'Sejarah Kampung Hidayat'
Kampung Hidayat terletak di Desa Teluk Dalam, Kecamatan Kuala Indragiri, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau.
Dari kota Tembilahan - Ibu kota Kab. Indragiri Hilir, anda dapat menempuh perjalanan ke Kampung Hidayat dengan menggunakan speed boat hanya dalam waktu 20-25 menit saja, yakni ke arah hilir muara sungai Indragiri.
Kampung ini tergolong pedesaan yang masih asri dengan alamnya. Di kiri kanan jalan anda akan melihat barisan pohon kelapa rakyat yang berjejer rapi menghijau.
Kampung Hidayat ini diambil dari nama Parit Hidayat yang merupakan salah satu parit utama yang membelah jejeran perkebunan kelapa dan rumah warganya.
Asal usul nama 'Parit Hidayat' sendiri tak dapat dipisahkan dari peran tokoh agama yang bernama Syekh Abdurrahman Siddiq bin Syekh Muhammad Afif Al Banjary yang akrab dikenal dengan gelar Tuan Guru Sapat.
Parit Hidayat adalah pemberian dan izin kelola oleh pihak kerajaan Indragiri kepada Tuan Guru Sapat. Pada waktu itu, saat Tuan Guru Sapat menyetujui permintaan sultan untuk menjadi mufti, beliau mengajukan beberapa syarat yakni diantaranya tidak bersedia digaji oleh kerajaan dan tidak bersedia menetap di kerajaan melainkan meminta izin memilih salah satu parit di dekat Sapat untuk dikelola menjadi perkebunan dan pusat pendidikan Islam. Dari sinilah cikal bakal pendirian pusat pendidikan yang amat ternama di zamannya hingga ke negeri dan kerajaan tetangga.
Atas izin dari sultan beliau pun membuka suatu parit yang ditujukan untuk membuat perkebunan kelapa sebab beliau tak bersedia menetap di Rengat - Ibu kota Kerajaan Indragiri. Beliau berniat dari hasil bertanam dan memanen kelapa tersebut dapatlah digunakan untuk mencukupi segala hajat warga masyarakat yang ingin belajar, bertanya tentang agama atau pun hal-hal yg diperlukan selama menjadi mufti kerajaan.
Di kisahkan, bahwa saat membuka perkebunan yang awalnya memang berupa hutan belantara yang lebat banyak dijumpai binatang buas dan binatang berbisa.
Beberapa pengikut Tuan Guru yang sempat menyertai beliau membuka kebun tersebut mengakui akan keberanian, ilmu berkebun serta beberapa karomah Tuan Guru Sapat.
Setelah perkebunan jadi, parit hidayat pun mulai didatangi oleh para pendatang untuk menanyakan berbagai masalah agama, meminta fatwa dan menuntut ilmu secara langsung.
Tuan Guru kemudian mendirikan gubuk-gubuk kecil tempat menginapnya para tamu dan santrinya. Pada fase selanjutnya beliau pun mendirikan pusat pendidikan yang langsung beliau sendiri yang membina santri-santrinya.
Salah satu prinsip Tuan Guru Sapat dalam membina santrinya ialah tidak memungut biaya pendidikan se-peserpun terutama bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Adapun segala keperluan santri selama belajar diperoleh dari hasil berkebun. Dalam hal ini yakni Tuan Guru juga mengajarkan santrinya menata dan menjadi petani kebun kelapa.
Dalam beberapa penuturan pelaku dan peneliti sejarah, santri yang belajar kepada beliau tak kurang 180 orang. Makan minum semua santrinya itu ditanggung untuk 3 kali makan dalam sehari. Jadi, membutuhkan antara 15-45 KG beras dalam setiap harinya.
Cikal bakal parit yang telah ditanami kelapa dan suasana pendidikan keislaman inilah kemudian lahir suatu perkampungan yang kelak masyhur dengan nama 'Kampung Hidayat'. Yang mana diberi nama oleh beliau dengan harapan kelak dari sinilah wasilah datangnya 'Hidayah' kepada masyarakat luas.
Kampung Hidayat semakin berkembang pesat lagi setelah didirikannya masjid yang menjadi salah satu situs sejarah terkait penamaan kampung Hidayat. Masjid ini diberi nama masjid Al Hidayah dan masih berdiri kokoh hingga saat ini. Di sisi lain, pasca itu ada pula masyarakat umum yang juga turut membuka perkebunan kelapa milik pribadinya dengan niatan ingin mendekat dan belajar kepada Tuan Guru Sapat.
Lahir dan berkembangnya Kampung Hidayat tak terlepas dari peran Tuan Guru Sapat sebagai Mufti Kerajaan Indragiri kala itu. Beliau menjabat menjadi mufti selama lebih kurang 27 tahun yakni selama dua periode pemerintahan kerajaan Indragiri, mulai dari Raja Uwok Raja Muda Indragiri ke-25 (1902-1912 M) dan Sultan Mahmud Syah Sultan ke-26 (1912-1963 M).
Dari fakta sejarah tersebut dapatlah pula disimpulkan bahwa Kampung Hidayat berdiri diawal masa Tuan Guru Sapat menjadi mufti yakni sekitar tahun 1908 M serta berkembang selama lebih kurang 27 tahun sampai masa pengunduran diri beliau sebagai mufti kerajaan.
Adapun setelah itu, 'Kampung Hidayat' hanya berkembang beberapa tahun sampai kewafatan sang mufti di tahun 1939 M.
Dari beberapa catatan sejarah, pasca kewafatan sang mufti murid-murid beliau hampir semua kembali ke kampung halamannya masing-masing. Namun, ada pula yang membuka tempat pendidikan Islam di beberapa lokasi yang tersebar dari Indragiri hingga ke Jambi dan sekitarnya. Ada pula yang melanjutkan pendidikan ke negeri lain bahkan hingga ada yang ke jazirah Arab.
Adapun pihak keluarga dari Tuan Guru Sapat ada pula yang berpindah ke beberapa wilayah di Indragiri hingga ke Bangka, Kalimantan serta beberapa daerah terdekat seperti Sapat dan Tembilahan. Kampung Hidayat pun sempat menjadi kampung 'mati' selama bertahun-tahun. Perkebunan dan pendidikan keislamannya menjadi sepi dan tak terawat.
Ditambah lagi mulai masuknya penjajahan Jepang di wilayah Kuala Indragiri dan sekitarnya.
Di era berikutnya, Kampung Hidayat yang berbatasan dengan Desa Sungai Piyai sebagai desa akses persembunyian perjuangan gerilya telah menjadi kampung yang tidak aman ditinggali. Wal hasil, kampung ini mengalami masa kemundurannya hingga masa Agresi Belanda 1 dan 2. Banyak fakta sejarah menyebutkan betapa tokoh-tokoh ulama/pejuang besutan Tuan Guru saat beliau mengajar di Sapat - sebelum membuat pusat pendidikan di Hidayat, kemudian berperan aktif sebagai pejuang Sabilillah yang mempertahankan kemerdekaan Indonesia pasca proklamasi.
Belum ada data yang jelas yang dapat dijadikan rujukan utama mengenai tahun dibuka dan direhabilitasinya kembali 'Kampung Hidayat' pasca kefakumannya. Namun, dugaan kuat ada dua sebab utama berdirinya kembali 'Hidayat fase kedua'. Pertama peran zuriat Tuan Guru Sapat yang ingin menjaga dan meneruskan sisa-sisa peninggalan Tuan Guru Sapat dan yang kedua ialah warga masyarakat yang menelusuri kebun-kebun peninggalan orang tuanya yang sempat dibangun bersama atau setelah Tuan Guru membuka lahan untuk perkebunan di waktu itu.
Peran Tuan Guru Sapat membuka 'Kampung Hidayat' telah berhasil meningkatkan taraf kehidupan masyarakat Indragiri dan sekitarnya di zaman itu. Hal ini sebab beliau telah mampu memadukan pendidikan keislaman, perekonomian rakyat serta konsep perkebunan yang baik dan tertata rapi.
Magnet dan situs terkuat sebagai sisa peradaban masa lalu yang tetap lestari hingga kini di Kampung Hidayat ada 4 hal utama, yakni : Kubah Makam Tuan Guru Sapat, Masjid Al Hidayah, Rumah Besar (Rumah Peninggalan Tuan Guru), Serta Sumur Bersejarah.
Dari fase kedua sisa peradaban/new Hidayat inilah sinar 'Kampung Hidayat' menyebar ke berbagai wilayah penjuru negeri sebagai tempat kunjungan wisata religi, sejarah dan ziarah ulama.
....
Dinukil dan ditulis ulang dari beberapa rujukan tulisan, buku dan cerita
Penulis : Muhammad Edwan Ansari
Editor : Rahimah
COPYRIGHT © Catatan Seorang Edwan Ansari 2022
mau tau organisasi sosial yang konsisten melayani Ummat, silakan klik
Buka juga organisasi relawan ini, dengan klik
Atau Berita lainya di
ada juga akun YouTube Channel di
Atau Aktivitas Sosial lewat Khadimul Ummat dan Semut Pemburu Berkah di
Relawan Khadimul Ummat Channel
Follow juga akun Instagram Edwan Ansari di @Semut_pemburu_berkah dan @edwan_ansari
terus Update Informasi-informasi kami
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari