Sebuah catatan kecil untuk sekedar dikenang dan orang tau bahwa aku pernah Hidup. Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia!” semoga dengan catatan kecil ini dapat bermanfaat dan menebarkan kebaikan Apa yang dikatakan akan lenyap, apa yang ditulis akan abadi. Aku melintasi kehidupan Kuberanikan diri menulis catatan ini untuk mengabadikan momen hidup (Muhamad Edwan Ansari)
Selasa, Mei 19, 2015
refleksi para kader HMI
SEKEDAR PENGANTAR
Assalamu”alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Dalam proses pendewasaan dan pemaknaan atas eksistensi organisasi, kiranya perlu dan harus ada waktu bagi kita untuk dapat melihat dan merenung kembali tentang asal muasal kehadiran, riwayat perjalanan, berikut merenungkan kembali arah dan orientasi organisasi dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer yang tengah berlangsung.
Lazimnya refleksi yang berisi ungkapan isi hati dapat berupa kesan, pesan, kritik, dan harapan. Refleksi dengan demikian diharapkan dapat dijadikan dasar untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas organisasi secara berkesinambungan, membangkitkan kreativitas dan inovasi baru, serta menumbuhkan semangat untuk lebih bergiat dalam pelaksanakan tugas-tugas keorganisasian dimasa yang akan tulisn yang hadir ke haribaan pembaca ini berisi kumpulan refleksi yang ditulis oleh para kader HMI yang pernah aktif dalam dalam jajaran kepengurusan HMI di berbagai tingkatan (dari Komisariat, Cabang, Badko, sampai PB) dan dari berbagai tempat (antara lain dari Aceh, Padang, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Ponorogo, Pontianak, dan Makassar), dalam rangka milad HMI.
Mereka mencintai, karena itu mereka menulis tentang HMI. Mereka mengingatkan kembali makna kehadiran organisasi ini yang diharapkan dapat menjangkau segenap komponen HMI dan seluruh generasi HMI. Memori kolektif generasi demi generasi mestilah senantiasa disegarkan. Karena dalam kandungan memori itu banyak yang bisa menjadi inspirasi untuk melangkah lebih baik ke depan.
Mungkin tidak semua kritik dan harapan mereka sampai kepada para pengambil keputusan di lingkungan struktur HMI, atau kalaupun sampai juga, tidak dianggap oleh pengurus HMI. Padahal sikap apriori dan apologi terhadap kritik yang ditujukan terhadap HMI hanya akan menjadi bumerang dan mengancam eksistensi HMI ke depan.
Degradasi perkaderan, pemahaman yang lemah terhadap konstitusi organisasi termasuk misi organisasi HMI, hubungan HMI dengan kondisi lingkungan sosial di mana dia berada, merupakan sedikit dari sekian banyak kritik yang muncul dalam refleksi para kader HMI, yang lebih dari layak untuk dipertimbangkan pengurus HMI disemua jajaran. Refleksi dengan demikian seharusnya diberi porsi yang lebih dalam pembacaan HMI. Karena disamping dapat berfungsi sebagai masukan bagi organisasi, juga membuktikan bahwa HMI masih ada.
HMI Cabang Barabai : Sebuah Potret lain HMI
Barabai sebuah kota kecil, adalah ibukota Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Propinsi Kalimantan Selatan. Jaraknya sekitar 155 kilometer dari Banjarmasin, ibukota Propinsi Kalimantan Selatan. Kalau ditempuh berkendara dari Barabai ke Banjarmasin sekitar 3-4 jam melalui darat.
Walaupun ada beberapa tokoh HMI yang kelahiran atau berasal dari Barabai yang sudah menjadi tokoh nasional, namun mereka digodok bukan di HMI Cabang Barabai, tetapi di HMI di luar Barabai. Sepanjang yang saya tahu, alumni HMI Cabang Barabai kalau di bidang birokrasi pemerintahan sampai sekarang ini paling tinggi atau “baru” sampai pada pejabat eselon III, yang menjadi anggota DPRD Kabupaten sekitar 0,33% dari jumlah anggota DPRD, yang menjadi guru dengan pangkat tertinggi IV/a, selebihnya adalah menjadi pedagang atau menekuni profesi lainnya. Sungguhpun demikian, tentu wajiblah kita senantiasa bersyukur ke hadirat Allah atas semua capaian itu.
Lima puluh tahun lebih sudah HMI hadir di Barabai, namun sampai sekarang masih belum mempunyai sekretariat tetap dengan status hak milik, sekretariat sering berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Sekretariat memang bukan segalanya, tetapi sangat penting. Begit pula referensi tentang ke-HMI-an yang dimiliki Cabang juga sangat terbatas. Buku-kuku tentang HMI? Mungkin hanya punya beberapa, dan bisa dihitung dengan jari, karena hampir dapat dipastikan bahwa selama sekitar lima puluh tahun itu, buku-buku tentang HMI tidak pernah ada sampai atau dijual di toko-toko buku di Barabai sini. Anda bisa bayangkan, kalau mau mendapatkan referensi tentang ke-HMI-an, para aktivis disini harus berjuang dengan keras, walaupun dengan adanya jaringan komunikasi sekarang ini kendala referensi ini relatif sudah banyak teratasi.
Dengan segala keadaan sebagaimana disebut di atas, hebatnya, kegiatan-kegiatan perkaderan tetap jalan (tentu dengan segala kesederhanaan dan keterbatasannya), dan HMI Cabang Barabai tetap eksis sampai sekarang! Kita tentu selayaknya bangga atas segala kerja yang dilakukan personalia pengurus dari periode ke periode, yang dengan bersemangat terus memelihara dan merawat HMI Cabang Barabai.
Dalam suatu rapat yang dihadiri oleh anggota, pengurus dan alumni HMI, bahkan ada kader HMI yang mengatakan bahwa para alumni HMI disini “pamalar” (pelit), kalau sudah menjadi “orang”, menjadi kurang perhatiannya terhadap adik-adiknya di HMI. Saya pikir pernyataan yang disampaikan adik kita itu adalah sesuatu yang tidak asing lagi. Dalam terminologi Taufiq Ismail, alumni HMI seperti itu disebut sebagai alumni “bayang-bayang” atau alumni yang masih tampak “bakhil”1). Saya sendiri waktu dulu masih aktif di kepengurusan HMI sering punya perasaan seperti itu; kenapa para alumni yang sudah pintar-pintar enggan menyumbangkan pemikirannya, kenapa alumni yang secara finansial sudah cukup mapan tidak juga mengulurkan tangannya, dan kenapa kita tidak cukup mampu memobilisasi semua potensi itu menjadi kekuatan riil untuk mengembangkan organisasi ini.
Akan sangat menggembirakan pula bila refleksi para kader yang tertuang dalam buku ini dapat menjadi daya gugah bagi segenap slag orde HMI untuk mempertahankan eksistensi dan memperbaiki dirinya dimasa datang.
Terakhir, izinkan saya mengutip bait terakhir dari puisi Ahmad Wahib : “Dalam liku-likunya Himpunan ini, kita masuk ke dalamnya. Dia masuk dalam diri kita, kita cinta. Karena itu kita bisa mencipta”. 2)
Billahit taufik wal hidayah
Wassalamu”alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Barabai, Agustus 2013
40 Tahun HMI
Empat Puluh Tahun HMI,
Tantangannya dan Peranannya
Oleh : Abd. Rasyid As’ad
________________________________________
Pada tanggal 5 Pebruari 1987 besok, HMI genap berusia 40 tahun. Dalam usianya yang ke-40 HMI sebagai organisasi kader dan organisasi perjuangan telah banyak mencicipi pahit getirnya kehidupan. Banyak sudah ujian yang dialami HMI, terutama dari Partai Komunis Indonesia. Bahkan sejarah telah mencatat bahwa organisasi ini nyaris bubar disaat baru saja berdiri. Dimulai sejak Agresi Belanda I dan II sampai meletusnya pemberontakan PKI di Madiun (1948) dan pemberontakan G 30 S/PKI (196).
HMI tidak henti-hentinya diuji, namun setiap kali mendapat ujian, setiap kali pula HMI menunjukkan baktinya kepada negara. HMI dan Masyumi pernah menolak Perjanjian Renville, karena perjanjian tersebut mempersempit wilayah kekuasaan RI. HMI juga ikut ramai-ramai menuntut pembubaran Kabinet Amir Syarifuddin yang berbau komunis. Organisasi kemahasiswaan terbesar ini, tercatat juga dalam sejarah memiliki Corp Mahasiswa yang menggempur Madiun Affair buatan PKI tahun 1948.
Salah satu contoh ujian berat yang pernah dialami HMI adalah ketika Belanda pada Angresi II membakar kantor PB dan HMI Cabang Yogyakarta tahun 1949. Kemudian diikuti dengan pembentukan organisasi pengganyangan HMI tahun 1965 yang terdiri dari tidak kurang 43 organisasi yang tergabung di dalamnya. Selain itu HMI pernah dibubarkan tanggal 12 Mei 1964 di Universitas Brawijaya Cabang Jember. Dikeluarkan dari jajaran Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa disemua perguruan tinggi. Bahkan dua organisasi non-Islam yang sekarang masih hidup pernah pula tercatat sebagai pengusul pembubaran HMI. Adalah Subandrio yang menyusun konsep pembubaran HMI, kemudian konsep itu disobek oleh Letjen Ahmad Yani. Tetapi HMI tetap tegar menghadapi segala ujian dan cobaan. Sehingga tidak heran kalau Panglima Besar Jenderal Soedirman memberi arti lain terhadap HMI, yaitu “Harapan Masyarakat Indonesia”.
Tantangan dan Peranan HMI
Mahasiswa sebagai kelompok kaum muda sebagai calon intelektual, menempati posisi strategis di setiap petala sosial kemasyarakatan. Keistimewaan yang disandang karena mereka memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan di jenjang perguruan tinggi, telah memberikan peranan tersendiri, yakni sebagai pemimpin di masa yang akan datang. Dalam mengembang tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin, mahasiswa dituntut keampuhan paripurna, sebagai intelektual yang tidak hanya bertumpu pada aspek formal penguasaan materi keilmuan, tetapi hendaknya didukung oleh potensi kepemimpinan dan keterampilan dalam upaya mengembangkan ide dan mengaktualisasikan gagasan-gagasan dalam konteks peningkatan dan kemajuan taraf hidup masyarakat.
Untuk itulah HMI sebagai organisasi kader memberikan konsumsi kepada anggotanya yang dijadikan bekal untuk mengembang tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin di masa yang akan datang. Di organisasi HMI mereka digodok agar mereka menjadi orang dan selanjutnya diharapkan mampu memainkan perannya di tengah-tengah masyarakat. HMI dengan ragam aktivitasnya membuka berbagai kemungkinan bagi mahasiswa untuk mengembangkan potensi kepemimpinannya. Institusi tersebut banyak memberikan saham untuk membentuk sikap dan kepribadian mahasiswa yang menyangkut kreativitas, sikap kritis, obyektif, dan penuh tanggung jawab.
Tidak diragukan lagi bahwa kehadiran HMI sebagai organisasi kader, menjadi sarana yang efektif untuk melatih diri dan menempa kemampuan pribadi yang dapat dijadikan bekal untuk menyambut gejala tantangan dan problematika masyarakat. Meskipun demikian dewasa ini terlintas suatu fenomena akan kurangnya minat mahasiswa untuk berkiprah dalam HMI. Betapapun mereka menyadari akan pentingnya organisasi dalam menunjang suksesnya studi di sebuah perguruan tinggi, namun banyak diantara mereka yang kurang merujuk mesra dengan organisasi HMI.
Hipotesis ini memang bukan merupakan hasil riset yang valid, tetapi indikasinya dapat kita rasakan bersama. Secara umum tergambar dari kuantitas partisipasi anggota HMI dalam berbagai aktivitas organisasi, sementara kadar kualitasnya pun belum memadai. Kalaupun terlihat suasana kegairahan, biasanya hanya terbatas pada aktivitas formal seperti BATRA, INTRA, ataupun kegiatan pengaderan lainnya. Gejala kelesuan ini tentu saja memerlukan perhatian yang serius dari setiap komponen organisasi HMI, untuk melakukan diagnosa guna mendapatkan obat untuk disuntikkan, sehingga gejala kekuranggairahan ini dapat dinormalisasi kembali kepada posisi normal dan proposional. Gejala kelesuan mahasiswa untuk berkiprah dalam HMI seperti yang digambarkan di atas, tentu saja juga dialami oleh organisasi-organisasi ekstra lainnya. Gejala seperti ini ternyata merupakan gejala kondisional yang merember ke berbagai organisasi kemahasiswaan.
Dengan mengarahkan pandangan pada kondisi obyektif perguruan tinggi dewasa ini, akan terbuka mata kita untuk membuka tabir melempemnya motivasi mahasiswa untuk berkiprah dalam organisasi. Seiring dengan diterapkannya konsep BKK/NKK dan yang merupakan policy pemerintah untuk menempatkan perguruan tinggi pada posisi yang ideal, yaitu lembaga ilmu pengetahuan yang ide dasarnya ditekankan pada aspek penalaran yang merupakan komponen pendukung perguruan tinggi, secara efektif telah membentuk paradigma baru di kalangan mahasiswa. Bagi mereka yang sekarang prioritas utama adalah sukses studi, baru kemudian memikirkan yang lainnya, seperti keharusan berorganisasi. Walaupun kadang kala pola pikir mereka agak kontras dengan jiwanya.
Arus kondisional yang seperti inilah yang suatu saat akan melahirkan sosok mahasiswa yang serbatanggung, karena adanya langkah yang tidak selaras antara keharusan dengan idealisme kejiawaan. Pelahiran yang tidak mapan dalam bidang keilmuan, disisi lain ketidakmampuan untuk menerapkan dan mengaktualisasikan materi keilmuan dalam masyarakat. Artinya yang bersangkutan belum siap pakai.
Segi lain yang patut diperhatikan adalah sistem perkuliahan SKS yang secara bertahap mulai diterapkan di berbagai perguruan tinggi. Sistem ini dimaksudkan agar mahasiswa tidak berlama-lama menuntut ilmu di perguruan tinggi. Mereka harus dapat menyelesaikan studi tepat pada waktunya. Akibat lanjut dari sistem ini adalah menggiring mahasiswa untuk tenggelam dalam kegiatan akademik semata. Sementara segi lain yang tidak kecil andilnya untuk mendewasakan mahasiswa, dalam hal ini organisasi, seperti HMI diabaikan.
Inilah barangkali satu di antara sekian banyak kendala dalam upaya menciptakan atusiasme mahasiswa untuk berkiprah dalam organisasi. Semua ini sangat memerlukan renungan dan kajian intensif dari anggota-anggota HMI, dalam konteks mencari alternatif bersama agar dapat menggairahkan kembali mahasiswa dalam organisasi HMI.
Terobosan Baru
Berangkat dari titian problematika di atas kita diajak mencari jalan keluar guna mengeliminir hambatan-hambatan yang terbentang luas dan lebar dalam rangka merangsang mahasiswa untuk berkiprah dalam HMI. Dalam hal ini, pendekatan pemecahan problematika akan selalu bermuara pada dua sisi peranan yang saling berkaitan, yakni : organisasi HMI sebagai institusi dan mahasiswa sebagai pendukung organisasi.
Himpunan Mahasiswa Islam sebagai organisasi kader, harus selalu mencanangkan program-programnya secara realistis yang dapat menyentuh kebutuhan para anggotanya. Menurut teori perilaku organisasi, intensitas hubungan antara stimulant dan respons akan meningkat kalau dibarengi dengan kondisi yang menyenangkan. Jika organisasi mampu merumuskan program-programnya yang dapat menyentuh kebutuhan yang asasi para anggotanya, tentu organisasi tersebut akan berhasil menarik massa, yang pada akhirnya akan terpanggil kegairahannya untuk ikut berkiprah dalam organisasi.
Pada sisi lain mahasiswa sebagai pendukung organisasi hendaknya berupaya menanamkan kesadaran dalam dirinya akan perlunya efektifitas peran yang tidak saja lahir dari belajar, tetapi juga organisasi, seperti HMI. Dalam konteks inilah mahasiswa bisa berakomodasi dengan kondisi sekitar yang mengitari ruang lingkup geraknya. Selain itu, juga dituntut kearifan dan kepandaiannya untuk memanfaatkan secuil sarana dan arena kegiatan yang ada.
Semoga HMI dalam usianya yang ke-40 semakin dewasa menatap problematika umat, khususnya problematika yang terjadi dalam tubuhnya sendiri agar HMI betul-betul menjadi Harapan Masyarakat Indonesia. Dirgahayu HMI.[]
42 Tahun HMI
Citra Pertanian dan Pengembangan Petani Muda Indonesia
Oleh : M. Saleh Khalid
________________________________________
Tahun 1988 lalu, ketika penulis menjajagi kemungkinan pelaksanaan Kongres ke-17 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Aceh, Gubernur Aceh Prof. Dr. Ibrahim Hasan mengajak penulis dan beberapa rekan untuk ikut serta dalam kunjungan daerah ke Takengon, Aceh Tengah, dalam rangka Hari Penghijauan Nasional. Di dalam perjalanan, beliau mengatakan bahwa Aceh tidak memerlukan kunjungan Menteri Negara Urusan Pengembangan Wanita.
Penulis agak tertegun mendengar pernyataan tersebut. “Anda lihat, di kiri-kanan kita para wanita tua bekerja di sawah. Tidak terlihat seorang lelaki pun, apalagi pemudanya”.
Dengan penjelasan itu, pahamlah penulis akan maksud beliau. “Jika para pemuda kita beri traktor, tentu mereka akan tertarik untuk bertani di desa,” sambung beliau. Setelah itu, beliaupun mengaitkan masalah ini dengan strategi pengembangan zona pertanian dan zona industri di Aceh.
Pada tanggal 23-24 Januari 1989 yang lalu, penulis menghadiri Kongres IV Perhimpunan Agronomi Indonesia (Peragi) untuk menyampaikan makalah berjudul Peningkatan Kualitas dan Swadaya Petani mewakili Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) melalui Ketua Badan Khusus Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pusat HKTI.
Di dalam forum tersebut, masalah peranan petani muda muncul kembali. Tidak kurang Ketua Umum Peragi Prof. Dr. Ir. Gunawan Satari sendiri, sebagai salah seorang pembawa makalah, berkesimpulan bahwa pertanian tangguh – yang menjadi tema pokok forum ini – hanya dapat dibangun oleh petani tangguh, yakni petani yang mengacu kepada perubahan orientasi dari petani subsistem menjadi petani yang berorientasi pasar dan industri, dalam konteks agribisnis; dan harapan untuk itu tertumpu kepada petani muda yang memang lebih berpendidikan.
Namun citra pertanian yang harus dikembangkan adalah citra pertanian modern, yakni pertanian yang menerapkan teknologi maju, baik teknologi biologis, teknologi kimia maupun teknologi mekanis. Perlu ditunjukkan, bahwa pertanian juga merupakan industri, yakni bioindustri, yang memerlukan manajemen profesional dan teknologi maju.
Beberapa faktor Penunjang
Akhir-akhir ini masyarakat sering tersentak dengan pernyataan-pernyataan Menteri Dalam Negeri Rudini. Salah satu pertanyaan yang menggembirakan hati adalah tentang pemikiran lahan yang tidak produktif yang apabila sudah tiga tahun tidak membayar pajak lahan tersebut akan dirampas oleh negara.
Memang demikianlah kenyataannya, di desa-desa saat ini banyak dijumpai “tanah absente” yang tidak produktif milik orang-orang kota. Sebagian lahan memang digarap oleh mantan pemiliknya, yakni petani yang kini berburuh di atas lahannya sendiri, suatu gejala yang umum terjadi di pedesaan dalam dua dasawarsa terakhir ini.
Meminjam istilah Prof. Dr. Ir. Rudolf Sinaga, gejala ini disebut marjinalisasi penguasaan atas faktor-faktor produksi oleh masyarakat desa, namun pada saat yang sama terjadi akumulasi penguasaan atas faktor-faktor produksi oleh orang-orang kota.
Dalam sebuah lokakarya Kebijaksanaan Operasional Pengembangan Hortikultura di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Badan Khusus Litbang Pusat HKTI pada tanggal 28 Januari 1989 di Kantor Pusat Pengembangan Agribisnis (PPA) Jakarta, salah seorang pemrasaran menyatakan bahwa lahan usaha tani di Indonesian pada dasarnya ada, tetapi tidak ada. Berdasarkan kenyataan inilah mungkin pemerintah membentuk Badan Pertanahan Nasional agar sistem pemilikan lahan dapat ditata kembali sesuai dengan undang-undang yang berlaku, sehingga sumberdaya lahan yang semakin langka ini dapat dimanfaatkan secara lebih efisien dan efektif.
Apabila masalah lahan ini dapat dipecahkan, yang kemudian didukung oleh pengembangan infrastruktur, sumberdaya manusia dan kelembagaan sosial-ekonomi di wilayah-wilayah pengembangan komoditas pertanian, niscaya tekad untuk membangun pertanian tangguh dapat tercapai, yakni pertanian yang dengan dinamis dan ulet mampu secara optimal memanfaatkan sumberdaya alam, tenaga, modal, dan teknologi yang ada pada lingkungan fisik dan sosial tempatnya berpijak, yang sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Pengertian ini mencakup kemampuan petani untuk mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan sumberdaya alamnya.
Pola struktur produksi pertanian mengikuti dinamika perubahan permintaan industri hilir dan konsumen akhir, memberikan umpan balik dan jasa serta berperan positif dalam pembangunan regional dan nasional yang serasi.
Adanya Rapat Kerja Nasional Terpadu antara Departemen Perindustrian dan Departemen Pertanian yang diselenggarakan pada tanggal 19-20 Januari 1989 di Jakarta telah memberi titik terang ke arah ini. Rapat kerja tersebut membicarakan pengembangan agroindustri di pedesaan yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian melalui industri untuk menambah lapangan kerja, meningkatkan ekspor dan pembangunan ekonomi pedesaan.
Strategi Pengembangan Petani Muda
Dengan mewujudkan beberapa faktor penunjang di atas, kaum muda dengan sendirinya akan tertarik ke bidang pertanian. Ada dua cara yang dapat ditempuh, yakni membina petani yang berusia muda atau membina pemuda untuk bergerak di sektor pertanian modern. Cara yang terakhir ini menjadi sangat relevan di tengah kenyataan membengkaknya jumlah pengangguran yang berpendidikan termasuk lulusan perguruan tinggi. Hal yang lebih tragis lagi, justru masalah pengangguran ini telah melanda lulusan pendidikan tinggi pertanian sendiri.
Menjadi petani muda dalam citra pertanian modern bukanlah sesuatu yang sulit, bahkan harus menjadi tantangan dan medan perjuangan yang baru. Namun, semua pihak hendaknya menyadari, bahwa dukungan teknologi yang memadai merupakan syarat mutlak bagi daya tarik kaum muda untuk bergerak di sektor pertanian, di samping faktor-faktor produksi lainnya sehingga memungkinkan para pemuda yang berpendidikan tersebut mengaktualisasikan potensi intelektualnya secara maksimal dalam bentuk kreasi-kreasi usaha tani dan agroindustri dalam rangka memberikan nilai tambah yang maksimal dalam proses usahanya.
Etos kerja dan kreativitas tampaknya bukanlah keadaan yang berdiri sendiri. Secara manusiawi dan realistis, dalam tingkat perkembangan masyarakat Indonesia saat ini, aktualisasi etos kerja dan kreativitas tersebut masih memerlukan sistem intensif yang konkrit dan rasional.
Oleh karena itu, pengembangan petani muda ini haruslah dibangun dalam konteks skala usaha tani yang memungkinkan mereka meletakkan kerangka masa depan kehidupan secara layak dan manusiawi. Ini berarti, pengembangan perkebunan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dengan pengembangan komoditas yang memiliki keunggulan komparatif yang berkesinambungan merupakan jawaban yang ideal. Namun, akhirnya yang penting adalah kepeloporan jua : siapa yang akan memulai?
Menghadapi pertanyaan di atas, penulis teringat ketika Lembaga-lembaga Kekaryaan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sedang “naik daun” di bawan kepepimpinan dr. Sulastomo, Ketua Umum Pengurus Besar HMI masa itu. Ketika itu, pada awal Orde Baru, Pengurus Pusat Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam (LPMI) HMI secara fungsional ikut merintis program Bimas/Inmas yang kini tengah membuahkan swasembada beras sebagai prestasi petani Indonesia yang patut disyukuri.
Kini, ketika kita dihadapkan kepada tantangan untuk menciptakan struktur perekonomian yang seimbang antara sektor pertanian, industri, dan jasa; dapatkah HMI tampil ke depan untuk menyumbangkan kader-kadernya yang terbaik menjadi petani muda yang tangguh sebagai tulang punggung pertanian tangguh?
Dalam detik-detik Peringatan Nasional 42 Tahun HMI saat ini, pertanyaan di atas patut kita renungkan bersama. Perenungan ini perlu dihayati secara mendalam, ketika slag-orde alumni HMI kini telah memasuki lapisan menengah dan atas, membaktikan dirinya di hampir semua lini kepemimpinan bangsa.[]
Pelita, 3 Pebruari 1989
44 Tahun HMI
Perlunya Makna Baru Independensi HMI
Oleh : Sudirman Tebba
________________________________________
Peringatan dies natalis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 5 Februari ini mempunyai makna tersendiri, terutama karena meninggalnya pendiri HMI, Prof.Drs. Lafran Pane, 24 Januari 1991. Biasanya memang setiap peringatan dies natalis HMI selalu diwarnai dengan renungan terhadap perjalanan organisasi ini sejak kelahirannya 44 tahun lalu hingga kini, serta peranan Lafran Pane di dalamnya.
Lafran Pane memperoleh kedudukan yang khas di HMI, tidak saja karena ia adalah pendiri, tetapi juga senantiasa mengikuti kegiatan HMI. Boleh dikata, ia tidak pernah absen menghadiri kongres-kongres HMI, suatu hal yang mungkin tidak pernah dilakukan oleh alumni yang lain.
Para alumni HMI biasanya hanya datang ke kongres kalau diundang memberikan ceramah. Itupun kehadirannya terbatas pada saat berceramah. Sedang Lafran Pane mengikuti kongres dari pembukaan sampai penutupan, diundang bicara atau tidak.
Itu misalnya terlihat pada Kongres ke-18 HMI, 17-24 September 1990 di Jakarta. Lafran Pane kelihatannya puas terhadap hasil kongres, terutama pemilihan formatur/ ketua umum baru yang memperlicin jalan menuju penyelesaian konflik intern HMI.
Rekonsiliasi
Perkembangan yang paling menonjol dalam kongres yang lalu itu adalah ikut sertanya suatu kelompok HMI, yang sebelumnya menamakan diri sebagai MPO (Majelis Penyelemat Organisasi). Tentu saja hal ini sangat positif, karena dalam dua kongres sebelumnya yaitu Kongres ke-16 di Padang tahun 1986 dan Kongres ke-17 di Lhokseumawe Aceh tahun 1988, kelompok MPO menolak ikut kongres. Malah mereka menyelenggarakan pertemuan yang mereka sebut sebagai “kongres” di luar kongres yang sah.
Keikutsertaan kelompok MPO dalam kongres yang lalu tentu disambut baik, karena setidaknya merupakan rekonsiliasi yang dapat menyelesaikan sebagian konflik intern HMI. Proses rekonsiliasi ini diharapkan dapat berkembang sampai ke tingkat Cabang, sehingga perpecahan selama ini di beberapa Cabang HMI segera berakhir.
Di antara manfaat rekonsiliasi itu, tidak saja sekedar mempererat kembali persaudaraan sesama aktivis HMI, tetapi yang lebih penting lagi adalah memperlancar pelaksanaan program yang selama ini tersendat-sendat karena konflik intern.
Cabang-cabang yang dilanda konflik intern banyak yang cenderung vakum. Kalaupun ada kegiatan yang diselenggarakan oleh pihak-pihak yang bertikai, biasanya mereka tidak lagi menyelenggarakan perkaderan untuk meningkatkan kualitas kadernya, tetapi semata-mata hanya untuk memperlihatkan eksistensi masing-masing.
Karena itu, masa rekonsiliasi ini merupakan momentum yang tepat untuk mengembangkan pengkaderan HMI. Selama konflik intern itu menajam di masa lalu telah membuat pengkaderan itu terbengkalai, dan organisasi ini kelihatan tidak menarik bagi para mahasiswa, terutama mahasiswa yang berkualitas.
Para mahasiswa yang semula tertarik masuk HMI, lalu mencari kegiatan lain di luar organisasi ini. Mahasiswa yang berorientasi pada pengembangan intelektual juga tidak tertarik masuk HMI. Mereka lebih suka membentuk kelompok-kelompok studi sendiri.
Akibatnya HMI tidak memperoleh kader-kader yang bermutu, sehingga mahasiswa yang bertahan dalam organisasi ini umumnya yang kadar intelektualnya relatif rendah. Rendahnya kualitas kader dewasa ini telah sering dikemukakan oleh para pengurus HMI, dari tingkat Cabang sampai Pengurus Besar.
Disamping itu, berkurangnya minat mahasiswa di perguruan-perguruan tinggi negeri yang besar untuk menjadi anggota HMI, sebagaimana sering disinyalir oleh para pemimpin organisasi ini, merupakan kenyataan lain yang memperkuat asumsi bahwa HMI cenderung ditinggalkan oleh mahasiswa-mahasiswa yang berkualitas.
Walaupun mahasiswa perguruan tinggi swasta tidak semuanya rendah kadar intelektualnya, tetapi sampai kini masih diakui bahwa mahasiswa perguruan tinggi negeri yang besar kualitasnya cukup baik, tidak saja karena mereka melewati proses seleksi yang ketat, tetapi juga ditunjang oleh sarana yang memadai, seperti perpustakaan yang lengkap, staf pengajar yang lebih bermutu, dan sebagainya.
Karena itu sampai sekarang kualitas kader organisasi kemahasiswaan, seperti HMI, antara lain ditentukan oleh kemampuan merekrut anggota dari perguruan tinggi negeri yang besar. Meski dewasa ini mulai ada pula perguruan tinggi swasta yang besar, yang juga cukup bermutu, tetapi jumlahnya masih amat terbatas.
Dalam masa rekonsiliasi ini, HMI memiliki peluang untuk memperbaiki citranya di berbagai perguruan tinggi negeri untuk merekrut anggota-anggota yang bermutu. Bila kesempatan ini tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya, mungkin saja pamor HMI yang menurut beberapa tahun terakhir akan sulit dipulihkan.
HMI – KAHMI
Persoalan lain yang agaknya mendesak diantisipasi oleh para aktivis adalah kenyataan bahwa Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), yang semula hanya merupakan sarana silaturahmi para alumni di tingkat Cabang, kini telah menjadi organisasi kemasyarakatan sejak Munas IV KAHMI akhir tahun 1989 di Jakarta.
Kalangan HMI sendiri tidak menghendaki KAHMI menjadi ormas. Sebab hal ini berarti ada dua organisasi yang memakai nama HMI, dengan kepentingan yang mungkin sekali saling berbeda. HMI berorientasi pada mahasiswa untuk meningkatkan kualitas anggota menuju lahirnya insan sarjana muslim. Sementara KAHMI lebih berorientasi pada pengembangan kaum profesional di berbagai bidang, yang mempunyai kepentingan untuk memperoleh akses dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional.
Karena KAHMI juga memakai nama HMI, maka setiap langkah yang diambil akan selalu membawa nama organisasi kemahasiswaan ini. Padahal langkah ini belum tentu sejalan dengan sikap HMI. Dalam keadaan begini mungkin sekali terjadi konflik kepentingan antara kedua organisasi yang sebenarnya mempunyai basis yang sama.
Dalam hal kepentingan berbeda, HMI yang selama ini sudah sangat tergantung kepada alumni, baik dalam hal dana, visi, lobi, dan sebagainya, akan selalu menyesuaikan diri dengan kepentingan KAHMI.
Akibatnya eksistensi HMI mungkin turun menjadi sekedar onderbouw KAHMI. Tentu saja ini dirasakan sangat ironis, karena HMI yang selama ini selalu memproklamasikan dirinya sebagai organisasi independen, justru menjadi onderbouw pada saat organisasi-organisasi lain berlomba-lomba menyatakan dirinya independen sebagai konsekuensi pelaksanaan UU No. 8/1985 tentang Keormasan.
Keberadaan HMI itu bukannya tidak dimaklumi oleh para pemimpin KAHMI. KAHMI pun mengubah dirinya menjadi ormas, karena adanya perkembangan politik baru yang mengharuskan setiap perkumpulan dalam masyarakat untuk mendaftarkan diri guna diakui keberadaannya. Setiap perkumpulan yang tidak mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri, maka keberadaannya tidak diakui atau dianggap tidak ada.
Dalam rangka itu, KAHMI merasa perlu mendaftarkan diri agar diakui dan kegiatannya dianggap legal. Namun untuk mendaftarkan diri KAHMI lebih dulu harus menjadi ormas.
Selain itu, dengan menjadi ormas kiprah KAHMI akan bisa berjalan lebih terprogram dan berskala nasional, tidak hanya berkembang menurut kepentingan Cabang masing-masing seperti selama ini. Melalui ormas potensi KAHMI dapat lebih didayagunakan, baik untuk kepentingan anggota, umat maupun bangsa.
Namun kepentingan yang terasa lebih mendesak lagi adalah keinginan para alumni HMI untuk memperoleh akses dalam kehidupan politik bangsa. Tanpa menjadi ormas, KAHMI sulit membina lobi politik ke atas, karena statusnya tidak jelas.
Independensi HMI
Dengan tersebarnya para alumni di berbagai instansi memang memungkinkan KAHMI untuk memperoleh akses politik, selain memobilisasi potensi mereka untuk kepentingan umat dan bangsa. Hanya saja barangkali yang perlu diperhatikan adalah agar kehadiran KAHMI tidak mengurangi makna independensi HMI yang dimiliki selama ini.
Masalah itu dapat diatasi bila ada pembagian tugas antara HMI dengan KAHMI dengan memperhatikan wilayah garapan masing-masing. HMI berkiprah di kalangan mahasiswa, sementara KAHMI mengembangkan diri di kalangan kaum profesional yang pernah menjadi aktivis HMI.
Dalam menjalankan programnya KAHMI tidak mencampuri urusan intern HMI. Karena campur tangan inilah yang kadang-kadang mempertajam masalah intern. Ketika HMI mengalami konflik intern di masa lalu, tidak dapat dilepaskan dari campur tangan alumni-alumni tertentu yang memiliki kepentingan yang saling berbeda.
Di pihak lain, HMI sendiri dituntut merumuskan kembali konsep independensinya. Selama ini HMI mengenal dua bentuk independensi, yaitu independensi organisasi dan independensi etis. Independensi organisatoris, berarti HMI tidak berafiliasi kepada organisasi manapun, dan independensi etis berarti HMI hanya berorientasi kepada kebenaran.
Independensi organisatoris sulit dipertahankan, terutama dengan terbentuknya KAHMI menjadi ormas. Sementara independensi etis hanya dapat diukur dengan visi-visi yang hendak dikembangkan, sehingga yang lebih diperlukan adalah independensi yang bercorak intelektual.
Intelektualisme itu rasanya memiliki akar historis dalam HMI, karena ketika Lafran Pane mendirikan organisasi ini, yang terpikir saat itu adalah mengembangkan visi keislaman dan keindonesiaan mahasiswa muslim secara intelektual.
Bila Lafran Pane dikenang kembali, terutama pada dies natalis HMI kali ini, maka agaknya yang terasa paling menonjol hendak ditanamkan almarhum kepada organisasi yang didirikannya adalah visi intelektual itu.[]
Wawancara Nurcholish Madjid:
"Jangan Mengukur Baju Orang Dengan Badan Sendiri"
________________________________________
SOSOKNYA seperti tak bisa dipisahkan dengan semangat lahirnya demokrasi dan tegaknya hak asasi. Tapi ia juga hampir menyatu dengan HMI. Karena di situlah, Dr. Nurcholish Majid, 58 tahun, pernah menjadi Ketua Umum selama dua periode dari tahun 1966-1971. Lulusan Universitas Chicago, AS, ini sekarang aktif di kelompok pengajian Yayasan Paramadina. Selain itu, Cak Nur juga mengajar di fakultas pasca sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta. Ia juga salah satu petinggi di Dewan Pakar ICMI, anggota Komnas HAM, dan pelopor berdirinya Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP).
Rabu lalu, 26 Maret 1997, bertempat di Yayasan Paramadina, Cak Nur diwawancarai Darol Mahmada dari TEMPO Interaktif seputar gemebyar dan sepak terjang HMI, yang kini sudah berusia 50 tahun. Berikut cuplikannya:
________________________________________
Anda bilang bahwa usia ke-50 HMI bukan merupakan tahun emas, tapi tahun besi karatan. Apa maksudnya?
Saya mengatakan begitu karena mengamati sebagai orang dalam HMI. Bukan orang luar, sehingga muncullah pernyataan saya di D&R (Di majalah itu, Cak Nur berang dengan instruksi pengurus HMI yang akan mengeluarkan setiap anggotanya yang aktif dalam KIPP. "Itu ironi besar dan HMI melawan kodratnya sendiri," ujarnya). Itu merupakan ekspresi kecintaan saya terhadap lembaga itu. Dan tentu saja kalau orang luar mengatakan itu, saya juga tidak enak dan pasti protes. Kalau kenyataannya begitu, itu bisa dilihat dan ditafsirkan macam-macam. Kritikan itu hanya mengingatkan saja. Ibaratnya, kalau terhadap anak, saya hanya menjewernya.
Mengapa mereka harus diingatkan?
Ada hal-hal tertentu yang harus diingatkan. Sebagai seorang yang pernah intens terlibat di organisasi itu, sikap seperti itu mesti (dilakukan). Dan saya kira, sebagai organisasi mahasiswa HMI masih dalam relnya.
Mengapa orientasi HMI cenderung ke Masyumi? Apa akibat politisnya sampai kini?
HMI itu secara geneologis kebanyakan anak Masyumi karena itu orientasinya juga sangat ke Masyumi. Walaupun anggota PB HMI kebanyakan anak NU,tetapi orientasinya banyak ke Masyumi. Ciri-cirinya, misalnya dari segi agama, mereka non sektarian. Mereka menangkap Islam itu seperti Masyumi, yaitu punya ide-ide dasar dan nilai-nilai fundamental. Karena itu, ada suatu buku kecil yang menjelaskan nilai-nilai fundamental itu yang di sebut Nilai Identitas Kader (NIK). Begitu juga di bidang lain, lebih dekat ke Masyumi. Misalnya egalitarianisme dan kosmopolitanisme. Di antara semua organisasi mahasiswa, yang paling menyeluruh itu, hanya HMI yang seperti Masyumi. Kalau NU, PKI, PSI itu kan berbau Jawa. Hanya Masyumi yang mencakup semuanya. Dan itu terulang pada HMI. Karena itu HMI itu merupakan Indonesia dalam miniatur. Hanya saja penduduknya Islam. Tetapi persepsi keislamannya pun paling menyebar.
Tetapi juga ada pengaruh psikologis bahwa Masyumi dulu sebagai partai yang dilarang (pemerintah waktu itu mengakibatkan anggota Masyumi) menjadi agak menjauh dari pemerintah. Ini suatu proses yang merugikan. Jadi mentalitas di luar pagar. ICMI saja, kami lahirkan untuk mengakhiri mentalitas itu. Apalagi sebagian besar lulusan universitas itu adalah anak HMI yang orientasinya ke Masyumi. Kalau mereka mengidap mentalitas itu, dalam arti tidak mempunyai sense of belonging (rasa memiliki) pada negara, sangat berbahaya. Berbahaya bagi negara, karena jumlah mereka semakin besar, tapi juga berbahaya untuk diri sendiri, karena akan kehilangan kebebasan bergerak. Dan kalau orang sudah kehilangan kebebasan bergerak, diawasi, dibatasi dan sebagainya, maka ia juga kehilangan kesempatan untuk berekspresi. Nah, itulah HMI sampai sekarang.
Lalu, bagaimana kini hubungan pemerintah dengan HMI?
Saya melihat, kondisi HMI di mata pemerintah ambivalen. Artinya, tidak merangkul sama sekali seperti terhadap organisasi-organisasi yang tergabung di dalam Golkar, Kasgoro misalnya. Tapi juga tidak menyingkirkan sama sekali. Tidak seperti halnya terhadap organisasi mahasiswa lainnya semisal GMKI. Di situlah sulitnya HMI. Dari dulu seperti itu.
Bukankah posisi HMI kini malah kian dekat dengan pemerintah?
Saya kira masih mengalami ambivalen. Sama dengan ICMI. Oleh karena itu saya agak sedikit kecewa ketika orang terkejut dengan fenomena Amien Rais. Kalau orang tahu ICMI, fenomena itu tidak aneh. Banyak orang ICMI yang kritis. Orang kaget dengan fenomena itu dan tepuk tangan, termasuk, terus terang saja, Arief Budiman dengan tulisannya itu. Karena dia ada prasangka bahwa ICMI itu organisasi pemerintah. Dan prasangka itu juga terjadi pada HMI. Prasangka bahwa seharusnya HMI itu menentang pemerintah, maka ketika ada gejala kedekatan terhadap pemerintah, lalu menimbulkan kecelaan yang terlalu dini. Kalau dibandingkan dengan PMKRI, GMNI, PMII terus terang saja situasi yang ada pada HMI dan alumninya itu jauh lebih mampu. Oleh karena itu, jangan berharap sikap HMI sama dengan organisasi lain, yang sedikit banyak termarjinalisasi. Jadi jangan mengukur baju orang dengan badan sendiri.
Apa arti penting Dies Natalis ke-50 HMI yang langsung dihadiri oleh presiden?
Peristiwa itu bukan pertama kalinya buat HMI. Di jaman Bung Karno dulu, pada tahun 50-an, ketika terjadi debat dasar negara, Bung Karno sendiri datang ke pertemuan HMI. Kemudian awal tahun 1966, ketika muktamar nasional, kami juga diundang Bung Karno ke Istana Bogor. Waktu itu orang-orang yang mencitrakan HMI beroposan terhadap Bung Karno terkejut, kok ternyata HMI masih bersama Bung Karno. Tetapi sikap seperti itu tidak menjamin HMI membelanya. Buktinya, HMI paling efektif menjatuhkan Bung Karno. Itulah HMI punya sejarahnya sendiri. Oleh karena itu, HMI tidak bisa menempuh cara-cara perjuangan yang linier. Artinya hanya oposisi saja, tapi harus bervariasi.
Lalu mengapa pemerintah kian mendekati HMI?
Mungkin saja karena melihat potensi HMI itu sendiri. Seperti Soekarno dulu memeluk HMI. Tentu saja strategi Pak Harto ini tidak bisa disamakan dengan Bung Karno. Artinya, kalau dulu masalah ideologis, tetapi sekarang lebih ke masalah ekonomi.
Agaknya visi politik HMI sudah berubah. Buktinya, HMI menolak ikut bergabung dalam Forum Komunikasi Pemuda Indonesia (FKPI) yang dibentuk kelompok Cipayung baru-baru ini. Betulkah demikian?
Kekhawatiran seperti itu relatif sekali. Itu bisa merupakan persepsi yang sangat subyektif. Bisa juga itu merupakan retorika dari orang yang ingin supaya HMI bersama mereka. HMI bisa berbalik (bertanya) mengapa mereka tidak mengikuti kami? Sebab HMI itu interest group-nya itu besar sekali. Jadi ia tidak bisa bermain asal-asalan. Ya, kalau PMII , PMKRI, GMKI itu kecil sekali. Organisasi mahasiswa yang masih ada itu kan tinggal HMI. Yang lainnya tinggal papan nama. Karena itu tidak bisa disamakan dengan mereka. Kalau misalnya HMI celaka, itu nyata. Karena menyangkut sekian puluh ribu anggota dan alumninya. Pada tingkat retorika nasional, mereka berkumpul dan bikin pernyataan, malah HMI terisolir. Tapi pada tingkat nyata manusianya, HMI tidak terisolir sama sekali. []
56 Tahun HMI
Menyoal Arah Pergerakan HMI
Oleh: Muchammad Yuliyanto
________________________________________
HARI ini tanggal 5 Februari 2003 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) genap berusia 56 tahun. Sebagai organisasi mahasiswa yang tertua sekaligus terbesar tentu mengalami pasang-surut pergerakan sesuai dengan tuntutan zamannya. Saat ini organisasi tersebut sedang berada pada titik surut terendah akibat kemerosotan kualitas berorganisasi sekaligus kebingungan dalam menentukan arah pergerakan, sehingga makin sulit menempatkan organisasi di tengah kancah pergerakan kemahasiswaan.
Didirikan di Yogyakarta oleh Lafran Pane dan kawan-kawan pada masa revolusi fisik memiliki dua tujuan utama dan mulia, yakni meningkatkan martabat bangsa, sekaligus syiar Islam. Kedua tujuan tersebut dalam implementasinya terwujud dalam tiga pilar sebagai sandaran perjuangan HMI antara lain keislaman dan kebangsaan. Mahasiswa adalah basis berdiri sekaligus ladang yang hendak digarap dalam mewujudkan misi organisasi.
Identitas keislaman meliputi keyakinan pada Islam yang ditopang sikap dan pola pikir serta perilaku keagamaan yang mencerminkan kemuliaan ajarannya. Islam dipahami bukan saja nilai keyakinan diri terhadap ajaran, namun juga cara mengimplementasikan di tengah dinamika kemahasiswaan dan masyarakat bersandarkan pada Nilai Dasar Perjuangan (NDP) organisasi.
Implementasinya dibingkai dalam semangat independen etis, yang merupakan penjabaran tentang kemerdekaan individu dalam memahami ajaran serta menjalankan aktivitas keagamaan. Namun memasuki usia 56 saat ini justru HMI sedang dilanda krisis identitas. Semakin banyak orang meragukan terhadap kualitas keislaman kadernya, dengan tolok ukur rendahnya semangat menjalankan ibadah ritual Islam bagi anggota termasuk kualitas pemikiran keagamaan yang pernah mengalami kejayaan pada awal 1970-an. Anehnya mereka yang masih aktif selalu berlindung di balik kemerdekaan individu yang dijunjung tinggi organisasi.
Sejak awal 1990-an terdapat semacam stereotipe di kalangan mahasiswa (kampus) bahwa HMI adalah organisasi Islam yang menjadikan anggotanya "sekuler" ketika dilihat makin banyak kadernya tak mau menjalankan shalat serta tak mampu membaca Alquran sebagai kitab suci kaum muslim. Sementara di kalangan mahasiswa umumnya justru HMI dilihat sebagai organisasi mahasiswa Islam yang fundamentalis, dengan ukuran banyaknya kader HMI berjilbab.
Stereotipe terakhir ini telah terbantah dengan hadirnya ormas mahasiswa Islam seperti KAMMI, HAMAS bahkan UKM masjid kampus. Akibatnya HMI saat ini tinggal terkenal sebagai organisasi mahasiswa Islam yang tidak jelas identitas keagamaannya.
Nilai Dasar Perjuangan yang sebelumnya mampu menyemangati pergolakan wacana keagamaan kader HMI sehingga melahirkan tokoh semacam Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Fachry Ali sampai Anas Urbaningrum saat ini justru semakin tidak diminati kader. Terbaca gejala makin minimnya diskusi tentang keislaman, di samping lemahnya greget membangun wacana pemikiran Islam yang pernah disandang beberapa dekade lalu.
Hal ini disebabkan kelatahan kader (anggota) dalam memanfaatkan serta mengisi "budaya kemerdekaan" yang telah berhasil dibangun . Akibatnya, saat ini HMI tinggal membonceng gerbong yang mengusung wacana pemikiran Islam di negeri ini. Tak pernah terdengar lagi semangat untuk menjadi lokomotif pergerakan maupun pergolakan pemikiran Islam.
Politis-Struktural
Apa yang menimpa HMI saat ini adalah konsekuensi dari pertarungan wacana berorganisasi para kader. Perlu diketahui, internal terjadi persaingan tersembunyi antara anggota yang senantiasa menggeluti wacana intelektual-kultural dengan mereka yang rajin mengusung semangat politis-struktural. Sebenarnya kedua entitas tersebut bisa disatukan dengan saling membantu untuk mewujudkan tujuan organisasi sebagaimana hasil kongres di Malang, yakni terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernapaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.
Yang terjadi adalah dominannya kelompok politis-struktural yang selalu membicarakan dan melihat struktur atau jabatan di HMI adalah segala-galanya sehingga layak diperebutkan dengan berbagai cara. Sebaliknya mereka tanpa melihat kualitas dan kapabilitas dirinya dalam mewujudkan amanah organisasi.
Gejala demikian sebenarnya amat memprihatinkan bagi mereka yang masih aktif, dari PB HMI hingga komisariat akibat suasana terlalu bernuansa politik. Walhasil dalam setiap pergantian kepengurusan melalui konferensi atau kongres, maka pemilihan pengurus berdasarkan "kontribusi politik" kelompok tanpa mempedulikan apalagi memberi tempat bagi mereka yang sesungguhnya berkualitas hanya lantaran tidak mempunyai sumbangan apa pun di arena kongres bagi ketua umum terpilih.
Akibat nyata, secara SDM HMI saat ini hanya menjadi tempat "parkir" bagi mereka yang tidak jelas pendidikannya, disamping akhirnya mereka menggantungkan masa depan dari organisasi. Sikap dan gerakan organisasi menjadi amat pragmatis dan instan, karena memang suasana berorganisasi sangat mendukung pengurus untuk menjadi oportunis dan menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi yang diatasnamakan organisasi.
Kebiasaan "menjual" organisasi dengan membangun bargaining di hadapan birokrat, tokoh politik maupun orang-orang istana menjadikan suara kritis dan sikap korektif HMI tenggelam dalam pusaran isu dan rumor politik yang amat tinggi di tubuh HMI.
Kuatnya wacana politis-struktural di HMI mengakibatkan terpinggirnya secara perlahan mereka yang mengedepankan gerakan intelektual-kultural. Karena itu mereka "lari" meninggalkan HMI dan rajin membangun wacana melalui kelompok studi maupun lembaga yang mengkhususkan pada gerakan pemikiran, semacam Formaci di Ciputat atau aktif di JIL maupun Kelompok Studi Mangkubumen di Kota Solo.
Dampaknya langsung, saat ini adalah semakin tidak berkualitasnya gagasan yang dilontarkan HMI atau minimnya suara kritis ketika membaca realitas sosial yang sedang terjadi. Dalam hal ini saya amat mendukung yang dilontarkan Cak Nur tentang perlunya "pembubaran HMI" beberapa waktu lalu. Kenyataan lain di HMI saat ini, dominannya kelompok politis-struktural sering membawa suasana berorganisasi yang "tidak sehat" karena banyaknya isu dan rumor politik yang beredar tentang kepengurusan di PB HMI sampai relasi organisasi dengan komponen di luar organisasi. Karenanya, perlu diingatkan jangan sampai seseorang masuk HMI dengan harapan ingin mendalami ajaran Islam atau mengasah intelektualitasnya pada akhirnya yang diperoleh kekecewaan yang amat sangat karena memang tidak akan pernah menemukannya di sana.
Sikap dan pikiran pengurus HMI yang terlalu politis sering membawa dampak terjadinya pergantian kepemimpinan badko maupun cabang di tengah jalan dengan dalih demi perbaikan dan penyelamatan organisasi, seperti yang dialami Jateng dan cabang Semarang dua tahun lalu. Padahal sesungguhnya hanyalah persoalan dendam politik antarkelompok atau asasi PT.
Tidak dipikirkan akibat panjang pada organisasi, seperti rusaknya sistem perkaderan dan keutuhan organisasi yang kian tercabik-cabik. Hal demikian yang mengakibatkan bangkrutnya HMI di tingkat akar rumput. Kecuali itu, nuansa politis menjadi salah satu penyebab sulitnya menyatukan kembali HMI Dipo dengan HMI MPO dalam satu atap. Apalagi yang mau dipersoalkan ketika suasana berorganisasi telah berubah dengan kebebasan asas serta kembalinya HMI Dipo ke asas Islam, kalau bukan persoalan struktur dan posisi di HMI.
Terpinggirnya HMI
Sejak 1990-an terdapat gejala baru terpinggirnya HMI dari kampus ternama (UI, ITB, IPB, UGM, Undip, ITS, dan Unair). Di beberapa PT tersebut HMI semakin tenggelam bahkan kehilangan peran-perannya. Dampak nyata adalah kesulitan untuk merekrut kader terbaik (dari sisi kualitas SDM) guna mempersiapkan masa depan kepemimpinan organisasi. Sebaliknya HMI tumbuh subur di berbagai PT swasta dan kecil.
Hal demikian tentu membutuhkan energi dan stamina panjang organisasi untuk mengolah kader. Barangkali terlalu dini, kenyataan tersebut secara tidak langsung berpengaruh pada kualitas dan kedewasaan kader dalam menjalankan roda organisasi. Sisi lain menunjukkan peran-peran HMI di PT ternama telah diambil alih aktivis intra kampus semacam Dema, pers kampus, kelompok studi dan UKM masjid kampus.
Sedangkan salah satu basis pergerakan HMI yakni masjid-masjid kampus juga telah bergeser ke UKM rohani Islam. Artinya, terdapat gejala keterpinggiran peran dan keberadaan kader HMI dari masjid kampus di mana sebelumnya terkenal sebagai sentral aktivitas kemahasiswaan. Keadaan ini menjadi tantangan tersendiri bagi aktivis HMI, untuk mengembalikan keberadaan kader di lingkungan masjid kampus apabila tidak ingin semakin ditinggalkan mahasiswa Islam.
Tawaran Solusi
Membaca berbagai gejala kontemporer HMI tersebut, sudah saatnya bagi organisasi untuk melakukan refleksi dan langkah nyata guna mengembalikan pamor dan arah pergerakannya di dunia kemahasiswaan. Untuk menghentikan laju kemerosotan maka terdapat beberapa "obat penawar" yang mendesak dilakukan, antara lain:
Pertama, segera melakukan reorientasi arah pergerakan dan pembaruan sistem perkaderan yang mampu menangkap gejala krisis identitas, terutama sisi gerakan pemikiran Islam yang telah dipandu NDP. Karenanya perlu mengaktualkan kembali semangat dialektika keagamaan serta terus mengkritisi misi organisasi, baik pada dimensi kemahasiswaan (kampus) maupun kebangsaannya.
Kedua, mendesak untuk melakukan pembaruan struktur dan wacana pergerakan dengan memberi tempat sekaligus kesempatan tampilnya kader-kader intelektual yang senantiasa mengusung gerakan kultural. Meski mereka tidak memiliki kontribusi politik dalam menyusun kepengurusan. Tetapi perlu dipertimbangkan aspek intelektualitas dan kejernihan berpikirnya. Bahkan bisa dilakukan pemilihan ketua umum organisasi secara langsung dengan dukungan struktur organisasi yang sudah berjalan mapan dan terkoordinasi baik. Hal ini guna menghindari perasaan kecewa kader akar rumput terhadap kepemimpinan yang sering terjadi. Disamping guna menciptakan wacana kepengurusan yang tidak terlalu politis dan hanya berorientasi kekuasaan melulu.
Ketiga, HMI segera melakukan manuver untuk mengembalikan keberadaan dan peran kader di berbagai PT ternama tersebut. Pada nyatanya, setiap gelombang pergerakan wacana dan perubahan selalu dimulai dari PT ternama yang notabene memiliki SDM berlebih dibanding lainnya. Saatnya HMI menggencarkan rekrutmen anggota yang digarap serius dan mampu menawarkan alternatif baru bagi mereka di luar bangku kuliah. Bukan bermaksud meremehkan, realitas menunjukkan di berbagai PT ternama telah tertampung anak-anak yang memiliki keunggulan SDM. Hal ini amat memudahkan HMI untuk menggodok sekaligus mencetak kader andal untuk mengembalikan eksistensi organisasi.
Keempat, satu upaya mengembalikan HMI ke kampus dan menjalankan misi keislamannya tidak lain adalah HMI kembali ke masjid kampus. Jadikan masjid kampus sebagai basis pergerakan yang dinamis, modern dan mampu menelorkan mahasiswa berkualitas secara keilmuan maupun keislamannya. Kembalinya HMI ke masjid kampus tentu akan memudahkan perekrutan sekaligus membangun wacana keagamaan yang hidup dan visioner. Sehingga masjid kampus benar-benar sebagai pusat pergerakan mahasiswa Islam. Di samping itu dalam pergerakan eksternal untuk berpartisipasi membangun bangsa, saatnya bagi HMI untuk memperkuat wacana "Islam pembebasan" yang tegas dan jelas memiliki komitmen perjuangan untuk perbaikan kaum papa yang tertindas dan tidak diuntungkan oleh keadaan yang ada. Keberpihakan pada rakyat jelata jelas sebagai wujud apresiasi kader HMI terhadap ajaran Islam, sekaligus membumikan Islam dan menyatukan HMI dengan rakyat. (Muchamad Yuliyanto, staf pengajar Komunikasi FISIP Undip, mantan Ketua Umum HMI Jateng-DIY).[]
58 Tahun HMI
Kaderisasi dan Politisisasi HMI
Oleh : Harry Azhar Aziz
________________________________________
Buku HMI dan Kekuasaan Kaderisasi HMI dalam mengisi Struktur Kekuasaan di Indonesia, yang ditulis Sidratahta Muchtar, sangat menarik perhatian saya. Dalam buku ini, walau tidak secara tegas menyatakan kekuasaan politik atau jabatan-jabatan politik dan birokrasi adalah sasaran kaderisasi HMI, dalam Bab Kesimpulan, disebutkan “sangat banyak kalangan HMI yang berperan dan berpartisipasi dalam kehidupan kenegaraan khususnya di lembaga legislatif dan birorkrasi.” Ironisnya, dalam Bab Kesimpulan itu disebutkan pula, “…orientasi kekuasaan itu telah menyebabkan HMI dewasa ini mengalami degradasi baik sistem perkaderan maupun wacana dan tradisi pemikiran-pemikirannya.”
Memahami pernyataan itu, mungkin perlu ada penelitian lebih lanjut, dengan indikator yang lebih akurat, terutama mengenai yang pertama apakah benar kaderisasi HMI adalah ditujukan untuk mengisi atau dengan bahasa yang lebih lugas “merebut” kekuasaan politik. Sedangkan mengenai premis kedua, apakah benar bahwa dewasa ini telah terjadi degradasi sistem perkaderan atau degradasi tradisi intelektualisme HMI karena HMI berorientasi kepada kekuasaan. Benarkah HMI berorientasi kepada kekuasaan?
Organisasi mahasiswa yang telah berusia 58 tahun ini memang banyak menghasilkan kader-kader yang mengisi jabatan-jabatan politik dan birokrasi di Indonesia. Sebagian bahkan telah meninggalkan wilayah itu baik karena proses politik maupun proses penuaan usia, sebagian lagi sedang on top of the country’s political power play dan yang lain on going process. Seberapa besar kata “sebagian” itu dibanding dengan jumlah total kader yang telah dihasilkan HMI selama ini, memang menjadi pertanyaan besar, yang belum mampu dijelaskan oleh suatu hasil penelitian yang lebih bersifat kuantitatif. Pertanyaan yang lebih menjurus, atau mungkin lebih tepat diajukan, apakah benar perkaderan HMI mengarahkan anggotanya untuk merebut kekuasaan politik? Jawabannya cukup jelas: tidak. Dalam konteks HMI, bukan alumni HMI, karena sifat organisasinya yang independen, anggota atau pengurus HMI tidak mungkin merangkap menjadi pengurus organisasi politik.
HMI memang bukanlah organisasi politik. Penyebutan bahwa HMI sebagai organisasi quasi-politik juga tidak dapat dipertanggungjawabkan, kecuali bila pengertian quasi politik mengandung paham zoon politicon, dimana politik diartikan secara luas tidak sekedar terkait dengan kekuasaan atau organisasi politik. Dalam konteks inipun, hasilnya tidak dapat dikatakan langsung sebagai merebut kekuasaan politik untuk kepentingan anggotanya seperti dikenal dalam perjuangan partai-partai politik agar anggota atau kadernya memperoleh posisi-posisi politik tertentu. Bahkan dalam perebutan posisi-posisi politik organisasi intra-kampus pun, apakah itu Dewan Mahasiswa (dulu) atau Senat Mahasiswa, kecuali KNPI atau Kelompok Cipayung, HMI tidak dapat disebut bermain politik secara langsung.
Bila hal ini benar, HMI bukan organisasi quasi-politik atau apalagi organisasi politik, dimana sebenarnya posisi HMI dalam konteks politik? Jawaban yang mungkin lebih tepat adalah politisasi HMI. HMI dengan sejarahnya yang panjang dan jumlah anggota yang besar dan alumni yang tersebar di pelbagai bidang pekerjaan memang telah dianggap sebagai suatu “kekuatan” politik. Ini terlihat, misalnya, ketika di era Kemerdekaan kehadiran HMI dipertentangkan, di era Orde Lama HMI diharapkan bubar, di era Orde Baru HMI mulai “dijinakkan” dan di era reformasi HMI kembali diperebutkan. Kini, di arena politik praktis, kita melihat alumni HMI tersebar hampir di semua partai politik, yang dengan misleading pernah disebut telah terbentuk sebagai suatu HMI Connection. Dengan sistem politik yang ada sekarang, alumni HMI yang berpolitik tidak mungkin secara sempurna beridealisasi seperti harapan tujuan HMI, betapapun tujuan HMI telah menjadi semacam spirit perjuangan mereka ketika di HMI. Bukan saja penafsiran aktual atas tujuan HMI di kalangan HMI, ataupun alumni HMI, bisa berbeda-beda, tetapi juga kepentingan partai masing-masing dimana alumni HMI berafiliasi mungkin saja tidak sama.
Dalam kaitan itu, alumni HMI yang kemudian memegang kekuasaan politik, pada akhirnya lebih bersifat individual, atau paling tidak berorientasi kepada partainya, bukan kepada HMI. Yang menarik, tidak sedikit alumni HMI berusaha menghilangkan afiliasinya dengan HMI ketika citra politik HMI tidak menguntungkan. Sebaliknya, tidak sedikit pula yang mengaku pernah menjadi anggota HMI ketika citra HMI atau lebih tepat ketika alumni HMI memegang kekuasaan politik yang berarti, dimana afiliasi HMI dapat mendukung karir politiknya. Dibantu dengan publisitas media massa, HMI sebagai simbol suatu kekuatan politik akhirnya tidak terhindar digunakan untuk mendukung atau menolak suatu premis kebijakan politik, baik disadari atau tidak oleh pengurus HMI itu sendiri.
Dalam politisasi HMI memang tidak suatu kekuatan politik manapun menguasainya, tetapi paling sedikit mempengaruhi pengambilan keputusan-keputusannya. Keputusan-keputusan HMI, apakah itu yang dilakukan oleh institusi kepengurusan HMI, seperti PB HMI, maupun institusi musyawarah HMI, seperti Kongres, tidak pernah luput dari jangkauan pengaruh politik negeri yang sedang berlangsung, dari dulu dan sekarang. Dalam kacamata positif, politisasi HMI bisa saja merupakan refleksi dari kekuatan-kekuatan yang “bertarung” di HMI, yang sekaligus memberikan nuansa demokratisasi HMI. Ketika saya memimpin HMI, kepada seorang wartawan dari koran yang berpengaruh saya bertanya, mengapa anda begitu antusias meliput berita tentang HMI? Jawabnya cukup mengejutkan saya, menurut korannya, karena HMI adalah satu-satunya organisasi yang masih tetap mampu mengambil keputusan secara independen dan demokratis dalam kondisi dimana hampir semua organisasi lainnya tidak mungkin melakukannya.
Kembali kepada pertanyaan di atas, apakah benar bahwa kaderisasi HMI membawa anggota atau kadernya menuju ke wilayah kekuasaan politik itu. Pengamatan yang hati-hati, menurut saya, jawabnya bisa ya atau tidak. Pertama, tidak semua kader HMI memiliki orientasi politik praktis atau bersedia menjadi politisi atau birokrat. Sebagian mereka memilih jalur pengusaha, sebagian lagi jalur intelektual dan professional, da’i, makelar, wartawan, petani, supir, tukang ojek atau mungkin pengangguran, walau dengan terpaksa. Prosentase alumni HMI yang kemudian terjun ke dunia politik mungkin saja relatif kecil. Kedua, jarak waktu dari anggota atau pengurus HMI menjadi politisi, apalagi yang kemudian memegang jabatan politik, bisa panjang atau pendek, yang semua bergantung momentum, kemampuan, relasi patron-client dan lainnya. Ketiga, kaderisasi HMI tidaklah secara spesifik mengarahkan anggota HMI menjadi politisi, tetapi lebih kepada pembentukan kualitas kepemimpinan, sesuatu yang memang tidak ditemui secara kurikula di dunia perguruan tinggi formal. Kepemimpinan yang terbentuk diharapkan bukan hanya berkembang di arena politik, tetapi di semua bidang yang menjadi minat anggota. Dengan alasan-alasan itu, kaderisasi HMI tidak difokuskan menjadikan anggotanya pemimpin politik. Bahwa kualitas kepemimpinan berpengaruhi terhadap pilihan politik, pada dasarnya memiliki kans yang sama untuk pilihan pada bidang pekerjaan lain.
Karena itu, kritik yang menyatakan telah terjadi degradasi kualitas sistem perkaderan HMI atau degradasi kualitas intelektual HMI, memang memerlukan penelaahan tersendiri. Begitu pula kritik atas perilaku alumni HMI yang dianggap menyimpang dari norma-norma yang diajarkan dalam proses kaderisasi HMI. Sebutlah, misalnya, bahwa beberapa koruptor yang terungkap adalah alumni HMI tidak secara otomatis dapat diserahkan pertanggungjawabannya kepada sistem perkaderan HMI. Masih banyak alumni alumni yang tidak terkontaminasi oleh perilaku korupsi atau kejahatan lainnya, yang bekerja dengan sungguh-sungguh dan memegang teguh norma-norma ajaran yang diterimanya ketika menjadi anggota HMI.
Dengan menggunakan cara pandang ini, saya ingin menyambut buku ini dengan antusias karena telah membuka sebagian fenomena HMI dan alumninya, khususnya dalam konteks kekuasaan politik dan birokrasi. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih hati-hati dan fokus, kajian atas perilaku HMI maupun alumni HMI, di masa datang, diharapkan dapat dijelaskan dengan lebih rinci, lebih kuantitatif, sehingga beberapa kritik yang ditujukan kepada HMI, oleh pengurus HMI, dapat dijadikan acuan dalam memperbaiki pola perkaderan yang memenuhi kebutuhan zaman. Pemikiran-pemikiran HMI, atau mungkin lebih tepat pikiran kader-kader HMI, yang berkaitan dengan dunia politik maupun keagamaan relatif berkembang, dibanding pemikiran di bidang ilmu lainnya, sebutlah ekonomi atau sosial budaya. Pola perkaderan HMI yang mampu menciptakan keseimbangan output kader di semua bidang kehidupan memang menuntut perhatian yang lebih serius, jika tidak ingin HMI kehilangan kesempatan merebut hati mahasiswa-mahasiswa baru yang gaya, perhatian dan cita-citanya mungkin saja telah berubah dibanding dengan senior-senior mereka terdahulu.
Kunci kesinambungan keorganisasian HMI, menurut saya, bukan terletak pada keberhasilan alumninya, tetapi lebih tergantung pada pembaharuan sistem perkaderan serta kesinambungan kegiatan perkaderan HMI itu sendiri. Tanpa perhatian yang lebih serius dan fokus dalam menentukan pilihan atas keanekaragaman trend zaman yang mampu diadopsi dalam sistem perkaderan HMI, jelas akan merugikan kesanggupan organisasi ini untuk menghadapi tantangan yang berbeda dalam setiap kurun zaman kepengurusan HMI. Sekali lagi, buku ini amat bermanfaat bagi penelitian lebih lanjut dalam menjelaskan fenomena politik HMI ke depan, yang kualitas kadernya bergantung pada kemampuan pengurus HMI untuk memperbaiki secara terus menerus sistem perkaderan organisasi yang besar ini. Selamat membaca.[]
60 Tahun HMI
Meraih Kembali Tradisi Intelektual
Oleh : Anas Urbaningrum
________________________________________
Hari ini, 5 Februari 2007, HMI genap 60 tahun. Sebagai organisasi, HMI belumlah tua. Mengapa? Sebab, tugas sejarahnya belum mencapai puncak, apalagi selesai. Masih banyak tugas dan peran yang nyata-nyata menuntut kehadiran HMI.
Parameternya jelas, yakni khitah kelahiran HMI dengan visi keislaman dan keindonesiaan yang disandang. Dalam bahasa sederhana, hisab itu berbasis pertanyaan dasar: apa yang telah disumbangkan HMI bagi umat dan bangsa?
Keluarga besar HMI paham persis bahwa Harapan Masyarakat Indonesia adalah ungkapan Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam bagian sambutannya pada dies natalis pertama HMI di Jogjakarta pada 1948. Saat itu, Jenderal Soedirman menumpahkan harapannya agar HMI bukan semata-mata Himpunan Mahasiswa Islam, tapi menjadi Harapan Masyarakat Indonesia.
Plus-minus sepanjang 60 tahun berdiri, HMI telah menampilkan peran dan kiprah bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. HMI tidak hanya telah melahirkan banyak alumnus yang tersebar di berbagai bidang kehidupan bangsa, tapi juga turut mewarnai sejarah modern Islam Indonesia. Berbagai model alumnus lahir dari rahim perkaderan HMI. Berbagai tipe alumnus telah bermunculan dari pembelajaran di HMI. Kiprah alumni tumbuh dan berkembang sesuai panggilan jiwa masing-masing. Bebas memilih, sebebas cara berpikir yang dikembangkan dalam kehidupan organisasi.
Jujur harus dikatakan, tidak semua kiprah dan peran alumni HMI bisa menjadi teladan. Ada yang tidak berhasil melawan sifat lalai, alpa, kemudian menerima musibah nama baik. Tapi, sebagian besar adalah orang-orang yang hidup dan tampil wajar, sesuai profesi masing-masing. Ulet bekerja, berkarya penuh ketekunan.
Ada sejarah 1950-an yang melahirkan komitmen negara nasional, bukan negara Islam. Ada sejarah 1960-an yang lebih berwarna pergulatan politik melawan kekuatan komunisme. Ada sejarah 1970-an yang ditandai tawaran terobosan tentang gerakan kultural bagi perjuangan umat Islam Indonesia.Tapi, ada pula sejarah 80-an yang menandai hubungan akomodatif dengan negara, terutama ketika isu asas tunggal. Ada pula sejarah 1990-an yang merupakan kelanjutan sejarah relasi akomodasionis antara umat Islam dan negara serta diakhiri dinamika reformasi yang ditandai berhentinya Presiden Soeharto.
Sama dengan organisasi dan gerakan kemahasiswaan lain, tantangan HMI menjadi lebih berat. Kondisi eksternal yang berubah cepat, dengan berbagai warna dan dinamikanya, sangat menuntut adaptasi, kreasi peran, serta kiprah baru yang relevan dan produktif. Ketika sikap kritis menjadi hal biasa, ketika intelektualitas mudah diakses secara bebas, ketika tradisi keagamaan berkembang pesat dengan penuh warna-warni, ketika politik massa menjadi lebih menonjol ketimbang keterampilan individual dan kekuatan lobi, ketika kekuatan dana sering membabat komitmen politik, serta ketika lulusan perguruan tinggi menghadapi sempitnya lapangan kerja, di manakah posisi dan peran organisasi kemahasiswaan di Indonesia? Di situ pula HMI berada. Sungguh tantangan sejarah yang berat.
Tegakkan Khitah
Sebagai organisasi perjuangan, HMI tetap penting dan strategis. Lahan garap mahasiswa, komunitas kaum muda terdidik, adalah wilayah yang lebih unggul daripada kelompok muda lain. Meski tidak sepenting pada zaman pra-kemerdekaan, 1950 sampai 1970, posisi serta peran mahasiswa tetap penting.
Mahasiswa mempunyai peluang dan kesempatan untuk melakukan mobilitas sosial menjadi kelas menengah, pada berbagai bidang kehidupan yang semakin terbagi-bagi oleh proses modernisasi. Betapa pun, kelas menengah yang muncul membesar dan kuat merupakan salah satu modal pokok bagi masa depan Indonesia. Bukan kelas menengah yang (semata-mata) lahir dari faktor darah dan keturunan atau sebab-musabab patronase politik dan birokrasi, tapi kelas menengah yang lahir otentik lantaran kemampuan akademik-intelektualnya, kemahiran dan ketrampilan teknokratisnya, serta komitmen sosialnya untuk terlibat dalam berbagai masalah kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
HMI akan tetap hidup, tegak dan terus mampu menjalankan tugas sejarahnya, jika secara sungguh-sungguh mengonsentrasikan diri pada pengaderan mahasiswa yang dengan tajam diorientasikan kepada lahirnya komunitas kelas menengah yang mempunyai kedalaman akademik-intelektual, kemahiran, ketrampilan teknokratis, serta komitmen sosial-politik yang memadai. Tentu, semua dipayungi komitmen dan landasan keislaman yang cukup.
Dalam kaitan tersebut, HMI perlu menjaga, merawat, dan menajamkan pengaderan anggotanya dengan aksentuasi pada beberapa hal pokok. Pertama, pengkajian dan pendalaman Islam adalah sisi mutlak. Kader sangat perlu dibekali wawasan dan inspirasi, pengetahuan, kesadaran dan spirit pergerakan, serta tubuh dan api Islam. Tentu, Islam dalam pengertian dan wajah modernis, pluralis, damai, kontekstual, dan bervisi masa depan. Kedua, pengembangan tradisi intelektual sangat penting dijaga dan dibangkitkan kembali. Itulah salah satu karakter yang menjadi bagian sejarah HMI. Jika sekarang intelektualitas dan tradisi intelektualisme agak menurun, tidak ada jalan lain kecuali menggali kembali "harta karun" tradisi intelektual yang dulu pernah berkembang. Ketiga, pengembangan tradisi kepemimpinan yang demokratis dan mengakar.
HMI masih berpotensi menjadi salah satu ladang bagi lahirnya kepemimpinan sipildari kalangan Islam moderat –berpaham nasionalis-religius Islam. Kader-kader HMI, baik yang terjun lebih cepat ke jalur partai politik, menjadi akademisi atau jalur intelektual di kampus, maupun yang menempa diri di jalur LSM, dituntut tidak hanya mampu dan matang secara politik, terampil berorganisasi, dan mahir berkomunikasi sosial, tapi juga semakin dituntut untuk membangun basis dan akar politik yang memadai. Selamat dies natalis ke-60. Wallahu a’lam. (Anas Urbaningrum, ketua umum PB HMI periode 1997-1999)[]
Jawa Post, 5 Feb 2007
Milad HMI: Transformasi Intelektual dalam Rekayasa Peradaban
Sosial Pasca Kapitalisme Global
________________________________________
Pada abad ke -16, pada saat Nicolas Copernicus mengajukan hipotesis tentang heliosentris, yang kemudian dilanjutkan Johanes Keppler dengan teori peredaran bumi dan Galileo Galilei dengan teori bintang jatuhnya merupakan awal dibukanya akal manusia dari abad kegelapan. Sampai akhirnya Francis Bacon dengan metode induktifnya mampu menempatkan alam sebagai objek penelitian, tentunya dengan metode ilmiah. Mulai pada saat itulah kebenaran diukur hanya dengan pandangan positivistik, yang merupakan akal permasalahan kapitalisme.
Konsep kapitalisme lahir bersamaan dengan awal lahir gerakan reformasi yang menggugat terhadap praktek absoulutisme kekuasaan Gereja (Katholik). Inilah yang kemudian melahirkan apa yang oleh Max Webber dalam "The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism", disebut sebagai etika Protestan sebagai landasan ajaran Calvin. Menurut Calvin bahwa "kerja bukanlah semata-mata sarana atau alat ekonomi, kerja adalah tujuan akhir sipiritual.."
Ideologi kapitalisme juga telah melahirkan masyarakat konsumtif yakni masyarakat yang hanya menerima kebutuhan sebagai penampung hasil produksi. Ideologi kapitalisme juga sangat mengagungkan ilmu dan teknologi serta mengingkari nilai-nilai instrinsik alam. Menurut Hermann Kahn seorang futurlog "kapitalis menyatakan bahwa teknologi ialah motor kemajuan dan ilmu adalah bahan bakarnya."
Dalam perkembangannya kapitalisme bukan lagi hanya berupa sistem ekonomi tetapi telah berkembang lebih kompleks. Kapitalisme kini telah menjadi sistem yang telah menguasai seluruh kehidupan dari sistem sosial sampai sistem pendidikan. Bahkan telah menjadi 'agama baru' bagi manusia. Kompleksitas dari ideologi kapitalisme itulah yang kini telah menjadi sebuah peradaban baru. Peradaban baru tersebut tidaklah seperti peradaban klasik yang bersifat regional terapi peradaban global, dimana umat manusia dibelahan bumi manapun menjadi pengikut ajarannya.
Sedangkan pada tataran ekonomi kapitalisme pun mengalami perkembangan yang terbagi dalam beberapa periode yakni :
Pertama: periode kapitalisme liberal. Dalam periode ini negara ditempatkan sebagai subordinat atau sekedar institusi yang bertugas pasif, tidak campur tangan dalam urusan warga negaranya, kecuali hal yang menyangkut kepentingan publik.
Kedua: periode kapitalisme teroraginisir atau Keynesian Period (period of organized capitalism). Periode ini berlangsung pada akhir abad ke-19 sampai pasca Perang Dunia II. Perubahan setelah kekalahan kaum liberal, yakni dengan perkembangan sistem ekonomi dan sosial. Dalam sistem ekonomi muncul sentralisasi produksi, modal dan perdagangan. Pasca Perang Dunia II, perubahan-perubahan terjadi sesuai dengan merebaknya paham sosialisme dan pengaruh aliran ekonomi yang di pelopori oleh ahli ekonomi Inggris, John Maynard Keynes (1883-1946). Penguatnya doktrin Keynes akarnya adalah kegagalan sistem 'ekonomi pasar' yang diusung oleh kaum Ordo-Liberal. Gagasan Keynes ini menggunakan kebijakan ekonomi terdistribusi kemudian teori ekonomi ini menggeser kebijakan ekonomi liberal menjadi ekonomi state-isme, yang mengarah pada menguatnya peran negara selaku penyelenggara kesejahteraan rakyat.
Ketiga: periode kapitalisme tak terorganisir atau kapitalisme neoliberal (period of disorganized capitalism) yang dimulai pada awal 1970-an dan berlangsung hingga kini. Perubahan ini terjadi pada akhir 1973, ketika negara-negara Arab, produsen minyak utama dunia membentuk sebuah kartel, OPEC, dan menyebabkan harga minyak melambung tinggi. Karena harga minyak yang terus meningkat, terjadilah gerak naik harga-harga dan upah-upah. Akibat lebih jauh adalah terjadinya resesi ekonomi, pengangguran dan inflasi harga mencapai lebih 20 persen di sejumlah negara, serta meluasnya ketidakmampuan negara-negara Dunia Ketiga untuk membayar utangnya.
Doktrin Keynes yang telah berjaya pada sebelum dan pasca Perang Dunia II terbukti tidak mampu menghadapi situasi ini. Tidak hanya bahwa Keynesian tak lagi mampu memberi solusi, banyak orang yakin bahwa doktrin Keynesian-lah penyebab utama dari krisis. Kemudian muncullah sebuah gagasan baru yang di pelopori oleh Milton Friedman dan Friedich Hayek. Ekonom-ekonom ini tidak membantah bahwa pasar dapat gagal dan memang telah gagal, tapi mereka meyakini bahwa pasar bebas (free trade) mampu mengalokasikan barang dan jasa secara lebih efektif dibandingkan negara. Kemunculan gagasan baru ini menyebabkan peranan negara dimarginalkan (stateless) dan peranannya digantikan oleh perusahaan multinasional (MNC) yang melintasi batas negara. Dengan jargon globalisasi dan pasar bebas neoliberalisme semakin menguatkan hegomoni kapitalisme. Dan permasalahan neoliberalisme bukan hanya berkutat pada ekonomi, kerusakan alam, eksploitasi manusia, kelaparan, perang serta penghisapan-penghisapan lainnya merupakan konsekuensi dari perkembangan kapitalisme global.
Untuk itu harus ada sebuah gerakan yang purikatif untuk melawan hegemoni tersebut untuk mencegah kerusakan peradaban yang lebih dahsyat. Perlawanan itu adalah dari skema besar manusia yang memang terkena dampaknya langsung. Manusia itu manusia yang harus berada pada ranah sistem sosial yang tertinggi dalam piramida tatanan masyarakat. Kelas itu tidak lain adalah kaum intelektual.
Gerakan Intelektual Sebagai Agen Rekayasa
Julian Benda menyatakan bahwa "intelektual sejati menciptakan tatanan dalam masyarakat dengan menjunjung standar kebenaran dan keadilan abadi. Intelektual sejati dengan jati dirinya, digerakan oleh dorongan metafisik dan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran". Ali Syari’ati juga menambahkan seorang intelektual tidak mencari tujuan praktis, tetapi mereka yang menemukan kepuasan dalam mempraktekkan seni dan ilmu pengetahuan, atau spekulasi metafisik. Figur intelektual, bercirikan seorang yang bisa berbicara tentang kebenaran kepada penguasa, yang tanpa tendeng aling-aling, fasih, sangat berani, dan individu pemberang. Bagi dia, tak ada kekuasaan yang terlalu besar untuk dikritik. Dan mengkritiknya adalah tugas dia. Seorang intelektual dalam perjalanannya mengalami tantangan dan hambatannya, seorang intelektual mengalami keterasingan dan kesendirian, berisiko ditiang bahkan dikeluarkan dari komunitasnya atau bahkan juga disalib.
Kaum intelektual yang keberadaannya berawal adanya transformasi sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Kaum intelektual merupakan martir atau bagian orang-orang tertentu yang bersedia menjadi tumbal dalam menjalankan kehidupan berdasarkan inteprestasi baru persepsional yang mendasar dalam masyarakat. Keberadaan seorang intelektual sesungguhnya merupakan fenomena umum dalam sejarah kehidupan manusia, terutama dapat kita saksikan pada munculnya status masyarakat baru yang mampu mengemban dan manjadi kiblat peradaban umat manusia pada zamannya.
Masa Depan Peradaban Manusia
Neoliberalisme sebagai tonggak lahirnya kapitalisme global sudah sangat menggurita dan hampir tak terbendung. Kapitalisme global merupakan peradaban lama harus dilawan dengan cara me-revolusinya (hijjrah) dengan peradaban baru yang lebih berpihak kepada masyarakat demi terciptanya kesejaterahan dan keadilan sosial di masyarakat itu sendiri. Hegomoni arus kapitalisme global telah merusak hampir seluruh tatanan masyarakat dunia yang menimbulkan dampak ketimpangan-ketimpangan sosial melalui Multinational Corprations (MNC).
Seperti yang dikatakan Soeharsono bahwa salah satu timbulnya peradaban baru adalah ketika adanya persepsi-persepsi baru dalam memaknai realitas. Pandangan positivistik yang melatari peradaban yang kini berkembang menganggap bahwa dunia merupakan mesin raksasa dimana manusia merupakan bagian dari sekrup-sekrup penyusunnya. Begitu juga manusia dimaknai seperti mesin, hanya dipandang dari sisi materi. Dan kini pandangan tersebut semakin mengalami ketimpangan dan kerancuan dalam aplikasinya. Untuk itu manusia memerlukan konsepsi paradigma alternatif yang lebih holistik.
Konsepsi ilmu yang memisahkan secara tegas permasalahan ide dan materi telah menjadi pokok permasalahan keterasingan ilmu dan realitas sosial. Dalam peradaban alternatif pasca kapitalisme hubungan antara manusia dan alam semesta tidak dapat lagi saling menguasai tetapi harus adanya keseimbangan antara keduanya. Sebagaimana yang dikatakan Fritjof Capra dalam bukunya "Titik Balik Peradaban" bahwa pemaknaan dunia sebagai mesin raksasa telah mendatangkan berbagai macam problem dan peradaban tersebut telah mencapai titik balik. Sebagai gantinya perlu adanya pemaknaan terhadap realitas dengan persepsi yang baru dan lebih sistemik.
Pada abad XX arah peradaban telah bergeser dari pandangan yang mekanis kearah pandangan dunia ekologis organis. Kalau dulu dunia dipandang sebagai balok-balok yang tersusun dan membentuk sistem dunia kini semakin berubah ke arah pandangan dunia yang sistemik, bahwa dunia merupakan satu-kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Begitu pula dengan paradigma positivistik yang hanya mengakui materi sebagai unsur kehidupan yang bergeser kepada paradigma integralistik yang mengakui adanya ide dan hal yang bersifat spiritual sebagai penyusun kehidupan.
Dalam berbagai sistem kehidupan paradigma tersebut telah berkembang. Dalam sistem keilmuan dengan diakuinya intuisi sebagai salah satu metode pencarian ilmu telah menggugat metode ilmiah sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Metode ilmiah kini tidak lagi menjadi ilmu yang pasti kebenarannya karena masih ada faktor lain yang menentukan kebenaran suatu penelitian. Dalam sistem sosial sekarang tidak hanya berkonsentrasi pada relasi antar manusia saja, tetapi lebih luas yaitu relasi alam dengan manusia menjadi sub pokok dalam membentukan sistem sosial eco-humanisme.
Dalam aplikasi ilmu kedokteran kini cara pandang manusia yang diasumsikan sebagai mesin telah bergeser dengan dikenalnya psikologi dan psikoanalisa sebagai bagian dari metode kedokteran. Dan dalam aplikasi ekonomi kini pertumbuhan tidak hanya diorientasikan pada moneter dan fiskal saja bahkan lebih luas, yaitu termasuk fleksibelitas sosial dan kelestarian lingkungan.
HMI Sebagai Perlawanan
Hari ini bertepatan dengan tanggal 5 Februari 2007 genap sudah HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) berusia 60 tahun. Di usia yang sudah tidak muda lagi seharusnya HMI juga semakin matang dalam berfikir dan bertindak. HMI yang didirikan oleh Lafran Pane 60 tahun silam merupakan organisasi intelektual keagamaan pertama di Indonesia yang menjadi harapan ummat dan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan saat itu.
Dalam perjalanannya, HMI juga aktif berperan dalam melakukan perubahan-perubahan pada zamannya. Selama ini kader HMI selalu aktif melakukan perlawanan-perlawanan, baik itu perlawanan terhadap penjajahan terlebih pada perlawanan rezim otoriter. Perlawanan terhadap sikap otoriterian merupakan sebuah keniscayaan sebagai kader HMI yang merupakan kaum intelektual yang berfungsi mangayomi ummat dan masyarakat. Dunia perlawanan bukan suatu yang asing lagi bagi kader HMI, mulai dari perlawanan fisik hingga pada perlawanan intelektual (pemikiran).
Kini dalam belenggu kapitalisme global sudah saatnyalah kader HMI sebagai kaum intelektual melakukan perubahan peradaban dalam bentuk pemikiran-pemikiran alternatif sebagai bentuk gerakan perlawanan sosial. Kader HMI tidak hanya diciptakan sebagai insan ulull albab tetapi juga kader yang mempunyai tanggung jawab moral sebagai anak ummat dan anak bangsa untuk melakukan perubahan. Maka untuk itu dibutuhkan bentuk transformasi inheren terhadap ummat dan bangsa untuk melawan peradaban yang bertentangan dengan nilai-nilai peradaban itu sendiri.
Kader HMI tidak hanya unggul dalam diskursus pemikiran dalam bentuk grand narasi saja tapi, ia juga harus mampu mentransformasikannya dalam bentuk aktualisasi konkret yang dapat dirasakan langsung oleh ummat. Proses transformasi tidak akan berjalan jika kader HMI merasa ekslusive terhadap ummat itu sendiri. HMI dan ummat merupakan satu kesatuan yang linear, yang dapat bersinergis untuk mewujudkan gerakan perlawanan massal, terhadap peradaban kapitalisme global tersebut. Seperti yang kita tahu kapitalisme global telah melahirkan bentuk penjajahan gaya baru (neoimperialisme) yang di luar batas kesadaran kitapun ikut menikmati hasil dari penjajahan tersebut.
Yang menjadi pertanyaan mendasar saat ini, mampukah kader HMI sebagai kaum intelektual menjadi agen penggerak masyarakat sipil (civil society movement) sebagai perlawanan hegemoni yang menjadi harapan ummat, di tengah dahsyatnya serangan arus kapitalisme global? Bagaimana HMI melakukan perlawanan tersebut? Mampukah HMI menjawab semua tantangan tersebut disaat usia sudah beranjak mapan?
HMI yang diharapkan sebagai martir penggerak perubah peradaban, justeru terjebak kedalam arus peradaban tersebut. Seperti perilaku konsumtif dan perilaku hedonisme yang merupakan bagian dari dampak ancaman kapitalisme global. Meskipun kejadian tersebut tidak dapat digeneralisir, karena masih banyak kader-kader HMI yang masih tetap konsisten menjalakan idealismenya sebagai agen rekayasa peradaban. HMI sebagai organisasi intelektual yang berbasiskan keummatan sudah seharusnyalah HMI lebih banyak berperan melakukan perubahan untuk ummat. Last but not least rupanya hanya kaum intelektual yang memiliki integritas tinggi sajalah yang harus serius memikirkannya. Dan bukan dari kaum intelektual yang justeru menjadi momok bagi masyarakatnya itu sendiri. Bahkan yang lebih parah lagi, ada sebagian kaum intelektual justeru menjerumuskan masyarakatnya kedalam jurang kapitalisme global demi kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri. Wallahu'alam bissawab.[]
Jumat, 05 Februari 2010
HMI dan Kevakuman Ideologi
Oleh : Budi Gunawan S.
________________________________________
Bahagia HMI yang pada 5 Februari 2007 ini merayakan hari jadi yang ke-60. Usia yang tidak muda dan tidak pula tua untuk ukuran sebuah organisasi. Mencapai angka 60 adalah prestasi usia yang penuh pengalaman dan kematangan jati diri. Enam dekade tentu merupakan momentum penting untuk merefleksikan perjalanan HMI di tengah kritik pedas, suara sumbang, keluhan, bahkan gugatan dari luar. Sementara itu, ia juga tampak gagap dalam menghadapi arus deras perubahan, stagnan, dan tertawan permasalahan internal yang tidak kunjung usai.
Memahami jati diri HMI belumlah cukup ketika hanya melihat banyak alumninya yang terlibat kasus korupsi atau perilaku tak terpuji lain, anggotanya yang minim peran dalam gerakan mahasiswa, atau HMI hari ini yang sudah kurang diminati mahasiswa kebanyakan. Lebih dari itu, tak dapat dipungkiri bahwa sejarah organisasi ini sebagai track record memang telah mewatak menjadi pola perilaku objektif yang ternyata justru melahirkan banyak persoalan di belakang hari.
Sejarah republik sejak didirikan mengalami tiga fase perubahan yakni; orde lama, orde baru dan orde reformasi yang banyak diwarnai oleh gerakan mahasiswa. Terutama pada masa orde lama dan orde baru di mana HMI begitu piawai dalam memainkan peranannya. Didirikan oleh Lafran Pane, Achmad Tirtosudiro dkk di Jogjakarta dua tahun setelah pekik kemerdekaan diproklamirkan, HMI memiliki dua tujuan utama yakni; (1) mempertahankan (kemerdekaan) NKRI dan (2) mengembangkan syiar islam. Sejak kelahirannya, organisasi mahasiswa tertua ini dihadapkan pada perjuangan melawan agresor asing yang berkeinginan untuk menjajah kembali tanah air. Abad 19 dan awal abad 20 pasca perang dunia kedua merupakan momen penting bagi tumbuh-kembangnya gerakan mahasiswa (pemuda) di Indonesia di bawah pengaruh pertarungan ideologi, perang-perang heroik di dalam maupun luar negeri. Pada tahun-tahun ini pula HMI menampilkan sosok organisasi heroik dengan watak tegas dalam menentukan garis ideologi perjuangannya.
Pergerakan konteks situasi Orde Lama kerap diwarnai konflik politik aliran dan ‘perang ideologi’ yang serba revolusioner, seraya tetap berpegang pada semangat anti-kolonialisme (Belanda) yang menjadi tren ketika itu. Memasuki masa demokrasi liberal-parlementer era Soekarno, HMI dan gerakan mahasiswa pada umumnya lalu mengambil bentuk afiliasi dengan partai politik segaris. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) berafiliasi di bawah PNI. Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GMS/GERMASOS) dengan PSI. Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dengan PKI.
HMI dan Orde Baru
Persaingan politik aliran antarpartai menjelang pemilu pertama di tahun 1955 berdampak pada persaingan antarmahasiswa yang mengambil bentuk ideologis saling berhadap-hadapan antara yang ‘kiri’ dan ‘kanan’. HMI berada pada posisi kanan bersama PMKRI dan Germasos dengan isu utama antikomunis dan anti kediktatoran. Sedangkan CGMI dan GMNI di pihak kiri dengan isu utama anti-kapitalisme, anti-nekolim, dan anti-fasisme. Sementara bandul kekuasaan semakin bergerak ke kiri di bawah komando Panglima Besar Revolusi Paduka Jang Mulia (PJM) Bung Karno, kelompok kanan mendapati kekalahan yang bertubi-tubi hingga memasuki masa demokrasi terpimpin.
Dekrit Presiden 1959 yang membubarkan Badan Konstituante sebagai jawaban Bung Karno terhadap upaya parpol Islam yang ingin memasukkan kembali Piagam Djakarta ke dalam konstitusi baru. Selain itu, pemberontakan PRRI dan Permesta yang merongrong kekuasaan, dijawab Soekarno dengan membubarkan Masyumi dan GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Entah bagaimana kemampuan pimpinan PB HMI di masa itu sehingga HMI—yang nota bene merupakan bagian dari kelompok oposan—dapat selamat dari pembersihan PKI dan CGMI. Padahal sejak diberlakukannya demokrasi terpimpin, gerakan mahasiswa mengalami ideologisasi yang juga terjadi pada semua organisasi pergerakan. Organisasi yang sesuai dengan ideologi negara dapat berkembang, sedangkan organisasi mahasiswa yang berseberangan dengan ideologi negara terkucilkan atau bahkan dicap kontrev (kontrarevolusi). Pertentangan semakin tajam hingga menjelang peristiwa Gestok (Gerakan Satu Oktober) 1965, di mana kekuasan Soekarno mulai goyah. HMI terlibat bersama kelompok yang banyak berasal dari kaum kanan berkongsi dengan militer mulai mengorganisasi diri untuk menggulingkan presiden. Pertarungan ini akhirnya dapat dimenangkan dengan tergulingnya Soekarno berikut nasib gerakan mahasiswa dan partai politik yang mendukung ideologi Bung Karno.
Kejatuhan Soekarno ini menjadi pancang sejarah pergeseran fase keindonesiaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Peristiwa ini memunculkan mitos gerakan mahasiswa sebagai moral force yang kemudian menjadi kategori politik penting terhadap kekuasaan, sekaligus memitoskan kebesaran mahasiswa angkatan ‘66 yang diarsiteki kader-kader HMI seperti Akbar Tandjung dan Mar’ie Muhammad.
Pada babak sejarah berikutnya, maka banyak ditemui tokoh HMI yang mengisi birokrasi kekuasaan. Generasi kedua HMI ini tidak lagi menampilkan sosok herois yang terlibat penuh dalam pergerakan mahasiswa seperti ditunjukkan oleh para pendahulunya. HMI yang menjadi bagian pendiri Orde Baru mengambil peran secara efektif sebagai sumber rekruitmen kepemimpinan nasional yang kemudian dikenal dalam doktrin organisasi; ‘HMI sebagai sumber insani pembangunan’. Dekade pertama kejatuhan Orde Lama merupakan masa ‘bulan madu’ gerakan mahasiswa dengan Orde Baru. Sedari awal, aktivis yang mula-mula sadar akan kekeliruan orientasi gerakan ini adalah Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib (HMI). Kolaborasi penguasa Orde Baru dengan mantan aktivis mahasiswa, termasuk alumni HMI, berdampak besar terhadap peran HMI yang hampir-hampir absen dalam setiap momentum kebangkitan gerakan mahasiswa. Tercatat dua kali mahasiswa bangkit melawan penguasa Orde Baru. Pertama, Peristiwa Lima Belas Januari (Malari) pada 1974. Ketika itu, digelar aksi penolakan mahasiswa terhadap kapitalisme modal asing. Kedua, gerakan mahasiswa 1978 yang menolak pencalonan Soeharto kembali menjadi presiden.
Power tends to corrupt menjadi benar adanya ketika melihat hubungan harmonis antara HMI dan penguasa Orde Baru yang nyaris tak tergoyahkan, sehingga mengakibatkan penyakit krusial di tubuh organisasi dan melahirkan perpecahan. Sebagian kader HMI menyempal membentuk HMI-MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan monolitik penguasa. Puncaknya adalah pemberlakuan asas tunggal oleh Orde Baru yang ditentang oleh HMI-MPO.
Generasi HMI lain yang muncul di luar kekuasaan Orde Baru mengambil jalur intelektualisme sebagai gairah mewujudkan kontribusi HMI terhadap bangsa. Generasi intelektual HMI berijtihad atas kemandekan berpikir yang terjadi dalam tradisi Islam di Indonesia. Gelombang pemikiran ini sudah tumbuh sejak tahun 1960an akhir hingga tahun 1980an dan memunculkan gelombang pembaruan pemikiran Islam yang sangat menonjol dengan ikon utamanya Nurcholish Madjid.
Mencari Bentuk (Ideologi) Gerakan
Ideologi dalam pengertian luas bisa bermakna positif juga peyoratif. Ideologi berfungsi untuk melawan sekaligus melanggengkan status quo. Sejak didirikan, HMI menjadikan visi keislaman dan keindonesiaan sebagai tujuan inti organisasi. Sejarah menjelaskan bagaimana ideologi HMI itu beroperasi, direproduksi dan dipertahankan.
Suatu gagasan memuat sekaligus tindakan, sentimen, dan gesturenya. Misi keislaman dan kebangsaan HMI, pada masa orde lama sejatinya ialah ideologi yang menyerang kolonialisme (penjajah) dan memusuhi komunisme. Ideologi ini kemudian berubah bentuk ketika direproduksi secara intelektual melalui isu-isu; keislaman, keindonesiaan, kemodernan dan sekularisasi yang menjadi tema aktual di era pembangunan. Kemunculan cendekiawan muslim bercorak moderat di masa itu lebih didorong pada upaya mendamaikan hubungan negara dengan agama (islam) dalam rangka mempertahankan stabilitas ekonomi-politik orde baru. Bagaimanapun, pemikiran Cak Nur tentang ‘Islam Yes, Partai Islam No!’, sedikit-banyak menguntungkan Golkar sebagai partai penguasa. Karateristik HMI hari ini tidak dapat dilepaskan dari fakta-fakta sosial-historis dan pengetahuan yang mengakumulasi dalam dirinya selama 60 tahun. Proses diskursif dialektis selama enam dekade memenangkan wacana keislaman yang berwatak modern-moderat-inklusif sebagai mainstream. Sedang watak keagamaan yang cenderung tradisional-radikal-eksklusif menjadi pihak yang kalah.
Tidak banyak yang dapat diceritakan mengenai peran HMI pasca Orde Baru, bahkan ketika gerakan mahasiswa ‘98 beramai-ramai merobohkan kediktatoran Suharto. Saat itu, peran HMI patut dipertanyakan. HMI berjuang (melawan diktatur) pada masa Orde Lama. HMI membangun (bersama diktator) pada fase Orde Baru. Akhirnya, sekarang, HMI tengah mencari bentuk di era reformasi. Bahagia HMI dan semoga semua aktivitas organisasinya diridhai oleh Allah Swt. (Budi Gunawan S, Ketua Badko HMI Jateng-DIY Bidang Eksternal 2006-2008, Mahasiswa UMS).
Sejarah HMI : Sejarah Perjuangan Kaum Intelegensia Muslim Indonesia
Oleh : Arip Musthopa
________________________________________
Sejarah HMI bukanlah sejarah HMI semata. Sejarah HMI adalah sejarah pergumulan umat dan bangsa di bumi nusantara. Tepatnya, sejarah pergumulan kaum intelegensia muda Islam-Indonesia dalam interaksinya dengan umat dan bangsa di bumi nusantara. Dengan pemaknaan demikian, maka makna kehadiran HMI tidak bisa dilihat hanya sejak tahun 1940-an ketika Lafran Pane dkk menjadi mahasiswa dan berinisiatif mendirikan HMI hingga saat ini, melainkan harus ditarik jauh hingga ke masa pemberlakuan politik etis Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 masehi; dan bahkan ditarik hingga abad ke-13 masehi ketika pertama kali Islam masuk di bumi nusantara. Penarikan sejarah yang jauh ke belakang ini untuk menggapai makna yang lebih utuh karena makna kelahiran dan keberadaan HMI merupakan bagian integral dari semangat Islam masuk ke bumi nusantara dan semangat perjuangan kaum intelegensia muslim sebagai ‘blok historis’ yang menginisiasi kelahiran Negara Republik Indonesia pada awal abad ke-20.
HMI merupakan produk sejarah yang tak terhindarkan dari dua peristiwa penting sejarah (umat) Islam di bumi nusantara, yakni sejarah permulaan Islam masuk di bumi nusantara dan sejarah kebangkitan muslim nusantara (yang dipimpin kaum intelegensia) untuk membebaskan bumi nusantara dari penjajah kolonial Belanda. Pemaknaan yang seperti ini bukanlah sesuatu yang mengada-ada karena semangat Islam masuk ke bumi nusantara yakni syiar Islam, dan semangat kaum intelegensia muslim awal abad ke-20 untuk memerdekakan Indonesia tercermin dalam dua tujuan awal berdirinya HMI pada 5 Februari 1947 bertepatan dengan 14 Rabiul Awal 1366 H, yaitu (1) mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, dan (2) menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.1)
Petunjuk tertua tentang permulaan Islam dipeluk oleh penduduk bumi nusantara ditemukan di bagian utara Sumatera, tepatnya di Pemakaman Lamreh. Disana ditemukan nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir yang wafat tahun 608 H/1211 M.2) Masuknya Islam ke bumi nusantara memiliki makna yang sangat penting bagi penduduk bumi nusantara. Karena pada periode itu Islam sedang mengalami puncak kejayaan sebagai suatu peradaban dan bahkan pemimpin peradaban global. Pada masa-masa itu (abad ke-5 s.d. 7 H), hidup pemikir-pemikir besar dunia (Islam), seperti Ibn Sina (wafat 428 H/1037 M), Al Ghazali (wafat 505 H/1111 M), Ibn Rusyd (wafat 594 H/1198 M), dan Ibn Taymiyyah (wafat 728 H/1328 M).3) Dengan demikian, Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang sudah mapan sebagai suatu ajaran agama dan peradaban4) sehingga merupakan hal yang sudah sepatutnya apabila M.C. Ricklefs, profesor kehormatan di Monash University Australia menulis buku A History of Modern Indonesia Since c. 1200 5) untuk menggambarkan sejarah Indonesia modern yang dimulai dari sejak pertama kali Islam dipeluk penduduk bumi nusantara. Kata ‘modern’ yang disematkan kepada bumi nusantara yang kemudian dikenal dengan ‘Indonesia’ sejak tahun 1200-an tersebut menunjukkan bahwa peradaban di bumi nusantara ketika itu belum modern karena berada di bawah kekuasaan feodalisme Hindu-Budha dan Islam hadir dengan membawa kemodernan. Dengan kata lain, Islam membawa misi memodernkan penduduk di bumi nusantara (Indonesia).
Misi Islam untuk memodernkan penduduk bumi nusantara tidaklah berlangsung dengan mudah dan lancar karena pada saat yang bersamaan dengan mulai masuknya Islam ke bumi nusantara, hinduisme dan budhisme mulai menemukan puncak kejayaannya di bumi nusantara dengan berdirinya kerajaan Majapahit (1294 M) dan berkembang menjadi kerajaan terbesar di Asia Tenggara hingga runtuh pada 1478 M. Proses Islamisasi yang berjalan secara damai di bumi nusantara, terutama di daerah Utara Sumatera berhasil menunjukkan eksistensinya dengan tampilnya kerajaan Islam di Aceh.
Sebelum kira-kira tahun 1500, Aceh belumlah begitu menonjol. Sultan pertama kerajaan yang sedang tumbuh ini adalah Ali Mughayat Syah (m.1514-30). Selama masa pemerintahannya, sebagian besar komunitas dagang Asia yang bubar karena direbutnya Malaka oleh Portugis menetap di Aceh.6) Aceh kemudian tumbuh menjadi salahsatu kerajaan terkuat di kawasan Malaya-Nusantara. Islam yang sedang tumbuh dan mulai membangun peradabannya di bumi nusantara pasca keruntuhan Majapahit sempat terinterupsi selama 3,5 abad (1596-1942 M) ketika bumi nusantara dijajah oleh VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda. Pada masa itu, penduduk bumi nusantara yang mayoritasnya telah muslim kehilangan kekuasaan baik secara ekonomi maupun politik sehingga tidak dapat dengan leluasa menjalankan misinya, yakni memodernkan penduduk bumi nusantara. Kondisi ini dipersulit dengan kemunduran peradaban dunia Islam pada umumnya sejak abad ke-15 M.7)
Pada masa itu, muslim di bumi nusantara dengan kerajaan-kerajaannya seperti Aceh, Demak (didirikan pada perempat terakhir abad ke-15 M), Cirebon (berdiri akhir abad ke-15 M), Banten (berdiri abad ke-16 M), Pajang dan Mataram (berdiri pertengahan kedua abad ke-16 M), Gowa (raja Gowa memeluk Islam tahun 1605, awal abad ke-17), Ternate, Tidore dan sejumlah kerajaan lain yang lebih kecil; serta dengan dinamika internal yang rumit8) di bawah kepemimpinan sultan dan ulama serta kaum intelegensia sejak abad ke-20 M, selama ratusan tahun berusaha mengusir VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda, merebut dominasi ekonomi dan politik di bumi nusantara dari tangan mereka.9)
Ikhtiar untuk merebut kembali kekuasaan ekonomi dan politik baru dapat dilakukan secara signifikan pada awal abad ke-20 ketika mulai muncul kaum intelegensia muslim sebagai produk pendidikan pemerintah kolonial Belanda yang dikenal dengan politik etis pada akhir abad ke-19 M. Perlu diketahui bahwa penduduk pribumi (bumiputera) ketika itu merupakan kelas sosial ketiga setelah orang Eropa dan keturunan Asia (China, India, dan Arab). Akses mereka terhadap ekonomi dan birokrasi pemerintahan sangat terbatas dan sumber daya manusia mereka tidak pernah diberdayakan karena pemerintah kolonial Belanda tidak pernah membuka akses pendidikan bagi penduduk pribumi hingga diberlakukannya politik etis tersebut.10)
Ikhtiar merebut kekuasaan ekonomi dan politik tersebut memunculkan gerakan nasionalisme Indonesia yang menginginkan kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Peranan Islam dalam kelahiran nasionalisme ini sangat penting karena Islam merupakan media persemaian nasionalisme Indonesia itu sendiri sejak awal hingga ke depannya. George Mc. Turnan Kahin dalam buku Nationalism and Revolution in Indonesia melukiskan faktor-faktor atau kondisi awal abad ke-20 yang berperan melahirkan nasionalisme Indonesia sebagai berikut. Pertama, munculnya gerakan Pan-Islam (terinspirasi oleh Mohammad Abduh, Kairo) yang dibawa mahasiswa yang pulang belajar. Kahin menulis: Agama Islam tidak begitu saja menyerap nurani suatu kebangsaan secara pasif. Agama ini menjadi pengadaan saluran dini dari perkembangan nasionalisme yang matang, nasionalisme modern, suatu saluran yang sampai sekarang masih sangat penting.11)
Kedua, lahirnya pemimpin atau elit terpelajar pribumi yang justru dilahirkan oleh pendidikan barat yang digerakkan Pemerintah Belanda sendiri. Kahin menyimpulkan:
“Perhatian Belanda yang terlalu besar terhadap bahaya-bahaya Pan-Islam menyebabkan mereka tidak terlalu mengacuhkan bahaya-bahaya yang terkandung dalam pergerakan Modernis terhadap rezim mereka. Sementara itu, senjata yang mereka pilih untuk memerangi Pan-Islam, yaitu pendidikan Barat, segera tumbuh menjadi mata pisau kedua yang memotong ke arah lain. Ini benar-benar merupakan suatu ironi bagi pemerintahan Belanda, karena cara-cara yang dipilih untuk membela rezim kolonial dari ancaman Pan-Islam yang dibesar-besarkan, justru berkembang ke dalam salah satu kekuatan yang paling potensial untuk mengalahkan rezim tersebut”.12)
Ketiga, kaum terpelajar, dengan mata pisau analisa yang mereka peroleh selama pendidikan di Belanda sendiri mulai merasakan adanya ketidakberesan kondisi negaranya. Mereka juga dapat membandingkan kondisi di negeri Belanda sendiri dengan kondisi di tanah air. Mereka juga merasakan diskriminasi dalam pekerjaan di Pemerintah Hindia Belanda dan mulai tumbuh perasaan tidak menerima perlakukan tersebut. Akibatnya, mereka menuntut diperlakukan setara karena mereka pun merasa kaum terpelajar yang sederajat dengan pegawai-pegawai Belanda. Mereka tidak menerima bila gaji mereka dibayar lebih murah dari pegawai Belanda dalam pemerintahan Hindia belanda. Selain itu, Pengalaman bekerja di pemerintahan Hindia Belanda juga menumbuhkan keyakinan bahwa elit pribumi tersebut merasa yakin dan mampu memerintah bangsanya sendiri.
Tiga kondisi utama di intern (elit) masyarakat Hindia Belanda di awal abad ke-20 inilah yang mengkristalkan kelahiran atau asal mula kesadaran nasionalisme Indonesia, disamping perkembangan di Negeri Belanda dan dunia internasional. Kesadaran ini diperjuangkan melalui organisasi-organisasi pergerakan nasional yang kemudian banyak bermunculan.13)
Senada dengan Kahin, Yudi Latif dalam Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20 menggambarkan bahwa lahirnya Republik Indonesia tidak terlepas dari terbentuknya suatu ’blok historis’ yang disebutnya kaum intelegensia muslim. Kaum intelegensia muslim inilah yang karena kesadaran atas ketertinggalan dan penderitaan rakyat Hindia Belanda ketika itu bertekad dan berjuang memerdekakan Hindia Belanda dan berhasil mendirikan Negara Republik Indonesia.14)
Latar sejarah di atas, dengan tegas menuturkan kepada kita bahwa hadirnya Islam di Indonesia adalah untuk memperbaiki kualitas hidup penduduk bumi nusantara, menghantarkannya pada tingkat peradaban yang lebih tinggi sebagaimana Muhammad diutus ke muka bumi. Ikhtiar tersebut sempat terinterupsi oleh hadirnya penjajah Belanda pada akhir abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-20.
Kini bangsa Indonesia, yang mayoritasnya muslim, secara legal-formal telah dapat memegang kembali kendali atas bumi nusantara dengan berdirinya Negara Republik Indonesia di atasnya. Namun demikian, apakah semangat yang dicita-citakan Islam sehingga ia masuk ke bumi nusantara abad ke-13 dan menjadi media persemaian nasionalisme Indonesia pada permulaan abad ke-20 telah tercapai ?
Yudi Latif menggambarkan sejarah HMI dalam kontinuitas sejarah genealogi intelegensia muslim sebagai suatu blok historis yang memiliki peranan penting dalam kesejarahan Indonesia khususnya sejak awal abad ke-20. Sehingga tidak berlebihan bila HMI kerapkali mengidentikkan diri sebagai anak kandung umat dan bangsa, serta juga tidak berlebihan apabila Jenderal Besar Sudirman menyebutkan HMI bukan saja kepanjangan dari Himpunan Mahasiswa Islam, melainkan juga Harapan Masyarakat Indonesia.
Dalam perjalanannya, HMI memiliki fase kesejarahannya sendiri dalam interaksinya dengan umat dan bangsa. Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, sejarawan HMI, membagi kesejarahan HMI dalam lima zaman perjalanan HMI dan 10 fase perjuangan, yakni, pertama, zaman perang kemerdekaan dan masa kemerdekaan (1946-1949) yang dibagi dalam fase konsolidasi spiritual dan proses berdirinya HMI (November 1946-5 Februari 1947), fase berdiri dan pengokohan (5 Februari-30 November 1947), dan fase perjuangan bersenjata dan perang kemerdekaan, dan menghadapi pengkhianatan dan pemberontakan PKI I (1947-1949). Kedua, zaman liberal (1950-1959). Pada masa ini HMI sibuk membina dan membangun dirinya sehingga menjadi organisasi yang solid dan tumbuh membesar. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta. Ketiga, zaman organisasi terpimpin atau zaman Orde Lama (1950-1965). Zaman ini dibagi dua fase, yakni fase pembinaan dan pengembangan organisasi (1950-1963), dan fase tantangan I (1964-1965). Pada fase tantangan I, HMI menghadapi upaya pembubaran oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dihadapi HMI dengan strategi PKI (Pengamanan, Konsolidasi, dan Integrasi). Pada masa ini juga Ketua HMI, Mar’ie Muhammad pada 25 Oktober 1965 berinisiatif mendirikan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Keempat, zaman Orde Baru (1966-1998). Zaman ini dibagi ke dalam fase kebangkitan HMI sebagai pejuang Orde Baru dan pelopor kebangkitan angkatan 66 (1966-1968), fase partisipasi HMI dalam pembangunan (1969-sekarang), dan fase pergolakan dan pembaruan pemikiran (1970-1998) yang ”gong”-nya dilakukan Nurcholish Madjid (Ketua Umum PB HMI ketika itu) dengan menyampaikan pidatonya dengan topik ”Keharusan Pembaruan Pemikiran dalam Islam dan Masalah Integrasi Umat” tahun 1970 di Taman Ismail Marzuki. Kelima, zaman reformasi (1998 – sekarang). Zaman ini dibagi dalam fase reformasi (1998-2000) dan fase tantangan II (2000-sekarang). Dalam fase tantangan II HMI dituntut dapat terus eksis meskipun alumninya banyak tertimpa musibah dan HMI digerogoti berbagai macam permasalahan termasuk konflik internal yang ditingkat PB HMI sempat menimbulkan dua kali dualisme kepemimpinan.15)
Dalam mengenali kesejarahan HMI misalkan juga ditampilkan dalam pendekatan ‘gelombang’ atau karakteristik utama dari tahun-tahun kesejarahan HMI.[16] Dalam perspektif kesejarahan ini, tahun 1947-1960an merupakan era ‘gelombang heroisme’ yang ditandai dengan keseluruhan gerak HMI yang diabdikan ke dalam perjuangan untuk mempertahankan eksistensi negara sekaligus eksistensi HMI dari segala hal yang berupaya menggugat dan menghancurkannya. Pada masa ini, HMI dihadapkan pada upaya pendudukan kembali penjajah Belanda, perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan penyebaran faham komunisme oleh Partai Komunis Indonesia. Gelombang berikutnya adalah intelektualisme. Gelombang ini dihasrati oleh gairah mewujudkan kontribusi HMI, ber-itjihad, atas kemandekan berpikir dalam tradisi Islam di Indonesia. Gelombang ini mulai muncul tahun 1960-an akhir hingga tahun 1980-an dan memunculkan gelombang pembaruan pemikiran Islam yang sangat menonjol dengan ikon utamanya Nurcholish Madjid (alm).
Meski gelombang intelektualisme ini terus berkembang dan bermetamorfosa di luar HMI, namun di dalam HMI, gelombang ini segera digantikan dengan ‘gelombang politisme’. Gelombang politisme mengusung dominasi logika kekuasaan dan mainstream berpikir politis dalam tubuh dan aktivis HMI. Gelombang ini diawali dengan pemaksaan asas tunggal oleh penguasa Orde Baru pada tahun 1980-an awal. Logika kekuasaan tersebut membekas sangat kuat, karena “memaksa” HMI untuk lebih erat dengan kekuasaan negara. Akibatnya, HMI larut dalam logika kekuasaan tersebut dan menghantarkan HMI pada gelombang berikutnya, yaitu ‘gelombang beku’ (freezed) di akhir tahun 1990-an hingga saat ini. Gelombang beku ditandai dengan tampilnya generasi aktivis HMI yang memitoskan generasi sebelumnya, berlindung dan menuai keberkatan dari kebesaran generasi sebelumnya. Maka jangan heran bila saat ini banyak kader yang cenderung berpikir pragmatis, minim inisiatif, dan miskin kreatifitas. Dengan demikian menjadi wajar apabila generasi ini juga mudah larut dalam agenda politik pihak eksternal dan berkonflik di internal ketimbang menjunjung tinggi persatuan dan program membangun HMI. Gelombang beku merupakan titik nadir dari produk gelombang politisme.
HMI telah mengakumulasi fakta-fakta sosial dan pengetahuan dalam dirinya selama 60 tahun. Fakta-fakta sosial dan pengetahuan tersebut - dalam perspektif arkeologi pengetahuan Michel Foucault- membentuk suatu sistem pengetahuan tersendiri melalui proses diskursif yang rumit dimana terdapat proses seleksi, distribusi, dan sirkulasi wacana di dalamnya. Dalam proses diskursif tersebut terdapat fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang dapat terus eksis, bahkan muncul sebagai “pemenang” dan menjadi ‘arus utama’ namun juga ada fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang jadi “pecundang” dan terpinggirkan. Oleh karena itu, dalam wacana keagamaan di HMI misalnya, berkembang beragam wacana. Namun proses diskursif nampaknya memenangkan wacana keagamaan yang berwatak modern-moderat-inklusif dan wacana keagamaan lain seperti yang tradisional-radikal-eksklusif menjadi pecundang. Proses diskursif juga nampaknya kini telah memenangkan kerangka berpikir political oriented dan menyisihkan kerangka berpikir berorientasi keilmuan dan profesi.
Kemudian, dalam political oriented, yang dominan bukan yang mengedepankan pengaruh atau politik kebudayaan melainkan yang mengedepankan jabatan politik atau politik struktural.17)
Pemaparan beberapa perspektif dalam mengenali sejarah HMI di atas menjelaskan beberapa hal. Pertama, HMI telah berhasil meletakkan dirinya dalam kanvas kesejarahan Indonesia dan umat Islam di Indonesia sehingga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Indonesia dan umat Islam di Indonesia. Hal ini tentu saja disebabkan karena sikap HMI yang memandang Indonesia dan Islam sebagai satu kesatuan integratif yang tidak perlu dipertentangkan.18) Kedua, karakteristik perilaku interaksi HMI dengan umat dan bangsa Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik yang terjadi pada umat dan bangsa, utamanya dalam konteks bernegara. Ketiga, dalam interaksinya tersebut, HMI coba bersikap kooperatif terhadap arus dominan dengan tetap menjaga identitas dirinya yang pokok. Keempat, sejarah HMI adalah sejarah panjang yang didalamnya terdapat dinamika internal HMI yang sangat dinamis, kaya, dan rumit. Sehingga corak dominan yang tampil pada merupakan produk seleksi wacana yang bersifat temporer dan akan segera digantikan oleh corak yang lain apabila tidak ”pintar” mempertahankan diri di tengah pertarungan wacana yang dinamis, kaya, dan rumit tersebut.(Arif Mustopa Ketua Bid. Pembinaan Anggota PB HMI 2006-2008).[]
Senin, 10 Maret 2008
1) Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI (Th 1947-1975), Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1976, hal 13.
2) MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 cet II, penerjemah Satrio Wahono dkk, Serambi, Jakarta, 2005, hal 28.
3) Sebagian pemikiran-pemikiran dari tulisan mereka dapat dibaca dalam Nurcholish Madjid (editor), Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1994.
4) Karena telah mapan, maka tanda-tanda kemundurannya sudah mulai nampak. Ajaran Islam yang telah mapan tersebut masuk melalui daerah pantai yang merupakan pusat perdagangan. Namun demikian, Islam di Jawa baru berkembang setelah jatuhnya Majapahit pada tahun 1478 (berdiri 1294 M), hampir bersamaan dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Malaka ketika itu merupakan pelabuhan dan pusat perdagangan besar yang dikuasai Islam. Dengan demikian, Islam (terutama di Jawa) baru dapat berkembang di bumi nusantara justru ketika dunia Islam mulai kehilangan dominasi peradabannya di dunia global.
5) Dalam Prakata pertama buku tersebut, 1981, Ricklefs menulis, ”Dalam pandangan saya, periode sejak tahun ±1300 telah menjadi unit sejarah yang padu, yang dalam buku ini disebut Sejarah Indonesia Modern.” Op. Cit., hal 14. Perlu diketahui bahwa versi awal buku ini memang mencantumkan periode sejarah Indonesia modern dimulai tahun ±1300, sebelum kemudian direvisi pada edisi ketiga tahun 2001 setelah ditemukannya nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir yang wafat tahun 608 H/1211 M. Di bagian I buku tersebut, Ricklefs memberikan judul ‘Lahirnya Zaman Modern’.
6) MC Ricklefs, Ibid, hal 81.
7) Kondisi ini menyebabkan Islam tidak memiliki momentum yang cukup untuk mengembangkan peradabannya di bumi nusantara.
8) Dinamika internal yang dimaksud adalah konflik kekuasaan (suksesi kepemimpinan) diinternal kerajaan dan persaingan diantara kerajaan-kerajaan tersebut yang kemudian membuat diantara mereka harus bersekutu dengan VOC untuk memperoleh bantuan. Contoh paling nyata dalam hal ini adalah persaingan antara Ternate dan Tidore yang menyebabkan keduanya pernah bersekutu dengan VOC untuk menaklukkan saingannya. Jadi, dalam hal ini konflik internal bersifat kontraproduktif.
9) Menurut Nurcholish Madjid, pengabdian yang dicurahkan untuk berjuang melawan orang-orang Barat (selain Belanda, muslim di bumi nusantara juga pernah berhadapan dengan Portugis dan Inggris --penulis) yang muncul dalam semangat antikolonialisme dan antiimperialisme. Hampir semua pemberontakan dipimpin oleh ulama atau sultan. Tetapi, harga yang kemudian harus ditebus ternyata luar biasa mahal. Yaitu, bahwa umat Islam Indonesia selama ratusan tahun terbiasa hanya berpikir reaktif dan bersikap fight against, yakni berjuang untuk melawan, melawan, dan melawan, karena memang kondisinya seperti itu. Inilah yang menyebabkan mengapa umat Islam sampai sekarang masih relatif belum sampai kepada sikap fight for (pro aktif, membangun --penulis). Tentu, ada beberapa pengecualian. Misalnya, mereka yang berusaha membangun ekonomi. Nurcholish memandang hal ini sebagai salah satu faktor yang membuat umat Islam di Indonesia belum sempat menciptakan peradaban yang berarti karena persoalan-persoalan yang menyerap hamper seluruh energi tersebut. Lihat, Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Jakarta, Mizan, 2006, hal 1198-1200.
10) Itu pun dengan catatan bahwa pendidikan sebagai buah politik etis pada umumnya hanya dapat dinikmati oleh kalangan pribumi-priyayi (bangsawan).
11) George Mc Turnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (Nationalism and Revolution in Indonesia), Penerjemah Nik Bakdi Soemanto, Pustaka Sinar Harapan dan UNS-Press, Solo, 1995, hal 59.
12) Ibid, Hal 58
13) Peran agama Islam dalam menumbuhkan nasionalisme Indonesia akhirnya mengejawantah ke dalam pergerakan kebangsaan Indonesia pertama yang kuat, yaitu Sarekat Islam. Ibid, hal 64.
14) Lihat Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad XX, Mizan, Bandung, 2005.
15) Lihat, Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, Mendiagnosa Lima Zaman Perjalanan HMI (Suatu Tinjauan Historis dan Kritis Fase-Fase Perjuangan HMI), makalah LK II HMI Cabang Tanjung Pinang Kepulauan Riau,Tanjung Pinang , 14 Maret 2007. Uraian lebih lengkap dapat dilihat dalam Agussalim Sitompul, Historiografi HMI Tahun 1947-1993, Penerbit Intermasa, Jakarta, 1995.
16) Pendekatan gelombang ini tidak begitu jelas siapa yang pertama kali melontarkan. Secara teks, penulis menemukan pendekatan gelombang ini dalam tulisan Zulfikar Arse Sadikin, Membangun Gelombang Baru HMI: Epistemic Community, Centre of Zulfikar Information, Yogyakarta, 2006; dan dalam teks Pidato Ketua Umum PB HMI pada Dies Natalis HMI ke-60 M, 5 Februari 2007.
17) Perspektif gelombang sejarah HMI dan penggunaan metode arkeologi pengetahuan dalam membaca sejarah HMI dapat dilihat di Pidato Ketua Umum PB HMI pada Dies Natalis HMI ke-60, 5 Februari 2007. Pendekatan arkeologi pengetahuan juga digunakan dalam penjelasan tema Kongres XXV HMI Februari 2006 di Makassar.
18) Pandangan ini harus dipertahankan disamping karena faktor kesejarahan sebagaimana dipaparkan di atas, melainkan juga karena kita harus waspada terhadap upaya yang hendak memperkecil arti kehadiran Islam di Indonesia yang merupakan praktek kaum penjajah (Kristen). Di kalangan penginjil Kristen di Indonesia, menurut Karel Steenbrink sebagaimana dikutip Nurcholish Madjid, menerapkan strategi memisahkan Islam dari orang Jawa khususnya dan orang Indonesia umumnya, dengan membangun gambaran seolah-olah Islam di Jawa dan di Indonesia ini tidak ada artinya, dan seolah-olah budaya Jawa dan budaya asli Indonesia lainnya adalah lebih penting. Dengan kata lain, strategi mereka ialah menekankan pemisahan antara keduanya itu dan menegaskan kenyataan bahwa Islam bukanlah aspek yang esensial dalam budaya Jawa. Lihat Budhy Munawar-Rachman, Op. Cit., hal 1193-1195.
60 Tahun HMI, Menuju Kerakyatan
Oleh : Arif Gunawan
________________________________________
SEBAGAI pengurus yang masih terlibat dalam organisasi merasa perlu melakukan refleksi dan evaluasi atas perjalanan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Apalagi tahun ini HMI memasuki usia ke-60. Enam dekade sebagai momentum yang memaksa bagi siapa pun; kader, anggota ataupun pengurus bahkan alumni HMI untuk merefleksi ke belakang guna mendapatkan cermin yang utuh atas kondisi organisasi paling kini.
Cerminlah yang akan bercerita secara jujur dan objektif kepada masyarakat dengan tutur yang rendah hati, terbuka dan jujur.
Menilai karakter organisasi belum cukup memadai ketika hanya mengupas seperangkat norma, visi dan misinya. Sejarah republik sejak didirikan mengalami tiga fase perubahan keindonesiaan yakni Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi yang banyak diwarnai oleh peran HMI di dalamnya.
HMI dilahirkan dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan didengungkan. Sejak kelahirannya, geraknya diabdikan kepada perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan dan menyebarkan syiar Islam. Pada masa itu dihadapkan pada upaya agresor asing yang berkeinginan untuk kembali menjajah tanah air.
HMI di tahun-tahun 1947-1965 menampilkan sosok organisasi yang herois dengan watak jelas dan tegas dalam menentukan garis ideologi perjuangannya. Karakteristik utama yang menjadi ciri generasi pertama sesuai dengan konteks situasi yang kerap diwarnai dinamika politik aliran, perang ideologi yang serba revolusioner seraya tetap berpegang pada semangat anti-kolonialisme (Belanda) yang menjadi trend ketika itu.
Tak heran gerakan mahasiswa pada umumnya termasuk HMI, mengambil bentuk afiliasi dengan partai politik. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berafiliasi di bawah PNI. Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GMS/Germasos) dengan PSI dan HMI dengan Masyumi. Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dengan PKI.
Poisisi Kanan
HMI berada pada posisi kanan bersama PMKRI dan Germasos dengan anti-komunis, anti kediktatoran sebagai isu utamanya. Sedang CGMI dan GMNI di pihak kiri dengan isu utama anti-kapitalisme, anti-nekolim dan anti-fasisme. Sementara bandul kekuasaan semakin bergerak ke kiri.
Upaya parpol Islam memasukkan kembali Piagam Jakarta ke dalam konstitusi baru dijawab dengan pembubaran badan konstituante oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden 1959.
Mungkin menjadi kesalahan Soekarno dengan tidak membubarkan HMI ketika itu sehingga pada gilirannya peran organisasi mahasiswa muslim ini justru begitu menentukan pada detik-detik kejatuhannya di penghujung Orde Lama.
Kejatuhan Soekarno memunculkan mitos gerakan mahasiswa sebagai moral force , sekaligus memitoskan akan kebesaran mahasiswa angkatan í66. Tokoh ‘66 banyak dilahirkan oleh HMI seperti Akbar Tandjung dan Maríie Muhammad. Babakan sejarah berikutnya kita temui banyak tokoh yang masuk mengisi birokrasi kekuasaan.
Generasi kedua HMI tidak lagi menampilkan sosok heroisme yang terlibat penuh dalam pergerakan mahasiswa seperti ditunjukkan oleh para pendahulunya. HMI yang menjadi bagian pendiri Orde Baru mengambil peran secara efektif sebagai sumber perekrutan kepemimpinan nasional yang kemudian dikenal dalam doktrin organisasi, HMI sebagai sumber insani pembangunan.
Karakteristik utama yang menjadi ciri generasi HMI Orde Baru ialah kader yang berwatak elitis dan cenderung pragmatis dalam tindakan politiknya. Situasi ini sebetulnya dimulai sejak dekade pertama di tahun 60-an yang merupakan masa bulan madu antara gerakan mahasiswa dengan Orde baru. Sedari awal aktivis yang mula-mula sadar akan kekeliruan orientasi gerakan ini adalah Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib (HMI).
Kolaborasi penguasa Orde Baru dengan mantan aktivis mahasiswa -termasuk alumni HMI- berdampak besar terhadap peran secara organisasional yang nyaris absen dalam setiap momentum kebangkitan gerakan mahasiswa.
Tercatat dua kali mahasiswa bangkit melawan penguasa Orde Baru yakni pada peristiwa lima belas januari (malari) 1974 aksi penolakan mahasiswa terhadap kapitalisme modal asing dan gerakan mahasiswa tahun 1978 yang menolak pencalonan Soeharto kembali menjadi presiden.
Hubungan harmonis HMI dengan penguasa Orde Baru nyaris tak tergoyahkan sehingga mengakibatkan penyakit krusial di tubuh organisasi yang kemudian berpuncak pada perpecahan.
Sebagian kader menyempal membentuk HMI-MPO sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan monolitik penguasa Orde Baru yang puncaknya adalah pemberlakuan asas tunggal.
Di luar kekuasaan Orde Baru muncul generasi HMI lain yang mengambil jalur intelektualisme sebagai gairah mewujudkan kontribusi terhadap bangsa. Generasi intelektual berijtihad atas kemandekan berfikir yang terjadi dalam tradisi Islam di Indonesia. Gelombang pemikiran ini sudah tumbuh sejak tahun 1960 -an akhir hingga tahun 1980- an dan memunculkan gelombang pembaruan pemikiran Islam yang sangat menonjol dengan ikon utamanya Nurcholish Madjid.
HMI Kekinian.
Hari ini (5 Februari 2007) HMI dihadapkan pada kenyataan bahwa cermin yang merefleksikannya tidak lagi mencitrakan watak utama intelektual profetik yang berpikir kerakyatan, justru aroma kemandekan dan kebekuan berpikir ditambah watak pragmatis telah menjadi hal biasa yang ditemukan.
HMI telah tertawan dengan segudang prestasi dan kebanggan masa lalunya, untuk tidak mengatakan bahwa hari ini miskin prestasi dan capaian.
Upaya untuk menyelamatkan keterpurukan bangsa ini tidak melulu karena alasan historis, namun perlu diingat bahwa perjuangannya equivalen dengan tujuan akhir bangsa ini. Semangat untuk memulai perubahan mutlak dimiliki oleh HMI agar secara objektif bisa menjawab tantangan zaman.
Simpul kerakyatan harus menjadi mainstream gerakan agar HMI tidak tergelincir dari orbit perjuangannya. Patut juga diingat bahwa permasalahan yang berdimensi kerakyatan dan menyangkut publik harus menjadi perhatian utama saat ini. HMI harus mampu keluar dari kepompong kebesaran masa lalu untuk kemudian menjadi kupu-kupu yang memberi pencerahan terhadap keadaan sekitarnya.
Secara praksis, harus menggunakan resources intelektual yang selama ini jarang disentuh, untuk kemudian dijadikan pisau analisa menjawab persoalan multi dimensional bangsa ini.
Jika perlu harus mengambil jarak terhadap pusaran kekuasaan sebagai pembuktian bahwa HMI mampu keluar dari fase kemandekan berpikir dan penikmatan terhadap keberhasilan para alumninya. Selain itu, langkah penguatan kapasitas intelektualitas dan profesionalisme patut diambil sebagai langkah reorientasi internal.
Dengan demikian, membayangkan masa depan akan bergantung dengan apa yang menjadi rencana untuk dilakukan kini. Padahal sumber daya manusia yang akan menggantikan tongkat estafet kepemimpinan kelak akan berasal dari sistem perkaderan hari ini.
Sekali lagi, HMI harus tanggap terhadap perubahan dan harus berani untuk melakukan pembacaan ulang terhadap perubahan yang terjadi di sekitarnya, bukan semata-semata untuk HMI, namun secara jujur untuk keberlangsungan dan eksistensi bangsa ini. []
HMI: Otokritik dan Spirit Revivalisme
(Catatan Kritis Dies Natalis HMI Ke 60)
Oleh : Denis2506
________________________________________
Tepatnya Senin 5 Februari 2007, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) akan merayakan hari jadi yang ke-60, merupakan usia yang senja untuk sebuah organisasi terlebih organisasi kemahasiswaan. Selisih jarak dua tahun dengan tahun kemerdekaan Republik Indonesia merupakan bukti responsifitas HMI terhadap permasalahan kebangsaan. Tentu dalam perjalanannya HMI telah banyak mewarnai dinamika kehidupan kebangsaan dan keislaman di Indonesia.
Komitmen kebangsaan dan keumatan yang menjadi tujuan awal terbentuknya HMI membawa implikasi terhadap konsekuensi logis yang harus ditunaikan. Fase awal berdirinya HMI langsung bersentuhan dengan dinamika pergolakan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari upaya neo kolonialisme Belanda melalui agresi militer pertama dan agresi militer kedua. Upaya mempertahankan kedaulatan NKRI dilakukan oleh kader-kader HMI melalui perjuangan heroik mengangkat senjata. Perjuangan lain yang tak kalah heroik adalah ketika terjadi pertarungan ideologi melawan PKI yang hampir saja eksistensi HMI ditiadakan karena kuatnya pengaruh PKI terhadap pemerintahan Orde Lama. Namun ternyata sejarah membuktikan, bahwa HMI yang menjadi anak kandung umat dapat menorehkan tinta emas dalam sejarahnya. Maka tidak salah jika dua tokoh nasional alm. Jenderal Sudirman dan Buya Hamka pernah mengatakan HMI sebagai Harapan Masyarakat Indonesia dan Harapan Masyarakat Islam.
HMI dalam sejarahnya pun pernah menjadi rahim yang melahirkan cendekiawan Muslim secara masal yang memberikan sumbangsih pemikiran terhadap permasalahan keumatan dan kebangsaan. Bahkan menurut Amich Alhumami, bila saja kita membuat peta sosiologis cendekiawan muslim Indonesia, maka akan tergambar jelas gambaran yang didominasi oleh warna hijau hitam (warna kebesaran HMI). Mobilitas intelektual banyak digerakkan oleh tokoh-tokoh yang mempunyai latar belakang aktivis HMI. Deliar Noer, Nurcholish Madjid, Imaddudin Abdurrahim, Amien Rais, A. Syafii Ma’arif serta yang muncul belakangan Azyumardi Azra dan Komarudin Hidayat adalah sedikit nama cendekiawan Muslim yang terlahir dari rahim HMI. Namun sangat disayangkan kemudian akar intelektualisme HMI seolah terputus, terutama setelah dekade pertengahan 1980-an yang cenderung political oriented daripada intellectual oriented.
Kondisi kontemporer HMI
Jika kita telaah kondisi HMI kontemporer, sulit kita mengatakan bahwa organisasi ini sedang berjalan pada rel yang sesuai dengan jalurnya. Beban sejarah yang terlalu berat dan kegagapan dalam menyesuaikan diri dengan situasi kontemporer yang terus bergerak dinamis, agaknya membuat HMI kikuk dalam menentukan arah pergerakannya yang akhirnya terperosok dalam jurang stagnansi.
Berbagai permasalahan yang mendera intern organisasi (yang dimulai dari pecahnya HMI menjadi dua, yaitu HMI Dipo dan MPO) sampai dualisme kepengurusan Pengurus Besar HMI selama dua periode berturut-turut (tahun 2002-2005), merupakan akumulasi polemik berkepanjangan dalam tubuh HMI. Bahkan menurut Agussalim Sitompul, bisa dibuktikan secara empiris disinyalir terdapat sekitar 44 indikator yang membuktikan bahwasanya HMI sedang berada pada fase-fase kemundurannya. Otokritik Agussalim ini tentu akan membawa implikasi yang lebih luas bagi eksistensi HMI ke depan jika tidak segera disikapi.
Kemunduran HMI
Untuk melakukan analisa progresivitas dan regresitas terhadap sebuah organisasi yang non-profit, tentu jauh berbeda dengan parameter variabel-variabel yang digunakan untuk menganalisis organisasi yang profit oriented. Namun menurut Aslam Sa’ad, ada koor yang bisa disepakati untuk melakukan analisa terhadap organisasi yang non-profit, diantaranya adalah kualitas input dan output perkaderan, disamping kualitas dan realisasi program kerja, efektivitas manajerial dan sebagainya.
Terdapat beberapa data faktual tentang regresitas HMI, salah satu hal yang kentara adalah terjadinya degradasi intelektual pada kader-kader HMI. Tradisi intelektual yang sempat menjadi mainstream pada periode 1970-1980-an (sebut saja limited group yang dibina oleh A. Mukti Ali) kemudian lambat laun mulai tergeser oleh pragmatisme politik yang menjadi orientasi para aktivis HMI. Rendahnya minat baca yang akhirnya kemampuan menulis juga akan lemah, diskusi ilmiah serta melakukan penelitian-penelitian yang komprehensif merupakan penyebab dari merosotnya intelektualitas kader-kader HMI.
Masalah lain yang oleh para pemerhati HMI sering menjadi sorotan adalah sistem perkaderan yang menjadi rohnya HMI sudah kurang sesuai diterapkan pada era kontemporer. HMI gagap dalam menghadapi semakin pesatnya perubahan di bidang teknologi komunikasi yang menuntut untuk dilakukannya modernisasi dalam setiap aspek kehidupan. HMI masih menggunakan metode-metode lama dalam menyelenggarakan kegiatan traning maupun kegiatan-kegiatan perkaderan lainnya dan berkesan tertinggal oleh jaman. Traning HMI yang cenderung menekankan terhadap aspek retorika, logika dan rasionalitas dan sangat kering dari dimensi spiritualnya, menjadi penyebab semakin kurang diminatinya traning HMI oleh para mahasiswa. Maka tak urung di kampus-kampus besar di Indonesia yang sempat menjadi basis HMI (UI, ITB, Unpad, IPB, UGM) nama HMI kian hari kian tidak populer.
Independensi, yang menjadi kekuatan HMI pun kian hari kian tergadai. HMI yang pada awalnya menjadi gerakan moral force, namun godaan-godaan struktural pada jaman Orde Baru kemudian merubah orientasi HMI menjadi political force. Eksodus sebagian besar aktivis HMI ke wilayah politik praktis membawa implikasi terseretnya HMI kedalam arusnya. Political deal yang terjadi sering kali mengabaikan independensi etis dan organisatoris yang dipegang teguh oleh HMI tergadaikan. Terlebih ketika HMI harus dihadapkan dengan abangnya di tingkatan elit pemerintah, HMI tak kuasa mengkritisinya dan menjadi impoten. “Perlawanan” terhadap senioren/alumni akan berimbas secara signifikan terhadap dinamika dan aktualisasi program-program organisasi.
Hal lain yang juga patut dijadikan sorotan adalah komitmen keislaman HMI. Walaupun didalam Anggaran Dasar tegas dinyatakan HMI berasaskan Islam, namun kondisi objektif sulit kita untuk sekedar mengiyakannya saja. Sibghah keislaman HMI baik pada aktivitas maupun semangat intelektualitasnya semakin tidak terlihat. Maka tak heran kemudian organisasi mahasiswa yang muncul belakangan dengan identitas keislaman yang jelas menjadi pilihan para mahasiswa dalam menyalurkan minat berorganisasinya.
Yang patut juga kita analisa adalah semakin memudarnya kemitmen keumatan HMI. HMI yang pada fase awalnya menaruh perhatian besar terhadap problematika keumatan, kian hari ghirah tersebut kian memudar. Dalam merespon permasalahan keumatan, HMI kadang terlambat jika dibanding organisasi lain. Doktrin NDP (Nilai Dasar Perjuangan) yang dalam bagiannya menitikberatkan pada Islamic social mission, dan keberpihakan terhadap kaum mustadh’afin kurang dijalankan dengan baik oleh HMI.
Tentu selain permasalahan krusial diatas, masih banyak permasalahan lain yang menyelimuti HMI saat ini. Sikap apriori dan apologi terhadap kritik yang ditujukan terhadap HMI hanya akan menjadi bumerang dan mengancam eksistensi HMI ke depan.
Agenda Perubahan
Membangun HMI baru merupakan suatu keniscayaan untuk perbaikan HMI ke depan. Spirit revivalisme mutlak diperlukan jika ingin HMI dapat keluar dari lingkaran setan yang menyelimutinya. Rekonstruksi tradisi intelektual melalui rekulturisasi kajian-kajian, diskusi, bedah buku dan kegiatan intelektual lainnya merupakan poin yang harus dilaksanakan segera oleh kader HMI ke depan.
Pembaharuan perkaderan baik dari segi materi, inovasi dan keselarasan antara intelektual, emosional dan spiritual harus menjadi landasan dalam pola perkaderan HMI. Independensi yang menjadi kekuatan HMI harus segera dikembalikan kepada khittah-nya.
Komitmen terhadap nilai-nilai keislaman harus ditegakkan oleh kader-kader HMI dalam aktualisasi aktivitas dan semangat intelektualitasnya. Dan keberpihakan terhadap kaum mustadh’afin harus selalu menjadi ghirah dalam menjalankan misi organisasi.
Tentu kita semua berharap HMI dapat segera keluar dari kemelut permasalahan yang menderanya. Dan satu hal yang penting HMI masih punya potensi untuk menjadi gerakan massif yang dapat merubah kondisi bangsa ini kearah lebih baik. Jumlah 164 cabang yang tersebar di seluruh Nusantara, 17 Badan Koordinasi dan seribu lebih Komisariat adalah modal berharga HMI untuk melakukan itu semua. Terakhir, selamat hari jadi ke-60 untuk HMI, Yakusa (Yakin Usaha Sampai).
17 Januari 2008
Refleksi 60 Tahun HMI
Oleh : Revi Marta Dasta
________________________________________
“Hari ini adalah rapat pembentukan Organisasi mahasiswa Islam karena semua persiapan maupun perlengkapan yang diperlukan sudah beres.” Demikanlah prakata Prof. Lafran Pane membuka rapat pendirian Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), 60 tahun silam. Hari ini rabu 14 Rabiul Awal 1366H, bertepatan 5 Februari 1947 M. rapat yang berlangsung di salah satu runga kuliah STI (Sekarang UII) Yogyakarta, disaksikan Husein Yahya (mantan Dekan Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) yang seharusnya mengajar kuliah tafsir, mengesahkan berdirinya HMI.
Organisasi ini ternyata mendapat sambutan hangat tidak hanya dari kalangan mahasiswa Islam, melainkan dari seluruh elemen bangsa. Itu terbukti dengan ucapan Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam sambutan pada peringatan 1 Tahun berdiri HMI, 5 Februari 1948. Dalam kesempatan tersebut Jenderal Soedirman mengatakan “HMI hendaknya benar-benar HMI, jangan sampai suka menyendiri”. Bagi Pak Dirman, HMI yang benar bukan hanya Himpunan Mahasiswa Islam melainkan Haparan Masyarakat Indonesia.
Perjalanan Awal
Memasuki usia 60 tahun ini, Pengurus Besar (PB) HMI mengintruksikan kepada seluruh kader HMI yang ada di Indonesia untuk melaksanakan berbagai kegiatan seperti membuat tulisan, kegiatan sosial dan seminar tentang HMI. Agenda Dies Natalis ini merupan salah satu agenda pengurus pusat kurun waktu Januari-Maret 2007 (Kompas, 11 Januari 2007). Bagaimanapun keberadaan HMI tidak dapat dipisahkan dengan kelahiran bangsa Indonesia karena HMI lahir tepat dua tahun setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanggala 17 Agustus 1945. Sudah dapat dipastikan bahwa HMI memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan cita-cita mulia menjadi masyarakat yang merdeka, adil dan makmur.
Setidaknya ada lima zaman yang dilalui HMI, selama itu juga HMI melewati banyak tantangan dan rintangan seiring dengan ciri dan karakter masing zaman tersebut. Pertama, Zaman Kemerdekaan (1946-1949), HMI melewati beberapa fase, yaitu konsolidasi, pengokohan dan perjuangan menghadapi pemberontak PKI. Pada fase ini segenap kader HMI terjun kegelanggang medan pertempuran melawan Belanda, membantu pemerintah, baik langsung maupun tidak langsung. HMI membentuk Cops Mahasiswa (CM) di bawah pimpinan Ahmad Tirtosudirto, ikut membantu pemerintah dengan mengarahkan anggota CM ke gunung-gunung memperkuat aparat pemerintah. Sejak itulah dendam kesumat PKI terhadap HMI tertanam.
Kedua, Zaman Liberal (1950-1959), lewat kongres ke V HMI di Medan 1957 menghasilkan keputusan menuntut Islam sebagai dasar Negara dan mengharamkan penganut ajaran komunis.
Ketiga, Zaman Orde Lama (1950-1965), HMI menghadapi tantangan pembubaran oleh PKI lewat propagandanya dengan mencari dalil dan fitnah yang tidak ada buktinya. DN. Aidit sebagai pemimpin pimpinan PKI waktu itu menyebutkan “Seharusnya tidak ada plintat-plintut terhadap HMI. Saya menyokong penuh tuntutan pemuda, pelajar, dan mahasiswa yang menuntut pembubaran HMI, yang seharusnya sudah lama bubar bersama dengan bubarnya Masyumi.” Pidato Aidit yang menyakitkan adalah “Kalau tidak sanggup membubarkan HMI pakai kain sarung saja.” Namun perlawanan terhadap gerakaan DN. Aidit tersebut datang dari generasi muda Islam (GEMUIS) yang lahir 1964, membentuk Panitia Solidaritasd Pembelaan HMI. Lewat apel akbarnya membawa spanduk yang berbunya “Langkahi Mayat sebelum goyang HMI”. Anti klimaks dari peristiwa itu, PKI melakukan pemberontakaan tersebut adalah PKI, maka HMI secara organisatoris mengeluarkan pernyataan mengutuk Gestapu PKI lewat surat nomor: 2125/B/Sek/1965 yang ditanda tangani oleh Sulastomo sebagai Ketua Umum dan Marie Mahmammad sebagai Sekretaris Jenderal PB HMI. Akhirnya HMI masih tetap bertahan sampai sekarang, sedangkan PKI dibubarkan oleh pemerintah.
Keempat, Zaman Orde Baru (1966-1998), HMI beperan sebagai pejuang Ode Baru dan pelopor kebangkitan angkatan 66 dengan membentuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), berpartisipasi dalam pembangunan serta atau pergolakaan dan pembaruan pemikiran Islam, puncaknya tahun 1970 takkala Cak Nur (Ketua Umum PB HMI dua periode) menyampaikan ide pembaruaan pemikir Islam dan masalah interaksi umat.
Kelima, Zaman Reformasi (1998-sekarang). Bila dicermati dengan seksama secara historis HMI sudah mulai melaksanakan gerakaan reformasi dengan menyampaikan beberapa pandangan yang berbeda dan kritik terhadap pemerintahan Orde Baru, seperti yang disampaikan oleh Ketua Umum PB HMI Anas Urbaningrum pada waktu peringatan Dies Natalis HMI ke-51 di Graha Insan Cita Depok tanggal 22 Februari 1998 dengan judul Urgensi Reformasi Bagi Pembangunan Bangsa yang Beradab. Pidato ini disampaikan 3 bulan sebelum lengsernya Presiden Soeharto.
HMI Sekarang
Seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru muncul keberanian masyarakat kita untuk melakukan kritikan terhadap segala hal yang dianggap tabu selama ini. HMI juga telah menjadi sasaran kritik berbagai kalangan, baik internal maupun eksternal HMI. Kritikan yang paling pedas datang dari Cak Nur, HMI sekarang tidak sesuai dengan lagi dengan misi awal pendiriannya, kader HMI cenderung elitis dan banyak berpolitik dari pada memikirkan persoalan umat dan bangsa. Sebagai orang yang pernah besar di HMI, kritik Cak Nur tersebut tentu tidak tanpa alasan tetapi melewati pengamatan dan analisis yang mendalam.
Evaluasi dan kritik terhadap suatu pengalaman sejarah seperti HMI patut dilakukan. Mengutip ungkapan sejarahwan Sartono Kartodirdjo “….siapa yang mengontol masa lampau akan menguasai masa depan” artinya, kritik yang dialamatkan kepada HMI merupakan langkah dalam penyelamatan organisasi ini. Berdasarkan pengamatan penulis sebagai salah seorang kader HMI melihat ada empat persoalan mendasar yang dihadapi HMI saat ini. Pertama, Rekruitmen kader yang tidak ada lagi mementingkan kualitas, kondisi ini disebabkan oleh masih kurangnya promosi yang dilakukan HMI di kampus sebagai basisnya. HMI jarang sekali melakukan aktifitas-aktifitas yang menarik bagi mahasiswa saat ini seperti diskusi-diskusi yang selama ini menjadi ciri khas HMI. Sehingga HMI tidak lagi dikenal di kampus, mahasiswa tidak memiliki minat masuk HMI. Saat ini yang menjadi kader HMI harus “merayu” dulu untuk mendapatkan anggota baru bukan lagi atas kesadaran semata. Kurangnya follow up yang dilakukan oleh instruktur kepada peserta pascatraning juga menjadi persoalan yang tidak ada solusinya. Sehingga anggota baru yang dilantik bagai ayam kehilangan induk karena sering ditinggal. Padahal substansi dari sebuah pentrainingan adalah follow up yang harus maksimal dilakukan pasca Latihan Kader I. Kedua, gerakan HMI dalam mengambil tema gerakan, seakan terombang ambing dan terkesan elitis sehingga berimbas pada pragmatisme kader yang jauh dari prinsip. Ketiga, kehilangan indentitas. HMI sebagai organisasi yang berasaskan Islam kadang kala tidak lagi menunjukan identitas keislamannya yang harus dipegang teguh dalam setiap prilaku kader HMI. Mesjid sebagai basis mulai ditinggalkan. Kajian-kajian keislaman yang dilakukan HMI kurang diiringi dengan impelementasinya. Keempat, pencitraan alumni. Penulis berpendapat bahwa pencitraan alumni sangat berpengaruh terhadap eksistensi HMI. Potensi alumni yang dimiliki oleh HMI merupakan model yang berarti bagi perkembangan HMI. Banyaknya alumni HMI yang menduduki posisi strategis di negeri ini, tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu faktor penunjang bagi eksistensi dan survivenya HMI. Namun adanya alumni yang bermasalah juga menambah beban pencitraan HMI di masyarakat. Tetapi, yang lebih ironis ada juga segelintir aknom alumni yang mencoba memanfaatkan HMI untuk kepentingan tertentu. Lebih unik lagi ada saja yang mengaku sebagai alumni HMI, jika organisasi ini menguntungklan strategi. Tetapi, apabila tidak ada hampir semua mencerca HMI, jarang sekali memberikan solusi.
HMI Masa Datang
Memprediksi HMI yang akan datang bukanlah pekerjaan yang mudah butuh analisa dan diagnosa yang mendalam. Sejarahwan HMI Prof. DR. Agussalim Sitompul (guru besar UIN Yogyakarta) sudah mulai mencoba diagnosa tersebut lewat buku yang berjudul “44 Indikator Kemunduran HMI : Suatu Kritik dan Koreksi untuk Kebangkitan Kembali HMI”. Dalam buku itu dijelaskan secara gamlang tentang kemunduran-kemunduran HMI dari masa ke masa. Berdasarkan hasil diagnosa, beliau memprediksi keberadaan HMI ada tiga kemungkinan. Pertama, HMI akan eksis dan akan kembali bangkit dari keterpurukan selama lebih kurang 25 tahun apabila mau melakukan perubahan-perubahan.
Perubahan tersebut dilakukan oleh HMI dengan memaksimalkan agenda studi banding melakukan penelitian dan pengembangan organisasi secara intensif sesuai dengan tuntutan zaman capacity bulding (penguatan dan pengembangan sumber daya manusia HMI), voicing (melakukan interaksi yang baik dengan eksternal HMI), networking (kemampuan mencari patner HMI untuk ikut peka terhadap masalah umat). Kedua, HMI status quo hal ini terjadi apabila HMI masih merasa dirinya sebagai organisasi mahasiswa terbesar, tertua, sebagai kesombongan historis yang kini menghinggapinya. Lebih dari pada itu HMI tidak mau mendengar kritik dari luar maupun dalam HMI. Ketiga, HMI akan hilang dari peredaran untuk tidak dikatakan bubar apabila tidak mau memperbaiki diri. Sangat dibutuhkan kepemimpinan yang berkualitas tidak saling merasa benar yang akan membuat perpecahan di tubuh organisasi.
Menjadikan kembali HMI sebagai harapan masyarakat Indonesia adalah tugas berat dan butuh perjuangan yang berat pula. Tujuan HMI yang terdapat dalam pasal 5 AD HMI yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT adalah cita-cita mulia yang semestinya menjiwai semangat kader HMI untuk mewujudkannya. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah strategis agar harapan tersebut tercapai secara maksimal. Pembenahan persoalan internal organisasi menjadi kemestian yang harus dilakukan, berkurangnya minat anggota HMI menjadi instruktur pengelola LK adalah persoalan berat. Untuk itu perlu dibuat program untuk menggairahkan kader HMI menjadi seorang instruktur pengkaderan pada pada setiap training. Karena, HMI adalah organisasi kader bukan organisasi massa dan pengkaderan adalah jantung organisasi. Ketika pengkaderan tidak ada lagi, maka HMI hanya akan tinggal nama saja. Di samping itu perlu pengawalan terhadap follow up anggota baru yang dilantik dengan memaksimalkan metode kakak asuh disetiap level training. Untuk eksternal gerakan HMI difokuskan pada isu-isu yang menyentuh masyarakat bawah seperti pendamping agenda pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Begitu juga dengan mengembalikan HMI ke kampus adalah solusi untuk mempromosikan HMI ke kampus sehingga HMI back to campus tidak hanya slogan belaka. Akhirnya untuk mewujudkan harapan masyarakat Indonesia HMI harus dikembalikan kepada komunitasnya semula yaitu mahasiswa dan masyarakat.
Kerberhasilan sebuah organisasi kemahasiswaan tidak mutlak diukur dengan harus menguasai kampus menjadi ketua-ketua lembaga di kampus dan unit kegiatan mahasiswa lainnya. Tetapi, yang paling penting mengembalikan peran organisasi kemahasiswaan sebagai organisasi perjuangan yang mampu melahirkan perubahan dengan memberikan kontribusi positif kepada masyarakat baik sebagai individu kader maupun organisasi. Jika itu sudah dilakukan maka HMI akan selalu menjadi harapan bangsa Indonesia. Selamat ulang tahun HMI ke 60. Bahagia HMI. Yakin usaha sampai.
(Singgalang. Jumat 26 Januarai 2007)
HMI 61 Tahun
Muslim, Intelektual, Profesional
(Sebuah Kado untuk Milad HMI ke-61)
oleh : Rizky Wahyuni
________________________________________
Himpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI merupakan organisasi mahasiswa tertua yang didirikan di Indonesia. Selang dua tahun dari kemerdekaan Indonesia berdirilah HMI sebuah organisasi kader yang diprakarsai oleh Lafran Pane, seorang mahasiswa tingkat satu Sekolah Tinggi Islam (sekarang bernama UII) tepatnya pada 14 Rabiul Awal 1366 H atau 5 Februari 1947 M di Yogyakarta. Latar belakang historis dan tujuan berdirinya organisasi kader ini adalah memepertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia, meningkatkan derajat kehidupan bangsanya serta menegakkan ajaran islam dan memajukan ummatnya.
Tepat pada 5 Februari 2008 ini HMI menginjak pada usia 61 tahun. Usia yang senja jika diibaratkan sebagai seorang manusia, namun bagi ukuran sebuah organisasi usia demikian merupakan usia yang matang dengan segala pengalaman merekam sejarah yang pernah dilaluinya.
Tentu saja dengan perjalanan sedemikian panjang HMI mengalami dinamika yang luar biasa. Mulai dari tantangan eksternal organisasi baik itu yang datang dari sistem pemerintahan, kehidupan berbangsa dan sekitarnya maupun tantangan internal dengan adanya perpecahan ditubuh HMI (DIPO dan MPO), dualisme kepemimpinan di pucuk pimpinan (PB-HMI) dan sebagainya.
Dalam usia 61 tahun tersebut HMI telah melewati beberepa fase proses berbangsa dan bernegara di republik ini. Mulai dari orde lama (1945-1965), orde baru (1965-1998) dan orde reformasi (1998-sekarang). Dalam selang tersebut HMI telah banyak menghasilkan para cendekiawan Muslim yang memberikan sumbangsih pemikiran terhadap permasalahan keumatan dan kebangsaan sebut saja Deliar Noer, Nurcholish Madjid, Imaddudin Abdurrahim. Syafii Ma’arif, Azyumardi Azra dan Komarudin Hidayat. Atau tokoh-tokoh politik nasional seperti Akbar Tanjung, Amien Rais, A, Yusuf Kalla, dan sebagainya.
Diskursus tentang HMI dari awal berdirinya hingga kini tak pernah berhenti, ada yang menyanjungnya setingi langit hingga ada yang membenamkannya keperosok jurang yang paling dalam. Tak berlebihan kiranya mengingat kebesaran peran dan gerakannya yang membawa HMI sebagai organisasi mahasiswa Islam yang diperhitungkan sekaligus menjadi sorotan publik. Apapun yang dilakukan oleh HMI baik itu secara organisasi maupun sebagai individu selalu menjadi perhatian masyarakat.
Walau sampai kini HMI masih eksis sebagai sebuah organisasi berbasis ke-Islaman, ke-Indonesiaan dan kepemudaan, namun ternyata banyak sekali persoalan yang tengah dihadapi. Jika diibaratkan seorang anak manusia yang berusia 61 tahun tentunya adalah seorang kakek atau nenek yang didalam tubuhnya sedang bersarang berbagai penyakit. Tentu saja agar tidak segera ajal menjemputnya harus dilakukan diagnosa untuk melakukan pengobatan dan treatment terhadapnya.
Tidak tabu rasanya di hari yang bersejarah bagi awal perjuangan HMI ini seluruh kader-kader HMI mencoba untuk mendiagnosa melakukan refleksi dan evaluasi terhadap perjalanan HMI. Bahkan dirasakan kader-kader perlu melakukan otokritik terhadap dirinya (baca:HMI) agar HMI bisa terus survive dalam kondisi kontemporernya.
Diagnosa Kondisi HMI hari ini
Sebenarnya Prof. Agussalim Sitompul yang juga merupakan pakar sejarah HMI telah mendiagnosa kemunduran HMI secara komprehensif dalam bukunya 44 Indikator kemunduran HMI. Tulisan ini hanya ingin sedikit memepertegas bahwa sebenarnya sebagai organisasi HMI tidak bebas nilai. Siapa saja boleh memberikan penilaian terhadap eksistensi organisaisi ini. Terlebih bagi mereka yang terjun langsung menggumulinya.
Keberadaan HMI sebagai organisasi kemahasiswaan sebagai satu struktur dalam kehidupan sosial sudah sejak lama disinyalir mengalami kelesuan bahkan kemunduran. Hal tersebut adalah suatu fenomena sosial yang tidak lepas dari pengaruh lingkungan global sebagai bentuk interaksi sosial. Kehidupan sosial masyarakat selalu mengalami progres yang begitu luar biasa. HMI sebagai bagian dari sistem pranata sosial tersebut sepertinya kurang dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang terjadi. Kader-kader HMI sepertinya gagap dengan kemajuan dan perkembangan zaman yang ada. Persoalan global, kemajuan teknologi informasi, penguasaan bahasa asing kurang mendapat tempat dihati pegiat organisasi ini. Padahal hal tersebut yang menjadi perhatian dunia belakangan ini.
Salah satu hal penting yang mulai memudar pada HMI hari ini juga adalah semakin berkurangnya komitmen keislaman dan keumatan kader-kader HMI. Terutama dalam merespon permasalahan keumatan. Keberpihakan HMI pada persoalan keumatan terutama umat Islam dirasa semakin tak nyata. HMI seperti kehilangan jatidiri keislamannya.
Suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri lagi saat ini adalah persoalan perkaderan. HMI tidak lagi dapat mengakar di kampus bahkan lebih ekstrim tidak diminati oleh sebagian mahasiswa. HMI dihadapkan pada kondisi serba ketidakjelasan terlebih bila berbicara persoalan kampus dimana seharusnya HMI berada. Kita (HMI) akan berhadapan dengan perubahan yang drastis dan radikal pada wajah kampus. Saat ini kampus dihiasi dengan wajah-wajah pragmatis dan hedonis. Dan sistem perkuliahanpun semakin tidak ramah dengan aktifitas yang dilakukan oleh HMI maupun organisasi kemahasiswaan lain.
HMI belum punya treatment yang jelas untuk dapat merubah bahkan lebih sederhananya menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. HMI terkesan kebingungan menempatkan diri secara tepat dalam perkembangan realitas kehidupan yang semakin kompleks. Kita masih berkutat pada pola-pola lama dan kering inovasi. Bahwa ada sebagian kader yang survive di kampus itu hanya suatu kebetulan belaka.
Kondisi seperti ini memang tidak hanya dirasakan oleh HMI sebagai organisasi kemahasiswaan, tapi seluruh organisasi ekstra dan intra yang ada di lingkungan kampus. Namun kurangnya minat mahasiswa untuk beraktifitas organisasi bukan menjadi apologi bagi HMI karena bagi HMI kampus merupakan centra paling vital. Hal tersebut mengingat HMI merupakan organisasi kader bagi mahasiswa-mahasiswa Islam yang ada di universitas maupun perguruan tinggi yang ada. Kader bagi HMI baik secara kualitas dan kuantitas merupakan harga mati yang tak dapat ditawar-tawar lagi.
Belum lagi kita selesai membahas persoalan minimnya tingkat rekrutmen perkaderan di kampus, kita dihadapkan kembali pada persoalan berkurangnya tradisi intelektual HMI. Ini merupakan suatu kenyataan yang sangat memprihatinkan. Padahal jika kita beromantisme sebentar dengan masa lalu, HMI pada dekade tahun 1970-an banyak melahirkan kader-kader yang sangat prestisius dalam bidang intelektual sebut saja Nurcholis Madjid, Ridwan Saidi, M. Dahlan Ranuwiharjo, Dawam Raharjo yang mampu melahirkan pemikirian-pemikiran mumpuni yang masih up to date hingga saat ini.
Peningkatan kapasitas intelektual yang semestinya didukung oleh tradisi RWD (reading, writing, and discusion) semakin jauh dari wajah HMI. Karena berkurangnya tradisi-tradisi tersebut mengakibatkan kebanyakan kader HMI kering wacana tidak leading dalam ide. Forum-forum diskusi / forum ilmiah jarang di hadiri oleh kader, tulisan-tulisan yang dimuat dimediapun sangat minim dari kader-kader HMI. Kini wajah HMI berganti dengan wajah mereka yang senang dengan hura-hura dan kesenangan sesaat semata.
Berkurangnya perhatian HMI pada peningkatan kapasitas intelektual disebabkan juga karena para praktisi HMI cenderung politic orientied. Kader-kader HMI lebih senang berbicara bagaimana menguasai struktur pemerintahan mahasiswa ketimbang berbicara bagaimana mendobrak kebekuan sistem perkuliahan di kampus. Para senior asyik mempresure juniornya untuk merebut kekeuasaan di berbagai lini bukan mendorong para juniornya untuk berkarya dan berprestasi.
Persoalan tersebut diatas merupakan sebagian kecil dari persoalan yang selalu dihadapi oleh HMI. Mengapa demikian, karena penulis menemukan bahwasanya persoalan yang terjadi dari masa-kemasa di HMI tak jauh dari persoalan diatas.
Kembali Pada Muslim-Intelektual-Profesional
Agar HMI tidak semakin tergerus dan terlindas oleh perkembangan zaman maka perlu ada terobosan baru yang dilakukan oleh HMI yang dlakukan secara simultan, berkesinambungan dan didukung oleh seluruh elemen yang ada di HMI baik itu tingkat PB, Badko, Cabang, Komisariat maupun lembaga pengembangan profesi yang ada di lingkungan HMI.
Sebenarnya kalau kita (HMI) mau jujur, benar-benar mendalami dan berkomitemen melakukannya semua treatmen untuk memperbaiki HMI telah tergambar jelas di lima kualitas insan cita HMI. Kualitas insan cita HMI adalah merupakan dunia cita yang terwujud oleh HMI di dalam pribadi seorang manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan.
Lebih ringkasnya termuat dalam slogan HMI, Muslim-Intelektual-Profesional. Selogan itu telah menjadi spirit of life nya kader-kader HMI. Namun selogan itu tentunya bukan hanya sebagai pembakar semangat bagi kader-kader HMI setelahnya tak berguna apa-apa. Kader HMI harus mampu meterjemahkan slogan tersebut dalam kehidupan nyatanya.
Muslim, sebagai organisasi mahasiswa yang bernafaskan islam seharusnya Islam menjadi jiwa dan memberi pedoman pola fikir dan pola lakunya para kadernya. Sebagai seorang muslim sejati ajaran Islam harus membentuk “unity personality” dalam diri setiap kader. Kualitas ini harus terintegrasikan dengan baik untuk dapat menjawab masalah bangsa dan perjuangan umat Islam Indonesia dewasa ini.
Intelektual, Intelektual dicerminkan dari berpendidikan tinggi, berpengetahuan luas, berfikir rasional, obyektif, dan kritis. Sejak puluhan tahun silam HMI terkenal dengan organisasi intelektual dimana kader-kader yang ada didalamnya mempunyai kapasitas intelektual yang sangat tinggi, kaya akan konsep, terdepan dalam ide dan gagasan Untuk itu kader-kader HMI sekarang harus tetap mempertahankannya. Penciptaan kondisi iklim intelektual dan akademis seperti menggiatkan kembali budaya diskusi, menulis dan membaca perlu dilakukan di lingkungan HMI.
Profesional, dizaman yang semakin maju ini menuntut semua serba profesional. Keprofesionalan yang dimaksud adalah kader HMI sanggup berdiri diatas ilmu pengetahuan sesuai dengan ilmu pilihannya, baik secara teoritis maupun teknis dan sanggup bekerja secara ilmiah yaitu secara bertahap, teratur, mengarah pada tujuan sesuai dengan prinsip-prinsip perkembangan yang ada.
Ditengah tuntutan dan tantangan yang dihadapi HMI, memang diharapkan dapat menempatkan diri secara tepat dan dapat berperan secara optimal sebagai organisasi kemahasiswaan, organisasi kader dan perjuangan. Ketiga konsep tersebut diatas hanya merupakan dasar atau landasan yang harus menjadi spirit of life HMI. Untuk metode aplikasi dan praktisnya tergantung dari tingkat kreatifitas para fungsionaris HMI baik tingkat PB, Badko, Cabang maupun Komisariat dan tentunya disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik masing-masing daerah baik cabang ataupun komisariat. Ibarat barang dagangan HMI harus mampu merubah wajahnya agar menjadi marketable dengan sistem marketing yang baik dan visioner serta dengan marketer-marketer yang handal.
Masih banyak yang perlu dilakukan oleh HMI terutama menyangkut persoalan eksistensinya. tulisan ini memang tak cukup banyak memberikan kontribusi bagi perbaikan HMI, tapi setidaknya diharapkan mampu memberikan ruang bagi HMI terutama kader-kadernya untuk sejenak berfikir dan kemudian bertindak.
Di hari jadi HMI ke-61 yang tepat jatuh pada 5 Februari 2008 ini harus jadi momentum bagi HMI agar tidak terlena dengan euforia kebesaran dan kesuksesan dimasa lalu. Harus ada langkah kongkrit merealisasikannya yang merupakan tanggung jawab segenap keluarga besar HMI. Selamat milad HMI ke-61, Go Ahead, Yakin Usaha Sampai! (Direktur Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi-Hmi) Cabang Pontianak).
HMI dan Konstruksi Abad XXI
Oleh : Arip Musthopa
________________________________________
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lahir pada 5 Februari 1947. Berarti, sekitar pertengahan abad XX dan delapan belas bulan pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Nuansa ideologis sangat kuat mewarnai kelahirannya. Terutama ideologi nasionalisme dan semangat keislaman. Dalam perjalanannya selama 61 tahun, HMI mampu mensinergikan antara keduanya. Menjadi tidak asing di HMI, bahwa wacana keindonesiaan dan keislaman, bukanlah dua wacana yang terpisah. Keduanya merupakan dua ruang pemikiran yang saling mengisi dan tidak layak untuk dipertentangkan. Diantara dua ruang pemikiran inilah, pemikiran-pemikiran genuine anak-anak HMI dan alumninya banyak dilahirkan.
Semangat kelahiran tersebut yang sering dijadikan pijakan anak-anak HMI dalam berargumentasi bahwa konsepsi negara kebangsaan bisa diterima dan agenda membentuk Negara Islam tidak lagi relevan untuk dibicarakan. Selanjutnya entitas Islam tidak diutamakan untuk dilihat sebagai simbol melainkan sebagai nilai-nilai yang diekstraksi kepada keuniversalannya dan lebih tepat mewujud sebagai ‘penanda’ dari pada ‘petanda’. Sehingga pertanyaan yang muncul, bukan apakah berstatus Islam atau tidak, melainkan seberapa relevan, mewarnai, dan bermanfaat nilai-nilai Islam bagi individu dan bangsa yang memeluknya beserta perkembangan zaman yang mengiringinya.
Kerangka dasar inilah yang menstimulasi kegerahan para intelektual muslim muda yang tergabung di HMI berinisiatif melakukan gerakan pembaruan pemikiran Islam. Naskah Nilai-nilai Dasar Perjuangan yang disusun oleh Nurcholish Madjid dkk yang disahkan di Kongres HMI IX Malang tahun 1969, bukan saja monumental bagi sejarah pemikiran Islam di HMI, namun juga sejarah pemikiran Islam di Indonesia.
Dengan karakternya yang obsesif dengan kemodernan, Nurcholish dkk berhasil menyiapkan landasan pemikiran yang memungkinkan muslim Indonesia kompatibel bagi isu-isu pembangunan, demokrasi, dan hak asasi manusia. Perbedaan paradigma dalam memandang dan menghasilkan komponen kemodernan kerapkali memunculkan ketegangan diantara dunia Barat dan Islam. Namun Nurcholish Madjid dkk sejauh ini cukup berhasil menyiapkan landasan pemikiran (ideologi) bagi pertemuan keduanya di ruang universalisme.
Selanjutnya, fase ideologis khas abad XX yang mewarnai semangat kelahiran HMI yang dikembangkan dan diperbarui oleh Nurcholish Madjid dkk tersebut diaksentuasikan dengan strategi perjuangan HMI yang cenderung bergerak dengan karakter state/political structural oriented sehingga alumninya berbondong-bondong berkumpul di dunia politik dan birokrasi. Memang banyak alumni HMI yang juga eksis di dunia swasta dan akademik, namun dalam arus utama mindset kader dan alumni ukuran kesuksesan dan ruang utama pengabdian adalah pada posisi politik.
Paling tidak itulah arus utama yang nampak hingga saat ini yang memang sinergis dengan kebutuhan zamannya dan telah berhasil mencatatkan prestasi yang mengesankan. Namun kini zaman telah beralih. Abad sudah berganti, bukan lagi abad XX melainkan abad XXI yang tentunya akan membawa karakteristik sendiri yang berbeda dari abad XX. Masih akan relevankah karakteristik HMI yang didominasi state/political structural oriented tersebut?
Karakteristik Abad XXI
Agak sulit kita menggambarkan karakteristik abad XXI saat ini karena terlalu banyak kemungkinan yang dapat terjadi dalam masa waktu sekitar 100 tahun ke depan. Namun paling tidak apa yang kita sebut sebagai karakteristik awal abad XXI sudah dapat kita identifikasi dari berbagai peristiwa politik dan ekonomi serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di akhir abad XX dan dasawarsa pertama awal abad XXI ini.
Bila abad XX adalah abad industri dan ideologi, maka abad XXI merupakan abad teknologi informasi dan ekonomi. Thomas L. Friedman sudah berani menyebut dunia, seperti halnya Plato menyebutnya sekitar 2400 tahun yang lalu: The World is Flat. Baginya, dunia yang mengalami globalisasi bukan lagi digerakkan oleh driving force berupa negara dan perusahaan multinasional seperti dalam globalisasi gelombang 1.0 dan 2.0, melainkan oleh individu. Globalisasi, berkat perkembangan teknologi informasi menjadi mungkin digerakkan oleh individu-individu. Globalisasi gelombang 3.0 ini memungkinkan bagi individu tanpa atas nama dan difasilitasi oleh negara dan perusahaan besar mampu berbuat hal-hal yang besar.
Teknologi informasi lebih dahsyat dari teknologi transportasi dalam menyederhanakan ‘jarak’ (dimensi ruang-waktu sekaligus). Penyederhanaan inilah yang merubah sendi-sendi kehidupan masyarakat tercerabut hingga ke akar-akarnya. Komunikasi dan silaturahmi menjadi lebih mudah, murah, dan cepat. Informasi mengalir lebih deras. Akibatnya struktur, hierarki, dan komando menjadi kurang bermakna. Seketika dunia menjadi mengecil dan seolah datar karena tidak lagi dibatasi oleh “dinding-dinding” geografis dan politis.
Karena komunikasi, silaturahmi, arus informasi menjadi lebih intens, maka kehidupan menjadi lebih dinamis dan berwana. Bila demikian, maka perubahan batas dan identitas hanyalah menunggu waktu. Apa yang kita anggap penting, dengan cepat akan menjadi kurang atau malah lebih penting. Informasi dan momentum menjadi sangat bernilai. Singkatnya, intensitas kehidupan meningkat.
Bila arus informasi meningkat, maka pergerakan modal dan juga ekonomi menjadi lebih labil karena mudah terpengaruh oleh informasi. Batas-batas negara menjadi kabur, maka yang berlaku adalah ‘capital has no flag’. Negara tidak dapat lagi sepenuhnya mengendalikan aliran finansial.
Bila demikian, individu dan organisasi seperti apa yang dibutuhkan di abad XXI? Ternyata bukan sekedar individu yang knowledge-intensive melainkan juga berbakat. Kombinasi individu yang knowledge-intensive dan berbakat yang mampu bertahan dan tampil dipermukaan. Selanjutnya, organisasi yang dituntut adalah organisasi yang responsif, cepat bereaksi, dan cost-effective. Organisasi gemuk tidak lagi dibutuhkan, yang ada adalah ‘flat organization’. Dengan demikian, organisasi harus melakukan downsizing (perampingan) dan merombak strukturnya menjadi lebih datar.
Flat organization memungkinkan organisasi ‘menari’ dengan lebih lincah dan dapat tampil ‘seksi’ dibanyak kesempatan. Oleh karena itu, pemberdayaan anggota dan pengurus organisasi di garis depan (frontline) perlu diperhatikan secara khusus.
Agenda ke Depan
Kondisi HMI saat ini baik secara mindset maupun mekanisme dan infrastruktur organisasi masih belum kompatibel dengan kebutuhan organisasi yang dituntut abad XXI. Kondisi tersebut direpresentasikan oleh belum terciptanya kemandirian (pendanaan) organisasi, manajemen organisasi yang belum berbasiskan teknologi informasi, wawasan dan mindset kader yang belum konstruktif sesuai tantangan dan tuntutan abad XXI, serta infrastruktur organisasi yang belum mendukung bagi terselenggaranya roda organisasi yang cost-effective, dan lain-lain.
Akibat dua periode kepengurusan PB HMI mengalami konflik dan alumninya yang tergabung dalam KAHMI masih terbagi dua, HMI banyak mengalami kerugian untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan di lingkungan eksternalnya yang berlangsung cepat. Kepemimpinan PB HMI periode 2006-2008 saat ini cukup efektif menyediakan stabilitas dan stimulus awal bagi penataan organisasi. Hanya saja belum ada visi dan ‘peta jalan’ (roadmap) yang jelas untuk melakukan tranformasi sumber daya manusia dan postur organisasi sehingga lebih kompatibel bagi tantangan dan tuntutan abad XXI.Tahun 2008 HMI akan berkongres untuk yang ke-26. Kongres dan kepemimpinan pasca Kongres tersebut harus mengambil momentum untuk meletakkan landasan dan melakukan transformasi sumber daya manusia dan postur organisasi bila HMI tidak mau rugi untuk yang kesekian kalinya. Dirgahayu HMI ke-61, Jayalah kembali. (Ketua Bidang Pembinaan Anggota PB HMI 2006-2008)
Senin, 10 Maret 2008
HMI dalam Timbangan Waktu :
Refleksi Milda HMI yang ke-61
Oleh : Arhanis
________________________________________
Tak terasa perjalanan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sejak didirikannya 61 tahun yang lalu, tepatnya 5 Februari 1947 telah berjalang mengitari waktu dan zaman bak pergantian siang dan malam. HMI sudah menjadi tren tersendiri dalam perjalan bangsa dan ummat, sebagimana yang dicita-citakan oleh Lafran Pane pendiri HMI, bahwa HMI didirikan untuk kepentingan bangsa Indonesia dan kemajuan ummat Islam sebuah cita-cita luhur nan mulia yang menginspirasi perjalanan kesejaran HMI selanjutnya. Tak pelak lagi bahwa HMI sudah menjadi bagian dari bangsa dan ummat yang senatiasa mengiringi langkah perjalanan kehidupan di negara Indonesia tercinta ini.
Betapa tidak, nyaris hampir seluruh orang besar dan penentu kebijakan di negeri ini adalah produk dari organisasi yang bernama HMI. Sebut saja misalnya, Cak Nur sebutan populer dari Nurcholis Madjid bapak bangsa yang mengedepankan idealisme intelektual sampai akhir hayatnya, dan sederetan tokoh-tokoh nasional yang berpengaruh dari yang sangat ideal sampai kepada tokoh yang sangat pragmatis-materealis sekalipun. Fenomena ini menarik untuk kita amati bersama bahwa HMI sampai hari ini menjadi organisasi yang memproduk kader-kader yang berkepribadian ganda, maksudnya adalah bahwa ternyata HMI telah melahirkan kader-kader pemimpin masa depan yang sangat plural. Ini mungkin terjadi karena nilai-nilai pluralitas di HMI sangat dijunjung tinggi. Tapi meskipun demikian nilai-nilai pluralitas dalam tubuh HMI telah menjadikan kader-kadernya terbelah pada dua mainstream yang saling berlawanan antar keduanya.
Fenomena ini semakin menarik jika kita coba dekati dengan perspektif atau diskursus tentang oposisi binerian sebuah diskursus yang dikembangkan oleh pemikir postsrukturalis dalam membongkar ke-hitam-an peradaban moderen di atas pondasi rasionalitas. HMI sebagai sebuah institusi yang dibangun di atas konpensi-konpensi kelembagaan yang di ikat oleh aturan yang administratif secara tidak langsung telah membentuk corak realitas tersendiri atau dalam hal ini sebuah budaya yang melingkupi keseluruhan dimensi HMI, baik kader maupun institusi HMI itu sendiri. Budaya inilah yang kemudian membentuk corak kepribadian, sikap dan tindakan orang-orang HMI (Baca: kader HMI).
Kondisi ini diperparah oleh bangunan struktur HMI yang telah membuat kader-kadernya kehilangan identitas kediriannya, kreatifitas dan tindakan mesti sesuai dengan corak yang dilestarikan oleh HMI. Tapi meskipun demikian pengaruh HMI di negara ini butuh untuk diapresiasi lebih jauh sebab, sebagai organisasi kemahasiswaan yang tertua di negeri ini sangat memungkinkan kita untuk mengambil beberapa ibrah dari perjalanan tersebut.
HMI Masa Depan Sebuah Gigantisme Budaya
Akankah HMI bertahan dengan gempuran budaya yang menohok hari ini? Sebuah pertanyaan yang meneguhkan afirmasi akan eksistensi organisasi ini untuk tetap survive ditengah-tengah tantangan zaman saat ini. Bagi penulis, HMI saat ini sudah mesti melakukan restrukturasi kelembagaan, sebab tanpa pembenahan yang memadai dalam tubuh HMI maka dapat mudah diprediksi bahwa umur HMI tak bakalan lama lagi selanjutnya HMI hanya sekedar tempat berhimpun yang tak menarik bagi kader-kadernya.
Salah satu aspek yang harus diperbaharui oleh HMI adalah pembenahan infrastruktur kelembagaan, yang mana karakter dasar HMI yang sangat mengagungkan pemenuhan aspek intelektual dan spiritual mesti ditinjau kembali, maksudnya adalah bahwa akhir-akhir ini kelesuan intelektual di tubuh HMI semaking menukik ditambah lagi dengan kondisi karakter dan bangunan sifat dan sikap mental kader yang kurang dielaborasi dengan baik. Bangunan intelektual menjadi Ruh HMI karena dalam aspek kesejarahnnya terbukti bahwa HMI adalah organisasi yang memproduk kader pemimpin bangsa dan ummat masa depan.
Menurut Harbert Marcus manusia masa depan yang bisa bertahan dalam mengarungi kehidupan adalah manusia yang mempunyai karakter diri yang punya kompetensi intelektal yang mumpuni serta manusia yang mempunyai tingkat kesadaran diri yang tinggi. Fenomena penguatan eksistensi kedirian yang disinyalir oleh Marcus di atas harus menjadi perhatian yang serius bagi HMI masa depan. HMI harus menciptkan budaya intelek yang mumpuni dan kondisi psikologis yang jelas bagi kader-kadernya, sebab dengan demikian HMI mampu memproduk kader-kader yang tidak shock culture, siap hidup pada keadaan apapun tanpa merasa diri terabaikan oleh dunia apa lagi merasa skeptis dalam menjalani hidup.
Dan yang kedua, yang mesti menjadi titik tolak perhatian HMI kedepan adalah arah gerakan perjuangan HMI yang betul-betul bisa menjadi katalisator terhadap kebudayaan yang tak berpihak kepada kaum yang lemah dan terpinggirkan. Fenomena reformasi yang semaking hari tak jelas arah lajunya mesti menjadi refleksi perjuangan HMI sekarang dan yang akan datang. Reformasi tak akan bisa dilepaskan dari sepakterjang HMI sebagai desainer gerakan 98 tersebut. Olehnya itu harus menjadi catatan penting buat HMI, ada apa dengan gerakan reformasi tersebut? Jangan-jangan HMI sudah lupa dengan perjuangan yang selama ini menjadi cirinya.
Independensi ke-HMI-an mesti tetap terhujam dalam segenap sanubari kader-kader HMI, sebab sikap tersebut menjadi barang langka di negeri ini. HMI harus tanpil ke depan menjadi pemrakarsa perubahan di tengah melemah dan lusunya gerakan mahasiswa saat ini. HMI secara politis mampu membangun paradigma gerakan baru tanpa harus terlibat dalam sistem kenegaraan, saya kira gerakan cultural–value masih sangat relevan untuk kondisi ke-bangsa-an dan ke-ummat-an kita hari ini sebagai landasan gerak HMI. Bagaimapun kader-kader HMI harus mampu menciptakan New Common Enemy sebagai langkah awal dalam melakukan pergerakan di masa yang akan datang. Dengan demikian, jikalau HMI mampu menciptakan “keterkondisian” isu yang akan diusungnya untuk kepentingan rakyat saya kira HMI akan kembali menemukan pamornya di tengah keringnya pengakuan “eksistensi” gerakan mahasiswa dikalangan grassroot.
Saatnyalah HMI harus keluar dari kandang dan bangun dari tidur panjang, untuk merealisasikan dan mewujudkan mimpi-mimpi yang selama ini menumpulkan dan mematikan kreatifitas kader-kadernya. Saatnyalah HMI harus kembali menggaungkan dan meneriakkkan hakekat amar ma’ruf nahi mungkar sebagai manifestasi dari ideologi Islam kepada seluruh stakeholder di bangsa ini. Dengan demikian diharapakn HMI mampu menjadi tonggak utama arus baru perubahan di negeri ini, semoga. Akhirnya kami mengucapkan dirgahayu HMI yang ke-61 semoga dengan usia yang matang ini, HMI lebih dewasa dalam menghadapi dan menjalani seluruh prosesi kelembagaannya dan mampu menjadi harapan Ummat dan Bangsa di masa yang akan datang. Wallahu a’lam.[]
HMI 62 Tahun
HMI, Politik dan Intelektualisme
H. Harry Azhar Azis
________________________________________
Tanggal 5 Februari 2009 nanti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mencapai usia 62 tahun, usia matang sebuah organisasi mahasiswa. Sejak berdiri 1947, HMI melewati lima zaman yang watak dan tantangannya berbeda dan terkristal dalam citra, budaya, network, dan sistem HMI seperti sekarang ini. Walaupun melewati berbagai zaman itu, normal atau kritis, cita-cita HMI ternyata tetap seperti ketika lahir, yaitu: (1) mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan NKRI, dan (2) menegakkan syiar Islam sebagai rahmatan lil alamin. Dengan cita-cita itu, Panglima Besar Jenderal Sudirman pernah menyatakan HMI, bukan saja berarti Himpunan Mahasiswa Islam, tetapi juga, Harapan Masyarakat Indonesia. Cita-cita itu yang dirumuskan dalam tujuan HMI, berlaku sampai sekarang : Terbinanya insan akademis, pencipta pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diredhoi Allah SWT.
Lima zaman pengembaraan HMI adalah era sejarah bangsa ini: 1. Era Kemerdekaan; 2. Era Demokrasi Parlementer; 3. Era Demokrasi Terpimpin; 4. Era Demokrasi Pancasila dan 5. Era Reformasi. Tiap era sejarah itu memiliki karakteristiknya masing-masing. Pada era Kemerdekaan (1945-1951), HMI menyatu dengan rakyat membela mati-matian kemerdekaan negara yang baru diproklamasikan, tekad “Merdeka atau Mati” dikumandangkan HMI. Sampai kini semboyan itu tidak lapuk dan sering bermanfaat secara politik. Di era inilah HMI didirikan mahasiwa bernama Lafran Pane dan teman-temannya. Pane sampai akhir hayat menjadikan perguruan tinggi sebagai orientasi utama hidupnya. Baginya, HMI haruslah menjadi “perguruan tinggi kedua” untuk anggotanya. Bila di perguruan tingginya anggota HMI memperoleh nilai tambah ilmu pengetahuan, di HMI anggotanya memperoleh nilai tambah kepemimpinan, menjadi pemimpin. Bila ilmu pengetahuan membuat manusia paham nilai-nilai kebenaran sehingga bisa membedakan yang benar dan yang salah. Pemimpin adalah orang yang bertanggungjawab menegakkan kebenaran (ma’ruf) dan mencegah kesalahan (mungkar). Karena itu, menurut Pane, pengurus HMI yang tidak becus megurus kaderisasi anggota menjadi pemimpin, ia tidak paham untuk apa HMI didirikan.
Pada era Demokrasi Parlementer (1951-1959), dengan kembalinya Republik Indonesia Serikat (RIS) ke bentuk Republik Indonesia (RI) tahun 1951, parta-partai politik mulai melirik HMI agar mendukung mereka. Jati diri mandiri sejak berdiri, HMI tegak independen tidak memihak suatu partai. Yang dibela HMI bukan partai tetapi bangsa dan negara. Atau, bila menggunakan bahasa politik kini: kepentingan rakyat. Terhadap kepentingan rakyat, keadilan dan kesejahteraan rakyat, HMI tidaklah independen. HMI memerangi penyebab penderitaan rakyat. HMI memerangi penindasan atas rakyat. HMI memihak cita-cita mulia menegakkan kebenaran. Watak inilah yang disebut sifat independen HMI, tetapi memihak perjuangan kebenaran, mewujudkan rakyat adil sejahtera.
Pada era Demokrasi Terpimpin (1959-1966), sejak Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959, Indonesia kembali ke UUD 1945. Indonesia pernah mengalami UUD RIS 1949 dan UUD Sementara 1950 yang berlaku sampai 1959. Setelah Dekrit, kekuatan politik Indonesia berubah. Bila di era Demokrasi Parlementer, empat partai politik besar adalah Masyumi, PNI, NU dan PKI. Pada Demokrasi Terpimpin, ketika Masyumi dan PSI dibubarkan 1961, tinggal tiga kekuatan partai yakni PNI, PKI dan NU. Partai-partai Islam lainnya tetap sebagai partai kecil. Yang menarik, pada era ini muncul kekuatan non-politik baru yaitu kelompok militer, terutama TNI-Angkatan Darat, yang menjadi “penyeimbang politik” terutama terhadap PKI. Pada masa inilah HMI masuki era paling kritis, ketika PKI dan pendukungnya, seperti CGMI, berusaha membubarkan HMI. Yel-yel seperti “bila tidak bisa bubarkan HMI, pakai kain sarung saja,” menjadi tema utama PKI kepada pendukungnya. Tidak dapat dibayangkan yang terjadi pada Indonesia bila HMI berhasil dibubarkan. Indonesia berubah total bila PKI menguasai negara. Perlawanan HMI kepada PKI dan kekuasaan yang monolit ternyata menarik simpati banyak pihak, termasuk Pimpinan TNI-AD. HMI, melalui alumni dan kader-kadernya seperti Dahlan Ranuwihardjo, Sulastomo, Ekki Syahruddin, Fahmi Idris, Abdul Gafur berhasil meyakinkan TNI-AD sehingga Kepala Staf AD, Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yani, saat itu sampai mengeluarkan pernyataan sangat historik bagi HMI, “siapa saja yang ingin membubarkan HMI, langkahi mayat saya terlebih dahulu.” Inilah awal hubungan yang makin dekat antara HMI dan TNI, yang berlanjut ketika Orde Baru mengambil alih kekuasaan.
Era Demokrasi Pancasila (1966-1998) ditandai dengan jatuhnya Presiden Soekarno dan munculnya Presiden Soeharto yang mengubah lagi peta politik nasional. Di era ini, setelah 1971 tinggal tiga partai politik resmi yang diakui, yaitu Golkar, PPP dan PDIP. Pengamat politik menyatakan sebenarnya tidak ada partai politik karena tidak mirip dengan partai politik era Demokrasi Parlementer atau seperti sekarang ini. Pada era inilah mulai banyak alumni HMI ikut kekuasaan seperti di DPR/D, Menteri maupun Kepala Daerah. Belum lagi di birokrasi dan perguruan tinggi. Juga terlihat yang merintis dunia intelektual, profesional dan usaha swasta, tidak sedikit berkelana di dunia pengangguran atau betah menjadi demonstran. Keanekaragaman wilayah kerja alumni HMI itu bisa saja hasil kaderisasi organisasi yang memang berwatak independen. Karena lamanya era ini, 32 tahun, pergerakan HMI sebenarnya masih bisa dipilah ke era tahun 70an, 80an dan 90an, dengan karakteristiknya masing-masing. Tahun 70an, misalnya, ditandai keikutsertaan beberapa kader HMI dalam peristiwa Malari 1974 dan Kampus Kuning 1978. Sebagai aktivis HMI, saya pribadi juga mengalami ringkihnya era ini dan ditahan kekuasaan Orde Baru selama tiga bulan tahun 1978 karena melawan sistem. Tahun 80an, diwarnai dengan kasus asas tunggal Pancasila yang membelah HMI menjadi dua, HMI dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi), yang hingga kini masih saling mengklaim sejarahnya. Tahun 90an, HMI dan gerakan mahasiswa lainnya ikut meruntuhkan rezim Orde Baru yang memang sudah semakin lapuk.
Era Reformasi (1998-sekarang) adalah era kebebasan baru yang juga dinikmati HMI. Setahun Presiden BJ Habibie memimpin, HMI memanfaatkan Kongres HMI tahun 1999 di Jambi kembali ke khittahnya, menetapkan kembali asas Islam sebagai dasar organisasi, setelah 13 tahun berasaskan Pancasila yang ditetapkan Kongres HMI tahun 1986 di Padang. Perdebatan asas tunggal Pancasila dimulai Kongres HMI tahun 1983 di Medan, dimana saya terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI dalam usia muda 26 tahun, setengah usia saya kini. Sebagian pemimpin HMI saat ini mungkin belum lahir. Beda ritme zaman dulu dan kini seperti bumi dan langit. Pada era ini, makin banyak kader HMI tahun 60an, 70an, dan bahkan 80an terlihat ikut memimpin negara ini. Nama-nama seperti M Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, Bachtiar Hamzah, MS Kaban, Hidayat Nur Wahid, Amien Rais, sudah tidak asing di telinga kita sebagai pejabat dan tokoh negara yang alumni HMI. Bahkan, yang menarik, beberapa pejabat dan tokoh masyarakat, yang dulu sedikit atau bahkan tidak dikenal di HMI, tidak jarang mengaku sebagai alumni, sesuatu yang sangat membanggakan terutama bagi mereka yang dulu pernah memimpin HMI.
Berbeda dengan era-era sebelumnya, tantangan era reformasi yang dihadapi HMI ternyata lebih kompleks. Walaupun demikian, paling tidak ada tiga tantangan pokok yang selalu dihadapi organisasi HMI, yaitu: (1) Independensi, (2) Kaderisasi, dan (3) Kontektualisasi Visi. Yang pertama, independensi HMI. Bagi HMI, independensi adalah karakter organisasi. Dalam konteks politik selalu diartikan sebagai menjaga “jarak sama” dengan kekuatan politik yang ada, dalam hampir semua momentum. Arti dinamis, begitu kekuatan politik berubah, HMI harus berubah bila ingin menjaga symmetrical position-nya, kalau tidak HMI dapat tidak independen lagi. Benarkah demikian? Impelementasi organisatorisnya, pengurus HMI tidak boleh rangkap jabatan atau yang lebih sederhana, pengurus HMI tidak boleh membuat pernyataan mendukung suatu partai politik atau pemerintah. Begitu ia mendukung atau mendemo suatu establishment politik biasanya ada saja kelompok lain dalam HMI menolaknya. Mendukung atau menolak sesuatu yang melibatkan HMI dianggap melawan prinsip independensi. Ini konflik yang berkaitan tafsir independensi HMI. Tidak sedikit kasus di PB HMI, Badko atau Cabang, pengurusnya melawan sifat independensi HMI yang menambah pekerjaan rumah. Hikmahnya, kekayaan konflik internal bertambah dan substansi demokrasi HMI semakin mature, bila tidak menimbulkan perpecahan atau kerusakan. Independensi model ini dikenal independensi organisatoris. HMI tidak boleh terkait kekuatan politik manapun.
Bagaimana menafsirkan independensi HMI dalam konteks nilai-nilai? Secara etis biasanya ditafsirkan bahwa HMI tunduk (tidak independen) pada nilai-nilai kebenaran mutlak yang bersumber Al Qur’an dan Hadist maupun hukum alam raya, termasuk hukum sosial yang baku. Pertanyaannya adalah apakah ketika premis berubah atau berbeda, sikap juga boleh berubah? Cak Nur (Dr Nurcholish Madjid) pernah menyatakan bahwa “Islam Yes, Partai Islam No!” di tahun 1970an, yang ditafsirkan sebagai mendukung partai-partai nasionalis (non-Islam), dimana ketika itu diperkirakan Golkar memperoleh benefitnya. Tetapi di dekade berikut, Cak Nur justru mendukung PPP, yang notabene Partai Islam, penyataannya “memompa Ban Kempis.” Nilai apa yang didukung Cak Nur? Mungkin keseimbangan politik, walaupun masa itu dianggap melawan arus mapan. Kesimbangan politik (check and balance) sebagai nilai etis yang harus diperjuangkan. Benarkah? Bagaimana HMI harus menempatkan diri dalam arus pergumulan nilai-nilai etis tentang pemahaman ajaran Islam atau kondisi masyarakat. Sebut saja, misalnya, antara yang disebut Islam Liberal dan Islam mainstraiming. Antara MUI dan Ahmadiah. Antara Fatwa haram Golput dan Fatwa haram rokok. Antara Lia Aminuddin dan Hizbut Thahrir. Antara goyang Rhoma Irama/Camelia Malik dan Goyang Inoel. Antara penduduk miskin yang bertambah dan tersangka koruptor yang dibebaskan sidang pengadilan. Antara kedukaan murid SD yang bunuh diri karena ketiadaan biaya dan kegembiraan negara membayar utang yang dikorupsi. Dan lain-lain. Dan lain-lain.
Apa batas antara meningkatkan perjuangan idealisme (high-terrain politics) dan menghindari politik praktis (low-terrain politics)? Biasanya, ujung idealisme adalah penegakkan moral, sedang politik praktis adalah akumulasi kekuasaaan. Di dunia utopia, dua hal ini sebenarnya bisa tidak berbeda. Ketika kekuasaan benevolent (bijak bestari), maka moralitas menjadi cahaya penerang (enlightenment). Ketika kekuasaan corrupt, moralitas menjadi trading-house, yang mendagangkan kebenaran. Mampukah HMI dengan sifat independensinya membedakan kedua hal ini secara honest, sehingga tidak menabrak jalur yang dibuat HMI sendiri. Atau, mungkinkah dalam independensi HMI terdapat derajat interdependensi? Dalam pola hubungan makin terbuka, modern dan kompleks, hakekat saling mempengaruhi atau saling ketergantungan tidak dapat dihindari. Dalam model lama, independensi yang pasif menjadi tidak mungkin. Beberapa interpretasi tentang “rangkap jabatan” dan “pemihakan” diperlukan untuk memahami derajat independensi HMI yang lebih bersifat aktif. Misalnya, apakah kebenaran itu memihak atau tidak memihak? Kejujuran apakah itu penderitaan atau kebebasan? Ketika HMI “tetap,” yang lain berubah, organisasi ini bisa saja menjadi kehilangan konteksnya. Apa yang sesungguhnya diperjuangkan HMI? Dilema etis ini dapat dijelaskan dalam kasus seperti dimana seorang ahli jantung harus memutuskan sorang pasien yang didiagnosa kena “stroke” harus segera dioperasi atau tidak. Secara prosedur, ahli jantung itu harus memperoleh izin dari ahli warisnya untuk melakukan tindakan operasi medis. Bila izin itu, karena sesuatu hal, tidak diperoleh, dan berdasarkan diagnosa pasien itu harus segera dioperasi agar jiwanya “terselamatkan,” maka apa keputusannya? Operasi tanpa izin berhadapan dengan hukum, operasi menunggu izin berhadapan dengan misi kemanusiaan, penyelamatan jiwa. Pilih mana? Kasus-kasus pengambilan keputusan di HMI, jelas dipengaruhi oleh sifat independensinya (misi etis yang aktif) dan interdependensinya (resiko hukum atau sosial-politik lainnya).
Miskinnya anggota di kampus terkenal dan beralihnya mahasiswa baru ke organisasi yang lebih spesifik seperti LSM atau gerakan mahasiswa instant, menjadi tantangan HMI. Pakar manajemen menyebut like the big elephant which cannot dance, inilah yang mungkin menjelaskan situasi HMI sekarang. HMI yang makin besar menjadi makin lamban mengambil keputusan. Ketika saya dan PB HMI, dulu, menghadapi kasus Asas Tunggal, HMI masuk ke wilayah yang amat interdependen atau mungkin dependen. Ketika itu, HMI menjadi organisasi mahasiswa terakhir bertahan sampai dua tahun sampai kepada keputusan, dan satu tahun tambahan untuk secara formal dalam Kongres HMI. Organisasi-organisasi lainnya, sebut saja NU, Muhammadiyah, bahkan KAHMI, telah menerima keinginan politik saat itu, dengan berbagai interpretasinya masing-masing. Begitu pula Kelompok Cipayung. Munculnya MPO, yang menolak asas Pancasila, adalah resiko yang dihadapi HMI setelah keputusan penerimaan asas Pancasila diambil. Resiko apa pula yang dihadapi HMI bila HMI menolak asas Pancasila ketika itu? Tentu saja cerita selanjutnya telah kita pahami bersama. Dilema etis inilah yang dihadapi HMI, yang bukan hanya menyangkut waktu dan kondisi, tetapi juga menyangkut harapan dan kecemasan, bukan saja pada angota HMI tetapi bahkan pada jaringan alumninya.
Meneruskan nilai-nilai yang diperjuangkan HMI kepada generasi penerus memerlukan perkaderan HMI yang kuat. Tetapi, apakah kaderisasi anggota untuk merebut kekuasaan politik? Jawabannya cukup jelas: tidak. HMI memang bukanlah organisasi politik. Penyebutan bahwa HMI sebagai organisasi quasi-politik juga tidak dapat dipertanggungjawabkan, kecuali bila pengertian ini mengandung paham zoon politicon, dimana politik diartikan secara luas tidak sekedar kekuasaan atau organisasi politik. Dalam konteks inipun, hasilnya tidak dapat dikatakan langsung sebagai merebut kekuasaan politik untuk kepentingan anggotanya seperti dikenal dalam perjuangan partai-partai politik agar anggota atau kadernya memperoleh posisi-posisi politik tertentu. Bahkan dalam perebutan posisi-posisi politik organisasi intra-kampus pun, apakah itu Dewan Mahasiswa (dulu) atau Senat Mahasiswa, kecuali KNPI atau Kelompok Cipayung, apakah HMI tidak dapat disebut bermain politik secara langsung? Bila ini benar, HMI bukan organisasi quasi-politik atau apalagi organisasi politik, dimana posisi HMI dalam konteks politik? Jawaban lebih tepat adalah politisasi HMI.
HMI dengan sejarahnya yang panjang dan jumlah anggota yang besar dan alumni yang tersebar di pelbagai bidang pekerjaan memang telah dianggap sebagai suatu “kekuatan” politik. Di arena politik praktis, kita melihat alumni HMI tersebar di semua partai politik, yang dengan misleading disebut telah terbentuk suatu HMI Connection. Dengan sistem politik yang ada sekarang, alumni HMI yang berpolitik tidak mungkin secara sempurna beridealisasi seperti harapan tujuan HMI, betapapun tujuan HMI telah menjadi semacam spirit perjuangan mereka. Bukan saja penafsiran aktual atas tujuan HMI di kalangan HMI, ataupun alumninya, bisa berbeda-beda, tetapi juga kepentingan partai masing-masing dimana alumni HMI berafiliasi bisa tidak sama. Dalam kaitan itu, alumni HMI yang memegang kekuasaan politik, pada akhirnya lebih bersifat individual, atau paling tidak berorientasi kepada partainya. Yang menarik, tidak sedikit alumni HMI berusaha menghilangkan afiliasinya dengan HMI ketika citra politik HMI tidak menguntungkan. Sebaliknya, tidak sedikit pula yang mengaku pernah menjadi anggota HMI ketika citra HMI atau lebih tepat ketika alumni HMI memegang kekuasaan. Dalam politisasi HMI tidak suatu kekuatan politik manapun menguasainya, tetapi bisa mempengaruhi pengambilan keputusannya. Keputusan HMI, apakah oleh institusi HMI, tidak pernah luput dari jangkauan pengaruh politik aktual. Dalam kacamata positif, politisasi HMI bisa saja merupakan refleksi dari kekuatan-kekuatan yang “bertarung” di HMI, yang sekaligus memberikan nuansa demokratisasi HMI. Ketika saya memimpin HMI, kepada wartawan dari koran yang berpengaruh saya tanya, mengapa anda begitu antusias meliput berita tentang HMI? Jawabnya cukup mengejutkan, menurut redaksi korannya, HMI adalah satu-satunya organisasi yang mampu mengambil keputusan independen dan demokratis dimana semua organisasi lain tidak mungkin melakukannya.
Kembali kepada pertanyaan di atas, apakah kaderisasi HMI membawa anggotanya menuju wilayah kekuasaan politik. Jawabnya bisa ya atau tidak. Pertama, tidak semua kader HMI memiliki orientasi politik praktis atau bersedia menjadi politisi atau birokrat. Sebagian mereka memilih jalur pengusaha, sebagian lagi jalur intelektual dan professional, da’i, makelar, wartawan, petani, supir, tukang ojek atau mungkin pengangguran, walau dengan terpaksa. Prosentase alumni HMI yang terjun ke dunia politik relatif kecil. Kedua, jarak waktu dari anggota atau pengurus HMI menjadi politisi, apalagi yang kemudian memegang jabatan politik, bisa panjang atau pendek, yang semua bergantung momentum, kemampuan, relasi patron-client dan lainnya. Ketiga, kaderisasi HMI tidaklah secara spesifik mengarahkan anggota HMI menjadi politisi, tetapi lebih kepada pembentukan kualitas kepemimpinan, sesuatu yang memang tidak ditemui secara kurikula di dunia perguruan tinggi formal. Kepemimpinan yang terbentuk diharapkan bukan hanya berkembang di arena politik, tetapi di semua bidang yang menjadi minat anggota. Denga alasan-alasan itu, kaderisasi HMI tidak difokuskan menjadikan anggotanya pemimpin politik. Bahwa kualitas kepemimpinan berpengaruhi terhadap pilihan politik, pada dasarnya memiliki kans yang sama untuk pilihan pada bidang pekerjaan lain.
Kunci kesinambungan keorganisasian HMI, menurut saya, bukan terletak pada keberhasilan alumninya, tetapi lebih tergantung pada pembaharuan sistem perkaderan serta kesinambungan kegiatan perkaderan HMI itu sendiri. Tanpa perhatian yang lebih serius dan fokus dalam menentukan pilihan atas keanekaragaman tren zaman yang mampu diadopsi dalam sistem perkaderan HMI, jelas akan merugikan organisasi ini menghadapi tantangan yang berbeda. Sementara network HMI banyak dipuji orang luar, perkaderan HMI mendapat sorotan negatif sebagian alumni dan anggota HMI. Cak Nur pernah minta HMI dibubarkan karena sistem perkaderan HMI tidak mampu menghasilkan alumni “insan kamil.” Kasus-kasus korupsi yang melibatkan beberapa alumni HMI menjadi tema utamanya, walau mungkin koruptor yang bukan alumni bisa saja lebih banyak lagi. Mungkinkah Cak Nur hanya berwacana atau sekedar memberikan shock terapy bahwa sesuatu harus diperbaiki dalam perkaderan HMI? Walau pertanyaan itu bersifat educatainment, hasil perkaderan HMI memang harus diuji oleh outputnya, yaitu kualitas alumni HMI di masyarakat. Di banyak universitas, kebanggaan atas universitas itu salah satunya adalah apabila para alumninya dapat menduduki jabatan-jabatan penentu dengan gaji yang tinggi. Di dunia politik atau juga birokrasi, memang banyak alumni HMI. Mungkin berikutnya adalah dunia intelektual, perguruan tinggi dan aktivitas sosial. Di dunia bisnis, mungkin dapat dihitung dengan jari. Sayang, HMI atau KAHMI tidak memiliki data yang akurat sehingga kita memperoleh informasi, misalnya, tentang value added dan produktifitas para alumni secara periodik.
Brand image HMI sebagai organisasi pencetak pemimpin memang memukau. Tetapi pemimpin apa? Pemimpin yang bagaimana? Mungkinkah kita terlalu berharap banyak terhadap sistem perkaderan HMI, sementara added value bagi mahasiswa yang menjadi anggota HMI sulit diukur melalui komptensi maupun karakternya? Berbeda dengan suatu perguruan tinggi yang relatif memilik data tentang kompetensi awal mahasiswa yang diterima di perguruan tinggi tersebut sehingga output akhirnya bisa diukur. Di HMI, mungkin karena karakter voluterisme angotanya, data seperti itu hampir tidak mungkin dimiliki. Kalau begitu, apa yang mungkin dilakukan? Inilah pertanyaan dasar bagi PB HMI sekarang, yang bisa saja dijawab melalui semacam needs simulation para anggota dan masyarakat terhadap HMI. Mirip seperti menjawab Panglima Besar Sudirman ketika menyatakan bahwa HMI adalah Harapan Masyarakat Indonesia. Apa itu? Proses selanjutnya adalah proses manajemen organisasi, yang lazim disebut strategic management atau kadang-kadang disebut juga sebagai visionary management.
Perkaderan HMI memang harus meluas (widening) dan mendalam (deepening). Dari bersifat administratif menjadi institutional leadership. Karena keahlian HMI mencetak pemimpin, fokus perkaderan HMI melahirkan pemimpin dari yang bertumpuk di suatu bidang (politik atau birokrasi) menjadi ke semua bidang kepemimpinan. Tentu ini tidak mungkin dilakukan oleh PB HMI satu periode saja. Apabila HMI kembali dengan serius menekuni kegiatan perkaderannya, yang terus-menerus dimodifikasi sesuai perkembangan kebutuhan, dan tantangan zamannya, tampaknya kecemasan atas merosotnya mutu perkaderan organisasi ini tidak perlu muncul lagi di masa datang. Bila tidak, bila HMI terlalu terpukau oleh “kebesaran” networking para alumninya, bila HMI makin terjerumus dengan kegiatan politik praktis, bila HMI terlalu responsif terhadap situasi yang bersifat current event, organisasi ini secara pasti semakin menjadi myopic, minat mahasiswa menjadi anggota makin minimal dan seterusnya. Karena peristiwa datang dan pergi, kemampuan menangkap essence perubahan adalah kemampuan yang telah terbukti diperani HMI selama 62 tahun sejarahnya. Karena itu, peran sesungguhnya HMI bukan lagi sekedar menjaga eksistensi diri, tetapi menemukan kembali substansi perannya dalam zaman yang terus berubah ini. Itulah sesungguhnya tugas utama setiap pengurus HMI, di semua tingkatannya, seusai sifat independensinya dalam situasi masyarakat dunia yang makin terinterdependensi.[]
(Orasi Ilmiah pada Pelantikan HMI Cabang Batam 31 Januari 2009, Asrama Haji Batam)
H. Harry Azhar Azis adalah Ketua Umum PB HMI 1983-1986, dan PhD Ekonomi Oklahoma State University, USA.
Reposisi HMI dalam Konteks Kekinian
Oleh: Eka Nada Shofa Alkhajar
________________________________________
Akbar Tanjung dan Nurcholish Madjid pernah mengatakan bahwa kiprah HMI dalam perjuangan sangat aktif, melebihi organisasi mahasiswa yang lain. Dimana HMI telah 50 tahun lebih menghadirkan dirinya di tengah-tengah masyarakat Indonesia sehingga keduanya pun mengatakan tidak berlebihan kalau dikatakan sejarah HMI adalah bagian logis dari sejarah bangsa Indonesia (dalam Ali, 1997; Madjid, 1990). HMI adalah organisasi besar, organisasi tertua di Indonesia, kaya pengalaman, pencetak para raksasa intelektual, banyak anggota dan alumni dan sebagainya.
Meminjam ungkapan pengamat politik Fachry Ali (1996), pandangan-pandangan semacam ini seharusnya senantiasa dikritisi jikalau tidak menghendakinya menjadi sekedar mitos. Mitos berarti suatu bentuk kepercayaan berlebihan tetapi kosong tanpa isi. Hal yang diungkapkan Fachry Ali hendaknya dimaknai bersama oleh seluruh kader yang mengaku HMI sebagai upaya agar HMI dapat merenungkan kembali arah dan orientasinya dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer dewasa ini.
Untuk itu, HMI harus terlebih dahulu mengetahui dimana posisinya saat ini. Bahwa tanpa menyadari posisi HMI sekarang lewat refleksi sosiologis historis maka HMI hanya akan mengalami kegagalan dalam melihat kenyataan yang ada. HMI harus mampu mendeskripsikan lagi perjalanan organisasinya untuk dapat meningkatkan keunggulan komparatif sumber daya manusia (SDM) yang dimilikinya sekaligus eksis di tengah-tengah gerakan-gerakan sosial masyarakat yang sangat akseleratif. HMI telah dihujani berbagai macam kritikan mengenai sejauhmana peran eksistensinya saat ini di tengah zaman yang terus bergulir.
Kritikan itu setidaknya penulis maknai bermuara pada tiga hal, pertama, macetnya proses reproduksi intelektual, kedua, menurunnya kritisisme (social responsibility) dan ketiga, terjadinya krisis nilai (Islam) dalam praktek empirik beroganisasi HMI. Oleh karena itu, dalam konteks ini HMI harus berupaya keras untuk merebut kembali tradisi intelektualisme sebagaimana telah diawali oleh Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, Djohan Effendy, dkk sebagai sesuatu yang fardhu dengan menggerakkan proses reproduksi intelektual berupa para kader dan pengurusnya harus berprestasi di kampus dengan studi tepat waktu dan menghidupkan kembali kajian-kajian ilmiah, kemudian dengan modal intelektual tersebut kader HMI harus mampu mengambil peran populis di tengah-tengah dinamika kehidupan kemahasiswaan yang selama ini seakan hilang kekritisannya, juga berperan dalam perubahan masyarakat dengan senantiasa memberikan manfaat serta berupaya memberikan kontribusi positif bagi memecahkan problematika keumatan yang ada.
Kader-kader HMI dituntut untuk memiliki pendidikan setinggi-tingginya, berwawasan luas, berpikir rasional, kritis dan objektif sekaligus bertanggung jawab atas terciptanya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT. Sehingga HMI tidak hanya sekedar "tidur" dan bersemedi di kantor-kantornya akan tetapi HMI bersama rakyat membangun peradaban yang kuat. Selanjutnya, para kader HMI harus senantiasa menginternalisasi dan mengoperasionalisasi spirit nilai ajaran Islam dalam segenap praktek berorganisasinya.
Bagaimana bisa HMI mengaku Islam jika dalam praktek kesehariannya ada yang meninggalkan shalat atau bahkan tidak shalat, padahal shalat sebagai salah satu kewajiban seorang muslim? Jika HMI tidak segera berubah maka HMI lambat laun akan semakin tersingkir dari dinamika perubahan yang kompleks dimana HMI akan menjadi organisasi yang hanya mampu bertahan di pinggiran (pherifery) di tengah kondisi masyarakat yang terus berkembang dan mengalami perubahan. Dalam arti ber-HMI secara kontekstual zaman sekarang. Kader-kader HMI saat ini dituntut untuk tidak hanya menggantungkan eksistensinya pada kebesaran seniornya, berlindung di balik jubah keagungan sejarah HMI yang tidak dibuatnya namun ia terus asyik memparasitkan diri menghisap keberkahan darinya. Jika tidak, maka benar inilah potret kader HMI yang kehilangan kritisismenya, tuli terhadap memory of future (cita-cita masa depan) dan mengambil sikap resist to change (menolak perubahan).
Dalam konteks ini, almarhum Nurcholish Madjid pernah memberikan peringatan keras menjelang Kongres ke-23 HMI di Balikpapan tahun 2002. Dengan mengatakan bahwa apabila HMI tidak dapat melakukan perubahan, lebih baik membubarkan diri saja karena beliau melihat bahwa relevansi HMI bagi masa kini dan apalagi masa depan sudah jauh berkurang, kalaupun bukannya tidak ada lagi. HMI tidak lagi menjadi elemen penggerak kemajuan melainkan kekuatan status quo dan bahkan sebaliknya menggerakkan pada suatu kemunduran. Peringatan ini selayaknya dijadikan shock therapy bagi setiap kader HMI, dengan harapan, HMI mampu melakukan perubahan terhadap dirinya.
Dari sini diharapkan muncul semangat juang kader untuk mengembalikan HMI pada perannya sebagai organisasi perjuangan dan fungsinya sebagai organisasi kader yang dijalankan semestinya. Mengingat kondisi HMI kekinian yang semakin menua dengan tantangan yang tentu semakin berat.
Jadi, walaupun berbeda setting waktu dan situasi ketika HMI lahir 5 Februari 1947 dengan saat ini, namun orientasi, peran dan fungsi semestinya tetap dipegang teguh. Untuk menjawab persoalan keumatan dan kebangsaan dengan cara-cara yang tentu relatif berbeda. Perjuangan HMI kini jelas bukanlah angkat senjata/ bambu runcing vis a vis dihadapkan dengan imperialisme penjajah, maupun gerakan komunis secara fisik (PKI).
Masa depan HMI
Melihat kondisi riil HMI saat ini, serta tantangan internal dan eksternal yang dihadapi sangat kompleks sekali, maka keberadaan HMI di masa depan sebagaimana diungkapkan sejarawan HMI, Prof. DR. H. Agussalim Sitompul (2008), ada tiga kemungkinan: Pertama, HMI akan tetap eksis dan bangkit kembali dari kemunduran dan keterpurukan yang melanda selama lebih kurang 25 tahun. Hal ini dapat dicapai apabila HMI mampu melakukan perubahan, dengan agenda-agenda perubahan mendasar yang selama ini pondasi-pondasi penyangga HMI.
Kedua, HMI status qou. Keberadaan HMI akan tetap seperti sekarang dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Hal ini akan terjadi manakala HMI enggan melakukan perubahan, dan tantangan yang dihadapinya tak kunjung terselesaikan. Bahkan kondisi saat ini akan lebih parah lagi untuk masa-masa mendatang, apabila HMI tetap merasa dirinya sebagai organisasi mahasiswa terbesar dan tertua di Indonesia sebagai kesombongan historis yang kini menghinggapinya. Lebih daripada itu HMI tidak mau mendengar dan memperhatikan kritik yang konstruktif baik dari luar maupun dari intern HMI yang banyak dialamatkan pada HMI. Dimana kritikan dan saran perbaikan itu oleh PB HMI, Badan Koordinasi, Cabang-cabang, Koordinator Komisariat dan Komisariat-komisariat HMI di seluruh Indonesia dianggap angin lalu saja.
Ketiga, HMI akan hilang dari peredaran untuk tidak dikatakan bubar. Hal ini terlihat dimana hingga kini belum ada tanda-tanda perubahan ke arah perbaikan yang semestinya sesuai dengan tuntutan kontemporer.
Tentunya sebuah harapan besar akan perubahan telah menanti. Dengan momentum Dies Natalis/ Milad HMI ke-62 tahun pada hari ini diharapkan HMI mampu segera berubah untuk kembali bangkit dan berperan meminjam ungkapannya Sulastomo (2008) sebagai kader umat dan kader bangsa guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT. Amien. Bahagia HMI. Yakin Usaha Sampai!. (Eka Nada Shofa Alkhajar. Ketua Umum HMI Cabang Surakarta/Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi UNS Solo/Penulis buku Pahlawan2 yang Digugat)
HMI Selamatkan Indonesia
(Refleksi 62 Tahun Himpunan Mahasiswa Islam)
Oleh : Junet Haryo Setiawan
________________________________________
Ungkapan yang mengatakan bahwa HMI adalah organisasi mahasiswa tertua di Indonesia, rupanya masih akan menjadi bahan pembicaraan dalam dekade-dekade kedepan. Pasalnya HMI masih berdiri kokoh dan saat ini menginjak usianya yang ke 62 tahun. Maka momentum Dies Natalis ini adalah saat tepat bagi HMI untuk melahirkan generasi ke dua sebagai penyempurna generasi pertamanya tanpa harus melupakan tujuan awal didirikannya.
Ketika sosok Lafran Pane mendirikan organisasi yang disebut Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), maka setidak-tidaknya ada dua cita-cita yang mendasarinya yaitu keinginan untuk mempertahankan kemerdekaan (NKRI) dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, dan adanya keinginan untuk menegakkan dan mengembangkan ajaran Agama Islam. Cita-cita tersebut secara sederhana teruntai lewat berbagai instrumen organisasi yang kemudian disusun dan di atur didalam Anggaran Dasar (AD), dan Anggaran Rumah tangga (ART) HMI serta pola perkaderan yang secara mutlak harus dipatuhi dan dilaksanakan dalam rangka menjalankan roda organisasi.
Pertama. Usaha dalam rangka mempertahankan kemerdekaan NKRI dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia ini bukan hanya sebagai salah satu kelengkapan untuk berdirinya sebuah organisasi. Lebih jauh hal ini dimaksudkan hanya demi terwujudnya keadilan sosial, ekonomi, politik bagi rakyat Indonesia yang notabene tertindas dan jatuh miskin sebagai konsekwensi logis atas penjajahan bangsa asing yang berakhir 2 tahun sebelum HMI berdiri tahun 1947, yaitu pada tahun 1945 dan kemudian mampu mensejajarkan diri dengan penuh kedaulatan dan kemandirian di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia. Karena itu bagi para pendiri HMI, alangkah pantasnya bila kemerdekaan Indonesia yang telah dibayar dengan sangat mahal tersebut harus di rebut, diperjuangkan dan di pertahankan sampai akhir hayat. Sebab terlepas dari berbagai alasan yang ada, penjajahan di atas dunia dengan segala bentuknya merupakan pengingkaran terhadap kemanusiaan. Dilain sisi, cita-cita tersebut sejalan dengan keinginan para founding father dalam rangka membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak lain untuk mengangkat harkat hidup kaum pribumi yang kemudian disebut sebagai kedaulatan rakyat. Jika dilihat dari kondisi objektif di atas, beserta berbagai hambatan dan tantangan yang ada pada saat itu, maka sebenarnya kelahiran HMI merupakan salah satu anugerah yang menandai adanya kemajuan pola pikir dan dinamika anak bangsa yang patut untuk kita apresiasi dan kita teruskan.
Sepintas apa yang di cita-citakan oleh para pendiri Himpunan Mahasiswa Islam tersebut terkesan utopis. Namun tak seorang pun akan meyakini bahwa Lafran Pane beserta 14 orang sahabat semata-mata hanya bermimpi saat mendirikan HMI. Satu hal yang perlu di ingat, bahwa perjuangan untuk mendirikan HMI yang penuh dengan tantangan serta hambatan tersebut telah terlaksana, dan HMI telah mampu berdiri kokoh hingga usianya yang ke enam puluh dua tahun. Lalu bagimana dengan cita-cita untuk mempertahankan kemerdekaan NKRI dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia tersebut, sudahkah tercapai?.
Kedua. Keinginan untuk menegakkan dan mengembangkan ajaran Agama Islam adalah prestasi dan cita-cita yang paling mulia. Pada saat syari'ah Islam tidak lagi di tegakkan, pada saat sekulerisme sudah menjangkit dan meracuni keyakinan generasi muda Islam, kebekuan pola fikir semakin menjadi dengan semakin maraknya praktek-praktek khurofat, bid'ah dan tahayul yang kesemuanya merupakan konsekwensi logis atas penjajahan Belanda. Tapi nyatanya masih ada yang mampu menegakkannya (baca : Islam) meskipun dalam ruang yang sangat sempit dan dengan kekuatan yang sangat minim. Dalam hal ini HMI lahir sebagai penyelamat umat atas kesesatan yang sudah menjangkit pola fikir generasi bangsa yang katanya berketuhanan serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Perjuangan tersebut tidak hanya dilakukan oleh generasi pada masa itu, tetapi sebetulnya perjuangan ini adalah perjuangan yang kekal dan mutlak harus dilaksanakan oleh kader-kadernya pada masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Setidaknya dengan adanya label Islam pada nama, tujuan dan azas HMI telah mengisyaratkan bahwa kemanapun organisasi ini bergerak haruslah disesuaikan dengan apa yang telah di gariskan oleh Islam.
New Colonization
Berakhirnya Agresi Militer Belanda II ditandai dengan adanya Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Ridderzaal Den Haag Belanda pada tahun 1949, dapat dikatakan bahwa penjajahan berupa perang fisik telah usai. Mulai saat itulah Indonesia telah memasuki babak baru dalam rangka membangun bangsanya dalam berbagai dimensi kehidupan. Sempurna sudah kemerdekaan yang telah di cita-citakan itu. Tapi perlu di catat bahwa berakhirnya penjajahan fisik tersebut adalah kebangkitan penjajahan dalam bentuk baru dengan desain yang baru pula. Kita tahu bahwa penjajahan dalam desain baru ini sudah lama menjadi wacana di kalangan akademisi dan para pakar. Tapi nyatanya wacana itu tidak mampu menggugah inisiatif dan nurani segenap rakyat untuk kembali bangun dari ketidaksadarannya akan ancaman tersebut, bahkan kita sangat menikmatinya. Saat ini Indonesia telah kembali dimiskinkan seperti halnya pada saat program pemiskinan rakyat Indonesia bergulir masa silam (baca : culture stelsel).
Jika kita runut sejak awal, maka kita hanya akan menemukan sedikit saja perbedaan dari kedua zaman tersebut. Kalau dulu rakyat dijajah dalam kondisi yang sangat memprihatinkan dengan cara yang tidak manusiawi oleh bangsa lain, sekarang kita di jajah dalam kondisi yang sangat tentram dan dilakukan dengan cara yang sangat halus dan santun oleh bangsa lain melalui tangan-tangan bangsa sendiri.
Reformasi 1998 sebagai momentum awal runtuhnya rezim otoritarian, yang telah di bela dan di perjuangkan dengan banyak memakan pengorbanan tersebut, ternyata tidak mampu memperbaiki tatanan. Sekarang setelah sepuluh tahun reformasi di gulirkan, apa yang terjadi di depan mata tidak sebanding dengan apa di citakan. Kebebasan yang dijanjikan tidak mampu di rasakan oleh rakyat. Kebebasan tersebut tidak lain hanyalah milik kaum borjuis Indonesia serta para penguasa yang memiliki potensi serakah dan bejat. Lebih jauh lagi, yang tadinya alim pun kini menjadi bejat dan serakah.
Kalau kita telaah lebih dalam, maka kita akan menyimpulkan bahwa fakta ini tak ubahnya seperti revolusi Prancis yang bergulir dengan tiga slogan : kebebasan, persaudaraan, dan persamaan untuk kaum borjuis dan negara Prancis pun secara resmi memasukkan demokrasi dalam undang-undang mereka dengan label Hak Asasi Manusia (HAM) pada tahun 1791. Disebutkan dalam pasal tiga : rakyat adalah sumber kekuasaan, setiap badan dan individu berhak mengatur hukum, dan hukum itu hanya diambil dari mereka. Semua itu adalah penegasan bahwa kekuasaan adalah milik rakyat yang tidak dapat dipenggal-penggal lagi serta tanpa kompromi dan tidak akan diubah-ubah. Apa yang termaktub dalam UUD 1945 hasil amandemen pada Pasal 1 Ayat (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar dan (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. kiranya fakta itu sudah cukup untuk menunjukkan kesamaan di antara keduanya.
Demikian pula, cita-cita mewujudkan kedaulatan rakyat dengan pemerintahan yang egaliter hanyalah kamuflase dalam rangka memainkan peran serta rakyat dalam rangka menggulingkan Orba . Faktanya empat tahun pasca reformasi, kemunafikan mulai terkuak dengan adanya amandemen UUD 1945. Kita dapat menyaksikan bagaimana alur kebijakan otoriter semakin terlegitimasi dengan perubahan klausul pada pasal 2 ayat (1) yang mengandung makna bahwa MPR sudah kehilangan peran dan fungsinya.
Maka saat itu pula hilanglah kedaulatan yang dicitakan tersebut. Disinilah label kebebasan tersebut memudahkan para penguasa untuk merubah tatanan dan aturan dengan seenaknya sendiri tanpa memandang sejarah, realitas dan masa depan yang lebih baik. Ironisnya tindakan semacam ini justru diartikan sebagai salah satu dinamika perpolitikan Indonesia oleh sebagian besar golongan.
Semakin tumbuh demokrasi di negeri ini. Maka terbuka sudah pintu kebebasan tersebut dengan tanpa tedeng aling-aling yang berarti. Kesalahan yang di legalkan yang dilakukan oleh penguasa serta kelompok-kelompok elit yang menyertainya kini telah menjalar pada rakyat sampai akar-akarnya.
Saat ini pola fikir rakyat tak ubahnya dengan pola fikir penguasa, sang alim dan si bejat tak ada bedanya, semuanya dapat diatasi dengan loby-loby yang katanya konstruktif dan undang-undang yangatanya lebih aspiratif. Hal ini adalah pertanda semakin luasnya kesempatan bagi para elit politik serta penguasa negeri ini untuk memanfatkan rakyat dengan damai tanpa harus ada perdebatan dan perlawanan. Pemanfaatan itu dapat kita saksikan melalui berbagai kebijakan yang sama sekali tidak menyentuh kepentingan rakyat sebagai salah satu unsur terpenting dalam rangka terbentuknya sebuah negara. Kenaikan harga BBM berkali-kali beberapa waktu lalu semakin menambah beban rakyat dalam rangka mencukupi kebutuhannya. Terlepas dari alasan apapun yang jelas kebijakan tersebut tidak menyentuh kepentingan rakyat.
Ketidaktahuan rakyat akan sebuah sistem seakan semakin di pelihara oleh Pemerintah. Partai Politik yang seharusnya apat memberikan pembelajaran demokratis kepada rakyat sampai dengan saat ini tidak mampu menunjukkan fungsi tersebut. Pertemuan-pertemuan Parpol dengan rakyat kecil hanya membahas strategi pemenangan Pemilu tanpa menjelaskan bagaimana sistem itu berjalan. Disinilah sering terjadi manipulasi kesadaran yang di lakukan oleh para elit politik. Pada akhirnya wakil rakyat yang katanya telah dipilih oleh rakyat merasa tidak mewakili siapapun sebab kontrak politik dianggap selesai setelah Pemilu usai, sementara rakyat juga tidak merasa memiliki wakil sebab keterbatasan pemahaman mengenai sebuah sistem. Hal ini semakin mempermudah para pemimpin untuk berbuat seenaknya sendiri tanpa memperhatikan norma-norma yang berlaku.
Degradasi Moral
Perlakuan para penguasa dan elit Partai Politik terhadap rakyat sebagaimana diuraikan diatas merupakan fakta bahwa kehancuran moral telah terjadi pada para pemimpin Republik ini. Hal ini semakin diperkuat dengan semakin maraknya tindakan serta perbuatan tak senonoh yang dilakukan oleh sebagian wakil rakyat kita yang ada di DPR-RI sebagaimana yang telah mewarnai pemberitaan media selama ini. Hal itu semakin membenarkan statement tersebut. Kita dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada rakyat jika pemimpinnya seperti itu. Maka kehancuran moral dan etika tersebut akan menjalar pada tokoh masyarakat hingga akar-akarnya (baca : rakyat).
Sempurna sudah kehancuran moral dan etika bangsa saat ini. Media sebagai sarana pemberitaan harusnya menyajikan setiap program acaranya sesuai dengan kepatutan. Bukan malah didasarkan pada kepentingan si empunya (baca : kapitalisme). Pijakan filosofi berfikir harus tersingkir dari kapitalisme, pragmatisme dan pasarbelaka, sehingga keberpihakan terhadap kebenaran dan kepatutan menjadi suatu pilihan. Kebenaran dan kepatutan saat ini tidak lagi di indahkan oleh media.
Tidak penting berita itu membawa maslahat atau tidak buat konstituwennya, padahal bukan mustahil media akan mampu menyulap paradigma konstituwennya. Kita dapat melihat program media (baca : televisi) saat ini. Pada saat shubuh program bertobat tanpa sadar telah menjual ayat-ayat Al-Quran, pagi hari melalui acara gosip adalah saat aib seseorang di ungkap atas nama konsekwensi logis public figur. Siang harinya kita tidak lagi tabu dengan fenomena pembunuhan anak terhadap orang tuannya, bayi dibuang ke tong sampah, tuduh menuduh tanpa bukti nyata sebagai isu politik (padahal fitnah). Semua ini adalah pemandangan sehari-hari kita. Sebagai penawarnya, menjelang sore media menyulap diri dengan nuansa akademik (baca : berita-berita sore) yang segera terhapus dengan berandai sinetron-sinetron cinta dan hidayah dan sebagai cloussingnya adalah sajian 17 Plus dan bimbingan orang tua.
Media massa sebagai sarana pembelajaran juga turut serta berperan daam rangka mempercepat distribusi kebobrokan produk moral para penguasa tersebut. Media tidak lagi mencerminkan fungsinya baik fungsi educations, information, dan entertainment. Artinya setiap acara yang disajikan oleh media massa saat ini telah kehilangan esensinya. Demikianlah mayoritas media kita saat ini.
Membungkus beritanya dengan kain sutra meski isinya merusak paradigma masyarakat. Akibatnya, generasi kita telah kehilangan kendali dan tauladan. Anak-anak usia sekolah mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi terinspirasi dari tayangan-tanyangan yang telah dikonsumsi setiap hari, Budaya ketimuran yang konon penuh dengan etika dan sopan santun itu kini mulai luntur.
Sebaliknya budaya-budaya hedonistis, materialistis dan individualis semakin merajalela di kalangan generasi muda kita. Sekali lagi, semua ini adalah bentuk baru dari penjajahan dan kebekuan pikir masyarakat seperti halnya yang telah terjadi pada saat awal mula muncul gagasan didirikannya Himpunan Mahasiswa Islam. Kini cita-cita untuk kembali menegakkan Ajaran Islam pun dituntut kembali. Sebab lambat laun akan digilas dengan pola hidup dan watak yang telah di sebarkan melalui media-media kita.
Tanpa bermaksud romantisme dan membela, agaknya kita rindu akan suasana media pada saat Presiden RI II, mengedepankan kemerdekaan, kebebasan, dan keadaban lebih penting daripada mengumbar aib bangsa (meski tak sempurna). Slogan kemerdekaan bertindak, kebebasan berpendapat, persamaan tanpa tuntunan keadaban hanya akan mengembalikan kita pada masyarakat vandalis dan pragmatis (baca : seperti jaman jahilliyah kafir quraisy).
Hukum sebagai salah satu azas ditegakkannya demokrasi sampai sejauh ini tidak mampu memberikan efek jera kepada pelaku pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum juga tidak memihak kepada rakyat. Dengan kata lain, hukum dapat dibeli dengan uang. Maka tidak heran jika kasus-kasus berat yang dilakukan oleh para aparatur pemerintah sulit untuk di adili. Segudang kasus HAM seperti pembunuhan Munir, penculikan aktivis mahasiswa pada tahun 1998 sampai dengan saat ini belum menunjukkan adanya pemecahan dengan hasil yang pasti.
Tidak hanya itu, berbagai kasus KKN , suap sebagaimana BLBI terkesan diulur-ulur. Hal ini tidak lepas dari kerapuhan hukum itu sendiri. Hukum yang dilakukan dengan perspektif demi hukum, demi keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang berlaku di Indonesia adalah wujud dari kebrutalan yang disamarkan. Bagaimana tidak, sebab diantaranya saling menegasikan. Kepastian hukum dan demi hukum ini dapat dilaksanakan hanya dengan menegasikan keadilan begitu juga sebaliknya, keadilan dapat ditegakkan jika demi hukum dan kepastian hukum di negasikan terlebih dahulu.
Miris memang. Namun yang paling ironis adalah ketidak mampuan para pemuda dan kalangan terdidik lainnya (baca : mahasiswa/HMI) dalam merespons ketidakadilan yang telah menimpa rakyat dan dalam rangka membaca kondisi. Mereka seakan gagap dan galau melihat perubahan yang terjadi. Karena itu, pemuda dan mahasiswa bukannya menjadi "penyambung lidah rakyat" yang notabene tertindas dan mengalami ketidak adilan, namun malah menjadi corong (untuk tidak mengatakan broker/komparador) dan memperhambakan diri kepada kepentingan-kepentingan penguasa dan kaum pemilik modal. Inikah jati diri kita sebagai generasi bangsa abad 21. Atau ini kegagalan generasi bangsa kita untuk mengenal jati dirinya.
Inilah berbagai persoalan yang saling berkelindan yang mengetengah di hadapan kita. Dimana muara kesemua itu mengarah pada bagaimana mengentaskan ketidakadilan di segala bidang. Inilah saatnya berbenah diri guna mencapai cita-cita yang sudah di rumuskan dan menyempurnakan apa yang telah di dapatkan.
Selamatkan Indonesia
Himpunan Mahasiswa Islam harus kembali melakukan gerakan. Dan gerakan tersebut harus didasarkan atas platform yang jelas pula. Platform gerakan mahasiswa (baca : HMI) dalam merespon kehidupan sosial, ekonomi, politik, yang selama ini cenderung melupakan tujuan tersebut adalah dengan melakukan perombakan sistem dan melakukan dua tataran/level pembebasan.
Cita-cita untuk tegaknya kedaulatan rakyat harus tetap di perjuangkan. Karena itu setiap yang menghalang-halangi tercapainya tujuan tersebut harus di lawan dengan tegas. Jika kita menilik sistem yang ada di negara ini, maka sebetulnya sudah tidak memihak kepada tercapainya cita-cita tersebut. Sebaliknya justru semakin menjauhkan dari makna kedaulatan rakyat. Bagaimana mungkin kedaulatan rakyat akan tegak jika jalan yang dipakai tidak sesuai dengan realitas yang sebenarnya.
Tanpa kita sadari bahwa HMI memiliki sistem sendiri yaitu demokrasi yang lebih mengedepankan kualitas daripada kuantitas sebagaimana demokrasi Indonesia. Penekanan kwantitas inilah yang kemudian akan menghalalkan segala cara dalam rangka memenuhinya. Sebagaimana yang terurai di atas, bahwa ketidak tahuan masyarakat kan sebuah sistem adalah persoalan yang paling dominan di satu sisi, dan ketidak pedulian partai politik akan pembelajaran demokratisasi juga menjadi masalah di sisi yang lain. Sistem keterwakilan sebagaimana yang telah dilakukan oleh HMI selama ini kiranya bagus untuk kita angkat ke kancah nasional (baca : pemerintahan) tanpa harus mengurangi partisipasi politik daripada anggota-anggotanya dalam rangka menentukan nasib organisasi.
Keberadaan alumni-alumni HMI di kursi dewan dan juga eksekutif yang tersebar di seluruh penjuru tanah air adalah modal awal untuk dapat memulainya dengan kembali menyatukan persepsi akan sebuah tujuan yang belum tercapai ini.
Adapun dua tataran/ level pembebasan itu adalah : level struktur sosial yang mengarah pada pembebasan dan upaya dekonstruksi total terhadap strukur kekuasaan yang masih bersifat (warisan) kolonialistik. Sebab medan struktural di Indonesia yang dalam proses stuktuasinya bekerja dalam bingkai yang menyimpang dari tujuan mula (kadaulatan rakyat) dan bekerja dalam bingkai feodalisme, imperalisme, dominasi, hegemoni dan watak eksploitatif. Dengan adanya kooptasi lembaga Negara terhadap lembaga Bangsa sebagaimana dijelaskan di atas mengenai makna pasal 2 : 1 UUD hasil amandemen tersebut, adalah fakta bahwa kita selama ini dalam bingkai yang "amburadul".
Terlepas dari berbagai wacana mengenai keberadaan HMI yang dekat dengan kekuasaan dan politik sebagaimana yang selama ini berkembang di internal atau pun eksternal organisasi, dan terlepas dari benar salahnya anggapan tersebut, maka sebetulnya hal ini adalah kesempatan yang harus dimanfaatkan untuk mewujudkan cita-cita HMI yang sangat mulia tersebut. Sehingga baik secara bottom mp maupun step down mesin HMI sama-sama bergerak. Untuk memulainya HMI harus sesering mungkin menengok masa lalunya mulai dari sejarah keberadaannya. Termasuk prestasi-prestasi yang selama ini di capai baik atau pun buruk. Dengan inilah, maka lambat laun organisasi akan kembali kepada fitrah dan khittahnya sehingga mampu menjadi penyaring bukan malah menjadi distributor paradigma yang salah kaprah.
Kedua, tataran/level struktur kognitif, yakni pembebasan terhadap nalar rakyat yag selama ini terhegemoni, dimanipulasi dan dikendalikan oleh kepentingan pasar dan kekuasaan serta budaya-budaya yang tidak berhadapan langsung dengan realitas Indonesia. Sebab, -meminjam Faocault- yang namanya wacana (baca : pengetahuan) ternyata bersetubuh dengan kekuasaan, serta mensintesiskan pola strategi wacana dalam mempertahankan kekuasaan. Dari sinilah kemudian -meminjam Gramsci- awal terjadinya proses manipulasi dan hegemoni. Proses hegemoni terjadi apabila cara hidup, cara berfikir, dan pandangan pemikiran masyarakat bawah terutama kaum proletar telah meniru dan menerima cara berfikir dan gaya hidup kelompok elit yang mendominasi dan mengeksploitasi secara sukarela. Sehingga akibatnya akan sangat mempengaruhi kehidupan sosial dan pribadi mereka yang di hegemoni, bahkan berpengaruh pada cita rasa, moralitas, prinsip keagmaan dan intelektual mereka sebagaimana yang terjadi hari ini. Karena itu, tidak akan mungkin melakukan perlawanan dan gerakan sejati bila ruang-ruang kesadaran mahasiswa (baca : HMI) dan para pemuda sendiri dikonstruksi dan dihegemoni oleh musuh-musuh (baca : Elit, Neolib, Hedonis, kapitalis, pragmatis) yang hendak kita hancurkan. (Penulis adalah Kader HMI Cabang Ponorogo)
Menyegarkan Kembali HMI
Oleh Arip Musthopa
________________________________________
GENAP 62 tahun sudah usia HMI. Rentang usia yang cukup matang bagi sebuah organisasi. Ketika didirikan 5 Februari 1947 lalu, HMI berdiri di bawah semangat keislaman dan keindonesiaan secara bersamaan dan sinergis, bukan dikhotomik. Dua semangat itu dikawinkan, diharmonisasi dan diracik. Gagasan tersebut, menjadi penting di tengah masih banyaknya kalangan muslim yang menghendaki terbentuknya negara Islam, tidak hanya pada masa awal berdirinya HMI, tetapi juga hingga saat ini. Gagasan keislaman-keindonesiaan yang diusung HMI menjadi sumbangsih gagasan yang sangat apik kepada bangsa, karena mampu mengimbangi ambisi golongan yang menghendaki terbangunnya negara dengan nalar dan sistem teokratik oleh nasionalisme berbalut Islam. Dan, Dahlan Ranuwihardjo, pantas menjadi salah satu ikon yang turut mempertebal karakter kebangsaan di dalam tubuh HMI ketika usia organisasi ini masih belia.
Pembaruan pemikiran Islam Indonesia berhasil lahir dari tubuh HMI pada era akhir 1960-an melalui pemikiran Nurcholish Madjid dengan jargon Islam Yes, Parti Islam No dan sekularisasi agama (Islam) yang terus berkembang menjadi narasi besar gelombang pembaruan pemikiran Islam hingga tahun 1990-an. Pada masa itu juga muncul Ahmad Wahib melalui limited group-nya yang oleh Greg Barton disejajarkan dengan Cak Nur dan Gus Dur sebagai tokoh pembaru Islam Indonesia. Cakrawala pemikiran keislaman-keindonesiaan menjadikan HMI diposisikan sebagai kelompok Islam moderat. Pada masa awal peletakan develomentalisme Orde Baru, gagasan tersebut dianggap cocok menjadi pemikiran poros tengah untuk mengimbangi kekuatan Islam teokratik yang menghendaki negara Islam dan mainstream kelompok radikal kiri yang menginginkan negara totaliter.
Saat itulah, sejarah kemudian mencatat kader-kader HMI berbondong-bondong masuk ke dalam birokrasi dan menjadi mesin penyuplai kader dari kelompok Islam selama pemerintahan Orde Baru. Kenyataan ini, kelak terus berjalan hingga membentuk watak politik kekuasaan dan menjadi bumerang kemandegan pemikiran di dalam tubuh HMI sendiri.
Ketika era reformasi bergulir dan Orde Baru terkilir, payung yang meneduhi kiprah anak-anak HMI pun bergerak sumir. Tetapi kelihaian mengopeni birokrasi dan politik, ditopang stabilitas regenerasi, pemeliharaan jaringan, kemampuan adaptasi, dan diaspora kader-kader HMI menjadikannya tetap bertahan. Bahkan tampak semakin dominan mengisi birokrasi dan elit politik nasional dewasa ini. Namun kualitas, efektivitas dan keberlangsungan jalan tersebut akan menemukan tantangan dan mendapatkan ujian. Paling tidak ini dilandasi oleh beberapa alasan.
Pertama, negara bukanlah pusat perubahan dan sumber daya politik satu-satunya. Kini telah hadir trias politica gelombang kedua, yakni state, private, dan civil society yang masing-masing memiliki pengaruh atau akses terhadap perubahan politik. Dengan demikian, hanya menguasai negara bukan berarti mengendalikan kekuasaan atas negara, apalagi mengendalikan perubahan sosial.
Kedua, dunia telah memasuki abad ke-21 yang menuntut perlakuan berbeda dari abad ke-20. HMI lahir dalam mileu budaya, pemikiran, dan realitas sosial abad ke-20 sehingga niscaya dibutuhkan evaluasi dan proyeksi terhadap rumusan teks dan tradisinya. Apalagi krisis energi, krisis ekonomi, loncatan pengetahuan dan teknologi informasi serta perubahan iklim global akan menentukan formasi masa depan. Pemikiran dan kebiasaan baru HMI yang memiliki imajinasi dan cakrawala tentang formasi kehidupan masa depan mutlak dibutuhkan.
Ketiga, kesanggupan bersaing HMI di tengah kemunculan organisasi intelektual muslim baru yang justru diprakarsai oleh eks aktivis HMI tahun 1970-an dan 1980-an yang aktif di Lembaga Dakwah Kampus. Mereka hadir dengan karakter dan afiliasi gerakan yang berbeda. Kelompok-kelompok ini mulai menguasai sejumlah kampus excellent. Inilah tantangan keberlangsungan HMI ke depan, karena basis kadernya di kampus-kampus.
Keempat, sejak erat berpelukan dengan kekuasaan, tradisi intelektual HMI mengalami proses pemiskinan menuju pemikiran satu arah, political oriented. Komunitas epistemik HMI yang melahirkan banyak intelektual seperti Cak Nur, Ahmad Wahib, Mukti Ali, Dawam Raharjdo, dan lainya digerus oleh komunitas politik. Jarang sekali ditemukan kelompok-kelompok diskusi. Kondisi ini tentu menyedihkan ketika dihadapkan bersamaan dengan lemahnya terobosan pemikiran Islam yang kompatibel dan kontributif bagi nation-state Indonesia yang modern.
Dengan demikian, HMI ditantang untuk survive dan kontributif agar umat Islam dan bangsa Indonesia menjadi lebih baik. Jalan yang dipilih HMI (The HMI Way) selama 62 tahun harus ditafsir ulang dan disegarkan kembali. Tentu empat hal di atas harus diperhatikan dan kiranya menjadi fokus tantangan dan ujian HMI pada usia ke-62 ini. Jalan yang sudah dipilih memang berhasil melahirkan generasi yang membanggakan, namun jika residunya tidak mampu dieliminir di tengah arah zaman yang berubah, akan berbalik menjadi bumerang yang melumpuhkan.
Kini anggota HMI berjumlah lebih dari 100.000 orang yang tersebar di 186 cabang di seluruh Indonesia dengan berbagai kontribusi jutaan alumninya. Melihat potensi besar itu, HMI masih strategis dan merupakan aset vital untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Akhirnya secara objektif, siapapun akan berharap jika The HMI Way atau jalan yang dipilih HMI akan dapat menjawab tantangan zaman kekinian dan masa depan. Semoga. (Arip Musthopa, Ketua Umum PB HMI 2008-2010)
Kader Yang Gelisah?
(Refleksi 62 Tahun HMI)
Oleh : Hasnanda Putra
________________________________________
HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), pada tanggal 5 Februari 2009 ini genap berusia 62 tahun. Usia yang melampaui separuh abad itu sangat wajar kalau banyak kadernya mengambil peran strategis hampir di setiap lini dalam percaturan bangsa ini. Namun di usia yang “manula” HMI juga tak bisa menghindari kritik, bahkan hujat dari sebagian orang. Agaknya, di sinilah kematangan kalau tak boleh dikatakan kepiawaian kader HMI yang mau mendengar sehingga terus dinamis di tengah perubahan.
Tanpa hendak membela, rasanya itu yang tidak dimiliki organisasi kader lain. Sehingga hujan kritik itu menjadi hikmah bagi organisasi mahasiswa terbesar ini terus tumbuh dan berkiprah. Dalam milad ke-62 ini, agaknya ini pula yang perlu dimakfumkan oleh para kader HMI dalam yang terserak di mana-mana untuk tetap komit pada “ibu” yang melahirkan mereka sehingga sudah besar-besar. Sebagai organisasi kader, HMI harus dinamis dan inovatif. Artinya perbedaan bahkan benturan pandang yang terjadi, konon lagi di tengah riuhnya helat politik 2009 inimaka semua itu adalah keniscayaan dan mesti dipahami sebagai dinamika perubahan yang harus dikawal.
Perlu keabsahan pemikiran yang plural, cerdas dan strategis dengan mengakomodir semua keragaman pikiran menjadi suatu cita-cita dan misi bersama. Pengalaman pahit masa lalu cukup menjadi iktibar. Bagaimana konflik internal, yang membuat HMI terpecah dua, yaitu HMI DIPO yang mendapat fasilitas negara, dan HMI MPO yang mempertahan idea sebagai organisasi independen. Namun selanjutnya kedua HMI ini nyaris berjalan sendiri-sendiri, hingga sampai pada peristiwa pendudukan gedung DPR/MPR tanggal 18-23 Mei 1998, HMI MPO sebagai satu-satunya ormas yang menduduki gedung tersebut di hari pertama bersama FKSMJ dan FORKOT yang kemudian diikuti oleh ratusan ribu mahasiswa dari berbagai universitas dan kota hingga Soeharto lengser pada 21 mei 1998. Dan angin reformasi mengantarkan HMI melalui Kongres Jambi 1999, kembali ke khittah mengusung asas Islam.
HMI Aceh
Banyak pihak yang menilai HMI di Aceh tidak membumi alias pasif. Bahkan selama konflik Aceh, secara kelembagaan nyaris tidak melakukan sesuatu, kalau tak ingin dikatakan tidak peduli. Meskipun penilaian ini sesungguhnya, sangat berbeda dengan kenyataan yang ada. Sebab tak bisa dinafikan, bahwa perjalanan kebangkitan pergerakan perlawanan damai mahasiswa dan pemuda Aceh sejak tahun 1998 dimulai dari “markas-markas” HMI. Tak dapat dipungkiri kemunculan berbagai organisasi massa semisal Koalisi Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh (KARMA) dan seterusnya dalam perjalanan pasca Kongres Mahasiswa Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS) ikut membidani lahirnya Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) tidak terlepas dari “tangan-tangan” anak HMI Aceh.
Pada Kongres Ke-22 HMI justru apa yang kemudian diputuskan dalam KOMPAS-I telah terlebih dahulu didiskusikan dan seterusnya menjadi rekomendasi dari usulan Konsorsium Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) se-Daerah Istimewa Aceh. Berbeda dengan beberapa organisasi mahasiswa Islam lainnya, HMI di Aceh justru telah mampu membumikan dirinya sehingga familiar dan menjadi bagian integral dalam setiap perjalanan sejarah Aceh. HMI Aceh pulalah yang diyakini banyak pihak ikut andil menjadikan Islam Aceh lebih moderat sehingga isu-isu fundamentalis yang cenderung tidak memberi ruang diskusi dan pemikiran nyaris tidak memiliki tempat di Aceh. Islam Aceh-lah yang mampu menjadi rahmatan lilalamin dan menjadi teladan ber-Islam bagi dunia luar. Pasca MoU damai Helsinky, banyak hal yang seharusnya dapat menjadi bagian dari kiprahnya.
Lahirnya Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang dinilai masih jauh dari semangat dan kesepakatan damai harus bisa menjadi bagian HMI untuk mengawal dan mengusulkan perubahan. Karena harus disadari saat ini kita telah sibuk dengan kucuran dana “peng griek” sehingga lupa bahwa kewenangan kita (Aceh) hampir tidak beda dengan daerah otonomi khusus. Ribuan syuhada yang terkubur maupun yang tak bernisan selama 30 tahun seakan hanya terobati dengan terpilihnya pasangan independen, dana besar dan partai lokal. Sentimen kita pun mulai dibatasi dengan embel-embel simbol partai. Namun, sebagai organisasi intelektual HMI harus mampu menjembatani persoalan penyelesaian perdamaian abadi Aceh antara keinginan frontal dengan kepentingan permainan pusat. Di sisi lain, HMI sudah harus mampu menjadi “pemantau” dari kebijakan
Pemerintah Aceh
Bila ada organisasi lain cenderung “tidak berakhlak” meminjam istilah Wagub Aceh untuk sekumpulan kecil elemen mahasiswa berbasis Darussalam, HMI dapat menjadi oposan yang cerdas dan tentu saja harus bersifat mulia. Karena perjuangan dan pergerakan kita harus bisa dibedakan antara supir angkot, pedagang kaki lima dan “abang RBT Ojek” dalam menyampaikan aspirasi dengan kita yang telah digembleng identitas ke-HMI-an setiap jenjang pengkaderan. Dalam ranah politik Aceh, kader HMI harus mampu memberi kontribusi pendidikan politik rakyat yang sehat dan bermoral. Inilah salah satu kultur politik nilai yang diusung HMI seperti awal kelahirannya 5 Februari 1947 silam.
Perjalanan Aceh masih sangat panjang. Hanya lewat pendidikan, termasuk pendidikan politik yang sehat, demokrasi Aceh bisa diwujudkan. Rakyat memiliki kedaulatan memilih secara rasional sehingga melahirkan pemimpin yang terbaik.
Banyak referensi yang harus digunakan sambil membangun kesadaran, wawasan, strategi dan dan keterampilan dalam mengelola agenda politik baik di tingkat nasional maupun lokal. Karenanya di rentang usia HMI yang sudah sangat dewasa saat ini, dengan 11 Cabang di seluruh kota dan raturan ribu kadernya, merupakan potensi yang harus dibingkai bagi membangun dan membawa Aceh menuju masa depan lebih baik. Seperti teks tujuan HMI yaitu “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah swt”. Selamat Milad ke-62. Yakin Usaha Sampai. (Penulis adalah mantan Ketua Umum HMI Cabang Kota Jantho)
HMI dalam Pergulatan Sejarah :
Refleksi Milda HMI ke-62
Oleh M. Mu'min Fahimuddin
________________________________________
Hari ini, tepatnya tanggal 5 Februari 2009 HMI memperingati usianya yang ke 62 tahun. Ini adalah buah tangan dari Lafran Pane dan kawan-kawan sebagai The Founding Fathers ketika tahun 1947 memproklamirkan berdirinya Himpunan mahasiswa Islam (HMI). Saya sebenarnya secara pribadi lebih mengacu pada aturan normatif HMI yakni milad HMI seharusnya berdasarkan berdirinya sesuai penanggalan Hijriah yakni pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H. Namun, entah mengapa tradisi euforia dan pesta pora perayaan milad itu oleh kader HMI lebih mengacu pada tahun Masehi ketimbang tahun Hijriah. Saya kadang berfikir nyeleneh, mungkin saja karena 5 Februari lebih berdekatan dengan tanggal 14 Februari yakni perayaan Valentine Days ketimbang 14 Rabiul Awal berdekatan dengan 12 Rabiul Awal yakni hari kelahiran Baginda Rasulullah Muhammad (Maulid). Tulisan ini pun juga memanfaatkan moment euforia itu.
Usia 62 tahun, yach usia yang sudah tak muda lagi. Ibarat manusia, pada usia itu sudah beranak cucu, rambut sudah memutih dan kulit keriput, telinga mulai tuli dan mata telah rabun, gerak fisik tak tangkas lagi dan pikiran mulai pikun, badan membungkuk, tulang melapuk dan daya tahan memburuk akibatnya suka batuk-batuk dan penyakit mudah masuk. Yach., orang bilang pada usia itu manusia sudah bau tanah dan tidak lama lagi masuk liang lahat dan bergelar almarhum. Namun, dibalik usia yang tua dan badan yang renta itu ada sederet prestasi yang telah diraih dan sejarah yang pernah terukir.
Memang HMI tidak bisa disamakan dengan badan organis manusia dimana pada pada fase tertentu mengalami penurunan kualitas yang berpengaruh pada penurunan produktivitas. HMI adalah sebuah entitas yang memiliki struktur organis tertentu yang telah didesain agar mampu berakselerasi dan beradaptasi terhadap perubahan ruang dan waktu. Namun anehnya, fenomena tua dan renta yang identik dengan seorang manusia juga terjadi di HMI. HMI mengalami penurunan produktivitas dan hampir-hampir sudah tak mampu lagi berkarya. Seiring dengan pertambahan usia, HMI harusnya bertambah dewasa, kuat dan sehat. Namun anehnya justru HMI seolah mengidap suatu penyakit yang semakin parah dan hari ini penyakit itu dalam stadium yang akut.
Tak bisa dipungkiri, HMI memang pernah punya sejarah. HMI pernah mewarnai perjalanan bangsa ini dengan memberikan konstribusi positif. Melalui rahimnya, HMI berhasil melahirkan dan membesarkan kader-kader bangsa. Tetapi sejarah akan terus berjalan dan berjalan. Setiap generasi pasti punya sejarah sendiri dan kita tidak mungkin hidup dalam (bayang-bayang) sejarah masa lalu.
Secara normatif HMI memiliki konsepsi tentang pribadi kader yang juga sekaligus menjelaskan konsepsi kemanusiaan yang kaffah. Hal itu secara gamblang tersurat dalam tujuan HMI, terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Konsepsi kemanusiaan ini yang dikenal dengan terminologi Insan Cita. Nilai-nilai seorang Insan Cita harus termanifestasi dalam satu nilai dasar perjuangan yang meliputi dimensi kehidupan kader yakni dimensi keilmuan, dimensi keislaman, dimensi keumatan/kebangsaan, dimensi kemahasiswaan, dan dimensi keorganisasian.
Seorang kader HMI mestinya merefleksikan nilai-nilai insan cita itu. Dari situ pula menjelaskan peran dan tanggung jawab seorang kader. Tanggung jawab seorang kader tidak hanya meng-up grade diri dan mengembangkan potensi keilmuannya secara kognitif. Namun lebih jauh dari itu, ada tanggung jawab secara sosial/keumatan yang harus diemban dan dilaksanakan. Tanggung jawab tersebut kemudian menjadi suatu gerak kemanusiaan yang berpijak pada sirkuit idiologi yang jelas. Nah dari sini pada akhinya HMI dan kader-kadernya akan menjadi Rahmatan Lil Alamin bukan Laknatan Lil Alamin.
Namun yang terjadi hari ini, justru HMI terpelanting semakin jauh dari konsepsi ideal normatif tersebut. HMI cenderung tenggelam dalam perilaku pragmatisme dan oportunisme. HMI lebih tertarik dalam aktivitas politik praktis, larut dalam konflik internal untuk memperebutkan jabatan dan posisi tertentu. Lihat saja dalam setiap aktivitas politik mulai dari level kampus sampai negara ada anak HMI terlibat disitu. Bahkan tidak jarang dalam momentum politik itu yang menjadi kandidat adalah anak HMI ataupun KAHMI. Tiba-tiba saja saya merasa HMI menjadi partai politik malu-malu yang hanya melahirkan kader politik.
Yang parahnya interaksi kaderpun kemudian dipandang secara politis sehingga semua hal harus ditransaksikan. Bahkan ruang pengkaderan yang harusnya “suci” digiring pada ranah pragmatisme politik yang profan dengan menganggap proses pengkaderan sebagai investasi politik. Buseett…!!. Bagi saya politik hanyalah sebagai alat bukan tujuan. Itupun harus dijalankan dengan mekanisme yang etis bukan mengahalalkan segala cara.
Jelas fenomena ini dalam lintasan sejarah HMI punya titik balik. Saya berpendapat bahwa, titik balik itu terjadi ketika HMI mengalami perubahan asas dari Islam ke Pancasila pada tahun 1986. Perubahan asas ini mengakibatkan tidak hanya terpecahnya HMI menjadi dua kubu besar yakni HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) dan HMI Dipo. Tetapi HMI mulai sangat dekat dengan kekuasaan, lebih akomodatif dengan politik praktis dan kehilangan kritisisme di hadapan para penguasa. Dan hal ini terus terjadi sampai hari ini kendati asas HMI telah berubah kembali menjadi Islam pada tahun 1999.
Sudah seharusnya pada momentum milad HMI kali ini menjadi titik balik sejarah HMI untuk mengembalikannya pada khittah perjuangan HMI. HMI harus melakukan suatu rejuvinasi untuk menangani fenomena renta dan ketuaan. Dari situ karya bisa dilahirkan, produktivitas bisa ditingkatkan. HMI harus betul-betul hadir sebagai rahmatan lil alamin. Sekiranya HMI tidak mampu berdialektika dan berakselerasi dengan ruang dan waktu dalam gerak sejarah kemanusiaan yang kaffah (Insan Cita) lebih baik bubarkan saja HMI. Titik….!
Selamat bereuforia dalam milad…!!
Tamalanrea, Makassar, 5 Februari 2009
HMI 63 Tahun
Refleksi 63 Tahun HMI
HMI dan Agenda Strategis Bangsa
Oleh : Arip Musthopa
________________________________________
Hari ini, 63 tahun sudah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berkiprah. Terpaut hanya 18 bulan lebih muda dari usia NKRI. Bernapaskan keindonesiaan dan keislaman, HMI menjadi saksi sejarah perjalanan republik.
Jatuh-bangun mulai era revolusi fisik,demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, Orde Baru hingga era Reformasi. Pada setiap era, HMI senantiasa berupaya memberikan kontribusi yang terbaik kepada republik. Menjadi bagian penting dari tiap perubahan besar yang terjadi. Namun tidak ada gading yang tak retak. Selalu ada kelemahan dan kekurangan. Hal positif yang menjadi modal HMI, tak jera untuk terus mencoba. Layaknya insan akademis yang selalu haus untuk trial and error. Apalagi status mahasiswa cukup membantu menjadi cover, toh kesalahan tidak melulu bermakna kehancuran. Kiprah alumni HMI yang eksis di banyak sektor kehidupan berbangsa dan bernegara menandakan “anak-anak” HMI mampu survive. Memang HMI dikenal memiliki daya adaptasi yang tinggi dan tak mudah menyerah menghadapi segala kesulitan. Moto “yakin usaha sampai” mendarah daging dalam jiwa kader HMI.
Semangat memberi yang terbaik untuk republik, tak takut mencoba dan salah, serta optimisme yakin usaha sampai kini kami rasakan menggelora dalam sanubari kader menjelang usia HMI ke-63. Suatu spirit positif yang dibutuhkan bukan saja untuk kemajuan, tapi juga peradaban. Spirit positif tersebut adalah aset berharga yang memungkinkan kader HMI bangga mengibarkan benderanya. Menjadikan alumni HMI tidak tertunduk lesu untuk mengaku sebagai alumni. Lantas, ke mana energi besar ini harus disalurkan? Di tengah kondisi bangsa yang dibayang-bayangi krisis politik saat ini, HMI dituntut untuk tetap kritis dan bersuara lantang tanpa harus kehilangan pijakan intelektual. Oleh karena itu, HMI harus meletakkan sikap dan aksinya dalam koridor agenda-agenda strategis bangsa Indonesia. Tidak terjebak pada fenomena sesaat dan tarian pihak lain yang belum tentu sejalan dengan kejatidirian HMI itu sendiri.
Agenda strategis bangsa tersebut adalah pertama, pembangunan karakter bangsa (nation character building). Kita telah memilih untuk berdemokrasi yang pilarnya adalah regulasi (UUD 1945 hasil amandemen) dan iklim kebebasan. Konsensus bangsa telah memilihnya dan sekali layar terkembang surut kita berpantang. Memang ada nada sumir yang meragukan demokrasi cocok bagi Indonesia atau bukan seperti ini demokrasi yang kita mau. Namun, demokrasi adalah proses, tak mendadak sontak terwujud. Kelebihannya, demokrasi memungkinkan pelibatan pelaku dalam proses secara masif sehingga proses dan pembelajaran bukan hanya milik elite, tapi juga rakyat. Pasti ada jeleknya, proses menjadi lebih riuh dan potensi liar yang tinggi. Kemajuan bisa melambat, ketidakpastian juga bisa meninggi dan menciutkan nyali.
Namun itulah tantangan sebuah pembelajaran kolektif atas nama demokrasi. Selama mekanisme checks and balances berjalan berbasiskan akal sehat, tak perlu khawatir demokrasi menjerumuskan. Bila telah sampai pada titik kesetimbangannya, kemajuan eksponensial bukanlah mimpi yang utopis.
Kedua, menjadikan negara fokus pada national interestnya. Dalam hal ini kerap kali kita temukan kebijakan negara yang tidak menjurus pada kepentingan nasionalnya. Secara gamblang kepentingan nasional adalah mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Di sana disebutkan bahwa tujuan kita adalah “membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Analisis-analisis kritis menunjukkan bahwa kita belum memiliki pemerintahan negara yang mencerminkan apa yang diinginkan konstitusi. Alih-alih berada pada posisi tersebut, pemerintah malah diidentikkan menjadi kepanjangan tangan kepentingan asing.
Adalah tugas komponen bangsa yang tercerahkan untuk terus berbisik, berteriak, hingga tindakan konstitusional pada pemerintah agar mengedepankan pewujudan kepentingan nasional. Meski tidak mesti diposisikan diametral antara kepentingan nasional dan kepentingan asing, pengarusutamaan kepentingan nasional wajib hukumnya. Masuknya kepentingan asing dimungkinkan sejauh itu sejalan atau mendukung kepentingan nasional. Perspektif ini harus clear dalam setiap kebijakan negara. Globalisasi dan tanda-tanda pergeseran konstelasi global di awal abad XXI saat ini menunjukkan intensitas lobi negara-negara industri besar. Indonesia menjadi medan pertarungan yang sengit antara Amerika Serikat, Jepang, China, Korea Selatan, dan Uni Eropa. Kondisi tersebut mudah menenggelamkan kepentingan nasional dan mendudukkan kepentingan asing menjadi yang utama.
Ketiga, menjadikan bangsa Indonesia kompatibel menghadapi tantangan abad XXI.Abad XXI memiliki anasirnya tersendiri dibandingkan dengan abad XX dan abadabad sebelumnya. Meski selalu ada yang sama dalam setiap abad, niscaya selalu lebih banyak yang berbeda di tiap abad. Konstelasi geoekonomi-politik global, perbenturan antarperadaban tua, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perjanjian-perjanjian internasional, dan peristiwa-peristiwa besar di tingkat global dan regional adalah yang akan membentuk perwajahan abad XXI. Sejarah mencatat bahwa dinamika global antara pra-Perang Dunia (PD) I hingga pasca-PD II mampu dimanfaatkan generasi muda bangsa ketika itu untuk merumuskan kelahiran bangsa dan negara Indonesia.
Kini telah 100 tahun dari masa itu, mampukah generasi bangsa saat ini, khususnya kaum muda, merumuskan dan mendirikan pilar-pilar bagi kebangkitan bangsa selanjutnya? Dengan begitu apa yang menjadi janji-janji kemerdekaan, apa yang menjadi raison d’être kita membentuk negara-bangsa bernama Indonesia menjadi kian dekat tergapai. Abad XXI kerap digambarkan sebagai era kebangkitan bangsa-bangsa Asia. Negara-negara di Asia Timur seperti Jepang, China, Korea, dan Taiwan, serta India di Asia Selatan dinisbatkan akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dunia.
PDB dunia sebagian besar akan dikontribusi kawasan ini. Pertanyaannya, di mana letak Indonesia dalam konstelasi tersebut? Dengan potensi SDA melimpah dan SDM yang besar sepatutnya kita menjadi emerging forces baik di tingkat kawasan maupun global. Namun keunggulan komparatif tersebut tidak banyak bicara kecuali dilengkapi dengan keunggulan kompetitif: penguasaan Iptek dan SDM yang mumpuni.
Akhirnya, usia 63 tahun bukanlah usia yang muda dan bukan juga senja untuk sebuah organisasi. Namun sudah lebih dari cukup untuk meneguhkan kedewasaan dan kematangan dalam menyikapi zaman. Ada ungkapan Nabi bahwa adalah orang yang merugi apabila hari esok tidak lebih baik dari hari ini dan hari kemarin. Maka terus bergeraklah HMI, jejakkan langkah-langkah mengharumkan di tengah gelombang dinamika yang terkadang insightnya tidak tampil kasatmata.
Insya Allah dengan niatan memberi yang terbaik, berani mencoba dan salah, serta optimisme yakin usaha sampai, penempatan historis yang manis akan kau raih. Dirgahayu HMI dalam usia ke-63. Wallahu a’lam bishshawab. (Arip Musthopa, Ketua Umum PB HMI 2008–2010)
HMI 63 Tahun, Riwayatmu Kini
Oleh : Hanafi Mohan
________________________________________
1947, itulah angka tahun yang harus selalu kuingat pada beberapa kali kegiatan LK-I ketika aku menjadi pemateri sejarah perjuanganmu. Itulah tahun berdirimu, tepatnya pada tanggal 5 Februari yang kebetulan waktu itu bertempat di sebuah ruangan kuliah Sekolah Tinggi Islam (STI)-Yogyakarta yang kini bernama Universitas Islam Indonesia (UII). Lafran Pane, itulah pendirimu pertama kali yang kebetulan beliau tidak sendirian, melainkan bersama beberapa orang temannya.
Pada hari ini, engkau tepat berusia 63 tahun. Sungguh usia yang tak muda lagi jika disamakan dengan usia manusia. Kini, entah sudah berapa ratus banyaknya jumlah cabangmu, dan entah sudah berapa ribu banyaknya jumlah komisariatmu di seantero nusantara. Di usia yang setua ini, entah berapa banyak pula alumnimu yang sudah menjadi pembesar negeri ini, kebanyakan memang menjadi politikus di hampir semua partai politik yang jumlah partainya juga tak sedikit. Di antara alumnimu juga ada yang menjadi cendekiawan, namun tak sedikit pula yang hanya menjadi masyarakat biasa dengan kedudukan yang biasa-biasa saja di tengah-tengah masyarakat.
Di dalam riwayat Isra’ Mi’raj dilukiskan mengenai pertemuan Rasulullah dengan seorang nenek tua. Nenek tua itu katanya sungguh cantik menawan menarik semua orang untuk mendekatinya. Tak lain dan tak bukan, nenek tua itu adalah gambaran dunia yang semakin tua semakin indah memukau membuat hampir semua manusia semakin mencintainya dan juga ingin memilikinya. Begitu juga dirimu, mungkin hampir sama dengan nenek tua di dalam riwayat Isra’ Mi’raj itu. Di usiamu yang kini semakin renta, semakin banyak saja mahasiswa yang tertarik padamu, entah tertarik karena cinta, atau mungkin hanya tertarik karena ingin memanfaatkanmu demi kepentingan pribadi atau golongan.
Sungguh telah cukup banyak beban sejarah yang kau tanggung. Bahkan dalam perjalananmu dapat dikatakan bahwa dirimu tak lulus sejarah, kadermu terpecah belah ketika berhadapan dengan rezim Orde Baru beberapa puluh tahun silam. Karena buruk muka, cermin dibelah. Begitulah kata pepatah. Tapi ini bukanlah cermin yang dibelah, melainkan badanmulah yang dibelah dua menjadi Dipo dan MPO. Beberapa kali kepengurusan pusatmu (PB atau Pengurus Besar) juga sempat terbelah-belah, hingga menimbulkan dualisme kepemimpinan.
Di era Demokrasi Terpimpin, dirimu pernah ingin dibubarkan oleh pihak penguasa. Kala itu dirimu lulus sejarah. Di saat-saat genting tersebut untungnya banyak organisasi Islam di negeri ini yang membelamu karena dirimu dianggap sebagai aset umat dan aset bangsa ini. Di era Orde Baru kembali dirimu mengalami cobaan. Kali ini sungguh dirimu tak lulus sejarah. Engkau memang tidak dibubarkan, namun engkau terpecah menjadi dua badan (Dipo dan MPO).
Pasca reformasi, kembali kau menghadapi deraan dan cobaan. Engkau menjadi common enemy bagi hampir semua organisasi mahasiswa. Kala itu engkau dikatakan sebagai bagian dari Orde Baru atau bagian dari GOLKAR atau entah apa lagi namanya. Darahmu habis, semangatmu sirna, berjiwa elitis, selalu dekat dengan birokrasi, rapuh dan keringnya intelektualitas kadermu, serta selalu yang dikedepankan adalah politik daripada intelektualitas. Hingga salah seorang alumnimu yang tak lain adalah Guru Bangsa ini pada titik nadir kekesalannya terhadapmu sampai-sampai mengeluarkan ucapan “Bubarkan HMI!”
Riwayatmu kini tentunya jauh berbeda dari riwayatmu dulu. Di masa-masa awal berdiri, engkau selalu berpartisipasi aktif dan memberikan andil dalam mempertahankan bangsa dan negara ini. Di kala itu, engkau juga terjun langsung mengerahkan perjuangan fisik menghalau penjajah yang ingin menguasai lagi negeri tercinta ini. Sungguh di masa itu ketika usiamu masih sangat muda, engkau bergumul habis-habisan berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Di masa-masa setelah itu, engkau juga masih terus berjuang, bahkan perjuangan secara fisik melawan partai politik yang katanya anti agama. Sampai-sampai karena itu engkau juga terancam untuk dibubarkan oleh partai politik tersebut yang saat itu cukup berkuasa di negeri ini. Namun engkau kemudian terselamatkan, malahan belakangan partai politik itulah yang kemudian dibubarkan oleh Penguasa Orde Baru.
Pada era-era awal Orde Baru, engkau juga selalu berpartisipasi aktif mengajukan saran demi memajukan bangsa ini. Bukan hanya itu, engkau juga selalu mengedepankan gerakan kultural, bahkan sampai pada puncaknya yang begitu menawan. Wacana pemikiran dalam pembaharuan Islam yang kau lakukan ketika itu juga sangat memukau. Pertarungan wacana keislaman mungkin sudah menjadi keseharianmu ketika itu. Sungguh kami tersihir hingga kini jika mengenang masa lalumu yang gilang-gemilang itu. Namun sayang, mengapa pula kegilang-gemilangan itu di ujung-ujungnya mesti dibayar mahal dengan rekatnya dirimu kepada penguasa negeri ini. Karena begitu rekatnya dirimu dengan penguasa, akhir-akhirnya engkau juga kemudian harus membayar lebih mahal lagi berupa terbelahnya badanmu menjadi dua yang hingga kini sangat sulit menyatukannya kembali, walaupun kedua-dua badan tersebut saat ini azasnya sudah sama, yaitu sama-sama berazaskan Islam.
Sungguh kami di masa kini sangat merindukan dirimu mencapai lagi kegilang-gemilangan seperti halnya dirimu di masa silam yang selalu memancarkan sinar yang mencerahkan bagi seluruh persada nusantara.. Semoga pengharapan ini tak sekedar menjadi harapan hampa nan sunyi yang kemudian sirna ditelan bumi ataupun terbang melayang dibawa angin yang entah ke mana arah dan tujuannya.
Kami sadar sesadar-sadarnya bahwa tantangan yang engkau hadapi kini begitu beratnya. Kami juga mafhum jikalau tantangan di masa kini jauh berbeda dibandingkan tantangan yang dahulu kau hadapi. Namun tantangan tetaplah tantangan. Jika kini ada tantangan, tentunya dahulu juga ada tantangan. Mungkin model tantangannya saja yang berbeda. Bisa jadi tantangan dahulu lebih ringan dibandingkan tantangan yang ada sekarang. Atau jangan-jangan tantangan kini jauh lebih ringan dibandingkan tantangan dahulu. Entahlah, kami tak mau berandai-andai.
Akhirulkalam, Selamat Ulang Tahun yang ke 63 untuk HMI yang kucintai. Wahai Himpunan Mahasiswa Islam, masa depanmu masih terbentang panjang nan luas di hadapan. Berkibarlah selalu panji hijau hitamku. Umat dan bangsa menantikan karya nyatamu.
Yakin Usaha Sampai. Bahagia HMI. Jayalah selalu. [Hanafi Mohan - Ciputat, Jum'at - 5 Februari 2010]
~Tulisan ini khusus dipersembahkan untuk memperingati Milad HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang ke-63 (5 Februari 1947 – 5 Februari 2010)~
HMI 64 Tahun
64 Tahun HMI, Restorasi dan Tantangan Zaman
Oleh : Harry Febri
________________________________________
Pada 5 Februari, seluruh kader dan alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di seluruh Nusantara akan merayakan milad HMI ke-64. Suatu usia yang sangat matang bagi sebuah organisasi mahasiswa.
Kalau diibaratkan manusia, usia tersebut sudah cukup tua dan sudah mendekati kematian. Pada usia ini kebanyakan manusia telah menjadi pikun dan tidak kuat lagi men¬jalan¬kan aktivitas sehari-sehari seperti layaknya orang muda. Akankah HMI bernasib demi-kian?
Pertanyaan ini perlu dire¬nungi dan diresapi bersama. Mengingat beratnya tantangan yang dihadapi oleh HMI, baik dari eksternal organisasi mau¬pun dari internal organisasi sendiri.
Pada awal berdirinya, HMI telah diuji dengan perjuangan bersenjata melawan penjajah Belanda, selanjutnya pada dekade 60-an HMI juga telah berhasil melewati fase genting ketika PKI hendak mem¬bubarkan HMI. Begitu juga pada masa Orde Baru, ketika Orde Baru hendak me¬nguasai seluruh organisasi dengan pemaksaan asas tunggal (Pan¬casila), HMI masih bisa eksis dan bertahan sebagai kekuatan pemuda garis depan, meskipun harus dibayar dengan dengan harga mahal, dengan terpe¬cahnya HMI menjadi dua, yaitu MPO dan DIPO.
Bagaimana dengan zaman sekarang? Harus diakui bahwa HMI sebagai sebuah organisasi menghadapi kondisi yang sangat berat.
Dari sisi eksternal, dengan hadirnya organisasi-organisasi mahasiswa lain yang mengu¬sung berbagai ideologi dan dengan strategi yang ber¬beda, HMI menjadi pilihan yang terdengar kurang menjual. Apalagi dengan isu-isu yang dihembuskan oleh pihak lain berkaitan dengan perilaku sebagian kecil alumni HMI yang bobrok, membuat HMI semakin jauh dari sumbernya yaitu mahasiswa. Padahal tidak ada hubungan organisatoris antara HMI dengan alumninya. Yang ada hanya hubungan emosional, sebagai sesama orang yang pernah berkiprah di HMI.
Adalah sangat wajar sekali, organisasi yang telah berumur 60 tahun, dengan jumlah alumni yang sangat banyak dan tentunya dengan lapangan pengabdian yang berbeda, kemungkinan alumninya untuk berbuat salah juga besar, meskipun alumni yang mem¬punyai prestasi dan integritas tinggi juga tidak sedikit.
Ban¬dingkan dengan orga¬nisasi mahasiswa lain yang baru berdiri, bisa jadi mengklaim diri paling bersih dan peduli, tetapi siapa yang dapat men¬jamin ketika sudah berada pada posisi yang cukup berpengaruh dapat terus mempertahankan kebersihan dan kepeduliannya?.
Kondisi mahasiswa saat ini yang menjadi tanah bagi tum-buhnya pohon HMI juga sangat memprihatinkan. Budaya pop yang disebabkan oleh kemajuan teknologi dan informasi, mera¬cuni sedemikian rupa para pemuda termasuk mahasiswa.
Masalah-masalah sosial tidak begitu menjadi perhatian lagi. Para mahasiswa telah menjel¬ma menjadi makhluk apatis yang cenderung indi¬vidualis yang ingin menda¬patkan segala sesuatu secara instan. Kondisi ini harus diha¬dapi oleh seluruh organisasi mahasiswa saat ini. Banyak fakta membuktikan, berapa banyak mahasiswa yang me¬lakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi masya¬rakat.
Berapa banyak mahasiswa yang bersedia melakukan aksi terhadap ketidakadilan sebagai suatu bentuk kontrol sosial. Sebaliknya berapa banyak mahasiswa yang mengikuti kegiatan-kegiatan yang bersifat hiburan, meskipun harus mem¬bayar dengan harga yang cukup mahal.
Menghadapi persoalan diatas, HMI perlu mereposisi diri. Charles Darwin pernah mengatakan, bukan siapa yang terkuat, tapi siapa yang mampu menyesuaikan diri yang akan bertahan. Kita boleh menga¬takan saat ini HMI merupakan organisasi mahasiswa tertua dan terbesar yang ada di Indonesia. Dengan sebaran cabang yang merata di tiap pelosok negeri. Belum lagi potensi alumni HMI yang mengabdi di setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tapi fakta lain berbicara, berapa banyak mahasiswa yang tahu tentang HMI?. Dari jumlah yang tahu itu berapa orang yang tertarik masuk menjadi anggota HMI?. Perta¬nyaan ini harus dijawab dengan jujur bahwa sedikit sekali mahasiswa yang tahu tentang HMI. Kalaupun ada, lebih karena faktor ikut-ikutan, orang tua atau keluarga yang HMI (HMI keturunan) atau malah karena “di karuangan” oleh pengurus atau anggota HMI. Jarang sekali ditemukan para calon anggota HMI masuk karena motivasi dari dalam diri, karena tahu pergerakan HMI atau karena ingin memperbaiki nasib bangsa ini.
Hal ini terjadi karena seba¬gai organisasi HMI tidak ‘sexy’ lagi, tidak ada magnet yang membuat mahasiswa tahu dan tertarik dengan HMI. Kalaupun ada anggota HMI di kampus, tapi tidak memperlihatkan kiprah yang signifikan.
Tidak ada manfaat lain yang dida¬patkan dari ber HMI apabila dibanding mahasiswa yang mengikuti organisasi maha¬siswa intra kampus, organisasi mahasiswa ekstra kampus lainnya atau bahkan Multi Level Marketing. HMI tidak punya ‘core competency’ yang membuat para anggota dan kader mendapatkan manfaat lebih dari ber HMI.
Kalau dulu para senior bercerita, bahwa dengan HMI mereka mendapatkan ilmu berorganisasi, ilmu agama dan segala macam ilmu yang mem¬bentuk karakter dan perilaku yang membuat mereka men-jadi tokoh di tempat mereka berkiprah, apakah itu sewaktu mahasiswa ataupun ketika sudah terjun ke masyarakat. Saat ini perlu dipertanyakan lagi, apakah yang didapatkan anggota HMI dari berkegiatan di HMI.
HMI saat ini tidak punya arah yang jelas dalam bergerak. Disebut organisasi pergerakan, tanggung. Karena tidak ada arah gerakan yang jelas. NDP dan Mission HMI yang menjadi Ideologi HMI hanya menjadi cuap-cuap di ruangan Training HMI. Bukan menjadi dasar dan landasan untuk bergerak. Banyak fenomena sosial di masyarakat yang tidak mampu disikapi dengan baik oleh HMI. Pengurus HMI hanya sibuk dengan diri sendiri dengan agenda politik untuk merebut dan mempertahankan posisi meskipun dengan resiko mengorbankan organisasi HMI sendiri.
Jika disebut organisasi kader berbasiskan kajian juga tidak bisa. Karena tidak ada kajian yang benar-benar solid. Saat ini sangat jarang ditemui diskusi rutin di HMI, baik itu di tingkatan komisariat apalagi di tingkatan yang lebih tinggi. Kalaupun ada, hanya bersifat artifisial dan seremonial.
Tidak benar-benar kajian seperti yang pernah dilakukan oleh Ahmad Wahib, Johan Effendi dan kawan-kawan di masa lalu.
Hal lain yang membuat HMI semakin susah untuk berbuat adalah pola pentra¬iningan di HMI yang tidak mengikuti pola mahasiswa saat ini. Pentrainingan saat ini seperti isi kulkas yang telah lama tidak diganti. Penuh dengan berbagai jenis makanan dan sayuran, tapi tidak segar lagi dan kering bahkan mem¬busuk. Seperti itulah analogi pentrainingan sekarang. Hanya berisi seremonial, materi-materi dan tradisi-tradisi.
Training sekarang miskin nilai. Target bagi pengurus hanya untuk memenuhi kewajiban melaksanakan Latihan Kader, dan target bagi pengelola hanya untuk membe¬rikan materi. Tidak ada nilai-nilai dan doktrin yang ditana¬mkan. Padahal esensi training adalah bagaimana peserta mendapatkan pencerahan. Dan dengan kesadaran yang dida¬patkan bisa ditransformasikan di kampus masing-masing sebagai kader HMI.
Menyikapi keadaan ini, pengurus HMI perlu mela¬kukan langkah-langkah luar biasa. HMI harus merestorasi diri. Seperti yang telah dila¬kukan Kaisar Meiji di Jepang pada abad ke 19 untuk mengej¬ar ketinggalan Jepang dari negara lain. Yang mampu membalikkan keadaan dari negara miskin menjadi salah satu negara besar dan bermar¬tabat. HMI harus berubah.
Perlu sebuah kajian yang mendalam mengenai arah dan strategi organisasi ke depan. Kajian yang menjadi acuan gerakan HMI, baik jangka panjang, menengah dan jangka pendek.
Sebuah kajian yang meng¬hasilkan gagasan bernas untuk menjawab tantangan zaman yang sudah tidak sama dengan yang dulu. HMI harus me¬nyesuaikan diri dengan keadaan apabila tidak mau digilas zaman.
HMI harus mampu men¬jadi organisasi mahasiswa yang modern. HMI harus menjadi gaya hidup dengan semua keunggulan mahasiswa harus ada di HMI. HMI harus mam¬pu menghasilkan profil kader unggulan yang menjadi magnet bagi para mahasiswa lain di kampus.
Dari proses rekrut¬men bisa dimulai dengan merekrut calon anggota yang punya potensi untuk mem¬be¬sarkan organisasi. Dengan menerjemahkan NDP dan mission HMI ke kehidupan kekinian, diharapkan HMI kembali menjadi primadona yang menjadi magnet bagi mahasiswa di Indonesia.
Bahagia HMI... Yakin Usa¬ha Sampai...
(Harry Febri adalah Ketua HMI Komisariat Ekonomi Universitas Andalas 2005-2006)
Merebut Hati Umat
(Refleksi Milad HMI Ke 64)
Oleh : Hasnanda Putra
________________________________________
ORGANISASI tua sekelas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang mampu bertahan dan eksis dalam perjalanan waktu adalah keberkahan selain kemampuan adaptif yang diperankan secara apik dan menarik, biarpun kadang bernilai miring bagi sebagian pihak. Itulah realita perjalanan organisasi mahasiswa terbesar yang pernah ada di Republik ini.
HMI dalam perjalanan sejarahnya sudah beberapa kali mengalami masa-masa penuh ujian dan sulit tetapi kemampuan kadernya melihat perkembangan zaman menjadikan HMI mampu bertahan sampai hari ini. Pertanyaannya sudahkah eksistensi itu bermanfaat untuk ummat atau kita telah gagal merebut hati umat?
Sebagai organisasi mahasiswa ekstra universiter yang tertua di Indonesia dan mampu bertahan serta (pernah) memainkan perannya di atas panggung perjuangan umat dan bangsa, memang layak untuk dikenang. Peran dan kepeloporan yang pernah dimainkan HMI dan alumninya di masa lalu dapat dijadikan hikmah yang tersimpan bagi bekal perjalanan di masa mendatang, perjalanan itu terus meluncur karena pengkaderan yang tiada henti di HMI. Pengkaderan adalah ruh organisasi HMI dalam melanjutkan cita-cita organisasinya, kader-kader HMI yang dilahirkan dalam setiap pengkaderannya adalah tali yang menyambung pada tujuan terbentuknya organisasi. Seperti tergambar dalam memori penjelasanan dan tafsir tujuan bahwa kelahiran HMI dari rahim pergolakan revolusi fisik bangsa pada tanggal 5 Februari 1947 didasari pada semangat mengimplementasikan nilai-nilai keislaman dalam berbagai aspek keindonesiaan. Semangat itu ada pada setiap kader yang di baiat di malam akhir basic training.
Semangat yakin usaha sampai (yakusa) tidak akan bermakna apa-apa bila kader sendiri tidak memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup dalam aktualisasi diri didalam kehidupannya, seperti kata pepatah Arab “Orang yang tidak memiliki sesuatu, tak mungkin bisa memberikan apa-apa.” Tidak banyak yang bisa diharap dari kader yang “kosong”, maka penuhilah ruang-ruang pengkaderan itu dengan bekal yang “penuh” dengan ilmu dan pengetahuan dan aplikasi dengan kebutuhan zaman.
Zaman terus berubah, kecenderungan perkembangan global sekarang ini menuntut HMI sebagai organisasi untuk dapat membaca kecenderungan itu berkembang. Suasana demikian tidak boleh juga menyurutkan HMI untuk melihat masa lalu sebagai pijakan yang baik bagi masa depan. Biarpun mulai sulit melihat ada “nasi ummat” pada setiap pengkaderan, semoga “nasi kotak” tidak menjadi petanda terjadinya pergeseran “kader ummat” menjadi “kader kotak”.
Apa yang sudah kita berikan bagi gerakan perubahan di Aceh, sudahkan kita menjadi pembaharu-pembaharu atau kita hanya menjadi pengekor-pengekor kepentingan. Sudahkah kita kritis menyoal persoalan bangsa dan Aceh pada hari ini, maka bila itu belum mampu kita lakukan wajar bila ummat terkesan menjauh dari kita dan keadaan kita bagaikan “kader kotak”yang hanya berarti kalau mendapat pesanan dan berharga sekali “konsumsi”.
Perubahan ada adalah keniscayaan, bila kita mau mengamati, segala sesuatu yang nampak di atas bumi ini sejatinya mengalami perubahan. Baik berupa perubahan secara fisik maupun non fisik. Perubahan adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan. Semua pasti mengalami perubahan, dan hanya perubahan itu sendiri yang tetap.
Oleh karenanya, manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan dirinya dengan kondisi tempat dimana ia berada. Barang siapa tak dapat beradaptasi dengan lingkungannya, niscaya ia akan diterjang arus perubahan di lingkungannya. Jangan bernasib seperti “dinosaurus” yang punah karena “gagal” bertahan dialam yang berubah. Begitupun adanya seorang kader dalam pusaran zaman, kemampuannya untuk bertahan dalam derasnya arus global adalah sebuah kearifan yang tidak semua kader memilikinya. Sebagai manusia yang dikaruniai akal untuk berfikir, seharusnya dapat mengarahkan perubahan ini ke arah yang lebih baik. Untuk dirinya khususnya, dan untuk lingkungan pada umumnya.
Pembangunan Aceh sebagaimana tersirat dalam tema Rakerprov KNPI Aceh beberapa waktu lalu yaitu pemuda cerdas dan mandiri adalah modal dalam pembangunan Aceh, bila merujuk pada tema tersebut erat kaitannya dengan kemampuan kader HMI dimasa mendatang. HMI harus mampu mencetak kader-kader cerdas dan tentu saja mandiri. Cerdas mampu mengaplikasi ilmu dan pengetahuan dengan baik dan bijak, mandiri bukan menjadi “boneka” atau hanya menjadi “pengemis-pengemis” baru atau “boneka-boneka” mainan. Saatnya kader HMI menjadi kader cerdas dan mandiri, jangan menjadi kader “nasi kotak” yang terpasung dan apatis dengan perubahan, jadilah kader “nasi ummat” sebagai kader merdeka pelopor perubahan yang penuh etika dan bertanggungjawab. Masa depan pembangunan Aceh terletak pada kader-kader “ummat” yang dekat dengan basis dan memahami persoalan keummatan, karena itulah hakikat pembangunan yang sesungguhnya, sebuah pembangunan atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhai oleh Allah swt. Berubahlah segera kader bangsa karena itulah satu-satunya cara menyelamatkan diri kita di masa yang akan datang dan itulah jalan untuk merebut kembali hati umat. Wallahualam. (Hasnanda Putra adalah Sekretaris KNPI Kota Banda Aceh).
06 Februari 2011
64 Tahun, HMI Mau Kemana...??
Yus Efendi, SP
________________________________________
Hari ini, bertepatan dengan tanggal 5 Februari 2011, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merayakan Milad atau hari jadinya yang ke 64 tahun. HMI adalah organisasi mahasiswa tertua di Indonesia yang didirikan Prof. Lafran Pane dkk pada tanggal 05 Februari 1947 di Yogyakarta. Sejarah lahirnya HMI adalah sejarah pergumulan umat dan bangsa di bumi nusantara. Tepatnya, sejarah pergumulan kaum intelegensia muda Islam-Indonesia dalam interaksinya dengan umat dan bangsa di bumi nusantara. Makna kelahiran dan keberadaan HMI merupakan bagian integral dari semangat Islam masuk ke bumi nusantara dan semangat perjuangan kaum intelegensia muslim sebagai ‘blok historis’ yang menginisiasi kelahiran Negara Republik Indonesia pada awal abad ke-20.
Dalam lembaran sejarah lahirnya HMI di Indonesia, ada empat permasalahan bangsa yang membuat gelisah Lafran Pane dkk, sehingga kemudian menelurkan HMI sebagai alternatif gerakan perjuangan mahasiswa dalam perjuangan politiknya. Pertama, situasi dunia internasional yang tengah mengalami kemunduran pemikiran pembaharuan keislaman, sehingga dibutuhkan sebuah gerakan reformasi untuk mengembalikan pemikiran islam yang berpedoman pada Al-qur’an dan Hadist. Kedua, Situasi NKRI yang labil akibat agresi Belanda dan dibutuhkan sebuah gerakan untuk membungkam rezim kolonial yang mengancam keutuhan NKRI saat itu. Ketiga, kondisi umat Islam yang masih terbelah dalam beberapa golongan dan mereka berusaha supaya agama Islam itu benar-benar dapat dipraktekkan dalam masyarakat Indonesia.. Keempat, kondisi perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan kala itu masih menganut paham sekuler yang berkiblat ke dunia barat dan seolah menenggelamkan paham Islam yang menjadi anutan sebagian besar rakyat Indonesia, paham sekuler ini kemudian menimbulkan ketidakseimbangan mahasiswa dalam tidak adanya keselarasan antara akal dan kalbu, jasmani dan rohani, serta pemenuhan antara kebutuhan dunia dan akhirat.
Kondisi diatas merupakan cuplikan bagaimana HMI sebagai sebuah organisasi yang lahir untuk memperbaiki kegelisahan umat dan mengajak umat untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi kemajuan bangsa Indonesia. Terpaut hanya delapan belas bulan lebih muda dari usia NKRI. Bernafaskan keindonesiaan dan keislaman, HMI menjadi saksi sejarah perjalanan republik. Jatuh-bangun mulai era revolusi fisik, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, orde baru, hingga era reformasi. Setiap era, HMI senantiasa berupaya memberikan kontribusi yang terbaik kepada republik. Menjadi bagian penting dari tiap perubahan besar yang terjadi.
Gagasan Keislaman HMI
Gagasan keislaman-keindonesiaan yang diusung HMI menjadi sumbangsih gagasan yang sangat apik kepada bangsa, karena mampu mengimbangi ambisi golongan yang menghendaki terbangunnya negara dengan nalar dan sistem teokratik oleh nasionalisme berbalut Islam. Dan, Dahlan Ranuwihardjo, pantas menjadi salah satu ikon yang turut mempertebal karakter kebangsaan di dalam tubuh HMI ketika usia organisasi ini masih belia.
Pembaruan pemikiran Islam Indonesia berhasil lahir dari tubuh HMI pada era akhir 1960-an melalui pemikiran Nurcholish Madjid dengan jargon “Islam Yes, Parti Islam No” dan sekularisasi agama (Islam) yang terus berkembang menjadi narasi besar gelombang pembaruan pemikiran Islam hingga tahun 1990-an. Pada masa itu juga muncul Ahmad Wahib melalui limited group-nya yang oleh Greg Barton disejajarkan dengan Cak Nur dan Gus Dur sebagai tokoh pembaru Islam Indonesia.
Cakrawala pemikiran keislaman-keindonesiaan menjadikan HMI diposisikan sebagai kelompok Islam moderat. Pada masa awal peletakan develomentalisme Orde Baru, gagasan tersebut dianggap cocok menjadi pemikiran poros tengah untuk mengimbangi kekuatan Islam teokratik yang menghendaki negara Islam dan mainstream kelompok radikal kiri yang menginginkan negara totaliter. Saat itulah, sejarah kemudian mencatat kader-kader HMI berbondong-bondong masuk ke dalam birokrasi dan menjadi mesin penyuplai kader dari kelompok Islam selama pemerintahan Orde Baru. Kenyataan ini, kelak terus berjalan hingga membentuk watak politik kekuasaan dan menjadi bumerang kemandegan pemikiran di dalam tubuh HMI sendiri.
Independensi Arah perjuangan HMI
Kini anggota HMI berjumlah lebih dari 100 ribu orang yang tersebar di 186 cabang di seluruh Indonesia dengan berbagai kontribusi jutaan alumninya. Melihat potensi besar itu, HMI masih strategis dan merupakan aset vital untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik.
Watak independensi HMI adalah sifat organisasi yang secara etis merupakan karakter dan kepribadian kader HMI. Watak independen ini mesti terwujud dalam kerangka pola pikir, pola sikap, dan pola laku setiap kader, baik menyangkut dinamika dirinya sebagai kader HMI maupun dalam melaksanakan hakekat dan mission organisasi dalam kiprah hidup berorganisasi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ketegasan HMI sebagai organisasi independen mendorong kader-kader untuk berpikir, bersikap, dan berperilaku berdasarkan keluasan, ketepatan, dan kearifan pandangan dalam menghadapi arus zaman.
Dengan ketegasan independensinya juga, HMI menjalankan interaksi, baik dalam konteks kemahasiswaan, kemasyarakatan, kebangsaan, maupun kenegaraan melalui semangat adaptasi dan bukan adopsi. Ini semata-mata dilakukan untuk mencapai cita HMI sebagai organisasi yang unggul. Sebab, sebagaimana dikatakan Charles Darwin, “bukanlah yang terkuat yang akan terus hidup, melainkan yang paling adaptif”. Lingua franca yang dilaksanakan HMI senada dengan ungkapan bijak bahwa tiada yang abadi di dunia kecuali perubahan itu sendiri. HMI berrcita-cita melakukan upaya-upaya perubahan agar mampu beradaptasi – tanpa kehilangan identitasnya sebagai organisasi kader – dalam menjawab tantangan zaman.
HMI menggariskan dirinya sebagai organisasi yang bersifat independen. Independensi dimaknai dua hal, independensi etis dan organisatoris. Independensi etis bermakna setiap anggota HMI berpihak dan memperjuangkan kebenaran, yang didasarkan pada pemahaman teologis bahwa fitrah manusia adalah hanief, cenderung pada kebenaran. Oleh karena anggota HMI independen secara etis, maka konsekuensinya secara organisasi HMI juga independen. Tidak berada di bawah atau menjadi onderbouw organisasi apapun, karena akan membatasi ruang implementasi spirit independensi, kalaupun bukannya membunuh spirit independensi itu sendiri.
Dalam aksinya, HMI secara organisasi hanya boleh menunjukkan keberpihakan pada kebenaran atau kepada pihak yang mana kebenaran melekat padanya. Untuk tahu yang benar dan salah dibutuhkan pengetahuan atau ilmu. Disinilah nampak keterkaitan antara keyakinan independensi (dimensi iman) yang bisa terimplementasi dengan baik (dimensi amal) apabila didukung oleh ketersediaan pengetahuan (dimensi ilmu). Atas dasar itu di HMI tidak pernah sepi digaungkan pentingnya intelektualisme sebagai tradisi, yang bukan saja penting bagi bekal individu tapi juga menyangkut kiprah organisasi.
Mengembalikan Khittah HMI
Acapkali tradisi intelektualisme dihadapkan dengan orientasi politik. Intelektualisme dinilai sebagai anak kandung idealisme, sementara orientasi politik dinilai sebagai bentuk telanjang dari pragmatisme. Cara pandang dikhotomis seperti ini tidak selalu tepat dan menguntungkan. Yang kurang baik adalah implikasi jangka panjangnya, di mana wilayah politik dijauhkan dengan warna, tradisi, dan komitmen intelektual. Inilah yang menjadi faktor penyebab mengapa kehidupan politik masing kering dari warna dan pengaruh intelektual.
Arah intelektualisme yang dikembangkan di HMI justru bertugas untuk mendamaikan wilayah akademis-intelektual dengan wilayah perjuangan politik praktis. Keduanya bukan saja harus direlasikan secara positif, tetapi bahkan wilayah perjuangan politik layak ditempatkan sebagai (bagian) kelanjutan proses pematangan intelektual di HMI, termasuk organisasi-organisasi mahasiswa yang lain.
Dalam kaitan itu, yang harus dikembangkan dalam rangka memajukan intelektualisme HMI bukanlah antiorientasi politik, melainkan kemampuan untuk menjaga independensi, 'bersabar' dan mencari waktu yang tepat untuk berkiprah di jalur perjuangan politik, setelah menjadi alumni. Justru intelektualisme kemudian menjadi salah satu modal berharga bagi para alumni HMI yang berkiprah di dunia politik, di samping kemahiran berorganisasi dan keterampilan komunikasi sosial.
Sesuai dengan misi HMI yang bergerak dalam ranah kebangsaan, kemahasiswaan, dan keislaman. Kini bukan saatnya lagi untuk bermimpi melakukan perbuatan besar dan menjadi pahlawan yang memiliki nama harum dan dicatat dalam sejarah. Melainkan, yang penting saat ini adalah hari di mana HMI dituntut untuk membuktikan komitmennya terhadap permasalahan-permasalahan kebangsaan terkini. Kemiskinan, pengangguran, kelaparan, minimnya pengetahuan tentang kesehatan adalah masalah-masalah riil bangsa ini. HMI tidak hanya mengurusi masalah pergantian pemerintahan atau rezim, atau dukung tidak mendukung terhadap kekuatan politik yang ada, melainkan sebuah keharusan dan kewajiban untuk turut memecahkan berbagai bentuk masalah tersebut.
Kader HMI sudah seharusnya menjadi panutan dan suri tauladan bagi masyarakat di lingkungannya. HMI seharusnya sudah mampu melakoni perubahan dan mengaktori ritme perbaikan di negeri mayoritas muslim ini. Kita barangkali sepakat, HMI memiliki tanggungjawab sejarah yang lebih besar dibandingkan dengan entitas pergerakan lainnya, khususnya dalam menjaga kontinuitas kebangsaan dan memerangi segala bentuk ketidakmerdekaan dalam kehidupan rakyat. Yakin Usaha Sampai. (Penulis adalah Alumni HMI Cabang Lhokseumawe)
06 Februari 2011
65 Tahun HMI
Memaknai Kelahiran
Himpunan Mahasiswa Islam
Hadi Suprapto Rusli
________________________________________
Tanggal 5 Februari 2012 merupakan salah satu hari yang bersejarah bagi Himpunan Mahasiswa Islam, dimana 65 tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 5 Februari 1947 lahirnya Himpunan Mahasiswa Islam 2 tahun setelah Indonesia Merdeka oleh Lafran Pane yang merupakan tonggak sejarah. Kelahiran HMI pada waktu itu didasarkan atas 2 ide dasar yang pertama adalah mempertahankan NKRI dan mempertinggi derajat bangsa Indonesia, kedua adalah mensyi’arkan Islam.
Perjalanan HMI tentunya tidak bisa dilepaskan dari sejarah bangsa Indonesia. HMI juga dikenal sebagai kader umat dan kader bangsa hal ini dikarenakan besarnya konstribusi yang telah diberikan HMI terhadap bangsa ini. Kader yang dilahirkan oleh HMI adalah sosok yang unggul, bergelora baik secara fisik maupun psikis, intelektual, visioner dan berani bersikap dengan independesinya, baik independensi etis maupun independensi organisatoris.
Sekilas yang saya uraikan di atas merupakan sekelumit dari pentingnya peran HMI dalam setiap babakan sejarah di Indonesia. Tapi cukup disayang peran HMI pada saat ini cenderung terpinggirkan dan sering dilupakan. Tapi bagi kita selaku kader HMI harus terus dan tetap memberikan peran walaupun diberi ruang atau tidak yang terpenting apa yang bisa kita perbuat untuk HMI, bangsa dan negara ini. Jangan tanya apa yang diberikan HMI dan negaramu untukmu tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan untuk HMI dan negaramu.
Peringatan Hari Kelahiran HMI berlalu setiap tahunnya secara ritual upacara yang tanpa makna. Ada beberapa catatan penting yang patut menjadi introspeksi bagi Kader HMI dalam memaknai hari Kelahiran HMI, antara lain:
Pertama, perkaderan. Perkaderan adalah hal yang sangat penting bagi HMI sebagai tempat pembentukan kader, karena HMI adalah organisasi perkaderan dengan demikian perhatian yang penuh terhadap perkaderan adalah hal mutlak yang harus dilakukan sehingga bisa melahirkan pribadi yang muslim, intelektual dan profesional. Semangat keislaman dan intelektual ibarat dua sisi yang seharusnya tidak dapat dipisahkan dari setiap individu kader HMI yang sekarang ini sedikit luntur dikalangan kader akibat kurangnya perhatian serius dari institusi pengambil kebijakan di tingkat komisariat, korkom, cabang, badko dan PB HMI memberikan ruang gerak kepada kader dan pengembangan diri kader melalui suport aktivitas-aktivitas kegiatan perkaderan (follow-up, up-grading, bakti sosial, kelompok belajar, kelompok penelitian, training dan lain-lain). Disisi lain pengaruh-pengaruh asing sangat cepat masuk seiring kemajuan teknologi dan informasi serta dinamika politik uang dan kekuasaan yang sudah menjalar jika tidak difilter dengan nilai-nilai Islam sebagaimana yang tertuang dalam landasan gerak dan perjuangan HMI yang sering disebut dengan NDP HMI maka HMI kita akan rusak. Sehingga lahirlah kader-kader yang oportunis yang jauh dari cita dan harapan dari ide kelahiran HMI itu sendiri. Rusaknya HMI maka akan merusak masa depan bangsa sebab HMI adalah generasi penerus bangsa yang tersebar diseluruh nusantara.
Kedua, HMI harus mempertegaskan dirinya sebagai agent pembangunan dan bukan sebagai satpam kekuasaan. HMI harus melakukan aktivitas dan kegiatan yang menunjang pembangunan baik itu bersifat sosial maupun lain sebagainya, masukan sumbang saran kepada pemerintah, legislatif dan aparat penegak hukum. Baik diminta maupun tidak diminta, dengan sadar dan penuh tanggung jawab kita harus memberikan manfaat kepada masyarakat. Persoalan kemiskinan, perlindungan terhadap TKI, pelanggaran HAM, upah yang layak terhadap para buruh dan lain-lain yang seharusnya merupakan bagian dari tugas HMI seolah-olah nyaris tak terdengar. Dimana HMI?
Ketiga, HMI harus menjalankan fungsi kontrolnya. Dengan fungsi kontrol yang dimiliki oleh HMI diharapkan dapat memberikan pengawasan kepada pejabat publik agar tetap menjalankan aktivitasnya sesuai dengan ketentuannya serta berpihak kepada rakyat. Jika ada program ataupun kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat publik yang merugikan kepentingan rakyat maka HMI harus berada di garda terdepan untuk meneriakkan suara dengan lantang membela rakyat. Seharusnya HMI melakukan advokasi anggaran dan kebijakan agar kritik-kritik yang dilakukan oleh HMI bersifat konstruktif membangun dan solutif.
Keempat, kader HMI harus bersatu. Terpecah belah kekuatan HMI akan melemahkan gerakan HMI itu sendiri. HMI akan kehabisan energi menyelesaikan konflik internal yang datang dari pengurus itu sendiri bahkan dari campur tangan pihak luar yang ingin melemahkan kekuatan gerakan HMI. Konflik sebenarnya akan bisa diminimalisir apabila sang pengemban amanah di HMI tidak lari dari Al-Quran dan Hadits yang merupakan landasan dari ideologi HMI. Kita berharap HMI dengan berbagai macam baju, almamater, warna kulit dan suku yang berwarna-warni tapi tetap dalam satu tujuan dalam merumuskan agenda bersama. Satu tekad untuk terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT. (Ketua Bidang Litbang BPL Pengurus Besar HMI)
Renovasi HMI Di Usia 65
Oleh : Rifki
________________________________________
“Hari ini adalah rapat pembentukan Organisasi mahasiswa Islam karena semua persiapan maupun perlengkapan yang diperlukan sudah beres.”
Demikan prakata seorang mahasiswa yang bernama Lafran Pane membuka rapat pendirian Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), tepatnya 65 tahun silam. Hari rabu 14 Rabiul Awal 1366H, bertepatan 5 Februari 1947 M. rapat yang berlangsung di salah satu ruangan kuliah STI (sekarang UII) Yogyakarta, disaksikan Husein Yahya (mantan Dekan Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) yang seharusnya mengajar kuliah tafsir, mengesahkan berdirinya HMI.
Semenjak saat itu HMI mendapat sambutan hangat tidak hanya dari kalangan mahasiswa Islam, melaikan dari seluruh elemen bangsa. Itu terbukti dengan ucapan Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam sambutan pada peringatan satu tahun berdiri HMI. Dalam kesempatan tersebut Jenderal Soedirman mengatakan “HMI hendaknya benar-benar HMI, jangan sampai suka menyendiri” bagi Pak Dirman, HMI yang benar bukan hanya Himpunan Mahasiswa Islam melainkan Haparan masyarakat Indonesia.
Sejarah membuktikan bahwa HMI sebagai ”anak kandung” bangsa, banyak berbaur dengan proses panjang (enduring process) perjuangan Indonesia. Dalam proses-proses social setting tersebut HMI dengan cita-citanya mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, serta menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam sampai saat ini masih berdiri kokoh dan siap berjuang untuk umat dan bangsa ini.
Berbicara Sejarah HMI setidaknya ada lima zaman yang dilalui HMI, selama itu juga HMI melewati banyak tantangan dan rintangan seiring dengan ciri dan karakter masing zaman tersebut.
1. Pertama, Zaman kemerdekaan (1946-1949), HMI melewati beberapa fase, yaitu konsolidasi, pengokohan dan perjuangan kemerdeaan serta menghadapi pemberontak PKI. Pada fase ini segenap kader HMI terjun kegelanggang medan pertempuran melawan Belanda, membantu pemerintah, baik langsung maupun tidak langsung. HMI membentuk Cops Mahasiswa (CM) di bawah pimpinan Ahmad Tirtosudirto, ikut membantu pemerintah dengan mengarahkan anggota CM ke gunung-gunung memperkuat aparat pemerintah. Sejak itulah dendam kesumat PKI terhadap HMI tertanam.
2. Kedua, Zaman Liberal (1950-1959), lewat kongres ke V HMI di Medan 1957 menghasilkan keputusan menuntut Islam sebagai dasar Negara dan mengharamkan penganut ajaran komunis.
3. Ketiga, Zaman Orde Lama (1950-1965), HMI menghadapi tantangan pembubaran oleh PKI lewat propagandanya dengan mencari dalil dan fitnah yang tidak ada buktinya. DN. Aidit sebagai pemimpin pimpinan PKI waktu itu menyebutkan “Seharusnya tidak ada plintat-plintut terhadapa HMI. Saya menyokong penuh tuntutan pemuda, pelajar, dan mahasiswa yang menuntut pembubaran HMI, yang seharusnya sudah lama bubar bersama dengan bubarnya Masyumi.” Pidato Aidit yang menyakitkan adalah “Kalau tidak sanggup membubarkan HMI pakai kain sarung saja.” Namun perlawanan terhadap gerakaan DN. Aidit tersebut datang dari generasi muda Islam (GEMUIS) yang lahir 1964, membentuk Panitia Solidaritasd Pembelaan HMI. Lewat apel akbarnya membawa spanduk yang berbunya “Langkahi Mayat sebelum goyang HMI”. Anti klimaks dari peristiwa itu, maka HMI secara organisatoris mengeluarkan pernyataan mengutuk Gestapu PKI lewat surat nomor: 2125/B/Sek/1965 yang ditanda tangani oleh Sulastomo sebagai Ketua Umum dan Marie Mahmammad sebagai sekretaris Jenderal PB HMI. Akhirnya HMI masih tetap bertahan sampai sekarang, sedangkan PKI dibubarkan oleh pemerintah.
4. Keempat, Zaman Orde Baru (1966-1998), HMI beperan sebagai pejuang Ode Baru dan pelopor kebangkitan angkatan 66 dengan membentuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), berpartisipasi dalam pembangunan serta atau pergolakaan dan pembaruan pemikiran Islam, puncaknya tahun 1970 takkala Cak Nur (Ketua Umum PB HMI dua periode) menyampaikan ide pembaruaan pemikir Islam dan masalah interaksi umat.
5. Kelima, Zaman Reformasi (1998-sekarang) bila dicermati dengan seksama secara historis HMI sudah mulai melaksanakan gerakaan reformasi dengan menyampaikan beberapa pandangan yang berbeda dan kritik terhadap pemerintahan Orde Baru, seperti yang disampaikan oleh Ketua Umum PB HMI Anas Urbaningrum pada waktu peringatan Dies Natalis HMI ke-51 di Graha Insa Cita Depok tanggal 22 Februari 1998 dengan judul Urgensi Reformasi Bagi Pembangunan Bangsa yang Beradap. Pidato ini disampaikan 3 bulan sebelum lengsernya Presiden Soeharto.
Dengan kata lain, selama 65 tahun HMI telah mengarungi samudra Indonesia dengan segudang kontribusi dan pemikiran yang telah dihibahkan kepada bangsa dan masyarakat Indonesia. Baik kontribusi dalam konteks kebangsaan (keindonesiaan), keumatan (keislaman), dan pemikiran (intelektualitas).
Keberadaan HMI di Sumatera Barat
Periodesasi perjuangan HMI tersebut sampai saat ini belum jua habisnya. Sampai hari ini HMI masih eksis mengawal Pemerintahan di Negara Repuplik Indonesia ini. Sampai detik ini proses kaderisasi dalam batang tubuh HMI masih terus berjalan. Dari Aceh sampai Papua proses training HMI masih saja terjadi. Dalam data terakhir sudah ada lebih kurang 200 cabang HMI di Indonesia.
Dalam konteks lokal Sumatera Barat HMI tentunya punya sejarah yang panjang dimulai sejak Saidal Bahauddin menapakkan kakinya di tanah Minangkabau, Bukittinggi tahun 1956. Hingga detik ini meskipun beliau telah tiada, dimana udara pagi masih mengisi paru-parunya yang mana akal pikiran masih mendominasi gerak laku, kehadiran Saidal Bahauddin tetap berpijak pada pembinaan generasi muda calon-calon pemimpin masa depan. Pergulatan tiada henti semenjak sentuhan pertama dengan alam tempat nenek moyangnya dilahirkan dahulu, dengan penuh ketulusan, kedermawanan, ketegasan dan kasih sayang. Saidal Bahauddin yang dikenal dengan panggilan ”Abang” memancarkan cahaya pembaharu, sebagai pendobrak zamannya dan terus dikenal seperti itu sampai kini.
Konsisten dalam ucapan dan tindakan. Memperjuangkan ideologi dalam kesederhanaan dengan landasan Islam untuk kebangsaan dan kemasyarakatan. Demikian sekilas sikap almarhum Saidal Bahauddin, tokoh angkatan ’66 dari Provinsi Sumatera Barat. Sosok yang banyak mengilhami pergerakan generasi muda, terutama kalangan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Sumbar. Saidal Bahauddin beliaulah yang membawa dan mengembangkan HMI di Sumatera Barat ini.
Alhamdulillah semangat Lafran Pane dan Saidal Bahauddin sampai saat ini masih mengalir dalam tubuh kader HMI. meski zaman telah berubah HMI masih ada dan eksis di Sumatera Barat sampai sekarang. Saat ini HMI masih konsisten menciptakan generasi-generasi berkualitas untuk umat dan bangsa ini. Dalam perjalannya dari 19 kabupaten/kota di Sumatera Barat, HMI telah memiliki cabangnya di 12 kabupaten/kota diantaranya: Padang, Batusangkar, Padang Panjang, Bukit Tinggi, Sijunjung, Payakumbuh, Pesisir Selatan, Solok, Pariaman,Lubuk Sikaping, Pasaman Barat, dan Solok selatan.
Keberadaan HMI sekarang
Belakangan peran-peran kebangsaan, keumatan, dan intelektualitas itu mulai memudar –untuk tidak mengatakan hilang sama sekali. Sehingga, muncul gugatan dari banyak pihak, bisakah sejarah kejayaan HMI masa lalu itu kita rengkuh kembali di masa kini?
HMI berperan penting dalam memberikan corak dan warna baru dalam pemikiran Islam. Jika ditelaah sejarah pembaruan pemikiran Islam pada 1960, HMI menjadi terdepan. Sepak terjang intelektual dan pemikiran kader-kader muda HMI yang dimotori oleh Nurcholish Madjid berhasil memberikan tafsir baru bagi lahirnya Islam yang inklusif, humanis, dan moderat.
Tampak sekali, betapa HMI menjadi king maker bagi arus perubahan, baik perubahan pemikiran maupun demokratisasi. Kala itu, HMI tidak saja bermain dalam tataran idealisme dengan keunggulan ide-ide kritis, gagasan-gagasan segar, dan karya-karya intelek tual, tetapi sekaligus mampu mengawinkannya dalam sebuah gerakan praksis.
Harus diakui, HMI hari ini ibarat serigala ompong yang hanya bias meraung, tetapi tak mampu menggigit. Ketika kader-kader HMI berteriak ”tegakkan hukum”, di saat yang sama kader HMI melabrak rambu-rambu hukum. Demikian pula, ketika HMI mengumandangkan ”berantas korupsi”, di saat yang sama banyak kader atau alumni HMI yang terlibat korupsi. Saya tidak bermaksud menguliti HMI dalam arti mencoba menguak borok dan bobrok organisasi yang didirikan Lafran Pane itu kepada publik. Saya juga tidak sedang mengadili HMI yang sudah mengalami kejumudan dalam berpikir dan berkarya. Baik buruknya HMI adalah tang gung jawab kita semua sebagai kader HMI
Apa yang saya ungkapkan ini adalah sebuah kenyataan empiris yang mau tidak mau harus kita sikapi bersama secara baik dan bijaksana sebagai bentuk tanggung jawab dan kecintaan kita terhadap HMI. Sebab, masa depan HMI sangat ditentukan oleh kader-kadernya saat ini, termasuk saya sebagai ketua umum. Dengan bersandar pada kelemahan itu, kita punya preferensi apa yang harus diperbuat dan dilakukan. Menemukan sandaran profetik untuk menyelesaikan problem itu demi kejayaan HMI di masa kini, esok, dan yang akan datang. Dari sudut pandang mana kita melangkah dan bertindak.
Sebab, kita tidak akan melakukan tindakan apa-apa jika hanya terlena pada kejayaan sejarah HMI di masa lalu. Sejarah masa lalu harus dijadikan cermin sekaligus otokritik pada masa kini. Dengan demikian, kita bisa menjadikan sejarah sebagai alat untuk melakukan dialog dan analisis. Apa pentingnya HMI punya sejarah emas kalau kenyataannya hari ini lembaran sejarah itu hanya sebagai pengantar di forum-forum diskusi belaka. Apa artinya pula HMI punya kader yang tersebar di seluruh Nusantara, tetapi mereka tidak mampu berbuat apa-apa.
Jika sejarah HMI di masa lalu itu kita rawat dan pertahankan hingga saat ini, betapa hebatnya organisasi ini, betapa dinamisnya organisasi ini, dan betapa dihormatinya organisasi ini. Kader-kader HMI tidak akan lagi dicap sebagai kader yang mendompleng sejarah kejayaan masa lalunya, tetapi kader yang mampu memproduksi sejarah sendiri.
Potensi besar kader HMI yang tersebar di kabupaten/kota di Indonesia ini adalah sesuatu yang harus dijaga. Diusia HMI yang ke 65 ini harus ada sebuah tekat bersama yaitu selalu menjadikan HMI sebagai harapan masyarakat Indonesia. Menjadikan HMI selalu memegang teguh ideologinya. Semua itu memang tugas berat, untuk itu renovasi gerakan HMI harus segera dilakukan.
Mewujudkan semua itu perlu dilakukan langkah-langkah strategis agar harapan tersebut tercapai secara maksimal. Meningkatkan solidaritas sesama kader merupakan keharusan yang dilakukan. untuk itu program-program harus dirancang meningkatkan itensitas interaksi sesama kader karena Tiada Solidaritas Tanpa Interaksi, Tiada Interaksi Tanpa Komunikasi.
Kedepan HMI sebagai organisasi kader tidak boleh mengabaikan pengkaderan karena pengkaderan adalah jantung organisasi. Ketika pengkaderan tidak ada lagi, maka HMI hanya akan tinggal nama saja. Training Formal dan informal di HMI harus lebih Sering dilakukan, Diskusi-diskusi ilmiah juga harus lebih sering lagi dilakukan.
Untuk eksternal gerakan HMI difokuskan pada isu-isu yang menyentuh masyarakat bawah seperti pendamping agenda pengentasan kemiskinan dan pengangguran, pemberdayaan pemuda. Akhirnya untuk mewujudkan harapan masyarakat Indonesia HMI harus dikembalikan kepada komunitasnya semula yaitu mahasiswa dan masyarakat (umat dan bangsa). Bahagia HMI, Bahagia Umat dan Bangsa.
Selamat ulang tahun Himpunan Mahasiswa Islam ke 65 bahagia HMI, yakin usaha sampai.
15 Pebruari 2012
66 Tahun HMI
Resolusi Ke HMI-an di Tahun Ke-66
________________________________________
Tanggal 05 Februari 66 tahun silam, Himpunan Mahasiswa Islam lahir di atas tanah Indonesia melalui prakarsa kakek Lafran Pane. Merupakan umur yang cukup senior bahkan lanjut di kelasnya. Mulai tahun 1947, detik demi detik, HMI berjalan menelusuri ruang-ruang kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Banyak lika-liku, bongkahan batu, jurang yang terjal, telah berhasil dilewati oleh sesosok HMI. Manis dan pahitnya kehidupan pun tidak ada yang tertinggal, atau belum pernah dirasakan oleh organisasi mahasiswa yang kata orang merupakan organisasi mahasiswa tertua di Indonesia ini.
Sampai saat ini pun lika liku kehidupan masih terus menghadang HMI di persimpangannya. Sudah merupakan suatu keniscayaan bahwa hidup penuh liku-liku, ada suka ada duka, semua insan pasti pernah merasakannya, kata lirik dangdut yang berjudul liku-liku ini. Semua jalan yang pernah di lalui oleh HMI tak pernah terlepas dari permasalahan, tantangan, gesekan entah itu internal HMI sendiri ataupun gesekan eksternal, inilah suatu keniscayaan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. HMI pernah berjuang mati-matian demi mempertahankan kemerdekaan, HMI pernah mendulang sukses, HMI pun pernah terpecah dan bergesek sehingga menelurkan dua dikotomi HMI. Kesemua kejadian yang pernah dilalui HMI merupakan keniscayaan yang harus dilewati.
HMI-ku Kini
Berbicara megenai keniscayaan suatu kehidupan, terutama kehidupan yang sedang dilalui oleh HMI dan para aktornya, kini HMI sedang berada dalam masa-masa sulit. Banyak propaganda yang ditujukkan untuk HMI, banyak isu dan wacana yang dilontarkan kepada HMI. Seakan-akan jika kita melihat pada angan-angan kita dan berkhayal setinggi-tingginya, HMI ibarat boneka barby kecil dan imut, yang dipeluk-peluk oleh pemiliknya ketika akan tidur, dijadikan teman bermain ketika dia kesepian, di buat seelok mungkin layaknya seorang putri dalam dongeng-dongen masa kecil, kemudian dicampakkan bahkan dibuang ketika ia sudah bosan.
Layaknya sebuah boneka tersebut, nasib HMI tergantung pada bagaimana aktor yang menjalankan HMI ini, dalam hal ini adalah kader. Baik burukya HMI, tergantung pada baik buruknya kader jika dalam bahasa yang dipakai oleh Parson, baik buruknya sistem sosial, tergantung pada bagaimana aktor dalam sistem tersebut dapat menjaga eksistensis sistem sosial dengan menginternalisasi nilai-nilai sistem. Anggap saja HMI ini sebagai sistem sosial, yang memiliki bagian-bagian di dalamnya, yang memiliki aktor yang menjalankan sistem ini. Dan NDP menjadi nilai-nilai yang harus terinternalisasi dalam sanubari aktor tersebut.
Mari kita tilik permasalah nyata yang ada, dualisme kepengurusan PB HMI misalnya. Adanya dualisme kepengurusan ini disinyalir merupakan implikasi atas ketidakpuasan beberapa aktor dalam permainan catur PB HMI atas ketua umum yang legal ketika itu. Entah berita akan penodaan nilai-nilai HMI yang dilakukan oleh ketua tersebut benar atau salah, terlepas dari itu, beberapa orang dalam tubuh PB HMI, memberikan reaksi atas berita penodaan tersebut. Sehingga beberapa orang kemudian mencoba mengambil alih puncuk kepemimpinan. Celakanya beberapa orang yang lain tidak menyepakati pengambil alihan kepemimpinan PB HMI.
Terlepas dari benar salahnya tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh ketua umum yang mempunyai otoritas legal formal tersebut, terlepas dari pergesekan yang ada di tubuh PB HMI, dapat diambil suatu makna implisit bahwa jika memang apa yang diberitakan terkait dengan perzinahan tersebut benar-benar terjadi, maka nilai-nilai dasar perjuangan HMI yang memuat akan nilai-nilai keimanan, keilmuan, dan pengamalan, tidak terinternalisasi dengan baik. Suatu nilai dapat dikatakan terinternalisasi jika nilai-nilai tersebut menjadi identitas diri, dalam hal ini diaplikasikan dalam perilaku sehari-hari.
Permasalah yang ada di PB HMI tersebut merupakan contoh kecil permasalahan yang mencuat di permukaan, terlihat dengan jelas oleh para kader HMI, dan mayoritas kader HMI pun juga merasakan akan atmosfer pergesekan di PB HMI tersebut. Dan tentunya, masih banyak permasalahan-permasalahan yang tidak nampak di permukaan, mulai HMI tingkat pusat, sampai tingkat komisariat dengan berbagai varietas dan kompleksitas permasalahannya. Mulai dari permasalahan nilai-nilai dasar, ideologi, perkaderan, sampai pada permasalahan politis. Ambil saja contoh terkait dengan partisipasi HMI dalam arena perebutan kekuasaan di kampus. Sering kali kader memberikan interpretasi yang salah atas garis perjuangan HMI. Merebut kursi kekuasaan menjadi presiden BEM tingkat fakultas maupun Universitas merupakan jalan yang menurut mereka harus di tempuh HMI.
Dengan megabaikan proses perkaderan yang sebenarnya, proses perkaderan yang terinstitusionalisasi dalam pedoman perkaderan HMI, mereka dengan gagah berani membusungkan dada, mengangkat pedang tanda perlawanan kepada rival politik kampus mereka. Kemudian, segala strategi dan taktik jitu pun mereka susun dengan cerdiknya, berbagai manuver pun dilakukan demi satu tujuan, yaitu merebut kekuasaan di kampus. Merupakan suatu tujuan yang sebenarnya bukan menjadi hal yang harus di perjuangkan dengan mati-matian. Dan celakanya beberapa diantara mereka rela untuk menumpahkan darah mereka demi kursi kekuasaan, beberapa diantara mereka tidak menghiraukan tujuan perkaderan yang sesungguhnya, yaitu menjadi sesosok insan cita. Untuk merebut kekuasaan saja rela mati-matian, sedangkan untuk mewujudkan kualitas insan cita, kata “mati-matian” bukan menjadi sesuatu yang penting lagi.
Beberapa contoh di atas, menunjukkan bagaimana HMI yang bercita-citakan mewujudkan akan misi “terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang di ridhoi ALLAH SWT” masih belum sampai. Akan tetapi, bagaimanapun, harapan dan keyakinan itu selalu ada di sanubari para kader, sehingga tidak salah jika slogan HMI adalah “Yakin Usaha Sampai”. Tidak hanya sebatas yakin, akan tetapi keyakinan tersebut harus ditopang pula oleh usaha-usaha nyata.
Teori Sosialisasi: Refleksi Kritis Dinamika Ke-HMI-An
Keyakinan akan sampainya misi HMI ini perlu ditopang oleh usaha-usaha nyata, usaha yang nantinya diharapkan akan mewujudkan kader-kader dengan kualitas insan cita, mewujudkan kader-kader yang berkualitas tinggi secara individu, berkualitas tinggi secara organisatoris, sehingga akan mewujudkan HMI dengan kualitas yang tinggi dan masyarakat adil makmur yang di ridhoi Allah SWT.
Teori sosialisasi yang akan dibicarakan ini tidak menjamin hal-hal diatas dapat terwujud, akan tetapi teori ini sedikit banyak akan menjelaskan bagaimana usaha-usaha untuk mewujudkan cita-cita tersebut yang kesemuanya tergantung bagaimana usaha aktor yang menjalankan.
Teori ini biasa juga disebut dengan asosiation differencial yang di gandrungi oleh Sutherland. Dengan teori sosialisasi ini Sutherland mencoba untuk menganalisis perilaku menyimpang dari etiologi dan epidemiologinya (penyebab dan penyebarannya). Meskipun teori ini digunakan untuk menganalisa perilaku menyimpang, secara a priori, teori ini pun juga mampu untuk memberikan analisa terhadap perilaku yang conform. Inti dari teori ini adalah semua perilaku entah itu yang anomic ataupun yang conform, merupakan hasil dari proses belajar dan/dalam proses interaksi sosial (determinasi lingkungan sosial), melalui proses belajar dan berinteraksi inilah, setiap orang akan mempelajari bagaimana seharusnya mereka bertindak secara benar atau justru bagaimana penyimpangan tertentu itu dilakukan.
Apa yang terjadi di tubuh HMI dewasa ini terkait dengan permasalahan-permasalahan yang mencuat, entah itu dalam tataran PB sampai tataran Komisariat, merupakan hasil dari proses belajar para kadernya, entah itu pembelajaran dalam HMI ataupun di luar HMI. Pun demikian dengan banyaknya kader emas yang bermunculan dari tubuh HMI, merupakan produk dari proses pembelajaran sebelumnya. Oleh karena itulah, pembelajaran yang paling mendasar di tingkat komisariat perlu untuk ditingkatkan kembali, dilakukan upaya pengawasan, membuat lingkungan sosial yang kondusif, yang sarat akan nilai-nilai dasar perjuangan.
Dengan terwujudnya lingkungan sosial yang sarat akan nilai-nilai dasar perjuangan HMI, maka proses belajar dalam interaksi sosialnya pun berpotensi besar ikut terharumkan akan aroma wangi Nilai-Nilai Dasar Perjuangan. Jika dalam interaksi sehari-hari para kader sudah diselimuti oleh nafas Nilai-Nilai Dasar Perjuangan, maka sadar atau tidak, sengaja atau tidak, kader pun akan terselimuti pula oleh Nilai-Nilai Dasar Perjuangan, nafasnya, aroma tubuhnya, kerdipan matanya, senyumannya yang indah dan manis, dan seluruh aktivitasnya. Seorang yang secara terus menerus dekat atau bersama dengan orang yang berjualan parfum, setiap detik dia bersama orang tersebut di tokonya, meskipun dia bukan penjual parfum, akan tetapi, aroma wanginya pun akan turut bersama dia. Oleh karena itu, mari kita ciptakan lingkungan sosial kita, dengan lingkungan yang sarat akan Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI, dimulai dari diri kita masing-masing. YAKUDSA (Yakin Usaha dan Do’a Sampai) !!!
HMI dan Produksi Politisi
Mohammad Nasih
________________________________________
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang berulang tahun hari ini merupakan organisasi kemahasiswaan yang telah melahirkan banyak politisi. Dibandingkan dengan organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan yang lain, bisa dipastikan bahwa HMI-lah yang paling banyak berkontribusi dalam menyediakan kader politisi.
Namun, ini bukan berarti bahwa jumlah kader HMI yang kemudian menjalani karier sebagai politisi paling banyak. Dalam lini-lini kehidupan selain politik, sangat mudah ditemukan kader-kader HMI, terutama dalam birokrasi kampus, birokrasi pemerintahan, pengurus ormas, aktivis LSM, wirausaha, bahkan militer. Karena jumlah kader politisi yang sangat banyak, alumni HMI berdiaspora ke seluruh partai politik yang ada di Indonesia.
Perbedaan pilihan dalam melakukan afiliasi politik bagi kalangan kader HMI sudah dianggap sebagai sesuatu yang sangat biasa. Dalam perbedaan itu, para alumni HMI bisa berkumpul dengan penuh kehangatan laiknya satu keluarga yang dinamis. Sama sekali tidak ada fanatisme dan sinisme karena perbedaan pilihan afiliasi politik. Karena itu, alumni HMI ada di semua partai politik, baik yang berdasar formal Islam, nasionalisme, maupun yang lainnya, kecuali yang secara jelas dan tegas menjadikan agama non-Islam sebagai dasar formal pendirian atau ideologi.
Dalam menjalani aktivitas politik, alumni HMI terbilang sangat menonjol dan tidak sedikit yang menjadi pemimpin puncak partai politik, terutama di era pasca-Reformasi. Tidak hanya di level nasional, tetapi juga di level provinsi dan kabupaten/kota. Alumni HMI yang sangat menonjol dalam politik biasanya karena memiliki dua keunggulan sekaligus yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.
Dua keunggulan yang ada pada kader HMI itulah yang menyebabkan HMI menjadi kawah candradimuka untuk tidak menyebutnya industri politisi yang tidak pernah kekurangan stok. Keunggulan komparatif dimiliki karena HMI merupakan organisasi kemahasiswaan tertua dan terbesar sehingga potensi untuk memiliki kader-kader dengan kapasitas yang lebih baik juga lebih besar. Di antara sekian banyak kader yang terjaring oleh organisasi HMI, terdapat bibit-bibit kader yang sangat potensial.
Mereka itulah yang memiliki kapasitas akademik di bidang-bidang tertentu yang mereka geluti. Secara kuantitatif, ini terbukti dengan prestasi akademik di kampus dengan menjadi mahasiswa-mahasiswa terbaik. Mereka yang memiliki keunggulan ini biasanya sangat mudah untuk melanjutkan karier sebagai pengajar di perguruan tinggi, baik tempat mereka belajar atau perguruan tinggi yang lain. Sedangkan keunggulan kompetitif dimiliki oleh kader-kader HMI karena mereka berada pada budaya organisasi yang egaliter.
Dalam budaya egaliter tersebut, para kader HMI bisa bersaing secara bebas untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin organisasi. Tradisi ini menjadikan kader-kader HMI mengalami tempaan keras, terutama secara mental, karena harus mengalami tekanan dan tantangan berat dalam menjalani proses kompetisi.
Kebiasaan dalam suasana persaingan ketat inilah yang membuat kader-kader HMI memiliki kesiapan untuk menjalani dunia politik yang memang bisa dikatakan tidak pernah sepi dari kompetisi untuk memperebutkan posisi-posisi politik yang dianggap strategis. Tentu saja tujuan idealnya adalah agar bisa menjadikan posisi-posisi tersebut sebagai sarana untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Sinergi Positif
Dalam konteks struktur kenegaraan demokratis di Indonesia saat ini, banyak alumni HMI yang berada pada tiga poros kekuasaan (trias politica): legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Karena jumlah mereka yang berada dalam partai politik terbilang sangat banyak, dengan modal dua keunggulan yang mendukung, peluang mereka terpilih dalam pemilu juga menjadi besar.
Secara empiris, itu tampak dalam banyaknya alumni HMI yang terpilih menjadi anggota legislatif, baik di level nasional maupun daerah. Tidak ada fraksi yang sama sekali nihil dari alumni HMI. Demikian juga dalam struktur eksekutif dan yudikatif. Sejak era Orde Baru, struktur kabinet juga cukup dominan dengan kader HMI, baik karena pertimbangan politik, profesionalisme, atau bahkan kedua-duanya.
Keberadaan mereka yang lintas partai dan lintas poros tersebut memungkinkan mereka membangun jaringan. Karena itulah pernah muncul istilah “HMI connection”. Para alumni HMI tetap mampu menjalin komunikasi yang sangat intensif. Walaupun dalam konteks-konteks tertentu mereka terlibat konflik yang sangat sengit, tetapi dalam konteks-konteks yang lain mereka mampu bersinergi dengan sangat baik.
Komunikasi antaralumni HMI menjadi sarana yang sangat efektif untuk mengusung agenda-agenda politik tertentu. Tentu saja komunikasi ini menjadi sarana yang terbilang netral. Dengan kata lain, komunikasi ini bisa dimanfaatkan untuk melakukan sinergi untuk menghasilkan sesuatu yang positif, tetapi tak jarang juga komunikasi ini menghasilkan sesuatu yang negatif dan berakibat destruktif. Tidak sedikit alumni HMI yang berurusan dengan aparat penegak hukum karena diduga dan ada juga yang telah divonis hukuman akibat melakukan tindakan penyelewengan kekuasaan.
Namun, menilai bahwa mayoritas alumni HMI adalah amoral juga tidak fair karena terlalu banyak alumni HMI yang menjalani aktivitas politik dan bertahan dengan idealisme sebagaimana tujuan HMI yakni: “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridai Allah SWT”. Di samping itu, lebih banyak lagi alumni HMI yang menjalani karier di luar dunia politik.
Akhirnya HMI sebagai kawah candradimuka yang selalu melahirkan kader politisi sangatlah penting. Politiklah yang bisa memengaruhi secara dominan perubahan negara dan masyarakat. Jika politik diisi oleh orang-orang yang baik, negara dan masyarakat akan baik. Namun, jika didominasi oleh mereka yang jahat, negara dan masyarakat juga akan rusak.
Karena itu, HMI memiliki tanggung jawab besar untuk melakukan kaderisasi yang bisa melahirkan politisi yang baik agar diaspora politik alumni HMI menghasilkan sinergi dalam membangun dan mengembangkan idealitas sebagai kader umat dan bangsa guna mewujudkan baldatun thayyibatun (negeri yang baik). Sinergi dengan orientasi itulah yang akan membuat HMI senantiasa mendatangkan keberkahan sehingga tetap menjadi harapan masyarakat Indonesia. Wallahu a’lam bi alshawab.
(Dr MOHAMMAD NASIH, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ Wakil Rektor STEBANK Islam Mr Sjafruddin Prawiranegara)
Mengasah Kembali Taring HMI
(Refleksi Milad HMI Ke 66 Tahun)
Oleh: Zamhari
________________________________________
Hari ini, 5 Februari 2013 adalah Milad Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) ke-66. Hari ini juga mengingatkan kita tentang tamparan keras dari senior Alm. Nurcholis Madjid (Cak Nur) Ketua Umum PB HMI 1966-1971.
“Sebaiknya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dibubarkan saja agar tidak menjadi bulan-bulanan dan dilaknat!”. Tamparan keras tersebut disampaikan dalam seminar bertajuk Sehari Kepemimpinan dan Moralitas Bangsa Dalam Era Reformasi di Auditorium LIPI, Jakarta. (Media Indonesia, 14/06/2002).
Sebagai sesepuh organisasi mahasiswa Islam terbesar di Indonesia, HMI seperti dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan dari perjalanan sejarah berdirinya bangsa Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan, HMI terus menggelorakan semangat mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Kemudian, dibawah tekanan Rezim Soeharto, HMI mampu mempertahankan Islam sebagai asas tunggal sekaligus terus berjuang meluruskan pengamalan nilai-nilai suci Pancasila yang diselewengkan pada masa Orde Baru. Penyelewengan Pancasila tersebut berdampak rendahnya martabat bangsa Indonesia dimata negara lain dan meluasnya korupsi, kolusi dan nepotisme.
Puncaknya, HMI berhasil menggulingkan rezim Soeharto tahun 1998. Tak dapat dipungkiri, sejarah mencatat kegemilangan HMI dari generasi ke generasi. Sampai saat ini, HMI telah berhasil mencetak kader-kader berkualitas seperti Abraham Samad, Jusuf Kalla, Anis Baswedan, Mahfud MD dan lain-lain. Dari keberhasilan tersebut, masih banyak “PR” yang harus dikerjakan kader-kader HMI kedepan. Yakni sesuai cita-cita HMI “Terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan ulil albab yang turut bertanggungjawab menciptakan tatanan masayarakat yang diridhoi Allah Swt.”
Sebenarnya melihat kondisi riil saat ini, dapat dibilang kader-kader HMI dilema romantisme sejarah. Kader-kader HMI saat ini lebih cenderung mengagung-agungkan sejarah, bahkan dijadikan kekuatan untuk diskusi intelektual. Alhasil, kader-kader terkesan menggantungkan eksistensinya dari kebesaran senior, sejarah dijadikan euforia jubah untuk berlindung dari kecarut-marutan organisasi internal maupun eksternal.
Di Milad HMI ke-66 ini, momen yang sangat tepat untuk bangun dari tidur panjang keterpurukan. Jangan sampai kader HMI menjadi potret kader intelektual “jarkoni” alias jarang nglakoni yang buta menatap masa depan. Pujangga Arab mengatakan; “Ilaisal fata man ya qulu kana abi, wa lakinnal fata man ya qulu ha anadza”. Artinya, bukan seorang pemuda yang menyatakan ini-itu “bapakku”. Namun, pemuda adalah yang menegaskan; “inilah aku yang berkarya dan berprestasi”.
Kader pemuda-i HMI harus kembali melaungkan khittah (landasan) HMI seperti tahun 1947 sesuai konteks zaman. Anggota HMI seharusnya mampu menjiwai tujuan terciptanya HMI, yakni menjadikan masyarakat muslim kaffah dan menjunjung tinggi derajat Bangsa Indonesia. Agenda-agenda meningkatkan jiwa spiritualitas dan kereligiusan diharuskan, mengingat dua hal tersebut sebagai pondasi dasar HMI dalam mengarungi arus globalisasi. Diharapkan, HMI pun dapat menjadi panutan organisasi Islam dalam menjunjung tinggi spirit nilai-nilai otentik Islam. Jika tidak, asas Islam hanya akan tinggal nama yang akhirnya menjadi momok tersendiri bagi Ummat Islam.
Saat ini, miris bila menyaksikan kader-kader organisasi pemuda Islam zaman ini, hanya pandai berhura-hura. Kaburnya orientasi dan arah organisasi Islam tersurat ketika nilai-nilai otentik Islam sebagian kader mulai memudar seperti komunikasi laki-laki dengan perempuan kurang dijaga, bibir berkata kotor, sholat tidak terpelihara. Padahal shalat adalah merupakan aset terbentuknya kekuatan Ummat Islam.
Untuk itu HMI harus tampil beda di tengah-tengah krusialnya masalah dekadensi moral bangsa ini, tentu dengan berpegang teguh pada khittah HMI (Quran dan hadits). Jika kadernya “mbalelo” bagaimana bisa mewujudkan cita-cita HMI yang mulia? Setiap hari tak luput dari satupun di media massa selalu disuguhi kasus-kasus asusila seperti perkosaan, perampokan, bunuh diri, gratifikasi seks, korupsi dan lain-lain. Pertanyaannya, seberapa besar pengaruh eksistensi HMI dalam turut serta membangun masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah Swt?
Tentu perubahan besar tidak semudah membalikkan telapak tangan, perlu proses untuk melangkah kesana. Namun, tidak ada yang tak mungkin jika ghirah azzam dimulai dari dalam diri sendiri guna mewujudkan cita-cita HMI. Tak lupa “Jas Merah” juga harus kita kenakan, yakni jangan sekali-kali melupakan sejarah, ungkapan yang pernah dilontarkan Ir. Soekarno sangat urgen untuk direnungkan. Dengan sejarah kita mampu menjiwai setiap perjuangan para pendahulu kita. Hemat penulis, kader-kader saat ini harus memperkokoh hubungan vertikal dan horizontal. Hubungan vertikal terkait syariat yakni mendekatkan Allah Swt dengan shalat lima waktu terjaga dan berjamaah, shalat tahajud tidak terlupa, dhuha tak tertinggal dan puasa tak dikesampingkan.
Kedua, yakni hubungan horizontal, mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Memperkuat jalinan ukhuwah Islamiyah sesama kader, sehingga satu Marakom ibarat satu tubuh yang bila ada yang luka, yang lain ikut merasakan dan mengobatinya. Semua yang disana sudah menjadi milik bersama. Hal ini juga jelas diterangkan dalam Surah Ash-Shaffat ayat 4: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”. (QS. Ash-Shaf, 61:4)
Kader-kader HMI juga harus “melek informasi” sehingga tidak tertinggal dengan arus globalisasi. HMI diharapkan selalu menjadi penengah dalam segala independensinya tentu membela keadilan dan kebenaran serta menolong yang lemah. Seperti yang termaktub dalam ayat Al Quran diantaranya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapatkan rahmat”.(QS.Al-Hujuraat,49:10) “Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang. Dan bersabarlah, sungguh Allah bersama orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Anfaal, 8:46). Jika hal tersebut sudah ditanamkan kader-kader HMI, HMI akan menjadi pembeda dari organisasi-organisasi Islam yang lain. Kader HMI sukses dalam pembinaan kader intelektual dan spiritual yang dapat mengantarkan kesuksesaan di dunia dan di akhirat.
Di Milad HMI ini, marilah kita kembali merenung, bermuhasabah apa tujuan kita berorganisasi HMI. Sudahkah pantas selama ini apa yang kita lakukan sebagai seorang muslim? Apakah perilaku, pakaian, perkataan, perasaan kita benar-benar membawa kepada cita-cita HMI yang luhur (keridhoan Allah Swt) ?
Hidup hanya sekali, jika tidak berkah, di dunia akhirat bakal susah. Semoga Milad HMI ke 66 tahun ini benar-benar dapat membawa cita-cita tuk mendapat ridho Allah Swt. Harapannya, kelak kita akan berkumpul kembali dalam syurga yang penuh kenikmatan bersama Keluarga Besar HMI dan seluruh Ummat Islam. Bercengkrama dengan Rosulullah dan dapat menatap wajah Allah Swt yang selalu menjadi kerinduan seluruh Ummat Muslim yang selalu berusaha menjadi insan ulil albab. Yakin Usaha Sampai. Bahagia… HMI… Alfatihah…(Zamhari - Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga)
Refleksi 66 Tahun HMI,
Antara Sejarah dan Perubahan
Oleh : Ahmad Edison
________________________________________
Merefleksi perjalanan sejarah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sudah semestinya kita perlu melakukan perubahan – perubahan baik ditingkat PB HMI, Badko, Cabang, Korkom dan Komisariat, HMI dengan kondisi pergolakan sejarahnya yang melibatkan para tokoh–tokoh mahasiswa yang kehadirannya di bangsa ini dengan ide–ide cemerlangnya, yang mana salah satu tokoh mahasiswa Lafran Pane bersama empat belas temannya mencetuskan HMI lahir pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H bertepatan dengan tanggal 5 Februari 1947 M di Yogyakarta.
Mengutip ungkapan sejarawan Sartono Kartodirjo: Siapa yang mengontrol masa lampau, akan menguasai masa depan. Sebagai penjawab atau juru kunci masa lampau, sejarawan mempunyai tanggung jawab besar. Ia wajib mempertahankan baik integritas sejarah maupun integritas pribadi sendiri. Studi sejarah HMI berupa kritikan masa lampaunya, yang pada masa peristiwa itu terjadi mungkin dapat dibenarkan atau justru disalahkan, atau sebaliknya. Bisa terjadi, masa lampau HMI pada saat sekarang ini dengan alasan–alasan objektif maupun subjektif dapat disalahkan, atau karena pandangan kritis dapat dibenarkan, karena mahkamah sejarah sudah membuktikan kebenarannya. Dari dua yang pradoksal itu, integritas sejarah harus ditegakkan.
HMI ketika didirikan hanya beranggotakan lima belas mahasiswa, belum ada komisariat, belum ada cabang. Namun pertumbuhan organisasi yang didirikan Lafran Pane dan teman–temannya berkembang pesat, reputasinya menanjak dan namanya tersohor. Anggota HMI terus berkembang. Hampir di seluruh perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, terdapat organisasi Himpunan Mahasiswa Islam.
Di awal geliatnya aktivis HMI terdiri dari para mahasiswa dari perguruan tinggi seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Indonesia (UII), Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Padjadjaran (UNPAD), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Airlangga (UNAIR), Universitas Diponegoro (UNDIP), Universitas Hasanuddin (UNHAS), Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM), Universitas Brawijaya (UNBRAW), dan lain – lain. Banyak faktor yang melatarbelakangi mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi tersebut sangat berminat masuk Himpunan Mahasiswa Islam. Mungkin, saat itu HMI mempunyai daya tarik tersendiri, bisa juga karena Himpunan Mahasiswa Islam mampu memberikan kebutuhan Student Need dan Student Interest, bisa juga pada saat itu waktu kuliah yang ditempuh sangat longgar sehingga berorganisasi tidak mengganggu kuliah dan demikian juga sebaliknya.
Tanggal 5 Februari 2013 HMI mencapai usia 66 tahun, usia matang sebuah organisasi mahasiswa. Himpunan Mahasiswa Islam sejak berdirinya telah melewati lima Zaman yang watak dan tantangannya berbeda dan terkristal dalam citra, budaya, network, dan sistem HMI seperti sekarang ini. Walaupun melewati berbagai zaman itu, normal atau kritis, cita–cita HMI ternyata tetap seperti ketika lahir, yaitu : (1) Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan NKRI, dan (2) Menegakkan syiar Islam sebagai rahmatan lil alamin. Dengan cita – cita itu, Panglima Besar Jenderal Sudirman pernah menyatakan HMI, bukan saja berarti Himpunan Mahasiswa Islam, tetapi juga, Harapan Masyarakat Indonesia. Cita – cita itu yang dirumuskan dalam tujuan HMI, berlaku sampai sekarang : Terbinanya Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
Himpunan Mahasiswa Islam telah banyak menyimpan masa lampau yang sering dipersoalkan dan dikritik dari dalam dan luar HMI. Bukti historis adanya kritikan terhadap HMI dan masa lampaunya, terlihat transparan dari tulisan–tulisan diberbagai mass media, dari tahun 1947 hingga sekarang, dari sekian banyak tumpukan masa lampau HMI.
Berbagai usaha yang dilakukan untuk konsolidasi organisasi di masa kini sebagai masalah besar sepanjang masa, telah menempatkan HMI pada kondisi yang lebih baik dari sebelumnya, untuk berkiprah ditengah–tengah kehidupan bangsa Indonesia mencapai tujuannya. Setelah 60 tahun lebih menghadirkan dirinya ditengah–tengah kehidupan bangsa Indonesia, HMI telah merupakan realitas dan bagian bangsa Indonesia kata Akbar Tanjung. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa sejarah Himpunan Mahasiswa Islam adalah bagian logis dari sejarah bangsa Indonesia. Memisahkan sejarah HMI dengan sejarah nasional kita bukan saja tidak mempunyai dasar historis, tetapi juga bertentangan dengan fakta historis. HMI lahir dari kerangka aktualisasi nilai–nilai Islam. Islam dipahami dan ingin diaktualisasikan pada ruang sosial yang bernama Indonesia.
Nurcholish Madjid ketika menulis untuk menyambut Dies Natalis ke-43 HMI menyebutkan :
“Jika tahun 1966 disebut, maka asosiasi pertama seorang Indonesia ialah kepada satu angkatan yang sangat erat kaitannya dengan tumbangnya Orde Lama dan Lahirnya Orde Baru. Dan kalau kita pusatkan perhatian kita hanya kepada KAMI ( Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia ) saja, maka peranan dominasi HMI sangat nyata. Bahkan tidak berlebihan penilaian banyak pengamat bahwa sebenarnya KAMI adalah paralel, jika tidak identik dengan HMI. Suatu hal yang menimbulkan kecemburuan banyak kalangan.”
Ungkapan Akbar Tanjung maupun Nurcholish Madjid tersebut, menandakan bahwa Himpunan Mahasiswa Islam dalam kiprah perjuangan menunjukan sangat aktif, melebihi organisasi mahasiswa yang lain. Akan tetapi bagaimana kondisi HMI di tengah realitas kehidupan bangsa Indonesia sekarang ini? Himpunan Mahasiswa Islam sejak tahun 1980 sampai sekarang, yang mana sejak tahun 1979 HMI kiprahnya masih menonjol, namun memasuki tahun 1980, mengalami degradasi baik secara organisatoris, aktivitas, dan pemikiran. Jika degradasi ini disepakati, maka pembahasannya semakin jelas, dan evaluasi atau kritikan yang dilakukanpun dapat memenuhi sasaran yang semestinya.
Usia yang lebih dari setengah abad tentu memberikan makna tersendiri bagi organisasi. Secara positif, organisasi ini pasti telah dewasa karena banyak pengalaman. Tetapi di balik kedewasaan itu, tentu organisasi ini banyak menghadapi kendala yang bisa menghambat perkembangannya. Hal ini mengingatkan pada pandangan sosiolog Muslim Ibnu Khaldun yang mengungkapkan tentang teori siklus negara (organisasi), dimana organisasi hadir (lahir), mengalami fase maturitas (kedewasaan) dan fase penuaan (penurunan), sebelum akhirnya kematian. Pandangan tersebut memang sederhana tetapi sarat pesan, bahwa apabila organisasi ingin abadi, maka jangan terjebak untuk segera masuk pada fase penuaan. Maka, dalam konteks inilah, sangat dapat dipahami pandangan yang menekankan bahwa Himpunan Mahasiswa Islam harus melakukan revitalisasi, reaktualisasi dan rejuvenasi (penyegaran kembali) dalam Refleksi 66 tahun HMI.
(Sekretaris Umum HMI Cabang Baubau Periode 2012–2013)
Tulisan ini untuk memperingati Milad HMI Ke-66 yang dilaksanakan HMI Cabang Baubau.
Refleksi 66 Tahun HMI: Membangkitkan Krisis Intelektual HMI Dengan Gerakan Intelektual Kreatif
Oleh: Nur Rachmansyah
________________________________________
Pada tanggal 5 Februari 1947 bertepatan dengan 14 Rabiul awal 1366 H telah di deklarasikan berdirinya sebuah organisasi mahasiswa Islam yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Lahirnya HMI di kala itu diprakarsai oleh Lafran Pane, mahasiswa dari Sekolah Tinggi Islam (STI). Konon, menurut catatan sejarah, HMI lahir di dalam ruang kuliah pada saat perkuliahan sedang berlangsung. Selain itu juga situasi politik, ekonomi, sosial, pendidikan, agama dan kebudayaan jugalah yang turut mematangkan kelahiran dan keberadaan HMI pada masa itu. (Nef Saluz, 2009: 33)
Menurut Agussalim Sitompul, salah seorang alumni HMI yang selama ini aktif menulis sejarah HMI, faktor mendasar berdirinya HMI sekurang-kurangnya ada tiga hal. Pertama, adanya kebutuhan penghayatan keagamaan di kalangan mahasiswa Islam, yang sedang menuntut ilmu di perguruan tinggi, yang selama itu belum mereka nikmati sebagaimana mestinya. Karena pada umumnya mahasiwa Islam belum memahami dan kurang mengamalkan ajaran agamanya, sebagai akibat dan kondisi pendidikan dan kondisi masyarakat kala itu. Kedua, Tuntutan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, yang ingin melepaskan diri, bebas sebebas-bebasnya dari belenggu penjajahan. Ketiga, Adanya Sekolah Tinggi Islam (STI) yang kini menjadi Universitas Islam Indonesia (UII), sebagai ajang dan basis mahasiswa Islam saat itu. Apalagi secara sosiologis bangsa Indonesia mayoritas berpenduduk Islam. (Sitompul, 1997:12)
Satu hal yang harus diakui dari kelahiran dan eksistensi HMI dalam sejarah kemahasiswaan di Indonesia adalah dalam bidang intelektualisme Islam. Deliar Noer, Nurcholis Madjid, Ahmad Wahib, dan Dawam Rahardjo ialah nama-nama yang pernah dibesarkan oleh HMI. Kebesaran HMI antara lain karena ketekunannya dalam melakukan kaderisasi bidang intelektual. Saat itu HMI berhasil menampilkan diri sebagai organisasi mahasiswa yang berani melakukan trobosan intelektual dengan pemikiran alternatif yang mampu mencairkan kebekuan pemikiran Islam pada masa itu. (Ghazali, 1997: 568)
Pada tahun 1970-an misalnya, pucuk pimpinan HMI yang diwakili Nurcholis Madjid (Cak Nur) sudah mampu menerobos pemikiran Masyumi, yaitu dengan mengeluarkan gagasan fenomenal ‘Islam Yes, Partai Islam No’. Betapa pun banyak yang tidak setuju dengan gagasan Cak Nur kala itu. Tetapi, akibat pengaruh dari gagasan tersebut, banyak partai dan ormas melakukan deideologisasi karenanya.
Kini 66 tahun sudah semenjak berdiri, bisa jadi, sejarah di atas hanyalah sekedar contoh, betapa HMI pernah mewarnai khazanah pemikiran intelektual. Karena melihat tiga dasawarsa terkahir, tradisi intelektual itu telah meredup. Dan, kini rasanya sangat sulit mencari indikator bertahannya tradisi HMI secara intelektual. Bahkan tidak salah apabila dikatakan bahwa tradisi intelektual HMI kini telah menjadi butiran sejarah atau kenangan manis masa lalu.
Dekadensi Intelektual
Pada era HMI saat ini, tampaknya tradisi intelektual HMI tidak sekadar meredup tapi sudah bisa dikatakan hampir menghilang. Para aktivis HMI saat ini sudah tidak tertarik lagi dengan suasana intelektual dan forum-forum diskusi. Bisa di lihat pada diskusi atau training-training yang diadakan oleh Komisariat maupun Cabang sungguh sepi dari peminat. Saya merasakan sendiri, dikala acara yang benuansa intelektual, minat kader HMI untuk berpartisipasi sangat minim. Seperti pada waktu yang lalu, saya mengikuti sekolah filsafat yang diselenggarakan oleh HMI Cabang Yogyakarta. Peserta dari sekolah tersebut sangat sedikit bahkan bisa dihitung jari. Hal tersebut sebenarnya tidaklah sebanding dengan kuantitas kader HMI di wilayah Cabang Yogyakarta yang sangat banyak. Saya juga memperhatikan, kalau pun ada diadakan diskusi atau forum-forum intelektual itu hanyalah sebatas rutinitas belaka. Tidak ada folow up atau gagasan yang brilian lahir dari forum-forum tersebut. Bahkan, dari cakupan yang lebih luas lagi, bisa dikatakan juga bahwa seluruh kegiatan HMI berkutat pada rutinitas belaka. Saat ini HMI hanya berkutat dalam pergantian kepengurusan, mengadakan training, diskusi, demontrasi, dan lain-lain, yang hanya menghasilkan orang-orang yang pintar berpidato dan bersidang. Barangkali benar, apa yang menjadi kritik dari sebagian alumni, kalau kualitas HMI sekarang sudah jauh daripada dahulu.
Bahkan yang menjadi paradoks di dalam HMI, saya melihat kader-kader HMI itu justru banyak yang lebih suka terhadap kegiatan yang sifatnya ceremonial dan hiburan belaka. Contohnya, ketika diadakan kegiatan futsal atau pun refresing, maka banyak sekali kader yang ikut serta. Itu tidak sebanding peminatnya ketika pada saat diadakan diskusi, seminar, training atau pun kegiatan yang bersifat intelektual lainnya.
Gerakan Intelektual Kreatif
Saya tertarik dengan sebuah opini dari saudara Bhima Yudhistira, kader HMI Cabang Sleman, yang ada di HMINEWS.COM berjudul “Komunitas Keatif Untuk Apa?”. Dalam opininya, saudara Bhima mengkritisi tentang komunitas kreatif yang telah digagas oleh Pengurus Besar (PB) HMI. Saudara Bhima mempertanyakan seperti apakah sebenarnya kominitas kreatif yang dimaksud oleh PB HMI. Apakah semacam perkumpulan art-designer yang gemar corat-coret dan membuka distro? Atau berpikir untuk kemajuan pemikiran di HMI secara kreatif? (HMINEWS, Bhima Yudistira: 18 April 2012)
Menanggapi opini dari Bhima Yudistira, sebenarnya saat ini di HMI sudah ada bentuk dari komunitas kreatif. Saya mengambil contoh seperti, Komunitas Belajar Menulis (KBM) yang dipelopori oleh Ahmad Sahide. KBM ini adalah salah satu komunitas kreatif yang dimiliki HMI saat ini. Betapa tidak, adanya KBM cukup memberikan angin segar di tengah miskinnya kreativitas HMI. Secara umur KBM masih sangat relatif muda yang lahir sekitar bulan Desember 2010, tetapi KBM sudah membuktikan dengan melahirkan karya-karya intelektual. Sudah lahir beberapa karya dari KBM antara lain berupa buku, ‘Kusimpan Kau Dalam Puisi’, ‘Pesan Mama Tentang Kematian Yang Indah’, serta beberapa tulisan anak KBM yang dimuat oleh media, koran dan majalah.
Menurut saya, sebenarnya adanya KBM ini haruslah direspon oleh HMI secara keseluruhan. Untuk menopang keintelektualan HMI, tidak bisa diharapkan hanya menjadi tanggung jawab dari struktur HMI saja. Tetapi harus ditanggapi oleh seluruh kader HMI, untuk bisa membuat berbagai macam komunitas kreatif. Silahkan kader HMI membuat komunitas kreatif, dalam ranah apa pun. Bagi kader HMI yang suka menulis, bisa membuat komunitas menulis. Bagi kader yang suka menonton film, bisa membuat komunitas pencinta film. Untuk kader yang suka filsafat, silahkan membuat komunitas kajian filsafat. Yang jelas, komunitas apa pun dapat dibuat sesuai dengan minat dan bakat. Dan yang terpenting adalah komunitas kreatif tersebut bisa menunjang intelektualitas kader HMI.
Adanya komunitas kreatif, itu membuktikan bahwa masih ada intelektual kreatif, meskipun dalam jumlah yang kecil. Tetapi alangkah lebih baiknya jika saat ini HMI memiliki banyak komunitas kreatif. Untuk PB HMI, yang sudah menggagas dari gerakan komunitas kreatif ini, diharapkan bisa membumikan lagi wacana tersebut. Apabila komunitas keatif tersebut bisa berjalan dengan lancar secara tekun, maka tidak menutup kemungkinan bahwa HMI saat ini bisa kembali melahirkan tokoh-tokoh intelektual. HMI harus tetap optimis dan berusaha, bahwa sebenarnya HMI bisa kembali seperti pada masa keemasan HMI.
Paradigma ‘Intelektual Profetik’
Menurut saya, gerakan intelektual kreatif saat ini haruslah memiliki landasan keintelektualan. Agar secara pondasi intelektual, gerakan intelektual kreatif juga memiliki landasan paradigma yang kuat. Jadi secara objektif ada indikator yang kongkrit sebagai paradigma dan standarisasi intelektual, yang menjadi landasan dari gerakan intelektual kreatif. Saya disini menawarkan untuk memberikan standarisasi tersebut, yaitu dengan gagasan paradigma ‘intelektual profetik’.
Intelektual profetik adalah sebuah akronim. Pengabungan dari dua kata yang diserap dari bahasa inggris yakni kata intelectual (orang pandai, teknokrat, moralis) dan Prophet (Nabi). Apabila diartikan menggunakan bahasa Indonesia, intelektual profetik akan memiliki arti sebagai orang pandai atau ilmuwan dengan paradigma kenabian. Serta di dalamnya ada sosok yang mencirikan kenabian. Dalam artian, intelektual profetik ialah seorang yang memiliki konsep agama dalam menjalani kehidupannya. Segala sudut pandangnya terhadap persoalan dunia selalu berdasarkan pada ajaran nabi. Segala perkataan dan perbuatannya selalu merujuk pada perkataan dan perbuatan yang dicontohkan oleh nabinya.
Sebenarnya Al-Qur’an juga telah menjelaskan bagaimana ciri dari intelektual profetik tetapi dengan bahasa ulil albab. HMI pun secara eksplisit sudah menyebutkan “membentuk insan ulil albab” sebagai tujuan organisasi. Menurut saya, bagaimana jika HMI juga menafsirkan ulil albab tersebut menjadi intelektual propetik. Intelektual yang mampu menyelaraskan antar hasil penalaran akal dengan hasil penalaran wahyu. Jadi seharusnya dalam perkaderannya, HMI diharapkan mampu menciptakan kader-kader yang mempunyai paradigma kenabian. Dengan kata lain sosok yang tercermin dalam seorang kader dapat memposisikan diri sebagai intelektual profetik.
Jadi, dalam konteks kekinian, HMI perlu merefleksikan urgensi gerakan intelektual kreatif. Dan gerakan intelektual kreatif tersebut memiliki landasan paradigma intelektual profetik. Intelektual yang memiliki jiwa atau semangat kenabian.[]
(Nur Rachmansyah, Kader Himpunan Mahasiswa Islam Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (HMI FH UII), Anggota penggiat Komunitas Belajar Menulis (KBM).)
Mengilhami 66 Tahun Perjuangan HMI
0leh : Renaldy Permana
________________________________________
Selayaknya sebuah organisasi pastilah memiliki dasar dan tujuan yang melandasi berdirinya organisasi itu. Dalam rahim pergolakan revolusi pasca kemerdekaan dalam mempertahankan kemerdekaan NKRI dan kejumudan pemikiran-pemikiran keislaman baik secara nasional maupun universal HMI lahir ditengah-tengah masyarakat Indonesia dengan dua tujuan utamanya, yaitu mempertahankan kemerdekaan NKRI dan mempertinggi harkat derajat bangsa dan rakyat Indonesia dan menyiarkan ajaran Islam di Indonesia.
Dua tujuan awal HMI berdiri yang tertuang dalam pasal 4 anggaran dasar HMI “terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT” saat ini sudah menjadi klise dikalangan kader-kader HMI. Suatu ungkapan yang sudah menjadi klise akan tidak terlihat maknanya.
Perlu dicermati bahwa tanggung jawab yang besar dalam mengemban tujuan tersebut hanya dapat terwujudkan dengan kerja nyata membentuk anggota-anggota HMI agar dapat menjiwai segala khitah perjuangan HMI. Disinilah perkaderan menjadi fungsi HMI dalam menopang pribadi-pribadi kader HMI agar menjiwai nilai-nilai keislaman, keindonesiaan dan kemahasiswaan sekaligus tanpa adanya split personality. Segala bentuk rekayasa dalam membentuk kejiwaan tersebut harus dilangsungkan terus menerus, sistematis, dan bersifat kontemporer. Karena di dalam bentuk rekayasa tersebut kader-kader HMI dapat dipupuk nilai-nilai kemanusiaannya dalam konsekuensinya sebagai kader umat dan kader bangsa.
Mengingat kembali sambutan Almarhum Lafran Pane pada peringatan Dies Natalies ke-22 HMI Cabang Yogakarta di gedung Seni Sono tanggal 5 Februari 1969, mengatakan bahhwa yang membedakan HMI dengan organisasi lain adalah perkaderan, dimana kader yang dihasilkan HMI adalah anggota yang berwawasan keislaman, keindonesiaan dan kemahasiswaan dengan lima kualitas insan cita dan bersifat independen.
Mengilhami dari sambutan yang diungkapkan oleh Alm. Lafran Pane pada secara eksplisit menerangkan bahwa Himpunan ini menyatukan nilai-nilai kepribadian kader HMI sebagai umat muslim dan warga negara Indonesia dalam bingkai kemahasiswaan. Sehingga kader HMI adalah kader yang memiliki kesatuan penjiwaan dalam aktifitasnya yang membawanya kepada unity personality.
Umur HMI kini sudah mencapai 66 tahun. Usiia lebih dari setengah abad. Secara positif, organisasi ini pastilah sudah sangat dewasa karena sarat dengan pengalaman. Tetapi dibalik kedewasaan itu, tentu organisasi ini banyak menghadapi kendala yang bisa menghambat perkembangannya. Hal ini mengingatkan saya kepada pandangan sisiolog Muslim Ibnu Khaldun yang mengungkapkan tentang teori siklus negara (organisasi), dimana organisasi hadir (lahir), mengalami fase maturitas (kedewasaan) dan fase penuaan (penurunan). Sebelum akhirnya kematian. Pandangan tersebut memang sederhana tetapi sarat akan pesan, bahwa apabila organisasi ingin abadi maka dalam konteks inilah sangat dapat dipahami pandangan yang menekankan bahwa HMI harus melakukan revitalisasi, reaktualisasi dan rejuvenansi (penyegaran kembali).
Jika dilihat pada saat memasuki tahun 1980-an, HMI mengalami penurunan, baik secara organisatoris, aktifitas, dan pemikiran. Ada kecenderungan HMI bergerak menuju organisasi massif. Mengutip pernyataan Prof Ahmad Syafii Maarif (mantan ketua umum Muhammadiyah yang juga alumni HMI) kemunduran yang terjadi sejak tahun 1980-an adalah karena konflik internal yang cenderung lama penyelesaiannya, kemelut HMI pada tahun 1985 cukup menguras energi kedua belah pihak yang berbeda pandangan. Yang akhirnya kekuatan moral dan intelektual HMI tidak mungkin dikembangkan secara optimal.
Problematika yang terjadi pada saat ini bisa dikatakan tidak terlalu jauh dari segala kritik-kritik yang terjadi pada masa sebelumnya. Secara faktual dinamika yang terjadi saat ini di tubuh HMI menimbulkan berbagai macam pertanyaan. Apakah organisasi ini akan tetap hidup dalam memperjuangan tujuan yang belum usai hingga sampai saat ini?.
Sudah seharusnya segala kritik tersebut dijadikan injeksi penyemangat HMI untuk bangkit sebagai organisai yang senantiasa muda dan dewasa guna merespon perkembangan zaman sekaligus memberikan tawaran solusi atas problem zamannya guna menjemput masa depan yang lebih cerah dan gemilang. Kesadaran untuk bangkit ini terlihat tidak begitu kentara bila dibandingkan dengan kesadaran untuk memanfaatkan organisasi ini untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Keberingasan dan arogansi kelompok yang terhimpun dalam satu himpunan ini terkesan meniadakan persatuan himpunan dalam rangka kerja besar organisasi menuju tujuan HMI.
Dinamika dalam organisasi mutlak diperlukan guna mengasah potensi kader-kader HMI sebagai calon pemimpin masa depan. Tetapi yang sangat disaayangkan dinamika tersebut lebih banyak dan cenderung kepada internal organisasi yang berpotensi memecahbelah organisasi, hal ini sudah disinggung dalam kutipan Prof. Ahmad Syafii Maarif. Dinamika yang seharusnya kita lakukan adalah mencari musuh di luar dalam arti memusuhi segala sesuatu yang di-Thagut kan dan yang menindas kaum yang lemah. Selain juga pergulatan dalam dinamika persaingan dengan organisasi mahasiswa lainnya dalam wilayah intelektual, karya dan daya tarik organisasi.
Sesungguhnya kita memiliki pedoman Quran, hadist dan AD ART dalam menjalankan roda organisasi. Menghayati perjuangan 66 tahun organisasi sudah seharusnya kita berfikir kembali apa yang sudah kita berikan terhadap kemajuan organisasi dan mengintropeksi kembali diri kita apakah sebagai kader HMI segala tindakan kita saat ini ataupun yang akan dilakukan justru akan menghancurkan organisasi demi kemenangan kecil (kelompok tertentu) dengan mengorbankan kemenangan besar (menuju tujuan HMI).
Bekerja sesuai dengan pedoman yang berlaku, menciptakan suasana yang kondusif dalam perkaderan HMI, menempatkan perjanjian primordial kita sebagai kader HMI di bawah perjanjian primordial kita kepada Tuhan, dan kerja keras, nyata, tuntas dan ikhlas dalam tanggung jawab kita sebagai kader HMI terlebih pemangku jabatan struktural di HMI. Hayatilah perjuangan para founding fathers Himpunan ini dalam perjuangan mereka untuk terus menghidupi himpunan ini, berfikirlah kita semua kembali atas apa yang telah kita lakukan kepada Himpunan ini. Sesungguhnya perjuangan kita akan selalu dicatat dalam sejarah perjuangan organisasi HMI. Sekarang kita hanya tinggal memilih apakah kita akan masuk dalam sejarah pro-status quo, sejarah tinta emas perjuangan HMI atau justru dosa sejarah karena turut serta dalam memecah belah Himpunan. Marilah kita renungi bersama. Karena sessungguhnya Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika kaum tersebut tidak berusaha untuk merubahnya.
Renaldy Permana (Ketua Umum HMI Cabang Jakarta Timur Periode 2012-2013)
Meruwat HMI
oleh: Anang Dianto
________________________________________
Kini Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) telah berumur 66 tahun, usia yang cukup tua untuk sebuah organisasi kemahasiswaan yang independen, artinya organisasi ini berdiri murni karena desakan kondisi bangsa dan umat pada waktu itu. HMI bukan organisasi yang menjadi underbow organisasi manapun, bahkan berdirinya dipelopori oleh sekelompok mahasiswa yang menjadi pencetus ide secara murni dan alami, tidak ada dorongan dari tokoh maupun kelompok manapun pada waktu itu.
HMI bukan saja menjadi sebuah organisasi kemahasiswaan, namun telah menjadi fenomena tersendiri bagi dunia gerakan mahasiswa maupun dunia politik di Indonesia. Mengingat, sudah tak terhitung tokoh-tokoh politik dan intelektual Indonesia yang dilahirkan oleh HMI. Organisai berlambang perisai ini telah berproses dan merasuk pada kesadaran masyarakat terutama para kader. Kesadaran ini membikin HMI muncul sebagai sesuatu yang hidup dan sakral di jiwa para kader. Dan jiwa inilah yang dibawa para kader ketika sudah menjadi alumni dan menempati posisi strategis, sehingga tak heran jika alumni masih mempunyai andil dalam “menghidupi” organisasi ini, dan fenomena inilah yang justru menjadi bumerang bagi HMI.
Pada milad HMI ke-50 yaitu 16 tahun yang lalu tepatnya tahun 1997, Prof. Agussalim Sitompul telah menulis 44 indikator kemunduran HMI. Dan analisis sejarawan HMI pada tahun 1997 yang tertuang dalam buku 44 Indikator kemunduran HMI itu kini benar-benar terbukti menjadi kenyataan.
Di antara kemunduran-kemunduran itu, di antaranya adalah makin menyusutnya pengaderan HMI yang menjadi nyawa organisasi ini, makin jauhnya HMI dari mahasiswa hal ini dibuktikan dengan HMI tidak lagi populis di kalangan mahasiswa terutama di kampus-kampus besar. Selain itu, kader-kader HMI yang seharusnya paham tentang keislaman justru dangkal pemahaman Islamnya dan lebih parahnya lagi seringkali perilaku para kader jauh dari nilai-nilai Islam, belum lagi tradisi keilmuan HMI yang mulai memudar. Kemunduran lainnya yang tak kalah memilukan adalah banyak di antara para kader yang justru menjabat sebagai fungsionaris-fungsionaris HMI terjebak dalam politik praktis, ditambah konflik politikk internal HMI yang offside.
Jika kita cermati, kemunduran HMI dapat dibagi menjadi tiga. Kemunduran yang pertama adalah kemunduran yang disebabkan oleh keadaan sosial-budaya yang telah berubah, sorotan utamanya adalah perubahan sosial-budaya di kalangan mahasiswa pasca reformasi. Sangat terasa sekali pola budaya mahasiswa berubah menjadi apatis dan study oriented, hal ini dibuktikan bukan hanya HMI yang mengalami penurunan kader tetapi banyak dari organisasi gerakan mahasiswa mengalami hal yang sama.
Kedua, kemunduran yang disebabkan oleh internal kader HMI yaitu mulai memudarnya tradisi keilmuan dan jauhnya kader-kader HMI dari nilai-nilai Islam baik dalam pengetahuan maupun perilaku. Hal iniperlu mendapat perhatian serius, karena pengaderan yang menjadikan HMI berfungsi, maka fungsi itu tidak boleh dilepaskan dan harus dinomorsatukan.
Ketiga, kemunduran HMI yang disebabkan oleh fungsionaris organisasi yang pragmatis baik di tingkat Pengurus Besar (PB), Badan Koordinasi (Badko), maupun tingkat cabang. Sifat pragmatis ini yang menggerogoti HMI dan berpotensi besar untuk menghancurkan HMI, sifat pragmatis tersebut dapat membahayakan organisasi karena menjadi penyebab terpecahnya organisasi.
Ketika melihat kondisi HMI yang baru-baru ini sedang dilanda konflik internal, hal itu juga disebabkan kepragmatisan fungsionaris-fungsionaris HMI yang mempunyai banyak kepentingan dan agenda gelap di balik nama besar HMI. Penulis jadi teringat cerita tentang Perang Paregreg yang akhirnya menghancurkan Kerajaan Majapahit, konon kemunduran Majapahit juga dipicu oleh perebutan kekuasaan yang menyebabkan perang saudara. Apakah HMI akan bernasib sama seperti kerajaan besar itu?
Karena bagaimanapun juga Pengurus Besar HMI menjadi interprestasi bagi kondisi HMI secara keseluruhan yang terdiri dari hampir 200 cabang di seluruh Indonesia. Indikasinya adalah hampir tidak ada yang bisa dilakukan oleh para pengurus cabang untuk mengakhiri konflik ini, hal ini menunjukkan bahwa banyak cabang-cabang yang juga terlibat dalam konflik ini, ada cabang yang mendukung salah satu pihak, ada yang mendukung pihak lain dan ada juga yang netral. Tidak ada rasa persatuan lagi di antara cabang-cabang, semua terjebak dalam kepentingan konflik.
Maka, menurut hemat penulis yang paling dibutuhkan oleh HMI sekarang adalah rasa persatuan dari para kader. Meskipun kepala sedang terbelah akan tetapi tubuh harus diikat menjadi satu. Caranya adalah dengan melakukan ruwatan bersama, HMI harus diruwat,dibersihkan dari segala bala dan energi-energi negatif yang melingkupinya. Meruwat adalah proses pembersihan melalui sebuah ritual yang biasa digunakan untuk orang, pusaka, atau bangunan (rumah).
Himpunan Mahasiswa Islam sebagai rumah para kader, sangat mungkin sekali ternoda oleh para penghuninya atau energi-energi negatif dari luar termasuk dosa-dosa para penghuni sebelumnya (alumni), maka dari itu ruwatan tidak salah untuk dilakukan. Ruwatan ini juga harus dijadikan sebagai momentum untuk meningkatkan rasa persatuan dan juga meningkatkan kondisi ruhiyah bagi para kader. Karena kita tahu, dengan kondisi ruhiyah yang baik maka perbuatan juga akan menjadi baik,dan ini juga menjadi momentum penyadaran bagi seluruh fungsionaris di HMI.
Ada berbagai macam bentuk prosesi ruwatan, ada yang menggunakan media nanggap wayang, tirakatan, atau dengan mandi kembang. Tetapi, hal yang paling mungkin dilakukan oleh para kader HMI adalah dengan mengadakan doa bersama dan tahlilan dengan diberi sedikit ubo rampe sebagai wujud syukur.
Kader HMI harus percaya pada kekuatan doa, seperti yang selalu dilantunkan dalam setiap acara pada Hymne HMI “Berdoa dan ikrar, menjunjung tinggi syiar Islam”.
Dengan prosesi ruwatan itu, maka diharapkan HMI yang telah merasuk dalam kesadaran para kader menjadi sebuah rumah itu dapat terbebas dari bala dan energi-energi negatif serta dapat mempererat rasa persatuan di antara para kader, supaya dalam kondisi yang seperti ini kondisi kader akan tetap solid. Tidak hanya itu, dengan ruwatan ini juga diharapkan dapat menyadarkan para fungsionaris HMI yang terlibat dalam konflik maupun yang mempunyai niat pragmatis.
Semoga “Perang Paregreg” tidak benar-benar terjadi di HMI, dan semoga rumah ini selalu dijauhkan dari bala dan marabahaya. Mari meruwat! Al-fatehah. (Ketua HMI Komisariat Teknik UGM)
Reorientasi Platform Gerakan HMI
Oleh : Arif Budi Prasetyo
________________________________________
“Bubarkan HMI!” itulah statmen yang keluar dari seorang Nurcholis Madjid beberapa tahun lalu. Dalam Milad HMI ke-50 pada tahun 1997, Cak Nur juga mengatakan 50 Tahun HMI bukan Ulang Tahun Emas, tapi “besi karatan”. Hal itu muncul karena ketika itu HMI terlalu dekat dengan pemerintahan Orde Baru dan aliansi HMI dengan Kelompok Cipayung juga retak. Hal yang memicu pernyataan sinis terhadap HMI oleh berbagai kalangan ketika perayaan Milad HMI yang ke-50. Lalu bagaimanakah HMI sekarang? HMI yang sudah akan menginjak usia 66 tahun (berdasarkan penanggalan masehi) dan telah menginjak usia 68 tahun (berdasarkan penanggalan hijriyah). Jika melihat penanggalan hijriyah, HMI berdiri pada tanggal 14 Rabiul Awal dan peringatan 68 tahun HMI tersebut bertepatan dengan tanggal 26 Januari 2013 penanggalan masehi.
HMI sebagai organisasi mahasiswa Islam merupakan organisasi yang berdiri pada tahun 1947 di Yogyakarta. Misi awal HMI ketika itu adalah mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mempertinggi derajat bangsa Indonesia serta internalisasi nilai-nilai keislaman. Cita-cita itu senada dengan kondisi bangsa Indonesia pasca kemerdekaan. Seiring dengan waktu, misi HMI mengalami perubahan, membela kaum mustadh’afin dan internalisasi nilai-nilai keislaman. Hal ini selaras dengan tujuan HMI dan Islam yang menjadi asas HMI. Seyogyanya HMI hadir untuk memberikan perubahan dan pembaharuan di tengah masyarakat sebagaimana yang termaktub dalam tujuan HMI ternyata berbanding terbalik dengan realitas kondisi HMI hari ini. Krisis profesionalisme, intelektualisme, perkaderan serta spirit perjuangan yang menjadi platform dasar pergerakan HMI, melanda keberlangsungan HMI dalam membangun bangsa. Hal yang harus segera dipikirkan dan dibenahi oleh seluruh elemen HMI.
Perubahan sosial yang terus menerus terjadi adalah sebuah keniscayaan peradaban yang tidak bisa ditolak. Zaman yang terus bermetamoforsis membuat tatanan sosial ikut berubah. Globalisasi dan modernitas yang secara tidak sadar telah menguliti dan menelanjangi kebudayaan bangsa dan mempengaruhi perkembangan umat dan bangsa Indonesia. Hal ini berimplikasi langsung terhadap proses perkembangan HMI sebagai organisasi pemuda dan kemahasiswaan. Fakta bahwa semakin mengendurnya Islam sebagai pedoman dan asas organisasi dan pedoman hidup bagi seluruh umat muslim akan berimplikasi buruk terhadap organisasi. Keterlibatan HMI di tengah hiruk pikuk persoalan bangsa ini mengalami distorsi terhadap khittah HMI sebagai organisasi perjuangan.
Realitas hari ini HMI tenyata hanya dipandang sebagai organisasi yang mampu melahirkan kader kader yang oppurtunis, yakni kader yang hanya memikirkan diri sendiri. Kader yang tidak visioner tentunya memberikan dampak buruk terhadap implementasi mission HMI. Independensi yang menjadi sifat HMI seakan-akan malah menimbulkan pertanyaan perihal letak ke-independen-an HMI. Tak terkecuali bagi HMI Cabang Surakarta. Krisis yang urung terseleasaikan ini juga melanda HMI Cabang Surakarta. Profesionalisme dan keintelektulitasan kader HMI Cabang Surakarta mengalami stagnasi yang tak kunjung bergerak menuju perubahan.
Kondisi yang cenderung sama dari tahun ke tahun membuat HMI Cabang Surakarta bisa dikatakan sedang mengalami kemandegan. Keprofesionalitasan kader dalam berorganisasi seakan jalan ditempat dan malah cenderung bergerak mundur. Keintelektualitasan kader yang diharapkan menjadi pelopor dalam membawa perubahan seakan enggan beranjak dari zona nyamanya. Histori HMI dimasa kejayaan yang lalu akan selalu terbayang didalam benak kader HMI dan akan menjadi beban jika kader HMI hari ini tidak dapat mempertahankan eksistensinya bahkan malah terbuai oleh romantisme masa lalu. Lahirnya tokoh-tokoh dari rahim HMI seharusnya menjadi contoh positif bagi kader HMI untuk terus berproses dan berkembang seiring dengan spirit perjuangan HMI.
BANGUN HMI!
Evaluasi merupakan suatu proses untuk mengetahui perkembangan atas rencana dan ide-ide yang telah dilewati. Analisis kritis menjadi alat untuk bisa menelurkan wacana dan ide baru. Perjalan HMI selama 68 tahun ini tak luput dari prosesi tersebut. Perkembangan zaman menuntut keselarasan ide yang sejalan dan tanpa mengurangi khittah HMI sebagai organisasi perjuangan. Sadar akan kewajiban, kesadaran, dan panggilan dari seorang kader umat dan kader bangsa, sudah saatnya HMI bangun dari buaian mimpi dan membangun ide-ide baru guna menjadi garda terdepan dan pelopor bagi bangsanya.
Surakarta yang menjadi basis pergerakan di awal abad 19 memiliki sejarah panjang atas berdirinya Indonesia. Segala peristiwa penting sejarah yang terjadi menjadikan Surakarta memiliki spirit perjuangan. Bagi saya, spirit inilah yang kemudian harus dimiliki oleh HMI Cabang Surakarta dalam pergerakannya sebagai organisasi mahasiswa. Perayaan 68 tahun HMI ini harus menjadi titik tolak bagi pergerakan HMI Cabang Surakarta.
Problem profesionalitas dan intelektulitas yang mandeg harus rampung dengan analisis kritis yang menjadi solver solution dan menelurkan ide baru. Perubahan dan perkembangan zaman yang membuai tidak boleh kemudian dijadikan kambing hitam atas problem yang muncul. Lebih dari itu, zaman yang terus bergerak ini harus bisa dijadikan sebagai sebuah tantangan yang harus dihadapi.
Ketika zaman telah melakukan metamorfosinya, maka kader HMI juga dituntut untuk melakukan hal yang sama, metamorfosis pemikiran dalam menelurkan ide dan wacana. Nilai-nilai Islam harus kembali menjadi motor spirit perjuangan HMI. Ajaran-ajaran Nabi Muhammad tak hanya dijadikan sebagai teladan, namun sebuah warisan yang harus selalu dijalankan sebagai seorang muslim.
Intelektualisme menjadi harga mati. Karena intelektulitas itu yang membedakan kalangan mahasiswa dengan yang lainnya. Namun bukan berarti hal itu menjadi jurang pemisah atau sekat antara kader HMI dengan masyarakat. Sebaliknya, intelektualitas tersebut yang menjadikan kader HMI sebagai problem solver atas masalah yang mendera bangsa.
Regenerasi kader adalah keniscayaan dalam organisasi. Kesadaran kader kembali mesti dipicu untuk melanjutkan mission HMI. Nilai Dasar Perjuangan (NDP) merupakan konsepsi teoritis setiap kader untuk menjalani rutinitasnya sebagai insan intelektual.
Pemahaman yang utuh terhadap NDP sangat berpengaruh secara praksis bagi tingkah laku kader HMI. Pemaknaan akan dasar perjuangan tersebut memberikan konstribusi besar akan implementasi tujuan HMI ditengah kompleksitas bangsa yang telah mempengaruhi paradigma mahasiswa dan masyarakat.
Karakter kader HMI yang kritis dan intelek merupakan ekspektasi dari orientasi training dan harus menjadi cerminan bagi setiap mahasiswa yang mengaharapkan perubahan secara totalitas terhadap karakter berpikir. Organisasi perkaderan idealnya akan mengahasilkan kader-kader yang intelek dan kritis sehinggan mission organisasi akan terealisasikan.
Sudah menjadi sebuah tradisi jika hari berdirinya sebuah lembaga atau hari lahirnya sebuah organisasi dirayakan oleh massa organisasi tersebut. Seyogyanya perayaan hari lahirnya organisasi tidak hanya sekedar untuk dirayakan begitu saja dan menjadi sebuah ritual tahunan. Namun lebih dari itu, perayaan ini harus bisa dijadikan sebuah momentum bagi HMI dalam mengoreksi dan merenungkan kembali perjalanan dimasa lalu dan menyongsong masa depan untuk dapat mewujudkan tujuan HMI, “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu wata’ala”. YAKUSA!
Joglosemar , 5 Februari 2013
Sumber Tulisan
________________________________________
40 Tahun HMI
Empat Puluh Tahun HMI,
Tantangannya dan Peranannya
Oleh : Abd. Rasyid As’ad
Harian Masa Kini (Yogyakarta), 4 Pebruari 1987.
42 Tahun HMI
Citra Pertanian dan Pengembangan Petani Muda Indonesia
Oleh : M. Saleh Khalid
Kawiyan, Lazuardi Hijau : Potret Diri dan Refleksi Ir. Saleh Khalid, Yayasan Piranti Ilmu, Jakarta, 1995, hal. 178-183.
44 Tahun HMI
Perlunya Makna Baru Independensi HMI
Oleh : Sudirman Tebba
Sudirman Tebba, Islam Orde Baru : Perubahan Politik dan Keagamaan, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1993, hal. 61-65.
Wawancara Nurcholish Madjid:
"Jangan Mengukur Baju Orang Dengan Badan Sendiri"
Tempo, Edisi 04/02 - 29/Mar/1997 Analisa & Peristiwa http://www.tempo.co.id/ang/min/02/04/utama8.htm
56 Tahun HMI
Menyoal Arah Pergerakan HMI
Oleh: Muchammad Yuliyanto
Suara Merdeka, 5 Pebruari 2003
58 Tahun HMI
Kaderisasi dan Politisisasi HMI
Oleh : Harry Azhar Aziz
http://hharryazharazis.com/detail/83/kaderisasi-dan-politisisasi-hmi.cnet
60 Tahun HMI
Meraih Kembali Tradisi Intelektual
Oleh : Anas Urbaningrum
http://musthoariponline.blogspot.com/2008/03/refleksi-60-tahun-hmi.html
Milad HMI: Transformasi Intelektual dalam Rekayasa Peradaban Sosial Pasca Kapitalisme Global
http://ambudaya.blogspot.com/2007/02/milad-hmi-transformasi-intelektual.html
HMI dan Kevakuman Ideologi
Oleh : Budi Gunawan S.
http://hmibecak.wordpress.com/2007/02/14/hmi-dan-kevakuman-ideologi/
Sejarah HMI : Sejarah Perjuangan Kaum Intelegensia Muslim Indonesia
Oleh : Arip Musthopa
http://musthoariponline.blogspot.com/2008/03/sejarah-hmi-sejarah-perjuangan-kaum_10.html
60 Tahun HMI, Menuju Kerakyatan
Oleh : Arif Gunawan
http://www.suaramerdeka.com/harian/0702/05/opi04.htm
HMI: Otokritik Dan Spirit Revivalisme
(Catatan Kritis Dies Natalis HMI ke-60)
Oleh : Denis2506
http://denisnovosellic.wordpress.com/2008/01/17/hmi-otokritik-dan-spirit-revivalisme-catatan-kritis-dies-natalis-hmi-ke-60/
HMI dan Konstruksi Abad XXI
Oleh : Arip Musthopa
http://musthoariponline.blogspot.com/2008/03/hmi-dan-konstruksi-abad-xxi_10.html
Refleksi 60 Tahun HMI
Oleh : Revi Marta Dasta
http://revimartadasta.blogspot.com/2008/01/refleksi-60-tahun-hmi.html
61 Tahun HMI
Muslim, Intelektual, Profesional
(Sebuah Kado untuk Milad HMI ke-61)
oleh : Rizky Wahyuni
http://lapmi.wordpress.com/2008/02/05/muslim-intelektual-profesional/
HMI dalam Timbangan Waktu :
Refleksi Milad HMI yang ke-61
Oleh : Arhanis
http://arhanisme.blogspot.com/2012/08/hmi-dalam-timbangan-waktu-refleksi.html
HMI 62 Tahun
HMI, Politik dan Intelektualisme
Oleh : H. Harry Azhar Azis
http://hharryazharazis.com/detail/91/hmi-politik-dan-intelektualisme.cnet
Reposisi HMI dalam Konteks Kekinian
Oleh: Eka Nada Shofa Alkhajar
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=64270
HMI Selamatkan Indonesia
(Refleksi 62 Tahun Himpunan Mahasiswa Islam)
Oleh : Junet Haryo Setiawan
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=64174
Menyegarkan Kembali HMI
Oleh Arip Musthopa
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=64014
Kader Yang Gelisah?
(Refleksi 62 Tahun HMI)
Oleh : Hasnanda Putra
http://muslimpena.wordpress.com/2013/07/21/kader-yang-gelisah-refleksi-62-tahun-hmi/
HMI dalam Pergulatan Sejarah :
Refleksi Milad HMI ke-62
Oleh M. Mu'min Fahimuddin
http://petapakhusyu.blogspot.com/2009/02/hmi-dalam-pergulatan-sejarah-refleksi.html
HMI 63 Tahun
Refleksi 63 Tahun HMI
HMI dan Agenda Strategis Bangsa
Oleh : Arip Musthopa
http://kampus.okezone.com/read/2010/02/05/95/300863/redirect
HMI 63 Tahun, Riwayatmu Kini
Oleh : Hanafi Mohan
http://thenafi.wordpress.com/2010/02/05/hmi-63-tahun-riwayatmu-kini/
HMI 64 Tahun
64 Tahun HMI, Restorasi dan Tantangan Zaman
Oleh : Harry Febri
http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1262:64-tahun-hmi-restorasi-dan-tantangan-zaman&catid=11:opini&Itemid=83
Merebut Hati Umat
(Refleksi Milad HMI Ke 64)
Oleh : Hasnanda Putra
http://badkohmi-aceh.blogspot.com/2011/02/merebut-hati-umat-refleksi-milad-hmi-ke.html
64 Tahun, HMI Mau Kemana...??
Yus Efendi
http://badkohmi-aceh.blogspot.com/2011/02/64-tahun-hmi-mau-kemana.html
65 Tahun HMI
Memaknai Kelahiran Himpunan Mahasiswa Islam
Oleh : Hadi Suprapto Rusli
http://www.suara-islam.com/read/index/4147/Memaknai-Kelahiran-Himpunan-Mahasiswa-Islam
Renovasi HMI Di Usia 65
Oleh : Rifki
http://kalikisantan.wordpress.com/2012/02/15/renovasi-hmi-di-usia-65/
66 Tahun HMI
Resolusi Ke HMI-an di Tahun Ke-66
http://hmifisipua.weebly.com/2/post/2013/03/resolusi-ke-hmi-an-di-tahun-ke-66.html
HMI dan Produksi Politisi
Oleh : Mohammad Nasih
http://nasional.sindonews.com/read/2013/02/05/18/714409/hmi-dan-produksi-politisi
Mengasah Kembali Taring HMI
Oleh : Zamhari
http://regional.kompasiana.com/2013/02/05/mengasah-kembali-taring-hmi-refleksi-milad-hmi-ke-66-tahun-525764.html
Antara Sejarah dan Perubahan
Oleh : Ahmad Edison
http://ahmadedison.blogspot.com/2013/02/refleksi-66-tahun-hmi-antara-sejarah.html
Membangkitkan Krisis Intelektual
HMI dengan Gerakan Intelektual Kreatif
Oleh: Nur Rachmansyah
http://thephinisipress.blogspot.com/2013/02/refleksi-66-tahun-hmi-membangkitkan.html
Mengilhami 66 Tahun Perjuangan HMI
0leh : Renaldy Permana
http://www.hmi-jakartatimur.or.id/berita/opini/100-mengilhami-66-tahun-perjuangan-hmi
Meruwat HMI
oleh: Anang Dianto
http://hmibulaksumur.org/blog/2013/02/26/meruwat-hmi/
Reorientasi Platform Gerakan HMI
Oleh : Arif Budi Prasetyo
http://arifmanabu.blogspot.com/2013/02/reorientasi-platform-gerakan-hmi.html
DAFTAR PUSTAKA
Agussalim Sitompul, HMI Mengayuh di Antara Cita dan Kritik, Misaka Galiza, Jakarta, 2008.
Djohan Effendi dan Ismed Natsir (ed), Pergolakan Pemikiran Islam : Catatan Harian Ahmad Wahib, Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi, Jakarta, 2012, hal. 20.
Kawiyan, Lazuardi Hijau : Potret Diri dan Refleksi Ir. Saleh Khalid, Yayasan Piranti Ilmu, Jakarta, 1995
Nurcholish Madjid, "Jangan Mengukur Baju Orang Dengan Badan Sendiri", Tempo, Edisi 04/02 - 29/Mar/1997 Analisa & Peristiwa
Sudirman Tebba, Islam Orde Baru : Perubahan Politik dan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari