Makam Tuan Guru Qadhi H. Abdullah Shiddiq Al Banjari & Tuan Guru Qadhi H. Ghazali Al Banjari.
Letak: Desa Taniran Kubah, Kecamatan Angkinang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Provinsi Kalimantan Selatan.
Tuan Guru Abdullah Shiddiq dilahirkan di Kampung Wasah Ilir, Kecamatan Simpur (Kandangan) pada tanggal 10 Oktober 1895. Ayahnya bernama Muhammad Sa'id merupakan keturunan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Ayahnya adalah anak dari Datu Taniran (Tuan Guru Sa’duddin bin Mufti Muhammad As’ad bin Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari).
Sebagai keturunan ulama besar dan hidup di tengah keluarga yang agamis, Abdullah Shiddiq sejak kecil telah dididik pengetahuan keagamaan baik di lingkungan keluarga maupun di sekolah dan pengajian yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Tidak puas hanya belajar di kampungnya, Abdullah Shiddiq muda juga belajar ke beberapa daerah. Selain di Wasah Ilir (Kandangan), beliau juga belajar ke Amuntai, Nagara, Martapura (Dalam Pagar) dan Banjarmasin. Di Wasah Ilir ia belajar pada Tuan Guru Abbas selama 3 tahun, di Taniran ia belajar dengan Tuan Guru Ghazali selama 2 tahun, di Nagara ia belajar dengan Tuan Guru Muhammad Said selama 2 tahun, di Amuntai ia belajar dengan Tuan Guru Abdussamad selama 2 tahun, di Martapura ia belajar dengan Tuan Guru Ismail Khatib Dalam Pagar selama 2 tahun, dan di Banjarmasin ia belajar dengan Mufti Jamaluddin Sungai Jingah selama 4 tahun. Rata-rata guru beliau yang ada di sejumlah daerah itu adalah ulama yang merupakan keturunan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Tampaknya ini merupakan bagian dari tradisi di kalangan zuriat Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari untuk belajar kepada ulama atau tuan guru yang merupakan keturunan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari juga.
Setelah Abdullah Shiddiq belajar agama dengan sejumlah ulama berpengaruh di Kalimantan Selatan pada masanya, beliau kemudian berangkat ke Timur Tengah untuk menuntut ilmu di Timur Tengah (Makkah). Bersama dengan sejumlah penuntut ilmu dari Kalimantan Selatan, beliau belajar dengan sejumlah ulama besar di Makkah di antaranya Syekh Ali al-Maliki, Syekh Jamal al-Maliki, Syekh Ali bin Abdullah al-Banjari, Syekh Said Syaththa asy-Syafi’iy, dan Syekh Abbad Abdul Jabbar al-Hanafiy. Dengan beberapa ulama besar ini, beliau belajar selama 5 tahun. Setelah memperdalam dan memperluas pengetahuan keislamannya di Timur Tengah beliau kemudian kembali ke tanah air.
Setelah tiba di kampung halamannya, Abdullah Shiddiq aktif mengajar agama dan mengikuti organisasi Islam yang ada di daerahnya. Aktivitasnya di bidang pendidikan adalah mengajar di beberapa tempat. Beliau pernah mengajar di Sekolah Islam Wasah Ilir (1925-1927), di Lokpaikat Kandangan (1927-1929), di Taniran (1930-1933) dan di Sekolah Pandai Kandangan Kota (1934-1937). Di bidang hukum, peradilan dan pemerintahan, beliau pernah menjadi anggota Lid Banjar Raad di Banjarmasin (1938-1941), Mufti Kandangan (1938-1946), Menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Hulu Sungai Selatan (1950-1953), ketua Kerapatan Qadhi Kandangan, Rantau dan Nagara (1953-1976). Meski beliau telah pensiun sebagai PNS pada tahun 1959, namun masyarakat masih menganggap dan menyebut beliau sebagai qadhi, sehingga gelar Qadhi Tuha Kandangan tetap melekat pada diri beliau hingga wafat. Di bidang organisasi, beliau pernah menjadi ketua Djamiah Islamiyah daerah Hulu Sungai di Kandangan (1941-1945), menjadi Pengurus besar Musyawaratuthalibin, menjadi ketua MUI Hulu Sungai (1947 hinga wafat), dan pernah pula menjadi Ketua Yayasan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Di bidang politik, beliau pernah menjadi anggota Dewan Daerah Banjar (1947-1948) dan pernah pula menjadi anggota DPRD Kalsel sebagai perwakilan dari ulama.
Sebagai ulama berpengaruh, beliau tidak hanya dihormati dan dimuliakan oleh masyarakat, tetapi juga disegani oleh penjajah Belanda dan Jepang. Penguasaan dan keahliannya di bidang fiqih membuatnya menjadi rujukan masyarakat dalam masalah-masalah keagamaan. Tidak mengherankan jika kemudian beliau diangkat sebagai mufti, qadhi, dan kemudian menjadi ketua MUI di daerahnya. Posisinya sebagai qadhi tetap diakui hingga akhir hayatnya.
Tuan Guru Abdullah Shiddiq wafat pada tanggal 16 Juni 1976. Beliau meninggalkan 16 orang anak, yaitu H. Hilmi, Hj. Hamiah, Hj. Halimah, H. M. Siraj, H. Tabrani Adzanys, Hj. Faizah, Hj. Nurhaiyah, H. Marzuki, H. Rif’ah, M. Thaha, M. Ridwan, M. Syahrani, Abdul Mu’thi, Abdul Hadi, Mursyidah dan Abdul Halim.
Al Fatihah...
رب فانفعنا ببركتهم واهدنا الحسنى بحرمتهم وأمتنا في طريقتهم ومعافاة من الفتن.
ditulis ulang : Muhammad Edwan Ansari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari