DEMANG LEHMAN BERPUASA, SHALAT DAN BACA AL-QUR'AN DI ANTARA BAYANG KEMATIAN
ENTAH karena kebetulan atau tidak, bulan Ramadhan kerap menjadi moment dalam narasi sejarah Urang Banjar di masa lalu. Mulai dari kembalinya Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dari Mekkah ke Martapura, pada Ramadhan 1186 H (Desember 1772 M).
KEMUDIAN tergadainya Kesultanan Banjar kepada Kolonial Belanda lewat Perjanjian 1826, yang ditandatangani 26 Ramadhan 1241 H (4 Mei 1826 M). Selain itu, pada 24 Ramadhan 1215 H/18 April 1859 M, juga menjadi saat pertama kali meletusnya Perang Banjar.
Bulan Ramadhan juga menjadi momentum ending perlawanan pahlawan asal Banua Banjar Demang Lehman dalam Perang Banjar. Tokoh bernama lain Idis ini tertangkap di wilayah Batu Panggal, Selah Selilau, Batulicin (sekarang Kecamatan Karang Bintang, Tanah Bumbu) pada awal Ramadhan 1280 H (Februari 1864 M).
Kemudian, dalam kondisi tengah berpuasa, Demang Lehman pun dihukum mati/digantung di Lapangan (Alun Alun) Martapura pada 19 Ramadhan 1280 H bertepatan dengan 27 Februari 1864 M sore hari.
Bak cerita film layar lebar, bulan Ramadhan 1280 H menjadi episode tragis perlawanan Demang Lehman, demi kemerdekaan Banua dari cengkeraman kolonialis. Dari deretan data sejarah era kolonial menuliskan Demang Lehman merupakan penganut Islam yang taat menjalankan ajaran agama.
Tokoh pejuang Banjar yang oleh Pemerintah Belanda digelari Solehman ini, tidak pernah meninggalkan shalat dan tetap berpuasa, walau pun bayang kematiannya menuju detik-detik terakhir.
Seperti dituliskan Meyners dalam Bijdragen tot de Geschiedenis van het Bandjermasinsche Rijk (Sumbangan untuk Sejarah Kesultanan Banjar) 1863-1866, terbitan E.J. Brill, Leiden, Belanda. Meyners menuliskan bahwa pada sore hari tanggal 13 Ramadhan 1280 H (21 Februari 1864), kepala kepala wilayah Batoe Litjien (Batulicin), Pangeran Sjarif Hamid bersama dengan mertuanya, Poea Iman Hadjie Mohamat Akil membawa tahanan khusus dalam kondisi terikat.
Dia adalah Demang Lehman yang begitu terkenal, apalagi Mangkubumi Kesultanan Banjar, Pangeran Hidayatullah memberinya gelar Kijai Adipattie Mangko Negara.
Demang Lehman diangkut dengan prauw sopit (perahu supit). Setelah sampai di wilayah Schans Van Thuijll (sekarang Mantuil, Banjarmasin), Demang Lehman lalu dipindahkan ke sekoci recherche (reserse) dan dari Schans Van Thuijll oleh Adjudant Onderofficier Posthouder, Serquet lalu dikawal menuju ke jembatan pendaratan (dermaga) di depan rumah tempat tinggal Residen (sekarang Jalan Jenderal Sudirman, Banjarmasin). Setelahnya, Demang Lehman dipindahkan ke Benteng Tatas (wilayah Masjid Sabilal Muhtadin, Banjarmasin).
Auditor-Militer Hindia Belanda pun segera memerintahkan proses hukum dan mengadili sang Demang. Tepatnya pada sore hari tanggal 14 Ramadhan 1280 H (22 Februari 1864 M) pemeriksaan serta pengadilan di persidangan dimulai. Pemeriksaan dan pengadilan Demang Lehman akhirnya selesai pada pagi hari, 16 Ramadhan 1280 H (24 Februari 1864 M).
Dewan Militer dengan suara bulat menyetujui Demang dihukum mati di Lapangan (Alun Alun) Martapura pada 19 Ramadhan 1280 H (27 Februari 1864 M), sore hari.

Bagaimana kondisi Demang Lehman menjelang detik detik kematiannya di tiang gantungan? Meyners menuliskan Demang Lehman, meski tampaknya kurang bergairah dan mengenakan pakaian buruk (compang camping), ternyata memiliki sesuatu yang mengesankan. Sikap dan ketegasannya.
Demang Lehman bahkan tetap menjalani ibadah puasa sesuai dengan keyakinannya. Memang, Demang Lehman sebagai penganut Islam yang taat pada ajaran agamanya.
Demang Lehman dengan bebas (luwes) berbicara ketika dia selesai diperiksa dan diadili di persidangan di hadapan dewan dan auditor militer serta kepala staf. Kemudian saat dibawa ke hadapan Kolonel Happe, Demang Lehman pun mengulangi permintaannya kepada kolonel.
Seperti yang dinyatakannya dalam sesi terakhir persidangan Dewan Perang, Demang Lehman tidak mau meninggalkan Tanah Borneo (Kalimantan) selamanya, meskipun dia harus mati, dihukum mati dengan cara digantung.
Sebelum Demang Lehman menghembuskan napas terakhir, dia hanya punya satu permintaan. Proses pengurusan jenazahnya dan pemakamannya diurus istrinya. Demang Lehman pada tahun 1862-1863, tercatat memiliki putra bernama Gusti Djadin.
Pada sumber lain tertulis Demang Lehman memiliki dua istri. Istri pertama belum ada sumber menuliskan namanya, sementara istri kedua bernama Ratuoe Atidja (Ratu Atidja). Mertua Demang lehman bernama Pembakkal Koenoer (Pambakal Kunur) yang berdomisili di wilayah Pajukungan dan Alai.
Demang Lehman pun tidak memberontak atau melarang ketika perwakilan Pemerintah Hindia Belanda mengambil fotonya. Dalam kondisi berpuasa dengan tenang, beliau duduk di kursi kayu sambil terjerat tali. Bukannya merasa keberatan difoto, malah sebaliknya, dia tampaknya lebih senang dengan itu.
Setelah vonis ini, maka dibuat pemberitahuan kepada komandan pasukan, juga Asisten Residen di Martapura, dan perwira militer di dewan pengadilan untuk membawa Demang Lehman di bawah pengawalan ketat, tepat waktu.
Pada pagi buta, Demang Lehman diangkut dengan Kapal “Sailoos” ke Martapoera (Martapura) dimana mereka tiba keesokan harinya tanggal 25 Februari 1864.
Demang Lehman dengan tenang naik ke kapal Saijloos yang membawanya pagi buta ke Martapura tanggal 25 Februari yang kemudian akan dieksekusi tanggal 27 Februari 1864. Jadi, sekitar dua hari Demang Lehman ditahan di Martapura sebelum pelaksanaan eksekusinya.
Menjelang eksekusinya, seperti dituliskan Meyners, Demang Lehman juga berpuasa dengan ketat seperti yang ditentukan, karena pada saat itu bulan Puasa/Ramadhan. Seperti ketentuan dalam Alquran, beliau juga sahur dan berbuka puasa. Menunya, hanya dengan roti biasa atau roti beras untuk jam-jam tertentu.
Dari sumber lain dituliskan bahwa Demang Lehman juga tidak pernah meninggalkan shalat dan membaca Alquran di dalam tahanan. Demang Lehman memiliki Alquran berukuran kecil yang selalu dibawanya kemana-mana dan dibacanya ketika waktu senggang.
Pada waktu Demang Lehman menjalani masa penahanan menjelang eksekusi, tidak ada seorang pun yang menjenguknya atau sekadar mempertanyakannya. Sebab penduduk sangat takut disangkut pautkan dengan Demang Lehman. Demikian dituliskan wartawan Surat Kabar Sumatra Nieuws en Advertebtie Blad edisi 7 Mei 1864.
Demang Lehman saat dieksekusi sedang berpuasa. Pada pada 19 Ramadhan 1280 H (27 Februari 1864 M), di hari eksekusinya, Demang Lehman sangat tenang dan tidak kehilangan kendali dirinya.
Ia pun melangkah dan dengan bangga mengangkat kepalanya melewati tatapan kumpulan warga Martapura yang ada di jalan, menuju tempat eksekusi (tiang gantungan).
Pejabat-pejabat militer Belanda yang menyaksikan hukuman gantung ini merasa kagum dengan ketabahannya menaiki tiang gantungan dengan tidak mengenakan penutup mata. Urat mukanya tidak berubah, menunjukkan ketabahan luar biasa.
Meyners menuliskan bahwa Demang Lehman menderita hukuman mati dengan ketenangan dan sikap mengagumkan. Setelah meninggal, jenazahnya tanpa dikebumikan (dishalatkan) kemudian dimakamkan, setelah dibawa dari Rumah Sakit di Martapura.
Dalam Surat Kabar Sumatra Nieuws en Advertebtie Blad edisi 7 Mei 1864, dituliskan tidak ada satu pun dari penduduk Martapura yang mengklaim bahwa Demang Lehman keluarganya. Kemungkinan karena rasa ketakutan masyarakat saat itu. Setelah eksekusi, tidak ada satu keluarganya pun yang menyaksikan dan menyambut mayatnya.
Publisher : Didi G Sanusi
Di tulis oleh : Mansyur ‘Sammy’
Penulis adalah Penasihat Komunitas Historia Indonesia Chapter Kalsel
Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan
Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari