Senin, November 23, 2009

Husain ibn Manshur al-Hallaj

Husain ibn Manshur al-Hallaj atau biasa disebut al-Hallaj adalah ulama sufi yang dilahirkan di kota thur dikawasan iran tenggara pada tanggal 26 maret 866 M.Beliau memiliki begitu banyak karomah semasa hidupnya. Menutur Anthhar -muridnya- suatu hari al-Hallaj melewati sebuah gudang kapas dan melihat seonggok buah kapas. Ketika jarinya menunjuk pada onggokan buah kapas itu, biji-bijinya pun terpisah dari serat kapas.Beliau juga dijuluki Hallaj Al Asrar karena mampu membaca pikiran orang dan menjawab pertanyaan mereka sebelum ditanyakan kepadanya.Saat menunaikan ibadah haji yang ke dua kalinya, al-Hallaj pergi ke sebuah gunung untuk mengasingkan diri bersama beberapa orang pengikutnya. Sesudah makan malam, al-Hallaj mengaakan dia ingin makan manisan. Semua muridnya kebingungan lantaran semua perbekalan telah habis. al-Hallaj tersenyum dan berjalan menembus kegelapan malam. Beberapa menit kemudian al-Hallaj kembali sambil membawa makanan berupa kue-kue hangat yang belum pernah dilihat sebelumnya.al-Hallaj kemudian meminta semua muridnya makan bersama. Seorang murid al-Hallaj penasaran dan ingin tahu dari mana al-Hallaj memperoleh makanan tersebut dan menyembunyikan kue bagiannya. Ketika mereka kembali dari dari pengasingan diri, sang murid ini mencari seseorang yang mengetahui asal kue itu. Akhirnya salah seorang warga kota Zabib, sebuah kota yang jauh dari situ mengetahui bahwa kue itu berasala dari kotanya. Sang murid yang keheranan ini pun sadar bahwa al-Hallaj mempeoleh kue itu secara ajaib. "Tak ada seoranh pun dan hanya jin saja yang sanggup menempuh jarak yang jauh dalam waktu singkat", katanya.Pada kesempatan lain, al-Hallaj mengarungi padang pasir bersama sekelompok orang dalam perjalanan menuju mekkah. Di suatu tempat sahabat-sahabatnya menginginkan buah ara. al-Hallaj pun mengambil senampan penuh buah ara dari udara. Kemudian mereka meminta Hlawa, al-Hallaj membawa senampan penuh halwa hangat dan berlapis gula serta memberikannya kepada mereka. Usai memakannya, mereka mengatakan bahwa kue itu khas suatu daerah di baghdad, irak. Mereka pun bertanya bagaimana al-Hallaj mendapatkannya dari negeri yang amat jauh tersebut. al-Hallaj pun menjawab bahwa baghdad dan padang pasir adalah sama dan tidak ada jarak diantaranya.
Kemudian mereka pun meminta kurma, al-Hallaj sejenak berdiri dan menyuruh mereka untuk menggerakan tubuh mereka seperti sedang menggoyang-goyang pohon kurma. Ketika mereka melakukannya makan kurma-kurma segar pun berjatuhan dari lengan baju mereka.
Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866M. Ia merupakan seorang keturuna Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan yang membuatnya dieksekusi secara brutal.
Bagi sebagian ulama islam, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah, sebab Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, "Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah Kebenaran', padahal itu kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah kezaliman."
Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj.
[sunting] Masa remaja
Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur'an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur'annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek kezuhudan keras semisal puasa dan shalat sunnat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.
Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh saat itu. Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga.
[sunting] Ibadah haji
Pada tahun 892M, Al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan juga Junaid.
[sunting] Menjadi guru
Usai membahas pemikirannya dengan sufi-sufi lain, banyak reaksi baik positif maupun negatif yang diterima oleh Al-Hajjaj yang kemudian memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah. Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.
[sunting] Akulah Kebenaran!' dan hari-hari terakhir
Tahun 913M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah Kebenaran" (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi "hewan kurban". Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia.
Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: "Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh." Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, "Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka."
Tetapi, kata-kata ini justru mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Orang banyak menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembannya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.
Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru selamat. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial.
Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918M, ia diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.
Al-Hallaj dipenjara selama hampir sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.
Akhirnya, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.
=== Masa kanak-kanak ===
Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara [[Baidhah]], [[Wasith]], sebuah kota dekat [[Ahwaz]] dan [[Tustar]]. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat [[Iran]], dekat dengan pusat-pusat penting seperti [[Bagdad]], [[Bashrah]], dan [[Kufah]]. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj.
=== Masa remaja ===
Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata [[bahasa Arab]], membaca [[Al-Qur'an]] dan [[tafsir]] serta [[teologi]]. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang [[Sahl at-Tustari]], seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur'annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi [[Nabi]] dan praktek-praktek kezuhudan keras semisal [[puasa]] dan [[shalat sunnat]] sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.
Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke [[Bashrah]]. Di Bashrah, ia berjumpa dengan [[Amr al-Makki]] yang secara formal mentahbiskannya dalam [[tasawuf]]. Amr adalah murid [[Junaid]], seorang sufi paling berpengaruh saat itu. Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga.
=== Ibadah haji ===
Pada tahun 892M, Al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan [[Haji|ibadah haji]] ke [[Mekah]]. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan juga Junaid.
=== Menjadi guru ===
Usai membahas pemikirannya dengan sufi-sufi lain, banyak reaksi baik positif maupun negatif yang diterima oleh Al-Hajjaj yang kemudian memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah. Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan [[apostolik]] pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru [[spiritual]] dari berbagai macam tradisi di antaranya, [[Zoroastrianisme]] dan [[Manicheanisme]]. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki '''Hallaj al-Asrar''' (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai [[dukun]].
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang [[guru]] disertai empat ratus pengikutnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang [[Turki]] dan orang-orang [[kafir]]. Ia berlayar menuju [[India|India selatan]], pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.
=== ''Akulah Kebenaran!' dan hari-hari terakhir ===
Tahun 913M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang ''Kebenaran''. Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa [[hijab|hijab-hijab]] ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, ''"Akulah Kebenaran"'' (''Ana Al-Haqq'') dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi ''"hewan kurban"''. Ia rela dihukum bukan hanya demi [[dosa|dosa-dosa]] yang dilakukan setiap [[muslim]], melainkan juga demi dosa-dosa segenap [[manusia]].
Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: ''"Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh."'' Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, ''"Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka."''
Tetapi, kata-kata ini justru mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan [[sosial]] dan [[politik]] waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Orang banyak menuntut agar [[khalifah]] menegakkan kewajiban yang diembannya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.
Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak [[sahabat]] dan musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin [[oposisi]], yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai [[Imam Mahdi]] atau juru selamat. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial.
Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangannya tentang [[agama]], menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918M, ia diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.
Al-Hallaj dipenjara selama hampir sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan [[hukuman mati]] atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.
Akhirnya, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas [[tiang gantungan]] dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi [[sungai Tigris]] dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.
Dalam wacana agama, khususnya Islam, kedua figur ini sangat terkenal. Baik Fir’aun maupun Al Hallaj, sama-sama mengguncang sejarah, dengan ucapan yang menyamakan diri mereka dengan Tuhan.
Tapi mereka berbeda. Kata Maulana Jalaluddin Rumi, ucapan “Akulah Tuhan” oleh Fira’un adalah kegelapan yang pekat, tapi pernyataan “Akulah Sang Kebenaran” oleh Al Hallaj, justru cahaya yang benderang.
Yang kupahami dari ucapan Maulana, Fir’aun melontarkan pernyataan itu berdasar pada keangkuhan. Dia maharaja dengan kekuasaan absolut. Keadaan itu kemudian yang membuatnya merasa, dan menyatakan diri telah menjadi tuhan.
Sebaliknya, Al Hallaj, ketika menyatakan dirinya Al Haq, Sang Kebenaran, salah satu dari 99 nama Tuhan (asmaul husna) dalam ajaran Islam, justru didasari oleh kerendahhatian. Betapa di hadapan Yang Mahabesar Mahaperkasa, dirinya (seolah) tiada, dan yang sungguh ada hanya Dia semata.
Jangankan di hadapan Tuhan, di hadapan tata surya pun kita memang sudah menjadi tiada saking kecilnya. Padahal tata surya kita pun seperti tiada di hadapan Galaksi Bima Sakti, dan galaksi itu pun cuma sebutir debu di keluasan jagat raya yang belum dan tak akan pernah kita tahu batasnya. Jadi bagaimana pula diri ini bila dibandingkan dengan Dia yang menciptakan dan memelihara itu semua? Al Hallaj pun merasa dirinya hilang di hadapan kebesaran Pencipta itu, dan saat itulah dari kemurnian dan kerendahan hatinya, terlontar kata-kata itu.
Seorang sufi pernah berkomentar, satu-satunya kesalahan Al Hallaj adalah mengungkapkan pengalaman dan rahasia rasa itu. Padahal tak semua pengalaman dan perasaan mesti diungkapkan.
Keduanya memang dihukum mati untuk pengakuan itu. Firaun, bersama pengikutnya yang “setia” – sesuai narasi di kitab-kitab suci agama langit, ditenggelamkan Tuhan di Laut Merah. Mereka menjerit pedih dalam penyesalan. Namun Al Hallaj, sekali lagi berbeda. Dia cuma dieksekusi secara kejam oleh otoritas kekuasan manusia. Terikat di tiang gantungan, dia dimutilasi hidup-hidup, namun sampai dia mengembuskan napas terakhir, di bibirnya selalu tersungging senyum kepuasan.
Senyum Husain Ibnu Manshur Al Hallaj itu seolah menegaskan, di hadapan kebesaran Yang Mahaperkasa, apalah perasaan dan derita seorang manusia.
Entahlah…
Latar Belakang: Sebuah Prolog Yang Parsial
Tasawuf, sebagai metode intuitif-konstruktif menuju kebenaran hakiki, dalam dunia Islam menduduki posisi tersendiri yang banyak berpengaruh dalam perjalanan peradaban Islam. Perkembangan dan ketinggian posisi dari tasawuf melebihi berbagai kritikan pengamat dan penentang eksistensinya. Tasawuf eksis dengan berbagai persoalan yang melingkupinya dari zaman ke zaman.
Dunia pencarian Tuhan ini terus berevolusi menawarkan kebenaran instuitif yang sering dicari manusia yang berada dalam keputusasaan rasionalitas dan intelektualitas. Di saat pilihan rasionalitas tidak menemukan jawaban sebagai solusi, di saat jawaban tidak lagi memuaskan, dan juga di saat rasionalitas terjebak dalam kegersangan rasa, maka pengetahuan intuitif sering kali menjadi alternatif pilihan untuk menemukan kepuasan pencarian kebenaran.
Tasawuf sendiri mempunyai warna sesuai dengan kondisi pelaku dan waktu yang melingkupinya. Memang terkadang sulit merasionalisasikan tasawuf dengan rasionalitas. Karena sebagian diantaranya adalah pengetahuan yang tidak dapat dibuktikan oleh pengetahuan rasionalitas yang begitu deskriptif, analitif, dan definitif. Ia adalah pengetahuan subjektif yang masing-masing manusia berbeda persepsi, satu titik yang bertolak belakang dengan objektifitas yang jadi ukuran utama kebenaran dalam rasio. Apapun definisinya tidak akan pernah bisa mengungkapkan hal yang sebenarnya. Layaknya definisi mawar tidak akan pernah bisa merasakan keindahan mawar itu sendiri. Jadi wajar jika dalam perjalanannya ia tetap menjadi ulasan yang tetap menarik sepanjang waktu, perdebatan para pakar, menghasilkan banyak sarjana, bukan saja dalam dunia Islam tapi juga dalam dunia orientalisme.
Tapi apapun versi tasawufnya, semua penganutnya percaya bahwa apa yang mereka percaya dan kerjakan adalah suatu doktrin terdapat dalam al-Qur’an dan contoh riil dari nabi Muhammad SAW, untuk diterjemahkan sebagai kebenaran walaupun dengan tebusan jiwa sekalipun. Seperti halnya dengan salah satu ikon terbesar dalam sejarah tasawuf dalam peradaban Islam yaitu Mansur al-Hallaj yang mati terbunuh untuk mempertahankan keyakinannya.
Metode yang digunakan untuk memenuhi ambisi penulis dalam membidik kehidupan Mansur al-Hallaj dan juga konsep tentang Nasut, Lahut dan Hulul adalah dengan mengkaji literatur-literatur (litterer research) yang berisi dan menyinggung tasawuf falsafi. Cara utama dan pertamanya ialah melihat tahun atau masa dimana sufi itu hidup dan juga meneliti karakter ajaran dan perilaku yang dijalankan.
Geneologi Pelacakan Tasawuf Al-Hallaj: Perjalanan dari Awal
1. Embrio Tasawuf Dalam Islam (Asketisme)
Sejak zaman sahabat sudah dikenal beberapa sahabat yang memiliki kepribadian mengagumkan sebagai wujud dari keshalehan individual maupun sosial. Mereka menganut secara ketat konsep-konsep keshalehan dan wara’ yang merupakan varian dari perilaku tasawuf. Perilaku sahabat yang paling terkenal adalah perilaku Ibnu Umar dengan cerita ruku’-nya yang terkenal yaitu lamanya ia ruku’ sampai burung pun menganggapnya sebagai dahan pohon,[1] Ali pun dikenal sebagai pemuda yang memiliki kesalehan yang luar biasa, begitu juga Abu Dzar al-Ghifari yang diterima periwayatan hadisnya oleh syi’ah. Umar, Khalifah kedua dalam sejarah Islam juga dikenal sebagai orang yang secara ketat dari kepemilikan harta, hingga tersebut bahwa ia hanya mempunyai dua baju, salah satunya mempunyai 70 tambalan.[2] Disamping mereka, masih banyak lagi kisah-kisah yang mengagumkan dari para sahabat Nabi Islam.
Kesalehan tersebut disandarkan pada perilaku Nabi sendiri yang selalu hidup sederhana dan penuh dengan sifat-sifat mulia, yang dalam pandangan Aisyah,”akhlaquhu ka al-Qur’an yajri fi al-ard”. Perilakunya bagaikan al-Qur’an yang berjalan di atas bumi. Sebuah ungkapan tentang contoh hidup (teladan) dari sebuah idealisme Islam. Sehingga wajar tatkala Muhammad wafat, banyak para sahabat yang yang merasa sedih kehilangan beliau, bahkan ketika haji wada’ (haji perpisahan) para sahabat telah banyak yang menangis karena kata-kata Nabi telah menandakan bahwa beliau akan meninggal.[3]
Pada saat Tabi’in hidup pada abad pertengahan awal hijriah, memang telah ada sekelompok orang yang menyerahkan hidupnya hanya untuk Allah, diantaranya yang hidup pada 21-110 H/728 M adalah Hasan al-Bashri, dari kalangan Tabi’in Madinah tapi kemudian menetap di Bashrah. Hasan al-Bashri mengenalkan beberapa konsep antara lain:
1. Zuhud dan menolak segala kesenangan dunia.
2. Khauf (takut) akan segala bentuk dosa.
3. Raja’ yaitu pengharapan akan mardlotillah.[4]
Hasan melihat bahwa umat Islam pada saat itu telah banyak terjebak pada kesenangan duniawi, kesenangan yang mudah dan banyak didapatkan karena dunia Islam telah berada pada masa kemakmuran. Dan para pejabat yang duduk diposisi strategis banyak terbuai oleh kesenangan profanistik, mereka menghiasi dirinya dengan kemegahan dan kemewahan yang tidak dicontohkan oleh Nabi sendiri semasa hidupnya.
Hasan al-Basri akhirnya membentuk sebuah majlis (kelompok) kecil dan mewariskan ajaran-ajarannya pada murid-muridnya. Di dalam majlisnya tersebut yang terletak di Bahsrah, kelompok Hasan al-Basri inilah yang merupakan cluster perkembangan tasawuf tahap awal.
Selain Hasan al-Basri, tokoh sufi terkenal lainnya adalah Rabi’ah al-Adawiyah yang lahir pada 95 H/713 M di Basrah,[5] ia terkenal dengan Hubb Allah-nya, sufi perempuan pertama yang terkenal ini mengenalkan konsep hub allah dalam pengertian yang kuat dan emosional. Memang istilah hubb bisa kita temukan dari hadis-hadis Nabi, tapi konsep hubb dalam Rabi’ah al-Adawiyah telah mengantarkannya pada esoterik cinta. Ia meninggal pada 185 H/801 M dalam kesendiriannya di dalam gua yang selama ini menjadi tempatnya berasyik masyuk dengan Sang Tuhan.[6]
Tidak dijelaskan apakah Rabi’ah pernah berguru pada Hasan al-Bashri, tapi beberapa sejarawan ada yang mencatatnya telah pernah bertemu dengan Hasan al-Bashri, tapi tentu saat itu usia Rabiah masihlah sangat muda. Jika ia bertemu pada tahun 110 pada akhir masa al-Bashri tentu Rabiah masih berusia 15 tahun. Tapi yang jelas menurut sejarah ia berguru pada Sufyan al-Tsauri (97-161 H), yang juga salah seorang zahid generasi awal.[7]
Tapi terus terang pada masa diatas penggunaan nama sufi masih belum penulis temukan kecuali pendapat Abd al-Rahman al Jami yang mengatakan bahwa pada masa ini telah ada seorang zahid bernama abu Hasyim al-Kufi (w.776 M) yang hidup di kufah telah disebut sebagai sufi,[8] tapi pendapat ini tidak sesuai dengan pendapat kebanyakan pengamat sejarah Islam, jadi wajar jika sebagian sarjana Islam mengistilahkan masa diatas sebagai masa asketisme dan prilakunya disebut dengan zahid atau apa yang penulis sebut periode ini sebagai periode embrio tasawuf.
2. Tasawuf Awal dan Perkembangan: Kultur Intelektual Al-Hallaj
Pada masa Abbasiyah telah hadir Dzu al-Nun al-Mishri, ia dilahirkan di Mesir pada tahun 190-an Hijriah, dikenal sebagai pengkritik prilaku ahli hadis-Ulama fiqh, Hadis, dan teologi- yang dinilai mempunyai perselingkuhan dengan duniawi, sebuah kritikan yang membuat para Ahlu al-Hadist kebakaran jenggot dan mulai menyebut al-Mishri sebagai Zindiq, pada tingkat penolakan yang kuat oleh ahlu al-hadist membuat ia memutuskan untuk pergi ke Baghdad yang saat itu dipimpin oleh khalifah al-Mutawakkil, setelah ia diterima oleh khalifah dan dikenal dalam lingkungan istana, pihak Mesir pun menjadi segan kepadanya, al-Mishri dikenal sebagai orang pertama yang mengenalkan maqamat dalam dunia sufi dan telah dikenal sebagai sufi yang dikenal luas oleh para peneliti tasawuf. Pemikirannya menjadi permulaan sistematisasi perjalanan ruhani seorang sufi. Ia meninggal pada tahun 245 H di Qurafah Shugra dekat Mesir.
Setelah al-Misri, datang seorang sufi bernama Surri al-Saqathi pada 253 H, ia mengenalkan uzlah-uzlah yang sebelumnya hanya dikenal sebagai tindakan menyendiri secara personal, dikembangkan al-Saqathi menjadi “uzlah kolektif”, uzlah yang ditujukan untuk menghindari kehidupan duniawi yang melenakan ataupun kehidupan duniawi yang penuh degan pertentangan, intrik dan pertumpahan darah. Pada masa-masa diatas telah mulai dikenal istilah sufi di beberapa kalangan, sebuah sebutan bagi mereka yang menghindari secara ketat terhadap kesenangan duniawi dan memilih untuk memfokuskan diri pada perkara uhkrawi (kelak konsep uzlah inilah yang banyak dianut oleh tasawuf sunni dikemudian hari).[9]
Abu Yazid al-Bistami pada 260 H/873 M, seorang sufi Persia yang mulai mengenalkan konsep ittihad atau penyatuan asketis dengan Tuhan, penyatuan tersebut menurutnya dilalui dengan beberapa proses, mulai fana’ dalam dicinta, bersatu dengan yang dicinta, dan kekal bersamanya. Jadi wajar jika al-Bistami dianggap oleh Nicholson, sebagaimana yang dikutip oleh Lammen, sebagai pendiri tasawuf dengan ide orisinil tentang wahdatul wujud di timur sebagaimana theosofi yang meruapakan kekhasan pemikiran Yunani.[10]
Pengaruh Abu Yazid saat itu sangat luas bukan hanya di dunia muslim tapi menembus hingga batas-batas agama. Tapi tentu ungkapan-ungkapan al-Bistami telah menghadirkan pertentangan dengan Ulama’ Hadis, mereka mengancam pandangan-pandangan pantheisme al-Bistami yang di anggap sesat.
Pasca al-Bishtami, al-Junaid pada 297 H / 909 M hadir dengan coba mengkompromikan tasawuf dengan syariat,[11] hal ini ia lakukan setelah melihat banyaknya pro-kontra antara sufi dan ahlu al-hadis[12] di masanya, lagi pula al-Junaid juga mempunyai basik (otoritas) sebagai seorang ahli hadis dan fiqh. Dengan apa yang dilakukannya, al-Junaid berharap kalangan ortodoksi Islam tidak menghakimi kaum tasawuf sebagai kaum yang sesat. Dan rupanya al-Junaid berhasil, minimal ia telah mengubah cara pandang kalangan ortodoksi terhadap tasawuf. Tampil bersama dengan al-Junaid, al-Kharraj (277 H) yang juga menelurkan karya-karya kompromistis antara ortodoksi Islam dan tasawuf.
Mansur Al-Hallaj[13], murid al-Junaid yang hidup pada 244-309 H/858-922 M hadir dengan lebih berani dan radikal, sufi yang juga pernah berguru pada para guru sufi di bashra ini hadir dengan konsep hulul yaitu konsep wahdatul wujud dalam versi yang lain, jika al-Bistami memulainya dengan fana’ fillah, maka al-Hallaj mengemukakan pemikiran al-hulul yang berangkat dari dua sifat yang dipunyai manusia yaitu nasut dan lahut dengan cara mengosongkan nasut dan mengisinya dengan sifat lahut maka manusia bisa ber-inkarnasi dengan Allah atau yang terkenal dengan istilah hulul[14], dan seterusnya. Al-Hallaj tidak memakai tedeng aling-aling dalam menceritakan pengalaman spiritualnya dalam khalayak umum, baginya yang ada hanyalah Allah, tidak ada sesuatu pun yang harus ditutupi dari sebuah kebenaran, baginya kecintaan pada Allah dan “persetubuhan” dengan Allah dapatlah diraih, bahkan saat al-Hallaj dipasung ia sempat berkata,”Ya Allah ampunilah mereka yang tidak tahu, seandainya mereka tahu tentu mereka tidak akan melakukan hal ini”.[15]
Para sufi-sufi diatas kemudian diklasifikasikannya sebagai sufi falsafi dan sufi amali akhlaqi, diantara yang termasuk tasawuf falsafi adalah al-Hallaj, al-Farabi, dan al-Bistami, dan diantara yang menganut tasawuf amali adalah al-Junaid dan al-Kharraj.[16] Kaum falsafi biasanya diidentikkan dengan konsep sakr (kemabukan) dan isyraqiyah (pancaran), adapun tasawuf amali atau akhlaqi biasanya diknal dengan konsep sahw (ketenangan hati) dan zuhd.[17]
3. Perjalanan Intelektual Mansur Al-Hallaj: Suatu Kilas Balik
Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur’an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur’annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek kezuhudan keras semisal puasa dan shalat sunat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.[18]
Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Tidak jelas mengapa ia berbuat demikian. Sama sekali tidak dijumpai ada laporan ihwal corak pendidikan khusus yang diperolehnya dari Sahl. Tampaknya ia tidak dipandang sebagai murid istimewa. Al-Hallaj juga tidak menerima pendidikan khusus darinya. Namun, ini tidak berarti bahwa Sahl tidak punya pengaruh pada dirinya. Memperhatikan sekilas praktek kezuhudan keras yang dilakukan al-Hallaj mengingatkan kita pada Sahl. Ketika al-Hallaj memasuki Bashrah pada 884 M, ia sudah berada dalam tingkat kezuhudan yang sangat tinggi. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid,[19] seorang sufi paling berpengaruh saat itu.
Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga. Tampaknya seorang sahabat Amr yang bernama al-Aqta yang juga murid Junaid mengetahui kemampuan dan kapasitas spiritual dalam diri al-Hallaj dan menyarankan agar ia menikah dengan saudara perempuannya, (Massignon menunjukkan bahwa pernikahan ini mungkin punya alasan politis lantaran hubungan al-Aqta). Betapapun juga Amr tidak diminta pendapatnya, sebagaiman lazimnya terjadi. Hal ini menimbulkan kebencian dan permusuhan serta bukan hanya memutuskan hubungan persahabatan antara Amr dan Al-Aqta, melainkan juga membahayakan hubungan guru-murid antara Amr dan al-Hallaj. Al-Hallaj yang merasa memerlukan bantuan dan petunjuk untuk mengatasi situasi ini, berangkat menuju Baghdad dan tinggal beberapa lama bersama Junaid, yang menasehatinya untuk bersabar. Bagi Al-Hallaj, ini berarti menjauhi Amr dan menjalani hidup tenang bersama keluarganya dan ia kembali ke kota kelahirannya. Diperkirakan bahwa ia memulai belajar pada Junaid, terutama lewat surat-menyurat, dan terus mengamalkan kezuhudan.
Enam tahun berlalu, dan pada 892 M, al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan mungkin juga Junaid.
Sangat boleh jadi bahwa Amr segera menentang al-Hallaj. Aththar menunjukkan bahwa al-Hallaj datang kepada Junaid untuk kedua kalinya dengan beberapa pertanyaan ihwal apakah kaum sufi harus atau tidak harus mengambil tindakan untuk memperbaiki masyarakat (al-Hallaj berpandangan harus, sedangkan Junaid berpandangan bahwa kaum sufi tidak usah memperhatikan kehidupan sementara di dunia ini). Junaid tidak mau menjawab, yang membuat al-Hallaj marah dan kemudian pergi. Sebaliknya, Junaid meramalkan nasib Al-Hallaj.
Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899 M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902 M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu).[20] Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Banyak legenda dituturkan dalam perjalanan ini berkenaan dengan diri al-Hallaj berikut berbagai macam karamahnya. Semuanya ini makin membuat al-Hallaj terkenal sebagai mempunyai perjanjian dengan jin. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906 M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.
Tahun 913 M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912 M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913 M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, “Akulah Kebenaran” (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi “hewan kurban”. Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia. Ia menjadi seorang Jesus Muslim, sungguh ia menginginkan tiang gantungan.
Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918 M, ia diawasi, dan pada 923 M ia ditangkap.[21]
Sang penasehat khalifah termasuk di antara sahabat al-Hallaj dan untuk sementara berhasil mencegah upaya untuk membunuhnya. Al-Hallaj dipenjara hampir selama sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Bagdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.
Tak lama kemudian, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.[22]
Melacak Paradigma Pemikiran Al-Hallaj: Pemikiran Gradual Dalam Tataran Konsep
Husein ibn Manshur al-Hallaj yang merupakan syekh sufi paling terkenal pada abad 9 M, karena ia mengeluarkan statemen kontroversial, “Akulah Kebenaran”, suatu statemen yang membuatnya dieksekusi secara brutal. Bagi para ulama ortodoks, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bidah, sebab Islam eksoteris tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (al-Haq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri.
Kaum sufi yang sezaman dengan al-Hallaj juga sangat terkejut dengan pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniyyahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap rahasia tersebut.
Walau demikian, hampir semua syekh sufi sesudahnya memuji al-Hallaj dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. ‘Aththar dalam karyanya Tadzkirat al-Aulia, menyuguhkan banyak legenda seputar al-Hallaj. ‘Aththar menyatakan, seperti yang dikutip oleh Muhammad Ali Jamnia, bahwa ketakjuban manusia yang bisa menerima semak-belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as.) yang mengatakan, ‘Aku adalah Allah’, serta benar-benar meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, ‘Akulah Kebenaran’, padahal itu adalah kata-kata Allah sendiri!”.[23] Di dalam syair epiknya yang terkenal yaitu Matsnawi, Jalaluddin Rumi mengatakan bahwa kata-kata ‘akulah Kebenaran’ adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara ‘akulah Tuhan’ yang berasal dari Fir’aun adalah kedzaliman.[24]
Perlu dipahami bahwa pada abad ke 3 H, sufisme telah mentransformasi diri dari kezuhudan dan kesederhanaan kepada suatu pemahaman yang cenderung mengabaikan syariat secara berlebihan dan radikal[25], seperti kecenderungan para fukaha Ahlussunnah kepada syariat. Tokoh-tokoh sufi berpendapat bahwa pelaksanaan syariat itu hanya tepat untuk tahap permulaan, atau sekedar tangga yang mesti dilalui untuk pindah ke tahap berikutnya. Sebagian tokoh—terutama al-Hallaj—berpendapat bahwa barang siapa sudah sampai ke tujuannya, dia tidak memerlukan perantara lagi, dia diperbolehkan mengabaikan perantara-perantara tersebut. Karena itu, mereka berpendapat bahwa syariat itu boleh saja dilaksanakan sekedar formalitas; karena pelaksanaan syariat itu bahkan kadang-kadang menyebabkan timbulnya halangan dalam menyelamatkan diri mereka.[26]
Al-Hallaj dan kawan-kawannya lebih jauh bahkan berpendapat bahwa para wali mereka lebih tinggi derajatnya dibandingkan Nabi. Hubungan para wali dengan Tuhan mereka adalah hubungan langsung; mereka menyatu dan melebur (fana) di dalam-Nya. Sedangkan para nabi tidak berhubungan dengan-Nya kecuali perantara. “Kami mengarungi lautan, sedangkan para nabi berdiri di tepi lautan itu”. Mereka, Para sufi, berkata bahwa hanya diri mereka yang paling dekat dengan sang Mawla (Tuhan) jika dibandingkan fukaha Ahlussunnah yang paling taqwa sekalipun. Bahkan mereka lebih tahu tentang agama dibandingkan mereka. Agama ulama fikih, menurut mereka, adalah agama lahir, sedangkan agama mereka sendiri adalah agama batin. Mereka mengklaim bahwa makrifat dan hikmah Ilahiyyah lebih tinggi daripada ilmu para ulama. Alasannya, tidak ada ilmu yang menandingi tafakur, dan orang yang sudah mendalam ilmunya, maka dia akan dapat melihat dengan benar.[27]
Pemikiran al-Hallaj tentang inkarnasi (hulul), kefanaan dalam Zat Tuhan, serta kesatuan wujudnya dengan Tuhan dituduh telah menggangu ketenangan Islam. Al-Hallaj memproklamirkan tentang pencampuran ruh Tuhan dengan ruh manusia, seraya menjelaskan dalam syairnya bahwa dirinya dan al-Haqq, sang Pencipta adalah satu :
Akulah yang ingin dan Yang ingin adalah aku
Kami adalah dua ruh yang tinggal di satu badan
Jika kamu melihatku, berarti melihat-Nya
Dan jika kamu melihat-Nya, berarti kamu melihat kami[28]
Dalam dua buah bait syairnya di atas, dia mengemukakan bahwa dua sisi jurang telah tergabung. Yaitu, jurang yang tak berbatas dengan jurang yang berbatas; antara Allah dan manusia, menurut para fukaha Islam.[29]
Al-Hallaj dalam pengajaran doktrinnya yang paling dramatic adalah Tuhan memiliki sifat lahut dan nasut, demikian juga manusia. Melalui maqamat (stasiun), manusia mampu ke tingkat fana suatu tingkat di mana manusia telah mampu menghilangkan nasut-nya dan meningkatkan lahut yang mengontrol dan menjadi inti kehidupan. Dalam demikian itu, manusia memungkinkan untuk menghululkan Tuhan dalam dirinya, atau dengan kata lain, Tuhan menitis kepada hamba yang dipilih-Nya, melalui titik sentral yaitu roh.[30]
Sesuai dengan ajarannya tersebut, maka ketika ia mengatakan statemen “Aku adalah Al-Haqq” bukanlah al-Hallaj yang mengucapkan kata-kata itu, tetapi roh Tuhan mengambil tempat dalam dirinya. Artrinya Tuhan mengucapkan kata-kata melalui diri al-Hallaj sebagai mediasi profinistiknya.
Sementara itu, hulul¬-nya Tuhan kepada manusia erat kaitannya dengan maqamat sebagai mana telah disebutkan, terutama maqam fana. Fana bagi al-Hallaj mengandung tiga tingkatan:
1. Tingkat memfanakan semua kecenderungan dan keinginan jiwa.
2. Tingkat memfanakan semua pikiran (tajrid aqli), khayalan, perasaan dan perbuatan hingga tersimpul semata-mata hanya kepada Allah.
3. Tingkat menghilangkan semua kekuatan pikir dan kesadaran.
Dari tingkat fana dilanjutkan ke tingkat fana al-fana, peleburan wujud jati manusia menjadi sadar ketuhanan melarut dalam hulul hingga yang disadarinya hanyalah Tuhan.[31] Tiada dalam kesadaran manusia akan eksistesi dirinya yang larut dalam fana kecuali kesadaran akan eksistensi Tuhan.
Karena Tuhan itu adalah Wahid, Ahad, Wahiid, dan Muwahhad maka pada dasarnya tidak ada yang mengesakan Allah kecuali Allah sendiri. Selama mengaku kediriannya dalam mengesakan Allah itu, selama itu ia belum bertauhid dan masih berada dalam syirik khafi. Oleh karena Tuhan ‘melarut’ dalam diri hamba yang dikehendaki-Nya, maka tauhid si hamba yang dikehendaki itu adalah terhadap diri yang fana al-fana itu sendiri, di mana ‘diri’ telah ‘berubah’ kepada Dia yaitu al-Haqq.[32]
Salah satu teorinya yang lain adalah adanya fenomena Nur Muhammad. Al-Hallaj memandang kepada Nabi Muhammad dalam dua bentuk yang berbeda satu sama lain. Satu bentuk adalah berupa Nur Muhammad yang qadim, telah ada sebelum adanya segala yang maujud ini, dan dari padanya terpancar segala macam ilmu dan pengetahuan yang ghaib. Yang kedua adalah bentuk Nabi yang diutus keadaannya baharu, dibatasi oleh waktu dan dari sini lahir kenabian dan kewalian.[33]
Ide Nur Muhammad itu menghendaki adanya Insan Kamil, sebagai manifestasi kesempurnaan pada manusia. Dari sini al-Hallaj menampilkan Insan Kamil itu bukan pada diri Nabi Muhammad sendiri melainkan kepada diri Nabi Isa al-Masih. Bagi al-Hallaj, Isa adalah al-Syahid ala Wujudillah, tempat tajalli dan berwujudnya Tuhan. Demikian juga hidup kewalian yang sesungguhnya ada pada kehidupan Isa al-Masih itu.[34]
Penutup
Mansur Al-Hallaj merupakan suatu ikon tokoh tasawuf kontroversial dengan memunculkan statemen-statemen (syatahat) diluar jangkau rasionalitas manusia yang tidak mempunyai otoritas spiritualitas seperti dirinya. Konsep yang dimunculkannya banyak berimplikasi konstruktif pada penyatuan pandangan terhadap agama-agama di dunia menuju titik konvergensi dan pencerahan religiusitas umatnya. Dan dengan konsep hululnya ini pula, manusia dapat meraih hakikat spritualitas-religiusitas paling tinggi dan juga mampu meraih “penyatuan” dengan realitas ketuhanan menuju fase “kenikmatan tanpa batas”.
Tiada kata akhir selain kata “akhir” dari kalam Tuhan,
billahi taufiq wal hidayah.
________________________________________
[1] Afzalur Rahman. Tuhan Perlu Disembah: Eksplorasi Dan Manfaat Shalat Bagi Hamba. Jakarta: Serambi. 2002. Hal: 224
[2] Hamdani Rasyid. Kisah Tauladan Para Sahabat Nabi. Surabaya: PT. Inika Setya. 1997. Hal: 290. Lihat juga dalam Mahyuddin. Kuliah Akhlaq Tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia. 2001. Hal: 59-69
[3] Muhammad Husein Haekal. Sejarah Hidup Nabi Muhammad. Yogyakarta: Pustaka Hidayah. 1996. Hal: 478
[4] Amin Syukur. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999. Hal: 12
[5] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam Jilid 6. Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve. 1997. Cet. 4. Hal: 60
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Al- Jami’ Abd al-Rahman. Nafahat al-Uns Min Hadarat al-Quds: Pancaran Kaum Sufi. Terj.: Kamran As’ad Irsyady, Edt.: Bioer R. Soenardi.Yogyakarta: Pustaka Sufi. 2003. Hal: 3
[9] Kata uzlah juga dikenal di kalangan tasawuf falsafi, uzlah dalam pandangan ini mengandung pengertian sebuah usaha untuk mencapai nalar rasional. Uzlah tipe ini dikemukakan oleh Ibnu Bajjah. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam Jilid 5. Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve. 1997. Cet. 4. Hal: 154
[10] Amin Syukur. Menggugat … Op. Cit. Hal: 33
[11] H.Lammens. Islam, Beliefs and Institutions. New Delhi: Oriental Bokks. 1979. Hal: 126
[12] Istilah ahli hadis pada masa itu tidak hanya dipakai untuk mereka yang memang punya spesifikasi hadis tapi juga para ulama fiqh, yang menyandarkan pendapatnya pada teks-teks al-qur’an dan al-hadis.
[13] Mansur Al-Hallaj dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866 M. Berbeda dengan keyakinan umum, Al-Hallaj bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk agama Islam. Rosihon Anwar. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2000. Hal: 135
[14] Hulûl secara etimologis berasal dari kata hall-yahull-hulûl berarti berhenti atau diam. Menurut Abû Manshûr al-Hallaj dalam tasawuf filosofis menyatakan bahwa hulûl adalah pengalaman spiritual seorang sufi sehingga ia dekat dengan Allah, lalu Allah memilih kemudian menempati dan menjelma padanya. Konsep hulûl dibangun di atas landasan teori lâhût dan nâsût. Lâhût berasal dari perkataan ilâh yang berarti tuhan, sedangkan lâhût berarti sifat ketuhanan. Nâsût berasal dari perkatan nâs yang berarti manusia; sedangkan nâsût berarti sifat kemanusiaan. Al-Hallaj mengambil teori hulûl dari kaum Nasrani yang menyatakan bahwa Allah memilih tubuh Nabi Isa, menempati, dan menjelma pada diri Isa putra Maryam. Nabi Isa menjadi Tuhan, karena nilai kemanusiaannya telah hilang. Hulûl Allah pada diri Nabi Isa bersifat fundamental dan permanen. Sedangkan hulûl Allah pada diri al-Hallaj bersifat sementara; melibatkan emosi dan spiritual; tidak fundamental dan permanen. Al-Hallaj tidak menjadi Tuhan dan tidak menyatakan Tuhan, kecuali ucapan yang tidak disadarinya (syathahât). Al-Hallaj tidak kehilangan nilai kemanusiannya. Ia hanya tidak menyadarinya selama syathahât. Adapun tazkiyat al-nafs adalah langkah untuk membersihkan jiwa melalui tahapan maqâmât hingga merasakan kedekatan dengan Allah dan mengalami al-fanâ’ ‘an al-nafs. Out put dari tazkiyat al-nafs adalah lâhût manusia menjadi bening, sehingga bisa menerima hulûl dari nâsût Allah. Harun Nasution. Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1995. Hal: 87-91. Lihat juga dalam Shayk Ibrahim Gazur I-’llahi. The Secret Of The ’l-Haqq. Terj: HR. Bandaharo dan Joebaar Ajoeb. Mengungkap Misteri Sufi Besar Mansur Al-Hallaj: Ana Al-Haqq. Jakarta: CV. Rajawali. 1986.
[15] Al-Hallaj dipasung oleh pemerintahan dinasti Abbasiyah pada tahun 923 M atas tuduhan paham sesat dan atas tuduhan terlibat dengan aliran syi’ah qaramiyah yang menentang dinasti Abbasiyah. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi … Op. Cit. Hal: 74. Lihat pula dalam Ira M. Lapidus. Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1999. Hal: 172
[16] Rivay Siregar. Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo Klasik. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2000. Hal: 69-141
[17] Georges C. Anawati. Philosophy, Theology, And Mysticism, dalam Legacy Of Islam. Edt.: Joseph Schaht. Oxford: Oxford University Press. 1984. Hal: 368
[18] Rosihon Anwar. Ilmu Tasawuf … Loc. Cit. Hal: 135. Lihat juga dalam Mahyuddin. Kuliah Akhlaq … Op. Cit. Hal: 74
[19] Rosihon Anwar. Ilmu Tasawuf … Op. Cit. Hal: 135
[20] Saleh Abdul Sabur. Tragedi Al-Hallaj. Bandung: Pustaka. 1995. Hal: viii. Lihat juga dalam Cyril Glasse. The Concise Ensyclopedia Of Islam. Terj: Ghufron A. Mas’adi. Ensiklopedi Islam (Ringkas). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1996. Hal: 120
[21] Alwi Syihab. Islam Sufistik. Jakarta: Mizan. 2001. Hal: 29. Lihat juga dalam Yunasril Ali. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1987. Hal: 67
[22] Rosihon Anwar. Ilmu Tasawuf … Op. Cit. Hal: 136
[23] Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia. Negeri Sufi. Jakarta : Lentera. 1997. Hal: 5
[24] Ibid. Hal: 7
[25] Nursiah. Ibnu Arabi Dan Syariah. Mizan: Bandung. 2007. Hal: 10
[26] Husin Ahmad Amin. 100 Tokoh Dalam Sejarah Islam. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. 1995. Hal: 113
[27] Ibid.
[28] Kausar Azhari Noer. Ibnu Al-‘Arabi: Wihdatul Wujud Dalam Perdebatan. Jakarta: Paramadina. 1995. Hal: 124
[29] Husin Ahmad Amin. 100 Tokoh … Op. Cit. Hal: 113
[30] M. Laily Mansur. Ajaran Dan Teladan Para Sufi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1996. Hal: 112
[31] Ibid.
[32] Ibid.
[33] Nur Aini. Nur Muhammad: Paradigma Nilai Dasar Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Makalah Latihan Kader II HMI Cabang Jember Se Jawa Dan Bali di Yabina. Tanggal 20 Oktober 2006. Maklah tidak diterbitkan.
Muqoddimah Allah SWT telah menciptakan manusia dgn sesempurna mungkin. Kemudian Allah SWT turunkan para nabi-Nya utk membimbing mereka kearah jalan yg benar. Seluruh rangkaian kenabian ditutup dgn diutusnya Nabi Muhammad SAW dilengkapi dgn petunjuk Al Qur`an utk seluruh ummat manusia dimana nabi-nabi sebelumnya hanya diutus kepada kaumnya yg jumlahnya menurut informasi Nabi SAW berjumlah 124.000 nabi alaihissalaam . Rasulullah SAW menanamkan Islam kepada pengikutnya di Makkah dan kemudian menyebar ke Madinah selanjutnya berkembang ke semenanjung jazirah Arab sampai wafatnya beliau. Kemudian kendali pemerintahan Islam dilanjutkan oleh para khulafaurrosyidin sehingga da`wah semakin meluas dan penaklukan kota dan negara semakin luas sehingga banyak bergesekan dgn budaya lokal serta adat istiadat non Islam yg tidak jarang pada masa-masa berikutnya terjadi akulturasi . Kalau pada abad pertama pertahanan aqidah dan syariat sangat kuat sehingga pengaruh budaya dan pemikiran dari luar Islam tidak dapat mempengaruhi kehidupan ummat Islam. Tetapi pada abad kedua diketemukan nilai-nilai Islam yg semakin mengendor dan kehidfupan semakin mewah pada saat itu banyak upaya mengadopsi pemikiran dan budaya luar kedalam budaya dan pemikiran Islam. Diantara pemikiran luar yg masuk kedalam budaya Islam adl tasawuf. Makanya istilah tasawuf tidak dikenal pada generasi pertama tidak pula tertera dalam Al Qur`an maupun hadits. Sehingga Ibnu Kholdun sejarawan muslim terkemuka mengatakan ” Sesungguhnya perkembangan tasawuf terjadi pada abad kedua dimana keadaan manusia bergelimang dunia maka sejumlah orang meninggalkan kemewahan itu dan melakukan hidup zuhud dan ibadah maka mereka disebut sufiyah”}. Maka para ulama membuat landasan bahwa Islam telah sempurna dan konsep apapun harus diukur dgn Al Qur`an dan As Sunnah manakala bersesuaian dgn Islam diambil manakala bertentangan harus ditolak. Demikian halnya dgn tasawuf marilah kita lihat sejauh mana jauh dekatnya dgn Islam.
Definisi Tasawuf Para ulama dan peneliti tidak ada yg sepakat asal usul kata tasawuf paling tidak ada tujuh perbedaan ;
1. Dari kata yg berarti bersih seperti kata Mahmud Amin An-Nawawy Artinya; “Segolongan ahli tasawuf berkata bahwasanya pemberian nama menjadi sufiyah krn kesucian rahasianya dan kebersihan kelakuannya.”
2. Istilah sufi adl nama yg dinisbatkan kepada kata yg bentuk jama`nya berarti shaf atau barisan. Hal ini sesuai dgn keterangan Mahmud Amin An-Nawawy yg mengatakan ” Segolongan berkata; bahwasanya mereka menamakan shufiyah krn mereka berada pada posisi shaf yg terdepan disisi Allah `Azza Wa Jalla dgn ketinggian cita-citanya kepada-Nya dan utk bertemu dengan-Nya serta hatinya selalu tegak disisi-Nya.”
3. Istilah sufi adl nama yg dinisbatkan kepada perkataan yg diberikan kepada orang-orang Shufi dimasa Rasulullah SAW krn mereka menempati gubuk-gubuk yg telah dibangun oleh Rasulullah SAW disekitar masjid Madinah. Hal ini sesuai dgn keterangan Abul`Alaa`Afiefy yg mengatakan ” Shufi berkaitan dgn Ahlush Shuffah; yaitu nama yg dikhususkan kepada beberapa Fakir-Muslim pada masa permulaan Islam. Mereka itu termasuk orang-orang yg tidak memiliki rumah. Maka mereka menempati gubuk yg telah dibangun oleh Rasulullah SAW diluar Masjid Madinah”.
Tetapi Mahmud Amin An-Nawawy mengatakan “Segolongan berkata Bahwasanya mereka menamakan dirinya Shufiyah krn sifat-sifatnya mirip dgn sifat-sifat Ahlus Shuffah yg dimasa Rasulullah SAW “.
4. Istilah sufi adl nama yg dinisbatkan kepada kata yg artinya bulu atau wol. Karena orang-orang Tasawuf pada umumnya mengkhususkan dirinya dgn memakai pakaian yg berasal dari bulu domba. Hal ini dikatakan oleh Qusyairy ” Adapun orang-orang yg mengatakan bahwa berasal dari kata Shuuf adl dia berpakaian Shuuf jika ia memakai baju bulu; sebagaimana dikatakan dia berpakaian kemeja bila memakai kemeja”.
5. Istilah sufi adl nama yg dinisbatkan kepada kata yg artinya pilihan . Hal ini dikatakan oleh Yusuf bin Al-Husein “Setiap umat terdapat orang-orang pilihan ; dan mereka adl titipan Allah yg tersembunyi dari makhluk-Nya Apabila terdapat orang-orang tersebut pada ummat ini maka mereka itulah Shufiyah”.
6. Istilah sufi adl nama yg dinisbatkan kepada keterangan Karena pada umumnya orang-orang tasawuf menonjolkan dirinya dgn menunjukkan sifat-sifatnya yg terpuji. Hal ini diterangkan oleh Mahmud Amin An-Nawawy ” Pernah Asy Syibly ditanya Mengapa orang-orang Shufi dinamakan Shufi ? Ia menjawab Karena padanya terlukis adanya gambaran dan ketetapan sifat ?.
7. Istilah sufi adl nama yg dinisbatkan kedalam bahasa Yunani; dari kata “Sopos” atau “Sapis” yg dapat diartikan dgn “Ahli Mistik”. Hal ini sesuai dgn keterangan Yoseph Founhamer dan Tholuck yg diterjemahkan oleh Abul `Alaa `Afiefy kedalam bahasa Arab yg artinya ” ?dan sesungguhnya ada dua macam kata bahasa Arab “Shufiyyu” dan “Shaafiyyu” bersumber dari kata asli bahasa Yunani dari kata “Sopos” dan “Sapis” “.
Banyak penulis lbh cenderung mengambil pendapat Al-Qusyairy sebagai pendapat yg paling kuat dari seluruh pendapat tersebut dimuka. Karena pada umumnya orang-orang memberikan nama panggilan kepada orang lain berdasarkan kebiasaan lahiriah yg paling menonjol padanya; misalnya pakaiannya. Karena ciri khas yg paling menonjol dan gampang diketahui pada orang Tasawuf adl pakaian wolnya maka ia dinamakan Shufi .
Sejarah perkembangan Tasawuf Sebagaimana telah kami kemukakan didepan bahwa istilah tasawuf tidak dikenal dimasa Nabi SAW dan para sahabatnya. Tetapi yg dikenal adl zuhud dan wara` . Istilah sufi pertama kali digunakan yaitu kepada Abu Hasyim Al Kufi dan ia orang yg pertama kali membangun tempat ibadah khusus bagi sufi di Ramlah wilayah Syam . Meskipun demikian orang sufi selalu menisbatkan tasawuf kepada Nabi SAW melewati Ali dilanjutkan oleh Hasan Al-Basri dst.
Sederetan nama sahabat yg menjadi rujukan ahli tasawuf ; Abu Bakar As-Shidiq Umar bin Khattab Utsman bin Affan Ali bin Abi Thalib Salman Al Farisi Abu Dzar Al Ghifari Miqdad bin Al Aswaddll.
Kemudian pada masa tabiin terkenal nama Hasan Al Basri dan Sofyan Al-Tsauri . Baru kemudian murid-murid Abdul Wahid bin Yazid pengikut Hasan Al Basri membangun tempat khusus utk warga sufi disebut duwairah demikian pendapat Ibnu Taimiyah .
Pada abad kedua dikenal nama-nama Ibrahim bin Adham Al Balakhi dan Rabiah Al Adawiyah . Ciri menonjol pada pengikut Hasan Al Basri adl rasa takut yg berlebih kepada Allah selain zuhud dan banyak ibadah sementara pada Rabiah Al Adawiyah lbh menonjol rasa muhabbah kepada Allah SWT. Sementara para ulama menyebutkan perlunya keseimbangan agar tidak menyimpang kata mereka “Barang siapa menyembah Allah SWT hanya dgn rasa muhabbah saja dia menjadi zindik barangsiapa menyembah Allah SWT hanya dgn rasa takut maka dia menjadi khawariij dan barang siapa menyembah Allah SWT dgn harapan maka dia menjadi murjiah dan barang siapa menyembah Allah SWT dgn cinta rasa takut dan harapan maka ia mukmin sejati”. .
Pada abad ketiga tasawuf semakin solid dan berkembang dgn tokoh sentral Abu Sulaiman Addaaroony Ahmad Al Hawary Abul Faidh Zunnun Al Misri Bisyir Al Hafi Abu Bakar Al-Syibli Al Haris Al Muhasibi Assirri Assiqthi Abul Yazid Al Busthami Al-Junaid dan Al Hallaj .
Pada masa ini dan sesudahnya tasawuf berkembang menjadi kelompok-kelompok yg ditokohi oleh seorang syaikh. Seperti diungkap oleh Al Hajwairi ” Pada masa itu lahirlah tarekat-tarekat sufi berjumlah duabelas dan masing-masing menisbatkan dirinya kepada seorang syaikh dari syaikh-syaikh abad tiga dan empat”.
Pada abad keempat tasawuf lbh berkembang lagi sehingga mereka menyebutkan dirinya sebagai ahli hakekat/ bathin sementara ulama lain terutama ulama fiqh disebut sebagai ahli dhohir. Pada masa inilah trend sufi ditetapkan mempunyai empat tahapan atau empat ilmu ;
Ilmu syariah
Ilmu Tariqoh
Ilmu Hakekat
Ilmu Ma`rifat
Pada abad kelima dan seterusnya tasawuf sangat dipengaruhi oleh paham syiah dan filsafat.
Ajaran Sufi Ajaran sufi mengandung usaha mujahadah dan riyadhoh dimana seorang salik harus melewati maqomat dan ahwaal. Maqomat menurut Assarraj Aththusi dalam kitab Alluma` yaitu kondisi ketaatan seorang hamba dihadapan Allah .Maka dia menyebut maqom berupa taubat wara` zuhud . Kemudian salik akan mendapatkan ahwaal yaitu kondisi hati yg bersih krn banyak berdzikir berupa muroqobah tenang menyaksikan kebesaran Allah yakin dll.
Ajaran sufi yg paling banyak ditentang adl konsep hulul yg dicetuskan oleh Abu Yazid Al Busthami dimana Allah masuk kedalam diri seorang sufi sehingga dia mengucapkan syatahat yaitu ungkapan-ungkapan irrasional yg tidak bisa dipahami layaknya orang gila. Hal itu ditentang oleh para ulama krn dianggap bertentangan dgn aqidah Islam dan ajaran seperti itu tidak dikenal dimasa Nabi SAW dan para sahabatnya. Konsep kedua yg ditentang adl wihdatul wujud menyatu dgn Allah SWT. Konsep ini dicetuskan oleh Al Hallaj yg ditentang oleh ulama-ulama dimasanya kemudian dia diajukan kepengadilan krn tidak mau bertaubat akhirnya dihukum mati. Dan ajaran ini dikembangkan oleh Mahyuddin Ibnu Arabi dan dia dikafirkan oleh para ulama yg berjumlah lbh dari 37 orang ulama besar termasuk imam Nawawi. Diantara ajaran/ pendapat Ibnu Arabi dan pengikutnya antara lain ;
Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866M. Ia merupakan seorang keturuna Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: “Akulah Kebenaran“, ucapan yang membuatnya dieksekusi secara brutal.
Bagi sebagian ulama islam, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid’ah, sebab Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, “Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, ‘Akulah Kebenaran’, padahal itu kata-kata Allah sendiri!”. Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, “Kata-kata ‘Akulah Kebenaran’ adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir’aun adalah kezaliman.”
Kehidupan Al-Hallaj
Masa kanak-kanak
Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj.
Masa remaja
Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur’an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur’annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek kezuhudan keras semisal puasa dan shalat sunnat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.
Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh saat itu. Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga.
Ibadah haji
Pada tahun 892M, Al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan juga Junaid.
Menjadi guru
Usai membahas pemikirannya dengan sufi-sufi lain, banyak reaksi baik positif maupun negatif yang diterima oleh Al-Hajjaj yang kemudian memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah. Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.
Akulah Kebenaran!’ dan hari-hari terakhir
Tahun 913M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, “Akulah Kebenaran” (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi “hewan kurban”. Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia.
Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: “Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh.” Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, “Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka.”
Tetapi, kata-kata ini justru mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Orang banyak menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembannya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.
Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru selamat. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial.
Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918M, ia diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.
Al-Hallaj dipenjara selama hampir sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.
Akhirnya, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.


DAFTAR PUSTAKA
http://nesia.wordpress.com/2008/09/09/al-hallaj-dan-firaun-sama-sama-mengaku-tuhan-tapi-mereka-berbeda/
http://ifud17.wordpress.com/2008/08/07/mengenal-al-husain-bin-mansur-al-hallaj/
http://tokohsufi.wordpress.com/2009/11/09/mansur-al-hallaj/
udulTasawuf sebagai kritik sosial: mengedepankan Islam sebagai inspirasi, bukan aspirasiPenulisSaid Aqil SirojPenerbitMizan Pustaka, 2006
JudulAl-Hallaj
Terbitan 2 dari Curzon Sufi series
Jilid 2 dari RoutledgeCurzon Sufi SeriesPenulisHerbert MasonPenerbitRoutledge, 1995

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari