Ustadz
Jika seseorang dipanggil ustadz/ ustadzah sebenarnya punya beban tersendiri. Setidaknya ada 3 beban yang dipikul;
Pertama dia mesti lebih mengerti (alim) dalam pengetahuan agama (ulumuddin). Mengerti ilmu aqidah, ilmu fikih, bahasa arab, ilmu alQur'an dll. Minimal hal-hal dasar dalam ilmu agama Islam.
Kedua. Harus menjadi tauladan (uswah) masyarakat. Kehidupan pribadinya keluarganya, ucapan dan perbuatannya. Karena masyarakat telah menjadikannya sebagai figur. Dia mesti paling depan dalam ibadah, paling dahulu berkorban, paling menjaga diri dari perbutan tercela.
Ketiga. Mampu mengkomunikasikan (tabligh) ajaran Islam dalam bentuk lisan. Baik saat kajian rutin, kultum, khatib dsb.
Konon di Timur tengah panggilan ustadz menunjuk pada level tinggi semacam para doktor yang mengajar di al Azhar.
Pasnya disebut da'i saja setiap yang mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran. Namun tidak menjadi brand dimasyarakat. Setiap yang paling aktif di masjid, banyak bicara dan mengadakan acara keislaman, tampilan 'ngustadz' baju koko, jenggot, celana cingkrang, jubahan masyarakat spontan memanggilnya ustadz. Kadang karena tukang bekam, peruqyah pelatih marawis masyarakat menggelarinya ustadz. Mungkin karena aroma keislaman. Atau sesama aktivis jama'ah ormas Islam satu sama lain saling memanggil ustadz. Hingga ada sebutan ustadz karbitan, ustad google dsb. Walau sematan itu hemat saya bagian dari ungkapan nyinyir dan julid mendekati hasud.
Apakah salah ? Mungkin bukan salah dalam artian berdosa. Tapi tepat atau tidak tepat. Saya hanya menyampaikan 3 beban diatas dalam hemat dan pengalaman saya.
Jadi yang 'dianugrahi' ustadz oleh masyarakat harus jadi pemicu pengembangan diri untuk lebih baik dalam hal pengetahuan agama, tauladan dan komunikasi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan faqihkan ia dalam masalah agama (ini).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).