Usianya sekitar 12 tahun. Wajah kusam, agak hitam, dengan keringat menghiasinya. Meski demikian, dalam terik matahari siang itu, tampak gurat kebahagiaan di wajahnya. ”Saya sekolah dulu Pak, sepulang sekolah saya baru memulung,” katanya sembari memilah rongsokan yang saya taruh di belakang rumah.
”Biasanya sehari, kamu mendapat uang berapa?” tanya saya mau tahu. ”Tidak mesti Pak, namanya juga rezeki, yang penting usaha,” jawabnya dengan tetap memilah. Teliti dan tekun sekali anak itu, cermat memilah semua barang. Hingga, ”Pak, ini bukan barang rongsokan!” Ia menyerahkan kepada saya sebuah kotak kecil. Saya kaget melihat kotak cincin yang sudah lama hilang. Sewaktu saya buka, cincinnya masih ada.
”Mengapa kamu berikan kepada saya lagi kotak ini, bukankah kamu bisa memasukkannya ke kantong plastikmu lalu pulang dan menjualnya?” Saya memberondong dengan pertanyaan yang meluncur mulus karena senang, sekaligus kaget. Senang karena barang kenangan itu akhirnya kembali dan kaget karena kepolosan, kejujuran, dan ketulusannya.
”Itu milik bapak, bukan punya saya. Karena itu saya tak berhak memilikinya Pak, walaupun saya butuh. Bapak memberi kesempatan untuk memungut barang-barang yang bagi Bapak sudah tak berguna saja sudah merupakan berkat bagi saya,” jelasnya.
Hingga anak itu memilah barang-barang dan kemudian pamit, saya masih tertegun. Saya mendapatkan pelajaran teramat berharga dari pemulung cilik ini: Bekerja dengan tekun dan tulus tanpa pernah mengambil apa yang bukan haknya. Terima kasih, Nak!
Copy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari