir kekesalannya terhadapmu sampai-sampai mengeluarkan ucapan “Bubarkan HMI!”
Riwayatmu kini tentunya jauh berbeda dari riwayatmu dulu. Di masa-masa awal berdiri, engkau selalu berpartisipasi aktif dan memberikan andil dalam mempertahankan bangsa dan negara ini. Di kala itu, engkau juga terjun langsung mengerahkan perjuangan fisik menghalau penjajah yang ingin menguasai lagi negeri tercinta ini. Sungguh di masa itu ketika usiamu masih sangat muda, engkau bergumul habis-habisan berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Di masa-masa setelah itu, engkau juga masih terus berjuang, bahkan perjuangan secara fisik melawan partai politik yang katanya anti agama. Sampai-sampai karena itu engkau juga terancam untuk dibubarkan oleh partai politik tersebut yang saat itu cukup berkuasa di negeri ini. Namun engkau kemudian terselamatkan, malahan belakangan partai politik itulah yang kemudian dibubarkan oleh Penguasa Orde Baru.
Pada era-era awal Orde Baru, engkau juga selalu berpartisipasi aktif mengajukan saran demi memajukan bangsa ini. Bukan hanya itu, engkau juga selalu mengedepankan gerakan kultural, bahkan sampai pada puncaknya yang begitu menawan. Wacana pemikiran dalam pembaharuan Islam yang kau lakukan ketika itu juga sangat memukau. Pertarungan wacana keislaman mungkin sudah menjadi keseharianmu ketika itu. Sungguh kami tersihir hingga kini jika mengenang masa lalumu yang gilang-gemilang itu. Namun sayang, mengapa pula kegilang-gemilangan itu di ujung-ujungnya mesti dibayar mahal dengan rekatnya dirimu kepada penguasa negeri ini. Karena begitu rekatnya dirimu dengan penguasa, akhir-akhirnya engkau juga kemudian harus membayar lebih mahal lagi berupa terbelahnya badanmu menjadi dua yang hingga kini sangat sulit menyatukannya kembali, walaupun kedua-dua badan tersebut saat ini azasnya sudah sama, yaitu sama-sama berazaskan Islam.
Sungguh kami di masa kini sangat merindukan dirimu mencapai lagi kegilang-gemilangan seperti halnya dirimu di masa silam yang selalu memancarkan sinar yang mencerahkan bagi seluruh persada nusantara.. Semoga pengharapan ini tak sekedar menjadi harapan hampa nan sunyi yang kemudian sirna ditelan bumi ataupun terbang melayang dibawa angin yang entah ke mana arah dan tujuannya.
Kami sadar sesadar-sadarnya bahwa tantangan yang engkau hadapi kini begitu beratnya. Kami juga mafhum jikalau tantangan di masa kini jauh berbeda dibandingkan tantangan yang dahulu kau hadapi. Namun tantangan tetaplah tantangan. Jika kini ada tantangan, tentunya dahulu juga ada tantangan. Mungkin model tantangannya saja yang berbeda. Bisa jadi tantangan dahulu lebih ringan dibandingkan tantangan yang ada sekarang. Atau jangan-jangan tantangan kini jauh lebih ringan dibandingkan tantangan dahulu. Entahlah, kami tak mau berandai-andai.
Akhirulkalam, Selamat Ulang Tahun yang ke 63 untuk HMI yang kucintai. Wahai Himpunan Mahasiswa Islam, masa depanmu masih terbentang panjang nan luas di hadapan. Berkibarlah selalu panji hijau hitamku. Umat dan bangsa menantikan karya nyatamu.
Yakin Usaha Sampai. Bahagia HMI. Jayalah selalu. [Hanafi Mohan - Ciputat, Jum'at - 5 Februari 2010]
~Tulisan ini khusus dipersembahkan untuk memperingati Milad HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang ke-63 (5 Februari 1947 – 5 Februari 2010)~
Sumber : http://thenafi.wordpress.com/2010/02/05/hmi-63-tahun-riwayatmu-kini/
Membincangkan Sejarah HMI
May 262011
Posted by Khoiril at 7:16 pm
Berbincang mengenai sejarah, tidak terlepas dari pertanyaan 5W 1H terhadap suatu kejadian, yaitu apa, dimana, kapan, mengapa, siapa, dan bagaimana. Namun kejadian itu tidak sepenuhnya bisa ditulis atau diceritakan sesuai dengan kenyataan secara utuh. Cerita terhadap suatu kejadian di masa lampau harus dipahami sebagai penafsiran ulang terhadap kejadian, bukannya kejadian itu sendiri. Harus diakui pula adanya keterbatasan informasi ataupun pandangan subjektivitas dari penulis sejarah, sehingga mengharuskan para pembaca sejarah untuk selalu bersikap kritis sekaligus memperkaya diri dengan bacaan dari penulis sejarah lainnya. Hal inilah yang perlu saya tekankan sebelum mempelajari sejarah HMI. Adapun tulisan ini dimaksudkan sebagai pemantik untuk mendiskusikan kembali sejarah HMI.
Sejarah Kelahiran HMI
Pada hari Rabu, 14 rabiulawwal 1366 H atau bertepatan dengan 5 Februari 1947 pada pukul 16.00 WIB di salah satu ruang kelas Sekolah Tinggi Islam (STI), seorang mahasiswa bernama Lafran Pane mendeklarasikan pendirian organisasi mahasiswa Islam. Dia berdiri di depan teman-temannya pada salah satu kelas tafsir Alqur’an yang diampu Prof Husein Yahya guna membacakan deklarasi pendirian organisasi tersebut. Sejak saat itu, berdirilah organisasi mahasiswa Islam pertama di Indonesia yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang turut serta mewarnai dinamika pemikiran Islam dan politik bangsa Indonesia.
Motivasi pendirian HMI, sebagaimana disampaikan oleh Lafran Pane, adalah “… sebagai alat untuk mengajak mahasiswa-mahasiswa mempelajari, mendalami ajaran Islam agar mereka kelak sebagai calon sarjana, tokoh masyarakat maupun negarawan, terdapat keseimbangan tugas dunia akhirat, akal dan kalbu, iman dan ilmu pengetahuan, yang sekarang ini keadaan kemahasiswaan di Indonesia diancam krisis keseimbangan yang sangat membahayakan, karena sistem pendidikan Barat. Islam harus dikembangkan dan disebarluaskan di kalangan masyarakat mahasiswa di luar STI. Apalagi PMY secara tegas menyatakan berdasarkan non agama …” (Saleh, 1996) .
Beberapa mantan tokoh HMI, di antaranya Agus Salim Sitompul, merumuskan latar belakang berdirinya HMI. Sitompul berpendapat bahwa berdirinya HMI terkait erat dengan realitas perguruan tinggi, kebangsaan, dan keummatan saat itu. Realitas perguruan tinggi ditandai dengan mendominasinya pendidikan barat yang bercorak sekuler. Lalu, realitas kebangsaan tampak pada upaya penjajah yang ingin kembali menancapkan kekuasaannya di tanah air. Terakhir, pelaksanaan ajaran agama yang masih dikesampingkan merupakan realitas keummatan saat itu.
Perjalanan HMI Pra 1980-an
Di masa awal berdirinya, HMI langsung bersentuhan dengan dinamika kebangsaan, yakni turut andil dalam melawan penjajah. Kalau dicermati, tujuan HMI di awal berdirinya memang mendukung langkah tersebut, yakni 1) mempertahankan negara RI dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, serta 2) menegakkan dan mengembangkan agama Islam. Banyak aktivis HMI yang ikut mengangkat senjata dan akhirnya memperoleh pangkat militer, di antaranya Ahmad Tirtosudiro dan Dahlan Ranuwihardjo. HMI juga ikut terlibat dalam upaya melawan PKI, baik melalui aksi militer maupun propaganda kepada masyarakat agar tidak terpengaruh oleh hasutan PKI. Karena keterlibatan tersebut, manajemen internal organisasi banyak terabaikan.
Pembenahan internal dimulai di awal 1950-an ketika Dahlan Ranuwihardjo menjadi Ketua Umum. Beberapa cabang baru bisa didirikan, seperti Cabang Jakarta, Cabang Bandung, Cabang Surabaya, dan Cabang Bogor. Namun tantangan HMI justru bertambah berat. Pada era 1953-1954, mulai didirikan beberapa organisasi mahasiswa underbouw partai politik, seperti GMNI (PNI) dan CGMI (PKI). Praktis, kedua organisasi ini berbeda dengan HMI dalam hal independensi dan ideologi. HMI bersikap independen dan terbuka terhadap berbagai pemikiran, sehingga tidak menjadi underbouw partai tertentu. Meskpun tetap saja muncul pandangan bahwa HMI merupakan underbouw Masyumi, salah satu partai politik saat itu. Kebencian PKI terhadap Masyumi karena dianggap sebagai penghalang revolusi, juga berimbas pada HMI. PKI, melalui CGMI, berusaha “mengganyang” HMI dengan berbagai cara. Bahkan, setelah Masyumi dibubarkan karena dianggap kontra-revolusi, PKI memiliki alasan yang kuat untuk memprovokasi Bung Karno agar HMI juga diubarkan karena organisasi ini dianggap sebagai underbouw Masyumi. Beruntunglah HMI tidak jadi dibubarkan.
Setelah aksi G 30 S yang mengalami kegagalan, PKI akhirnya mengalami kemunduran. PKI berubah menjadi sasaran kebencian dari berbagai kelompok. Pada 25 Oktober 1965, berdiri KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang bertujuan untuk mengorganisasi seluruh kelompok mahasiswa untuk melawan PKI. Di KAMI, HMI memiliki peran penting karena ide pembentukan organisasi ini memang berasal dari HMI. “Pembersihan” PKI secara militer juga melibatkan aktivis HMI. Pada masa tersebut, aktivis HMI kembali mengangkat senjata untuk “membersihkan” PKI sampai ke akar-akarnya. Keterlibatan HMI dalam “pembersihan” PKI berdampak pada citra positif HMI di mata masyarakat. Dampak lanjutannya, jumlah kader meningkat sangat signifikan.
Ketika memasuki era 1970-an, perkaderan HMI makin massif. Sistem perkaderan pun dibenahi agar lebih sistematis dan pada masa Nurcholis Madjid menjabat sebagai Ketua PB, dihasilkan dokumen Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang menjadi pedoman perkaderan HMI. Boleh dibilang, HMI secara organisasional, tidak banyak melibatkan diri dalam berbagai pergolakan mahasiswa, seperti pada Malari 1974 . Ketidakpuasan kelompok mahasiswa terhadap kebijakan ekonomi rezim Soeharto yang sangat kapitalistik mendasari berbagai aksi demonstrasi di era ini. Soeharto menanggapi aksi tersebut dengan bertindak keras, biasanya dengan menurunkan aparat militer untuk membubarkan aksi demonstran. Bahkan, rezim menerapkan NKK/BKK untuk membungkam gerakan mahasiswa. Satu hal yang tidak bisa dikesampingkan di era ini adalah banyaknya alumni HMI yang ditarik masuk ke pemerintahan , baik di eksekutif maupun legislatif.
Keterlibatan alumni HMI di pemerintahan memang bisa menjadi salah satu indikator keberhasilan perkaderan. Namun ternyata menimbulkan konsekuensi lain, yakni dijadikannya alumni HMI sebagai kepanjangan tangan rezim untuk mempengaruhi kebijakan internal organisasi. Sebagai organisasi yang independen, HMI tentu tidak ingin dikooptasi oleh pihak luar, termasuk pemerintah. Namun kedekatan pengurus dengan alumni (yang tak lain adalah bagian dari pemerintah), dibarengi dengan tekanan, nyatanya tetap bisa mempengaruhi kebijakan internal organisasi. Salah satu contohnya adalah penerimaan HMI terhadap asas tunggal (astung) pancasila.
Sikap HMI terhadap pemerintah memang tidak bisa dilepaskan dari dinamika pemikiran yang berkembang di kalangan kader. Pemikiran Islam mulai bergeser dari modernisme ke pemikiran-pemikiran alternatif . Keberhasilan revolusi Islam di Iran ikut membangkitkan semangat para aktivis Islam, termasuk di Indonesia. Berbagai gerakan-gerakan Islam di Timur Tengah, seperti Ikhawanul Muslim dan Hizbut Tahrir juga memperluas pengaruhnya ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Berbagai pemikiran dari tokoh-tokoh gerakan Islam tersebut dibaca dan didiskusikan oleh banyak aktivis HMI. Bahkan, pengaruhnya tidak hanya pada level pemikiran, tapi juga pada perilaku. Salah satu inti dari pemikiran alternatif tersebut adalah keyakinan bahwa Islam merupakan sistem paripurna yang bisa diterapkan dalam segala aspek kehidupan. Dominasi pemikiran alternatif di kalangan kader inilah yang menjadi salah satu latar belakangan penentangan HMI terhadap pemberlakuan astung pancasila.
Perjalanan HMI Tahun 1980-an dan Setelahnya
Pada Kongres ke 15 tahun 1983 di Medan, pemerintah berusaha mempengaruhi HMI agar menjadi organisasi pertama yang menerima astung, meskipun belum ditetapkan sebagai UU. Pemerintah menganggap bahwa bila HMI menerima astung, maka organisasi-organisasi lain juga akan mengikuti HMI. Namun dorongan pemerintah ini, lewat sejumlah alumni, tidak digubris oleh sebagian besar utusan cabang .
Setelah kongres 15 selesai dengan terpilihnya Harry Azhar Azis sebagai Ketua Formatur, pemerintah merasa kecolongan karena gagal mengganti asas HMI. Karena itu, pemerintah memberikan tekanan kepada pengurus PB terpilih agar pada kongres selanjutnya, astung bisa diterima. Setelah UU No.8 Tahun 1985 tentang Keormasan disahkan, maka tekanan kepada pengurus PB makin kuat. Pada rapat Majelis Pekerja Kongres dan Rapat Pleno PB pada April 1985, diputuskan penerimaan terhadap astung. Tentu saja, keputusan tersebut inkonstitusional karena pergantian asas hanya bisa dilakukan pada saat kongres. Beberapa cabang, terutama Cabang Yogyakarta, menyampaikan protes keras terhadap PB. Namun PB justru bertindak keras terhadap cabang-cabang yang menolak keputusan tersebut. Cabang-cabang yang menolak keputusan tersebut, kemudian membentuk suatu kelompok yang disebut “Majelis Penyelamat Organisasi”. Tujuan pembentukan kelompok ini adalah untuk melakukan komunikasi dengan PB dan MPK terkait kontroversi keputusan penerimaan astung, sekaligus ingin meluruskan jalannya kongres. Namun PB tidak mengindahkan kelompok ini.
Akhirnya, pada kongres ke 16 tahun 1986 di Padang, HMI mengesahkan penerimaan terhadap astung. Sebetulnya kongres ini dilaksanakan dengan berbagai siasat inkonstitusional. Cabang-cabang yang dianggap akan menolak penerimaan astung, tidak diikutkan dalam kongres. Setelah kongres selesai dengan terpilihnya dr.Saleh Khalid, maka cabang-cabang yang menolak astung akhirnya menunjuk Cabang Yogyakarta untuk mengadakan kongres pada tahun yang sama. Pada kongres tersebut, diputuskan untuk tetap mempertahankan asas Islam dan terpilih Eggi Sudjana sebagai Ketua PB.
Setelah kongres selesai, resmi pula adanya dua organisasi yang mengatasnamakan diri sebagai HMI. Namun dikemudian hari, nama HMI hasil kongres Padang sering disebut HMI Dipo , sedangkan HMI hasil kongres Yogyakarta lebih familiar dikenal dengan nama HMI (MPO) . Setelah perpecahan, kedua organisasi ini memilih jalan yang berbeda. HMI Dipo lebih dekat dengan pemerintah, sehingga lebih mapan baik secara organisasional maupun finansial. Adapun HMI(MPO) justru dicap sebagai organisasi ilegal dan kerap kali justru memperoleh tindakan represif dari pemerintah. Konsekuensinya, dalam melakukan aktivitas perkaderan dan perjuangan, HMI (MPO) harus sembunyi-sembunyi atau ada juga yang menyebutnya gerakan “bawah tanah”.
Setelah pecah, aktivis HMI (MPO) berusaha keras merumuskan pedoman organisasi, sebagaimana layaknya organisasi yang baru berdiri. Tentu yang paling mendesak dan perlu pemikiran mendalam adalah pedoman perkaderan HMI (MPO). Karakteristik aktivits HMI (MPO) yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Islam alternatif, berdampak pada pedoman perkaderan yang dihasilkan. Tidak lama kemudian, yakni pada Kongres 19 pada 1992 di Semarang, Pedoman Perkaderan HMI (MPO) atau disebut juga Khittah Perjuangan akhirnya disahkan.
Pada awal 1990-an sampai masa menjelang reformasi, aktivis HMI (MPO) turut andil dalam berbagai aksi demontrasi, meski tidak mengatasnamakan nama HMI (MPO). Strategi ini ditempuh dengan pertimbangan keamanan, sebab aparat pastinya akan bertindak represif bisa mendengar nama HMI. Untuk memberi wadah bagi aktivis HMI, maka dibentuklah berbagai lembaga kantong. Di Yogyakarta, lembaga kantong tersebut bernama LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta), yang dibentuk oleh sejumlah aktivis, seperti Anies Baswedan, Elan Satriawan, Arbain Nurbawono, Lukman Hakim, Sunarto, dan beberapa aktivitis lainnya . Di kota lain, seperti Jakarta dan Makassar, juga dibentuk lembaga kantong yang sama, yaitu FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta) dan FKMIM (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Makassar). Ketiga lembaga kantong ini merupakan poros gerakan HMI (MPO) atau disebut juga poros Jakarta-Yogyakarta-Makassar. Sejumlah isu pernah diangkat di antaranya penolakan terhadap SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) . Meski dimulai dengan gerakan yang tidak terlalu massif di Yogyakarta, namun isu ini kemudian berkembang massif setelah diikuti dengan gerakan demonstrasi di tempat lain, seperti di Jakarta dan Makassar. Akhirnya, pemerintah menghentikan SDSB untuk memenuhi tuntutan mahasiswa.
Di masa menjelang reformasi, peran HMI (MPO) tentu tidak bisa dikesampingkan. Bersama dengan organisasi mahasiswa lainnya, baik intra maupun ekstra, HMI (MPO) turut serta dalam aksi demonstrasi menuntut turunnya Soeharto. Salah satu peristiwa penting di Yogyakarta, khususnya di UGM adalah ketika KM UGM, dimana kader HMI menjadi pengurus inti dan think-thank , melakukan referendum yang melibatkan sebagian besar mahasiswa UGM. Keputusan referendum, yang turut membentuk opini publik secara nasional, ternyata membuat gerah Soeharto, yakni 83% responden referendum menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden.
Di Jakarta, juga dilakukan aksi demonstrasi yang massif bersama dengan elemen gerakan mahasiswa lainnya. Bahkan aktivitis HMI (MPO) boleh dibilang menorehkan tinta emas, karena tercatat sebagai elemen gerakan yang pertama kali bertahan untuk “menduduki” Gedung DPR/MPR. Peristiwa ini tercatat sebagai momentum heroik dalam sejarah reformasi 1998. Selain di Jakarta dan Yogyakarta, tentu gerakan-gerakan mahasiswa di kota-kota lain tentu tak kalah heroiknya. []
(tulisan ini dipresentasikan dalam Basic Training HMI Komisariat Ekonomi UGM)
Sumber : http://pbhmi.info/membincangkan-sejarah-hmi/
Rabu, 13 Juli 2011
Sejarah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI ) Cabang Palembang
Proses berdirinya HMI Cabang Palembang merupakan inisiatif dari dua orang mahasiswa Palembang yang juga merupakan pendiri HMI pertama di Yogyakarta yaitu: Dahlan Husein dan Siti Zaenah keduanya adalah mahasiswa yang berasal dari Palembang. Alasan mendirikan HMI di Palembang yaitu melihat daerah seperti Solo, Medan, Klaten sudah berdiri HMI dan Di palembang pada saat itu sudah ada perguruan tinggi Syakyakirti, maka didirikanlah HMI Cabang Palembang pada tanggal 7 April 1954 sesuai dengan keputusan PB HMI dengan status anak cabang karena pada saat itu anggota HMI yang ada di Palembang hanya 7 (tujuh) orang, sedangkan untuk mendirikan cabang penuh anggotanya harus 15 orang.
Pada tanggal 15 Oktober 1955 di sebuah ruangan Syakyakirti (sekarang ruang Fakultas Hukum di Bukit Besar UNSRI) pada pukul 10.00 WIB karena pada saat itu jumlah anggota sudah menjadi 15 orang maka diadakan musyawarah anggota dengan agenda pemilihan ketua umum. Maka terpilihlah Rusdhy Cosim sebagai ketua umum. Pada tanggal 13 november 1955 pb HMI mengeluarkan surat keputusan No:007/A/SEK/1955 mengesahkan komposisi kepengurusan HMI Cabang Palembang masa bakti 1955-1956 dengan komposisi sebagai berikut:
Pelindung : PB HMI Jakarta
Penasehat : Bp A. Zaelani
Ketua Umum : Rusdhy Cosim
Wakil Ketua 1 : A. Muthalib Yusuf
Wakil Ketua 11 : Daud Ukabi
Sekretaris : A. Rawi Razid
Sekretrasi II : A. Moch Choesnoen
Bendahara I : Sihabar
Bendahara II : Chodijah Saman
Ketua Seksi-Seksi
Penerangan : Abdulah Sidiq dan A Habinan. TN
Pendidikan : H.A Majid
Perpustakaan : Sudiro
Ada tiga kelompok yang berperan dalam pendirian HMI Cabang Palembang yaitu kelompok yang disebut dengan pemprakarsa pendirian HMI yaitu orang yang pertama kali mempunyai ide untuk mendirikan HMI di Palembang yang terdiri dari : Dahlan Husein dan Siti Zaenah, kelompok kedua disebut dengan pendiri HMI Cabang Palembang yaitu Mahasiswa yang mempunyai peran dalam proses pendirian awal HMI Cabang Palembang serta menjadi anggota HMI Cabang Palembang Yang pertama. Pendirian HMI Cabang Palembang merupakan sarana untuk mengabungkan pendidikan yang bersifat umum dan bersifat keragaman agar tidak ada lagi pertetangan (corak pendidikan Unsri dan IAIN Raden Fatah Palembang) serta sarana untuk membekali mahasiswa dalam hidup bermasyarakat.
Sumber : http://hmi-cabang-palembang.blogspot.com/2011/07/sejarah-himpunan-mahasiswa-islam-hmi.html
HARIAN PELITA
Menatap Sosok HMI
Selasa, 19 Maret 2013 |
Oleh M Fuad Nasar
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), organisasi mahasiswa tertua dan terbesar di Indonesia, menggelar Kongres XXVIII dari 15 hingga 22 Maret 2013 di Jakarta. Sejenak kita mengenang riwayat HMI yang selama 66 berkiprah di panggung sejarah Indonesia modern.
PADA 5 Februari 1947 bertepatan 14 Rabiul Awal 1366 H atas inisiatif Lafran Pane (1922-1991) di Yogyakarta berdirilah HMI. Lafran Pane waktu itu mahasiswa tingkat Sekolah Tinggi Islam disingkat STI (kini Universitas
Islam Indonesia).
Rapat pembentukan HMI di dalam salah satu ruang kuliah STI diikuti beberapa mahasiswa STI, yaitu Lafran Pane, Karnoto Zarkasyi, Dahlan Husein, Maisaroh Hilal, Suwali, Yusdi Ghozali, Mansyur,
Siti Zainah, M Anwar, Hasan Basri, Marwan, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi, dan Bidron Hadi.
Dalam Historiografi Himpunan Mahasiswa Islam Tahun 1947-1993 oleh Agussalim Sitompul, diungkapkan ide untuk mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam tidaklah tergesa-gesa, melainkan sudah muncul sejak November 1946 dan direncanakan secara matang. Dalam Anggaran Dasar HMI yang ditetapkan pertama
kali pada Kongres ke-1 HMI di Yogyakarta 30 September 1947 dinyatakan bahwa HMI adalah berdasarkan Islam. Tujuan HMI adalah: mempertegak dan mengembangkan agama Islam; mempertinggi derajat rakyat dan negara Republik Indonesia.
Tidak berlebihan Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia, Jenderal Sudirman dalam acara peringatan Dies Natalis HMI di Yogyakarta pada 6 Februari 1948 menyebut arti HMI selain (H)impunan
(M)ahasiswa (I)slam, juga (H)arapan (M)asyarakat (I)ndonesia. Menurut tokoh pendiri HMI, Lafran Pane, HMI didirikan bukan untuk memecah- belah umat dan pemuda Islam, tetapi untuk mempersatukannya. Ditegaskannya, HMI menginginkan semua mahasiswa yang beragama Islam mengenal dan menghayati agamanya serta mengamalkannya di mana pun berada. HMI bertujuan untuk mengatasi adanya jurang pemisah antara mahasiswa “agama” dan mahasiswa “umum”. Dalam masa suram demokrasi Indonesia di era Orde Lama, Partai Komunis Indonesia (PKI) sangat membenci HMI dibanding organisasi mahasiswa muslim lain seperti PMII dan IMM. HMI pada masa itu lebih menunjukkan sikap kritis-reaksioner terhadap penguasa otoriter. DN Aidit menuntut pembubaran HMI di hadapan Bung Karno pada pembukaan Kongres CGMI 29 September 1965. Dengan sistematis PKI ingin menghancurkan HMI.
Suatu hari Presiden Sukarno memanggil Menteri Agama KH Saifuddin Zuhri, memberi tahu bahwa ia akan membubarkan HMI. Kata Bung Karno, “Kalau HMI bubar, NU kan untung, PMII makin besar.”
Saifuddin Zuhri menyahut, “Soalnya bukan masalah untung atau bukan untung. Sulit buat saya selagi masih
Menteri Agama ada organisasi Islam yang dibubarkan tanpa alasan kuat! Kalau Bapak tetap hendak membubarkan HMI, maka tugasku sebagai pembantu Bapak hanya sampai di sini!” Bung Karno tercengang, Wah…tidak saya sangka kalau saudara membela HMI, ya?” katanya. KH Saifuddin Zuhri yang dikenal sebagai
tokoh terkemuka Nahdlatul Ulama (NU) itu dalam autobiografinya Berangkat dari Pesantren (1987) mencatat selengkapnya dialog dengan Bung Karno di Istana Negara yang disaksikan Hasyim Ning hingga berhasil menghalangi rencana Presiden Sukarno membubarkan HMI.
Pada masa Orde Baru, perlawanan HMI terhadap “asas tunggal Pancasila” tidak berujung pembubaran HMI, tetapi berdampak pada terjadinya disintegrasi di tubuh HMI dalam merespon isu asas tunggal tersebut. Sebagian kelompok kader HMI menghendaki agar HMI menerima asas tunggal Pancasila, sedangkan
sekelompok lainnya secara keras menyatakan penolakannya. Hingga muncullah “HMI MPO” (HMI Penyelamat Organisasi) dan HMI Dipo yang menerima asas tunggal pada 1986. Pertarungan ideologis di tubuh HMI tidak relevan lagi setelah perundang-undangan tentang asas tunggal Pancasila dicabut setelah era reformasi.
Sepanjang sejarah HMI yang penuh dinamika dan menapak jalan berliku sudah banyak melahirkan tokoh nasional,
baik sebagai intelektual, politisi, pengusaha ataupun sebagai tokoh masyarakat dalam beragam profesi. Dalam panggung politik nasional ada yang menjadi wakil presiden, menteri, pimpinan dan anggota MPR/DPR/DPD, ketua umum partai politik dan sebagainya. Selama lebih dari enam dasawarsa, HMI memberi
corak modern terhadap dinamika kehidupan intelektual bangsa Indonesia yang berwawasan keislaman dan keindonesiaan.
Sebagaimana dikemukakan Dr. Sulastomo, mantan Ketua Umum PB HMI (1963-1966), dalam Hari-Hari Yang Panjang, Transisi Orde Lama ke Orde Baru, Sebuah Memoar (2008) bahwa secara alami, HMI berpeluang besar menghasilkan lapisan intelektual, pemimpin umat dan bangsa. Semenjak kelahirannya hingga sekarang,
basis HMI berada di perguruan tinggi, baik umum maupun agama, negeri maupun swasta. Dalam tubuh HMI mengalir spirit sebagai organisasi mahasiswa, organisasi kader dan organisasi perjuangan umat Islam yang tangguh. Untuk itu para kader dan anggota HMI harus selalu memahami dan mengaktualisasikan
misi besar HMI tersebut dan menghindari konflik internal yang membawa perpecahan. Kader HMI di semua jenjang wajib menjaga jati diri dan nama baik HMI yang telah malang melintang ditempa zaman.
Dari awal lahirnya HMI mengibarkan wawasan kebangsaan di samping wawasan keislaman. Dalam mengikuti perjalanan sejarah bangsa dan negara HMI tidak pernah bergeser dari khittah sebagai
organisasi yang berdasarkan Islam. Kata “Islam” yang melekat dan menyatu dalam nama organisasi HMI, tentu bukan sekadar nama. Islam harus menjadi dasar, identitas, sumber motivasi, dan parameter bagi semua gerak langkah HMI. (Penulis adalah pemerhati sejarah dan Wakil Sekretaris BAZNAS)
Sumber : http://harian-pelita.pelitaonline.com/cetak/2013/03/19/menatap-sosok-hmi#.Ub1rdWVX6jw
Resolusi Ke HMI-an di Tahun Ke-66
03/27/2013
Tanggal 05 februari 66 tahun silam, Himpunan Mahasiswa Islam lahir di atas tanah Indonesia melalui prakarsa kakek Lafran Pane. Merupakan umur yang cukup senior bahkan lanjut di kelasnya. Mulai tahun 1947, detik demi detik, HMI berjalan menelusuri ruang-ruang kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Banyak lika-liku, bongkahan batu, jurang yang terjal, telah berhasil dilewati oleh sesosok HMI. Manis dan pahitnya kehidupan pun tidak ada yang tertinggal, atau belum pernah dirasakan oleh organisasi mahasiswa yang kata orang merupakan organisasi mahasiswa tertua di Indonesia ini.
Sampai saat ini pun lika liku kehidupan masih terus menghadang HMI di persimpangannya. Sudah merupakan suatu keniscayaan bahwa hidup penuh liku-liku, ada suka ada duka, semua insan pasti pernah merasakannya, kata lirik dangdut yang berjudul liku-liku ini. Semua jalan yang pernah di lalui oleh HMI tak pernah terlepas dari permasalahan, tantangan, gesekan entah itu internal HMI sendiri ataupun gesekan eksternal, inilah suatu keniscayaan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. HMI pernah berjuang mati-matian demi mempertahankan kemerdekaan, HMI pernah mendulang sukses, HMI pun pernah terpecah dan bergesek sehingga menelurkan dua dikotomi HMI. Kesemua kejadian yang pernah dilalui HMI merupakan keniscayaan yang harus dilewati.
HMI-KU KINI
Berbicara megenai keniscayaan suatu kehidupan, terutama kehidupan yang sedang dilalui oleh HMI dan para aktornya, kini HMI sedang berada dalam masa-masa sulit. Banyak propaganda yang ditujukkan untuk HMI, banyak isu dan wacana yang dilontarkan kepada HMI. Seakan-akan jika kita melihat pada angan-angan kita dan berkhayal setinggi-tingginya, HMI ibarat boneka barby kecil dan imut, yang dipeluk-peluk oleh pemiliknya ketika akan tidur, dijadikan teman bermain ketika dia kesepian, di buat seelok mungkin layaknya seorang putri dalam dongeng-dongen masa kecil, kemudian dicampakkan bahkan dibuang ketika ia sudah bosan.
Layaknya sebuah boneka tersebut, nasib HMI tergantung pada bagaimana aktor yang menjalankan HMI ini, dalam hal ini adalah kader. Baik burukya HMI, tergantung pada baik buruknya kader jika dalam bahasa yang dipakai oleh Parson, baik buruknya sistem sosial, tergantung pada bagaimana aktor dalam sistem tersebut dapat menjaga eksistensis sistem sosial dengan menginternalisasi nilai-nilai sistem. Anggap saja HMI ini sebagai sistem sosial, yang memiliki bagian-bagian di dalamnya, yang memiliki aktor yang menjalankan sistem ini. Dan NDP menjadi nilai-nilai yang harus terinternalisasi dalam sanubari aktor tersebut.
Mari kita tilik permasalah nyata yang ada, dualisme kepengurusan PB HMI misalnya. Adanya dualisme kepengurusan ini disinyalir merupakan implikasi atas ketidakpuasan beberapa aktor dalam permainan catur PB HMI atas ketua umum yang legal ketika itu. Entah berita akan penodaan nilai-nilai HMI yang dilakukan oleh ketua tersebut benar atau salah, terlepas dari itu, beberapa orang dalam tubuh PB HMI, memberikan reaksi atas berita penodaan tersebut. Sehingga beberapa orang kemudian mencoba mengambil alih puncuk kepemimpinan. Celakanya beberapa orang yang lain tidak menyepakati pengambil alihan kepemimpinan PB HMI.
Terlepas dari benar salahnya tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh ketua umum yang mempunyai otoritas legal formal tersebut, terlepas dari pergesekan yang ada di tubuh PB HMI, dapat diambil suatu makna implisit bahwa jika memang apa yang diberitakan terkait dengan perzinahan tersebut benar-benar terjadi, maka Nilai-nilai dasar perjuangan HMI yang memuat akan nilai-nilai keimanan, keilmuan, dan pengamalan, tidak terinternalisasi dengan baik. Suatu nilai dapat dikatakan terinternalisasi jika nilai-nilai tersebut menjadi identitas diri, dalam hal ini diaplikasikan dalam perilaku sehari-hari.
Permasalah yang ada di PB HMI tersebut merupakan contoh kecil permasalahan yang mencuat di permukaan, terlihat dengan jelas oleh para kader HMI, dan mayoritas kader HMI pun juga merasakan akan atmosfer pergesekan di PB HMI tersebut. Dan tentunya, masih banyak permasalahn-permasalahan yang tidak nampak di permukaan, mulai HMI tingkat pusat, sampai tinkat komisariat dengan berbagai varietas dan kompleksitas permasalahannya. Mulai dari permasalahan nilai-nilai dasar, ideologi, perkaderan, sampai pada permasalahan politis. Ambil saja contoh terkait dengan partisipasi HMI dalam arena perebutan kekuasaan di kampus. Sering kali kader memberikan interpretasi yang salah atas garis perjuangan HMI. Merebut kursi kekuasaan menjadi presiden BEM tingkat fakultas maupun Universitas merupakan jalan yang menurut mereka harus di tempuh HMI.
Dengan megabaikan proses perkaderan yang sebenarnya, proses perkaderan yang terinstitusionalisasi dalam pedoman perkaderan HMI, mereka dengan gagah berani membusungkan dada, mengangkat pedang tanda perlawanan kepada rival politik kampus mereka. Kemudian, segala strategi dan taktik jitu pun mereka susun dengan cerdiknya, berbagai manuver pun dilakukan demi satu tujuan, yaitu merebut kekuasaan di kampus. Merupakan suatu tujuan yang sebenarnya bukan menjadi hal yang harus di perjuangkan dengan mati-matian. Dan celakanya beberapa diantara mereka rela untuk menumpahkan darah mereka demi kursi kekuasaan, beberapa diantara mereka tidak menghiraukan tujuan perkaderan yang sesungguhnya, yaitu menjadi sesosok insan cita. Untuk merebut kekuasaan saja rela mati-matian, sedangkan untuk mewujudkan kualitas insan cita, kata “mati-matian” bukan menjadi sesuatu yang penting lagi.
Beberapa contoh di atas, menunjukkan bagaimana HMI yang bercita-citakan mewujudkan akan misi “terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang di ridhoi ALLAH SWT” masih belum sampai. Akan tetapi, bagaimanapun, harapan dan keyakinan itu selalu ada di sanubari para kader, sehingga tidak salah jika slogan HMI adalah “Yakin Usaha Sampai”. Tidak hanya sebatas yakin, akan tetapi keyakinan tersebut harus ditopang pula oleh usaha-usaha nyata.
TEORI SOSIALISASI: REFLEKSI KRITIS DINAMIKA KE-HMI-AN
Keyakinan akan sampainya misi HMI ini perlu ditopang oleh usaha-usaha nyata, usaha yang nantinya diharapkan akan mewujudkan kader-kader dengan kualitas insan cita, mewujudkan kader-kader yang berkualitas tinggi secara individu, berkualitas tinggi secara organisatoris, sehingga akan mewujudkan HMI dengan kualitas yang tinggi dan masyarakat adil makmur yang di ridhoi ALLAH SWT.
Teori sosialisasi yang akan dibicarakan ini tidak menjamin hal-hal diatas dapat terwujud, akan tetapi teori ini sedikit banyak akan menjelaskan bagaimana usaha-usaha untuk mewujudkan cita-cita tersebut yang kesemuanya tergantung bagaimana usaha aktor yang menjalankan.
Teori ini biasa juga disebut dengan asosiation differencial yang di gandrungi oleh Sutherland. Dengan teori sosialisasi ini Sutherland mencoba untuk menganalisa perilaku menyimpang dari etiologi dan epidemiologinya (penyebab dan penyebarannya). Meskipun teori ini digunakan untuk menganalisa perilaku menyimpang, secara a priori, teori ini pun juga mampu untuk memberikan analisa terhadap perilaku yang conform. Inti dari teori ini adalah semua perilaku entah itu yang anomic ataupun yang conform, merupakan hasil dari proses belajar dan/dalam proses interaksi sosial (determinasi lingkungan sosial)[1], melalui proses belajar dan berinteraksi inilah, setiap orang akan mempelajari bagaimana seharusnya mereka bertindak secara benar atau justru bagaimana penyimpangan tertentu itu dilakukan.
Apa yang terjadi di tubuh HMI dewasa ini terkait dengan permasalahan-permasalahan yang mencuat, entah itu dalam tataran PB sampai tataran Komisariat, merupakan hasil dari proses belajar para kadernya.entah itu pembelajaran dalam HMI, ataupun di luar HMI. Pun demikian dengan banyaknya kader emas yang bermunculan dari tubuh HMI, merupakan produk dari proses pembelajaran sebelumnya. Oleh karena itulah, pembelajaran yang paling mendasar di tingkat komisariat perlu untuk ditingkatkan kembali, dilakukan upaya pengawasan, mumbuat lingkungan sosial yang kondusif, yang sarat akan Nilai-Nilai dasar Perjuangan.
Dengan terwujudnya lingkungan sosial yang sarat akan nilai-nilai dasar perjuangan HMI, maka proses belajar dalam interaksi sosialnya pun berpotensi besar ikut terharumkan akan aroma wangi Nilai-Nilai Dasar Perjuangan. Jika dalam interaksi sehari-hari para kader sudah diselimuti oleh nafas Nilai-Nilai Dasar Perjuangan, maka sadar atau tidak, sengaja atau tidak, kader pun akan terselimuti pula oleh Nilai-Nilai Dasar Perjuangan, nafasnya, aroma tubuhnya, kerdipan matanya, senyumannya yang indah dan manis, dan seluruh aktivitasnya. Seorang yang secara terus menerus dekat atau bersama dengan orang yang berjualan parfum, setiap detik dia bersama orang tersebut di tokonya, meskipun dia bukan penjual parfum, akan tetapi, aroma wanginya pun akan turut bersama dia. Oleh karena itu, mari kita ciptakan lingkungan sosial kita, dengan lingkungan yang sarat akan Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI, dimulai dari diri kita masing-masing. YAKUDSA (Yakin Usaha dan Do’a Sampai) !!!
Sumber : http://hmifisipua.weebly.com/2/post/2013/03/resolusi-ke-hmi-an-di-tahun-ke-66.html
Mengasah Kembali Taring HMI
(Refleksi Milad HMI Ke 66 Tahun)
Oleh: Zamhari
Hari ini, 5 Februari 2013 adalah Milad Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) ke 66. Hari ini juga mengingatkan kita tentang tamparan keras dari senior Alm. Nurcholis Madjid (Cak Nur) Pemimpin HMI 1966-1971.
“Sebaiknya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dibubarkan saja agar tidak menjadi bulan-bulanan dan dilaknat!”. Tamparan keras tersebut disampaikan dalam seminar bertajuk Sehari Kepemimpinan dan Moralitas Bangsa Dalam Era Reformasi di Auditorium LIPI, Jakarta. (Media Indonesia, 14/06/2002).
Sebagai sesepuh organisasi mahasiswa Islam terbesar di Indonesia, HMI seperti 2 sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan dari perjalanan sejarah berdirinya bangsa Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan, HMI terus menggelorakan semangat mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Kemudian, dibawah tekanan Rezim Soeharto, HMI mampu mempertahankan Islam sebagai asas tunggal sekaligus terus berjuang meluruskan pengamalan nilai-nilai suci Pancasila yang diselewengkan pada masa Orde Baru. Penyelewengan Pancasila tersebut berdampak rendahnya martabat bangsa Indonesia dimata negara lain dan meluasnya korupsi, kolusi dan nepotisme.
Puncaknya, HMI berhasil menggulingkan rezim Soeharto tahun 1998. Tak dapat dipungkiri, sejarah mencatat kegemilangan HMI dari generasi ke generasi. Sampai saat ini, HMI telah berhasil mencetak kader-kader berkualitas seperti Abraham Samad, Jusuf Kalla, Anis Baswedan, Mahfud MD dan lain-lain. Dari keberhasilan tersebut, masih banyak “PR” yang harus dikerjakan kader-kader HMI kedepan. Yakni sesuai cita-cita HMI “Terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan ulil albab yang turut bertanggungjawab menciptakan tatanan masayarakat yang diridhoi Allah Swt.”
Makna Pemuda
Sebenarnya melihat kondisi riil saat ini, dapat dibilang kader-kader HMI dilema romantisme sejarah. Kader-kader HMI saat ini lebih cenderung mengagung-agungkan sejarah, bahkan dijadikan kekuatan untuk diskusi intelektual. Alhasil, kader-kader terkesan menggantungkan eksistensinya dari kebesaran senior, sejarah dijadikan euforia jubah untuk berlindung dari kecarut-marutan organisasi internal maupun eksternal.
Di Milad HMI ke 66 ini, moment yang sangat tepat bangun dari tidur panjang keterpurukan. Jangan sampai kader HMI menjadi potret kader intelektual “jarkoni” alias jarang nglakoni yang buta menatap masa depan.
Pujangga Arab mengatakan; “Ilaisal fata man ya qulu kana abi, wa lakinnal fata man ya qulu ha anadza”. Artinya, bukan seorang pemuda yang menyatakan ini-itu “bapakku”. Namun, pemuda adalah yang menegaskan; “inilah aku yang berkarya dan berprestasi”.
Kader pemuda-i HMI harus kembali melaungkan khittah (landasan) HMI seperti tahun 1947 sesuai konteks zaman. Anggota HMI seharusnya mampu menjiwai tujuan terciptanya HMI, yakni menjadikan masyarakat muslim kaffah dan menjunjung tinggi derajat Bangsa Indonesia. Agenda-agenda meningkatkan jiwa spiritualitas dan kereligiusan diharuskan, mengingat dua hal tersebut sebagai pondasi dasar HMI dalam mengarungi arus globalisasi. Diharapkan, HMI pun dapat menjadi panutan organisasi Islam dalam menjunjung tinggi spirit nilai-nilai otentik Islam. Jika tidak, asas Islam hanya akan tinggal nama yang akhirnya menjadi momok tersendiri bagi Ummat Islam.
Jadilah Sang Pembeda
Saat ini, miris bila menyaksikan kader-kader organisasi pemuda Islam zaman ini, hanya pandai berhura-hura. Kaburnya orientasi dan arah organisasi Islam tersurat ketika nilai-nilai otentik Islam sebagian kader mulai memudar seperti komunikasi laki-laki dengan perempuan kurang dijaga, bibir berkata kotor, sholat tidak terpelihara. Padahal shalat subuh merupakan aset terbentuknya kekuatan Ummat Islam.
Untuk itu HMI harus tampil beda di tengah-tengah krusialnya masalah dekadensi moral bangsa ini, tentu dengan berpegang teguh pada khittah HMI (Quran dan hadits). Jika kadernya “mbalelo” bagaimana bisa mewujudkan cita-cita HMI yang mulia? Setiap hari tak luput dari satupun di media massa selalu disuguhi kasus-kasus asusila seperti perkosaan, perampokan, bunuh diri, gratifikasi seks, korupsi dan lain-lain. Pertanyaannya, seberapa besar pengaruh eksistensi HMI dalam turut serta membangun masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah Swt?
Tentu perubahan besar tidak semudah membalikkan telapak tangan, perlu proses untuk melangkah kesana. Namun, tidak ada yang tak mungkin jika ghirah azzam dimulai dari dalam diri sendiri guna mewujudkan cita-cita HMI. Tak lupa “Jas Merah” juga harus kita kenakan, yakni jangan sekali-kali melupakan sejarah, ungkapan yang pernah dilontarkan Ir. Soekarno sangat urgen untuk direnungkan. Dengan sejarah kita mampu menjiwai setiap perjuangan para pendahulu kita. Hemat penulis, kader-kader saat ini harus memperkokoh hubungan vertikal dan horizontal. Hubungan vertikal terkait syariat yakni mendekatkan Allah Swt dengan shalat lima waktu terjaga dan berjamaah, shalat tahajud tidak terlupa, dhuha tak tertinggal dan puasa tak dikesampingkan.
Kedua, yakni hubungan horizontal, mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Memperkuat jalinan ukhuwah Islamiyah sesama kader, sehingga satu Marakom ibarat satu tubuh yang bila ada yang luka, yang lain ikut merasakan dan mengobatinya. Semua yang disana sudah menjadi milik bersama. Hal ini juga jelas diterangkan dalam Surah Ash-Shaffat ayat 4: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”. (QS. Ash-Shaf, 61:4)
Kader-kader HMI juga harus “melek informasi” sehingga tidak tertinggal dengan arus globalisasi. HMI diharapkan selalu menjadi penengah dalam segala independensinya tentu membela keadilan dan kebenaran serta menolong yang lemah. Seperti yang termaktub dalam ayat Al Quran diantaranya:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapatkanrahmat”.(QS.Al-Hujuraat,49:10)
“Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang. Dan bersabarlah, sungguh Allah bersama orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Anfaal, 8:46)
Jika hal tersebut sudah ditanamkan kader-kader HMI, HMI akan menjadi pembeda dari organisasi-organisasi Islam yang lain. Kader HMI sukses dalam pembinaan kader intelektual dan spiritual yang dapat mengantarkan kesuksesaan di dunia dan di akhirat.
Di Milad HMI ini, marilah kita kembali merenung, bermuhasabah apa tujuan kita berorganisasi HMI. Sudahkah pantas selama ini apa yang kita lakukan sebagai seorang muslim? Apakah perilaku, pakaian, perkataan, perasaan kita benar-benar membawa kepada cita-cita HMI yang luhur (keridhoan Allah Swt) ?
Hidup hanya sekali, jika tidak berkah, di dunia akhirat bakal susah. Semoga Milad HMI ke 66 tahun ini benar-benar dapat membawa cita-cita tuk mendapat ridho Allah Swt. Harapannya, kelak kita akan berkumpul kembali dalam syurga yang penuh kenikmatan bersama Keluarga Besar HMI dan seluruh Ummat Islam. Bercengkrama dengan Rosulullah dan dapat menatap wajah Allah Swt yang selalu menjadi kerinduan seluruh Ummat Muslim yang selalu berusaha menjadi insan ulil albab.
Yakin Usaha Sampai. Bahagia… HMI… Alfatihah…
Zamhari
Komunikasi dan Penyiaran Islam
Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga
Sumber : http://regional.kompasiana.com/2013/02/05/mengasah-kembali-taring-hmi-refleksi-milad-hmi-ke-66-tahun-525764.html
REFLEKSI 66 TAHUN HMI, ANTARA SEJARAH DAN PERUBAHAN
Oleh : Ahmad Edison
( Sekretaris Umum HMI Cabang Baubau Periode 2012 – 2013)
Tulisan ini untuk memperingati Milad HMI Ke-66 yang dilaksanakan HMI Cabang Baubau.
Merefleksi perjalanan Sejarah Himpunan Mahasiswa Islam sudah semestinya kita perlu melakukan perubahan – perubahan baik ditingkat PB HMI, Badko, Cabang, Korkom dan Komisariat, Himpunan Mahasiswa Islam dengan kondisi pergolakan sejarahnya yang melibatkan para tokoh – tokoh mahasiswa yang kehadirannya dibangsa ini dengan ide – ide cemerlangnya, yang mana salah satu tokoh mahasiswa Lafran Pane bersama empat belas temannya mencetuskan HMI lahir pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H bertepatan dengan tanggal 5 Februari 1947 M di Yogyakarta.
Mengutip ungkapan sejarawan Sartono Kartodirjo: Siapa yang mengontrol masa lampau, akan menguasai masa depan. Sebagai penjawab atau juru kunci masa lampau, sejarawan mempunyai tanggung jawab besar. Ia wajib mempertahankan baik integritas sejarah maupun integritas pribadi sendiri. Studi sejarah Himpunan Mahasiswa Islam berupa kritikan masa lampaunya, yang pada masa peristiwa itu terjadi mungkin dapat dibenarkan atau justru disalahkan, atau sebaliknya. Bisa terjadi, masa lampau Himpunan Mahasiswa Islam pada saat sekarang ini dengan alasan – alasan objektif maupun subjektif dapat disalahkan, atau karena pandangan kritis dapat dibenarkan, karena mahkamah sejarah sudah membuktikan kebenarannya. Dari dua yang pradoksal itu, integritas sejarah harus ditegakkan.
Himpunan Mahasiswa Islam ketika didirikan hanya beranggotakan lima belas mahasiswa, belum ada komisariat, belum ada cabang. Namun pertumbuhan organisasi yang didirikan Lafran Pane dan teman – temannya berkembang pesat, reputasinya menanjak dan namanya tersohor. Anggota Himpunan Mahasiswa Islam terus berkembang. Hampir di seluruh perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, terdapat organisasi Himpunan Mahasiswa Islam.
Di awal geliatnya aktivis Himpunan Mahasiswa Islam terdiri dari para mahasiswa dari perguruan tinggi seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Indonesia (UII), Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Padjadjaran (UNPAD), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Airlangga (UNAIR), Universitas Diponegoro (UNDIP), Universitas Hasanuddin (UNHAS), Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM), Universitas Brawijaya (UNBRAW), dan lain – lain. Banyak faktor yang melatarbelakangi mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi tersebut sangat berminat masuk Himpunan Mahasiswa Islam. Mungkin, saat itu Himpunan Mahasiswa Islam mempunyai daya tarik tersendiri, bisa juga karena Himpunan Mahasiswa Islam mampu memberikan kebutuhan Student Need dan Student Interest, bisa juga pada saat itu waktu kuliah yang ditempuh sangat longgar sehingga berorganisasi tidak mengganggu kuliah dan demikian juga sebaliknya.
Tanggal 5 Februari 2013 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mencapai usia 66 tahun, usia matang sebuah organisasi mahasiswa. Himpunan Mahasiswa Islam sejak berdirinya telah melewati lima Zaman yang watak dan tantangannya berbeda dan terkristal dalam citra, budaya, network, dan sistem HMI seperti sekarang ini. Walaupun melewati berbagai zaman itu, normal atau kritis, cita – cita Himpunan Mahasiswa Islam ternyata tetap seperti ketika lahir, yaitu : (1) Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan NKRI, dan (2) Menegakkan syiar Islam sebagai rahmatan lil alamin. Dengan cita – cita itu, Panglima Besar Jenderal Sudirman pernah menyatakan HMI, bukan saja berarti Himpunan Mahasiswa Islam, tetapi juga, Harapan Masyarakat Indonesia. Cita – cita itu yang dirumuskan dalam tujuan HMI, berlaku sampai sekarang : Terbinanya Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
Himpunan Mahasiswa Islam telah banyak menyimpan masa lampau yang sering dipersoalkan dan dikritik dari dalam dan luar HMI. Bukti historis adanya kritikan terhadap HMI dan masa lampaunya, terlihat transparan dari tulisan – tulisan diberbagai mass media, dari tahun 1947 hingga sekarang, dari sekian banyak tumpukan masa lampau HMI.
Berbagai usaha yang dilakukan untuk konsolidasi organisasi di masa kini sebagai masalah besar sepanjang masa, telah menempatkan Himpunan Mahasiswa Islam pada kondisi yang lebih baik dari sebelumnya, untuk berkiprah ditengah – tengah kehidupan bangsa Indonesia mencapai tujuannya. Setelah 60 tahun lebih menghadirkan dirinya ditengah – tengah kehidupan bangsa Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam telah merupakan realitas dan bagian bangsa Indonesia kata Akbar Tanjung. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa sejarah Himpunan Mahasiswa Islam adalah bagian logis dari sejarah bangsa Indonesia. Memisahkan sejarah Himpunan Mahasiswa Islam dengan sejarah nasional kita bukan saja tidak mempunyai dasar historis, tetapi juga bertentangan dengan fakta historis. Himpunan Mahasiswa Islam lahir dari kerangka aktualisasi nilai – nilai Islam. Islam dipahami dan ingin diaktualisasikan pada ruang sosial yang bernama Indonesia.
Nurcholish Madjid ketika menulis untuk menyambut Dies Natalis ke-43 HMI menyebutkan :
“ Jika tahun 1966 disebut, maka asosiasi pertama seorang Indonesia ialah kepada satu angkatan yang sangat erat kaitannya dengan tumbangnya Orde Lama dan Lahirnya Orde Baru. Dan kalau kita pusatkan perhatian kita hanya kepada KAMI ( Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia ) saja, maka peranan dominasi HMI sangat nyata. Bahkan tidak berlebihan penilaian banyak pengamat bahwa sebenarnya KAMI adalah paralel, jika tidak identik dengan HMI. Suatu hal yang menimbulkan kecemburuan banyak kalangan.”
Ungkapan Akbar Tanjung maupun Nurcholish Madjid tersebut, menandakan bahwa Himpunan Mahasiswa Islam dalam kiprah perjuangan menunjukan sangat aktif, melebihi organisasi mahasiswa yang lain. Akan tetapi bagaimana kondisi HMI di tengah realitas kehidupan bangsa Indonesia sekarang ini? Himpunan Mahasiswa Islam sejak tahun 1980 sampai sekarang, yang mana sejak tahun 1979 HMI kiprahnya masih menonjol, namun memasuki tahun 1980, mengalami degradasi baik secara organisatoris, aktivitas, dan pemikiran. Jika degradasi ini disepakati, maka pembahasannya semakin jelas, dan evaluasi atau kritikan yang dilakukanpun dapat memenuhi sasaran yang semestinya.
Usia yang lebih dari setengah abad tentu memberikan makna tersendiri bagi organisasi. Secara positif, organisasi ini pasti telah dewasa karena banyak pengalaman. Tetapi di balik kedewasaan itu, tentu organisasi ini banyak menghadapi kendala yang bisa menghambat perkembangannya. Hal ini mengingatkan pada pandangan sosiolog Muslim Ibnu Khaldun yang mengungkapkan tentang teori siklus negara (organisasi), dimana organisasi hadir (lahir), mengalami fase maturitas (kedewasaan) dan fase penuaan (penurunan), sebelum akhirnya kematian. Pandangan tersebut memang sederhana tetapi sarat pesan, bahwa apabila organisasi ingin abadi, maka jangan terjebak untuk segera masuk pada fase penuaan. Maka, dalam konteks inilah, sangat dapat dipahami pandangan yang menekankan bahwa Himpunan Mahasiswa Islam harus melakukan revitalisasi, reaktualisasi dan rejuvenasi (penyegaran kembali) dalam Refleksi 66 tahun HMI.
Catatan :
1. Agussalim Sitompul. 44 Indikator Kemunduran HMI, Suatu Kritik dan Koreksi untuk Kebangkitan Kembali HMI. (Jakarta: Penerbit Misaka Galiza). 2005.
2. Solichin. HMI Candradimuka Mahasiswa. (Jakarta: Penerbit Sinergi Persadatama Foundation). 2010.
3. Jurnal Gagasan Vol.1 No.1 th. 2010. Untuk Apa Berpolitik, HMI, Politik dan Intelektualisme. (Jakarta: Penerbit Sinergi Persadatama Foundantion).2010.
4. Pengurus Besar HMI. Hasil – hasil Kongres XXVI di Palembang tanggal 28 Juli – 5 Agustus 2008. (Jakarta : Penerbit PB HMI). 2008.
5. Ahmad Edison. Ditulis tanggal 4 Februari 2013 di Baubau.
Diposkan oleh ahmad edison edi di 20.54
Sumber : http://ahmadedison.blogspot.com/2013/02/refleksi-66-tahun-hmi-antara-sejarah.html
Refleksi 66 Tahun HMI: Membangkitkan Krisis Intelektual HMI Dengan Gerakan Intelektual Kreatif
Oleh: Nur Rachmansyah
Pada tanggal 5 Februari 1947 bertepatan dengan 14 Rabiul awal 1366 H telah di deklarasikan berdirinya sebuah organisasi mahasiswa Islam yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Lahirnya HMI di kala itu diprakarsai oleh Lafran Pane, mahasiswa dari Sekolah Tinggi Islam (STI). Konon, menurut catatan sejarah, HMI lahir di dalam ruang kuliah pada saat perkuliahan sedang berlangsung. Selain itu juga situasi politik, ekonomi, sosial, pendidikan, agama dan kebudayaan jugalah yang turut mematangkan kelahiran dan keberadaan HMI pada masa itu. (Nef Saluz, 2009: 33)
Menurut Agussalim Sitompul, salah seorang alumni HMI yang selama ini aktif menulis sejarah HMI, faktor mendasar berdirinya HMI sekurang-kurangnya ada tiga hal. Pertama, adanya kebutuhan penghayatan keagamaan di kalangan mahasiswa Islam, yang sedang menuntut ilmu di perguruan tinggi, yang selama itu belum mereka nikmati sebagaimana mestinya. Karena pada umumnya mahasiwa Islam belum memahami dan kurang mengamalkan ajaran agamanya, sebagai akibat dan kondisi pendidikan dan kondisi masyarakat kala itu. Kedua, Tuntutan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, yang ingin melepaskan diri, bebas sebebas-bebasnya dari belenggu penjajahan. Ketiga, Adanya Sekolah Tinggi Islam (STI) yang kini menjadi Universitas Islam Indonesia (UII), sebagai ajang dan basis mahasiswa Islam saat itu. Apalagi secara sosiologis bangsa Indonesia mayoritas berpenduduk Islam. (Sitompul, 1997:12)
Satu hal yang harus diakui dari kelahiran dan eksistensi HMI dalam sejarah kemahasiswaan di Indonesia adalah dalam bidang intelektualisme Islam. Deliar Noer, Nurcholis Madjid, Ahmad Wahib, dan Dawam Rahardjo ialah nama-nama yang pernah dibesarkan oleh HMI. Kebesaran HMI antara lain karena ketekunannya dalam melakukan kaderisasi bidang intelektual. Saat itu HMI berhasil menampilkan diri sebagai organisasi mahasiswa yang berani melakukan trobosan intelektual dengan pemikiran alternatif yang mampu mencairkan kebekuan pemikiran Islam pada masa itu. (Ghazali, 1997: 568)
Pada tahun 1970-an misalnya, pucuk pimpinan HMI yang diwakili Nurcholis Madjid (Cak Nur) sudah mampu menerobos pemikiran Masyumi, yaitu dengan mengeluarkan gagasan fenomenal ‘Islam Yes, Partai Islam No’. Betapa pun banyak yang tidak setuju dengan gagasan Cak Nur kala itu. Tetapi, akibat pengaruh dari gagasan tersebut, banyak partai dan ormas melakukan deideologisasi karenanya.
Kini 66 tahun sudah semenjak berdiri, bisa jadi, sejarah di atas hanyalah sekedar contoh, betapa HMI pernah mewarnai khazanah pemikiran intelektual. Karena melihat tiga dasawarsa terkahir, tradisi intelektual itu telah meredup. Dan, kini rasanya sangat sulit mencari indikator bertahannya tradisi HMI secara intelektual. Bahkan tidak salah apabila dikatakan bahwa tradisi intelektual HMI kini telah menjadi butiran sejarah atau kenangan manis masa lalu.
Dekadensi Intelektual
Pada era HMI saat ini, tampaknya tradisi intelektual HMI tidak sekadar meredup tapi sudah bisa dikatakan hampir menghilang. Para aktivis HMI saat ini sudah tidak tertarik lagi dengan suasana intelektual dan forum-forum diskusi. Bisa di lihat pada diskusi atau training-training yang diadakan oleh Komisariat maupun Cabang sungguh sepi dari peminat. Saya merasakan sendiri, dikala acara yang benuansa intelektual, minat kader HMI untuk berpartisipasi sangat minim. Seperti pada waktu yang lalu, saya mengikuti sekolah filsafat yang diselenggarakan oleh HMI Cabang Yogyakarta. Peserta dari sekolah tersebut sangat sedikit bahkan bisa dihitung jari. Hal tersebut sebenarnya tidaklah sebanding dengan kuantitas kader HMI di wilayah Cabang Yogyakarta yang sangat banyak. Saya juga memperhatikan, kalau pun ada diadakan diskusi atau forum-forum intelektual itu hanyalah sebatas rutinitas belaka. Tidak ada folow up atau gagasan yang brilian lahir dari forum-forum tersebut. Bahkan, dari cakupan yang lebih luas lagi, bisa dikatakan juga bahwa seluruh kegiatan HMI berkutat pada rutinitas belaka. Saat ini HMI hanya berkutat dalam pergantian kepengurusan, mengadakan training, diskusi, demontrasi, dan lain-lain, yang hanya menghasilkan orang-orang yang pintar berpidato dan bersidang. Barangkali benar, apa yang menjadi kritik dari sebagian alumni, kalau kualitas HMI sekarang sudah jauh daripada dahulu.
Bahkan yang menjadi paradoks di dalam HMI, saya melihat kader-kader HMI itu justru banyak yang lebih suka terhadap kegiatan yang sifatnya ceremonial dan hiburan belaka. Contohnya, ketika diadakan kegiatan futsal atau pun refresing, maka banyak sekali kader yang ikut serta. Itu tidak sebanding peminatnya ketika pada saat diadakan diskusi, seminar, training atau pun kegiatan yang bersifat intelektual lainnya.
Gerakan Intelektual Kreatif
Saya tertarik dengan sebuah opini dari saudara Bhima Yudhistira, kader HMI Cabang Sleman, yang ada di HMINEWS.COM berjudul “Komunitas Keatif Untuk Apa?”. Dalam opininya, saudara Bhima mengkritisi tentang komunitas kreatif yang telah digagas oleh Pengurus Besar (PB) HMI. Saudara Bhima mempertanyakan seperti apakah sebenarnya kominitas kreatif yang dimaksud oleh PB HMI. Apakah semacam perkumpulan art-designer yang gemar corat-coret dan membuka distro? Atau berpikir untuk kemajuan pemikiran di HMI secara kreatif? (HMINEWS, Bhima Yudistira: 18 April 2012)
Menanggapi opini dari Bhima Yudistira, sebenarnya saat ini di HMI sudah ada bentuk dari komunitas kreatif. Saya mengambil contoh seperti, Komunitas Belajar Menulis (KBM) yang dipelopori oleh Ahmad Sahide. KBM ini adalah salah satu komunitas kreatif yang dimiliki HMI saat ini. Betapa tidak, adanya KBM cukup memberikan angin segar di tengah miskinnya kreativitas HMI. Secara umur KBM masih sangat relatif muda yang lahir sekitar bulan Desember 2010, tetapi KBM sudah membuktikan dengan melahirkan karya-karya intelektual. Sudah lahir beberapa karya dari KBM antara lain berupa buku, ‘Kusimpan Kau Dalam Puisi’, ‘Pesan Mama Tentang Kematian Yang Indah’, serta beberapa tulisan anak KBM yang dimuat oleh media, koran dan majalah.
Menurut saya, sebenarnya adanya KBM ini haruslah direspon oleh HMI secara keseluruhan. Untuk menopang keintelektualan HMI, tidak bisa diharapkan hanya menjadi tanggung jawab dari struktur HMI saja. Tetapi harus ditanggapi oleh seluruh kader HMI, untuk bisa membuat berbagai macam komunitas kreatif. Silahkan kader HMI membuat komunitas kreatif, dalam ranah apa pun. Bagi kader HMI yang suka menulis, bisa membuat komunitas menulis. Bagi kader yang suka menonton film, bisa membuat komunitas pencinta film. Untuk kader yang suka filsafat, silahkan membuat komunitas kajian filsafat. Yang jelas, komunitas apa pun dapat dibuat sesuai dengan minat dan bakat. Dan yang terpenting adalah komunitas kreatif tersebut bisa menunjang intelektualitas kader HMI.
Adanya komunitas kreatif, itu membuktikan bahwa masih ada intelektual kreatif, meskipun dalam jumlah yang kecil. Tetapi alangkah lebih baiknya jika saat ini HMI memiliki banyak komunitas kreatif. Untuk PB HMI, yang sudah menggagas dari gerakan komunitas kreatif ini, diharapkan bisa membumikan lagi wacana tersebut. Apabila komunitas keatif tersebut bisa berjalan dengan lancar secara tekun, maka tidak menutup kemungkinan bahwa HMI saat ini bisa kembali melahirkan tokoh-tokoh intelektual. HMI harus tetap optimis dan berusaha, bahwa sebenarnya HMI bisa kembali seperti pada masa keemasan HMI.
Paradigma ‘Intelektual Profetik’
Menurut saya, gerakan intelektual kreatif saat ini haruslah memiliki landasan keintelektualan. Agar secara pondasi intelektual, gerakan intelektual kreatif juga memiliki landasan paradigma yang kuat. Jadi secara objektif ada indikator yang kongkrit sebagai paradigma dan standarisasi intelektual, yang menjadi landasan dari gerakan intelektual kreatif. Saya di sini menawarkan untuk memberikan standarisasi tersebut, yaitu dengan gagasan paradigma ‘intelektual profetik’.
Intelektual profetik adalah sebuah akronim. Pengabungan dari dua kata yang diserap dari bahasa inggris yakni kata intelectual (orang pandai, teknokrat, moralis) dan Prophet (Nabi). Apabila diartikan menggunakan bahasa Indonesia, intelektual profetik akan memiliki arti sebagai orang pandai atau ilmuwan dengan paradigma kenabian. Serta di dalamnya ada sosok yang mencirikan kenabian. Dalam artian, intelektual profetik ialah seorang yang memiliki konsep agama dalam menjalani kehidupannya. Segala sudut pandangnya terhadap persoalan dunia selalu berdasarkan pada ajaran nabi. Segala perkataan dan perbuatannya selalu merujuk pada perkataan dan perbuatan yang dicontohkan oleh nabinya.
Sebenarnya Al-Qur’an juga telah menjelaskan bagaimana ciri dari intelektual profetik tetapi dengan bahasa ulil albab. HMI pun secara eksplisit sudah menyebutkan “membentuk insan ulil albab” sebagai tujuan organisasi. Menurut saya, bagaimana jika HMI juga menafsirkan ulil albab tersebut menjadi intelektual propetik. Intelektual yang mampu menyelaraskan antar hasil penalaran akal dengan hasil penalaran wahyu. Jadi seharusnya dalam perkaderannya, HMI diharapkan mampu menciptakan kader-kader yang mempunyai paradigma kenabian. Dengan kata lain sosok yang tercermin dalam seorang kader dapat memposisikan diri sebagai intelektual profetik.
Jadi, dalam konteks kekinian, HMI perlu merefleksikan urgensi gerakan intelektual kreatif. Dan gerakan intelektual kreatif tersebut memiliki landasan paradigma intelektual profetik. Intelektual yang memiliki jiwa atau semangat kenabian.
(Kader Himpunan Mahasiswa Islam Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (HMI FH UII), Anggota penggiat Komunitas Belajar Menulis (KBM).)
Sumber : http://thephinisipress.blogspot.com/2013/02/refleksi-66-tahun-hmi-membangkitkan.html
MENGILHAMI 66 TAHUN PERJUANGAN HMI
Selayakyaknya sebuah organisasi pastilah memiliki dasar dan tujuan yang melandasi berdirinya organisasi itu. Dalam rahim pergolakan revolusi pasca kemerdekaan dalam mempertahankan kemerdekaan NKRI dan kejumudan pemikiran-pemikiran keislaman baik secara nasional maupun universal HMI lahir ditengah-tengah masyarakat Indonesia dengan dua tujuan utamanya, yaitu mempertahankan kemerdekaan NKRI dan mempertinggi harkat derajat bangsa dan rakyat Indonesia dan menyiarkan ajaran Islam di Indonesia.
Dua tujuan awal HMI berdiri yang tertuang dalam pasal 4 anggaran dasar HMI “terbinanya insane akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT” saat ini sudah menjadi klise dikalangan kader-kader HMI. Suatu ungkapan yang sudah menjadi klise akan tidak terlihat maknanya.
Perlu dicermati bahwa tanggung jawab yang besar dalam mengemban tujuan tersebut hanya dapat terwujudkan dengan kerja nyata membentuk anggota-anggota HMI agar dapat menjiwai segala khitah perjuangan HMI. Disinilah perkaderan menjadi fungsi HMI dalam menopang pribadi-pribadi kader HMI agar menjiwai nilai-nilai keislaman, keindonesiaan dan kemahasiswaan sekaligus tanpa adanya split personality. Segala bentuk rekayasa dalam membentuk kejiwaan tersebut harus dilangsungkan terus menerus, sistematis, dan bersifat kontemporer. Karena di dalam bentuk rekayasa tersebut kader-kader HMI dapat dipupuk nilai-nilai kemanusiaannya dalam konsekuensinya sebagai kader umat dan kader bangsa.
Mengingat kembali sambutan Almarhum Lafran Pane pada peringatan Dies Natalies ke-22 HMI Cabang Yogakarta di gedung Seni Sono tanggal 5 Februari 1969, mengatakan bahhwa yang membedakan HMI dengan organisasi lain adalah perkaderan, dimana kader yang dihasilkan HMI adalah anggota yang berwawasan keislaman, keindonesiaan dan kemahasiswaan dengan lima kualitas insane cita dan bersifat independen.
Mengilhami dari sambutan yang diungkapkan oleh Alm. Lafran Pane pada secara eksplisit menerangkan bahwa Himpunan ini menyatukan nilai-nilai kepribadian kader HMI sebagai umat muslim dan warga negara Indonesia dalam bingkai kemahasiswaan. Sehingga kader HMI adalah kader yang memiliki kesatuan penjiwaan dalam aktifitasnya yang membawanya kepada unity personality.
Umur HMI kini sudah mencapai 66 tahun. Usiia lebih dari setengah abad. Secara positif, organisasi ini pastilah sudah sangat dewasa karena sarat dengan pengalaman. Tetapi dibalik kedewasaan itu, tentu organisasi ini banyak menghadapi kendala yang bisa menghambat perkembangannya. Hal ini mengingatkan saya kepada pandangan sisiolog Muslim Ibnu Khaldun yang mengungkapkan tentang teori siklus negara (organisasi), dimana organisasi hadir (lahir), mengalami fase maturitas (kedewasaan) dan fase penuaan (penurunan). Sebelum akhirnya kematian. Pandangan tersebut memang sederhana tetapi sarat akan pesan, bahwa apabila organisasi ingin abadi maka dalam konteks inilah sangat dapat dipahami pandangan yang menekankan bahwa HMI harus melakukan revitalisasi, reaktualisasi dan rejuvenansi (penyegaran kembali).
Jika dilihat pada saat memasuki tahun 1980-an, HMI mengalami penurunan, baik secara organisatoris, aktifitas, dan pemikiran. Ada kecenderungan HMI bergerak menuju organisasi massif. Mengutip pernyataan Prof Ahmad Syafii Maarif (mantan ketua umum Muhammadiyah yang juga alumni HMI) kemunduran yang terjadi sejak tahun 1980-an adalah karena konflik internal yang cenderung lama penyelesaiannya, kemelut HMI pada tahun 1985 cukup menguras energy kedua belah pihak yang berbeda pandangan. Yang akhirnya kekuatan moral dan intelektual HMI tidak mungkin dikembangkan secara optimal.
Problematika yang terjadi pada saat ini bisa dikatakan tidak terlalu jauh dari segala kritik-kritik yang terjadi pada masa sebelumnya. Secara factual dinamika yang terjadi saat ini di tubuh HMI menimbulkan berbagai macam pertanyaan. Apakah organisasi ini akan tetap hidup dalam memperjuangan tujuan yang belum usai hingga sampai saat ini?.
Sudah seharusnya segala kritik tersebut dijadikan injeksi penyemangat HMI untuk bangkit sebagai organisai yang senantiasa muda dan dewasa guna merespon perkembangan zaman sekaligus memberikan tawaran solusi atas problem zamannya guna menjemput masa depan yang lebih cerah dan gemilang. Kesadaran untuk bangkit ini terlihat tidak begitu kentara bila dibandingkan dengan kesadaran untuk memanfaatkan organisasi ini untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Keberingasan dan arogansi kelompok yang terhimpun dalam satu himpunan ini terkesan meniadakan persatuan himpunan dalam rangka kerja besar organisasi menuju tujuan HMI.
Dinamika dalam organisasi mutlak diperlukan guna mengasah potensi kader-kader HMI sebagai calon pemimpin masa depan. Tetapi yang sangat disaayangkan dinamika tersebut lebih banyak dan cenderung kepada internal organisasi yang berpotensi memecahbelah organisasi, hal ini sudah disinggung dalam kutipan Prof. Ahmad Syafii Maarif. Dinamika yang seharusnya kita lakukan adalah mencari musuh di luar dalam arti memusuhi segala sesuatu yang di-Thagut kan dan yang menindas kaum yang lemah. Selain juga pergulatan dalam dinamika persaingan dengan organisasi mahasiswa lainnya dalam wilayah intelektual, karya dan daya tarik organisasi.
Sesungguhnya kita memiliki pedoman Quran, hadist dan AD ART dalam menjalankan roda organisasi. Menghayati perjuangan 66 tahun organisasi sudah seharusnya kita berfikir kembali apa yang sudah kita berikan terhadap kemajuan organisasi dan mengintropeksi kembali diri kita apakah sebagai kader HMI segala tindakan kita saat ini ataupun yang akan dilakukan justru akan mnghancurkan organisasi demi kemenangan kecil (kelompok tertentu) dengan mengorbankan kemengangan besar (menuju tujuan HMI).
Bekerja sesuai dengan pedoman yang berlaku, menciptakan suasana yang kondusif dalam perkaderan HMI, menempatkan perjanjian primordial kita sebagai kader HMI di bawah perjanjian primordial kita kepada Tuhan, dan kerja keras, nyata, tuntas dan ikhlas dalam tanggung jawab kita sebagai kader HMI terlebih pemangku jabatan structural di HMI. Hayatilah perjuangan para faunding fathers Himpunan ini dalam perjuangan mereka untuk terus menghidupi himpunan ini, berfikirlah kita semua kembali atas apa yang telah kita lakukan kepada Himpunan ini. Sesungguhnya perjuangan kita akan selalu dicatat dalam sejarah perjuangan organisasi HMI. Sekarang kita hanya tinggal memilih apakah kita akan masuk dalam sejarah pro-status quo, sejarah tinta emas perjuangan HMI atau justru dosa sejarah karena turut serta dalam memecah belah Himpunan. Marilah kita renungi bersama. Karena sessungguhnya Tuhan tidak akan merubah nasip suatu kaum, jika kaum tersebut tidak berusaha untuk merubahnya.
RENALDY PERMANA
KETUA UMUM HMI CABANG JAKARTA TIMUR
PERIODE 2012-2013
Sumber : http://www.hmi-jakartatimur.or.id/berita/opini/100-mengilhami-66-tahun-perjuangan-hmi
Kongres HMI
Kongres Lama Benar
Penulis: Irman Abdurrahman
Sempat molor hingga 20 hari, Kongres ke-28 Himpunan Mahasiswa Islam akhirnya ditunda. Cakar-cakar politik praktis mengancam keberadaan organisasi.
TUA-TUA keladi, makin tua makin menjadi. Itulah Himpunan Mahasiswa Islam. Menginjak usia ke-66 tahun, organisasi mahasiswa yang usianya hanya dua tahun lebih muda dari Republik itu, semakin 'canggih'—dalam berkonflik. Kongres ke-28 yang rencananya digelar 16−22 Maret 2013 di Asrama Haji Pondok Gede molor tak keruan. Hingga berita ini ditulis, atau lebih daripada 20 hari, Kongres yang sudah sempat dipindahkan ke Gedung Graha Insan Cita, di Depok, tak jua kelar. Inilah kongres terlama dalam sejarah HMI.
Kisruh saat berkongres sebenarnya sudah menjadi tradisi buruk kader HMI. Rebutan palu sidang, saling gebrak meja, hingga lempar kursi bukan pemandangan aneh di arena kongres.
Intervensi senior jelas bukan kabar burung. Para kandidat membutuhkan banyak "gizi" untuk menang, dari membiayai kedatangan peserta kongres hingga menjamu mereka dalam lobi, mirip partai politik. Isu primordial berupa dukungan senior kepada kandidat dari asal daerah atau kampus yang sama juga kerap menjadi faktor liatnya konflik.
Kericuhan antara lain tergambar saat Kongres memasuki hari kesepuluh. Dalam Pleno II, lebih daripada 190 cabang menyampaikan pandangan terhadap laporan pertanggungjawaban Ketua Umum Pengurus Besar HMI Noer Fajrieansyah dan Pejabat Ketua Umum Basri Dodo. Mayoritas pengurus cabang berang bukan kepalang. Mereka menilai Fajrie dan Basri tak becus mengendalikan roda organisasi.
Bahkan, keduanya kena tuding telah mencoreng-moreng citra HMI. Isu tak sedap—berhubungan di luar nikah dengan kader perempuan HMI—menerpa Fajrie. Sedangkan Basri—yang didaulat Majelis Pengawas dan Konsultasi sebagai Pejabat Ketua Umum pada Juni 2012—terlibas persoalan karena ikut hadir dalam acara peringatan HUT Kemerdekaan Israel di Singapura, 25 April 2012.
Sidang pleno kacau. Secara sepihak presidium sidang lantas mengetuk palu, tanda sidang diskors. Mereka pun menghilang tak jelas rimba. Peserta bingung dan kesal. Akibatnya, fasilitas gedung di Aula Serbaguna Asrama Haji Pondok Gede menjadi sasaran kemarahan. Kursi-kursi dibanting. Kaca-kaca dipecahkan.
Penundaan sidang terjadi berkali-kali. Panitia dan pengarah Kongres sulit ditemui. Ini yang membuat peserta makin meradang.
Kongres kemudian dipindahkan dari Pondok Gede ke Graha Insan Cita, Depok, gedung yang dikelola yayasan milik kader senior HMI, Akbar Tandjung. Tapi sayang, kisruh ternyata tak ditinggal di Pondok Gede. Fajrie merasa perpindahan lokasi Kongres merupakan intervensi Akbar. Walhasil, dia dan panitia Kongres merasa tak bertanggung jawab lagi. "Intervensi ini sudah terlalu jauh, di luar batas normal," kata Fajrie kepada Debi Abdullah dari SINDO Weekly.
Sumber SINDO Weekly mengatakan peta pertarungan mengerucut pada kubu Fajrie melawan kubu "asal bukan Fajrie". Kubu non-Fajrie, kata sumber itu, tak tunggal. Ada Agus Hilman (Yogyakarta) yang disokong Akbar; Mulyadi (Pontianak) yang didukung Bupati Kutai Timur Isran Noor dan tokoh non-HMI Osman Sapta Odang; serta Muhammad Arief Rosyid (Makassar Timur) yang kabarnya beroleh restu Jusuf Kalla; dan Nur Rendra Bagas Prakoso dari kubu Anas Urbaningrum. Sementara Fajrie, kata sumber itu, berani mencalonkan diri kembali karena mendapat dukungan pihak Cikeas, elite politik nonformal HMI dari kubu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Elite-elite inilah yang menggerakkan remote control untuk mengendalikan para kandidat."
JANGAN COBA-COBA JINAKKAN HMI
Selama Kongres, tak bisa dipungkiri, Fajrie menjadi sasaran tembak. Dalam sidang Komisi D yang khusus membahas persoalan luar biasa, mayoritas peserta menuntut pemecatan Fajrie dari keanggotaan HMI. Selain isu asusila, Fajrie dianggap menjual HMI ke Istana. Dia dikabarkan tertangkap tangan akan membentangkan spanduk anti-Anas pada acara pelantikan pengurus Korps Alumni HMI di Jakarta beberapa waktu lalu. "Semua itu bertujuan menjegal saya maju kembali menjadi ketua umum," kata Fajrie membantah.
Keputusan memecat Fajrie tak kunjung dicapai. Meski mayoritas, cabang-cabang anti-Fajrie tampak tak berdaya menguasai sidang. Fajrie, menurut sumber, piawai membuat ricuh sidang dan memaksakan deadlock. Isu pemecatan pun menyandera Kongres hingga tak berujung pangkal. "Cabang-cabang belum mau memilih ketua umum sebelum Fajrie dipecat," kata Andito Suwignyo, bekas fungsionaris PB HMI yang mengamati Kongres.
Koordinator Majelis Pengawas dan Konsultasi PB HMI—organ yang pernah memecat Fajrie pada Juni 2012 karena isu asusila—Mahya Ramdhani menepis pandangan bahwa Kahmi mengintervensi Kongres. Alumni turun gelanggang justru untuk menyelamatkan HMI dari pihak luar yang berupaya menyetir organisasi. "Siapa pun akan kecewa jika mencoba menjinakkan HMI.
Senin pekan ini, Kongres akhirnya ditunda. Kelanjutannya tak jelas. PB HMI sudah mati suri. Kini, mandat ada di tangan pengurus cabang dan badan koordinator wilayah. Peserta Kongres, kader dari penjuru Tanah Air, dikabarkan letih. Motivasi hilang sudah. Yang tersisa tinggal harapan agar organisasi besar ini tak karam dilindas kepentingan politik praktis. "Saya sedih. Kalau dibandingkan zaman saya dulu, kualitas HMI jauh menurun," kata Solichin (74), sesepuh HMI.
Sumber http://www.sindoweekly-magz.com/artikel/6/ii/11-17-april-2013/indonesia/174/kongres-lama-benar
HARIAN PELITA
HMI Diharapkan Terus Mampu Lahirkan Pemimpin Bagi Umat dan Bangsa
Senin, 4 Februari 2013 | Milad HMI ke-66
Jakarta, Pelita
Perjalanan 66 tahun Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) telah menorehkan tinta sejarah di pentas nasional. Banyak tokoh nasional dan lokal telah dilahirkan oleh organisasi yang lahirnya diprakarsai oleh Lafran Pane ini. HMI pun diharapkan tetap dapat memberikan kontribusinya dalam mengisi perjalanan bangsa.
Mantan Ketua Umum PB HMI Akbar Tandjung berharap HMI bisa terus melahirkan pemimpin-pemimpin di setiap bidang, baik di pusat, maupun daerah, yang mampu membawa kepentingan umat Islam, dan bangsa Indonesia. Harapan Dewan Penasihat Pimpinan Kolektif Majelis Nasional Korps Alumni HMI (PKMN KAHMI) 2012-2017 itu disampaikan kepada Pelita dalam rangka peringatan hari ulang tahun (HUT) ke-66 HMI pada Selasa (5/2) hari ini.
“Tentu ke depan diharapkan HMI semakin mampu melahirkan pemimpin-pemimpin di semua bidang, baik di pusat maupun daerah, yang mampu membawa kepentingan bangsa dan umat Islam,” ujar Akbar.
Mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar ini juga berharap agar independensi HMI sebagai organisasi mahasiswa berbasiskan kader tetap dipertahankan secara kuat. Dengan selalu memberikan kontribusi pemikiran yang kritis dan solutif bagi pembangunan bangsa dan umat Islam.
Karena itu, ujar dia, kader-kader HMI harus mampu menjadi insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT. “Ada kesejajaran antara tujuan HMI dengan tujuan Proklamasi, yakni mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah,” ucap Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai Golkar ini.
Akbar bersyukur, menginjak usia ke-66 tahun, HMI mampu melahirkan tokoh-tokoh intelektual, cendekiawan, dan negarawan yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia, dari Sabang di ujung Barat hingga Merauke di ujung Timur, dan Sulawesi Utara di ujung Utara sampai Nusa Tenggara Timur di ujung Selatan.
“Banyak dari mereka telah memberikan kontribusinya sesuai dengan latar pendidikan yang mereka tempuh di perguruan tinggi, sesuai panggilan masing-masing yang berkiprah di kelembagaan. Termasuk di lembaga negara, eksekutif, legislatif, dan yudikatif,” papar Akbar.
Akbar mencontohkan di legislatif, kader-kader HMI mampu mengisi posisi baik sebagai pimpinan maupun anggota MPR, DPR, dan DPD. Di ranah yudikatif, kader HMI juga sangat berkontribusi baik di MA, MK, dan KY.
“Begitu pula di BPK, di pemerintahan misalnya sebagai menteri, sampai Wakil Presiden. Apalagi yang berada di ranah pendidikan, baik sebagai rektor, dekan, ketua program. Itu membuktikan bahwa kader HMI mampu mengisi strata kepemimpinan yang ada. HMI cukup berhasil mengembangkan SDM-nya untuk bisa mengisi strategi kepemimpinan tersebut,” ujarnya.
“Namun, hal ini jangan sampai melepaskan HMI dari visi dan misinya HMI sebagai organsiasi kader, yang independen, kritis, kolektif, tapi juga solutif terhadap berbagai persoalan terkait bermasyarakat dan bernegara,” pungkas Akbar Tanjung.
Pelopor
Ketua Majelis Ulama Indonesia Drs KH Amidhan melihat HMI juga bisa dikatakan sebagai pelopor dari perjuangan bangsa ini. Pelopor di bidang kemahasiswaan dan didalam perjuangan bangsa. Karena HMI didirikan pada masa itu, sedangkan organisasi-organisasi mahasiswa yang lain terbentuk jauh sesudahnya. Maka benar saja jika HMI merupakan organisasi terbesar dan tertua di Indonesia.
“Makanya HMI kaya dengan pengalaman yang luar biasa dan juga pencetak intelektual-intelektual besar, paling banyak alumninya dan terbesar di berbagai sektor, baik itu di pemerintahan maupun kemasyarakatan,” katanya, akhir pekan lalu.
Tetapi, Amidhan menjelaskan, jika dibandingkan dengan kebesarannya di masa lalu dengan melihat dan merefleksikan dengan keadaan HMI yang sekarang, jelas HMI mengalami kegagalan. Kegagalan itu menurut Amidhan, Pertama, macetnya reproduksi intelektual, setelah Cak Nur (Nurcholis Majid), Dawam Raharjo, dan lain-lain; HMI tidak lagi melahirkan intelektual-intelektual lagi. Artinya, dalam hal ini HMI memang benar-benar mengalami kegagalan.
Kedua, kritisme atau kurang kritis, HMI sekarang kurang ada social responsibility terhadap perkembangan masyarakat. Ketiga, terjadinya krisis nilai, terutama nilai-nilai keislaman. “Berdasarkan dari pengamatan saya dari sini, kader HMI sekarang ini shalatnya saja belakang. Semangat nilai keislamannya sudah menurun. Jadi HMI sekarang, kalau direfleksi sosiologi historis, maka HMI mengalami kegagalan," katanya.
Maka dari itu, menurut Amidhan, sekarang HMI harus mengkristalisasi perjuangannya selama ini. HMI jangan hanya mengagungkan masa lalunya yang besar sehingga hanya menjadi mitos saja.
Oleh karenanya, yang mesti segera HMI lakukan adalah melahirkan intelektual besar seperti dulu, kader HMI harus menuntut ilmu atau pendidikan yang setinggi-tingginya baik itu di dalam maupun di luar negeri, ini harus mulai disosialisasikan kepada semua kader-kader HMI. Kader HMI harus berwawasan yang luas, harus berfikir yang rasional, harus kritis dan juga obyektif; dan kader HMI harus bertanggungjawab terhadap terciptanya masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah SWT.
Tegakkan Identitas
Sementara itu, mantan Ketua Umum PB HMI periode 1974-1976, Chumaidi Syarif Romas melihat tantangan HMI saat ini adalah harus menegakkan identitas kembali, hingga nilai-nilai dasar perjuangan HMI. Supaya nilai itu diterapkan sesuai dengan kebutuhan sekarang, dan memberikan alternatif pemikiran di tengah arus globalisasi yang sekarang terjadi.
”Apalagi tantangan HMI saat ini ialah ditengah maraknya koruptor, kader HMI acap mengedepankan kepentingan pribadi,” tegas Chumaidi yang juga guru besar di UIN Yogyakarta ini.
Untuk itu, menurut Pimpinan Kolektif Majelis Nasional KAHMI 2012-2017 Taufiq Hidayat untuk kondisi akan datang, HMI harus lebih konsern menata pengkaderannya. Pengkaderan yang dipunyai sejauh ini sudah memberikan hasil positif di tengah masyarakat, tapi untuk tantangan jauh ke depan, mulai harus dipikirkan perubahan-perubahannya. Kembali pada bagaimana mengintensifkan intelektualitas kader HMI, bagaimana menguatkan network kader HMI, itu penting untuk dijaga.
Taufiq menegaskan HMI haruslah tetap pada jalur sebagai organisasi independen. Karena independensi itu yang memberi suatu keleluasaan dalam bertindak, berpikir, dan dalam berkiprah di tengah masyarakat. Karena dia tidak memandang strata dan latar belakang.
Sebagai orang luar HMI, politisi PDIP Budiman Sudjatmiko menilai HMI yang sekarang lebih mulai mengonsep gerakan. Sekarang HMI tidak lagi seperti masa lampau yang dekat dengan para pejabat. “Hari ini teman-teman HMI sudah dan sedang melakukan gerakan sosial,” katanya.
Menurut Budiman, HMI sekarang dituntut untuk melahirkan intelektual-intelektual organik, yaitu para cendikiawan Muslim muda yang bisa langsung menyentuh pada persoalan-persoalan masyarakat di akar rumput, terlibat dalam politik, dan terlibat juga dalam pengenalan perkembangan sains dan teknologi kepada masyarakat untuk globalisasi.
“Jadi, HMI tidak lagi terkesan hanya melahirkan politisi-politisi seperti masa lampau, kalau dulu pada masa Orde Baru, HMI terkesan dekat dan larinya ke birokrat, tapi sekarang HMI lahir dari bawah dan tumbuh bersama-sama masyarakat,” kata Budiman yang juga mantan anggota Forum Komunikasi Mahasiswa Yogjakarta (FKMY). (cr-18/cr-14/rud)
REORIENTASI PLATFORM GERAKAN HMI
“Bubarkan HMI!” itulah statmen yang keluar dari seorang Nurcholis Madjid beberapa tahun lalu. Dalam Milad HMI ke-50 pada tahun 1997, Cak Nur juga mengatakan 50 Tahun HMI bukan Ulang Tahun Emas, tapi “besi karatan”. Hal itu muncul karena ketika itu HMI terlalu dekat dengan pemerintahan Orde Baru dan aliansi HMI dengan Kelompok Cipayung juga retak. Hal yang memicu pernyataan sinis terhadap HMI oleh berbagai kalangan ketika perayaan Milad HMI yang ke-50. Lalu bagaimanakah HMI sekarang? HMI yang sudah akan menginjak usia 66 tahun (berdasarkan penanggalan masehi) dan telah menginjak usia 68 tahun (berdasarkan penanggalan hijriyah). Jika melihat penanggalan hijriyah, HMI berdiri pada tanggal 14 Rabiul Awal dan peringatan 68 tahun HMI tersebut bertepatan dengan tanggal 26 Januari 2013 penanggalan masehi.
HMI sebagai organisasi mahasiswa Islam merupakan organisasi yang berdiri pada tahun 1947 di Yogyakarta. Misi awal HMI ketika itu adalah mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mempertinggi derajat bangsa Indonesia serta internalisasi nilai-nilai keislaman. Cita-cita itu senada dengan kondisi bangsa Indonesia pasca kemerdekaan. Seiring dengan waktu, misi HMI mengalami perubahan, membela kaum mustadh’afin dan internalisasi nilai-nilai keislaman. Hal ini selaras dengan tujuan HMI dan Islam yang menjadi asas HMI. Seyogyanya HMI hadir untuk memberikan perubahan dan pembaharuan di tengah masyarakat sebagaimana yang termaktub dalam tujuan HMI ternyata berbanding terbalik dengan realitas kondisi HMI hari ini. Krisis profesionalisme, intelektualisme, perkaderan serta spirit perjuangan yang menjadi platform dasar pergerakan HMI, melanda keberlangsungan HMI dalam membangun bangsa. Hal yang harus segera dipikirkan dan dibenahi oleh seluruh elemen HMI.
Perubahan sosial yang terus menerus terjadi adalah sebuah keniscayaan peradaban yang tidak bisa ditolak. Zaman yang terus bermetamoforsis membuat tatanan sosial ikut berubah. Globalisasi dan modernitas yang secara tidak sadar telah menguliti dan menelanjangi kebudayaan bangsa dan mempengaruhi perkembangan umat dan bangsa Indonesia. Hal ini berimplikasi langsung terhadap proses perkembangan HMI sebagai organisasi pemuda dan kemahasiswaan. Fakta bahwa semakin mengendurnya Islam sebagai pedoman dan asas organisasi dan pedoman hidup bagi seluruh umat muslim akan berimplikasi buruk terhadap organisasi. Keterlibatan HMI di tengah hiruk pikuk persoalan bangsa ini mengalami distorsi terhadap khittah HMI sebagai organisasi perjuangan. Realitas hari ini HMI tenyata hanya dipandang sebagai organisasi yang mampu melahirkan kader kader yang oppurtunis, yakni kader yang hanya memikirkan diri sendiri. Kader yang tidak visioner tentunya memberikan dampak buruk terhadap implementasi mission HMI. Independensi yang menjadi sifat HMI seakan-akan malah menimbulkan pertanyaan perihal letak ke-independen-an HMI. Tak terkecuali bagi HMI Cabang Surakarta. Krisis yang urung terseleasaikan ini juga melanda HMI Cabang Surakarta. Profesionalisme dan keintelektulitasan kader HMI Cabang Surakarta mengalami stagnasi yang tak kunjung bergerak menuju perubahan.
Kondisi yang cenderung sama dari tahun ke tahun membuat HMI Cabang Surakarta bisa dikatakan sedang mengalami kemandegan. Keprofesionalitasan kader dalam berorganisasi seakan jalan ditempat dan malah cenderung bergerak mundur. Keintelektualitasan kader yang diharapkan menjadi pelopor dalam membawa perubahan seakan enggan beranjak dari zona nyamanya. History HMI dimasa kejayaan yang lalu akan selalu terbayang didalam benak kader HMI dan akan menjadi beban jika kader HMI hari ini tidak dapat mempertahankan eksistensinya bahkan malah terbuai oleh romantisme masa lalu. Lahirnya tokoh-tokoh dari rahim HMI seharusnya menjadi contoh positif bagi kader HMI untuk terus berproses dan berkembang seiring dengan spirit perjuangan HMI.
BANGUN HMI!
Evaluasi merupakan suatu proses untuk mengetahui perkembangan atas rencana dan ide-ide yang telah dilewati. Analisis kritis menjadi alat untuk bisa menelurkan wacana dan ide baru. Perjalan HMI selama 68 tahun ini tak luput dari prosesi tersebut. Perkembangan zaman menuntut keselarasan ide yang sejalan dan tanpa mengurangi khittah HMI sebagai organisasi perjuangan. Sadar akan kewajiban, kesadaran, dan panggilan dari seorang kader umat dan kader bangsa, sudah saatnya HMI bangun dari buaian mimpi dan membangun ide-ide baru guna menjadi garda terdepan dan pelopor bagi bangsanya.
Surakarta yang menjadi basis pergerakan di awal abad 19 memiliki sejarah panjang atas berdirinya Indonesia. Segala peristiwa penting sejarah yang terjadi menjadikan Surakarta memiliki spirit perjuangan. Bagi saya, spirit inilah yang kemudian harus dimiliki oleh HMI Cabang Surakarta dalam pergerakannya sebagai organisasi mahasiswa. Perayaan 68 tahun HMI ini harus menjadi titik tolak bagi pergerakan HMI Cabang Surakarta. Problem profesionalitas dan intelektulitas yang mandeg harus rampung dengan analisis kritis yang menjadi solver solution dan menelurkan ide baru. Perubahan dan perkembangan zaman yang membuai tidak boleh kemudian dijadikan kambing hitam atas problem yang muncul. Lebih dari itu, zaman yang terus bergerak ini harus bisa dijadikan sebagai sebuah tantangan yang harus dihadapi. Ketika zaman telah melakukan metamorfosinya, maka kader HMI juga dituntut untuk melakukan hal yang sama, metamorfosis pemikiran dalam menelurkan ide dan wacana. Nilai-nilai Islam harus kembali menjadi motor spirit perjuangan HMI. Ajaran-ajaran Nabi Muhammad tak hanya dijadikan sebagai teladan, namun sebuah warisan yang harus selalu dijalankan sebagai seorang muslim. Intelektualisme menjadi harga mati. Karena intelektulitas itu yang membedakan kalangan mahasiswa dengan yang lainnya. Namun bukan berarti hal itu menjadi jurang pemisah atau sekat antara kader HMI dengan masyarakat. Sebaliknya, intelektualitas tersebut yang menjadikan kader HMI sebagai problem solver atas masalah yang mendera bangsa.
Regenerasi kader adalah keniscayaan dalam organisasi. Kesadaran kader kembali mesti dipicu untuk melanjutkan mission HMI. Nilai Dasar Perjuangan (NDP) merupakan konsepsi teoritis setiap kader untuk menjalani rutinitasnya sebagai insan intelektual. Pemahaman yang utuh terhadap NDP sangat berpengaruh secara praksis bagi tingkah laku kader HMI. Pemaknaan akan dasar perjuangan tersebut memberikan konstribusi besar akan implementasi tujuan HMI ditengah kompleksitas bangsa yang telah mempengaruhi paradigma mahasiswa dan masyarakat. Karakter kader HMI yang kritis dan intelek merupakan ekspektasi dari orientasi training dan harus menjadi cerminan bagi setiap mahasiswa yang mengaharapkan perubahan secara totalitas terhadap karakter berpikir. Organisasi perkaderan idealnya akan mengahasilkan kader-kader yang intelek dan kritis sehinggan mission organisasi akan terealisasikan.
Sudah menjadi sebuah tradisi jika hari berdirinya sebuah lembaga atau hari lahirnya sebuah organisasi dirayakan oleh massa organisasi tersebut. Seyogyanya perayaan hari lahirnya organisasi tidak hanya sekedar untuk dirayakan begitu saja dan menjadi sebuah ritual tahunan. Namun lebih dari itu, perayaan ini harus bisa dijadikan sebuah momentum bagi HMI dalam mengoreksi dan merenungkan kembali perjalanan dimasa lalu dan menyongsong masa depan untuk dapat mewujudkan tujuan HMI, “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu wata’ala”. YAKUSA!
*Diterbitkan oleh Harian JOGLOSEMAR tanggal 5 Februari 2013
Diposkan oleh Arif Budi Prasetyo di 20.15
Sumber : http://arifmanabu.blogspot.com/2013/02/reorientasi-platform-gerakan-hmi.html
HMI Harus Mencetak Pemikir Baru
Written By Mang Raka on Jumat, 01 Maret 2013 | 14.00
KARAWANG, RAKA - Himpunana Mahasiswa Islam Cabang Karawang, menggelar diesnatalis ke- 66 Rabu (27/2) malam kemarin, di Gedung DPD KNPI Karawang. Dalam usia yang dewasa ini, kader-kader HMI, diharapkan terus meningkatkan intelektualitasnya, sebagai pemikir-pemikir baru. Hal tersebut disampaikan oleh ketua umum HMI Cabang Karawang Ali Said.
"66 tahun bukanlah usia muda lagi, dalam usia 66 organisasi ini sudah tingkat dewasa, dimana organisasi harus terus meningkatkan kapasitasnya. Sejak dahulu, HMI melahirkan pemikir-pemikir Islam seperi Nurcholis Madjid, dan saat ini kenapa tidak kita mencetak sejarah dengan melahirkan pemikir-pemikir baru," ucap Ali Said dalam sambutannya, di gedung graha KNPI, Rabu (27/2).
Milad HMI ke- 66 yang dihadiri oleh ketua DPD KNP provinsi Jawa Barat, DPD KNPI Kabupaten Karawang, perwakilan dari ketua DPRD Kabupaten Karawang, GMNI Kabupaten Karawang, PMII Kabupaten Karawang. Ahmad Jimmy Zamaksyari atau biasa disapa Haji Jaz mewakili DPRD Kabupaten Karawang.
Dalam sambutannya, Haji Jaz menegaskan, sudah sepantasnya kader-kader HMI untuk terus menimba ilmu intelektualnya, sehingga memang sangatlah tepat jika HMI dapat hidup dan berkembang di setiap zaman. "HMI selalu pantas untuk bisa menempati setiap zaman," ujarnya.
Sementara itu Perwakilan dari Pengrus Besar (PB) HMI Denis Firmansyah menuturkan, milad tahun ini merupakan acara milad yang begitu meriah, dengan memberikan warna yang berbeda. Pada milad HMI tahun ini ditegaskannya, harus dijadikan suatu momentum untuk merefleksikan gerakan-gerakan dari zaman ke zaman sesuai dengan misi HMI. "Ini merupakan milad yang paling meriah. Ini merupakan momentum yang tepat kita melakukan refleksi. HMI harus dapat merefleksi dan melakukan evaluasi gerakan HMI sesuai dengan tujuan HMI," jelas Denis Firmansyah.
Dan dalam stadium generalnya, Ketua DPD KNPI Jawa Barat, Husni Farhani Mubarak memaparkan, dengan usia yang bukan lagi muda ini, diharapkan HMI terus berupaya dalam memberikan kontribusinya bagi masyarakat luas, dan tentunya bagi kemaslahatan umat. "Dari sekian potret HMI sejak 1947 hingga 2013, tentu sudah banyak momentum-momentum bersejarah yang tidak dapat terlupakan. Dan saat ini berharap, apa yang menjadi gerak langkah HMI saat ini, dapat memberikan manfaat bagi kemaslahatan umat," ujar Husni.
Husni menjelasakan, yang menjadi salah satu ciri khas dari kader HMI, yakni tingkat intelektual yang tinggi, dan dibarengi dengan retorika, analisa yang sistematis, sebagai senjata utama kader HMI. "Inteluktual kader-kader HMI dari dulu adalah senjatanya itelektualnya tinggi, dia bebas berfikir namun dibarengi dengan referensi aqidah yang kuat, dan hingga kini identitas tersebut tidak ditinggalkan," pungkasnya. (vid)
Sumber : http://www.radar-karawang.com/2013/03/hmi-harus-mencetak-pemikir-baru.html
60 Tahun HMI, Menuju Kerakyatan
Oleh Arif Gunawan
SEBAGAI pengurus yang masih terlibat dalam organisasi merasa perlu melakukan refleksi dan evaluasi atas perjalanan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Apalagi tahun ini HMI memasuki usia ke-60. Enam dekade sebagai momentum yang memaksa bagi siapa pun; kader, anggota ataupun pengurus bahkan alumni HMI untuk merefleksi ke belakang guna mendapatkan cermin yang utuh atas kondisi organisasi paling kini.
Cerminlah yang akan bercerita secara jujur dan objektif kepada masyarakat dengan tutur yang rendah hati, terbuka dan jujur.
Menilai karakter organisasi belum cukup memadai ketika hanya mengupas seperangkat norma, visi dan misinya. Sejarah republik sejak didirikan mengalami tiga fase perubahan keindonesiaan yakni Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi yang banyak diwarnai oleh peran HMI di dalamnya.
HMI dilahirkan dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan didengungkan. Sejak kelahirannya, geraknya diabdikan kepada perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan dan menyebarkan syiar Islam. Pada masa itu dihadapkan pada upaya agresor asing yang berkeinginan untuk kembali menjajah tanah air.
HMI di tahun-tahun 1947-1965 menampilkan sosok organisasi yang herois dengan watak jelas dan tegas dalam menentukan garis ideologi perjuangannya. Karakteristik utama yang menjadi ciri generasi pertama sesuai dengan konteks situasi yang kerap diwarnai dinamika politik aliran, perang ideologi yang serba revolusioner seraya tetap berpegang pada semangat anti-kolonialisme (Belanda) yang menjadi trend ketika itu.
Tak heran gerakan mahasiswa pada umumnya termasuk HMI, mengambil bentuk afiliasi dengan partai politik. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berafiliasi di bawah PNI. Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GMS/Germasos) dengan PSI dan HMI dengan Masyumi. Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dengan PKI.
Poisisi Kanan
HMI berada pada posisi kanan bersama PMKRI dan Germasos dengan anti-komunis, anti kediktatoran sebagai isu utamanya. Sedang CGMI dan GMNI di pihak kiri dengan isu utama anti-kapitalisme, anti-nekolim dan anti-fasisme. Sementara bandul kekuasaan semakin bergerak ke kiri.
Upaya parpol Islam memasukkan kembali Piagam Jakarta ke dalam konstitusi baru dijawab dengan pembubaran badan konstituante oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden 1959.
Mungkin menjadi kesalahan Soekarno dengan tidak membubarkan HMI ketika itu sehingga pada gilirannya peran organisasi mahasiswa muslim ini justru begitu menentukan pada detik-detik kejatuhannya di penghujung Orde Lama.
Kejatuhan Soekarno memunculkan mitos gerakan mahasiswa sebagai moral force , sekaligus memitoskan akan kebesaran mahasiswa angkatan í66. Tokoh í66 banyak dilahirkan oleh HMI seperti Akbar Tandjung dan Maríie Muhammad. Babakan sejarahnya berikutnya kita temui banyak tokoh yang masuk mengisi birokrasi kekuasaan.
Generasi kedua HMI tidak lagi menampilkan sosok heroisme yang terlibat penuh dalam pergerakan mahasiswa seperti ditunjukkan oleh para pendahulunya. HMI yang menjadi bagian pendiri Orde Baru mengambil peran secara efektif sebagai sumber perekrutan kepemimpinan nasional yang kemudian dikenal dalam doktrin organisasi, HMI sebagai sumber insani pembangunan.
Karakteristik utama yang menjadi ciri generasi HMI Orde Baru ialah kader yang berwatak elitis dan cenderung pragmatis dalam tindakan politiknya. Situasi ini sebetulnya dimulai sejak dekade pertama di tahun 60-an yang merupakan masa bulan madu antara gerakan mahasiswa dengan Orde baru. Sedari awal aktivis yang mula-mula sadar akan kekeliruan orientasi gerakan ini adalah Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib (HMI).
Kolaborasi penguasa Orde Baru dengan mantan aktivis mahasiswa -termasuk alumni HMI- berdampak besar terhadap peran secara organisasional yang nyaris absen dalam setiap momentum kebangkitan gerakan mahasiswa.
Tercatat dua kali mahasiswa bangkit melawan penguasa Orde Baru yakni pada peristiwa lima belas januari (malari) 1974 aksi penolakan mahasiswa terhadap kapitalisme modal asing dan gerakan mahasiswa tahun 1978 yang menolak pencalonan Soeharto kembali menjadi presiden.
Hubungan harmonis HMI dengan penguasa Orde Baru nyaris tak tergoyahkan sehingga mengakibatkan penyakit krusial di tubuh organisasi yang kemudian berpuncak pada perpecahan.
Sebagian kader menyempal membentuk HMI-MPO sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan monolitik penguasa Orde Baru yang puncaknya adalah pemberlakuan asas tunggal.
Di luar kekuasaan Orde Baru muncul generasi HMI lain yang mengambil jalur intelektualisme sebagai gairah mewujudkan kontribusi terhadap bangsa. Generasi intelektual berijtihad atas kemandekan berfikir yang terjadi dalam tradisi Islam di Indonesia. Gelombang pemikiran ini sudah tumbuh sejak tahun 1960 -an akhir hingga tahun 1980- an dan memunculkan gelombang pembaruan pemikiran Islam yang sangat menonjol dengan ikon utamanya Nurcholish Madjid.
HMI Kekinian.
Hari ini (5 Februari 2007) HMI dihadapkan pada kenyataan bahwa cermin yang merefleksikannya tidak lagi mencitrakan watak utama intelektual profetik yang berpikir kerakyatan, justru aroma kemandekan dan kebekuan berpikir ditambah watak pragmatis telah menjadi hal biasa yang ditemukan.
HMI telah tertawan dengan segudang prestasi dan kebanggan masa lalunya, untuk tidak mengatakan bahwa hari ini miskin prestasi dan capaian.
Upaya untuk menyelamatkan keterpurukan bangsa ini tidak melulu karena alasan historis, namun perlu diingat bahwa perjuangannya equivalen dengan tujuan akhir bangsa ini. Semangat untuk memulai perubahan mutlak dimiliki oleh HMI agar secara objektif bisa menjawab tantangan zaman.
Simpul kerakyatan harus menjadi mainstream gerakan agar HMI tidak tergelincir dari orbit perjuangannya. Patut juga diingat bahwa permasalahan yang berdimensi kerakyatan dan menyangkut publik harus menjadi perhatian utama saat ini. HMI harus mampu keluar dari kepompong kebesaran masa lalu untuk kemudian menjadi kupu-kupu yang memberi pencerahan terhadap keadaan sekitarnya.
Secara praksis, harus menggunakan resources intelektual yang selama ini jarang disentuh, untuk kemudian dijadikan pisau analisa menjawab persoalan multi dimensional bangsa ini.
Jika perlu harus mengambil jarak terhadap pusaran kekuasaan sebagai pembuktian bahwa HMI mampu keluar dari fase kemandekan berpikir dan penikmatan terhadap keberhasilan para alumninya. Selain itu, langkah penguatan kapasitas intelektualitas dan profesionalisme patut diambil sebagai langkah reorientasi internal.
Dengan demikian, membayangkan masa depan akan bergantung dengan apa yang menjadi rencana untuk dilakukan kini. Padahal sumber daya manusia yang akan menggantikan tongkat estafet kepemimpinan kelak akan berasal dari sistem perkaderan hari ini.
Sekali lagi, HMI harus tanggap terhadap perubahan dan harus berani untuk melakukan pembacaan ulang terhadap perubahan yang terjadi di sekitarnya, bukan semata-semata untuk HMI, namun secara jujur untuk keberlangsungan dan eksistensi bangsa ini. (11)
- Arif Gunawan,ketua umum Badan Koordinasi HMI Jawa Tengah D.I. Yogyakarta
Sumber : http://www.suaramerdeka.com/harian/0702/05/opi04.htm
Antara Demokrat, Anas & Milad HMI Ke-66
By Ais on February 9, 2013
KABARSIANTAR.COM — “HMI itu organisasi dengan kaderisasi terbaik, setelah TNI”, begitu kira-kira jargon yang selalu diucapkan kawan-kawan saya.
Jargon tersebut rasanya sah-sah saja kalau melihat sejarah dan kiprah organisasi tersebut. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berdiri 5 Februari 1947 dengan Lafran Pane sebagai tokoh utama. Pane merupakan mahasiswa Sekolah Tinggi Islam, sekarang menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).
Kini sejumlah kader HMI menjadi tokoh-tokoh yang namanya sering disebut-sebut oleh media massa. HMI selalu tampil dominan sejak diketuai HS Minteraja, Deliah Noer, Ismail Hasan Metareum, Sulastomo, Nurcolish Madjid, Akbar Tanjung, Ridwan Saidi, ataupun Abdullah Hehamahua.
Tak hanya itu, sejumlah kader HMI pun bertebaran di kancah politik di Tanah Air seperti Harry Azhar Azis (Ketua umum PB HMI 1983-1986), Mahfud MD, Anas Urbaningrum, Anis Baswedan, MS Kaban, Bambang Soesatyo, Ferry Mursyidan Baldan dll. Mereka tergabung dalam KAHMI yang kini dipimpin Mahfud MD, terpilih dalam Munas KAHMI ke IX Desember 2012, mengalahkan Anas Urbaningrum.
Malam ini, 5 Februari 2013, mereka akan menghadiri milad HMI ke-66 yang direncanakan dilakukan di JHCC Jakarta. Sejumlah kejadian politik terkini boleh jadi refleksi 66 tahun kiprah organisasi tersebut.
Politik yang dinamis membuat HMI dan KAHMI juga menjadi katalisator dalam beberapa kejadian politik, termasuk salah satunya kekisruhan di partai politik.
Diskursus terkini, terlihat di prahara Partai Demokrat. Nama Anas Urbaningrum kini menjadi ‘target’ untuk mundur dari jabatannya selaku ketua umum Partai Demokrat. Mayoritas headline media nasional pun memberitakan hal tersebut hari ini.
Anas seakan terjebak dengan pergerakan politik yang terkait elektabilitas Partai Demokrat dan sejumlah kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh partai berlogo mercy putih. Apalagi survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) terbaru menunjukkan elektabilitas Partai Demokrat tersisa 8% atau sangat jauh di bawah Golkar dan PDIP.
Para tokoh PD seperti termasuk menteri-menterinya telah memberikan pernyataan. Dan Presiden Yudhoyono dari Mekkah juga memberikan ‘sinyal’ agar citra partai tak semakin turun.
“Saya memohon kepada KPK untuk, ya bisa segera konklusif dan tuntas. Apa yang dilakukan oleh sejumlah kader Demokrat itu, kalau salah ya kita terima memang salah. Kalau tidak salah maka kami juga ingin tahu kalau itu tidak salah, termasuk Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbanigrum yang juga diperiksa dan dicitrakan publik secara luas di Tanah Air sebagai bersalah atau terlibat dalam korupsi”. [Bisnis.com 5/2/2013]
Entah kebetulan atau tidak, kisruh Partai Demokrat & Anas kok bertepatan dengan Milad HMI ke-66.
Mungkin itu pula yang membuat Mahfud MD selaku ketua umum Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) ikut bersuara.
Seperti dikutip dari Antaranews, Mahfud seakan bersikap mendua. Di satu sisi, dia menegaskan urusan Anas merupakan masalah pribadinya, di sisi lain, dukungan moral kepada anggota adalah wajib.
Bagi Mahfud, KAHMI tak ada urusan dengan kasus hukum anggotanya. “Anas itu warga KAHMI dan presidium KAHMI. Tapi kami tidak ikut dalam urusan politik Partai Demokrat dan tidak ikut dalam urusan kasus hukum yang saat ini dikait-kaitkan dengan Anas. Itu bukan urusan KAHMI,” tegasnya, Senin 4/2/2013.
Mahfud yakin walaupun anggota KAHMI saling berbeda partai politik bahkan berseberangan secara politik, namun tidak ada perpecahan di internal KAHMI.
“Saya tidak resah dengan adanya Anas dalam tubuh KAHMI. Itu tidak mempengaruhi kondisi kepengurusan di KAHMI. Kedudukan Anas sama sebagai presidium KAHMI,” kata Mahfud.
Apapun, organisasi sekuat HMI & KAHMI tentu tak akan melupakan jasa para kadernya. Semoga prahara Anas & Partai Demokrat bukanlah menjadi kado pahit bagi ulang tahun HMI, dan bagi para kader, jargonnya tak akan berubah; YAKUSA.. yakin usaha sampai.
Sumber : http://www.kabarsiantar.com/?p=12156
Ir. Akbar Tanjung : HMI Lahirkan Banyak Pemimpin Nasional
Diposting Pada 06 Feb 2013
JAKARTA_DAKTACOM: HMI telah berhasil melahirkan pemimpin nasional dan diharapkan akan terus melahirkan pemimpin di setiap bidang, baik ditingkat pusat maupun daerah.
Harapan itu disampaikan Dewan Penasehat Pimpinan Majelis Nasional KAHMI, Ir. Akbar Tanjung, dalam sambutannya pada pelantikan Presidium Majelis Nasional KAHMI di Plenary Hall Balai Sidang Jakarta, (JCC) Selasa (5/2/13) malam.
Presidium Pimpinan Majelis Nasional KAHMI periode 2012-2017, yang dilantikan adalah Mumahammad Mahfud, MD, sebagai ketua Presidium, Viva Yoga Mauladi, Anas Urbaningrum, Muhammad Marwan, Anies Baswedan, Bambang Soesatya, Reni Martinawati, M.S. Kaban, dan Taufik Hidayat.
Menurut Akbar Tanjung, HMI sebagai organisasi mahasiswa independen harus dipertahankan dan harus tetap memberikan kontribusi pemikiran yang kritis dan solutif bagi pembangunan bangsa dan umat Islam.
Oleh sebab itu katanya, kader HMI harus mampu menjadi insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafasakan Islam, dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
“Ada kesejajaran antara tujuan HMI dengan tujuan Proklamasi, yakni mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah” kata mantan Ketua Umum Pengurus Besar HMI di era tahun 66 an.
Akbat Tanjung mengucapkan rasa syukurnya kepada Allah, karena menginjak usia HMI yang ke 66 tahun, HMI mampu melahirkan tokoh-tokoh intlektual, cendikiawan, dan negarawan yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, dari Sabang hingga Marauke.
Banyak dari mereka memberikan kontribusi sesuai dengan latar pendidikan yang mereka tempuh di perguruan tinggi, sesuai panggilan masing-masing yang berkiprah di kelembagaan, papar Akbar Tanjung.***
Redaktur : Imran Nasution
Sumber : http://www.dakta.com/berita/nasional/38610/ir-akbar-tanjung-hmi-telah-melahirkan-pemimpin-nasional.html/
HMI dan Revitalisasi Gerakan Mahasiswa Islam
Selasa, 05/02/2013 11:35:12
Achmad P Nugroho
Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Sekretaris Direktur Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) HMI Cabang Depok
Pasca reformasi, marak organisasi baru berdiri yang ragamnya mulai dari partai, lembaga sosial hingga ormas yang bersifat kedaerahan. Situasi ini juga menimpa pada organisasi mahasiswa khususnya yang beorientasi keIslaman. Tercatat ada KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) yang berdiri tahun 1998 dan GEMA Pembebasan (Gerakan Mahasiswa Pembebasan) yang hadir di tahun 2005. Kemunculan dua organisasi mahasiswa Islam ini menambah keberadaan organisasi mahasiswa sebelumnya seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), SEMMI (Serikat Mahasiswa Muslim Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah), dan organisasi mahasiswa Islam lainnya. Secara kasat mata, banyaknya keberadaan gerakan mahasiswa Islam di Indonesia menunjukkan keberagaman yang ada di negeri tercinta.
Namun bila diteliti lebih lanjut,justru situasi tersebut melemahkan kekuatan Ummat Islam di Indonesia. Terjadinya friksi antargerakan mahasiswa di kampus-kampus kadang lebih kental nuansa politis dibandingkan nuansa ideologis.Bahkan terkadang masing-masing gerakan menafikkan keberadaan gerakan lainnya dan mengkafirkan gerakan diluar mereka. Apalagi kebanyakan gerakan mahasiswa Islam di Indonesia membawa bendera rujukan ideologi yang berbeda, seperti PMII (NU), IMM (Muhamadiyah), SEMMI (SI), KAMMI (PKS), dan GEMA Pembebasan (HTI). Kondisi tersebutlah yang terkadang menyulitkan Mahasiswa Islam bergerak bersama dalam mewujudkan aspirasi umat Islam di Indonesia. Perbedaan orientasi rujukan ideologi inilah yang terkadang menyempitkan arena pemikiran para mahasiswa Islam, dimana mereka lebih berkutat mencari celah kesalahan rujukan ideologi yang dimiliki oleh gerakan mahasiswa Islam lainnya.
Praktis hanya HMI yang tak mempunyai rujukan ideologi tetap dalam gerakannya.Sejak awal berdiri pada tanggal 5 Februari 1947, HMI memang tidak pernah menjadikan organisasi tertentu sebagai pijakan ideologi termasuk dengan Masyumi yang kerapkali disebut sebagai Bapak Ideologis HMI. Sikap Indepedensi inilah yang membuat HMI tetap tegar sebagai organisasi Mahasiswa Islam, meskipun Masyumi dibubarkan oleh Orde Lama. Tidak adanya rujukan ideologi tetap inilah yang menyebabkan hampir semua ideologi masuk dan berpolarisasi didalam HMI. Mulai dari Islam Kiri, Islam Liberal, hingga berbagai rujukan ideologi yang menyebar di kalangan umat.
Sayangnya, polarisasi Islam Liberal dan Islam Kiri amatlah kuat dalam HMI sehingga amat jarang kita temui anggota HMI yang mencerminkan pribadi insan Islami. Namun, kondisi tersebut tidak mengeneralisir bahwa HMI adalah organisasi Liberal atau kekirian seperti justifikasi subjektif aktivis gerakan mahasiswa Islam lainnya, terutama yang mengklaim bergerak di bidang dakwah. Hal tersebut dikarenakan dasar pijakan yang digunakan adalah sumber ajaran Islam (Al-Qur’an&Hadist) serta NDP (Nilai Dasar Perjuangan) yang merupakan penjabaran taktis gerakan HMI. Oleh karenanya realita yang terjadi saat ini, bukanlah kesalahan HMI melainkan kesalahan presepsi masing-masing pribadi yang menjalankan roda organisasi.
Revitalisasi, Mimpi atau Potensi?
Kondisi HMI yang tak punya rujukan tetap ideologi seperti organisasi mahasiswa Islam lainnya bisa menjadi potensi inisiator HMI dalam merevitalisasi gerakan mahasiswa Islam di Indonesia. Revitalisasi ini bisa dimulai dalam menyamakan presepsi tujuan akhir gerakan mahasiswa Islam. Tujuan tersebut haruslah konkrit dan bukan sekadar hipokrit semata. Gerakan mahasiswa Islam sudah seharusnya bersatu bergerak seirama untuk kepentingan umat, bukan untuk kepentingan elit pejabat.
Selain itu kondisi HMI yang masih terpolarisasi oleh Islam liberal maupun Islam kiri harus dapat dibenahi oleh kelompok gerakan Islam dari unsur lainnya. Pembenahan ini merupakan pembenahan internal yang berarti bahwa unsur gerakan Islam berkontribusi dalam menghadang hegemoni pemahaman-pemahaman yang berkembang dalam organisasi ini. Fakta sejarah tentang HMI sebagai anak “ideologis” Masyumi harus dimaknai bahwa HMI berpotensi sebagai pemersatu ummat.
Dengan demikian, sudah merupakan sebuah kewajiban bagi kita sebagai mahasiswa Islam untuk meneruskan semangat ukhuwah Islamiyah dan perjuangan dakwah yang diwariskan 66 Tahun yang lalu. Revitalisasi Gerakan Mahasiswa Islam tak kan tercapai bila masing-masing unsur gerakan Islam tetap taqlid dan fanatik buta terhadap rujukan ideologinya. Indepedensi gerakan juga mesti dijaga dimana menyatakan yang benar adalah benar, dan yang salah tetaplah salah.
Revitalisasi gerakan mahasiswa Islam harus diawali dengan iktikad dari masing-masing unsur gerakan untuk menggali lebih dalam esensi perjuangan terhadap umat, terlepas dari caranya apakah itu melalui penyampaian dakwah, penegakan khilafah & syariah, maupun penggunaan siyasah (politik). Sehingga tercapainya masyarakat madani dan rabbani ditengah-tengah ummat ini, bukan sekadar mimpi.
Sumber : http://www.suara-islam.com/read/index/6433/HMI-dan-Revitalisasi-Gerakan-Mahasiswa-Islam
Meruwat HMI
oleh: Anang Dianto
Ketua Komisariat Teknik UGM
Kini Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) telah berumur 66 tahun, usia yang cukup tua untuk sebuah organisasi kemahasiswaan yang independen, artinya organisasi ini berdiri murni karena desakan kondisi bangsa dan umat pada waktu itu. HMI bukan organisasi yang menjadi underbow organisasi manapun, bahkan berdirinya dipelopori oleh sekelompok mahasiswa yang menjadi pencetus ide secara murni dan alami, tidak ada dorongan dari tokoh maupun kelompok manapun pada waktu itu.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bukan saja menjadi sebuah organisasi kemahasiswaan, namun telah menjadi fenomena tersendiri bagi dunia gerakan mahasiswa maupun dunia politik di Indonesia. Mengingat, sudah tak terhitung tokoh-tokoh politik dan intelektual Indonesia yang dilahirkan oleh HMI. Organisai berlambang perisai ini telah berproses dan merasuk pada kesadaran masyarakat terutama para kader. Kesadaran ini membikin HMI muncul sebagai sesuatu yang hidup dan sakral di jiwa para kader. Dan jiwa inilah yang dibawa para kader ketika sudah menjadi alumni dan menempati posisi strategis, sehingga tak heran jika alumni masih mempunyai andil dalam “menghidupi” organisasi ini, dan fenomena inilah yang justru menjadi bumerang bagi HMI.
Pada milad HMI ke-50 yaitu 16 tahun yang lalu tepatnya tahun 1997, Prof. Agussalim Sitompul telah menulis 44 indikator kemunduran HMI. Dan analisis sejarawan HMI pada tahun 1997 yang tertuang dalam buku 44 Indikator kemunduran HMI itu kini benar-benar terbukti menjadi kenyataan.
Di antara kemunduran-kemunduran itu, di antaranya adalah makin menyusutnya pengaderan HMI yang menjadi nyawa organisasi ini, makin jauhnya HMI dari mahasiswa hal ini dibuktikan dengan HMI tidak lagi populis di kalangan mahasiswa terutama di kampus-kampus besar. Selain itu, kader-kader HMI yang seharusnya paham tentang keislaman justru dangkal pemahaman Islamnya dan lebih parahnya lagi seringkali perilaku para kader jauh dari nilai-nilai Islam, belum lagi tradisi keilmuan HMI yang mulai memudar. Kemunduran lainnya yang tak kalah memilukan adalah banyak di antara para kader yang justru menjabat sebagai fungsionaris-fungsionaris HMI terjebak dalam politik praktis, ditambah konflik politikk internal HMI yang offside.
Jika kita cermati, kemunduran HMI dapat dibagi menjadi tiga. Kemunduran yang pertama adalah kemunduran yang disebabkan oleh keadaan sosial-budaya yang telah berubah, sorotan utamanya adalah perubahan sosial-budaya di kalangan mahasiswa pasca reformasi. Sangat terasa sekali pola budaya mahasiswa berubah menjadi apatis dan study oriented, hal ini dibuktikan bukan hanya HMI yang mengalami penurunan kader tetapi banyak dari organisasi gerakan mahasiswa mengalami hal yang sama.
Ke dua, kemunduran yang disebabkan oleh internal kader HMI yaitu mulai memudarnya tradisi keilmuan dan jauhnya kader-kader HMI dari nilai-nilai Islam baik dalam pengetahuan maupun perilaku. Hal iniperlu mendapat perhatian serius, karena pengaderan yang menjadikan HMI berfungsi, maka fungsi itu tidak boleh dilepaskan dan harus dinomorsatukan.
Ke tiga, kemunduran HMI yang disebabkan oleh fungsionaris organisasi yang prgamatis baik di tingkat Pengurus Besar (PB), Badan Koordinasi (Badko), maupun tingkat cabang. Sifat pragmatis ini yang menggerogoti HMI dan berpotensi besar untuk menghancurkan HMI, sifat pragmatis tersebut dapat membahayakan organisasi karena menjadi penyebab terpecahnya organisasi.
Ketika melihat kondisi HMI yang baru-baru ini sedang dilanda konflik internal, hal itu juga disebabkan kepragmatisan fungsionaris-fungsionaris HMI yang mempunyai banyak kepentingan dan agenda gelap di balik nama besar HMI. Penulis jadi teringat cerita tentang Perang Paregreg yang akhirnya menghancurkan Kerajaan Majapahit, konon kemunduran Majapahit juga dipicu oleh perebutan kekuasaan yang menyebabkan perang saudara. Apakah HMI akan bernasib sama seperti kerajaan besar itu?
Karena bagaimanapun juga Pengurus Besar HMI menjadi interprestasi bagi kondisi HMI secara keseluruhan yang terdiri dari hampir 200 cabang di seluruh Indonesia. Indikasinya adalah hampir tidak ada yang bisa dilakukan oleh para pengurus cabang untuk mengakhiri konflik ini, hal ini menunjukkan bahwa banyak cabang-cabang yang juga terlibat dalam konflik ini, ada cabang yang mendukung salah satu pihak, ada yang mendukung pihak lain dan ada juga yang netral. Tidak ada rasa persatuan lagi di antara cabang-cabang, semua terjebak dalam kepentingan konflik.
Maka, menurut hemat penulis yang paling dibutuhkan oleh HMI sekarang adalah rasa persatuan dari para kader. Meskipun kepala sedang terbelah akan tetapi tubuh harus diikat menjadi satu. Caranya adalah dengan melakukan ruwatan bersama, HMI harus diruwat,dibersihkan dari segala bala dan energi-energi negatif yang melingkupinya. Meruwat adalah proses pembersihan melalui sebuah ritual yang biasa digunakan untuk orang, pusaka, atau bangunan (rumah).
Himpunan Mahasiswa Islam sebagai rumah para kader, sangat mungkin sekali ternoda oleh para penghuninya atau energi-energi negatif dari luar termasuk dosa-dosa para penghuni sebelumnya (alumni), maka dari itu ruwatan tidak salah untuk dilakukan. Ruwatan ini juga harus dijadikan sebagai momentum untuk meningkatkan rasa persatuan dan juga meningkatkan kondisi ruhiyah bagi para kader. Karena kita tahu, dengan kondisi ruhiyah yang baik maka perbuatan juga akan menjadi baik,dan ini juga menjadi momentum penyadaran bagi seluruh fungsionaris di HMI.
Ada berbagai macam bentuk prosesi ruwatan, ada yang menggunakan media nanggap wayang, tirakatan, atau dengan mandi kembang. Tetapi, hal yang paling mungkin dilakukan oleh para kader HMI adalah dengan mengadakan doa bersama dan tahlilan dengan diberi sedikit ubo rampe sebagai wujud syukur.
Kader HMI harus percaya pada kekuatan doa, seperti yang selalu dilantunkan dalam setiap acara pada Hymne HMI “Berdoa dan ikrar, menjunjung tinggi syiar Islam”.
Dengan prosesi ruwatan itu, maka diharapkan HMI yang telah merasuk dalam kesadaran para kader menjadi sebuah rumah itu dapat terbebas dari bala dan energi-energi negatif serta dapat mempererat rasa persatuan di antara para kader, supaya dalam kondisi yang seperti ini kondisi kader akan tetap solid. Tidak hanya itu, dengan ruwatan ini juga diharapkan dapat menyadarkan para fungsionaris HMI yang terlibat dalam konflik maupun yang mempunyai niat pragmatis.
Semoga “Perang Paregreg” tidak benar-benar terjadi di HMI, dan semoga rumah ini selalu dijauhkan dari bala dan marabahaya. Mari meruwat! Al-fatehah.
Sumber : http://hmibulaksumur.org/blog/2013/02/26/meruwat-hmi/
Minggu, 24 Februari 2013 | 13:26 WIB
Habibie: HMI Jangan Terlalu Dekat Politik Praktis
Mantan presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. ANTARA/Fiqman Sunandar
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Presiden Republik Indonesia Bacharudin Jusuf Habibie meminta organisasi mahasiswa termasuk Himpunan Mahasiswa Islam tidak terlalu dekat dengan politik praktis. BJ Habibie juga meminta HMI mereview nilai dasar organisasinya agar menyesuaikan dengan zaman.
"Organisasi mahasiswa tidak bisa terlalu politis," kata Habibie seusai menghadiri pembukaan Rapat Pleno III Himpunan Mahasiswa Islam di Jakarta, Ahad, 24 Februari 2013. Menurut dia, HMI bisa meninjau kembali nilai dasar organisasi yang sudah dipakai sejak pertama kali didirikan 66 tahun yang lalu. "Agar bisa mempersiapkan menjadi kader pembangunan," kata dia.
Dalam pidatonya Habibie menyampaikan agar pemuda tidak takut menjadi pemimpin. Dia mencontohkan dirinya yang begitu tamat SMA langsung bersekolah ke Jerman sehingga tidak sempat mengecap organisasi mahasiswa. Habibie menyampaikan, dia sama sekali tidak menyiapkan diri pernah menjadi menteri. "Saya cuma pengen bikin pesawat terbang," kata dia.
Menurut dia, seorang pemuda hanya menunggu saja menjadi pemimpin. Misalnya pemimpin di tingkat keluarga, organisasi, kelurahan, gubernur, hingga presiden. Karena itu dia juga meminta pemuda menyiapkan kualitas diri. Dia khawatir karena perilaku sebagian besar orang di Indonesia hanya ikut-ikut negara lain. "Bicaranya atas nama rakyat tapi tidak mencerminkan rakyat," kata dia.
WAYAN AGUS PURNOMO
Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2013/02/24/078463380/Habibie-HMI-Jangan-Terlalu-Dekat-Politik-Praktis
Silaturahim ke 'Pusat Dokumentasi HMI'
02 Sep 2012 17:09 WIB
Sebagai intelektual dan aktivis, hampir 50 tahun dari usianya didedikasikan untuk mendokumentasi gerakan mahasiswa Islam. Beliau adalah "Sejarah Berjalan" HMI.
Prof Dr H Agussalim Sitompul, Guru Besar di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogjakarta, kini sudah berusia 70 tahun. Siang kemarin, beliau menerima kunjungan silaturahim dari salah satu kader terbaik HMI, Anas Urbaningrum, yang juga mantan Ketua PB HMI periode 1997-1999.
Banyak hal penting muncul dalam silaturahim senior-yunior ini. Terutama, tentang perkembangan organisasi mahasiswa hijau-hitam: Himpunan Mahasiswa Islam.
Melalui akun @anasurbaningrum di jejaring sosial twitter dengan tagar (tanda pagar) #agussalimsitompul, Ketua Umum Partai Demokrat ini menyampaikannya untuk seluruh elemen bangsa. Inilah catatan lengkapnya:
Alhamdulillah, baru silaturrahim dng senior Prof Agussalim Sitompul di Depok Sleman.
Inilah senior Agussalim Sitompul, 70 tahun. Semangatnya tetap menyala.
Di rumahnya ada ruangan khusus "Pusat Dokumentasi HMI". Inilah yang terlengkap di Indonesia.
Selain menulis dan mendokumentasi, konsern besar Bang Agus adalah perkaderan.
Bang Agus punya pengalaman panjang tentang perkaderan HMI. Tidak kurang dari 50 tahun. Jadi bisa menilai dan membandingkan.
Bahkan dalam kondisi sekarang yang kurang sehat, masih siap memberikan materi pada berbagai training di banyak daerah.
Bang Agus cerita akan ke Sidempuan untuk sebuah agenda dan Intermediate Training. Hebat!
Sudah banyak sekali buku dan kader yang lahir dan sentuhan komitmen dan dedikasinya.
Komitmennya terhadao training (perkaderan) sama tinggi dengan mengajar di kampusnya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Selama 35 tahun mengajar di kampusnya, hanya 6 kali absen dan itu digantinya di kesempatan berikutnya.
Menurut penilaiannya yang argumentatif, perkaderan hijauhitam mengalami degradasi serius.
Penilaian itu berdasarkan pengalamannya selama 50 tahun, atau disebutnya sebagai 3 jaman.
Kondisi itu harus diperbaiki. Karena perkaderan adalah "nyawanya" HMI. Perkaderan yang berkualitas adalah kuncinya.
Bang Agus mengusulkan Lokakarya Perkaderan untuk membedah dan merumuskan sistem perkaderan bermutu dan kontekstual.
Apa yang dipikirkan dan diusulkannya bukan hanya bagus, tetapi jelas-jelas strategis dan mendesak.
Perkaderan adalah "mata air" kehidupan organisasi kader. Mata air harus tetap mengalir jernih, cukup dan bermutu.
Semoga Bang Agus terus sehat dan berkiprah untuk kemajuan himpunan, umat dan bangsa. Panjang umur dan produktif.
Terlalu banyak keunggulan Bang Agus. Sebagian adalah konsistensi, dedikasi dan ketelatenan.
Salam dari beliau untuk @ferrymbaldan, @kholismalik, @aripmust dan para sahabat yg lain.
Catatan redaksi: Prof Dr Agus Salim Sitompul memang layak digelari "sejarah berjalan" HMI. Paling tidak, ada 10 buku karya beliau tentang gerakan HMI sejak didirikan di Yogjakarta.
Buku-buku tersebut, yaitu: Sejarah Perjuangan HMI (1947-1975), HMI dalam Pandangan Seorang Pendeta: Antara
Antara Impian dan Kenyataan, Histiografi HMI (1947-1997), Pemikiran HMI dan Relevansinya Dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Citra HMI, Kohati Dalam Sejarah (1966-1984), 44 Indikator Kemunduran HMI, Suatu Kritik dan Koreksi untuk Kebangkitan Kembali HMI, HMI Mengayuh diantara Cita dan Kritik, Menyatu dengan Ummat Menyatu dengan Bangsa, Pemikiran Keislaman Keindonesiaan, Usaha-Usaha Mendirikan Negara Islam Dan pelaksanaan Syariat Islam di Indonesia.
Di antara pemikiran Prof Dr H Agussalim Sitompul, ada yang paling menonjol dan menjadi rujukan sejarah kontekstual HMI. Yaitu, tentang fase kesejarahan HMI dalam interaksinya dengan umat dan bangsa.
Prof Dr H Agussalim Sitompul, membagi kesejarahan HMI dalam lima zaman perjalanan HMI dan 10 fase perjuangan, yakni:
Pertama, zaman perang kemerdekaan dan masa kemerdekaan (1946-1949) yang dibagi dalam fase konsolidasi spiritual dan proses berdirinya HMI (November 1946-5 Februari 1947), fase berdiri dan pengokohan (5 Februari-30 November 1947), dan fase perjuangan bersenjata dan perang kemerdekaan, dan menghadapi pengkhianatan dan pemberontakan PKI I (1947-1949).
Kedua, zaman liberal (1950-1959). Pada masa ini HMI sibuk membina dan membangun dirinya sehingga menjadi organisasi yang solid dan tumbuh membesar. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta.
Ketiga, zaman organisasi terpimpin atau zaman Orde Lama (1950-1965). Zaman ini dibagi dua fase, yakni fase pembinaan dan pengembangan organisasi (1950-1963), dan fase tantangan I (1964-1965). Pada fase tantangan I, HMI menghadapi upaya pembubaran oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dihadapi HMI dengan strategi PKI (Pengamanan, Konsolidasi, dan Integrasi). Pada masa ini juga Ketua HMI, Mar’ie Muhammad pada 25 Oktober 1965 berinisiatif mendirikan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).
Keempat, zaman Orde Baru (1966-1998). Zaman ini dibagi ke dalam fase kebangkitan HMI sebagai pejuang Orde Baru dan pelopor kebangkitan angkatan 66 (1966-1968), fase partisipasi HMI dalam pembangunan (1969-sekarang), dan fase pergolakan dan pembaruan pemikiran (1970-1998) yang ”gong”-nya dilakukan Nurcholish Madjid (Ketua Umum PB HMI ketika itu) dengan menyampaikan pidatonya dengan topik
Keharusan Pembaruan Pemikiran dalam Islam dan Masalah Integrasi Umat” tahun 1970 di Taman Ismail Marzuki.
Kelima, zaman reformasi (1998 – sekarang). Zaman ini dibagi dalam fase reformasi (1998-2000) dan fase tantangan II (2000-sekarang). Dalam fase tantangan II HMI dituntut dapat terus eksis meskipun alumninya banyak tertimpa musibah dan HMI digerogoti berbagai macam permasalahan termasuk konflik internal yang di tingkat PB HMI sempat menimbulkan dua kali dualisme kepemimpinan.[AnasUnited/dari berbagai sumber/foto oleh Anas Urbaningrum]
Sumber : http://m.anasunited.com/read/silaturahim-ke-pusat-dokumentasi-hmi
Wawancara Fahmi Idris:
"Bisa Saja Gatotkaca Menjadi Arjuna"
------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------
Bagi Fahmi Idris, 57 tahun, kedekatan HMI dengan kekuasaan bukan masalah. Orang pertama Kodel (Kongsi delapan) yang bekas tokoh HMI ini mengatakan organisasi yang pernah turut dibesarkannya itu masih berada pada pakem lama, sesuai dengan misi yang diemban dirumuskan lima puluh tahun lalu. Yaitu mencetak kader-kader pencipta dan pengabdi. Kalau ada orang yang risau dengan sikap HMI itu, kata Fahmi, ini sesuatu yang biasa. "Itu hanya kemauan orang untuk memforsir HMI sesuai dengan keinginannya," katanya. Berikut wawancara telepon Edy B dari TEMPO Interaktif dengan Fahmi Idris, mantan Ketua Laskar Arief Rachman Hakim dan tokoh Angkatan 66 yang bicara dengan deras itu, Rabu, 26 Maret 1997.
------------------------------------------------------------------
Kedekatan HMI sekarang ini dengan pemerintah, apakah sudah tepat dengan misi HMI ketika dilahirkan?
Menurut saya tepat saja itu. Dalam pengertian HMI punya cita-cita, kader-kadernya menjadi pencipta dan pengabdi. Jadi dia kreatif dan responsif terhadap perkembangan. Jadi kalau HMI mengadakan kegiatan dan mampu, itu cocok saja.
Responsif berarti kritis?
Iya, itu merupakan bagian dari independensi HMI. Saya menafsirkan dari kata pencipta dan pengabdi itu begitu. Jadi tidak dalam pengertian pasif. Tetapi mengkuti perkembangan sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya.
Bagaimana dengan anggapan HMI sekarang kurang kritis dibanding organisasi kemahasiswaan lainnya?
Barangkali itu berkaitan dengan kondisi sosial politik. Karena HMI tidak bisa menjadi pemberang terus menerus. Atau menjadi kritis tanpa alasan. Seringkali masyarakat menghendaki seseorang berperan terus menerus berada di sebelah kanan atau di sebelah kiri terus, tanpa melihat perkembangan-perkembangan yang harus diberi respon sesuai dengan perkembangannya. Karena sering kali masyarakat memvonis, tidak bisa Gatotkaca berperan sebagai Arjuna. Masyarakat kita ini pasif karena terikat simbol-simbol.
Pengabdian HMI melewati dinamika politik yang berkembang menjadikan HMI mengabdi kepada struktur yang ada sekarang ini mengingat banyak kadernya di struktur politik?
Bukan itu. Tujuan HMI yang dirumuskan pada tahun 1947 ialah melahirkan kader-kader yang bisa mencipta dan mengabdi sesuai dengan syariah, seorang pengabdi yang bernafaskan Islam. Itu sejak dulu, sejak didirikan. Bukan mengabdi yang sekarang.
Jadi karena sekarang ini banyak alumni HMI yang menjadi elite pemerintah?
Itulah, masyarakat kita terikat pada simbol. Masyarakat kita ini masyarakat yang fanatik dan tidak dinamis. Dia tidak bisa melihat perkembangan memungkinan Gatot Kaca sebagai Arjuna. Bukankah simbol-simbol itu juga diciptakan oleh masyarakat sendiri. Seperti pada tahun 1945, masyarakat yang berjuang. Pada tahun sekian persepsi masyarakatnya juga berkembang. Tidak semua orang HMI ada pada kekuasaan.
Mengapa pemerintah berkepentingan terhadap HMI?
Di mana pun pemerintah itu butuh organisasi yang besar dan solid.
Apakah ini manuver HMI menjelang pemilu?
Manuver apa. HMI tetap kritis.
Contohnya?
Kritik itu terus menerus kami lakukan. Sudah banyak juga yang sudah dilakukan HMI. Jangan dipengaruhi pandangan masyarakat yang tanpa selidik.
Jadi kondisi HMI sekarang ini seperti apa?
Sesuai dengan yang dicita-citakannya. Tidak ada perubahan dari HMI. Kelainan itu datang dari orang yang menghendaki Gatot Kaca itu terbang terus menerus. Padahal itu 'kan dongeng. Tidak bisa dong hidup dalam dongeng. HMI terus merespon situasi yang berkembang. Tidak bisa HMI mengambil sikap seperti pada tahun 1947.
Ketika itu Bangsa Indonesia masih menghadapi penjajah Belanda. Kalau masyarakat menghendaki HMI terus seperti itu, maka HMI tidak berkembang dong! Atau masyarakat tidak bisa menghendaki HMI seperti pada tahun 1965-1966, ketika situasinya begitu. Sekarang ini bisa tidak masyarakat melihat HMI tahun 1990-an di mana situasinya berbeda? Memang ada kelemahan dan ada kemajuan. Yang menjadi pertanyaan, apakah HMI dapat merespon kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya?
Bagaimana dengan anggapan HMI itu besar karena banyak alumninya yang menjadi menteri?
Saya kira itu keliru. 'Kan banyak varian yang lain. Karena yang di kekuasaan itu juga sejumlah individu.
Ada kader HMI yang berada di luar kekuasaan?
Banyak, kader HMI yang berada di luar kekuasaan dan bentrok dengan kekuasaan. Ridwan Saidi itu HMI, Dahlan Ranuwihardja itu HMI. Dawam Rahardjo itu, jadi jangan melihat HMI hanya Beddu Amang (Kabulog). HMI juga harus dilihat dari banyak variannya. Berapa banyak yang seperti mereka. Dan ketika HMI memberikan kritik kepada kekuasaan, orang tidak melihat.
Dibanding figur kepemimpinan sebelumnya seperti Nurcholis Madjid, HMI sekarang ini cenderung menurun semangat intelektualitasnya.
Apakah memang organisasi HMI cenderung dipengaruhi pemimpinnya?
Saya tidak mengatakan itu. Kalau dikembalikan kepada tujuannya yaitu bisa mencipta dan mengabdi yang sesuai dengan nafas Islam.
Kalau ada kritik dari ormas lain seperti kelompok Cipayung yang menginginkan HMI dapat terus bergabung untuk menyikapi masalah kebangsaan, sebagai gerakan moral bukan gerakan politik?
Biasa saja. HMI dari dulu selalu dibegitukan karena mereka tidak paham. Mereka hanya mau memforsir kemauan mereka. Dari dulu HMI selalu sendirian. Kalau sekarang ini HMI ditinggal, itu sesuatu yang dinamis dari masyarakat muda saja. Saya mengalami ketika dulu HMI dipencilkan. Itu bukan kejadian yang pertama. Ini konsekuensi dari organisasi yang independen.
Termasuk ketika tidak bergabung dalam Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia, FKPI?
Iya, itu bentuk independensi. Ketika HMI melawan Soekarno dan melawan PKI itu bentuk independensi dan lebih berat dulu dari sekarang. HMI dulu sendirian, menghadapi rombongan seperti GMNI itu sudah dari dulu. Dan itu biasa saja karena itu menunjukan suatu keberanian. Kenapa harus khawatir berbeda, baik yang dari sudut kanan maupun dari sudut kiri. Ketika kami berbeda di sudut kanan lantas kami dianggap di sudut kiri. Begitu kami di sudut kiri, kami dianggap anti sudut kanan. Itu yang independen karena tidak seimbang.
Tidak takut dikucilkan?
Kenapa takut?! Dari dulu saya sendirian di kampus. Saya dikeroyok ramai-ramai bukan oleh organisasikemahasiswaan, oleh partai PNI rame-rame. Tidak apa-apa itu, sepanjang yang kami rumuskan itu suatu sikap yang kami yakini benar, walau kemudian menimbulkan reaksi seperti itu.
Sumber : http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/04/14/0005.html
Renovasi HMI Di Usia 65
Posted by Rifki,ST ⋅ February 15, 2012
“Hari ini adalah rapat pembentukan Organisasi mahasiswa Islam karena semua persiapan maupun perlengkapan yang diperlukan sudah beres.”
Demikan prakata seorang mahasiswa yang bernama Lafran Pane membuka rapat pendirian Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), tepatnya 65 tahun silam. Hari rabu 14 Rabiul Awal 1366H, bertepatan 5 Februari 1947 M. rapat yang berlangsung di salah satu runga kuliah STI (Sekarang UII) Yogyakarta, disaksikan Husein Yahya (mantan Dekan Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) yang seharusnya mengajar kuliah tafsir, mengesahkan berdirinya HMI.
Semenjak saat itu HMI mendapat sambutan hangat tidak hanya dari kalangan mahasiswa Islam, melaikan dari seluruh elemen bangsa. Itu terbukti dengan ucapan Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam sambutan pada peringatan 1 Tahun berdiri HMI. Dalam kesempatan tersebut Jenderal Soedirman mengatakan “HMI hendaknya benar-benar HMI, jangan sampai suka menyendiri” bagi Pak Dirman, HMI yang benar bukan hanya Himpunan Mahasiswa Islam melainkan Haparan masyarakat Indonesia.
Sejarah membuktikan bahwa HMI sebagai ”anak kandung” bangsa, banyak berbaur dengan proses panjang (enduring process) perjuangan Indonesia. dalam proses-proses setting social tersebut HMI dengan cita-citanya Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, serta menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam sampai saat ini masih berdiri kokoh dan siap berjuang untuk umat dan bangsa ini.
Berbicara Sejarah HMI setidaknya ada lima zaman yang dilalui HMI, selama itu juga HMI melewati banyak tantangan dan rintangan seiring dengan ciri dan karakter masing zaman tersebut.
1. Pertama, Zaman kemerdekaan (1946-1949), HMI melewati beberapa fase, yaitu konsolidasi, pengokohan dan perjuangan menghadapi pemberontak PKI. Pada fase ini segenap kader HMI terjun kegelanggang medan pertempuran melawan Belanda, membantu pemerintah, baik langsung maupun tidak langsung. HMI membentuk Cops Mahasiswa (CM) di bawah pimpinan Ahmad Tirtosudirto, ikut membantu pemerintah dengan mengarahkan anggota CM ke gunung-gunung memperkuat aparat pemerintah. Sejak itulah dendam kesumat PKI terhadap HMI tertanam.
2. Kedua, Zaman Liberal (1950-1959), lewat kongres ke V HMI di Medan 1957 menghasilkan keputusan menuntut Islam sebagai dasar Negara dan mengharamkan penganut ajaran komunis.
3. Ketiga, Zaman Orde Lama (1950-1965), HMI menghadapi tantangan pembubaran oleh PKI lewat propagandanya dengan mencari dalil dan fitnah yang tidak ada buktinya. DN. Aidit sebagai pemimpin pimpinan PKI waktu itu menyebutkan “Seharusnya tidak ada plintat-plintut terhadapa HMI. Saya menyokong penuh tuntutan pemuda, pelajar, dan mahasiswa yang menuntut pembubaran HMI, yang seharusnya sudah lama bubar bersama dengan bubarnya Masyumi.” Pidato Aidit yang menyakitkan adalah “Kalau tidak sanggup membubarkan HMI pakai kain sarung saja.” Namun perlawanan terhadap gerakaan DN. Aidit tersebut datang dari generasi muda Islam (GEMUIS) yang lahir 1964, membentuk Panitia Solidaritasd Pembelaan HMI. Lewat apel akbarnya membawa spanduk yang berbunya “Langkahi Mayat sebelum goyang HMI”. Anti klimaks dari peristiwa itu, maka HMI secara organisatoris mengeluarkan pernyataan mengutuk Gestapu PKI lewat surat nomor: 2125/B/Sek/1965 yang ditanda tangani oleh Sulastomo sebagai Ketua Umum dan Marie Mahmammad sebagai sekretaris Jenderal PB HMI. Akhirnya HMI masih tetap bertahan sampai sekarang, sedangkan PKI dibubarkan oleh pemerintah.
4. Keempat, Zaman Orde Baru (1966-1998), HMI beperan sebagai pejuang Ode Baru dan pelopor kebangkitan angkatan 66 dengan membentuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), berpartisipasi dalam pembangunan serta atau pergolakaan dan pembaruan pemikiran Islam, puncaknya tahun 1970 takkala Cak Nur (Ketua Umum PB HMI dua periode) menyampaikan ide pembaruaan pemikir Islam dan masalah interaksi umat. Kelima, Zaman Reformasi (1998-sekarang) bila dicermati dengan seksama secara histories HMI sudah mulai melaksanakan gerakaan reformasi dengan menyampaikan beberapa pandangan yang berbeda dan kritik terhadap pemerintahan Orde Baru, seperti yang disampaikan oleh ketua Umum PB HMI Anas Urbaningrum pada waktu peringatan Dies Natalis HMI ke-51 di Graha Insa Cita Depaok tanggal 22 Februari 1998 dengan judul Urgensi Reformasi Bagi Pembangunan Bangsa yang Beradap. Pidato ini disampaikan 3 bulan sebelum lengsernya Presiden Soeharto.
Dengan kata lain, selama 65 tahun HMI telah mengarungi samudra Indonesia dengan segudang kontribusi dan pemikiran yang telah dihibahkan kepada bangsa dan masyarakat Indonesia. Baik kontribusi dalam konteks kebangsaan (keindonesiaan), keumatan (keislaman), dan pemikiran (intelektualitas).
Keberadaan HMI Di Sumatera Barat
Periodesasi perjuangan HMI tersebut sampai saat ini belum jua habisnya. Sampai hari ini HMI masih eksis mengawal Pemerintahan di Negara Repuplik Indonesia ini. Sampai detik ini proses kaderisasi dalam batang tubuh HMI masih terus berjalan. Dari aceh sampai Papua proses training HMI masih saja terjadi. Dalam data terakhir sudah ada lebih kurang 200 cabang HMI di Indonesia.
Dalam konteks lokal Sumatera Barat HMI tentunya punya sejarah yang panjang dimulai sejak Saidal Bahauddin menapakkan kakinya di tanah Minangkabau, Bukittinggi tahun 1956. Hingga detik ini meskipun beliau telah tiada, dimana udara pagi masih mengisi paru-parunya yang mana akal pikiran masih mendominasi gerak laku, kehadiran Saidal Bahauddin tetap berpijak pada pembinaan generasi muda calon-calon pemimpin masa depan. Pergulatan tiada henti semenjak sentuhan pertama dengan alam tempat nenek moyangnya dilahirkan dahulu, dengan penuh ketulusan, kedermawanan, ketegasan dan kasih sayang. Saidal Bahauddin yang dikenal dengan panggilan ”Abang” memancarkan cahaya pembaharu, sebagai pendobrak zamannya dan terus dikenal seperti itu sampai kini.
Konsisten dalam ucapan dan tindakan. Memperjuangkan ideologi dalam kesederhanaan dengan landasan Islam untuk kebangsaan dan kemasyarakatan. Demikian sekilas sikap almarhum Saidal Bahauddin, tokoh angkatan ’66 dari Provinsi Sumatera Barat. Sosok yang banyak mengilhami pergerakan generasi muda, terutama kalangan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Sumbar. Saidal Bahauddin beliaulah yang membawa dan mengembangkan HMI di Sumatera Barat ini.
Alhamdulillah semangat Lafran Pane dan Saidal Bahauddin sampai saat ini masih mengalir dalam tubuh kader HMI. meski zaman telah berubah HMI masih ada dan eksis di Sumatera Barat sampai sekarang. saat ini HMI masih konsisten menciptakan generasi-generasi berkualitas untuk umat dan bangsa ini. Dalam perjalannya dari 19 kabupaten/kota di Sumatera Barat, HMI telah memiliki cabangnya di 12 kabupaten/kota diantaranya: Padang, Batusangkar, Padang Panjang, Bukit Tinggi, Sijunjung, Payakumbuh, Pesisir Selatan, Solok, Pariaman,Lubuk Sikaping, Pasaman Barat, dan Solok selatan.
Keberadaan HMI sekarang
Belakangan peran-peran kebangsaan, keumatan, dan intelektualitas itu mulai memudar –untuk tidak mengatakan hilang sama sekali. Sehingga, muncul gugatan dari banyak pihak, bisakah sejarah kejayaan HMI masa lalu itu kita rengkuh kembali di masa kini?
HMI berperan penting dalam memberikan corak dan warna baru dalam pemikiran Islam. Jika ditelaah sejarah pembaruan pemikiran Islam pada 1960, HMI menjadi terdepan.Sepak terjang intelektual dan pemikiran kader-kader muda HMI yang dimotori oleh Nurcholish Madjid berhasil memberikan tafsir baru bagi lahirnya Islam yang inklusif, humanis, dan moderat.
Tampak sekali, betapa HMI menjadi king maker bagi arus perubahan, baik perubahan pemikiran maupun demokratisasi. Kala itu, HMI tidak saja bermain dalam tataran idealisme dengan keunggulan ide-ide kritis, gagasan-gagasan segar, dan karya-karya intelek tual, tetapi sekaligus mampu mengawinkannya dalam sebuah gerakan praksis.
Harus diakui, HMI hari ini ibarat serigala ompong yang hanya bias meraung, tetapi tak mampu menggigit. Ketika kader-kader HMI berteriak ”tegakkan hukum”, di saat yang sama kader HMI melabrak rambu-rambu hukum. Demikian pula, ketika HMI mengumandangkan ”berantas korupsi”, di saat yang sama banyak kader atau alumni HMI yang terlibat korupsi. Saya tidak bermaksud menguliti HMI dalam arti mencoba menguak borok dan bobrok organisasi yang didirikan Lafran Pane itu kepada publik. Saya juga tidak sedang mengadili HMI yang sudah mengalami kejumudan dalam berpikir dan ber karya. Baik buruknya HMI adalah tang gung jawab kita semua sebagai kader HMI
Apa yang saya ungkapkan ini adalah sebuah kenyataan empiris yang mau tidak mau harus kita sikapi bersama secara baik dan bijaksana sebagai bentuk tanggung jawab dan kecintaan kita terhadap HMI. Sebab, masa depan HMI sangat ditentukan oleh kader-kadernya saat ini, termasuk saya sebagai ketua umum. Dengan bersandar pada kelemahan itu, kita punya preferensi apa yang harus diperbuat dan dilakukan. Menemukan sandaran profetik untuk menyelesaikan problem itu demi kejayaan HMI di masa kini, esok, dan yang akan datang. Dari sudut pandang mana kita melangkah dan bertindak.
Sebab, kita tidak akan melakukan tindakan apa-apa jika hanya terlena pada kejayaan sejarah HMI di masa lalu. Sejarah masa lalu harus dijadikan cermin sekaligus otokritik pada masa kini. Dengan demikian, kita bisa menjadikan sejarah sebagai alat untuk melakukan dialog dan analisis. Apa pentingnya HMI punya sejarah emas kalau kenyataannya hari ini lembaran sejarah itu hanya sebagai pengantar di forum-forum diskusi belaka. Apa artinya pula HMI punya kader yang tersebar di seluruh Nusantara, tetapi mereka tidak mampu berbuat apa-apa.
Jika sejarah HMI di masa lalu itu kita rawat dan pertahankan hingga saat ini, betapa hebatnya organisasi ini, betapa dinamisnya organisasi ini, dan betapa dihormatinya organisasi ini. Kader-kader HMI tidak akan lagi dicap sebagai kader yang mendompleng sejarah kejayaan masa lalunya, tetapi kader yang mampu memproduksi sejarah sendiri.
Potensi besar kader HMI yang tersebar di kabupaten/kota di Indonesia ini adalah sesuatu yang harus dijaga. Diusia HMI yang ke 65 ini harus ada sebuah tekat bersama yaitu selalu menjadikan HMI sebagai harapan masyarakat Indonesia. Menjadikan HMI selalu memegang teguh Ideologinya. Semua itu memang tugas berat, untuk itu Renovasi gerakan HMI harus segera dilakukan.
Mewujudkan semua itu perlu dilakukan langkah-langkah strategis agar harapan tersebut tercapai secara maksimal. Meningkatkan solidaritas sesama kader merupakan keharusan yang dilakukan. untuk itu program-program harus dirancang meningkatkan itensitas Interaksi sesama kader karena Tiada Solidaritas Tanpa Interaksi, Tiada Interaksi Tanpa Komunikasi
kedepan HMI sebagai organisasi kader tidak boleh mengabaikan pengkaderan karena pengkaderan adalah jantung organisasi. Ketika pengkaderan tidak ada lagi, maka HMI hanya akan tinggal nama saja. Training Formal dan informal di HMI harus lebih Sering dilakukan, Diskusi-diskusi ilmiah juga harus lebih sering lagi dilakukan.
Untuk eksternal gerakan HMI difokuskan pada isu-isu yang menyentuh masyarakat bawah seperti pendamping agenda pengentasan kemiskinan dan pengangguran, pemberdayaan Pemuda. Akhirnya untuk mewujudkan harapan masyarakat Indonesia HMI harus dikembalikan kepada komunitasnya semula yaitu mahasiswa dan masyarakat (umat dan bangsa). Bahagia HMI, Bahagia Umat dan Bangsa.
Selamat ulang tahun Himpunan Mahasiswa Islam ke 65 bahagia HMI, yakin usaha sampai.
Sumber : http://kalikisantan.wordpress.com/2012/02/15/renovasi-hmi-di-usia-65/
DAFTAR NAMA-NAMA KETUA UMUM
PENGURUS BESAR HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)
DARI MASA KE MASA
No Nama Periode
1 Prof. Lafran Pane (Prof) 1947-1951
2 HMS. Mintareja (S.H.) 1948
3 Letjen. (Purn) A. Tirtosudiro 1948
4 A. Dahlan Ranuwiharjo (SH) 1951-1953
5 Lukman El-Hakim 1951
6 Deliar Nooer (Prof. DR.) 1953-1955
7 Drs. Amin Rajab Batubara (Prof. Drs) 1955-1957
8 Ismail Hasan Matareum (S.H.) 1957-1960
9 Drs. Nursal 1960-1963
10 Drs. Oman Kamaruddin 1960-1963
11 Dr. Sulastomo (dr., MPH.) 1963-1966
12 Dr. Nurcholis Madjid (Prof. DR.) 1966-1969
13 Dr. Nurcholis Madjid 1969-1971
14 Ir. Akbar Tanjung (DR. Ir.) 1971-1974
15 Drs. Ridwan Saidi 1974-1976
16 Drs. Chumaidi Syarif 1976-1978
17 Abdullah Hehamahua 1978-1981
18 Drs. A. Zacky Siradj 1981-1983
19 Harry Azhar Aziz (DR) 1983-1986
20 Ir. M. Saleh Khalid 1986-1988
21 Ir. Herman Widyananda 1988-1990
22 Drs. Ferry Mursidan Baldan 1990-1992
23 M. Yahya Zaini, SH 1992-1995
24 Drs. Taufiq Hidayat 1995-1997
25 Anas Urbaningrum 1997-1999
26 M. Fakhruddin 1999-2002
27 Kholis Malik/ Mukhlis Tapi-Tapi (Pj.) 2002-2004
28 Hasanuddin 2004-2006
29 Fajar Zulkarnain 2006-2008
30 Arip Mustofa 2008-2010
31 Nurfajriansyah 2010-2013
32 Drg. M. Arif Rosyid 2013-........
Sumber : http://perdjoeangansatoe.blogspot.com/2013/05/daftar-nama-nama-ketua-umum-pb-hmi.html
Sejarah Kongres HMI
Kongres ke-1 di Yogyakarta pada tanggal 30 November 1947, dengan ketua terpilih HS Mintareja.
Kongres ke-2 di Yogyakarta pada tanggal 15 Desember 1951, dengan ketua terpilih A. Dahlan Ranuwiharja.
Kongres ke-3 di Jakarta pada tanggal 4 September 1953 dengan formatur terpilih Deliar Noer.
Kongres ke-4 di Bandung pada tanggal 14 Oktober 1955 dengan formatur terpilih Amir Rajab Batubara.
Kongres ke-5 di Medan pada tanggal 31 Desember 1957 dengan formatur terpilih Ismail Hasan Metareum.
Kongres ke-6 di Makassar (Ujungpandang) pada tanggal 20 Juli 1960 dengan formatur terpilih Nursal.
Kongres ke-7 di Jakarta pada tanggal 14 September 1963 dengan formatur terpilih Sulastomo.
Kongres ke-8 di Solo (Surakarta) pada tanggal 17 September 1966 dengan formatur terpilih Nurcholish Madjid.
Kongres ke-9 di Malang pada tanggal 10 Mei 1969 dengan formatur terpilih Nurcholish Madjid.
Kongres ke-10 di Palembang pada tanggal 10 Oktober 1971 dengan formatur terpilih Akbar Tanjung.
Kongres ke-11 di Bogor pada tanggal 12 Mei 1974 dengan formatur terpilih Ridwan Saidi.
Kongres ke-12 di Semarang pada tanggal 16 Oktober 1976 dengan formatur terpilih Chumaidy Syarif Romas.
Kongres ke-13 di Ujungpandang pada tanggal 12 Februari 1979 dengan formatur terpilih Abdullah Hehamahua.
Kongres ke-14 di Bandung pada tanggal 30 April 1981 dengan formatur terpilih Ahmad Zacky Siradj.
Kongres ke-15 di Medan pada tanggal 26 Mei 1983 dengan formatur terpilih Harry Azhar Aziz.
Kongres ke-16 di Padang pada tahun 1986, dengan formatur terpilih M. Saleh Khalid, terpecahnya HMI menjadi dua yakni HMI DIPO dan HMI MPO
Kongres ke-17 di Lhokseumawe pada tanggal 6 Juli1988
Kongres ke-18, di Jakarta pada tanggal 24 September 1990 dengan formatur terpilih Ferry Mursyidan Baldan.
Kongres ke-19, di Pekanbaru pada tanggal 9 Desember 1992 dengan formatur terpilih M. Yahya Zaini.
Kongres ke-20, di Surabaya pada tanggal 29 Januari 1995 dengan formatur terpilih Taufik Hidayat
Kongres ke-21 di Yogyakarta pada tanggal 26 Agustus 1997 dengan formatur terpilih Anas Urbaningrum.
Kongres ke-22 di Jambi pada tanggal 3 Desember 1999 dengan formatur terpilih Fakhruddin
Kongres ke-23 di Balikpapan pada tanggal 30 April dengan formatur terpilih Cholis Malik
Kongres ke-24 di Jakarta pada tanggal 23 Oktober 2003 dengan formatur terpilih Hasanuddin
Kongres ke 25 di Makassar pada tanggal 20 Februari 2006 dengan formatur Terpilih Fajar R Zulkarnaen.
Kongres ke 26 di Palembang pada tanggal 28 Juli 2008 dengan formatur terpilih Arip Musthopa
Kongres ke 27 Depok pada tanggal 5 - 13 November 2010, dengan formatur terpilih Noer Fadjriansyah
Muhammad Edwan Ansari
- Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Barabai Sebagai Ketua Kabid Pembinaan Anggota tahun 2009-2010
- Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Barabai Sebagai Sekretaris Badan Penglola latihan tahun 2011-2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari