Minggu, Mei 24, 2015

HMI dan Proses Restrukturisasi Politik (Catatan Perjalanan HMI 1970-an) Oleh Ridwan Saidi Setelah ditumpasnya Gerakan G30S/PKI, dikalangan elit intelektual segala kegiatan diskusi dan bentuk pertukaran-pemikiran lainnya, mengerah pada bagaimana membangun ekonomi Indonesia. Disekitar tahun 1966-1969 muncul berbagai gagasan tentang moderenisasi menyeluruh di segala bidang. Karena moderinisasitak dapat dibiarkan sendiri seraya struktur politik belum baru sama sekali, bahkan dapat melukiskan sebagian “struktur Orde Lama Minus PKI” . Dikalangan Inteliktual muda mucul pendapat tentang approach moderenisasi yang digunakan. Ada yang masih cenderung menggunakan structural approach sebagimana tercermin dari pemikiran Rakhan Tolleng dan Minggunan Mahasiswa Indonesia Edisi Jawa Barat. Sebaliknya Nono Anwar Makarin cenderung memilih cultural apparoach. HMI lebih subtansi moderinesasi bukan westernisasi seperti yang diutarakan Nurcholish Madjid ketika berpolitik dengan Rosihan Anwar. Para ekonomi lebih cepat merumuskan kerangka dasar pembangunan ekonomi, bahkan pada tahun 1969 Repelita I mulai dilaksanakan. Pembangunan politik pada akhirnya cenderung mengarahkan pada proses restrukturisasi kelembagaan. Parpol tampak terengah-engah bursa politik. Mulai dari munculnya dari memformalkan Independent Group, yaitu kelompok yang mandiri dari segala afiliasi politik, sampai dalam masalah penyedarhanakan partai. Sementara itu KAMI bubar, berhubung tak dapat mencapai kesepakatan tentang pembantukan National of Student (NUS) pada februari 1969. Dewan–dewan Mahasiswa sendir gagal membantuk NUS di Bogor pada bulan desember 1970. Gagasan Amir Macahmud tentang pembentukan Persatuan nasional Mahasiswa Indonesia (PNMI) sebelumnya, sekitar akhir tahun 1966, ditolak mahasiswa. Ketika itu Amir Machamud menjabat sebagai Pangdam Jaya. Pembajakan Awalnya dasawarsa 70-an diwarnai dengan pembajakan organisasi, baik orma profesi maupun parpol. Agenda pembajakan terjadi pada tubuh Partai Muslim Indonesia, PSII, World Assembly of Youth di Indonesia. Sementara PWI memiliki pengurus kembar. Kongres PNI sendiri yang beralangsung di Semarang diwarnai dengan penggusuran dramatis terhadap kelompok Hardi. HMI memperlihatkan sikapnya yang jelas menolak pembajakan. Pernyataan politik dikeluarkan mengencam apa yang terjadi pad tubuh Partai Muslimin dan PWI. Tokoh-tokoh HMI juga menyatakan keperihatinannya atas musibah politik yang menimpa kongres PSII di Majalaya dan PNI di SEMARANG. Diskusi-diskusi yang diselenggarkan oleh Forum “Diskusi Kita” diharian KAMI sering diwarnai oleh kecaman tokoh generasi muda atas peristiwa tersebut. Peristiwa yang nyaris serupa terjadi pada tubuh generasi muda. Seperti diketahui ormas-ormas keagamaan, yang menentang komunisme menjadi anggota World Assembly of Youth (WAY) sejak tahun 19950-an. Hanya, di zaman Orde Lama forum ini dibekukan sendiri. WAY Indonesia aktif kembali pada zaman Orde Baru. HMI menjadi salah seorang pemimpinan presidium WAY indonesia. Musibah terhadap WAY terjadi pada tahun 1972 kegiatan bakti kemsyarakatannya dilarang di bebrapa daerah di Jawa Tengah. Presidium WAY Indonesia “membeku” selamnya. Gagasan restrukturisasi politik muncul dalam wujud yang jelas pada tahun 1973. Berbagai bentuk wadah “Federasi” dan “Fusi” dilahirkan, mulai dari HKTI, HSNI, FBSI, PPP, PDI, dan KNPI. Tahun 1973- 1974 diwarnai dengan kesibukan lobi politik pempinan-pimpinan organisasi. Boleh dikatakan restrukturisasi kelembagaan tuntas sudah pada akhir tahun 1974. Hanya organisasi intra universitas penatannya baru selesai 6 tahun setelah itu dengan dimantapkannya BKK di kampus-kampus pada tahun 1980. (Kemudian seperti diketahui pada tahun 1989 pemerintah mencanagkan gagasan pembentukan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), walaupun seiring dengan itu dikatakan bahwa senat Mahasiswa didirikan bukan dengan maksud menyalahkan BKK). Kontemplasi dan Proyek Dalam esai ringkas ini saya mencoba membuat catatan kontemplatif atas pengalaman, di mana saya terlibat, sejarah pengalaman HMI pada dasawarsa 70-an. Selaku aktivitas HMI saya ikut serta dalam perjuangan mempertahankan eksistensi HMI dari pengganyangan PKI dan antek-anteknya. Saya juga ikut serta dalm perjuangan meruntuhkan orde lama. Tetapi perjuangan memelihara eksistensinya HMI pada tahun 70-an mempunyai nuansa yang lain. Kerena pada saat itu berjuang tidak hanya cukup bermodalkan semangat dan badan sehat seraya ditambahkan sedikit akal, tetapi memerlukan kelincahan lobi, dan kematangan siasat serta keluwasan pergaulan. Eksklusivisme sama sekali ditinggalkan, Krena HMI perlu memperluas pergaulannya. HMI perlu mencoba mengerti apa yang dipikirkan orang lain. Kecerdasan sesudah tertentu amat diperlukan, karena suasana inteliktual sudah mewarnai kehidupan para aktivis. Diskusi-diskusi ilmiah diadakan di mana-mana, termasuk oleh Kelompok Cipayung. Cipayung tidak lagi banyak menghasilkan statement pendek ala perjuangan zaman Demokrasi Tepimpin, tetapi lebih banyak melahirkan pokok-pokok pemikiran. Aktivitas HMI pada level cabang dan badko juga kesulitan menaikkan kualitas. Hal itu terasadari beratnya menghadapi forum-forum breafing kepada cabang/badko, sidang pleno/MPK, atau kongres. Mereka menuntut penalaran dari sebuah kebijaksanaan PB HMI, dan kami tidak cukup hanya menagih ketaatan mereka atas kebijaksanaan yang dikeluarkan. Sesuadah tentu suasana yang dihadpai oleh aktivis HMI generasi kini amat berbeda dengan zaman ketika saya masih aktif. Berkat lahirnya UU No. 8 Tahun 1985 tentang Ormas, dapat dikatakan eksistensi HMI terjamin secara hukum. Tentu saja eksistensi memerlukan bukti de facto dari HMI sendiri bagaiman menyatakan kehadirannya di kalangan mahasiswa khususnaya, dengan aktivitas yang nyata. Kualitas mahasiswa sekarangpun berbeda mereka jauh lebih baik gizinya dengan angkatan lama, juga mereka berpeluang mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya berkat era teknologi komunikasi modern. Mereka juga kuliah dengan sistem pendidikan yang makin baik dan tenaga pengajar yang makin berkualitas. Ringkas kata, di masa mendatang HMI dituntut untuk meningkatkan pelanyanan kepada mahasiswa secara lebih baik canggih dan intelektual. HMI pun jangan menyadari seraya berasyik-asyik dengan kejayaan masa lalu. Pergaulan dengan sesama ormas mahasiswa, ormas Islam perlu ditingkatkan terus-menerus, kemandirian HMI perlu terus diprtahankan, bagaimana aktivitas HMI dewasa ini juga lebih menghayati persoalan-persoalan generasi muda serta masa depannya sendiri. Generasi saya atau generasi yang lebih tua lagi, pernah memperoleh kesempatan berkiprah dan berkhidmat dalam HMI. Masa muda tak mungkin diulang dua kali, kecualai oleh orang yang merasa kehilangan masa mudanya. Sebagai alumnus HMI, saya yakin dipercaya bahwa generasi sebelumnya. Setiap tahap sejarah (mestinya) ada peningkatan kualitas. Generasi angkatan saya dan yang lebih tua kini telah memilih lapangan dan profesi masing-masing, tentunya kami menyadari bahwa sebagai orang yang pernah menjadi anggoat HMI, dan kini berstatus alumni HMI, tidak mungkin menjadi HMI-wan abadi. Kalaupun mungkin ada kerinduan seperti itu, barangkali ada baiknya diingat sebaris sejak Rendra, Adakah kita kanak-kanak yang abadi? Sumber: Buku Dies Natalias ke-43 HMI, Penerbit PB HMI tahun 1990. 12. Lintasan Sejarah HMI 1971-1974. Oleh Akbar Tanjung Kepengurusan PB HMI periode 1971-1974 merupakan periode ke-11 dalam sejarah perjuanagan HMI, dimulai dari kongres X di Palembang, bulan Oktober 1971 sampai dengan kongres XI di Bogor, bulan Mei 1974. Kepengurusan periode ini merupakan periode ke-3 dalam zaman orde baru, yang transisi, yang tentu saja menuntut sifat bentuk perjuangan yang lebuh kualitatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari