Rabu, November 27, 2013

RAKYAT CERDAS MEMILIH PEMIMPIN BERKUALITAS

RAKYAT CERDAS MEMILIH PEMIMPIN BERKUALITAS Oleh : Proses demokrasi yang terus bergulir di Republik ini telah mencatat sejarah baru yaitu berupa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang dilakukan secara langsung. Siapa-pun yang terpilih dalam hal ini akan lebih ditentukan oleh kuantitas (jumlah) suara rakyat pemilih dan bukan oleh rekayasa politik yang dilakukan oleh sejumlah elite partai yang mencoba melakukan segala macam jurus strategi yang dikenali dalam literatur politik praktis. Mulai dengan perekayasaan segala macam poros kekuatan dari model koalisi, aliansi, sampai kolaborasi yang berujung pada pembagian kursi. Sebuah strategi ”politik dagang sapi” yang dalam proses demokrasi masa lalu terasa efektif dijalankan di tingkat elite politik --- baik di tingkat partai politik maupun perwakilan mereka di legislatif (DPR/MPR) --- namun macet total manakala proses pemilihan presiden kemudian dilakukan secara langsung seperti sekarang ini. Berbeda dengan mekanisme Pilpres yang terdahulu; maka untuk jabatan RI-1/RI-2 tidak lagi ditentukan lewat proses pemilihan berdasarkan ”demokrasi perwakilan” yang dilakukan oleh para wakil rakyat di MPR seperti yang kita kenali selama ini. Pilpres 2004 sungguh sangat berbeda dibandingkan dengan pilpres-pilpres sebelumnya. Perbedaan yang paling mendasar terletak pada proses pemilihan langsung berdasarkan prinsip ”vox populi, vox dei”. Suara rakyat, suara Tuhan. Sebuah proses demokrasi yang menekankan benar asas egaliter --- dimana setiap orang memiliki suara yang sama --- tidak peduli apapun derajat kehidupan mereka dalam strata sosial yang ada (one person, one vote, one value). Suara rakyat yang betul-betul dijadikan dasar untuk menentukan maupun menolak siapa-pun yang dianggap layak/tidak layak dipilih menjadi pemimpin atas dasar pertimbangan yang hanya mereka (rakyat) sendiri yang tahu. Rakyat cerdas memilih pemimpin yang berkualitas, meskipun tidak bisa dipungkiri masih banyak pula rakyat yang memilih berdasarkan ikatan emosionalitas. Begitu kira-kira esensi demokrasi yang ingin diimplementasikan dalam Pilpres 2004. Demokrasi sering didefinisikan sebagai pemerintahan atau kekuasaan (cratos) yang dipilih oleh rakyat (demos), dari rakyat, dan untuk kepentingan rakyat itu sendiri. Bukan persoalan yang mudah untuk mencapai legitimasi kekuasaan yang didukung oleh mayoritas rakyat. Dalam hal ini diperlukan mekanisme pemilihan yang mampu merefleksikan dukungan tersebut; tidak peduli apakah harus melalui proses pemilihan langsung ataupun dengan sistem perwakilan --- dimana suara rakyat akan dititipkan melalui “wakil-wakil”nya --- yang jelas suara terbanyak akan menentukan siapa yang paling layak. Tolok ukur suara terbanyak memang tidak selamanya akan mencerminkan kualitas hasil pemilihannya. Untuk itu diperlukan rasionalitas sebagai landasan dan ukuran untuk menentukan pilihan seorang pemimpin. Tulisan ini tidaklah bermaksud untuk mempersoalkan kembali proses demokrasi seperti apa yang seharusnya diimplementasikan, dan mekanisme pemilihan yang bagaimana yang bisa menjamin terpilihnya seorang pemimpin (presiden) yang credible dan acceptable. Apa yang ingin diwacanakan dalam tulisan ini lebih menitik-beratkan pada faktor individu calon pemimpin seperti apa yang di-ideal-kan dan diharapkan oleh bangsa yang sedang dilanda nestapa dengan aneka macam persoalan yang tak kunjung teratasi secara nyata. Ditengah-tengah begitu banyak tantangan yang masa depan; bangsa ini dihadapkan pada dua pilihan figur calon pemimpin yang memiliki karakteristik dan track record kepemimpinan yang berbeda. Hasil pemilihan umum presiden/cawapres (pilpres) pada tanggal 5 Juli 2004 kemarin telah menghasilkan sebuah skenario optimal seperti yang telah diprediksi oleh banyak kalangan mulai dari pengamat sampai ke elite politik sendiri. Skenario maksimal (ideal) memang dari mula tidak begitu meyakinkan akan bisa diperoleh, namun yang lebih patut untuk disyukuri adalah skenario minimal (terburuk?) telah bisa dihindari untuk tidak terjadi. The choice is yours, begitu statemen akhir dari artikel yang dibuat oleh penulis (Surabaya News, 5 Juli 2004) pada saat menawarkan tiga skenario pilihan sebagai prediksi Pilpres putaran pertama. Skenario pertama merupakan skenario ideal atau maksimal, yaitu kemungkinan ketemunya pasangan M. Amin Rais – Siswono Yudohusodo (MARS) dengan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono – M. Jusuf Kalla (SBY-MJK) di Pilpres putaran kedua. Skenario kedua merupakan skenario minimal, yaitu bertemunya dua kekuatan “status quo” yang dalam hal ini direpresentasikan oleh pasangan Wiranto – Sholahudin Wahid (WW) dengan pasangan Megawati Soekarnoputri – Hasyim Muzadi (MSP-HM). Skenario terakhir adalah skenario optimal yaitu ketemunya salah satu pasangan MARS atau SBY-MJK (skenario ideal/maksimal) dengan salah satu pasangan WW atau MSP-HM (skenario terburuk/minimal). Dasar pertimbangan untuk menentukan mengapa skenario tersebut diklasifikasikan maksimal (ideal) dan/atau minimal (terburuk) lebih dilatar-belakangi oleh penilaian subyektif masyarakat yang tercermin dalam berbagai isu maupun opini negatif yang berkembang terhadap kualitas individu masing-masing Capres/Cawapres tersebut. Tanpa bermaksud menilai benar-tidaknya pilihan yang telah diambil oleh mayoritas suara rakyat di Pilpres putaran pertama; maka suka ataupun tidak suka --- khususnya bagi para pendukung Capres/Cawapres yang jago-nya gagal --- telah menempatkan dua pasangan, yaitu SBY-MJK dan MSP-HM untuk berkompetisi sekali lagi di Pilpres putaran kedua 20 September 2004 yad. Sementara orang menggambarkan dua pasangan ini lebih merepresentasikan dua kekuatan masa pemilih. Kekuatan pertama (SBY-MJK) mencerminkan kekuatan pendukung rasional yang memilih pasangan ini berdasarkan kualitas visi, misi dan program; serta dengan mempertimbangkan keserasian, keselarasan maupun keseimbangan didalam menangani segala macam persoalan secara lebih solid , padu, kompak dan sinergetik . Disisi lain pasangan MSP-HM merupakan representasi dari kekuatan lama yang secara politis didukung oleh masa akar rumput (silent majorities) yang fanatis dan berkarakter pokoknya harus menang. Masa yang dalam proses mengambil keputusan memilih masih dikuasai oleh emosi, hati nurani dan asas kepatuhan kepada seorang pemimpin. Berdasarkan Quick Count yang dibuat oleh beberapa lembaga swadaya maupun hasil perhitungan yang dilakukan oleh KPU --- yang nampaknya memang cenderung tidak memiliki perbedaan signifikan --- telah menempatkan pasangan SBY-MJK menduduki peringkat teratas dengan jumlah suara sekitar 33 %; sedangkan peringkat kedua yang berhak untuk masuk putaran berikutnya adalah pasangan MSP-HM dengan jumlah suara berkisar 26% dari total pemilih. Bagaimana dengan pasangan Capres/Cawapres yang lain? Jelas tersisih karena sampai dengan menjelang akhir perhitungan; tampaknya posisi peringkat bergeming di kisaran 22% untuk pasangan WW, 15% untuk pasangan MARS, dan sebagai “juru kunci” jatuh pada pasangan HH-AG dengan jumlah suara berkisar 4%. Pasangan yang terakhir ini sejak awal memang tidak pernah masuk dalam “bursa” penilaian, sehingga tidak layak untuk dimasukkan dalam skenario putaran kedua. Percaya tidak percaya, suka atau tidak suka; nampaknya ranking tersebut tidak akan bergeser sampai dengan jadwal pengumuman resmi oleh KPU tanggal 26 Juli 2004 yang akan datang. Prosentase jumlah pemilih bisa saja berubah, namun tidak cukup signifikan untuk menggeser ranking urutan. Bagi yang berhasil masuk putaran kedua, sekalipun sementara ini berada di ranking pertama (pasangan SBY-MJK) harus menyadari kalau mereka baru memenangkan pertempuran (battle) dan belum memenangkan peperangan (war) yang sebenarnya. Begitu pula dengan pasangan MSP-MH posisi kedua belum akhir dari segalanya. Sisa waktu yang ada masih memberikan banyak kemungkinan untuk menyusun kekuatan guna membalikkan keadaan. Bagaimana dengan pasangan-pasangan lain yang gugur di putaran pertama? Tentunya mereka harus realistis menghadapi kenyataan, sesuai dengan ikrar yang pernah dibuat bersama pada saat di awal putaran pertama dicanangkan. Ikrar yang menyatakan kalau semua kandidat akan siap menerima kemenangan, namun juga ikhlas untuk menerima kekalahan. Bukan seperti gejala yang ditunjukkan oleh sebagian konstestan maupun tim sukses dengan mencari seribu ”kambing hitam” alasan yang menyebabkan kekalahan. Mulai dari metode perhitungan cepat (quick count), tuduhan adanya campur tangan pihak asing (Carter Center, William Liddle, LSM-LSM, dll) dalam pelaksanaan/penyelenggaraan Pilpres dan segala macam bentuk penyimpangan yang dilakukan oleh lawan. Tidak logisnya malahan ada yang merekayasa barisan pendukung untuk membatalkan hasil pemilu (pilpres) dan menuntut adanya pemilu ulang. Seperti halnya dengan hasil Pilpres 5 Juli 2004 yang lalu; siapa-pun yang terpilih kelak di putaran kedua tanggal 20 September 2004 yang akan datang akan lebih ditentukan oleh kuantitas suara rakyat pemilih (one person, one vote, one value) dan bukan oleh rekayasa politik yang dilakukan oleh sejumlah elite partai. Koalisasi macam apapun yang dibuat oleh para elite partai seperti yang dijumpai di putaran pertama --- dengan ideologi maupun kepentingan sesaat dijadikan landasan perekat --- ternyata tidaklah mampu mengikat suara rakyat. Pilpres langsung ternyata tidak berjalan secara linier dengan pemilu legislatif didalam menentukan arah dan motivasi seseorang didalam menetapkan pilihannya. Atribut-atribut yang bersifat personal ternyata jauh lebih dominan didalam membentuk image positif di mata rakyat pemilih dibandingkan dengan aliansi-aliansi politik yang dibangun oleh partai pendukung. Visi, misi maupun program-program yang keluar dari seorang pemimpin harus mampu memberi arah yang jelas dan solusi konkrit terhadap problematika bangsa. Sudah tidak ada gunanya lagi di putaran kedua diputar-ulang model kampanye dengan format yang sama. Terlebih lagi terus mengulangi janji-janji kosong yang tidak realistis dan hanya pantas keluar dari figur seorang pemimpi (the dreamer) dan bukannya seorang pemimpin (leader). Putaran kedua harus mampu memberikan alternatif pilihan bagi rakyat untuk menentukan siapa yang paling layak untuk diberi mandat sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2004-2009. Pilpres 2004 harus bisa menghasilkan seorang pemimpin yang credible diukur dari jumlah suara terbanyak; dan yang acceptable ditunjukkan dengan kualitas dari alternatif kandidat pilihan. Bebaskan rakyat untuk menentukan pilihannya sendiri. Siapa-pun kelak yang terpilih wajib bagi kita untuk menghormati dan mematuhi kehendak rakyat. Vox populi, vox dei – suara rakyat, suara Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari