Jumat, Februari 28, 2020

ADA RINDU DI REST AREA

Seorang kawan yang baru 10 bulan terakhir tinggal di Kalimantan, bertanya “Ada apa kok orang-orang pada ramai berangkat ke Sekumpul-Martapura”?. Dari nada bicaranya saya merasakan ada “gumpalan” penasaran yang mungkin sudah beberapa hari ini Dia tahan. Karena setidaknya dalam 1 bulan terakhir, laman-laman media sosial di Kalimantan khususnya, memuat beraneka informasi, yang mengerucut pada satu titik utama, Sekumpul-Martapura. Dari unggahan-unggahan peta jalan lalu lintas, area parkir, update penginapan gratis, jadwal acara haul ke-15 Abah Guru Sekumpul, hingga bermacam format stiker “Jamaah” dari berbagai wilayah.

Belum sempat saya berfikir mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan tadi, Dia kembali mencecar dengan pertanyaan, “Apa juga itu maksudnya orang bikin Rest Area berjejer-jejer sepanjang jalan, dimana-mana, untuk siapa itu?” tanyanya, tanpa menghiraukan saya yang kelabakan dengan pertanyaan-pertanyaan tak terduga tersebut.
Setelah mungkin menyadari, bahwa belum satu pun dari rentetan pertanyaannya yang saya jawab. Akhirnya Dia berhenti bicara, dan seolah memberi waktu kepada saya, untuk memberikan jawaban dari rasa penasarannya.

Saya harus berfikir keras memilih pertanyaan yang memungkinkan untuk dijawab secara sederhana. Saya sengaja tidak menjawab pertanyaan pertama ““Ada apa kok orang-orang pada ramai berangkat ke Martapura”. Karena saya yakin, sebagai orang yang sangat familiar dengan dunia informasi di dunia maya, Dia pasti sudah tau  adanya acara Haulan ke-15 Abah Guru Sekumpul. Saya berasumsi pertanyaannya lebih dimaksudkan untuk mengetahui “niat/tujuan” orang-orang yang berangkat ke Sekumpul-Martapura. Dan tentu saja, untuk menjawab itu, saya sama sekali tidak punya jawaban yang tepat dan pasti. Karena urusan “niat” ada di “dada” masing-masing orang yang berjumlah jutaan. Saya tidak ingin memposisikan diri sebagai orang “Yang Maha Tahu”, sehingga bisa merincikan dari semua tujuan orang yang berangkat. Meskipun hati kecil saya meyakini bahwa mereka berangkat tentulah dengan niat kebaikan.

Kalau ditanya lagi, kebaikan yang bagaimana?, Apanya yang baik?. Saya pasti akan kembali bingung menjawabnya, dan pada akhirnya hanya akan berkilah dengan kalimat saduran dari para pujangga, bahwa “mereka datang dan akan kembali dengan dan  karena cinta”. Jawaban yang sangat dipaksakan, yang membingungkan sang penanya maupun yang menjawab.

Kembali ke pertanyaan kawan saya tadi. Setelah saya lihat  tatapan matanya benar-benar sedang berharap jawaban. Saya menjelaskan bak seorang sosiolog dan atau antropolog tersohor. “begini kawan, kita ini hidup di zaman yang penuh kepalsuan, kepura-puraan, keserakahan, tipu daya, bermuka dua, eksploitasi, acuh tak acuh, kesombongan, politis, intimidasi, intrik dan segala macam anarkis”. Saya jawab sekenanya, dalam satu tarikan nafas.

Saya lihat kawan saya melongo, makin bingung. Saya yakin tidak ada setitik pun cahaya kepuasan yang dia dapatkan dari jawaban panjang lebar tak terarah tadi.

Sebelum dia berkesempatan mencernanya, saya melanjutkan ujaran “Banyak dari  kita sekarang ini baru mau melakukan banyak hal, jika melihat kemungkinan adanya keuntungan secara politis, atau keuntungan materi yang memadai. Kita sudah sangat asing dengan yang namanya “tulus ikhlas”. Kita terlalu familiar dengan berita-berita adanya pergerakan sekelompok orang karena kepentingan politis. Kita bahkan menikmati dan merasa perlu bersama-sama bersatu, hanya ketika masing-masing dapat keuntungan material atau materialistis”.

Ketika kawan saya mulai terhipnotis oleh deretan jawaban “anarkis” tadi, saya kembali melanjutkan, “Sekarang kamu lihat fenomena menjamurnya “Rest Area”, tersebar dalam rentang jarak ribuan kilometer. Dari masjid-mesjid, kampung-kampung, posko-posko di wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan makin berhimpitan jaraknya ketika memasuki wilayah Kalimantan Selatan. Ini adalah aksi spontanitas masyarakat, yang rasa kemanusiannya tergerak untuk saling membantu, saling melindungi, saling memberikan rasa aman, saling memberi, saling menjaga, saling mengingatkan dan saling berbagi”.

“Coba kamu perhatikan wajah-wajah ramah yang berhari-hari berdiri di pinggiran jalan, tanpa peduli panas dan hujan, berbaur dengan bisingnya bunyi kendaraan, menghirup karbon dari jutaan mesin berarak. Menawarkan tempat istirahat, plus makanan dan minuman. Membagikan air mineral, roti dan bahkan beraneka buah-buahan. Diiringi senyum tulus dan pancaran raut kebahagiaan.”

“Coba kamu amati, dari ribuan “rest Area” yang ada. Tidak sedikit yang didirikan di lingkungan sederhana, yang mungkin untuk segala sesuatunya, mereka kumpulkan secara “sederhana” pula. Lihat ibu-ibu dan remaja putri yang dengan riang bercengkrama sambil menyiapkan makanan dan minuman untuk para tamu. Lihat bapak-bapak dan remaja putra, secara sukarela mengatur lalu lintas dan parkir serta melayani para musafir yang datang dari berbagai penjuru”.

“Setiap orang seolah berlomba memberikan apa yang ia bisa sumbangkan Ada tukang tambal ban yang menyediakan layanan gratis bagi yang memerlukan. Ada yang membagikan “bensin gratis” semampunya, dan banyak layanan lainnya sesuai kemapuan setiap orang”.

Sesaat saya dengar kawan saya menghela nafas, entah apa maknanya. Lalu kembali saya lanjutkan, “Rest Area ini adalah refleksi dari kerinduan kita, manusia, terhadap nilai-nilai kemanusian yang alami. Untuk saling membantu, berbagi, dan menjaga secara tulus ikhlas. Karena selama ini kita terlalu sibuk dengan segala kepura-puraan dan kepalsuan”.

“Kita rindu akan senyum dan keramahan yang tulus.
Kita rindu akan nikmatnya berbagi antar sesama.
Kita rindu akan bahagianya saling menjaga.
Kita rindu akan manisnya pengorbanan.
Kita rindu akan baiknya prasangka.
Kita rindu akan kedamaian.
Kita rindu akan persaudaraan.

Dan di “Rest Area” inilah rindu itu bertemu dengan apa yang ia cari.”

Kawan saya manggut-manggut, lantas beranjak pergi tanpa sepatah katapun.
Sambil tersenyum hati saya membatin,
Jangan kada ingat mampir di rest Area kami
Di desa kasarangan kecamatan labuan Amas Utara kabupaten hulu sungai tengah


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari