Tuan Guru H. Abdurrasyid, Mu'allim Wahid
Nama Tuan Guru H. Abdurrasyid sangat tersohor. Beliau dikenal bukan hanya karena keulamaannya saja, melainkan juga lebih dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah (Rakha). Rasyidiyah diambil dari nama beiiau sendiri. Ulama besar ini telah melahirkan ulama-ulama muda yang dari masa ke masa giat mengembangkan syiar Islam di negeri ini. Di lingkungan pesantren, beliau dipanggil Muallim Wahid yang berarti Guru Utama. Tuan Guru H. Abdurrasyid dilahirkan di Desa Pekapuran Amuntai pada tahun 1884. Sebagai anak tunggal beliau dipelihara oleh kedua orang tuanya dengan baik dan dalam suasana kesederhanaan. Sejak kecil beliau sudah sangat rajin belajar, pada usia tujuh tahun sudah khatam Al-Qur'an. Dalam menuntut ilmu agama, beliau belajar pada ulama-ulama besar baik yang ada di sekitar tempat tinggal beliau maupun yang ada di daerah lain. Beliau pernah berguru pada Tuan Guru Umar Awang Padang Kelua, Tuan Guru Ahmad Sungai Banar Amuntai, Tuan Guru H. Jaferi bin H. Umar Teluk Betung Alabio, dan Tuan Guru H. Abdul Rahman Pasungkan di Negara serta banyak lagi ulama-ulama lainnya.
Dalam usia dua puluh tahun beliau menikah dengan Siti Fatimah anak Abdurrahman Sidik dan Masayu, orang yang terpandang di masyarakat. Fatimah mempunyai seorang saudara bernama Abdul Kadir. Perkawinan beliau dengan Fatimah membuahkan enam orang anak, masing-masing Zahrah, Muhibbah, Ramli, Zuhriah, Asnah, dan Ahmad Nabhan.
Setelah kawin dan dikaruniai 4 orang anak (sebelum Asnah dan Ahmad Nabhan lahir) atas restu keluarga, beliau pergi ke Mesir bersama sahabatnya H. Mansur dari Johor dengan menumpang kapal laut pada tahun 1912, beliau orang pertama dari Amuntai yang belajar di Universitas Al-Azhar. Beliau berhasil mengantongi Syahadah Al Alamiyah Lil Ghurraba. Di Kairo beliau sempat menyusun Kitab Parukunan yang terkenal sebagai Parukunan Rasyid. Hasil dari penjualan kitab tersebut sebagian beliau pergunakan untuk membiayai keperluan studinya disamping beasiswa yang telah diperolehnya dari universitas. Untuk menambah penghasilannya beliau bekerja pada sebuah restauran di kota Kairo, mendistribusikan roti kepada pelanggan dan membantu penerbit dengan mentashih beberapa karangan yang dicetak menggunakan bahasa Melayu aksara Arab. Setelah bermukim selama sepuluh tahun di pusat pendidikan Islam itu beliau kembali ke tanah air namun terlebih dahulu singgah di Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sejak tiba kembali di kampung halaman beliau pada tahun 1922, memfokuskan perhatiannya pada bidang pendidikan, sejalan dengan kehendak masyarakat masa itu. Segera pada tanggal 13 Oktober 1922 beliau mulai membuka pengajian agama dengan mengambil tempat di rumah mertua beliau dengan menggunakan sistem halaqah dimana murid duduk bersila melingkar mengelilingi guru yang memberikan pelajaran.
Kemudian pada tahun 1924 dengan bantuan berbagai pihak ia membangun sebuah langgar bertingkat dua yang terletak di tepian sungai Tabalong, tidak jauh dari rumah beliau. Langgar Batingkat atau Langgar Baloteng itu, selain berfungsi untuk salat, juga berfungsi sebagai tempat pengajian umum yang dilaksanakan setiap hari Sabtu mulai jam 10.00 pagi dan diakhiri dengan tibanya salat Zuhur berjamaah. Mulai dari langgar inilah beliau kemudian mendirikan sekolah Islam yang dikelola secara modern, memiliki lima lokal dengan perlengkapan belajar menggunakan meja, kursi dan papan tulis atau sudah semi klasikal. Seiring dengan perkembangan pendidikan yang kian diminati masyarakat, maka dibukalah sekolah tingkat Tsanawiyah. Pada tahun 1926 mendirikan gedung baru yang letaknya tidak jauh dari lokasi sekolah sebelumnya. Bangunan sekolah tersebut berbentuk “U” terdiri dari enam lokal yang dilengkapi dengan peralatan modern. Biayanya sebagian berasal dari pribadi beliau sendiri dan sebagian ada bantuan masyarakat, hingga berhasil dihimpun 7.000 golden. Di awal tahun 1928 sekolah itu resmi diberi nama Arabische School, pada gilirannya jenjang pelajaran dinaikkan hingga tingkat Aliyah. Pendirian Arabische School bertujuan untuk mencetak kader pendidik, guru agama, mubaligh dan pemimpin masyarakat. Dalam mengelola sekolah ini, beliau mengajak kalangan ulama untuk berpartisipasi sebagai guru di Arabische School tersebut.
Arabische School mengalami kamajuan yang sangat pesat. Sekolah ini beberapa kali mengalami pergantian nama. Ketika beliau menyerahkan pesantren tersebut kepada H. Juhri Sulaiman (1931-1941), namanya diubah menjadi Al Madrassatur Rasyidiyah. Pemberian nama ini adalah untuk mengenang jasa beliau sebagai pendiri yaitu Tuan Guru Haji Abdurrasyid. Dan ketika H.M.Arief Lubis dari Sumatera sempat memimpin pesantren tersebut (1942-1944) pelajaran ilmu pengetahuan umum dimasukkan dan nama pesantren itupun diubah menjadi Ma'had Rasyidiyah. Pada masa kepemimpinan KH.ldham Chalid (sejak 1945) namanya dirubah lagi dengan Normal Islam, kemudian diganti menjadi Rasyidiyah Khalidiyah yang disingkat dengan Rakha (1963). Sistem dan metode pendidikannya disesuaikan dengan pendidikan dan pengajaran sebagaimana ko Pondok Modern Gontor Ponorogo.
Tuan Guru Haji Abdurrasyid pernah pula memimpin sebuah sekolah yang bernama Al Madrasah Al Wathaniah di Kandangan. Sekolah tersebut didirikan oleh muridnya yaitu M.Subeli yang pernah belajar di Arabisehe School. Beliau juga membuka pengajian umum untuk masyarakat dan para ulama di kota dodol itu. Kemudian atas inisiatif murid-murid beliau yaitu H.M. As’ad dan H.Usman Abu Bakar berdirilah Madrasah Diniyah lslamiyah yang sebelumnya dipimpin oleh Tuan Guru H.Muchtar (Mufti Onder Distrik) Barabai tahun 1933. Pada bulan Januari tahun 1934 beliau kembali ke Amuntai dalam keadaan sakit. Beliau sempat dirawat oleh dokter Rumah Sakit Amuntai dengan rawat jalan di rumah. Pada hari Ahad tanggal 4 Februari 1934 bertepatan dengan tanggal 19 Syawal 1353 H jam 16.00 di hadapan isteri, anak-arak dan keluarga serta beberapa orang muridnya, beliau menghembuskan nafas terakhir berpulang ke rahmatullah. Acara pemakaman beliau, dihadiri tidak kurang dari 200 ulama diantara 2.000 orang yang ikut mensalat kifayahkan jenazah almarhum. Beliau dimakamkan di samping rumah beliau sendiri, di desa Pekapuran Amuntai pada sore hari Senin tanggal 5 Februari 1934. Menjelang akhir hayat beliau, beliau sempat berpesan agar para berusaha memelihara dan mengembangkan perguruan yang telah dirintis beliau. Tuan guru yang dalam kesehariannya sangat sederhana dan bersahaja itu tidak pernah memiliki rumah sendiri. Ketika isteri beliau mendesak agar membangun rumah karena anak-anak sudah mulai dewasa, beliau menjawab: "sekolahan kita adalah rumah kita dan muridnya adalah anak-anak kita". Dari rumahnya yang semula bernama Arabische School itu telah lahir anak-anak bangsa yang tumbuh menjadi pemuka Islam, tersebar di Kalimantan sampai ke Jawa, Sumatera dan daerah-daerah lainnya di Nusantara ini. Allah Yarham. (dikutip dan diolah dari Manaqib Muassis Rakha).
di ambil dari berbagai sumber di edit dan di tulis ulang, di posting ulang oleh :
Muhammad Edwan Ansari,S.Pd.I
......,
Kasarangan, Labuan Amas Utara, Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan
copyright@catatanEdwanAnsari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari