Sebuah catatan kecil untuk sekedar dikenang dan orang tau bahwa aku pernah Hidup. Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia!” semoga dengan catatan kecil ini dapat bermanfaat dan menebarkan kebaikan Apa yang dikatakan akan lenyap, apa yang ditulis akan abadi. Aku melintasi kehidupan Kuberanikan diri menulis catatan ini untuk mengabadikan momen hidup (Muhamad Edwan Ansari)
Minggu, Mei 17, 2015
Karakter Kebangsaan HMI
A. Dahlan Ranuwihardjo
dan Karakter Kebangsaan HMI
Catatan Editor
Beberapa tokoh yang sempat mengenal Dahlan Ranuwihardjo, yang akrab disapa dengan “Pakde” Dahlan dalam lingkungan HMI, secara pribadi punya kenangan tersendiri terhadap sosok beliau. Mantan Ketua DPR RI dan juga mantan Ketua Umum PB HMI, Akbar Tanjung, memandang Dahlan sebagai pribadi yang sangat menarik. Sebagai seorang tokoh nasional, Dahlan dianggap masih bisa mempertahankan kesederhanaan dan kebersahajaannya. Dahlan juga dinyatakannya sebagai tokoh yang konsisten dengan keyakinan dan pandangannya tentang berbagai hal, terutama tentang wacana Islam dan nasionalisme. Dahlan lebih dikenal pula sebagai tokoh Islam yang sangat nasionalis yang hampir seluruh hidupnya dihabiskan untuk mengkader anggota Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI).
Bagian pertama buku ini memuat tulisan Dahlan yang menceritakan tentang pembentukan HMI, masa-masa kritis — ketika PKI menuntut pembubaran HMI — dan perkembangan HMI setelah masa kritis tersebut berakhir. Maklum saja, dalam kedudukan beliau sebagai anggota Dewan Penasihat dan Pertimbangan PB HMI, Dahlan memang tokoh yang sangat berjasa dalam menghadapi upaya pemberangusan HMI yang kerap dilancarkan PKI di penghujung era orde lama. Inti dari bagian pertama buku ini adalah pesan Pakde yang antara lain menyatakan bahwa seorang anggota HMI harus hidup berintegrasi dengan kehidupan nasional, diantaranya berpartisipasi secara aktif dalam perjuangan bangsa menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Bagian kedua memuat kesan Pakde Dahlan terhadap kakak dan adiknya di HMI, masing-masing Ahmad Tirto Sudiro, Mumahhad Sanusi, dan Muhammad ‘Imaduddin ‘Abdulrahim. Kita dapat melihat sebuah contoh bahwa persahabatan di HMI merupakan persahabatan yang abadi. Sementara pada bagian ketiga dimuat berbagai pemikiran Pakde Dahlan dalam berbagai aspek yang antara lain meliputi kepemudaan, nasionalisme, konstitusi dan kehidupan bernegara yang diinginkan.
Semangat religius dan nasionalisme Dahlan tampak pada tulisan-tulisannya di bagian ini. Terungkap misalnya, bagaimana seorang Dahlan menggunakan pemahamannya terhadap agama Islam sebagai pedoman dalam melihat persoalan ideologi, ekonomi, sosial, politik, maupun budaya. Di samping itu, Dahlan terlihat banyak menggunakan pemikiran-pemikiran Bung Karno sebagai referensinya, terutama ketika menyangkut pembahasan tentang nasionalisme. Dahlan banyak membahas kondisi Pancasila dari masa ke masa serta mengkaitkan pemikiran antara Islam dengan berbagai aspek bernegara. Tidaklah mengherankan jika mantan Presiden Megawati Sukarnoputri menyebut Dahlan sebagai seorang Islam yang nasionalis. ”Ia tahu benar posisinya bagi seorang Muslim yang mayoritas di dalam berbagi dengan saudara-saudaranya yang berlainan keyakinan dalam sebuah Indonesia Raya.”
Kecintaan tokoh aktivis ini terhadap HMI memang tak bisa dipungkiri. Sebagaimana diakui beliau, ia adalah ulama (usia lanjut masih aktif) di HMI. Dan memang hingga di usia senja beliau tetap bersemangat berbagi ilmu dengan adik-adik atau anak-anak HMInya. Selalu terbuka ruang dialog bagi kader dan aktivis HMI. Atau sebagaimana dikatakannya sendiri, seorang senior atau alumni HMI haruslah “membuka tangan dan hatinya, bahkan pintu rumahnya” untuk adik-adik HMI. Ia memang patut menjadi teladan.
Barabai, 2013
M.Edwan Ansari
Bagian Pertama
MENAPAK JALAN HMI
1
Misi HMI : Mencetak Hamba-hamba Allah,
Kader-kader Bangsa Paripurna
Memperingati hari ulang tahun Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke-41 tanggal 5 Pebruari 1988, saya kira ada baiknya disinggung sekedarnya tentang Misi HMI, agar tidak saja masyarakat ramai, melainkan terutama para fungsionaris dan aktivis HMI sendiri mempunyai persepsi yang tepat tentang hakikat HMI. Kalau alumni HMI yang menyampaikan apa Misi HMI itu, hal ini sekali-kali tentulah tidak merupakan campur tangan atas “urusan dalam negeri” HMI, dan karena itu pula tidak merupakan pelanggaran terhadap independensi HMI. Alumni HMI yang selama hampir 40 tahun selalu dari dekat mengikuti secara aktif sepak terjang dan perkembangan HMI, kiranya sedikit banyak akan lebih mampu menayangkan Misi HMI itu.
Dan dengan penayangan Misi HMI itu sudah barang tentu didasarkan kepada dokumen-dokumen otentik yang dihasilkan oleh kongres-kongres HMI. Jadi bukan merupakan penyenang-penyenang hati (wishful thingking) atau sekedar merupakan imbauan dari saya.
Tujuan HMI
Lazimnya yang dijadikan tujuan sesuatu organisasi adalah sebuah cita-cita besar yang hendak dicapai oleh organisasi, misalnya cita-cita untuk mencapai suatu masyarakat atau negara dengan kualifikasi tertentu atau yang menyangkut suatu ideologi atau agama. Sebuah contoh ialah apa yang tercantum dalam tujuan HMI seperti yang diputuskan oleh Kongres HMI I di Yogya pada bulan Nopember 1947, yaitu :
1. Mempertegak dan mengembangkan agama Islam;
2. Mempertinggi derajat rakyat dan negara Republik Indonesia.
Dari formulasi tujuan HMI itu tampak bahwa yang dijadikan obyek dan fokus agama, rakyat, dan negara.
Pada Kongresnya di Bandung bulan Oktober 1955, HMI sampai pada pendapat, bahwa organisasi seperti HMI yang anggota-anggotanya adalah mahasiswa, calon sarjana atau calon cendekiawan, tidaklah tepat jika berfungsi sebagai organisasi massa, apalagi sebagai kekuatan politik (praktis). Selanjutnya disepakati untuk memfungsikan HMI sebagai organisasi kader yang bertujuan membina para anggotanya menjadi kader. Karena itu yang menjadi fokus dan obyek tujuan HMI adalah pribadi-pribadi, individu-individu para anggota, sehingga tujuan HMI yang diformulasikan oleh Kongres Bandung tahun 1955 itu adalah “”ikut mengusahakan terbentuknya manusia akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan Islam.”
Kemudian dalam perjalanan HMI selanjutnya dari kongres ke kongres terasa formulasi tujuan tersebut mengandung kekurangan yaitu belum disebutnya fungsi lebih lanjut dari “manusia akademis, pencipta dan pengabdi yang bernapaskan Islam” itu, serta di bumi apa insan-cita tersebut hidup dan bergerak.
Karena itu, Kongres HMI di Palembang bulan Oktober 1971 melengkapi formulasi tujuan tersebut sambil memperbaiki redaksinya sehingga berbunyi : “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernapaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Subhanahu wa ta’ala”.
Formulasi tujuan yang telah disempurnakan itu, dan yang dikokohkan dalam kongres-kongres HMI berikutnya, yang terakhir oleh Kongres HMI di Padang bulan Maret 1986, dan Insya Allah kongres-kongres yang akan datang, formulasi tersebut telah mencantumkan bahwa fungsi lebih lanjut dari “insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernapaskan Islam” itu ialah “bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT”.
Karena sebutan “masyarakat adil dan makmur” itu adalah sinonim dengan “masyarakat yang berdasarkan Pancasila”, maka formulasi tujuan HMI yang telah disempurnakan itu sekaligus telah mengandung penunjukan bahwa Insan Cita tersebut hidup dan bergerak di bumi negara Republik Indonesia. Ini konform dengan bunyi alenia ke-4 dari Mukadimah Anggaran Dasar HMI yang mencantumkan bahwa HMI bertekad memberikan dharma baktinya untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila.
Empat Komponen
Pada diri seorang mahasiswa Islam anggota HMI, terletak empat buah komponen yang keempat-empat komponen tersebut harus secara bersamaan tergarap dan tertangani, salah sebuah saja dari keempat komponen tersebut terlalaikan, akan tanggallah keanggotaan dalam HMI secara kualitatif. Empat komponen tersebut adalah sebagai berikut :
1. Seorang anggota HMI sebagai mahasiswa,
2. Seorang anggota HMI sebagai pemuda,
3. Seorang anggota HMI sebagai warga negara,
4. Seorang anggota HMI sebagai muslim.
Ad.1. Sebagai mahasiswa, seorang anggota HMI harus benar-benar terdaftar sebagai mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi, karena itu harus mempunyai kartu mahasiswa yang masih berlaku. Tanpa ini, ia bukan mahasiswa, karena itu pula bukan anggota (yang sah).
Sebagai mahasiswa, seorang anggota harus belajar sungguh-sungguh, dengan serius dan tekun. Dalam soal studi ini, HMI tentulah tidak mampu dan memang tidak ada niat untuk menggantikan peranan perguruan tinggi sebagai tempat menimba ilmu. Peranan HMI dalam soal studi itu ialah menciptakan suasana bagi para anggota, yang aktif dalam organisasi, agar di samping kegiatannya dalam organisasi itu, ia tetap belajar. Menyelesaikan studi dengan sehari-hari hanya belajar seperti kutu buku, ini bukan seni. Yang seni adalah aktif dalam organisasi tetapi mampu menyelesaikan studi, meskipun kadang-kadang terpaksa terlambat.
Kalau sekiranya di perguruan tinggi tidak atau kurang diberikan materi Studium General (pengetahuan umum), peranan HMI adalah menyelenggarakan ceramah-ceramah yang mengandung materi tersebut. Dengan demikian HMI membantu pembentukan pribadi intelektual yang mempunyai pandangan luas dan bulat, sesuai dengan tujuan semula dari universitas yang artinya bulat dan menyeluruh, walaupun setiap mahasiswa/sarjana mempelajari atau menguasai spesialisasi ilmunya masing-masing.
Ad.2. Mahasiswa adalah pemuda, bahkan pemuda yang terpelajar, karena belajar di perguruan tinggi. Pemuda adalah identik dengan perjuangan dan perjuangan adalah pengabdian dan pengorbanan. Pemuda juga identik dengan spontanitas dan kemandirian. Pengabdian, satu dari Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah didorong oleh dan merupakan hasil dari spontanitas dan kemandirian. Kalau hanya karena ada perintah dari atas, ini bukanlah pengabdian melainkan kuli halus.
Jadi, kalau dari para sarjana kita diharapkan pengabdian, dan tidak sekadar sebagai kuli halus menjual ijazahnya kepada siapa saja yang memberi gaji besar, sejak di bangku kuliah para mahasiswa hendaknya sudah dibiasakan hidup dan menghirup udara perjuangan, spontanitas dan kemandirian.
Kehidupan kampus yang mengandung serba kendali bagi para mahasiswa, justru tidak kondusif bagi terlaksananya dan karenanya bertentangan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Dalam “kegersangan” kampus semacam itu, peranan organisasi mahasiswa ekstra, termasuk HMI, adalah menanamkan, menumbuhkan, dan mengembangkan sikap pengabdian dan pengorbanan serta sikap spontanitas dan kemandirian.
Ad.3. Sebagai warga negara, seorang anggota HMI harus hidup berintegrasi dengan kehidupan nasional, diantaranya berpartisipasi secara aktif dalam perjuangan bangsa menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Termasuk kehidupan nasional adalah hidup ber-Pancasila. Sebagai warga negara yang belajar di perguruan tinggi, jadi yang sedikit banyak sudah berilmu, seorang anggota HMI tidaklah secara pasif saja menerima dan menyetujui Pancasila, melainkan secara aktif menghayati nilai-nilai Pancasila dan secara aktif pula turut berusaha bahkan berjuang untuk tegaknya nilai-nilai Pancasila itu dalam segi kehidupan negara.
Karena sejak berdiri HMI selalu berintegrasi dengan kehidupan nasional, termasuk dengan hidup ber-Pancasila, dan dalam Pembukaan Anggaran Dasar HMI pun tercantum tekat HMI untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila, apalagi setelah Kongres Padang tahun 1986 telah tercantum pula Pancasila sebagai asas, maka sebenarnya tidaklah dapat terpikirkan kalau ada anggota HMI yang anti-Pancasila. Namun, jika sekiranya masih ada, setiap anggota senior HMI dan para alumnusnya termasuk penulis (hendaknya) selalu membuka tangan dan hatinya, bahkan pintu rumahnya, untuk berdialog dengan ikhwan tersebut, semoga dengan dialog itu hati ikhawan tersebut terbuka untuk dapat menerima Pancasila. Namun kalau dengan dialog-dialog itu tetap juga ikhwan tersebut tidak mau menerima Pancasila, kiranya ikhwan-ikhwan yang bersangkutan menyadari bahwa tempatnya bukanlah di HMI.
Ad.4. Seorang mahasiswa Islam anggota HMI adalah seorang muslim/muslimat. Sebagai seorang muslim/muslimat ia sama dengan muslim-muslim lain dalam beribadah, rapi dalam menjalankan shalat lima waktu, dan puasa. Di samping itu, sebagai seorang muslim yang belajar di perguruan tinggi dan akan menjadi sarjana, seorang anggota HMI dengan kelebihannya itu hendaknya mampu mempergunakan ilmunya untuk mengaji lebih lanjut isi Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Sisihkanlah waktu barang sejam sehari atau beberapa jam dalam seminggu untuk, disamping belajar, mempelajari dan mendalami ajaran-ajaran Islam khususnya dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Islam hanya akan berperan, dan kehadiran serta keberadaannya akan dapat dirasakan oleh manusia, semata-mata jika Islam dapat memberikan jawaban atas problem-problem yang konkret yang menyangkut umat manusia dalam tingkat nasional dan internasional. Dan yang paling mampu dan yang paling berkewajiban untuk memberikan jawaban islami itu tidak lain adalah pemikir dan cendekiawan muslim yang dalam pemikirannya bernafaskan Islam, artinya yang bertitik tolak dari ajaran-ajaran Islam yang terkandung dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul, bukan hanya hasil penalaran sendiri serta yang kesimpulan-kesimpulan pemikirannya tidak bercita-cita tinggi.
Dipenuhinya empat komponen tersebut secara menyeluruh kiranya dapat merupakan mekanisme untuk terwujudnya Insan Cita seperti yang diformulasikan dalam Tujuan HMI.
Adalah logis, bahwa sebagai organisasi kader, HMI (harus) menitikberatkan kegiatannya kepada pengaderan. Dengan pengaderan yang efektif, Insya Allah dari kalangan para anggota Himpunan, akan terwujud Iinsan-insan Cita tersebut. Dan pengaderan yang efektif itu hanyalah dapat tercapai jika dilaksanakan secara sistematis dan konsisten, yang materinya benar-benar sesuai dengan dan dapat membawa para kader kepada maksud yang akan dicapai oleh Tujuan, yang para penceramah pemberi materi juga menghayati isi yang terkandung dalam Tujuan, dan yang silabusnya juga konsisten dalam rangka mencapai Tujuan.
Itu berarti bahwa haruslah dicegah adanya training-training yang bersifat rutin, apalagi yang hanya merupakan hobi para “instruktur”nya, serta yang secara acak-acakan menyusun silabus dan “memilih” para penceramah pemberi materi.
Apa yang dituju oleh HMI seperti yang tercantum dalam Tujuan HMI itu bukanlah sesuatu yang imposible, tujuan itu cukup feasible, layak dicapai.
Yang hendak dicapai oleh Tujuan HMI itu memang merupakan cita-cita tinggi. Tetapi sebagai pemuda, mahasiswa Islam anggota HMI memang harus mempunyai cita-cita tinggi, sebagaimana dulu sering dikumandangkan oleh Bung Karno : “hang uw ideealien annd de sterren, als ze daar niet hangen” (gantungkanlah cita-citamu pada bintang-bindang di langit, kalau tidak disitu rendahlah cita-citamu itu).[]
Harian Pelita, Jakarta, 5 Pebruari 1988
2
HMI dalam Periode 1950-1960
Yang berwenang menulis perkembangan HMI selama dasawarsa 50, tentulah semua PB dalam periode tersebut secara bersama-sama, yaitu PB Lukman Hakim (1950-1951), PB Dahlan Ranuwihardjo (1951-1953), PB Deliar Noer (1953-1955), PB Amir Rajab Batubara (1955-1957), dan PB Ismail Hasan Metareum (1957-1960). Saya kira mengapa PB hanya meminta saya untuk menulisnya, dan bukannya kelima-lima mantan PB tersebut, pertimbangannya adalah dari sudut praktis semata; tidaklah mudah mengumpulkan mereka untuk secara bersama-sama menuliskan perkembangan HMI dalam periode 1950-1960. Saya pun tidak berpretensi berwenang atau mampu menuliskannya, ini pun dengan pertimbangan praktis saja, yaitu daripada tidak ada penulisan topik tersebut dalam Buku Kenangan 43 tahun HMI. Kalau ada kekurangan dalam tulisan ini, saya harap rekan-rekan, khususnya para mantan PB tahun 1950-an dapat maklum. Tulisan ini sekedar berupa catatan atas sejumlah peristiwa penting dalam kehidupan HMI yang terjadi dalam tahun 1950-an.
Membangun Kembali HMI
Tahun 1950-an mencatat HMI dalam kondisi disorganized (kalut). Dalam masa revolusi fisik, HMI mempunyai cabang-cabang di Yogyakarata, Klaten, Solo dan Malang. Mengapa ada cabang di Klaten, Solo dan Malang ialah karena tiga kota tersebut berdiri cabang-cabang dari Perguruan Tinggi Kedokteran yang setelah mengungsi dari Jakarta pada tahun 1946 lalu dipusatkan di Klaten dan mempunyai dua cabang Perguruan Tinggi Kedokteran di Solo dan Malang. Dengan berdirinya Universitas Gajah Mada di Yogyakarta tanggal 19 Desember 1949, Perguruan Tinggi di Klaten dengan dua cabangnya Solo dan Malang lalu dimasukkan ke Universitas Gajah Mada menjadi Fakultas kedokteran. Dengan berpindahnya ketiga Perguruan Tinggi Kedokteran ke Yogya itu, otomatis cabang-cabang HMI di kota tersebut lalu bubar, karena pada tahun 1950 itu di tiga kota tersebut belum ada Perguruan Tinggi lain.Tinggalah pada awal tahun 1950 itu HMI Cabang Yogyakarta. Dengan terpusatnya perguruan tinggi di daerah eks Repubklik Indonesia (Proklamasi) di kota Yogya, orang mengira HMI Cabang Yogya pada awal tahun 1950 itu akan makin besar dalam jumlah anggotanya. Ternyata tidak. Mengapa? Kota Yogya, ibukota kedua Republik Indonesia Proklamasi, pada awal tahun 1950 itu sedang dilanda demam back to kampus. Mekipun disebut sebagai “demam” namun justru sehat, yaitu para mahasiswa yang pada umumnya kaum republikein (pendukung Republik Proklamasi) berduyun-duyun afwaajan belajar kembali di perguruan tinggi (di Yogya waktu itu selain ada UN Gajah Mada, juga ada UII kelanjutan Sekolah Tinggi Islam yang berdiri di Jakarta tahun 1945).
Dibandingkan dengan para mahasiswa-federal, yaitu yang memasuki Universitas van Indonesia yang didirikan oleh Pemerintah Van Mook/NICA (Netherland Indies Civil Administration) di Jakarta dan mempunyai cabang-cabangnya di Bogor, Bandung, Surabaya dan Makasar pada pertengahan tahun 1947 setelah Belanda melancarkan aksi militer I bulan Juli 1947, para mahasiswa republikien ini telah ketinggalan dua setengah tahun akibat ditutupnya perguruan tinggi di daerah RI setelah Clash I dengan Belanda bulan Juli 1947 itu guna memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk turut berjuang memanggul senjata menghadapi agresi Belanda/NICA. Untuk mengejar ketinggalan dua setengah tahun itulah mahasiswa republikein itu ”meninggalkan” organisasi mahasiswa, kembali ke kampus untuk belajar. Dalam suasana kembali belajar itu HMI Cabang Yogya mengalami kekalutan pada bulan-bulan pertama 1950. Sementara itu PB-nya pun kalut pula. PB Mintaredja, hasil Kongres HMI I di Yogyakarta tahun 1947 praktis bubar karena sebaigan besar angota-angotanya meninggalkan Yogya berpencar ke Jakarta, Bandung, dan ke luar negeri. Pada awal tahun 1950-an itu, roda PB HMI praktis dijalankan hanya oleh dua orang, yaitu Mas Lafran Pane sebagai Ketua Umum dan saya sebagai Sekretaris Umum. (Saya diangkat oleh Mas Lafran sebagai Sekretaris Umum pada akhir tahun 1949, tanpa SK, tanpa upacara hanya dengan menyerahkan stempel PB tok. Tanpa arsip-arsip, karena kantor PB di Jalan Ngabean turut dibumihanguskan menjelang tentara Belanda masuk Kota Yogya pada Clash II bulan Desember 1948).
Di bawah PB mini inilah berdiri cabang-cabang HMI di Jakarta, Bogor, Bandung, Surabaya sedangkan Cabang Yogyanya sementara itu telah mengatasi masa kekalutan. Di bawah PB mini pulalah, HMI masih tetap berperan di dalam kalangan pemuda dan mahasiswa, diantaranya dengan terpilihnya diri saya sebagai Ketua Umum Badan Pekerja PPMI (Perserikatan Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia) bulan Maret 1950 dalam Kongres PPMI di Yogya dan sebagai Ketua Umum FPI (Front Pemuda Indonesia) dalam Kongres Pemuda Seluruh Indonesia di Surabaya Juni 1950.
Karena menurut Anggaran Dasar, PB harus berkedudukan di ibukota RI, diserahkanlah pimpinan PB kepada sebuah PB sementara di Jakarta yang diketuai oleh Lukman Hakiem. Setelah dalam masa kurang lebih setahun, PB sementara ini tidak berfungsi. Sebagai seorang pembantu umum dalam formasi PB sementara ini, saya melakukan teguran lisan beberapa kali, namun tidak berhasil, sehingga akhirnya bulan September 1951 saya menulis surat kepada PB sementara saya menyatakan mengundurkan diri dari PB. Surat saya ini telah mendorong PB sementara untuk rapat di rumah Mas Min (panggilan akrab saya kepada Almarhum HMS. Mintaredja, S.H.) di Kebayoran Baru. Dalam rapat itu, atas saran Mas Min, PB sementara dengan alasan tidak sanggup bekerja, membubarkan diri dan menyerahkan mandat kepada saya . Saya susunlah PB darurat pada bulan Oktober 1950 dan pada bulan Desember 1950 PB darurat ini menyelenggarakan Kongres Darurat di Yogyakarta yang kemudian disahkan sebagai Kongres II HMI yang memilih saya sebagai Ketua Umum merangkap formator tunggal.
Kongres HMI di Jakarta bulan September 1953 dihadiri oleh cabang-cabang Yogya, Jakarta, Bogor, Bandung, Surabaya, Solo, Makasar dan Medan ( cabang Padang yang sudah berdiri berhalangan hadir) dalam kongres tersebut, meskipun sebagian besar utusan akan menyetujui pemilihan saya sebagai ketua PB namun saya menolak dengan alasan studi saya, tetapi terutama adalah untuk meletakkan garis tradisi agar didalam organisasi mahasiswa termasuk HMI tidak terjadi gejala “tokoh yang tetap bercokol”. Seperti yang terjadi pada organisasi mahasiswa/pelajar lain yang ternyata kemudian merugikan organisasi bersangkutan. (Terpilihnya kembali Nurcholis Madjid sebagai Ketua Umum PB HMI di Kongres Malang tahun 1969 adalah merupakan “kecelakaan” dalam sejarah HMI). Alhamdulillah, tradisi “Ketum PB hanya untuk satu masa jabatan” itu tetap dipegang teguh oleh kongres-kongres HMI.
Melanjutkembangkan Kepribadian HMI
Pada awal tahun 1950-an itu belumlah ada rumusan tentang apa yang kemudian disebut Kepribadian HMI. Bagaimana saya dapat mengetahui tentang kepribadian HMI dan bagaimana pula saya dapat berbicara tentang melanjutkan dan mengembangkan kepribadian HMI. Sampai dengan masa jabatan saya sebagai Ketua Umum PB, istilah kepribadian itu sebenarnya belum ada, seingat saya juga tidak pernah menyebutnya; dalam forum-forum HMI dalam periode saya istilah Kepribadian HMI juga tidak disebut-sebut. Kalau begitu belum ada dong Kepribadian HMI dalam periode saya. Ini tidak benar, Kepribadian HMI itu ada dan sudah ada sejak HMI berdiri, walau istilah itu belum pernah disebut-sebut apalagi dirumuskan. Pada hemat saya, Kepribadian HMI itu mula-mula bersumbar pada naluri, kemudian terungkap dalam sikap, tertulis atau terucap. Rangkaian ungkapan naluri itu kemudian disebut Kepribadian HMI.
Terbatasnya jumlah halaman buku kenangan ini tidak mengizinkan untuk menguraikan proses terbentuknya Kepribadian HMI itu. Akan memadailah kiranya jika saya katakana , bahwa dari naluri orang-orang muda yang dididik dan dibesarkan dalam kancah perjuangan bangsa untuk kemerdekaan, yang tergolong terpelajar (apalagi sebagai mahasiswa calon sarjana) serta beragama Islam, telah terbentuk suatu kepribadian yang menunjukan karakteristik sebagai berikut.
a. Berintegrasi dengan dan dalam kehidupan nasional Bangsa
b. Berpikir, bersikap, dan melangkah secara mandiri.
c. Turut serta dalam dan turut memelihara Ukhuwwah Islamiyah.
Kepribadiah HMI yang telah dipraktikkan senior-senior saya seperti Mas Lafran Pane, Mas Min, Mas Achmad Tirtosudiro, Mas Sanusi dan lainnya, ungkapan-ungkapan kepribadian itu dapat saya rasakan dan sadari, karena pertama, sebagai sesama hamba Allah kualitas saya relatif sama dengan mereka, sama-sama pemuda, mahasiswa, pejuang, dan beragama Islam, dan kedua karena saya selalu mengikuti dan mengenali sepak terjang senior-senior saya itu sejak saya masih aktif di Pengurus HMI Cabang Yogyakarta pada tahun 1948.
Karena itu tanpa menyebut-nyebut Kepribadian HMI dan tanpa bergembor akan melanjutkan garis (khittoh) yang telah digariskan oleh senior-senior saya dalam HMI, sebagai Ketua Umum PB HMI sebenarnya secara naluri pula saya mengikuti, melanjutkan dan mengembangkan kepribadian HMI yang sebelumnya telah dirintis oleh senior-senior saya itu. Dengan jiwa dan semangat HMI inilah saya melangkah dalam sejumlah peristiwa. Misalnya, pada tahun 1950 dalam kedudukan saya sebagai ketua PPMI saya mendesak formatur Moh.Natsir agar membentuk Kabinet yang berintikan kekuatan Masyumi dan PNI dalam Parlemen Sementara RI, karena tanpa koalisi Masyumi –PNI, Kabinet akan tidak mempunyai basis yang kuat adalam parlemen. Delegasi PPMI menemui Presiden Sokarno dan mendesak terbentuknya Kabinet yang berintikan koalisi Masyumi-PNI. Akhirnya terbentuk Kabinet Sukirman-Suwiryo yang merupakan koalisi Masyumi-PNI. Namun Kabinet Sukirman–Suwiryo inipun tidak berusia panjang (kira-kira hanya tujuh bulan). Sebab jatuhnya Kabinet Sukirman-Suwiryo ialah karena Menteri Luar Negeri Subardjo (dari Masyumi) membubuhkan persetujuan atas naskah-MSA (Mutual Security Agreement) dengan Duta Besar AS di Jakarta, Cochran. Dan mengapa Subardjo sampai menyetujui MSA itu, inilah sebuah misteri politik yang sampai saat ini belum dan mungkin tidak terkuak.
Dengan berjiwakan Kepribadian HMI itu pula, pada tahun 1952, PB HMI bersama-sama organisasi Islam menemui Jaksa Agung Soeprapto (Alm) mendesak dicabutnya Surat Edaran Jaksa Agung yang berisikan larangan pidato politik di mesjid-mesjid. Surat Edaran Jakasa Agung ini kemudian dicabut. Kalu PB sampai turut dalam sikap tersebut, hal ini adalah karena bertitik tolak dari ajaran Islam bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari politik. Dengan semangat Kepribadian HMI pulalah, ditengah-tengah terjadinya popolarisasi politik antara partai–partai Islam pada pihak satu dan golongan Nasionalis pada pihak yang lain, sebagai ketua Umum PB HMI saya menulis surat kepada Presiden Soekarno tertanggal 13 April 1953 dengan motif mengurangi suasana polarisasi dan ketegangan politik pada waktu itu. Surat saya yang diantaranya menyinggung tentang hubungan antara Islam dan Pancasila, yang pada pendapat PB HMI tidaklah saling bertentangan bahkan sesuai, kemudian dijawab oleh Presiden Soekarno dalam bentuk ceramah umum beliau di Aula Universitas Indonesia tanggal 7 Mei 1953, rekaman ceramah tersebut disiarkan secara nasional lewat RRI.
Merumuskan Identitas HMI
Di dalam Kongres III HMI di Jakarta, September 1953, telah muncul pemikiran untuk mengubah Anggaran Dasar hasil Kongres I HMI Yogya tahun 1948. Deliar Noer, Ketua Umum PB HMI hasil Kongres III, menampung pemikiran tersebut dengan membentuk sebuah Panitia Perumus yang menyampaikan Rancangan Perubahan AD ke Kongres HMI di Palembang di Bandung tahun 1955, dengan penyempurnaan oleh Kongres HMI di Palembang tahun 1971. Kongres Bandung itu telah merumuskan Tujuan HMI seperti telah disahkan kembali oleh Kongres-kongres HMI dan terakhir oleh Kongres Lhok Seumawe tahun 1988. Pada hemat saya, insan cita HMI atau stereotipe insan HMI adalah yang memenuhi sedikit banyak apa yang terkandung dalam tujuan HMI itu, yaitu insan akademis pencipta pengabdi yang bernapaskan Islam yang turut bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila yang diridhai Allah SWT. Identitas HMI menurut saya adalah terletak pada hamba-hamba Allah, anggota dan alumni HMI yang merupakan stereotipe-stereotipe yang memenuhi kriteria yang terkandung dalam rumusan Tujuan HMI. Dihitung dari tahun 1955 sewaktu rumusan itu pertama kali diputuskan oleh Kongres Bandung III, rumusan Tujuan HMI itu, sesudah rumusan Sapta Marga TNI tahun 1952, merupakan rumusan yang bertahan lama (sudah 35 tahun dan Insya Allah akan terus) dalam alam Republik Pancasila tercinta ini.
Munculnya Organisasi Mahasiswa Onderbow Partai
Dasawarsa 50 mencatat munculnya dua organisasi mahasiswa yang tidak independen pada tahun 1953-1954, yaitu GMNI onderbouw PNI dan CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang berafiliasi pada PKI. Beberapa tahun kemudian beberapa organisasi mahasiswa (ormah) tersebut masuk menjadi anggota PPMI. Sebagai federasi dari ormah-ormah yang independen yang bukan onderbouw disuatu partai dan karena itu sejak berdiri, PPMI juga dapat bersikap independen. Masuknya ormah yang merupakan onderbouw partai tidaklah dapat dicegah, karena di dalam Anggaran Dasar PPMI tidak terdapat ketentuan bahwa ormah onderbouw partai tidak boleh menjadi anggota. Sejak PPMI berdiri, HMI selalu memegang pimpinan PPMI, kalau tidak sebagai ketua, ya sebagai wakil ketua dengan partnernya dari ormah lokal seperti PMJ ( Perhimpunan Mahasiswa Jogya) atau GMD (Gerakan Mahasiswa Djakarta) atau berpartnerkan PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik RI). Dengan masuknya ormah-ormah onderbouw partai, pimpinan PPMI beralih ke tangan mereka sekaligus bergeser pula watak PPMI sebagai federasi yang independen, karena GMNI/CGMI yang memegang pimpinan PPMI melibatkan PPMI ke dalam permainan politik praktis (yaitu dalam rangka memperoleh kekuasaan politik). Karena PPMI diseret oleh GMNI/CGMI ke kubu PKI/PNI-ASu, maka tatkala kubu tersebut mengalami kekalahan total bersama-sama dengan hancurnya Orde Lama, lalu PPMI ikut “koid” pula alias tamat riwayatnya.
Dapatlah dikenang peristiwa Konferensi Mahasiswa Afrika Asia di Bandung tahun 1956 sebagai prestasi puncak dari PPMI, karena sesudah itu PPMI di tangan GMNI/CGMI tidak berprestasi. Dan konferensi Mahasiswa Asia Afrika diketuai oleh Agusdin Amiruddin yang mewakili unsur HMI memegang jabatan ketua PPMI pada tahun 1956 itu. Riwayat PPMI, juga riwayat KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) memberi sebuah palajaran sejarah: Hanya dalam posisi yang independen, sebuah gerakan mahasiswa akan mampu membuat prestasi yang mempunyai arti dalam sejarah. Dan sejarah dapat mencatat pula, bahwa HMI yang independen telah memberikan peranan kepada gerakan mahasiswa yang independen pula.
Harian Pelita. Jakarta ,7 Februari 1990
3
Mengenang Peristiwa Tahun 1964-1965
HMI Menghadapi Pengganyangan oleh PKI dan Kawan-kawannya
Kata “mengganyang” berasal dari bahasa Jawa ngganyang yang secara harfiah berarti mengunyah-ngunyah (untuk selanjutnya ditelan). Secara kiasan, mengganyang berarti menyerang terus menerus sampai yang diserang “mampus”.
Secara historis politis, yang dimaksudkan dengan pengganyangan yang dilakukan oleh PKI dan kawan-kawannya terhadap HMI ialah gerakan terencana yang dilancarkan pada tahun 1964-1965 oleh PKI beserta ormas-ormasnya dan PNI-ASu (Ali Sastroamidjojo – Surachman) beserta ormas-ormasnya berupa serangan-serangan yang terus menerus bertubi-tubi, lewat pelbagai media massa terhadap HMI dengan tujuan agar Presiden Sukarno dalam kapasitasnya sebagai Pemimpin Besar Revolusi membubarkan HMI.
Peristiwa pengganyangan terhadap HMI oleh PKI dan kawan-kawannya pada tahun 1964-1965 itu merupakan peristiwa yang unik, karena dalam sejarah Republik Indonesia menjelang berusia 20 tahun, baru pertama kali kekuatan politik tertentu yaitu PKI dan PNI menuntut-mendesak suatu organisasi yaitu HMI dibubarkan.
Sebelum terjadi pengganyangan terhadap HMI, memang telah terjadi sejumlah aksi-aksi pengganyangan oleh PKI dan PNI, tetapi pengganyangan ini ditujukan terhadap perorangan dan bukannya terhadap suatu organisasi seperti HMI.
Bubarnya Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) pada pertengahan tahun 1960 dan bubarnya GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) pada medio tahun 1963 bukanlah melewati proses pengganyangan oleh PKI dan/atau PNI, melainkan langsung melewati Keputusan Presiden Sukarno.
Politik Praktis
Politik praktis adalah setiap upaya yang –biasanya- dilakukan oleh organisasi politik dalam rangka menyusun kekuatan (politik) dan menggunakan kekuatan (machtsvorming dan machtssaanwending) dengan tujuan : memegang kekusaan negara atau turut di dalamnya).
Apa yang dilakukan oleh PKI dan PNI pada tahun 1964-1965 yaitu mengganyang HMI adalah dalam rangka menyusun kekuatan dan mempergunakan kekuatan kedua partai itu masing-masing, sehingga aksi-aksi pengganyangan yang dilancarkan oleh PKI dan PNI itu per definisi adalah upaya politik praktis.
Tentu saja aksi-aksi pengganyangan itu dilakukan dengan mempergunakan dalih-dalih yang hebat mentereng yang sedang berlaku pada waktu itu seperti “demi menegakkan revolusi”, “demi memperkuat barisan progresif revolusioner”, dan sebagainya.
Dan yang terutama melaksanakan aksi-aksi pengganyangan itu adalah ormas-ormas pemuda yang berafiliasi kepada PKI dan PNI. Dari pihak PKI ialah CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), Pemuda Rakyat, IPPI-Komunis (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia yang berafiliasi kepada PKI, berbeda dengan IPPI-Pancasila yang independen), Perhimi (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia yang anggota-anggotanya adalah keturunan Cina; organisasi ini dalam masa kolonial Belanda dan dalam masa van Mook NICA bernama Ta Hsueh Chung Hui). Dari pihak PNI ialah GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), GPM (Gerakan Pemuda Marhaenis), dan GSNI (Gerakan Siswa Nasionalis Indonesia).
Aksi-aksi pengganyangan terhadap HMI itu kelihatannya saja dilakukan secara spontan oleh ormas-ormas pemuda PKI dan PNI. Tetapi sebenarnya tidak, karena ormas-ormas pemuda itu hanyalah sekadar melaksanakan apa yang disebut sebagai “garis partai”.
Pada akhir tahun 1964, sebagai Ketua Dewan Pertimbangan dan Penasihat PB HMI, dan dalam rangka menangkis serangan-serangan terhadap HMI, saya melakukan pembicaraan secara terpisah dengan dua orang rekan sesama anggota DPR-GR yaitu Sudisman (waktu itu anggota CC PKI, sekarang sudah dijatuhi hukuman mati oleh Mahmillub) dan Surachman (waktu itu Sekretaris Jenderal PNI, sekarang telah hilang setelah terjadinya peristiwa Gestapu/PKI).
Dalam pembicaraan tersebut telah terjadi perdebatan sengit antara Sudisman/Surachman masing-masing dengan saya. Setelah dalam perdebatan tersebut, baik Sudisman dan Surachman dengan ngotot mereka mempertahankan tuntutan “HMI bubar”, tidak mampu memberikan alasan-alasan dan argumen-argumen yang kuat dan masuk akal dalam kerangka berpikir “penggalangan kekuatan-kekuatan revolusioner” (samenbundeling van alle revolotionaire krachten), “pendidikan dan pembinaan jiwa revolusioner di kalangan generasi muda”, akhirnya Sudisman dan Surachman masing-masing hanya bertahan pada ungkapan : “Sorry, Bung Dahlan, itu (maksudnya : pengganyangan terhadap HMI) sudah menjadi garis partai”.
Pejuang Gigih yang Independen
Pengganyangan terhadap HMI yang dimulai bulan April 1964 itu tentulah amat menterkejutkan bagi pimpinan HMI dalam segala jajarannya. Tiada awan, tiada mendung, tiada petir, tiada halilintar, tiba-tiba saja turun dengan deras dahsyat hujan : “Bubarkan HMI”.
Tidak hanya di kalangan HMI dan alumninya, tetapi juga di kalangan politik yang luas, bahkan di kalangan PNI sendiri, reaksi pertama yang timbul terhadap aksi pengganyangan itu ialah : “apa kesalahan HMI, kok dituntut bubar”.
Seperti di depan telah disinggung, aksi-aksi pengganyangan terhadap HMI itu adalah upaya politik praktis dan bagi PKI dan PNI bukan upaya sembarang upaya, melainkan upaya politik praktis in optima forma (dalam bentuknya yang tinggi), karena langsung melibatkan CC PKI dan DPP PNI dalam rangka penyusunan kekuatan (machtsvorming) mereka, walau yang melaksanakan di “lapangan” adalah ormas-ormas pemudanya. Pendek kata : PKI dan PNI menjadikan HMI sebagai obyek permainan politik praktis.
Yang menghadapi pimpinan PKI dan PNI dalam semua jajarannya yang pada umumnya terdiri dari politisi old crack (sudah berpengalaman) adalah orang-orang muda anggota PB HMI, Badko HMI di provinsi-provinsi, dan pengurus cabang-cabang HMI di kota-kota di seluruh Indonesia. Usia mereka rata-rata kurang dari 25 tahun. Pada tahun 1964 itu, Sulastomo, Ketua Umum PB HMI baru berusis 25 tahun. Untuk seorang mahasiswa yang bukan mahasiswa abadi, usia 25 tahun itu tidaklah terlalu muda untuk menjadi Ketua Umum PB (saya sendiri berumur 26 tahun saat terpilih sebagai Ketua Umum PB pada bulan Desember 1951 dan belum berumur 25 tahun ketika terpilih sebagai Ketua Umum PPMI –Perserikatan Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia- pada bulan Maret 1950, dan sebagai Ketua FPI –Front Pemuda Indonesia- Pusat pada bulan Juni 1950).
Tetapi tantangan yang dihadapi oleh Sulastomo dan rekan-rekannya di HMI pada tahun 1964 itu adalah suatu tantangan yang sebelumnya tidak pernah dihadapi oleh PB-PB lainnya yaitu tantangan yang langsung menyangkut eksistensi HMI : bubar atau tidak. Yang dihadapi Sulastomo dan rekan-rekannya bukan sekadar sesama orang-orang muda anggota pucuk pimpinan CGMN, GMNI dan ormas-ormas pemuda lainnya yang berafiliasi kepada PKI-PNI, melainkan politisi kawakan anggota CC PKI dan DPP PNI.
Untuk menghadapi mereka ini, Sulastomo dan rekan-rekannya di HMI masihlah terlalu muda : dalam usia, dalam pengalaman, dalam memahami seluk beluk dan liku-liku permainan politik praktis dan dalam posisi politik. Kalau dari sini ditarik kesimpulan, bahwa karena serba masih muda-muda itu HMI tidaklah akan mampu menghadapi aksi-aksi pengganyangan oleh PKI dan kawan-kawannya, kesimpulan itu keliru belaka.
Meskipun serba masih terlalu muda, namun para fungsionaris dan aktifis HMI di PB, Badko, Cabang, Komisariat dan Rayon cukup dewasa untuk menghadapi aksi-aksi pengganyangan itu. Dan sejarah membuktikan, mereka berhasil mematahkan serangan-serangan yang dilancarkan oleh PKI-PNI beserta ormas-ormas mereka.
HMI selamat dan tetap eksis. Alhamdulillaah.
PKI beserta ormas-ormasnya dibubarkan. Alhamdulilaah.
PNI-Asu yang menyimpang dari Pancasila di-retool lewat kongresnya di Bandung pada tahun 1966 berkat bantuan dari TNI-Angkatan Darat, sehingga muncullah PNI yang dipimpin oleh Osa-Usep yang merupakan salah sebuah eksponen Orde Baru. Alhamdulillaah.
Mengapa HMI telah dengan selamat melewati masa kritis tahun 1964-1965 itu, hal ini pada hemat saya adalah karena para fungsionaris dan aktifis HMI, dari PB HMI di pusat sampai ke komisariat dan rayon di bawah, telah menunjukan diri mereka sebagai pejuang-pejuang gigih yang independen. Unsur “independen” ini secara khusus saya tekankan, karena sikap independen yang bagi HMI sekaligus merupakan naluri dan tradisi, telah memberi kemampuan kepada HMI untuk menemukan jalan dan cara sendiri dalam menghadapi setiap tantangan khususnya yang berupa aksi-aksi pengganyangan itu serta untuk menemukan akal, kecerdikan, dan keterampilan yang diperlukan untuk menangkis dan menetralisasi serangan-serangan dan fitnah-fitnah yang ditujukan kepada HMI.
Kalau pada tahun 1964-1965 itu, diri saya sebagai Ketua DPP (Dewan Pertimbangan dan Penasihat) PB HMI disebut-sebut sebagai yang memberi spirit kepada HMI untuk dengan hati teguh menghadapi segala aksi-aksi pengganyangan itu, hal ini sebenarnya karena saya sendiri juga memperoleh spirit dari semangat juang yang gigih yang ditunjukkan oleh fungsionaris, aktivis dan massa HMI dalam segala jajarannya : di PB, Badko, Cabang, Komisariat, Rayon dan Lembaga-lembaga Khusus HMI.
Perlu kiranya dicatat, bahwa dalam masa kritis tahun 1964-1965 itu, keanggotaan HMI bukan saja utuh dan tidak mreteli (berkurang), melainkan justru bertambah berlipat. Pada tahun itu anggota HMI Cabang Jakarta yang jumlah anggotanya diperkirakan sebesar lebih kurang 5000 (lima ribu) orang, yang mreteli meninggalkan HMI hanyalah 2 (dua) orang. Kondisi keanggotaan HMI yang seperti itu juga terdapat di semua cabang-cabang HMI di seluruh Indonesia. Bandingkan dengan SOKSI (pada waktu itu : Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia, sekarang kata “Sosialis” diganti dengan “Swadiri”) yang juga diganyang oleh PKI. Di lapangan, khususnya di sektor perkebunan, anggota-anggota Perkapen (Persatuan Karyawan Perkebunan) yang berafiliasi kepada SOKSI sanggup bertahan terhadap serangan-serangan PKI, tetapi di kantor-kantor pemerintah tidak sedikit anggota SOKSI yang mreteli pindah ke SBM (Serikat Buruh Marhaenis).
Jakarta, 22 Juni 1989
4
50 Tahun Sejarah Perjuangan HMI
Turut Menegakkan dan Membangun
Negara Kesatuan Republik Indonesia
Karena pada saat HMI berdiri pada tanggal 5 Pebruari 1947, pada waktu itu – Ibukota RI- telah lebih dulu ada PMY (Perkumpulan Mahasiswa Yogya) yang meliputi mahasiswa-mahasiswa dari perguruan-perguruan tinggi di Yogya, yaitu : STT (Sekolah Tinggi Teknik), Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada dan STI (Sekolah Tinggi Islam), lalu ada yang beranggapan bahkan menuduh HMI adalah separatis. Tuduhan ini tidaklah benar sama sekali.
Pada bulan-bulan pertama tahun 1947 itu, suasana politik di wilayah RI terutama di Yogya, menunjukkan adanya polarisasi politik antara : pada pihak yang kesatu Partai Sosialis pimpinan Syahrir-Amir Syarifuddin berikut ormas-ormasnya (SOBSI, BTI, PSINDO, GERWANI, Pemuda Puteri Indonesia, dll) sebagai pendukung-pendukung pemerintah Syahrir, dan pada pihak yang lain partai-partai seperti Masyumi (dibawah pimpinan Sukiman), PNI (dibawah pimpinan Ki Mangun Sarkoro), Persatuan Perjuangan (dibawah pimpinan Tan Malaka) dan potensi-potensi lain yang merupakan kekuatan oposisi.
Pengurus PMY yang coba didominasi oleh mahasiswa-mahasiswa yang berorientasi pada partai sosialis, diantaranya : Milono Ahmad dan Yosef Simandjuntak (yang kemudian menjadi Yusuf Aji Torop, kini konon berada di Peking). Jika para mahasiswa sosialis berhasil mendominasi PMY dan berhasil memposisikan PMY sebagai pendukung Pemerintah Syahrir, maka potensi mahasiswa akan turut hanyut dalam polarisasi politik pada waktu itu.
Beberapa tokoh mahasiswa yang juga anggota PMY tidak menghendaki potensi mahasiswa hanyut memihak salah satu pihak yang bertarung dalam polarisasi politik di Yogya pada waktu itu. Kelompok mahasiswa tersebut yang sama-sama beragama Islam lalu mendirikan HMI. Tidak lama kemudian menyusul pula organisasi baru mahasiswa yang lain yaitu PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) dan PMKI (Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia) yang kemudian pada tahun 1950 berubah menjadi Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).
Untuk menunjukkan bahwa HMI yang berdiri itu tidak bersifat sparatis, HMI turut memprakarsai diadakannya Kongres Mahasiswa Seluruh Indonesia di Malang pada bulan Juni tahun 1947 yang melahirkan federasi antara organisasi-organisasi Mahasiswa Republikan bernama PPMI (Perserikatan Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia).
Rencana HMI turut menegakkan Republik Proklamasi atau Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bersama-sama dengan mahasiswa lain lewat PPMI, yang walaupun berupa federasi, tetapi kompak dan solid membawakan aspirasi mahasiswa Indonesia dalam “alang orde” Persatuan mempertahanlan Republik Proklamasi serta selalu dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Setelah Belanda pada tanggal 21 Juni 1947 melancarkan Aksi Militer I, para mahasiswa segera mengikuti latihan militer kilat selama satu minggu bertempat di bekas benteng Belanda Vredesburg Yogya. Mereka yang telah mengikuti latihan militer tersebut kemudian dimasukkan dalam Compie Mahasiswa (CM) yang merupakan Batalyon Mobil di bawah komando MBT (Markas Besar Tentara). Dan kemudian para anggota Compie M itu dikirim ke pelbagai front garis depan. Sejumlah anggota HMI ikut dalam kompi tersebut diantaranya : Achmad Tirtosudiro sebagai wakil komandan Compie M dan saya sebagai komandan regu, yang dikirim ke front Ronggolawe I (Resimen 31 Divisi Ronggolawe) di desa Dekat beberapa kilometer sebelah timur Kota Lamongan.
Setelah Perdana Menteri Amir Syarifudin menandatangani Perjanjian Renville pada bulan Januari 1948, dan persetujuan ini dianggap merugikan RI karena harus mengosongkan kantong-kantong TNI dari Jawa Barat dan Jawa Timur yang diduduki Belanda, maka para mahasiswa di Yogya dibawah pimpinan PPMI mendesak kepada Presiden dan Wakil Presiden dwitunggal Bung Karno dan Bung Hatta untuk mencabut mandat pemerintah dari tangan Amir Syarifudin. Terbentuklah kemudian pemerintahan baru di bawah pimpinan Wakil Presiden atau Perdana Menteri M. Hatta.
Setelah pecah pemberontakan PKI di Madiun pada bulan September 1948, PPMI dibawah pimpinan Pejabat Ketua Umum Achmad Tirtosudiro mengerahkan para mahasiswa untuk berangkat ke daerah-daerah dengan tugas menetralisir propaganda-propaganda beracun yang telah disebarkan oleh PKI. Dalam kampanye menetralisir racun PKI ini para mahasiswa (termasuk diri saya) berbicara dalam bahasa Jawa di depan rakyat sambil membawa foto-foto besar Bung Karno dan Bung Hatta (yang disediakan oleh Departemen Penerangan) agar rakyat tetap berdiri di belakang Bung Karno dan Bung Hatta.
Pada bulan Juli 1949 setelah Pemerintah RI kembali ke Ibukota yaitu Yogya, Pemerintah (Kabinet Hatta) mengundang wakil-wakil negara bagian bikinan Van Mook (Kepala Pemerintah NICA : Netherland Indiche Civil Administration) yang bergabung dalam BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg, yang artinya pertemuan untuk musyawarah federal) guna menghadiri konferensi Antar Indonesia di Yogyakarta.
Maksud konferensi ini adalah agar dalam Konferensi Meja Bundar yang akan diadakan di Belanda pada bulan Agustus 1949 Delegasi RI dan Delegasi BFO dapat merupakan satu front, sehingga Belanda tidak mampu menerapkan politik devide et impera.
Dalam satu Sidang Pleno Konferensi tersebut, Pejabat Ketua PPMI Achmad Tirtosudiro (anggota Pengurus Besar HMI) tampil menyuarakan aspirasi mahasiswa mengumandangkan persatuan. Suara wakil mahasiswa itu merupakan moral dan mental pressure terhadap para utusan BFO agar mereka kembali ke jalan persatuan bangsa dan meninggalkan garis Van Mook yang memecah belah bangsa.
Pada akhir bulan Desember 1949 sebelum Presiden Sukarno pindah ke Jakarta untuk menjadi Presiden RIS (Republik Indonesia Serikat), sebagai anggota staf Mobpel MBKD (Mobilisasi Pelajar Markas Besar Komando Rakyat Djawa), saya (Letda) membuat konsep Peraturan Pemerintah yang akan menampung pelajar-pelajar perjuang setelah mereka meninggalkan garis depan dan kembali ke bangku sekolah. Konsep saya tersebut diterima oleh pimpinan Mobpel yang terdiri dari :Mayor Sukendro (Mayjen, alm) dan Lettu Soetomo Adi Sasmito (sekarang Ir, pensiunan pejabat tinggi Departemen Perhubungan).
Konsep tersebut setelah disetujui oleh Menteri P&K RI Ki Mangun Sarkoro lalu diteruskan ke Sekretaris Negara Gafar Pringgodigdo yang kemudian ditandatangani oleh Presiden Sukarno pada tanggal 25 Desember 1949 menjadi Peraturan Pemerintah No. 32/49 tentang Penampungan Pelajar Pejuang. Itulah sebuah konsep yang saya buat yang kemudian menjadi sebuah Peraturan Pemerintah. Berkat peraturan ini, demobilitasi pelajar pejuang dapat diselesaikan dengan baik.
Dalam konferensi pendidikan antar Indonesia yang dilaksanakan di Yogya pada bulan November 1949, yang dihadiri oleh tokoh-tokoh dan organisasi pendidikan dari RI dan daerah “federal”, Lafran Pane dan saya yang duduk dalam delegasi PPMI mengikuti konferensi tersebut, bersikap keras menghendaki agar dasar pendidikan adalah Pancasila, sedangkan beberapa delegasi termasuk beberapa guru besar, menghendaki dasar pendidikan adalah keilmuan dan kebenaran. Ini sekedar membuktikan betapa pada tahun 1949 itu Pancasila sudah dihayati oleh HMI.
Garis Independen
Dalam Kogres PPMI yang diadakan di Yogyakarta pada bulan Maret 1950, diri saya waktu itu menjadi Sekretaris Umum PB HMI, dipilih sebagai Ketua Umum PPMI (Perserikatan Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia). Mengapa HMI dapat diterima oleh organisasi-organisasi mahasiswa lain untuk memimpin PPMI ialah : karena sejak berdirinya HMI menunjukkan sikap yang independen (tidak berafiliasi apalagi onderbouw dari suatu Partai) dan dalam sepak-sepak terjangnya HMI menunjukkan komitmennya yang besar terhadap perjuangan bangsa.
Kongres Pemuda Seluruh Indonesia II di Surabaya bulan Juni 1950 (Kongres I bulan November 1945 di Yogya) menghasilkan federasi baru dari organisasi-organisasi pemuda yang bernama FPI (Front Pemuda Indonesia).
PPMI sebagai organisasi mahasiswa yang benar-benar independen (tidak memihak salah satu partai politik) dipandang oleh organisasi-organisasi pemuda dapat berdiri di atas semua golongan (dalam FPI), sehingga PPMI-lah yang dipilih sebagai ketua pertama dari FPI.
Dalam Kongres Pemuda tersebut saya sebagai Ketua Umum PPMI mewakili PPMI, dan saya pulalah yang dipilih menjadi ketua pertama dari FPI.
Sebagai Ketua PPMI, saya meneruskan garis independen yang sudah digariskan dan diimplementasikan oleh pimpinan PPMI terdahulu. Setelah RIS bubar, dalam proses pembentukan kabinet pertama RI pada bulan September 1950, delegasi PPMI yang saya pimpin memerlukan bertemu dengan formatur M. Natsir dan menyampaikan masukan bahwa kabinet yang stabil adalah yang didukung oleh 2 fraksi terbesar di parlemen yaitu Masyumi dan PNI.
Setelah kabinet Natsir mengundurkan diri, delegasi PPMI yang saya pimpin menemui Presiden Sukarno dengan memberikan masukan yang sama, serta mendesak kepada Presiden Sukarno agar mencabut mandat dari formatur Sartono (dari DPP PNI) karena Sartono pada bulan April 1951 itu bermaksud membentuk kabinet tanpa Masyumi. Akhirnya Presiden Sukarno mengangkat Sukirman (DPP Masyumi) dan Sidik Djojo Soekarto (dari DPP PNI) sebagai formatur kabinet dan terbentuklah Kabinet Sukirman Suwirjo.
Turut Menegakkan Negara Kesatuan RI
Pada tahun 1950 setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia (dalam Perjanjian KMB disebut : penyerahan kedaulatan) sejumlah organisasi mahasiswa-pelajar yang didirikan di daerah-daerah “federal” bergabung atau berfusi dengan organisasi-organisasi mahasiswa-pelajar dari wilayah RI. Penggabungan tersebut adalah menyusuli dan paralel dengan “bergabungnya” BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg = Pertemuan untuk Musyawarah Federal) ke dalam delegasi Indonesia di dalam Konferensi Meja Bundar bulan Agustus 1949 di Den Haag.
Organisasi pelajar Indonesia dari daerah “federal” pada awal tahun 1950 itu menggabungkan diri ke dalam IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) dari daerah Republik.
Para mahasiswa Universiteit van Indonesie yang didirikan oleh Van Mook pada bulan Agustus 1947 di Jakarta dan mempunyai cabang-cabangnya di Bogor, Bandung, Surabaya dan Makassar. Mereka para mahasiswa “federal” itu mempunyai organisasi di kota-kota itu dan yang berhimpun dalam sebuah federasi yang bernama BKMI (Badan Kerjasama Mahasiswa Indonesia).
BKMI ini pada tahun 1950 itu juga menggabungkan diri kepada PPMI. Di Jakarta pada waktu itu ada sebuah lagi organisasi dari mahasiswa “federal” yaitu mereka yang masuk ke UvI (Universiteit van Indonesie) setelah Belanda melancarkan Aksi Militer II pada tanggal 19 Desember 1948. Mereka ini meskipun sama-sama menyeberang (ke pihak federal) tetapi mereka mendirikan organisasi sendiri yang bernama HMD (Himpunan Mahasiswa Djakarta). HMD ini tidak mau menggabungkan diri ke dalam federasi mahasiswa “federal” yaitu BKMI, dan bersama dengan penggabungan BKMI ke dalam PPMI, HMD pun menggabungkan diri ke dalam PPMI.
Pada tahun 1950 itu juga terjadi fusi antara Algemene Christelijke Studenten Vereniging dari daerah “federal” dan PMKI (Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia) dari daerah republik menjadi GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) yang sekarang ini. Pada tahun yang sama Algemene Katholieke Studenten Vereniging dari daerah “federal” menggabungkan diri ke dalam PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia).
Apakah di daerah-daerah “federal”, lebih tepatnya apakah di lingkungan Universiteit van Indonesie yang didirikan oleh Van Mook itu terdapat organisasi dari pada mahasiswa Islam? Tidak ada. HMI yang pada saat pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda mempunyai cabang-cabangnya di Yogya, Kelaten, Solo dan Malang tidak pernah menginginkan berdirinya organisasi mahasiswa Islam di lingkungan Universiteit van Indonesie. Hal ini membuktikan betapa HMI selalu berkonsisten dalam sikapnya turut mempertahankan Negara Protag (Proklamasi 17 Agustus 1945), yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Student’s Needs and Welfare
Tentu saja PPMI tidak hanya melakukan kegiatan politik, tetapi juga melakukan upaya-upaya dalam bidang student’s needs and welfare.
Dalam rangka memenuhi student’s needs and welfare (kebutuhan dan kesejahteraan mahasiswa), kerjasama antara Kementerian P&K dan PPMI perlu ditingkatkan. Untuk keperluan ini, atas usul PPMI yang saya pimpin, Menteri P&K (Bahder Djohan) pada tahun 1951 menyetujui mengangkat dua wakil PPMI (Soekardjo dari GMD – Gerakan Mahasiswa Djakarta, dan Asmin Nasution dari HMI) untuk duduk di Kementerian P&K sebagai konsultan dalam urusan kemahasiswaan.
Dalam kunjungan saya sebagai ketua PPMI ke negara-negara Skandinavia (Denmark, Swedia dam Norwegia) pada awal tahun 1952, saya bertemu dengan para pemimpin National Union of Student’s (NUS) di negara-negara tersebut. Walaupun PPMI terdiri dari organisasi-organisasi mahasiswa ekstra, namun pada tahun-tahun pertama 1950-an itu, di dalam hubungan dengan mahasiswa-mahasiswa luar negeri, PPMI dipandang sebagai NUS yang mewakili Indonesia.
Sebagai hasil dari kunjungan Skandinavia itu, NUS Swedia (waktu itu ketuanya Olaf Palmer, yang sewaktu menjadi Perdana Menteri pada tahun 1980-an wafat tertembak) memberi beasiswa kepada 5 mahasiswa Indonesia untuk belajar di Universitas Stokholm.
NUS Norwegia memberi beasiswa bagi satu mahasiswa Indonesia untuk belajar di Throndheim yang letaknya beberapa puluh kilometer di sebelah utara Oslo. Jadi sebelum pemerintah RI mendapat beasiswa dari luar negeri, PPMI telah lebih dulu mendapatkannya. Sedangkan NUS Denmark mengirimkan sumbangan berupa alat-alat tulis menulis.
Pada tahun 1952, PPMI menyelenggarakan POM (Pekan Olahraga Mahasiswa) di Jakarta yang resepsi pembukaannya diadakan di Istana. Di tengah-tengah POM sedang berlangsung itu terjadi demontrasi yang dikenal dengan Peristiwa 17 Oktober 1952, namun POM berjalan terus tanpa terganggu oleh demontrasi tersebut meskipun sehari sebelum terjadinya demontrasi, pimpinan PPMI telah dikontak oleh seseorang tokoh politikus/militer yang rupanya ingin melibatkan para mahasiswa dalam demontrasi tersebut, namun sebagai federasi yang independen, PPMI sama sekali tidak mempunyai minat.
Konferensi Mahasiswa Asia Afrika
Sewaktu saya dan Munadjat Danusaputro (mantan Ketua Umum PMKRI) pada awal tahun 1952 mewakili PPMI dalam International Student’s Conference (ISC) di Edinburgh (Scotland), dalam konferensi tersebut muncul gagasan untuk menyelenggarakan South East Asia Student’s Conference yang akan disponsori oleh ISC’s Secretariat.
Dalam pidato saya didepan konferensi tersebut secara halus menolak gagasan tersebut. Penolakan tersebut adalah karena PPMI sebagai organisasi mahasiswa dari Negara Republik Indonesia yang menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif tentulah tidak dapat menerima campur tangan mahasiswa-mahasiswa Barat (termasuk Australia) dalam urusan penggalangan kerjasama mahasiswa di kawasan Asia dan Afrika.
Sementara itu dalam tahun 1953 kepada pimpinan PPMI yang diketuai oleh Soebroto (mantan Menteri Pertambangan dan Energi) saya sampaikan gagasan untuk menyelenggarakan konferensi mahasiswa Asia Afrika. Gagasan tersebut diterima oleh pimpinan PPMI, juga disetujui oleh Menteri P&K, bahkan Kementerian P&K telah meberi dana sebesar Rp 25.000 sebagai modal kerja pertama kepada panitia penyelenggara konferensi mahasiswa Asia Afrika yang dibentuk oleh pimpinan PPMI, sedangkan yang ditunjuk sebagai ketua panitianya adalah saya.
Setelah panitia mengadakan hubungan dengan negara-negara Asia Afrika melewati kedutaan-kedutaan Indonesia, ternyata baru beberapa negara Asia Afrika yang sudah mempunyai organisasi mahasiswa. Karena itu penyelenggaraan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika ditunda dan dana yang pernah diterima dari P&K itu dikembalikan ke Kementerian P&K. Beberapa tahun kemudian, setelah para mahasiswa di negara-negara Asia Afrika sudah mempunyai organisasi mahasiswa meskipun belum berbentuk NUS (National Union of Student’s) akhirnya diselenggarakan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika di Bandung pada tahun 1956 dan konferensi tersebut diketuai oleh Agusdin Aminuddin (HMI) yang pada waktu itu adalah Ketua PPMI.
Penyelenggaraan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika itu merupakan prestasi besar tapi yang terakhir dari PPMI.
Setelah organisasi mahasiswa yang tidak independen alias merupakan bawahan (onderbouw) dari partai yaitu CGMI dan GMNI masuk anggota PPMI bahkan kemudian pada tahun 1960 memimpin PPMI, federasi mahasiswa ini lalu kehilangan sikap independennya alias menjadi perpanjangan dari partai politik, sehingga akhirnya PPMI tidak mampu menjadi penggalang semua potensi mahasiswa Indonesia (kemudian PPMI bubar pada bulan Oktober 1965).
Pembinaan Muslim-muslim Nasionalis
Mengapa tulisan ini mengandung ceritera banyak tentang PPMI, tidak lain karena kiprah HMI sebagai patriot bangsa hampir selalu terjalin kerjasama yang erat dan akrab antara mahasiswa sebangsa meskipun berbeda-beda “warna”, wadah-wadah kerjasama itu terutama adalah PPMI dan CM (Compie Mahasiswa) dan kemudian setelah tahun 1950 dalam organisasi mahasiswa intra yaitu Dewan Mahasiswa (Universitas) dan Senat Mahasiswa (Fakultas).
Wawasan kebangsaan yang dianut oleh HMI sejak berdiri diimplementasikan dalam praktek yang nyata, khususnya dalam wadah PPMI dan CM. Sehingga meskipun tidak pakai diomongkan, namun secara nyata HMI dalam kiprah prakteknya itu telah membina muslim-muslim nasionalis. Antara muslim nasionalis dan muslim sebenarnya tak ada perbedaan, kalaupun ada hanya mengenai prosesnya saja. Untuk anggota-anngota HMI mungkin lebih tepat disebut muslim nasionalis, sejak kecil mereka sudah muslim dan setelah mereka remaja dan dewasa mereka baru berkiprah sebagai nasionalis.
Dalam bekerjasama dengan mahasiswa-mahasiswa yang “berwarna” lain, anggota-anggota HMI meskipun tanpa banyak retorika, telah membiasakan diri hidup dalam alam kemajemukan dan sekaligus mengimplementasikan secara nyata semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Sebagai muslim nasionalis, para anggota HMI dan tentu saja para alumninya menyatu atau berintegrasi dengan kehidupan nasional, yaitu:
- Dengan kehidupan bangsa, yaitu Bangsa Indonesia;
- Dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- Dengan ideologi nasional, Pancasila dan UUD 1945;
- Dan dengan pemerintah nasional.
Pembinaan Muslim Intelektual
Terhadap anggota HMI yang pada saat memasuki perguruan tinggi sudah menganut Islam, cita-cita HMI amatlah sederhana yaitu agar setelah mereka menjadi sarjana ataupun cendekiawan, mereka bukan hanya tetap dalam keislamannya tetapi juga memperdalam pengetahuan keislaman. Inilah yang disebut muslim intelektual yang mungkin tidak berbeda dengan sebutan intelektual muslim, namun bagi seorang alumni HMI, menurut saya sebutan muslim intelektual adalah lebih tepat. Karena ia lebih dulu seorang muslim baru kemudian dia menjadi seorang muslim intelektual.
Seorang intelektual tidaklah mesti harus seorang sarjana, dan seorang sarjana tidaklah dengan sendirinya seorang intelektual. Sama-sama berilmu, seorang ilmuan atau sarjana lebih mengimplementasikan ilmunya dalam posisinya di lingkungan birokrasi sehingga oleh karena itu sarjana dalam posisi birokrasi itu disebut technocrat (berasal dari techno dan cratos = pemerintahan). Sedangkan seorang intelektual lebih mengutamakan melihat dunia ini secara makro, merenungkan, memikirkan perjalanan umat manusia dan bangsa-bangsa termasuk bangsanya sendiri kemudian mensosialisasikan hasil perenungannya itu. Intelektualisme adalah inheren dengan kemanusiaan pada tingkat internasional, nasional dan lokal.
Kalau mau melipat prototipe seorang tokoh teknolog dan seorang tokoh intelektual, mungkin Werner Von Braun (seorang Jerman-Amerika) penemu kendaraan angkasa luar adalah seorang teknolog par excellence, sedangkan Bettrans Russel (Inggris) dengan gagasannya mencapai perdamaian dunia yang abadi adalah seorang intelektual par excellence, meskipun kedua-duanya dari disiplin ilmu eksakta.
Betapapun jenisnya Von Braun, namun sebagai teknolog dia mengabdikan kemampuan teknologinya kepada pemerintahnya, sedangkan seorang intelektual merenungkan perjalanan umat manusia dan bangsanya secara mandiri. Dan kata kunci bagi intelektualisme adalah mandiri dalam berpikir dan mandiri dalam menyampaikan pikiran-pikirannya, termasuk kritik.
Posisi HMI sebagai organisasi yang independen alias mandiri dimaksudkan juga untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi para anggotanya untuk berpikir mandiri untuk di kemudian hari dapat menjadi pemikir yang mandiri alias seorang intelektual. Hakikat intelektualisme adalah kemandirian itu. Ungkapan seorang intelektual (cendekiawan) yang tak mandiri adalah contradictio in terminis.
HMI Identik dengan SDM Paripurna
Gagasan tentang sumberdaya manusia sebenarnya baru muncul belakangan, mungkin sejak 15 tahun yang lalu. Meskipun tanpa retorik, tanpa menyebut-nyebut SDM, HMI sejak berdiri sebenarnya telah mengimplementasikan gagasan SDM itu, bahkan suatu SDM yang paripurna, yaitu yang tidak hanya meliputi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi sekaligus juga meliputi iman dan taqwa, masih ditambah lagi dengan komponen ketiga yaitu ideologi.
Kalau sekarang ini orang bicara tentang SDM, biasanya yang dimaksudkan hanyalah memberi kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta profesionalisme kepada seseorang untuk dapat ditempatkan pada suatu posisi di dalam suatu kerangka techno structure dan atau bureaucratic structure. Menurut saya arah SDM seperti itu tidaklah cukup, karena tanpa iman dan taqwa seseorang teknolog yang professional bisa-bisa hanya akan menjual kemampuannya kepada siapa saja yang membayar dengan harga yang paling tinggi, apakah bangsa atau pemerintah sendiri ataupun bangsa lain yang notabene mengekspoitir mengeruk kekayaan negara sendiri.
Mengapa pembinaan SDM itu masih juga harus meliputi komponen ideologi? Ialah karena Negara Republik Indonesia adalah negara ideologi yaitu yang telah merumuskan ideologi nasionalnya, yaitu Pancasila. Tentulah ideologi Pancasila itu tidak dimaksudkan untuk dicantumkan saja secara resmi di dalam UUD, juga tidak untuk secara sloganistis dan verbalistis dijadikan lip service, melainkan semua nilai-nilai dan prinsip-prinsip dari Pancasila yaitu yang tercantum atau terkandung dalam Pembukaan, Batang Tubuh UUD 194, serta Penjelasannya haruslah diimplementasikan secara lengkap dan nyata menurut bunyi, jiwa, dan semangatnya.
Negara ideologi seperti Indonesia membawa konsekuensi yaitu bahwa SDMnya yang akan menjadi tulang punggung dari berjalannya roda pemerintahan, ekonomi dan lainnya. SDM itu haruslah juga memahami dan meresapi nilai-nilai Pancasila.
Penataran P4 mungkin dimaksudkan untuk memenuhi komponen ideologi yang harus dipenuhi oleh SDM Indonesia, namun menurut saya penataran P4 itu belumlah lengkap. Oleh karena itu dalam training-training yang diselenggarakan oleh HMI di tingkat Cabang, Badko dan tingkat Nasional, komponen ideologi ini merupakan materi yang vital untuk melengkapi materi penataran P4.
Porsi terbesar dari kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi diperoleh di bangku kuliah, sedangkan yang diberikan oleh HMI hanyalah mengusahakan tambahan ilmu dalam rangka stadium general untuk menjadikan insan akademik. Warga HMI sedikit banyak seorang ilmuan yang berwawasan lengkap dan bulat (sesuai dengan misi universalitas) yaitu agar seorang ilmuan tidak hanya berpikir dalam alam spesialisasi disiplin ilmunya yang diperoleh di fakultasnya (yang artinya bagian atau spesialisasi).
HMI Menjadi Kader Bangsa
Melalui pembinaan SDM secara paripurna yaitu dalam komponen-komponen iman dan taqwa, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan ideologi, HMI secara tekun membina para anggotanya menjadi muslim intelektual dan muslim nasionalis yang akan merupakan kader bangsa yang utuh. Jadi sebelum GBHN merumuskan “pembangunan manusia yang utuh”, HMI sudah lama melangkah ke arah insan yang utuh.
Seorang anggota atau alumni HMI yang menjadi kader bangsa dengan sendirinya ia menjadi kader umat, karena mayoritas bangsa Indonesia terdiri dari umat Islam. Dalam arah perkaderan HMI, sebelum seorang anggota atau alumni berkiprah di pelbagai pos perjuangan bangsa, apa dia menjadi pegawai negeri sipil, dosen, pengusaha, anggota militer ataupun politisi ia dibina lebih dahulu menjadi seorang muslim intelektual sekaligus muslim nasionalis yang selain meresapi dan menghayati nilai-nilai Pancasila juga nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara.
Al-Quran S:2-208 memerintahkan agar kita hamba-hamba Allah memasuki islam secara menyeluruh. Termasuk memasuki secara total itu adalah memahami nilai-nilai Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Bagi umat Islam di Indonesia, nilai-nilai Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara itu tidaklah perlu diaktualisasikan dalam sistem tersendiri, melainkan cukup disalurkan lewat sistem Pancasila yang sebagai ideologi terbuka memang dimaksudkan untuk membuka diri bagi masuknya nilai-nilai dari agama. Disini pula akan terletak sumbangan Islam bagi pengamalan Pancasila.
Memahani, meresapi, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila itu merupakan tugas khusus bagi para ulama, kaum intelektual atau cendekiawan muslim.
Dengan memperoleh pengkaderan seperti disinggung di atas, yaitu pembinaan sebagai muslim intelektual, muslim nasionalis, muslim kaafah yang sekaligus Pancasilais, dan melewati penggemblengan sebagai pejuang yang independen, insan anggota atau alumni HMI itu, setelah ia menduduki pos di birokrasi, perguruan tinggi, swasta, militer ataupun di bidang politik, kiranya ia akan menjadi pelaku yang handal di posnya masing-masing, yaitu yang selain professional juga mempunyai wawasan agama, kebangsaan, ideologi dan iptek.
Jadi seorang anggota atau alumni HMI dia (diharapkan) menjadi kader bangsa dahulu, sesudah itu baru dia menempati suatu pos di dalam kehidupan bangsa dan negara. Bagi seorang alumni HMI yang mengembang suatu tugas negara, ia sama sekali tidak perlu menghadapi dilemma antara memberikan loyalitas kepada negara atau kepada partai, karena sebelum dia memasuki suatu partai (politik, termasuk Golkar) ia dianggap telah menjadi seorang kader bangsa.
Mengenai dilemma seorang politikus (anggota partai) yang menjadi pejabat negara, saya teringat kepada ucapan pemimpin Philipina Manuel Quezon yang berkata : my loyalty to my party ends, when my loyalty to my country begins (kesetiaanku kepada partai berakhir sejak kesetiaanku kepada negara dimulai). Bagi seorang alumni yang telah menjadi kader bangsa dan negara penyelesaian dilemma seperti itu tidak terjadi karena sebelum dia menjadi fungsionaris partai ia sudah menjadi kader bangsa, sehingga pada saat dia menjadi fungsionaris partai pada dirinya sudah melekat kesetiaan pada negara. Demikian juga waktu iua menjadi birokrat, dosen, pengusaha, ataupun anggota militer.
Itulah garis perkaderan HMI yang terangkum dalam rumusan tujuan HMI : “Terbinanya insan akademis pencipta pengabdi yang bernafaskan Islam yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah Subhanahuwata’ala”.
Neraca 50 Tahun HMI
Memperingati 50 tahun usia HMI, pada hemat saya mengharuskan dibuatnya balance atau neraca mengenai yang plus dan minus, yang positif dan yang berhasil dan gagal dalam perjalanan 50 tahun HMI.
Dalam bidang pemerintahan atau birokrasi saya rasa HMI telah memberikan alumninya untuk mengisi pos-pos baik mulai dari eselon yang menengah-bawah sampai pada eselon atas. Kiranya saya boleh mengkonstatasi bahwa kinerja para alumni HMI di bidang pemerintahan atau birokrasi di pusat sampai ke pemerintah daerah pada umumnya adalah cukup baik.
Di bidang intelektualisme, saya rasa HMI telah menghasilkan muslim-muslim intelektual yang lumayan jumlahnya dengan prestasi yang juga dapat dibanggakan. Demikian pula di bidang swasta atau entrepreneurship.
Di bidang militer, sekarang ini praktis memang sudah tidak ada lagi perwira-perwira TNI AD yang menjalani dwifungsi yaitu yang secara tidak resmi aktif di HMI seperti Mayor Sukendro (alm. Mayjen), Kapten Achmad Tirtosudiro (Letjen Purn.), Kapten Anas Karim (alm. Brigjen), Abdul Firman (alm. Mayjen, jabatan terakhir anggota fraksi ABRI di DPR), Usman Abdullah (alm. Kolonel Siliwangi), Lettu Husodo (anggota pengurus HMI Cabang Jakarta 1952) dan diri saya sendiri yang sewaktu menjadi Ketua Umum PB HMI pada tahun 1951 berpangkat Letda dan bertugas sebagai PAP (Pelajar Angkatan Perang) yang ditugaskan belajar di Fakultas Hukum (Gadjah Mada/UI).
Sekarang ini yang dapat disebutkan sebagai menjalani dwifungsi (yang tidak resmi, tetapi secara terbuka) ialah Mayjen dr. Hariadi Darmawan yang duduk sebagai anggota Presidium Majelis Nasional KAHMI disamping jabatannya yang resmi sebagai Inspektur Jenderal Departemen Kehutanan.
Meskipun sudah tidak terjadi lagi dwifungsi antara ABRI dan HMI atau KAHMI seperti itu, namun kiranya perlu dicatat adanya sebuah persamaan yang substansial antara ABRI dan HMI yaitu bahwa ABRI sejak berdiri pada bulan Oktober 1945 dan HMI yang berdiri sejak 5 Pebruari 1947, kedua-dua asset nasional ini sama-sama terbina sebagai kader bangsa dan negara secara langsung, artinya tanpa melewati suatu periode perkaderan oleh suatu kekuatan politik.
Makna dari apa yang pernah dikatakan oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman : “Tentara adalah alat negara. Tentara tidak berpolitik. Politik tentara adalah politik negara”, adalah bahwa selama pemerintah menjalani kebijaksanaan yang benar-benar untuk kepentingan negara, ABRI sebagai alat negara (jadi tidak hanya sebagai alat pemerintah) akan mendukung sepenuhnya kebijaksanaan pemerintah tersebut. Tetapi jika pada suatu saat kebijaksanaan pemerintah menjadi persoalan benarkah ditujukan untuk kepentingan negara disitulah ABRI akan tampil dalam posisinya sebagai kekuatan politik, dan pertimbangan dari sikap politik ABRI adalah semata-mata demi kepentingan negara sebagaimana kata-kata Jenderal Sudirman : Politik ABRI adalah politik negara. Disini pulalah letak dwifungsi ABRI. Dan perwujudan dwifungsi ABRI itu adalah ketika Jenderal Sudirman secara mandiri (artinya berdasarkan keyakinan politiknya tanpa diperintah oleh siapapun) mengambil sikap tidak membiarkan diri ditawan tentara Belanda dan dengan berpamitan kepada Presiden Sukarno dan Wakil Presiden M. Hatta lalu meninggalkan kota Yogya untuk memimpin perang gerilya melawan Belanda.
Dwifungsi ABRI hanya memang bisa terlaksana oleh sikap yang mandiri. Di dalam kemandirian inilah terletak persamaan dengan HMI yang juga mandiri.
Dan kalau dalam neraca 50 tahun perjalanan HMI terasa bahwa HMI belum menghasilkan pemimpin-pemimpin politik yang ulung, pada pihak yang satu hal ini adalah karena iklim dan suasana politik di alam Orde Baru ini memang belum memberi peluang yang cukup untuk demokrasi, dan untuk perkiprahan pemimpin-pemimpin politik secara maksimal (karena masih banyaknya kendala), pada pihak yang lain figur-figur pemimpin politik sendiri (termasuk alumni HMI) memang belum mampu (belum berani) bersikap mandiri menghadapi pelbagai macam rekayasa dan campur tangan dari pihak penguasa.
Di balik itu patutlah dicatat bahwa dalam ketidakmampuan itu, para alumni HMI yang berkiprah di bidang politik menunjukkan kinerja yang cukup baik, khususnya dari segi moral (tidak melakukan perbuatan tercela). Perbuatan tercela itu diantaranya berupa nepotisme politik seperti yang pernah terjadi menjelang pemilu 1987 sewaktu seorang pemimpin politik muslim menempatkan tiga anggota keluarganya di dalam daftar caleg dengan nomor-nomor jadi.
Penutup
Sekarang ini bangsa dan negara kita secara obyektif memerlukan reformasi. Hal ini tanpa mengurangi sedikitpun rasa syukur dan penghargaan terhadap hasil-hasil pembangunan nasional yang manfaatnya benar-benar terasa oleh rakyat banyak.
Tidak kurang dari Presiden Suharto sendiri pada awal bulan Desember 1996 di depan Musyawarah Besar Angkatan ’45 di Jakarta mencanangkan perubahan sosial.
Dan kunci bagi terlaksananya perubahan sosial paripurna (di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan) yang dewasa ini sudah terasa urgen bahkan akut adalah sikap mandiri dari para pejuang pelaku gerakan reformasi atau perubahan sosial yang dimaksudkan oleh Presiden Suharto itu.
HMI dan para alumninya yang sikap mandirinya sudah mendarah daging tentulah akan turut berperan dalam gerakan reformasi itu Insya Allah.
Alhamdulillah sekarang ini sikap mandiri atau independen itu telah dimiliki pula oleh organisasi pemuda atau mahasiswa lain yaitu PMII, GMNI dan sejumlah organisasi pemuda lainnya.
Hanya dari organisasi-organisasi pemuda atau mahasiswa yang mandiri akan muncul pemimpin-pemimpin politik yang mandiri. Dan kerjasama antara organisasi-organisasi pemuda atau mahasiswa yang mandiri dan pemimpin-pemimpin politik yang mandiri Insya Allah akan mampu melakukan terobosan-terobosan dalam gerakan reformasi, menembus dan mengatasi kondisi serba kelabu dewasa ini menuju kebangkitan dan kecerahan bagi tercapainya cita-cita nasional : masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Insya Allah.
Jakarta, 16 Januari 1997.
Bagian Kedua
Kenangan Persahabatan
1
Achmad Tirto Sudiro Seorang Pendiri HMI
HMI didirikan pada tanggal 5 Pebruari 1947 setelah sejumlah mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam) yang hadir dalam rapat hari itu, bersepakat mendirikan sebuah organisasi mahasiswa yang diberi nama Himpunan Mahasiswa Islam.
Rapat tersebut diadakan di sebuah ruang kuliah STI yang kampusnya menempati kompleks klooster (wisma rohaniawan/rohaniwati Katolik) yang terletak di Jl. Secodiningrat di deretan Kantor Pos Yogya. Dalam masa penjajahan Jepang wisma tersebut dijadikan markas Kenpetai (polisi rahasia) Jepang. Setelah penyerahan kedaulatan, wisma tersebut secara sukarela dan dalam suasana baik diserahkan kepada Gereja Katolik.
Oleh karena yang memprakarsai dan yang memimpin rapat pendirian HMI itu adalah Lafran Pane (Prof. Drs., almarhum), maka adalah tepat kalau Kongres HMI XI di Bogor pada bulan Mei 1974 memutuskan : Menetapkan Prof.Drs. Lafran Pane sebagai Pemrakarsa lahir/berdirinya organisasi HMI dan disebut Pendiri Organisasi HMI.
Tentulah tidak amat relevan – meskipun bukannya tanpa alasan untuk mempertanyakan – perlu benarkah Kongres HMI memutuskan pemberian “pengakuan” tersebut, dan mengapa pula baru 27 tahun kemudian (sejak tahun 1947)? Apakah selain HMI, ada pula organisasi lain yang lewat keputusan kongres menetapkan siapa pendiri organisasi tersebut? Juga tidaklah amat relevan untuk mempertanyakan lebih lanjut, apakah andaikan Kongres HMI tidak memberikan pengakuan tersebut, lalu Lafran Pane tidak akan dikenal, apalagi diakui sebagai pemrakarsa berdirinya HMI? Apakah di kalangan HMI dan keluarga besar HMI tidak ada atau sangat menipis semangat yang terkandung dalam ungkapan Bung Karno, “hanya bangsa pahlawan akan menghargai pahlawan”. Dalam lingkungan HMI ungkapan tersebut harus dibaca, “hanya organisasi yang terdiri dari pembuat-pembuat jasa yang dapat menghargai jasa orang lain, khususnya dari kalangan keluarga besar HMI sendiri”.
Pada hemat saya, yang amat relevan di dalam rangka penulisan sejarah HMI adalah menelusuri setelah berdirinya HMI tanggal 5 Pebruari 1947 di kampus STI itu, bagaimana selanjutnya proses perjalanan HMI? Apakah dari kampus STI itu, HMI lalu tumbuh berkembang secara pesat menjadi organisasi mahasiswa besar yang kemudian memegang posisi memimpin (leading position) di kalangan dunia mahasiswa? Apakah para mahasiswa STI yang hadir dalam rapat pendirian HMI itu lalu muncul di masyarakat sebagai tokoh atau eksponen mahasiswa?
Sebulan setelah HMI berdiri, tepatnya pada tanggal 8 Maret 1947, di kota Malang diadakan Kongres Mahasiswa Seluruh Indonesia di bawah bendera Republik Indonesia (sebagai lawan dari bendera NICA – Netherlands Indies Civil Administration). Yang hadir adalah delegasi-delegasi dari organisasi-organisasi mahasiswa republikein (republikein artinya yang setia kepada RI), yaitu PMD (Perhimpunan Mahasiswa Djakarta), PMKH (Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan – Bogor), PMY (Perhimpunan Mahasiswa Yogya), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), PMKI (Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia, sekarang GMKI, Yogya), SMI (Serikat Mahasiswa Indonesia – Solo), dan MMM (Masyarakat Mahasiswa Malang).
Dalam Kongres Mahasiswa di Malang bulan Maret 1947 itu, delegasi HMI terdiri dari Lafran Pane dan Asmin Nasution (Drs., sinology, mantan diplomat, pensiunan pegawai Deplu). Di dalam Kongres yang berhasil mendirikan federasi organisasi-organisasi mahasiswa, yaitu PPMI (Perserikatan Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia), yang berperan besar adalah SMI yang wakilnya Suripno terpilih sebagai Ketua dan PMY yang menduduki Wakil Ketua.
Mengapa dalam Kongres Mahasiswa di Malang itu, HMI kurang berperan? Sebabnya saya kira bukan terletak pada figur Lafran Pane dan Aswin, melainkan pada faktor keberadaan HMI yang bulan Maret 1947 itu baru terbatas pada dinding-dinding kampus STI.
Dapatlah dibayangkan, jika eksistensi HMI hanya terbatas pada lingkungan STI, HMI akan kurang mempunyai arti (kurang signifikan, istilah orang muda sekarang), khususnya di kalangan dunia mahasiswa. Pada tahun 1947 itu, yang dipandang sebagai kampus elit dan yang sedikit banyak merupakan simbol status bagi seorang mahasiswa adalah Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada dengan Fakultas Hukum dan Fakultas Sastra-nya, serta Sekolah Tinggi Teknik (STT).
Mengapa Gama dan STT dipandang sebagai elit? Hal ini pada hemat saya adalah selain karena personalia para guru besarnya, juga karena syarat penerimaan mahasiswa di Gama dan STT harus berijazah SHM-Negeri atau sederajat.
Eksistensi riil dari HMI
Orang Belanda mengatakan “Oprichten is gemakkelijker dan onderhouden” (mendirikan adalah lebih mudah daripada memelihara). Dalam hubungan dengan organisasi, yang dimaksudkan adalah bahwa mendirikan suatu organisasi lebih mudah daripada menggerakkannya, menumbuhkembangkannya menjadi organisasi yang riil yang tidak sekedar berupa – apa yang disebut sekarang oleh Menpora – organisasi papan nama, apalagi jika papan namapun tidak ada.
Tidak jarang terjadi sebuah organisasi yang sudah resmi didirikan, tetapi eksistensinya tidak ada sama sekali, bahkan kemudian tidak ada kabar beritanya. Lafran Pane tidak ingin HMI mengalami nasib demikian. Lafran sadar, kalau HMI akan mempunyai eksistensi riil, tidak sekedar formil, karena sudah secara resmi didirikan, HMI haruslah bergerak meloncati dinding-dinding STI dan menerobos masuk ke kampus Gama dan STT.
Sampai bulan Agustus 1947, jadi lebih kurang 5 bulan sejak HMI berdiri, eksistensinya khususnya di kalangan dunia mahasiswa memang belum terasa, untuk tidak mengatakan belum ada.
Lafran mengenal seorang mahasiswa tokoh PMY (Perhimpunan Mahasiswa Yogya) sewaktu sama-sama menghadiri Konferensi Mahasiswa di Malang Maret 1947, Mintaredja. Lafran juga pernah beberapa kali bertemu Mintaredja waktu sama-sama bershalat Jumat. Terpikirlah oleh Lafran untuk bertemu dengan Mintaredja dalam rangka usaha meriilkan eksistensi HMI, yang berarti HMI harus eksis di kampus Gama dan STT. Pertemuan Lafran-Mintaredja yang terjadi pada bulan Agustus 1947 menghasilkan sebuah arrangement yang indah karena sama-sama menunjukkan adanya sikap ikhlas dari kedua belah pihak.
Mintaredja ikhlas menerima bahwa HMI sudah berdiri, tanpa mempersoalkan mengapa Lafran sewaktu mendirikan HMI tidak lebih dulu menciptakan basis yang luas yang tidak hanya meliputi mahasiswa STI, tetapi juga mahasiswa Gama dan STT.
Lafran secara ikhlas menyerahkan tongkat Ketua HMI kepada Mintaredja demi pengembangan HMI di Gama dan STT, dengan demikian menciptakan eksistensi riil dari HMI.
Terjadilah reshuffle kepengurusan HMI pada akhir Agustus 1947, Mintaredja menjadi Ketua, Lafran menjadi Wakil Ketua.
Mintaredja cum suis (dkk – dan kawan-kawan)
Kalau saya menyebut nama Mintaredja dalam rangka berkembangnya HMI, sebenarnya yang saya maksudkan adalah Mintaredja cs (dkk) yang selain terdiri dari Mintaredja, juga terdiri dari sejumlah tokoh mahasiswa dari Gama dan STT. Dari Gama, diantaranya ialah Achmad Tirtosudiro, Ushuluddin Hutagalung (SH, almarhum), Hasjim Mahdan (almarhum), Suastuti Notoyudo (isteri Prof. Ir. Sugiarto, guru besar Fakultas Teknik Gama). Mereka adalah dari Fakultas Hukum Gama. Sedangkan yang dari Fakultas Sastra adalah Tujimah (Prof. Dr., dosen Fakultas Sastra UI), Barorah (Prof. Dr., dosen Gama, mantan Ketua Umum PP Aisyiah), Tedjaningsih (Dra, dosen Fakultas Sastra UI, istri Anton Timur Jaelani, mantan Inspektur Jenderal Depag).
Sedangkan dari STT yang termasuk Mintaredja cs diantaranya adalah Mohammad Sanusi (Ir, mantan menteri, mantan anggota PP Muhammadiyah, yang sekarang “diistirahatkan”. Semoga beliau sehat walafiat), Imam Subarkah (Ir, mantan Dirut PJKA, dosen ITB), dan lainnya.
Dengan keterlibatan Mintaredja dkk, HMI mulai “merajalela” di kampus Gama dan STT. Banyak anggota PMY yang bergabung dengan HMI; tidak sedikit anggota PMY yang merangkap menjadi anggota HMI. Pamor HMI mulai bersinar. PMY lalu tidak dapat lagi mengklaim sebagai satu-satunya wadah mahasiswa. Berangsur-angsur HMI pun mulai memegang posisi memimpin di dunia mahasiswa, khususnya PPMI. Dari situ eksistensi HMI di persada tanah air mensejarah, artinya merupakan realitas dalam sejarah bangsa serta merupakan sejarahnya realitas. Dalam hal ini sejarahnya HMI dalam eksistensinya yang riil.
Jadi, kalau dipertanyakan siapa saja disamping Lafran, sebagai pemrakarsa tunggal, yang termasuk para pendiri HMI? Pada hemat saya jawabannya tidaklah cukup jika hanya memakai kriteria formal, yaitu hanya melihat daftar hadir dalam rapat berdirinya HMI, 5 Pebruari 1947 di kampus STI, melainkan terutama memakai kriteria sejarah, yaitu melihat eksistensi riil dari HMI, karena sejarah adalah rangkaian dari fakta-fakta yang riil. Karena Mintaredja dan kawan-kawanlah yang telah membawakan eksistensi riil dari HMI, sehingga HMI kemudian merupakan fenomena riil yang cukup signifikan dalam sejarah bangsa maka Mintaredja dan kawan-kawan termasuk pendiri-pendiri yang riil dari HMI.
Ketika Lafran pada bulan Juli menyadari bahwa sesudah lebih dari 5 bulan secara formal didirikan, HMI pada akhir bulan Juli 1947 itu merasakan hampa alias belum mempunyai eksistensi riil, Lafran tidak datang kepada orang-orang yang hadir dalam rapat pendirian HMI 5 Pebruari 1947 tersebut, melainkan kepada Mintaredja dan kawan-kawan. Mintaredja dan kawan-kawan itu juga tidak dapat dikatakan sebagai “angkatan penerus”, karena pada bulan Agustus 1947 itu praktis HMI belum mempunyai kegiatan apa-apa kecuali baru berdiri berikut kegiatan Lafran Pane dan Asmin. Jadi apanya yang mau diteruskan.
Mintareja, Achmad Tirtosudiro, M. Sanusi dan lainnya itu praktis terlibat langsung dari permulaan membangun, menggerakkan dan mengembangkan HMI, sehingga eksistensi HMI terasa secara riil di persada tanah air dan sejarah bangsa.
Akan merupakan suatu heatus (kekosongan), suatu yang terlewat, jika dalam sejarah HMI hanya nama Lafran Pane yang disebut sebagai pendiri HMI, tanpa menyebut pula nama-nama Mintaredja, Achmad Tirtosudiro, M. Sanusi dan lainnya itu sebagai co-founders (mitra pendiri). Pengakuan akan kenyataan sejarah ini, pada hemat saya tidak memerlukan suatu keputusan khusus dari Kongres HMI, karena sejarah tidaklah ditentukan oleh SK, melainkan oleh kenyataan-kenyataan riil dalam sejarah.
Saya tuliskan ini, semata-mata agar dalam sejarah HMI tidak terdapat heatus, kekosongan atau suatu episode yang terlewatkan.
Hati nurani saya akan terganggu jika hal ini tidak diungkapkan. Mengapa baru sekarang? Karena saya mengira beberapa rekan alumni HMI yang berminat dan telah menunjukkan minat menulis sejarah HMI, akan menuliskannya. Soal heatus telah beberapa kali saya singgung dalam beberapa kesempatan kepada beberapa rekan serta dalam beberapa ceramah di depan forum HMI.
Sebagai hamba Allah, kita akan berdosa melanggar perintah Allah seperti yang ada dalam surat 9:105, yaitu jika kita sebagai orang muslim tidak melihat amal-amal dari Mintaredja, Achmad Tirtosudiro, Sanusi dan lainnya, atau tidak melihatnya dalam konteks sejarah yang tepat. Karena menurut sejarah, mereka adalah mitra pendiri HMI, dan dengan segala kemantapan serta tanpa ragu-ragu saya katakan bahwa seorang senior saya dalam HMI dan PPMI, Achmad Tirtosudiro adalah seorang pendiri HMI (seperti judul tulisan ini).
Mas Achmad yang Saya Kenal
Begitulah panggilan saya kepada Achmad Tirtosudiro. Saya turut bersyukur, dan insya Allah akan menyaksikan Mas Achmad mencapai usia 70 tahun. Tulisan saya ini tidak berupa lirik, syair, maupun prosa, namun kiranya dapat dianggap saja sebagai sebuah “ode”, sebuah syair pujian. Saya kira menyampaikan pujian atas kebaikan orang lain tidaklah mubah, bahkan sunah asalkan ikhlas dan jujur serta tanpa pamrih. Pujian itu adalah identik dengan penghargaan dan penghormatan.
Kalau ada yang berkata bahwa bangsa kita belum mengenal budaya berterima kasih dan menghargai kebaikan jasa orang, insya Allah saya tidaklah termasuk disitu. Menurut saya adalah afdol jika penghargaan dan penghormatan itu disampaikan dengan setahu orangnya. Jadi, selagi yang menerima penghargaan dan penghormatan itu masih hidup.
Seingat saya pertama berkenalan dengan Mas Achmad adalah sewaktu mengikuti perpeloncoan (ontgroening) yang diadakan oleh PMY pada bulan Juni 1947. Di mata saya, Mas Achmad termasuk mahasiswa senior yang serius, yang lebih mengutamakan memberi bimbingan mengenai studi dan pergerakan mahasiswa/pemuda kepada mahasiswa yunior.
Memang ada sejumlah mahasiswa senior yang mengkhususkan dalam aspek hura-hura dalam perpeloncoan. Tetapi aspek hura-hura itu memang tidak terpisahkan dari perpeloncoan. Masih geli juga saya kalau ingat kepada beberapa lagu “apik” yang diajarkan kepada kami para pelonco, dan ini merupakan bagian dari hura-hura itu. Diantara lagu-lagu “apik” itu adalah di bawah ini :
“Ayo maju, ayo maju, maju kita nyerbu.
Bersenjatakan pistol, pistol, pistol gomyo” (mudah-mudahan saja Anda tidak mengerti arti kata tersebut).
Dan ini sebuah lagi lagu sangat “apik” menurut melodi “whispering” :
“wij zijn de homosexuelen
wij zijn de schrik aller bordeler…”
Sebaiknya kalimat-kalimat bahasa Belanda itu tidak usah diterjemahkan demi mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Semua acara perpeloncoan tentu saya ikuti, tetapi yang lebih mengesankan bagi diriku sebagai mahasiswa baru adalah dialog-dialog dengan senior yang serius seperti Mas Achmad itu.
Sebagai mahasiswa baru di Fakultas Hukum Gama, yang baru beberapa minggu mengikuti kuliah, saya harus meninggalkan kuliah karena Belanda melancarkan aksi militernya pada tanggal 21 Juli 1947. Sebagai mahasiswa yang berbadan sehat dan belum bekerja, saya secara sukarela mengikuti latihan militer selama satu kali seminggu. Latihan ini diselenggarakan oleh PMY dan diberikan oleh MBT (Markas Besar Tentara) bertempat di bekas tangsi Belanda di seberang jalan di depan Gedung Negara (bekas kediaman Gubernur Belanda). Tangsi tersebut bernama Vredesburge. Rupanya kolonialis Belanda “kurang memahami” bahasa Belanda : benteng yang ditempati serdadu-serdadu Belanda yang bertugas menegakkan penjajahan diberinya nama Vredesburge yang artinya benteng perdamaian – adanya perdamaian antara penjajah dan yang dijajah.
Para mahasiswa yang mengikuti latihan militer itu tergabung dalam sebuah kesatuan : Compie Mahasiswa (CM) dengan komandannya Hartono (Mayjen purnawirawan, mantan Deputi KSAD) serta wakil komandannya Achmad Tirtosudiro, dan ini berada langsung di bawah MBT.
Sebagai Wakil Komandan CM, Mas Achmad-lah yang sehari-hari praktis memimpin dan mengawasi latihan militer itu. Di situlah saya mengenalnya lebih lanjut sebagai figur pemimpin.
Seusai mengikuti latihan militer, saya ditetapkan sebagai komandan regu, yang terdiri dari 10 orang anggota. Regu saya ditugaskan ke daerah Divisi Ronggolawe yang komandannya pada bulan Agustus 1947 adalah Kolonel Jatikusumo (Letjen TNI AD Purn, mantan Deputi KSAD, mantan menteri, mantan dubes). Sebagian dari regu saya ditempatkan di markas Ronggolawe II di sebelah barat kota Kudus (komandannya alm. Letkol Soekandar). Sebagian lagi termasuk saya ditempatkan di markas Ronggolawe I, di desa Dekat beberapa kilo di sebelah timur Kota Lamongan (Jawa Timur) dengan komandannya Letkol Soedirman (Letjen TNI AD Purn., mantan Panglima Brawijaya, mantan Deputi KSAD, mantan Direktur PTDI – Perguruan Tinggi Da’wah Islam -, mantan Ketua MUI Pusat).
Pada suatu hari, beberapa minggu setelah saya beserta pasukan berada di garis depan itu, secara surprise Mas Achmad datang dengan ditemani seorang staf CM, Juana (SH., mantan gubernur pengganti Bank Indonesia). Sebagai wakil komandan CM Mas Achmad melakukan inspeksi sambil membawa bahan bacaan bagi kami, yang memang haus akan bacaan.
Adapun perjalanan ke markas tempat kami bertugas, ditempuhnya dengan berjalan kaki yang jaraknya beberapa kilometer. Jadi, sebelum istilah turba (turun ke bawah) dikenal pada masa pemerintahan Sukarno, Mas Achmad sudah pernah melakukannya pada tahun 1947.
Memang, kedatangan Mas Achmad itu amat berkesan bagi diri saya. Disitu saya menilai beliau sebagai pemimpin yang menaruh perhatian kepada anak buah, tepatnya kepada adik buah.
Seorang Pemimpin Mahasiswa Par Excellence
Pertemuan saya pertama kali dengan Mas Achmad dalam ikatan HMI (sebelumnya dalam ikatan PMY dan CM) adalah sewaktu – seingat saya – pada bulan Juli 1948 saya sebagai Pengurus HMI Cabang Yogya ditugaskan untuk menyelenggarakan ceramah tentang perundingan Indonesia-Belanda yang akan diberikan oleh Mr. Moh. Roem, Ketua Delegasi Indonesia pada waktu itu.
Pada bulan Maret 1948 saya ucapkan selamat tinggal pada pos perjuangan di Markas Ronggolawe di kota-kecil Cepu, setelah pada bulan Pebruari 1948 saya ditugaskan turut membantu penerimaan/penyambutan pasukan Siliwangi yang hijrah ke Jawa Tengah lewat “Pelabuan” Rembang. Mereka adalah sebagian dari 35.000 pasukan Siliwangi yang menurut perjanjian Renville yang ditandatangani pertengahan Januari 1948 harus meninggalkan/mengosongkan “kantong-kantong RI” di Jawa Barat dan hijrah ke Jawa Tengah (sebagian lainnya dikumpulkan di Cirebon dan diangkut dengan Kereta Api lewat Gombong ke Yogya).
Pada bulan April 1948, setelah kembali dari garis depan itu saya bergabung dengan HMI Cabang Yogya yang waktu itu ketuanya Kabullah (Dr., dosen Unpad, almarhum). Beliau adalah mahasiswa AIP (Akademi Ilmu Politik) yang bernaung di bawah Balai Perguruan Tinggi Gama, yang didirikan pada tahun 1947 atas prakarsa Menteri Dalam Negeri, Mohammad Roem. AIP kemudian berkembang menjadi FISIP Gama.
Pada pertengahan tahun 1948, beberapa kali PB HMI (terdiri dari Mintaredja – ketua, Achmad Tirtosudio – wakil ketua, Sanusi – bendahara, dan Hutagalung – pembantu umum) datang ke rumah Pak Roem untuk berbincang-bincang serta menyampaikan pendapat dan saran kepada beliau selaku ketua Delegasi Indonesia yang ketika itu sedang melakukan perundingan dengn Delegasi Belanda. Bahkan pernah dalam sebuah perundingan antara Delegasi Indonesia dan Delegasi Belana yang diselenggaralan di Kaliurang (tahun 1948), Mintaredja hadir sebagai peninjau tidak resmi.
Sementara itu, posisi HMI di tengah-tengah mahasiswa di daerah RI semakin kokoh, dan ini disebabkan oleh dua faktor. Pertama, karena faktor kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh HMI sendiri. Kedua, karena faktor kemerosotan barisan mahasiswa yang berorientasi kepada partai sosialis, akibat pecahnya partai ini pada bulan Pebruari 1948 menjai PSI (Partai Sosialis Indonesia) dengan pimpinannya Syahrir, dan FDR (Front Demokrasi Rakyat) di bawah pimpinan Amir Syarifuddin.
Perpecahan para mahasiswa sosialis itu tampak jelas pada persaingan keras di antara tokoh-tokoh mereka sendiri, seperti antara Milono Ahmad yang ikut PSI-nya Syahrir dan Josep Simandjuntak yang ikut FDR-nya Amir Syarifuddin. Josep Simandjuntak mengubah namanya menjadi Yusuf Adjitorop sewaktu ia menikahi anak seorang haji di Bogor pada tahun 1949. Pada tahun 1965 menjelang peristiwa Gestapu/PKI, Yusuf Adjitorop yang tidak sebagai anggota DPR-GR fraksi PKI berkesempatan berkunjung ke Peking, dan sampai sekarang tidak diketahui dimana ia berada.
Persaingan Milono-Josep adalah memperebutkan pimpinan PMY dan dari situ kepemimpinan PPMI. Ternyata kedua-duanya tidak berhasil. Mengapa? Karena ketika mereka tengah bersaing, di arena perjuangan mahasiswa telah muncul seorang tokoh mahasiswa yang kelak menjabat sebagai pemimpin mahasiswa/pemuda, dan akan melakukan peran besar di kancah perjuangan bangsa pada masa krisis menjelang berakhirnya revolusi fisik/pengakuan kedaulatan. Tokoh pemimpin itu tak lain dan tak bukan adalah Achmad Tirtosudiro.
Pada kenyataannya ia bukan hanya sekedar sebagai pemimpin HMI saja, tetapi sekaligus juga seorang pemimpin mahasiswa yang mampu mengaktualisasikan potensi mahasiswa bagi kepentingan mempertahankan RI yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Untuk peranannya yang besar itu ia patut disebut sebagai pemimpin mahasiswa/pemuda par excellence.
Menurut pengamatan saya, Mas Achmad memang mempunyai “potongan dan jahitan” yang lebih dari cukup menjadi pemimpin mahasiswa.
Mengenai “potongan” penampilan Mas Achmad selalu menarik dan benar-benar mencerminkan figur seorang tokoh mahasiswa. Pakaiannya rapi, rambutnya disisir apik memakai belahan, jalannya tegap menatap ke depan menunjukkan percaya diri, badannya atletis; Mas Achmad memang seorang atlet sepak bola dan tenis (sekarang mungkin masih bermain golf).
Mengenai “jahitan” Mas Achmad adalah seorang yang cerdas, bicaranya lancar, seorang intelektual muda pada tahun 1948 itu : tingkat studinya pada pertengahan tahun 1948 itu hampir selesai sebagai sarjana muda hukum menambah wibawanya sebagai pemimpin mahasiswa yang menerapkan semboyan : Berjuang sambil belajar, belajar sambil berjuang. Ke dalam “jahitan” itu harus ditambahkan, Mas Achmad adalah rajin dan rapi menjalankan ibadah.
Pertengahan tahun 1948, Mas Achmad tampil sebagai pejabat ketua PPMI. Pada waktu itu belum ada organisasi mahasiswa intra (Dewan dan Senat Mahasiswa), sehingga PPMI merupakan federasi dari seluruh mahasiswa Indonesia, dan sebagai satu-satunya wadah penyaluran potensi para mahasiswa, serta sebagai satu-satunya wadah jalur kepemimpinan potensi mahasiswa di daerah RI. Pada pertengahan tahun 1948, Soeripto yang dalam kongres mahasiswa di Malang bulan Maret 1947 terpilih sebagai ketua PPMI, setibanya di tanah air, tepatnya di Yogyakarta setelah sejak tahun 1947 berada di Praha untuk mewakili PPMI dalam kongres IUS (International Union of Students), tidak berhak lagi menduduki posisi ketua PPMI karena SMI telah gugur dalam keanggotaan PPMI.
Perlu diketahui bahwa pada tahun 1947, SMI telah bergabung dengan Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) menjadi IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Dan kembalinya Soeripto itu adalah bersama-sama Muso, gembong komunis yang telah beberapa puluh tahun berada di luar negeri, lalu langsung memimpin FDR/PKI di tanah air, dan pada tanggal 18 September 1948 melancarkan pemberontakan Madiun.
Beberapa waktu kemudian Soeripto yang telah dengan FDR/PKI dan yang terlibat dalam pemberontakan Madiun itu menghadapi regu tembak di sebuah dusun dekat Karang Anyer (Solo). Sebelumnya dalam tahanan ia sempat membuat surat tulisan tangan yang mengandung penilaian bahwa pemberontakan PKI di Madiun itu adalah : “the wrong revolt at the wrong time by a wrong leadership for a wrong cause”. Artinya “pemberontakan itu keliru pada saat yang keliru oleh pimpinan yang keliru untuk tujuan yang keliru”. Tulisan Soeripto itu telah dimuat di sebuah majalah Jakarta pada awal 50-an.
Nah, beberapa hari setelah pemberontakan Madiun itu meletus, tampillah Achmad Tirtosudiro, pejabat ketua PPMI di depan Rapat Umum Mahasiswa bertempat di Pendopo Kraton (Kampus Gama). Mas Achmad menyerukan kepada massa mahasiswa yang hadir, agar mereka dengan sekuat tenaga membantu pemerintah Sukarno-Hatta menghadapi pemberontakan PKI dan agar para mahasiswa bersedia dikirim ke daerah-daerah (khususnya sekitar Madiun) untuk langsung memberi penerangan kepada rakyat dalam rangka menetralisir/menghapus “cekokan-cekokan” yang menyesatkan, yang dijejalkan oleh FDR/PKI kepada rakyat.
Gaya bicara Mas Achmad di depan mahasiswa itu tidak berapi-api, tetapi tegas dan jelas disertai wibawa dan kharisma seorang pemimpin mahasiswa. Sehingga memberi semangat kepada massa pendengar, serta menggugah dan menggerakkan hati para mahasiswa yang mendengarnya untuk memenuhi apa yang diserukan Mas Achmad. Setelah itu berduyun-duyun para mahasiswa mendatangi Kementerian Penerangan menyatakan kesediaan untuk dikirim ke daerah-daerah.
Saya sendiri yang pada waktu itu berstatus anggota CM (Compie Mahasiswa) seharusnya melapor untuk “menerima tugas” kepada MBT (Markas Besar Tentara). Tetapi dengan seizin pimpinan CM, saya memilih “tugas politik” di bawah bendera PPMI, karena tergerak penampilan Mas Achmad itu.
Berangkatlah saya dengan berbekal surat tugas dari Kementerian Penerangan dan beberapa puluh pasang gambar Bung Karno-Bung Hatta. Di depan rakyat yang berkumpul di kelurahan-kelurahan di Kecamatan Baki dan kecamatan lain di Kabupaten Sukohardjo (Solo), saya berusaha menetralisir omongan-omongan sesat yang pernah disampaikan oleh FDR/PKI kepada rakyat.
Pertemuan dengan rakyat itu dimulai dengan menyanyikan Lagu Kebangsaan yang saya pimpin sendiri atas permintaan Pak Camat. Lalu uraian saya akhiri sambil memampangkan gambar-gambar Bung Karno-Bung Hatta, “Hayo, para sedulur milih sopo, Bung Karno-Bung Hatta apa Muso?” Dengan serentak dan suara keras mereka menjawab, “Bung Karno-Bung Hatta!”
Pada bulan Juli 1949, Pemerintah RI (Kabinet Hatta) mengundang wakil Negara-negara bagian bikinan van Mook yang tergabung alam BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg – yang artinya Pertemuan untuk Musyawarah Federal) untuk menghadiri Konferensi Antar Indonesia. Prakarsa Bung Karno-Bung Hatta mengadakan konferensi di Yogyakarta itu adalah agar dalam Konferensi Meja Bundar yang akan diadakan di Belanda bulan Agustus 1949, Delegasi RI dan Delegasi BFO dapat merupakan satu front, sehingga Belanda tidak mampu menerapkan politik devide et impera-nya.
Pawai besar yang menyambut konferensi tersebut yang diberi nama “Pawai Persatuan” yang merupakan peringatan kepada para utusan BFO agar tidak diperalat oleh Belanda lagi dalam memecah-belah persatuan bangsa.
Dalam salah satu sidang pleno dari konferensi tersebut, tampillah seorang wakil mahasiswa/pemuda yang dengan suara lantang mengumandangkan suara persatuan demi mementahkan politik memecah belah dari Belanda. Hal ini menyuarakan hati nurani rakyat dari Sabang sampai Merauke yang merupakan moral dan mental pressure terhadap para utusan BFO agar mereka kembali ke jalan persatuan bangsa.
Siapa gerangan wakil pemuda/mahasiswa tersebut? Siapa lagi kalau bukan Achmad Tirtosudiro, Pd. Ketua PPMI.
Tampilnya Achmad Tirtosudiro dalam konferensi tersebut menunjukkan adanya kerjasama antara Dwitunggal Sukarno-Hatta dan mahasiswa, juga dalam tingkat politik tinggi seperti Konferensi Antar Indonesia yang ternyata membawa hasil besar, karena di KMB bulan berikutnya, Delegasi BFO menyesuaikan diri dengan sikap-sikap Delegasi RI.
Tahun 1949 saya berkumpul dan bekerjasama lagi dengan Mas Achmad di Staf Mobpel MBKD (Mobilisasi Pelajar Markas Besar Komando Jawa). Kami masing-masing sudah memperoleh pangkat militer : Mas Achmad sebagai Kapten, saya sebagai Letda.
Dalam rangka implementasi perjanjian KMB, di kota-kota tertentu dibentuk Local Joint Committee (LJC) antara Tim Tentara Belanda dan Tim TNI (Angkatan Darat) yang bertugas melaksanakan timbang terima sewaktu tentara Belanda akan meninggalkan Indonesia.
Barangkali Kapten Achmad Tirtosudiro – seingat saya – pada bulan Nopember 1949 ditugaskan ke Bandung sebagai Ketua Tim TNI dalam LJC Bandung.
Sesuai tugasnya dalam LJC, Mas Achmad menjabat sebagai Kepala Staf KMKB (Komando Militer Kota Besar) Bandung. Pada tahun 1950-1951 itu, kalau saya ke Bandung untuk urusan PPMI dan HMI, saya mampir dan menginap di rumah Mas Achmad di Jl. Jawa.
Pada tahun 1957, Presiden Sukarno mengangkat saya menjadi anggota Dewan Nasional mewakili golongan pemuda. Adanya Dewan Nasional yang berfungsi sebagai badan penasihat Presiden itu menimbulkan kontroversi besar, karena ada yang memandangnya sekadar ekstra-konstitusional, Tetapi ada pula yang memandangnya sebagai inkonstitusional, karena tidak ada ketentuan dalam UUDS RI. Saya bersedia duduk di dalamnya dengan pertimbangan bahwa posisi DN itu akan dapat bermanfaat bagi perjuangan dalam rangka mengantisipasi perubahan-perubahan besar politik yang terjadi dalam waktu dua tiga tahun setelah tahun 1957. Pada tahun itu, bahkan sebelum pemilu tahun 1955 pun, saya sudah mengantisipasi bahwa sistem demokrasi parlementer ala UUDS RI (1950) tidak dapat bertahan.
Sewaktu saya diangkat dalam DN, saya masih duduk sebagai pucuk pimpinan GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia), sebuah organisasi pemuda yang dianggap onderbow-nya Masyumi. PP GPII setuju, tetapi Konferensi GPII seluruh Indonesia tidak setuju. Karena itulah saya lalu mengundurkan diri dari DN.
Kemudian saya ke Bandung menjumpai Mas Achmad menanyakan kesediaannya untuk menggantikan kedudukan saya di DN. Saya yakin Presiden Sukarno akan setuju, karena beliau kenal siapa Mas Achmad itu, khususnya pada tahun revolusi fisik di Yogyakarta. Ternyata Mas Achmad tidak bersedia, yang tentunya disertai berbagai pertimbangannya sendiri. Disini kelihatan Mas Achmad dan saya memang berbeda, namun perbedaan ini sama sekali tidak membawa dampak apapun dalam persahabatan kami.
Setelah itu saya masih suka bertemu dengan Mas Achmad untuk berbincang-bincang, tentu saja soal politik, khususnya peran yang oleh sejarah akan diembankan ke atas pundak TNI (AD). Pada waktu itu Mas Achmad duduk sebagai anggota Pimpinan Pusat IPRI (Ikatan Perwira Republik Indonesia) dengan ketuanya Mayjen S. Parman (alm). Tetapi kemudian di bawah pemerintahan Sukarno, IPRI ini dibubarkan.
Saya berkumpul dan bekerjasama lagi dengan Mas Achmad di Dewan Pertimbangan dan Penasihat (DPP) PB HMI, yang dibentuk atas saran saya, oleh PB Sulastomo. DPP yang dibentuk sekali saja ini bertugas mendampingi PB dalam menghadapi serangan-serangan PKI dan PNI Asu berikut ormas-ormasnya. Dan secara khusus DPP ini bertugas dalam rangka implementasi Keputusan Presiden Nomor 8/1964, tanggal 4 Juli 1964.
Dalam rangka tambahan sandaran bagi HMI menghadapi musuh sebanyak itu, pada tanggal 24 Pebruari 1965, PB HMI (seingat saya terdiri dari Aminarto – Pd Ketua Umum, Mar’ie Muhammad – Sekjen, Alwi Abdullah – Wakil Ketua, dan lainnya) didampingi oleh DPP (saya, Mas Achmad, Mas Sanusi) bertemu dengan (almarhum) Menteri Pangad, Jenderal Achmad Yani di rumah Jl. Lembang.
Dalam pertemuan tersebut, Jenderal Yani memberi pernyataan yang dalam sejarah harus dicatat : “HMI perlu bekerjasama dengan Angkatan Darat. Hari ini PKI menyerang saudara-saudara. Nanti PKI juga akan menyerang Angkatan Darat. Hal ini akan amat berat bagi HMI menghadapi serangan PKI. Jika PKI menyerang Angkatan Darat, kami juga memerlukan bantuan HMI sebagai eksponen rakyat dan umat Islam”. Kemudian Jenderan A. Yani berkata lebih lanjut : “Saya akan memerintahkan kepada para Panglima untuk membina HMI, tetapi saudara-saudara juga harus mengamankan kami. HMI harus benar-benar bersih dari unsur-unsur kontra revolusi”.
Terhadap pernyataan akhir dari Jenderal Yani itu, Brigjen Achmad Tirtosudiro segera berkata : “Saudara Dahlan-lah yang menangani itu”.
Seketika Jenderal A. Yani menatap saya, beliau memang telah mengenal saya dan saya segera menjawab, “Itu insya Allah akan saya lakukan Jenderal”.
Demikianlah dalam pertemuan yang bersejarah, pimpinan Angkatan Darat dan PB HMI telah saling memberikan komitmennya masing-masing.
Pertemuan HMI – Angkatan Darat itu dapat terselenggara berkat jasa baik Mas Achmad, dan tentu saja ditambah dengan kepercayaan Jenderal Yani kepada Mas Achmad.
Persahabatan 45 Tahun
Jika dihitung sejak saya diplonco Mas Achmad pada tahun 1947 hingga kini maka persahabatan yang terjalin antara beliau dan saya telah berjalan 45 tahun, dan insya Allah akan terus terjalin sampai akhir hayat.
Dalam beberapa hal saya memang berbeda pendapat dengan Mas Achmad. Namun itu tidak sedikitpun mengurangi nilai persahabatan kami. Makna ajaran Nabi Muhammad bahwa perbedaan pendapat adalah rahmat saya kira terletak disitu, yaitu perbedaan pendapat yang tidak mengganggu persahabatan, tetapi malahan yang menambah sikap saling menghormati dan menghargai pendapat yang berbeda, sehingga dengan demikian justru dapat meningkatkan nilai persahabatan itu sendiri.
Sebagai sesama warga Korps Manula (Manusia Lanjut Usia), kiranya Mas Achmad mengizinkan saya untuk mengimbau para warga Keluarga Besar HMI sebagai persahabatan yang langgeng, selanggeng dan seindah persahabatan saya dengan Mas Achmad. Syukur-syukur kalau lebih indah, lebih intens, lebih hangat. Insya Allah.
Mas Achmad, selamat ulang tahun yang ke-70. Salam hangat dari saya, istri serta anak cucu saya (baru seorang) untuk Mas Achmad, mbakyu, anak-anak, dan cucu-cucu.[]
2
Seorang Pejuang yang Mukhlis
Pada hemat saya dalam kata berjuang selalu terkandung pengorbanan : tenaga, pikiran, waktu, harta, fisik, rohani, dan sepanjang tak dapat dihindari, adalah jiwa. Jika tak ada pengorbanan tidaklah ada perjuangan.
Suatu kegiatan, suatu aktivitas yang tidak disertai pengorbanan tidaklah termasuk perjuangan. Tapi hanya sekedar aktivitas atau kerja biasa. Pengorbanan dalam perjuangan adalah spontan, timbul dari hati nurani sendiri, tanpa ada yang memerintahkan apalagi memaksakan.
Jadi pengorbanan itu dilakukan secara ikhlas, tanpa mengharapkan imbalan, semata-mata karena Lillahi Ta’ala. Oleh karena itu kata-kata pejuang mukhlis (yang ikhlas) adalah sebuah pleonase (kata-kata berlebihan) karena dalam kata pejuang pada dirinya selalu mengandung keikhlasan.
Mas Sanusi (panggilan akrab saya kepada beliau) saya kenal sejak tahun 1947 di Yogya (Ibukota RI – Perjuangan). Setelah Belanda melancarkan Aksi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947, sejumlah mahasiswa di Yogya dari Sekolah Tinggi Teknik (kemudian menjadi Fakultas Teknologi Universitas Negeri Gajah Mada), Sekolah Tinggi Islam (kemudian menjadi Universitas Islam Indonesia), dan Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada (kemudian menjadi Universitas Negeri Gajah Mada), secara spontan mengikuti latihan militer kilat selama satu minggu, dan kemudian diorganisir dalam wadah Corps Mahasiswa yang merupakan bagian dari Batalyon Mobil dari Markas Besar Tentara, Yogya.
Mas Sanusi sebagai mahasiswa senior dari Sekolah Tinggi Teknik adalah salah satu anggota “brain-trust” yang memberi pimpinan politis dan intelektual kepada CM, dan mahasiswa-mahasiswa yunior dari CM (termasuk diri saya) dikirim ke berbagai front garis depan di beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Saya mengenal Mas Sanusi lebih lanjut setelah saya aktif fi HMI Cabang Yogya pada awal tahun 1948, setelah saya kembali dari garis depan karena telah tercapai gencatan senjata antara TNI-RI dan tentara Belanda dalam rangka pelaksanaan Persetujuan Renville pada Januari 1948, yang ditandatangani Perdana Menteri Amir Syarifuddin dari fihak RI dan Abdul Kadir Wijayakusumah (boneka Belanda) dari fihak Belanda.
Mengenai jasa Mas Sanusi terhadap HMI, saya ingin mengulang apa yang pernah saya tulis mengenai jasa Mas Achmad Tirtosudiro terhadap HMI di dalam Buku Kenangan 70 Tahun Achmad Tirtosudiro, penerbit Intermasa 1992.
Bung Karno pernah berkata bahwa hanya Bangsa Pahlawan yang akan menghargai jasa pahlawan. Bagi lingkungan keluarga besar HMI ungkapan itu hars dibaca : “Hanya organisasi yang terdiri dari pembuat jasa-lah yang akan dapat menghargai jasa kawan se-organisasi”. Dengan demikian saya memberi penghormatan yang sama kepada kedua orang senior saya di HMI.
Pada tahun 1947 yang dipandang sebagai kampus elite dan yang merupakan simbol status bagi mahasiswa adalah Sekolah Tinggi Teknik (STT) dan Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada. Hal ini karena personalia para guru besar-nya, serta syarat-syarat penerimaan mahasiswanya haruslah berijazah SMA Negeri atau sederajat.
Orang Belanda berkata “oprichten is gemakkelijker onderhouden” (mendirikan lebih mudah dari pada memelihara), maksudnya : mendirikan organisasi lebih mudah dari pada menumbuhkan, mengembangkan, dan membesarkannya. Tidak jarang sebuah organisasi yang sudah resmi didirikan tetapi eksistensinya tidak ada, bahkan kemudian tidak ada kabar beritanya.
Sampai bulan Agustus 1947, jadi lebih kurang 5 bulan sejak berdiri, eksistensi HMI di kalangan dunia mahasiswa memang belum terasa untuk tidak mengatakan belum ada. Dengan keterlibatan Mintaredja, Mas Sanusi, Mas Achmad Tirtosudiro, dan lain-lain, mulailah HMI “merajalela” di Gama dan STI. Banyak anggota PMY (Perhimpunan Mahasiswa Yogya) yang bergabung dengan HMI. Pamor HMI mulai bersinar. Dan PMY tidak dapat lagi mengklaim sebagai satu-satunya wadah mahasiswa. Berangsur-angsur HMI pun mulai memegang posisi memimpin di dunia mahasiswa, khususnya di PPMI (Perserikatan Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia).
Dari situ eksistensi HMI di persada tanah air mensejarah, artinya merupakan realitas dalam sejarah bangsa serta merupakan sejarahnya realitas. Dalam hal ini sejarahnya HMI dalam eksistensinya yang riil.
Mas Sanusi amat berperan dan berjasa dalam pertumbuhan dan perkembangan HMI. Setelah menjabat Menteri Perindustrian Tekstil pada bulan Agustus 1966, Mas Sanusi mulai menyusun personalianya yang sebagian terdiri dari para alumni HMI, sehingga ada yang menilai sebagai Menteri, Mas Sanusi telah melakukan nepotisme.
Kesan dan sangkaan demikian tidaklah benar karena yang diangkat Menteri Sanusi sebagai pembantunya adalah orang-orang yang benar-benar qualified yang merupakan the right man on the right place.
Menurut saya kalau yang diangkat Menteri Sanusi itu orang-orang yang qualified bukanlah nepotisme, melainkan hal yang seharusnya demikian. Tidak benar kalau Mas Sanusi menyalahgunakan kedudukannya. Kalau yang diangkat itu memenuhi syarat, bukan menyalahgunakan, melainkan membenargunakan.
Sebagai hamba Allah, Mas Sanusi sama sekali tidak menunjukkan post power syndrome (perubahan sikap mental setelah tidak memegang jabatan). Mas Sanusi memang tidak menolak kedudukan atau jabatan, tapi kalau beliau memegang suatu jabatan, ditunaikannya dengan baik dan penuh tanggung jawab. Dan tanpa jabatan pun Mas Sanusi tetap seorang pejuang, karena pejuang yang mukhlis akan berjuang terus dengan atau tanpa jabatan formal. Bahkan “masa peristirahatan” beberapa tahun di penjara yang dipaksakan oleh rezim Soeharto sama sekali tidak mengurangi semangat juangnya yang tinggi.
Pada hemat saya beberapa tahun di penjara, baginya sama sekali tidak merupakan penderitaan batin, karena kalau selama di penjara itu Mas Sanusi menunjukkan menderita atau sedih, hanyalah membuat senang Pak Harto dan para kaki tangannya.
Keluar dari penjara dalam usia lebih dari 70 tahun, Mas Sanusi tetap bahkan bertambah semangatnya untuk memberikan darma baktinya bagi perjuangan. Insan pejuang yang mukhlis seperti Mas Sanusi memang merupakan manusia langka di bumi pertiwi pada waktu ini. Tetapi walau insan pejuang mukhlis di atas pentas sejarah bangsa dewasa ini jumlahnya tidak banyak, namun keberadaannya akan tetap mewarnai sejarah bangsa.
Sejarah bangsa memang tidak diwarnai oleh para oportunis dan profitir, melainkan oleh pejuang-pejuang mukhlis yang konsisten dan teguh dalam prinsip seperti Mas Sanusi.
Saya mengucapkan selamat kepada sahabat saya, Mas Sanusi atas hari ulang tahunnya yang ke-80. Semoga beliau selal mendapat perlindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jakarta, September 2000
4
Dari Non-Partisan ke Partisan
“Deliar” adalah panggilan akrab dari saya untuk Prof. Dr. Deliar Noer. Kami berdua adalah sebaya, tetapi usia saya 3 bulan lebih tua dari usia Deliar. Pertama kali saya kenal beliau adalah pada tahun 1950, tentu saja di HMI. Waktu itu beliau di HMI Jakarta, saya di Yogya. Sewaktu saya menjadi Ketua Umum PB HMI 1951-1953, beliau menjadi Ketua HMI Cabang Jakarta.
Dalam Kongres HMI di Jakarta pada bulan September 1953, Deliar terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI menggantikan diri saya yang dalam Kongres itu saya tidak bersedia dipilih kembali demi untuk meletakkan tradisi bahwa untuk organisasi mahasiswa yang bukan partai politik dan bukan ormas (organisasi kemasyarakatan) seseorang tokoh mahasiswa sebaiknya tidak “nongkrong”, bercokol di dalam kepengurusan pusat. Di dalam Kongres tersebut diputuskan diantaranya dibentuknya Komisi Perubahan Anggaran Dasar HMI. Komisi ini bekerja di bawah pimpinan Pengurus Besar HMI yang dipimpin oleh Deliar.
Dalam Kongres HMI di Bandung tahun 1955, Komisi tersebut menyampaikan rancangan Anggaran Dasar baru yang mengenai Tujuan HMI merumuskan : “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam”.
Perumusan Tujuan HMI tersebut disempurnakan dalam Kongres HMI di Palembang tahun 1972, sehingga rumusan Tujuan HMI berubah menjadi “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam serta turut bertanggung jawab atas tercapainya masyarakat adil dan makmus yang diridhoi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala”.
Kalau dihitung dari perumusan pertama sejak tahun 1955, rumusan Tujuan HMI tersebut sekarang ini sudah berusia 45 tahun lebih. Ini merupakan rumusan tujuan suatu organisasi yang bertahan lama; yang lebih lama beberapa tahun adalah rumusan Sapta Marga yang mula-mula berlaku bagi TNI (Angkatan Darat) dan kemudian berlaku bagi TNI/Angkatan Perang RI yang mencakup Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Mengenai rumusan Tujuan HMI yang sampai sekarang tetap berlaku dan mudah-mudahan tidak akan atau tidak perlu diubah-ubah. Deliar Noer tercatat sebagai yang turut kalau bukan yang paling berperan.
Kelompok Non-Partisan
Setelah menyelesaikan studinya di Universitas Nasional, Deliar melanjutkan studinya di Amerika dan kemudian bertekun mengajar di sejumlah universitas/perguruan tinggi, baik di dalam negeri (Jakarta, Medan) maupun di luar negeri (Australia).
Karena ketekunannya di berbagai kampus itu, saya memandang Deliar sebagai insan ilmuan yang berkonsentrasi pada dunia ilmu. Dalam bahasa politik saya mengkategorisasikan Deliar sebagai tokoh cendekiawan independen non-partisan (tidak berpartai). Dalam ceramah-ceramah yang saya berikan di depan forum-forum training HMI, saya memasukkan nama Deliar Noer dalam kelompok alumni HMI yang independen non-partisan bersama-sama dengan beberapa alumnus HMI lain seperti Nurcholish Madjid, saya sendiri, dan lain-lain.
Saya tidak pernah menganggap adanya kelompok cendekiawan independen non-partisan merupakan dikotomi terhadap yang partisan. Menurut saya partisan dan non-partisan masing-masing mempunyai peran sendiri-sendiri bagi kehidupan politik dan demokrasi. Khususnya dalam periode bangsa Indonesia baru mempraktekkan kembali demokrasi sekarang ini, dan demokrasi adalah identik, malahan sinonim dengan peran partai-partai politik, peran kelompok independen non-partisan sama sekali tidak perlu dianggap sebagai tandingan bagi partai-partai, melainkan sebagai sandingan (pendamping).
Kelompok cendekiawan independen non-partisan dapat memberikan sumbangan pikiran termasuk kritik (tentu saja kritik yang konstruktif dan membangun) kepada partai-partai. Dalam kapasitas sebagai sesama cendekiawan independen non-partisan itu, dalam masa rezin Suharto, saya beruntung dapat berparti-sipasi bersama-sama Deliar Noer sebagai pembicara/narasumber dalam sejumlah forum di kampus-kampus di Jakarta dan di Bandung.
Dalam forum-forum kampus tersebut saya berdua dengan Deliar bersama-sama dengan tokoh-tokoh cendekiawan lainnya yang juga independen dan non-partisan selalu melancarkan kritik-kritik terhadap rezim Suharto. Dengan demikian kelompok cendekiawan independen non-partisan ini sedikit banyak telah turut mendorong para mahasiswa untuk juga bersikap kritis dan melakukan kontrol sosial terhadap rezim yang banyak melakukan penyimpangan dan penyelewengan.
Dalam masa kevakuman nation and character building yang sama sekali diabaikan oleh rezim Suharto, kami-kami kelompok cendekiawan independen dan non-partisan telah berupaya mencoba turut mengisi nation and character building khususnya bagi generasi muda kalangan mahasiswa.
Berubah Menjadi Partisan
Menjelang Pemilu 1999, Deliar mendirikan dan kemudian mengetuai sebuah partai baru, yaitu Partai Ummat Islam. Tentu saja saya tidak akan mempersoalkan mengapa beliau memilih berpartai. Sebagai seorang yang termasuk kelompok cendekiawan yang independen non-partisan, saya merasakan Deliar Noer berpindah ke pentas politik praktis itu sebagai suatu kehilangan besar bagi dan mengurangi barisan kelompok independen non-partisan.
Di balik itu, masuknya Deliar Noer ke barisan partisan, dalam harapan saya akan menambah kesegaran pada barisan partai-partai, khususnya partai-partai Islam. Sebagai seorang intelektual yang berbobot, saya percaya Deliar dengan kemampuan ilmu dan intelektualnya akan turut meningkatkan kemampuan partai menjalankan fungsi partai. Menurut saya fungsi partai adalah :
1. Mengemban ideologi dan menjabarkannya ke dalam platform berikut program pemerintahan untuk suatu periode yang disosialisasikan ke masyarakat khususnya kepada para pemilih dalam pemilu.
2. Sebagai jalur pemilihan pemimpin politik yang akan memegang tampuk pimpinan negara dan pemerintahan yang akan memperjuangkan nilai-nilai ideologi yang disusun dalam sebuah platform berikut program partai.
3. Sebagai jalur dukungan massa yang mendukung atau merasa tertarik dengan ideologi, plarform dan program partai.
4. Memegang atau turut memegang tampuk pimpinan negara dan pemerintahan berdasarkan hasil pemilu atau berfungsi sebagai partai oposisi berdasarkan platform dan program partai yang dapat merupakan alternatif bagi platform dan program partai pemerintah.
5. Sebagai wadah persemaian bibit-bibit calon-calon pemimpin politik di masa depan.
Pada hemat saya, Deliar Noer dapat menilai sendiri seberapa jauhkah partai-partai politik di Indonesia telah melaksanakan fungsi partai tersebut. Kiranya Deliar Noer juga mengamati/mengkonstatasi bahwa partai-partai di Indonesia masih lebih banyak menampilkan bendera, simbol dan merk (nama) daripada merumuskan dan memperjuangkan substansi ideologi, platform, dan program.
Deliar Noer Menjalankan “Doktrin” HMI
Mengenai kehidupan pribadi kawanku Deliar, saya ingin menyatakan kegembiraan saya bahwa Deliar Noer telah merealisasikan dalam hidup pribadinya sebuah “doktrin” yang sering saya bawakan di depan forum-forum HMI, malah kadang-kadang saya menyanyikannya di depan training-training HMI. Deliar Noer termasuk alumni HMI yang melaksanakan “doktrin” yang terkandung dalam pantun ini :
Untuk siapa bunga melati
Bunga melati untuk pahlawan
Untuk siapa para HMI-wati
Para HMI-wati untuk para HMI-wan
Dalam Kongres HMI bulan September 1953, Deliar berjumpa dengan seorang HMI-wati bernama Zahara utusan HMI Cabang Medan, yang kemudian dipersunting oleh Deliar menjadi istrinya. Karena itu pada kesempatan ini, saya mengucapkan selamat ulang tahun ke-75 kepada kawanku Deliar Noer dan sang istri Diajeng Zahara D. Noer. Semoga selalu bahagia di dalam kandungan rahmat Ilahi.
Jakarta, 23 Februari 2001
4
Dua Cendekiawan dalam Satu Wajah
Ketika mahasiswa, saya pertama kali mengenai ‘Imaduddin saat masih bersama-sama aktif di lingkungan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Ketika itu saya baru saja menyelesaikan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sedangkan Dik ‘Imad - begitu saya biasa memanggil dia- masih berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Elektro ITB. Waktu itu, saya duduk sebagai ketua umum, sedangkan Dik ‘Imad lebih banyak aktif di lembaga dakwah yang juga di bawah naungan Pengurus Besar HMI. Di organisasi mahasiswa Islam ini, kala itu, menurut saya, kami masih belum memiliki garis pemikiran yang jelas, tetapi tetap memiliki tujuan menyatukan mahasiswa Islam di Indonesia.
Kemampuan Dik ‘Imad dalam menghafal ayat-ayat Al-Qur’an sangat luar biasa. Pengetahuannya tentang ilmu tauhid juga mendalam. Kedua kemampuan ini sempat membuat saya iri. Sampai kini pun saya belum mampu menghafal semua ayat Al-Qur’an. Menurut saya, Dik ‘Imad tidak hanya memiliki satu gelar kesarjanaan, tetapi dua gelar kesarjanaan di dalam satu orang. Selain sebagai sarjana elektro, Dik ‘Imad bisa juga disebut sebagai sarjana Al-Qur’an karena keistimewaannya itu.
Selain itu kemampuan dia dalam berdakwah juga sempat membuat saya kagum. Saya rasa tepat bila Dik ‘Imad lebih banyak bergelut di bidang dakwah. Karena piliha ini pula, Dik ‘Imad harus masuk penjara tanpa pengadilan pada masa pemerintahan rezin Orde Baru dulu. Saya melihat Dik ‘Imad adalah orang yang “galak” terhadap kezaliman Suharto dan ini disampaikan melalui media dakwahnya.
Seorang ulama harus memberikan segala kemampuan dan pengabdiannya secara utuh dan penuh terhadap perkembangan Islam menurut ajaran Islam itu sendiri secara keseluruhan, yang kemudian ditanamkan dan diamalkan kepada umatnya. Seorang muslim harus menjalankan Islam secara penuh, utuh. Sebagaimana disebutkan, “Masuklah kamu kepada Islam secara utuh dan menyeluruh”, disini mengandung dua makna. Pertama, seluruh jiwamu, hartamu, kekayaanmu, kemampuanmu, diberikan untuk pengabdian kepada Islam. Kedua, obyek dari semua bentuk pengabdian itu harus sesuai dengan perintah dan ajaran yang termaktub dalam Al-Qur’an.
Sebagai seorang ulama. Dik ‘Imad mampu menjalani kedua makna tersebut. Tidak semua orang dapat memberikan semua pengabdiannya kepada Islam apabila daya intelektualitasnya tidak mencukupi. Menurut saya, dalam diri Dik ‘Imad ini sudah bukan sekedar sarjana biasa, melainkan sebagai orang yang memiliki dua kecendekiawanan, yakni seorang ahli agama dan juga seorang teknokrat.
Sikap Anti-Pancasila
Ketika masih aktif sebagai Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI), Dik ‘Imad dikenal sebagai penganut “aliran keras” mengenai Pancasila. Ini karena ketika itu dia adalah seorang yang memiliki pemikiran anti-Pancasila. Belakangan saya mendengar, Dik ‘Imad sudah tidak lagi anti-Pancasila. Saya sangat senang sekali mendengar hal tersebut, sebab menurut saya, seorang intelektual tidak boleh menjadi tawanan bagi dirinya sendiri. Apabila seiring dengan perubahan waktu dan keadaan, lalu terjadi perubahan, lalu terjadi perubahan pemikiran pada diri seseorang, itu wajar-wajar saja. Saya rasa hal ini tidak ada kaitannya dengan konsisten atau tidaknya seseorang, selama perubahan itu menuju pada arah perubahan dan perbaikan yang positif. Mungkin, Dik ‘Imad belajar banyak dari sikap saya yang tidak anti-Pancasila. Ajaran atau sila-sila dalam Pancasila, seperti pernah dikemukakan oleh Bung Karno, tidak bertentangan dengan Islam, bahkan nilai-nilainya diambil dari ajaran Islam.
Sikap terhadap Suharto
Mengenai banyaknya tokoh Islam yang mendukung Suharto belakangan ini (sekitar tahun 1990-an – peny.) karena mungkin menganggap penguasa Orde Baru ketika itu sudah bertobat dan husnul-khatimah dalam kariernya. Saya agak sedikit ragu mengenai hal ini, sebab saya melihat pada diri Suharto ketika itu belum menunjukkan perubahan, sebaliknya malah kemungkaran yang dilakukannya makin menjadi-jadi. Saya pernah berdiskusi dengan A.M. Fatwa mengenai hal ini. Saat itu Fatwa menyatakan dukungannya terhadap Suharto karena melihat Suharto ingin bertobat dan husnul-khatimah dalam kariernya. Fatwa mengatakan, apabila seseorang ingin bertobat, kita harus mendukung dan mempercayainya : jangan memulai sesuatu dengan berburuk sangka. Sepenuhnya pendapat Fatwa itu benar, tetapi realitas yang terjadi justru malah sebaliknya : tidak ada perubahan pada diri Suharto. Mungkin banyak orang yang berpikiran sama dengan Fatwa.
Sekitar tahun 1967 sampai 1988, Suharto dikenal dengan sikapnya yang Islamo-phobia atau bahkan anti-Islam. Kemudian Orde Baru merancang new policy untuk merangkul pemimpin-pemimpin Islam, salah satunya A.M. Fatwa dan mungkin juga Dik ‘Imad serta beberapa tokoh lainnya. Policy itulah yang kemudian melunakkan sikap mereka terhadap Suharto. Saya menilai ketika itu para pemimpin Islam ini mulai terkooptasi, atau barangkali juga dukungan mereka terhadap Suharto bersikap tulus – tak ada pamrih kekuasaan.
Pemikiran Politik
Dik ‘imad menyatakan bahwa antara politik dan Islam tidak bisa dipisahkan, sebab prinsip-prinsip Islam ada pada semua lini kehidupan manusia, termasuk di dalamnya politik itu sendiri. Sepenuhnya saya sependapat dengan pemikiran Dik ‘Imad mengenai politik dan agama ini. Islam mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakat, dan manusia dengan negara. Jadi sangat tepat pandangan yang menyatakan bahwa politik tidak bisa dipisahkan dengan agama. Namun, belakangan saya melihat justru politik itu sendiri yang memperalat Islam untuk kepentingan kelompok.
Saya agak sedikit mempertanyakan implementasi pemikiran tersebut di dalam ICMI, lembaga dimana Dik ‘Imad duduk sebagai pendiri dan Dewan Pakar. Saya belum melihat upaya Dik ‘Imad dalam mengatasi manuver-manuver yang dilakukan ICMI ketika Habibie naik menjadi ketua umum. Ketika itu memang agama tidak dipisahkan dari politik, tetapi keadaan menjadi terbalik : justru agama diposisikan di bawah politik.
Seharusnya ketika itu, Dik ‘Imad dapat “mengerem” Habibie agar ICMI tetap pada platform-nya dan berusaha agar agama tidak diperalat untuk kepentingan politik penguasa. Politik mestinya dituntun oleh ajaran-ajaran agama agar politik itu digunakan untuk kepentingan umat. Saya melihat saat itu ICMI masih kurang dalam melakukan nahi munkar terhadap penguasa, meskipun amar ma’ruf-nya sudah cukup baik, tetapi belum dapat disetarakan dengan Muhammadiyah.
Umat Islam di Indonesia ini ibarat “ayam kelaparan di lumbung padi”, sehingga ICMI harus mampu memberikan rahmat bagi umatnya. Terbitnya harian Republika serta dibentuknya CIDES (Center for Information and Development Studies), paling tidak sudah memberikan angin segar bagi umat Islam Indonesia. Keberadaan CIDES apabila ditangani secara lebih serius akan melebihi CSIS (Center for Strategic and International Studies). Dulu ketika Suharto berkuasa, kedua lembaga ini sama-sama mendukung, tetapi ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkuasa, CSIS mendukung, sedangkan CIDES bertolah belakang dengan Gus Dur.
Menurut saya, inilah saatnya CIDES menunjukkan kemampuannya. Perlu dibangun sebuah kesadaran pemikiran bahwa politik Islam tidaklah eksklusif melainkan inklusif. Kesan bahwa pemikiran politik Islam itu bersifat eksklusif muncul karena banyak pemimpin Islam melakukan aktivitas politiknya tidak mengambil substansi dari ajaran Islam itu sendiri. Mereka hanya sekedar menggunakan Islam untuk nama dan benderanya saja. Mereka tidak mengambil prinsip Islam mengenai tata negara, hubungan negara dan rakyat, serta kehidupan bernegara menurut ajaran-ajaran Islam. Demikian pula dengan keberadaan partai-partai Islam, baik PPP maupun partai politik lainnya.
Terus terang saya sendiri masih menunggu aliran politik apa yang sedang ditempuh oleh Dik ‘Imad. Ini karena saya belum melihat adanya komentar atau kritiknya terhadap partai Islam yang sudah ada – walaupun dia lebih banyak berkecimpung di dunia dakwah.
Di luar semua itu, saya rasa pemikiran Dik ‘Imad masih relevan untuk digunakan pada masa sekarang ini. Barangkali diperlukan perluasan pemahaman dan penafsiran tentang aspek ideologi Islam di atas, sebab ayat-ayat Al-Qur’an yang mengatur tentang ketatanegaraan hanya sedikit.[]
Bagian Ketiga
Aneka Pemikiran Dahlan Ranuwiharjo
1
Pergerakan Pemuda Setelah Proklamasi (Beberapa Catatan)
A. Pendahuluan
Tulisan ini telah disampaikan di dalam ceramah yang diselenggarakan oleh Yayasan Gedung-gedung Bersejarah pada tanggal 30 September 1978 di Gedung Kebangkitan Nasional Jl. Abdulrahman Saleh 26 Jakarta. Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai penulisan sejarah Pergerakan Pemuda setelah Proklamasi, melainkan sekadar mengemukakan beberapa catatan mengenai beberapa peristiwa tertentu dalam sejarah pergerakan pemuda/mahasiswa/pelajar di dalam Indonesia merdeka. Catatan-catatan ini tidak bersifat deskriptif, jadi tidak membeberkan data-data dan fakta-fakta dari peristiwa-peristiwa tersebut; data-data dan fakta-fakta ini telah banyak dimuat di dalam tulisan-tulisan mengenai sejarah pergerakan pemuda setelah proklamasi, diantaranya di dalam buku “45 Tahun Sumpah Pemuda” yang diterbitkan oleh Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta.
Catatan-catatan yang akan dikemukakan nanti mencoba menjawab pertanyaan bukan tentang apa yang terjadi dalam beberapa peristiwa-peristiwa tertentu itu, melainkan mengapa beberapa peristiwa tertentu itu telah terjadi, apa motivasi serta faktor-faktor apa yang mendorong terjadinya peristiwa-peristiwa itu.
Suatu Penilaian
Seorang ahli sejarah –saya bukan ahli sejarah- mungkin akan memandang catatan-catatan ini sebagai suatu interpretasi, kesimpulan atau suatu penilaian atas peristiwa-peristiwa tersebut dan setiap penilaian terhadap suatu peristiwa di dalam sejarah apapun khususnya sejarah pemuda Indonesia setelah Proklamasi tentulah akan berbeda-beda menurut pandangan dan nilai-nilai yang dianut oleh si pembuat penilaian masing-masing. Tentang kemungkinan akan adanya perbedaan penilaian itu, hal ini sepenuhnya saya sadari.
Tulisan ini bermaksud pula untuk mengimbau kepada semua pihak yang berurusan dengan masalah generasi muda untuk dari peristiwa yang sudah tidak hangat lagi dapat menarik pelajaran yang hangat serta yang relevan bagi permasalahan generasi muda dewasa ini.
B. Peristiwa Yogyakarta 10 November 1945
Di dalam sejarah pemuda Indonesia, peristiwa Yogyakarta tanggal 10 Nopember 1945 dikenal sebagai hari diselenggarakannya Kongres Pemuda Indonesia yang pertama dalam alam Indonesia Merdeka. Tetapi peristiwa Yogya tanggal 10 November 1945 adalah juga hari berdirinya sebuah organisasi pemuda yang berideologikan sosialisme yaitu Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) yang sekarang sudah dibubarkan.
Apakah kedua peristiwa itu hanya kebetulan saja terjadi pada tanggal dan di tempat yang sama? Ataukah yang satu sekadar ndompleng atau mbonceng pada yang lain? Dan manakah yang ndompleng, apakah Kongres Pemuda Indonesia yang ndompleng Kongres Pendirian Pesindo? Yang akhir tentulah tidak mungkin karena jika yang akan diadakan adalah Kongres Pendirian Pesindo tentulah organisasi-organisasi lain tidak akan datang. Jadi Kongres (pendirian) Pesindolah yang ndompleng pada Kongres Pemuda Indonesia, yaitu bersamaan dengan adanya Kongres Pemuda Indonesia mempergunakan kesempatan yang ada, sebelum dimulainya dan di tengah-tengah berjalannya Kongres Pemuda untuk bertemu “kawan-kawan seasas” untuk mendirikan Pesindo.
Sebenarnya yang terjadi tidaklah sekadar pemboncengan ataupun pendomplengan. Kongres Pemuda Indonesia itu sendiri sebenarnya akan dibelokkan untuk dijadikan Pesindo, hal ini terungkap dalam lobbying di antara para utusan Kongres dan dalam konferensi pendahuluan yang diadakan pada tanggal 9 November 1945 atas inisiatif Gerpri (Gerakan Pemuda Republik Indonesia). Sebagian besar utusan dari organisasi-organisasi yang datang pada Kongres itu menentang untuk difusikan ke dalam satu organisasi yag bernama Pesindo, sehingga akhirnya yang setuju masuk ke dalam Pesindo hanyalah API (Angkatan Pemuda Indonesia) Jakarta, PRI (Pemuda Republik Indonesia) Surabaya, AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) Semarang, dan Gerpri (Gerakan Pemuda Republik Indonesia) Yogya, AMKA (Angkatan Muda Kereta Api), AMLG (Angkatan Muda Listrik dan Gas), AMPTT (Angkatan Muda Pos, Telegraf dan Telepon). Tiga organisasi “profesi” (istilah sekarang) ini, lima bulan kemudian keluar dari Pesindo.
Pada waktu Kongres Pemuda Indonesia diadakan pada tanggal 10 November 1945, di kota-kota lain di Jawa selain di Jakarta, Semarang, Surabaya dan Yogya telah berdiri pula organisasi-organisasi pemuda semacam API, PRI, dan lain-lainnya. Didirikannya organisasi-organisasi pemuda lokal itu adalah untuk menghimpun potensi pemuda yang akan merealisasi isi Proklamasi khususnya untuk merealisasi apa yang tercantum dalam naskah Proklamasi : “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Pemerintah militer Jepang di Indonesia sudah berubah statusnya dari musuh Sekutu menjadi pelayan Sekutu tentulah tidak akan mau begitu saja menyerahkan kekuasaan itu kepada Republik Indonesia. Dan pemudalah satu-satunya kekuatan yang sanggup dan dalam bulan-bulan September, Oktober, Nopember 1945 telah membuktikan kesanggupan itu dengan merealisasi pemindahan kekuasaan secara fisik dan nyata.
Berdirinya organisasi-organisasi pemuda lokal pada bulan-bulan September, Oktober, dan November 1945 itu adalah seperti yang diterangkan pula dalam buku “Risalah Gerakan Pemuda” terbitan tahun 1952 halaman 31 : “untuk menyusun tenaga dalam revolusi yang terus berputar dengan derasnya itu, tenaga-tenaga Pemuda yang tadinya timbul secara spontan dan tidak teratur, diikat dalam beberapa organisasi Pemuda yang pada waktu itu sifatnya masih lokal”.
Pada saat para pemuda di pelbagai kota di Jawa dan Sumatra menggabungkan diri dalam organisasi-organisasi pemuda yang bersifat lokal itu maka yang mengisi pikiran dan jiwa mereka ialah bagaimana merebut senjata yang masih di tangan Jepang, bagaimana menurunkan bendera Hinomaru yang masih berkibar di kantor-kantor dan menaikkan Sang Dwiwarna, bagaimana merebut kantor-kantor yang masih dikuasai oleh tentara Jepang, dan menyerahkannya kepada aparat-aparat Republik Indonesia, bagaimana menghadapi tentara Inggris berikut serdadu-serdadu Nica yang memboceng tentara Inggris. Pendek kata yang terpikir oleh para pemuda itu ialah bagaimana merealisasi isi Proklamasi secara fisik dan nyata serta bagaimana mempertahankan Republik yang sudah diproklamasikan.
Pada bulan-bulan September, Oktober, dan November 1945 itu para pemuda sama sekali belum berpikir tentang ideologi sosialisme yang masih asing bagi mereka, apalagi memikirkan bagaimana mempelajari Marxisme-Leninisme yang termasuk program pokok Pesindo/Pemuda Rakyat (perubahan nama ini hasil Kongres Pesindo di Jakarta pada bulan November 1950).
Kepada pucuk pimpinan organisasi-organisasi yang diundang ke Kongres Pemuda di Yogya pada tanggal 10 November 1945 tidak diberitahukan bahwa di dalam Kongres Pemuda Indonesia akan dilaksanakan fusi dari organisasi-organisasi pemuda menjadi Pesindo; di dalam pers pun tidak ada publikasi tentang itu, kecuali dekat kepada dan setelah fusi itu terlaksana.
Para utusan organisasi-organisasi yang berfusi menjadi Pesindo itupun tidak memperoleh mandat dari rapat anggota organisasi masing-masing untuk berfusi menjadi Pesindo. Dan setelah Pesindo secara fait a compli berdiri, maka organisasi pemuda lokal di kota-kota lain yang tidak hadir di Kongres, satu per satu di”anschluss” (dicaplok) dilebur ke dalam Pesindo, walau mereka pada waktu itu tidak tahu menahu tentang ideologi sosialisme apalagi marxisme-leninisme.
Jadi yang telah terjadi pada Kongres Pemuda Indonesia yang pertama di Yogya pada tanggal 10 Nopember 1945 itu bukanlah sekadar bahwa tokoh-tokoh pemuda sosialis memboncengi Kongres Pemuda untuk mendirikan Pesindo; yang terjadi sebenarnya adalah adanya gerakan main caplok (anschluss) yang walau tidak berhasil mencaplok semua peserta Kongres tapi berhasil mencaplok sebagian untuk difusikan ke dalam Pesindo.
Pada tanggal 10 November 1945 ketika di Surabaya tentara Inggris sebagai wakil imprealisme internasional sedang berusaha untuk meng- anschluss (kembali) tanah air kita tapi tidak berhasil, di Yogya tokoh-tokoh pemuda sosialis berusaha pula meng- anschluss sesama potensi pemuda dan berhasil sebagian.
C. Revolusi dalam Revolusi
Yang menjadi pertanyaan ialah mengapa tokoh-tokoh pemuda sosialis ini sudah melakukan usaha mensosialisasikan massa pemuda pada bulan November 1945, pada saat bangsa Indonesia baru saja mulai merealisasi Republik Indonesia yang baru 3 bulan diproklamasikan, sedangkan musuh Republik berada di depan hidung? Apakah tokoh-tokoh pemuda itu tidak menyadari bahwa usaha mensosialisasikan massa pemuda pada bulan November 1945 itu merupakan benih perpecahan di kalangan pemuda yang justru akan digalang persatuannya dalam Kongres Pemuda Indonesia yang pertama pada tanggal 10 November 1945 itu.
Mungkin ada baiknya kita menelaah tulisan Syahrir (almarhum) dalam sebuah buku kecil berukuran 12x16 cm yang berjudul : “Perdjoeangan Kita”. Buku yang tidak bertanggal ini kira-kira ditulis pada bulan Oktober 1945 dan (sudah) beredar pada bulan November 1945. Di dalam buku ini Syahrir berkata tentang Revolusi dan Partai (halaman 25-26) sebagai berikut : “Oentoek dapat menjoesoen segala tenaga boeat mengerdjakan revoloesi dengan tepat dan teratoer, pimpinan haroes meroepakan soeatoe balatentara jang berbenteng ideologi dan pengetahoean jang tersoesoen rapi didalam soeatoe partai revoloesionner. Partai revoloesionner jang berideologikan dan berteori lengkap dan rapi dan berorganisasi modern dan efficient jang perloe akan memimpin revoloesi, jaitoe mengoeroes segala kekoeatan masjarakat jang akan dapat memperdjoeangkan, menetapkan strategi dan taktik perdjoeangan, membentoek dan mempergoenakan segala alat dan sendjata perdjoeangan. Partai ini haroes partai kerakjatan jang revoloesionner, sebaiknja dipimpin oleh orang-orang jang berpengetahoean tentang perdjoeangan revoloesionner jang modern, jang berpengetahoean dan berpengalaman tentang perdjoeangan revoloesionner jang ada didoenia dan tahoe menentoekan langkah perdjoengan kita dengan peroebahan didoenia oemoemnya. Partai ta’oesah beranggota banjak asal sadja dapat meroepakan balatentara jang berdisciplin rapi dan mempoenjai efficiency modern dan berbenteng ideologi dan pengetahoean jang koeat dan lengkap.”
Yang dimaksud dengan “partai revoloesionner” itu sudah barang tentu adalah Partai Sosialis yang ketuanya adalah Syahrir, yang dimaksudkan dengan ideologi adalah sosialisme, sedang yang dimaksud dengan (partai yang dipimpin oleh) “orang-orang jang berpengetahoean tentang perdjoeangan revoloesionner jang modern, jang berpengetahoean dan berpengalaman tentang perdjoeangan revoloesionner jang ada didoenia dan tahoe menentoekan langkah perdjoengan kita dengan peroebahan didoenia oemoemnya” , orang-orang dengan kualitas sedemikian menurut buku Perdjoeangan Kita tentulah diri Syahrir sendiri beserta kelompok dari Partai Sosialis, partai yang saat buku itu diterbitkan sudah siap untuk muncul di gelanggang politik Indonesia waktu itu.
Sebagai buku yang ditulis oleh Ketua Partai yaitu Partai Sosialis, Perdjoeangan Kita itu mencerminkan haluan dan program dari partai tersebut. Di dalam Perdjoeangan Kita itu Syahrir sama sekali tidak menyinggung-nyinggung tentang keharusan adanya penggalangan semua kekuatan revolusioner, dan untuk tahap revolusi Indonesia waktu itu yang termasuk revolusioner adalah siapa saja dan golongan mana saja yang bersikap anti-imprealisme, khususnya imprealisme Belanda. Konsisten dengan yang ditulis dalam Perdjoeangan Kita bahwa revolusi harus dipimpin oleh partai yang revolusioner dan orang-orang yang revolusioner yang tahu revolusi, sedangkan mereka ini menurut mereka sendiri – adalah Syahrir dengan kelompoknya - maka sudah pada bulan Oktober 1945, kelompok Syahrir dengan berlandaskan Perdjoeangan Kita telah melancarkan suatu revolusi dalam Revolusi diantaranya dengan melakukan gerakan semacam gerakan anschluss yaitu menggeser/menyingkirkan orang-orang yang dianggap oleh Syahrir/Partai Sosialis-nya sebagai tidak revolusioner dan tidak tahu tentang revolusi.
Sebagai hasil dari move-move yang dilakukan oleh kelompok Syahrir/Partai Sosialis yang duduk dalam Komite Nasional Indonesia Pusat, maka dalam sidang KNIP tanggal 15 Oktober 1945, dibentuklah Badan Pekerja KNIP yang ketuanya adalah Syahrir. Dengan Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 1945, Badan Pekerja itu menjalankan wewenang legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar daripada haluan Negara (Mr. A.K. Pringgodigdo, Kedudukan Presiden menurut Tiga UUD dalam Teori dan Praktek, halaman 12).
Di dalam sidangnya tanggal 30 Oktober 1945, Badan Pekerja beranggapan : “… bahwa sekarang sudah tiba saatnja untuk mengusahakan pergerakan rakjat dengan seksama. Hanja jang mendjadi pertanjaan ialah baik diadakan satu partai sadjakah atau dibiarkan tumbuh beberapa partai menurut tjorak dan aliran hidup dalam masjarakat kita? Karena kita mendjundjung azas demokrasi, tentu tidak dapat kita hanja membolehkan satu partai sadja jang berdiri”. (ibid, halaman 20).
Atas anggapan Badan Pekerja tersebut, maka dengan Maklumat tanggal 3 November 1945, Pemerintah/Wakil Presiden menganjurkan pembentukan partai-partai politik “karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat”.
Dengan Maklumat Presiden tanggal 3 November 1945 itu maka partai tunggal yang bernama Partai Nasional Indonesia yang dibentuk bersama-sama dengan dibentuknya Komite Nasional Indonesia Pusat berdasarkan keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 22 Agustus 1945, partai tunggal tersebut lalu dibubarkan (sebelum itu, Maklumat Pemerintah tanggal 31 Agustus 1945 telah menunda pembentukan cabang-cabang partai tunggal tersebut).
D. Revolusi Nasional atau Revolusi Demokrasi
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia memang telah memilih nama yang “tidak menguntungkan” bagi partai tunggal yang dibentuk pada tanggal 22 Agustus itu, karena nama Partai Nasional Indonesia itu memberi kesan seakan-akan partainya Bung Karno pada tahun 1927 dulu dilanjutkan/dihidupkan kembali. Di satu dua kota yang pada akhir bulan Agustus 1945 telah terbentuk cabang partai tunggal itu, pimpinannya tidak dipegang oleh tokoh eks PNI-nya Bung Karno, satu petunjuk bahwa partai tunggal yang dibentuk oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia itu bukan lanjutan dari PNI-nya Bung Karno dulu.
Terlepas dari nama partai tunggal itu, bagi yang berpegang kepada prinsip perjuangan “penggalangan semua kekuatan revolusioner/anti-imprealis”, adanya partai tunggal sebenarnya merupakan keharusan pada tahap revolusi waktu itu sebagai wadah bagi semua kekuatan anti-imprealisme, tidak pandang siapa dan dari golongan mana, pokoknya asal anti-imprealisme khususnya imprealisme Belanda.
Pada waktu itu kepada rakyat Indonesia masih harus diresapkan kesadaran berbangsa : Bangsa Kesatuan Indonesia, kesadaran bernegara : Negara Kesatuan Republik Indonesia, kesadaran berpemerintah : Pemerintah Republik Indonesia, bahkan juga kesadaran ber-revolusi : Revolusi 17 Agustus 1945.
Pada bulan-bulan pertama revolusi, kesadaran-kesadaran itu sebenarnya belum tinggi dan revolusi 17 Agustus sebenarnya masih dalam tahap Revolusi Nasional. Dan dalam tahap inilah harus ditanam dan diperkokoh kesadaran-kesadaran tersebut. Tetapi timbulnya partai-partai politik pada bulan November 1945 itu telah tidak sedikit merusak penanaman kesadaran-kesadaran tersebut, khususnya Kesadaran Bernegarakesatuan Republik Indonesia, kesadaran berpemerintah RI dan Kesadaran Ber-revolusi.
Dalam Perdjoeangan Kita halaman 10 Syahrir berkata : “Kebentjian terhadap orang Indo-Ambon dan Menado hanja dapat diartikan oleh loear negeri, bahwa kesadaran kebangsaan kita diantara rakjat banjak terboekti masih sangat tipis atau beloem ada samasekali”.
Jadi walau Syahrir sendiri mengakui masih tipisnya kesadaran kebangsaan di kalangan rakyat, namun buat Syahrir yang harus didahulukan bukanlah Revolusi Nasional sebagaimana dikatakan Syahrir dalam bukunya itu (halaman 23) : “…didalam menyoesoen masjarakat kita didalam revoloesi kita ini, haroes kita sedikitpun tak loepa, bahwa kita mengadakan Revoeloesi Demokrasi. Revoloesi nasional itoe hanja boentoetnya dari revoloesi kita. Boekan nasionalisme haroes nomoer satoe, akan tetapi demokrasi…”
Adanya partai tunggal itu tidak mesti berarti bertentangan dengan demokrasi, apalagi dalam tahap permulaan revolusi kita. Pendapat bahwa demokrasi adalah tidak boleh tidak harus merupakan negara partai-partai. Pendapat Krabbe ini masih harus dites kebenarannya bagi bangsa dan masyarakat Indonesia, namun Syahrir sudah menganggap itu sebagai suatu aksioma yang mesti diterapkan di bumi Indonesia walau pada bulan-bulan pertama revolusi.
Partai tunggal, KNIP dan sistem pemerintahan presidential adalah sasaran-sasaran pertama dari “revolusi demokrasi”-nya Syahrir. Syahrir tidak hanya melancarkan revolusi demokrasi, tetapi iapun memberi tekanan kepada aspek sosialnya. “Keloear bentoek revoloesi beroepa nasional kedalam menoeroet hoekoem masjarakat demokratis dengan tjorak sosial” (ibid halaman 22). Karena apa yang dikatakan oleh Syahrir “hukum masyarakat demokratis” itu belum ada pada waktu itu, kalaupun dianggap ada tentulah berbeda menurut kepentingan yang menggapnya. Maka dalam praktek, pendapat Syahrir itu (akan) mengubah revolusi menjadi berdwimuka : keluar nasional, kedalam sosial; padahal pada tahap permulaan, apalagi dalam bulan-bulan Oktober-November 1945 itu, revolusi kita sesungguhnya masih bercorak nasional baik keluar maupun kedalam.
Ideologi Partai
Yang dimaksud dengan kata-kata “aliran paham” dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November atau kata-kata “pikiran politik” dalam Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, dalam praktek kedua istilah tersebut mencakup unsur ideologi partai, sehingga setelah Partai Sosialis mulai lebih dahulu menonjolkan ideologi sosialismenya maka partai-partai lain tidak mau ketinggalan menonjolkan pula ideologi masing-masing, walau remang-remang dan kabur.
Bagaimana suatu partai dengan ideologinya sendiri harus bersikap terhadap ideologi negara yaitu Pancasila, hal ini tidak disinggung di dalam kedua Maklumat tersebut, kecuali bahwa di dalam Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 hanya dikatakan : “Republik Indonesia tidak melarang organisasi politik selama dasar-dasarnya atau aksi-aksinya tidak melanggat asas-asas demokrasi yang sah”. Sedang dimana “asas-asas demokrasi yang sah” itu diatur, sampai sekarang saya tidak atau belum tahu.
Dalam periode Revolusi Fisik (1945-1949) memang jarang sekali orang menyinggung-nyinggung Pancasila meskipun yang kita proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah Negara Pancasila yang perumusannya tercantum dalam di dalam Pembukaan UUD 1945. Di dalam hubungan ini perlu dicatat kiranya bahwa satu-satunya organisasi – setidak-tidaknya salah satu dari sejumlah kecil – yang pada bulan September 1945 sudah mengumandangkan Pancasila adalah Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) yang dalam kongresnya yang pertama (yang juga merupakan kongres yang pertama kali diadakan di alam Indonesia merdeka) di Mataram (Yogya) pada tanggal 27 September 1945 telah menetapkan Sumpah Pelajar yang diantaranya menegaskan : “Kami adalah pelajar Negara Republik Indonesia yang setia kepada Pancasila”.
Pelari Terdepan
Dengan berdirinya partai-partai berdasarkan Maklumat Pemerintah tanggal 3 Novemver itu, maka pada pihak yang satu kelompok Syahrir berhasil menyingkirkan secara definitif Partai Nasional Indonesia sebagai partai tungal, pada pihak lain kelompok Syahrir lalu dapat meluncurkan partainya, Partai Sosialis, yang sudah dipersiapkan dengan kelengkapan yang cukup khususnya dalam bidang ideologi, kader dan kekuasaan politik melebihi dan mendahului partai-partai lain, sehingga di dalam gelanggang pacuan partai-partai pada bulan November 1945 itu, Partai Sosialis adalah pelari terdepan (front runner), dengan kelihaiannya melakukan perbagai macam move, politicking, dan yang serupa. Termasuk kelengkapan yang cukup itu adalah bahwa kelompok Partai Sosialis telah menguasai Badan Pekerja berbarengan dengan keberhasilannya menyingkirkan/memetieskan KNIP yang diketuai oleh Kasman Singodimedjo. Untuk menambah kelengkapan Partai Sosialis itu, maka Badan Pekerja/Syahrir memajukan usul untuk mengubah sistem pemerintahan presidentil menurut UUD 1945 menjadi sistem pertanggungjawaban menteri kepada badan perwakilan rakyat (yang pada waktu itu adalah Badan Pekerja KNIP).
Menurut Pengumuman Badan Pekerja tanggal 11 November 1945, Presiden Sukarno meyetujui usul tersebut sehingga dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 diumumkanlah susunan Kabinet Syahrir yang pertama (buku A.K. Pringgodigdo, halaman 14).
Dengan terbentuknya Kabinet Syahrir ini maka sistem pemerintahan presidential menurut UUD 1945 telah berubah menjadi sistem pemerintahan parlementer. Ini berarti bahwa kedudukan Presiden Sukarno sebagai Kepala Pemerintahan telah digeser dan tinggal sebagai Kepala Negara saja.
Apapun penilaian yang telah dijatuhkan terhadap revolusi (dalam revolusi) yang dilancarkan kelompok sosialis pada bulan-bulan Oktober-November 1945 itu, haruslah diakui bahwa kelompok ini memang telah menunjukkan kepeloporan revolusionernya khususnya menjelang hari proklamasi dan dalam bulan-bulan pertama revolusi.
Saya ingin menggarisbawahi apa yang dikonstatasi oleh Syahrir dalam bukunya Perdjoeangan Kita halaman 7 yaitu : “…sesoedah kekoeasaan Djepang menjadi lemah, dan kemoedian roentoeh serta poela beloem digantikan oleh kekoeasaan militer Sekoetoe, tidak poela Negara Repoeblik Indonesia dapat mendirikan kekoeasaan bangsa kita sendiri…”, dan kondisi revolusi yang demikian inilah yang mungkin mendorong kelompok Syahrir untuk melancarkan revolusi (dalam revolusi) dalam bulan-bulan Oktober-November 1945 itu.
Dengan dibentuknya Kabinet Syahrir yang tentunya dipimpin/dikuasai oleh Syahrir/kelompok sosialis, dan Badan Pekerja sebagai badan legislatif telah dikuasai pula oleh kelompok ini, maka dapatlah dikatakan bahwa revolusi (dalam revolusi) yang dilaksanakan oleh kelompok sosialis dalam bulan-bulan Oktober-November 1945, revolusi (kecil) ini telah berhasil…bagi Partai Sosialis yang dipimpin oleh Syahrir/Amir Sjarifuddin.
Apakah juga berkasil bagi revolusi dan Negara RI, hal ini patut dipertanyakan. Yang terang ialah bahwa “revolusi”-nya Partai Sosialis itu telah menimbulkan :
- dualisme dalam pimpinan revolusi : kekuasaan pemerintah dipegang oleh Syahrir sebagai Perdana Menteri, tetapi Bung Karno yang di-Presiden-lambang-kan tetap berperan sebagai pemimpin rakyat penggerak revolusi.
- polarisasi politik antara kekuatan-kekuatan politik yang berorientasi kepada Pemerintah/Partai Sosialis pada pihak yang satu, kekuatan oposisi yang berorientasi kepada Masyumi-PNI dan Persatuan Perjuangan-nya Tan Malaka pada pihak yang lain.
Dengan adanya polarisasi politik itu, Pemerintah Syahrir praktis menghadapi dua front, yaitu front pemerintah kolonial Belanda dan front oposisi (yang dibuatnya sendiri). Ini berakibat lemahnya posisi Syahrir dalam menghadapi Belanda.
E. Anarko Sindikalisme
Dengan mengikuti isi buku “Perdjoeangan Kita” dan revolusi (dalam revolusi) yang dilakukan oleh Partai Sosialis pada bulan-bulan Oktober-November 1945, dapatlah kita ketahui bahwa pandangan Partai Sosialis yang dipimpin oleh Syahrir/Amir Sjarifuddin mengenai revolusi (17 Agustus) adalah mengandung ciri-ciri sebagai berikut :
1. Tidak melihat adanya tahap revolusi nasional dalam revolusi 17 Agustus sehingga pada permulaan revolusi sudah melancarkan revolusinya sendiri, yaitu yang dinamakan Revolusi Demokrasi dan revolusi berdwimuka :keluar nasional, kedalam sosial”.
2. Tidak memandang perlu adanya persatuan nasional dari semua kekuatan revolusioner/anti-imprealisme (khususnya imprealisme Belanda).
3. Memandang kelompok sendiri sebagai paling revolusioner dan paling tahu tentang revolusi dan karenanya merasa harus memimpin revolusi.
4. Berorientasi hanya kepada ideologi partai dengan mengabaikan ideologi negara : Pancasila.
5. Dalam usaha menggoalkan sasaran-sasaran sesuai dengan garis tersebut, mengitrodusikan teknik-teknik berpolitik (teknopol) berupa move-move, politicking, dan lain-lain.
Dengan mengetahui pandangan Partai Sosialis tersebut di atas, dapatlah kiranya dijawab mengapa kelompok pemuda sosialis melakukan usaha-usaha anschluss dan dominasi selama Kongres Pemuda di Yogya pada tanggal 10 November 1945 itu dan sesudahnya. Yang dilakukan oleh kelompok pemuda sosialis itu adalah proyeksi belaka dari garis Partai Sosialis berikut teknopolnya. Dan gerakan anschluss dan main dominasi yang dilakukan oleh kelompok pemuda sosialis itu merupakan sebuah bentuk pula dari apa yang dikenal sebagai anarko sindikalisme, yaitu tindakan revolusioner yang picik yang hendak memonopoli predikat revolusioner dan revolusi – dan inipun terbatas pada bidang tertentu saja -, tanpa memperhitungkan kepentingan revolusi secara menyeluruh dalam segala aspek dan tahap-tahapnya. (Catatan : mengapa kalau kaum kapitalis yang berusaha melaksanakan monopoli hanya dikatakan monopolisme saja tanpa anarko, hal ini sayapun tidak tahu).
Setiap bentuk anarko sindikalisme adalah tidak demokratis. Mengapa yang dikumandangkan (oleh Syahrir) adalah “revolusi demokras”. Tetapi yang terjadi adalah “anarko sindikalisme”, hal inipun saya tidak tahu.
F. Nasib Persatuan Pemuda
Karena adanya penyakit “anarko sindikalisme” dengan pelbagai manifestasinya, diantaranya berupa usaha dominasi terhadap sesama potensi pemuda disertai dengan penerapan “ilmu” teknopol, ditambah pula oleh efek yang dibawa oleh situasi polarisasi antara kekuatan-kekuatan politik pada waktu itu, maka dapatlah dimengerti mengapa persatuan pemuda tidaklah mungkin terbina.
Tepatlah apa yang dikemukakan oleh H. Subagijo Ilham Notodidjojo “…perpecahan dalam kalangan organisasi-organisasi pemuda … teranglah bahwa bukan tanda lagu ciptaan sendiri (pemuda), tetapi tanda lagu pinjaman yang telah diprodusir oleh partai-partai politik. Ini suatu bukti bahwa ada suatu kontrol yang lebih jauh. Tersesat kaum tuanya, tersesat pula pemudanya. Terpecah belah partai politik, terpecah belah pula organisasi pemudanya (buku 45 Tahun Sumpah Pemuda, halaman 127).
BKPRI (Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia) yang didirikan pada tanggal 10 November 1945 di Yogya merupakan manifestasi dari hasrat pemuda untuk bersatu, tetapi karena adanya penyakit mau main dominasi dengan menetapkan teknopol, maka akhirnya BKPRI itu malahan merupakan manifestasi perpecahan.
Chairul Saleh yang di dalam Kongres Pemuda Indonesia yang pertama itu terpilih sebagai Ketua BKPRI, kemudian mengundurkan diri sebagai Ketua bukan karena “tidak dapat aktif serta di dalamnya” (buku 45 Tahun Sumpah Pemuda, halaman 123), melainkan karena Chairul Saleh mempunyai pikiran politik yang lain dari Pesindo yang ke dalamnya API (yang dipimpin oleh Chairul Saleh) telah berfusi. Pada tanggal 2 Mei 1947 GPII yang berorientasi kepada Masyumi keluar dari BKPRI. Pemuda Demokrat Indonesia yang didirikan pada tanggal 31 Mei 1947 dan yang berorientasi kepada PNI tidak bersedia masuk ke BKPRI.
Konform dengan situasi polarisasi politik khususnya setelah pemarafan Persetujuan Linggarjati pada bulan November 1946, antara Partai Sosialis dan kawan-kawan pada pihak yang satu dan Masyumi-PNI dan kawan-kawan pada pihak yang lain, maka sebagai tandingan terhadap BKPRI didirikanlah pada tanggal 17 Agustus 1947 sebuah federasi lain oleh organisasi-organisasi GPII, Pemuda Demokrat, Pemuda Kristen dan Pemuda Katolik dengan nama Front Nasional Pemuda (FNP).
Sementara itu federasi mahasiswa yang bernama PPMI (Perserikatan Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia) yang didirikan pada tanggal 18 Juni 1947 oleh Kongres Mahasiswa Seluruh Indonesia di Malang, PPMI ini dengan sikap independennya tidak menggabungkan diri baik ke dalam BKPRI maupun ke dalam FNP.
Persatuan pemuda yang telah retak itu diusahakan dipulihkan kembali, pertama melalui Konferensi Pemuda Antar-Indonesia di Yogya pada tanggal 14 Agustus 1949 yang dihadiri tidak hanya oleh organisasi-organisasi pemuda dari daerah Republik Indonesia, tetapi juga dari daerah “federal” (pendudukan Belanda). Kedua, melalui Kongres Pemuda Seluruh Indonesia II yang diadakan berdasarkan keputusan Konferensi Pemuda di Yogya bulan Agustus tersebut. Tetapi suasana Kongres Pemuda II yang diadakan di Surabaya pada tanggal 8 Juni 1950 menunjukkan masih adanya penyakit anarko sindikalisme berikut penerapan-penerapan teknopol yang tidak hanya mengganggu jalannya Kongres, tetapi terutama merusak semangat persatuan pemuda. Penyakit itu didemontrasikan oleh kelompok Pesindo dan kawan-kawan. Pesindo sebagai organisasi pemuda telah menggabungkan diri ke dalam Front Demokrasi Rakyat-FDR/PKI (setelah Partai Sosialis pada bulan Mei 1948 pecah menjadi FDR/PKI yang dipimpin oleh Muso dan Amir Syarifuddin, dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dipimpin oleh Syahrir), dan karena itu Pesindo terlibat dalam pemberontakan PKI pertama di Madiun pada tanggal 18 September 1948; meskipun demikian berkat kemurahan hari Pemerintah Hatta yang tidak membubarkan PKI dan ormas-ormasnya yang terlibat dalam pemberontakan Madiun serta tidak pula menuntut mereka di pengadilan, maka Pesindo (yang sementara itu sudah berganti nama dengan Pemuda Rakyat) masih diterima oleh organisasi-organisasi pemuda yang lain untuk ikut dalam Konferensi Pemuda Antar-Indonesia di Yogya pada tanggal 14 Agustus 1949, dan di dalam Kongres Pemuda Seluruh Indonesia yang kedua di Surabaya pada tanggal 8 Juni 1950 itu.
Perlu dicatat bahwa sebelum dimulainya Kongres Pemuda II di Surabaya, dua federasi mahasiswa yaitu PPMI yang beranggotakan organisasi-organisasi mahasiswa dari daerah Republik dan BKMI yang beranggotakan organisasi-organisasi mahasiswa dari daerah federal (pendudukan Belanda), kedua federasi itu bersepakat melebur diri kedalam satu federasi yang tetap bernama PPMI sehingga setelah peleburan itu anggota-anggota PPMI adalah :
• yang berasal dari BKMI (Badan Kongres Mahasiswa Indonesia) :
1. PMID (Persatuan Mahasiswa Indonesia Jakarta)
2. HMD (Himpunan Mahasiswa Jakarta)
3. MMB (Masyarakat Mahasiswa Bogor)
4. PMB (Perhimpunan Mahasiswa Bandung)
5. GMS (Gerakan Mahasiswa Surabaya)
6. GMM (Gerakan Mahasiswa Makassar)
• sedang yang berasal dari PPMI-lama, ialah :
1. HMI (Himpunan Mahasiswa Islam)
2. PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia
3. PMKI (Persatuan Mahasiswa Kristen Indonesia, kemudian berubah menjadi GMKI)
4. PMD Persatuan Mahasiswa Jakarta – republikein)
5. PMI (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia – Yogya dan Malang
6. PMKH (Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan, semula di Bogor lalu pindah ke Yogya).
Peristiwa peleburan PPMI yang terjadi sebelum dimulainya Kongres Pemuda II itu menunjukkan bahwa PPMI atas kemurahan hati Panitia Kongres memang mendompleng Kongres Pemuda, tetapi betul-betul ndompleng, lepas sama sekali dari maksud main anschluss (caplok).
Karena belum terkikisnya mentalitas anarko sindikalisme pada diri Pemuda Rakyat eks Pesindo maka Front Pemuda Indonesia yang dihasilkan oleh Kongres Pemuda di Surabaya itu tidaklah dapat memenuhi fungsinya sebagai wadah pemersatu pemuda.
PPMI yang oleh Konferensi Penyusunan Pimpinan Pusat FPI di Yogya pada tanggal 9 Juli 1950 diserahi ketua schap pertama dari FPI - dan dipegang oleh ketuanya : A. Dahlan Ranuwihardjo – walau PPMI sudah berusaha keras untuk berperan sebagai mediator, namun tidak berhasil; pada Konferensi tanggal 9 Juli 1950 itu PP GPII menyatakan keluar dari FPI.
Setelah pada tahun 1951 Ketua FPI tidak dipegang lagi oleh PPMI, maka FPI kembali lagi menunjukkan penyakit-penyakit yang pernah diderita oleh eks BKPRI, meskipun PPMI bersama-sama PPI (Pemuda Puteri Indonesia) dan Pemuda Demokrat telah berusaha untuk memelihara semangat persatuan dan kerjasama di dalam FPI. Malah akhirnya PPMI dalam rapat Majelis Permusyawaratan PPMI pada tanggal 26 September 1953 telah memutuskan untuk mengirim desakan, yaitu jika Front Pemuda Indonesia tidak dapat menjadi wadah persatuan yang meliputi seluruh gerakan pemuda di Indonesia, maka PPMI akan meninjau keanggotannya di dalam FPI.
G. Federasi yang Kokoh
Sejarah BKPRI dan sejarah FPI adalah menunjukkan sejarah federasi organisasi-organisasi pemuda yang rapuh. Di balik itu ada baiknya kita mencatat sebuah federasi yang kokoh (solid) yaitu federasi antara organisasi-organisasi mahasiswa yang bernama PPMI.
Polarisasi politik yang merajalela di daerah Republik terutama setelah pemarafan Persetujuan Linggarjati pada bulan November 1946, polarisasi ini membawa efek pula di kalangan mahasiswa.
Perhimpunan Mahasiswa Yogya (PMJ) yang berdiri pada bulan Oktober 1946 dan meliputi mahasiswa-mahasiswa Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada, Sekolah Tinggi Teknik, dan Sekolah Tinggi Islam. PMJ inipun tidak lepas dari efek polarisasi itu disebabkan oleh tokoh-tokoh pengurus PMJ yang berorientasi kepada Partai Sosialis yang memimpin pemerintahan pada waktu itu. Karena PMJ tidak memberi saluran kepada aspirasi keagamaan dari para anggotanya, disamping itu PMJ masih mempraktekkan kehidupan studentikoos ala zaman kolonial (misalnya menyanyi lagu Io Vivat pada acara-acara kemahasiswaan, disertai acara bebas) ditambah pula oleh adanya efek polarisasi politik yang menghinggapi kehidupan PMJ, hal-hal tersebut mendorong kepada mahasiswa-mahasiswa yang beragama untuk mendirikan organisasi sendiri. Yang mula-mula berdiri adalah HMI pada tanggal 5 Pebruari 1947 dan kemudian menyusul PMKRI dan PMKI (yang kemudian menjadi GMKI).
Berdirinya organisasi yang berdasarkan agama itu bukanlah bukanlah separatisme atau eksklusivisme karena kemudian ketiga-tiga organisasi mahasiswa beragama itu turut memprakarsai diadakannya Kongres Mahasiswa Indonesia di Malang pada tanggal 8 Juni 1947 yang berhasil mendirikan federasi bernama PPMI yang anggota-anggotanya adalah :
1. HMI
2. PMKRI
3. PMKI
4. PMJ
5. PMD (Perhimpunan Mahasiswa Jakarta – Republikein)
6. MMM (Masyarakat Mahasiswa Malang)
7. PMKH (Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan Bogor – Republikein)
8. SMI (Serikat Mahasiswa Indonesia), yang kemudian keluar secara otomatis pada tanggal 2 Pebruari 1948 setelah berfusi dengan IPI menjadi IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia).
(Catatan : pada tahun 1950, MMM-Malang dan PMJ-Yogya berfusi menjadi PMI/Perhimpunan Mahasiswa Indonesia dan hidup sampai beberapa tahun)
PPMI adalah sebuah federasi berat dalam arti bahwa mengenai hampir semua persoalan nasional dan internasional (hubungan ke luar negeri) yang dihadapi oleh PPMI dan anggota-anggotanya, PPMI dapat bersikap en bloc, dengan suara satu, berdasarkan konsensus antara organisasi-organisasi anggotanya.
Dalam hubungan dengan federasi pemuda, dalam hal ini tidak masuk ke dalam BKPRI atau ikut serta dalam Konferensi Pemuda Antar Indonesia (Yogya 14 Agustus 1949), Kongres Pemuda II (Surabaya 8 Agustus 1950) dan masuk kedalam FPI, PPMI bertindak en bloc dengan suara atau sikap satu. Demikian juga dalam hubungan PPMI dengan IUS (International Union of Students – yang kemudian berorientasi kepada blok komunis), dengan International Student’s Conference (yang berorientasi kepada blok Barat). Kedaulatan organisasi dihormati; dalam hendak mengambil keputusan-keputusan mengenai soal-soal yang prinsipal, organisasi-organisasi anggota yang lokal PMD berkedudukan sama dengan yang berpengurus besar yang mempunyai cabang-cabang di kota-kota perguruan tinggi.
Jika mengenai suatu topik tidak tercapai konsensus, pimpinan PPMI tidak memforsir untuk bersuara satu en bloc atas nama PPMI, melainkan memberi kesempatan kepada masing-masing organisasi anggota untuk bersuara sendiri, tanpa hal demikian menimbulkan keretakan pada federasi. Pimpinan PPMI tidak dimonopoli oleh satu organisasi; yang terpilih sebagai ketua dan wakil ketua berganti-ganti dari beberapa organisasi anggota; dan kongres untuk memilih pimpinan baru diadakan pada waktunya, yaitu rata-rata dua tahun. Ini menunjukkan tidak adanya oknom atau organisasi anggota yang ingin bercokol berlama-lama dalam singgasana pimpinan.
Dengan bersikap independen, PPMI dapat menghindarkan diri dari polarisasi politik baik selama periode revolusi fisik (1945-1949) maupun sesudahnya. Pendek kata di dalam PPMI tidak ada penyakit anarko sindikalisme, tidak ada permainan dominasi ataupun politicking.
Suasana kerjasama yang ideal itu berlangsung lebih kurang 10 tahun sejak PPMI berdiri tahun 1947. Kerjasama yang ideal dan harmonis antara organisasi-organisasi mahasiswa anggota PPMI itu merupakan manifestasi prinsip “penggalangan kekuatan-kekuatan revolusioner anti-imprealisme (Belanda)” dalam periode revolusi fisik, dan dalam periode setelah pengakuan kedaulatan kerjasama itu merupakan manifestasi “penggalangan kekuatan-kekuatan Pancasilais”.
Sementara itu, di tengah-tengah arus polarisasi politik yang makin deras selama dekade limapuluhan, peranan PPMI di dalam bidang kenegaraan, kemasyarakatan dan kemahasiswaan makin berkurang namun masih mampu melaksanakan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika di Bandung tahun 1957 dan ini boleh dikatakan prestasi nasional yang terakhir dalam hidup PPMI.
Dalam awal dekade enampuluhan, PPMI tidak dapat lagi melanjutkan tradisi kerjasama yang ideal seperti yang diterangkan di atas. Penyakit anarko sindikalisme telah merasuk ke dalam tubuh PPMI, dan berpuncak pada masa merajalelanya jor-joran (sok) revolusioner pada tahun-tahun 1964 dan 1965.
CGMI yang merupakan sambungan (verlengde stuk) dari PKI dan yang diterima sebagai anggota PPMI kira-kira pada tahun 1958, CGMI dan kawan-kawan ini mempraktekkan politicking dan yang serupa – bahkan dalam ukuran-ukuran yang lebih besar – sebagaimana yang pernah dipraktekkan oleh Pesindo dalam Kongres Pemuda pertama di Yogya dan di dalam BKPRI/FPI. (Catatan : bahwa beberapa organisasi pemuda/mahasiswa Pancasilais juga sampai turut terjangkit penyakit itu, hal ini dapat dimengerti – walau tidak dapat dibenarkan – karena besarnya arus jor-joran sok revolusioner itu).
Mengapa HMI yang dijadikan sasaran dalam permainan anarko sindikalisme itu? Hal ini adalah mungkin saja karena HMI yang independen tidak mempunyai induk partai, menurut perhitungan PKI dianggap sebagai sasaran empuk, atau mungkin juga karena PKI memperhitungkan bahwa justru dari HMI yang independen itu muncul pula kader-kader Bangsa Pancasilais yang independen yang mampu memberikan perlawanan yang gigih terhadap praktek-praktek infiltrasi dan dominasi dari PKI dan ormas-ormasnya.
IPPI yang merupakan fusi antara IPI (Ikatan Pelajar Indonesia) dan SMI (Serikat Mahasiswa Indonesia) pada bulan Pebruari 1948, organisasi yang independen ini telah sejak terjadinya fusi itu mengalami perongrongan, infiltrasi dan usaha dominasi oleh oknom-oknom mahasiswa eks SMI yang berorientasi PKI. Sejak awal tahun limapuluhan pertentangan dalam tubuh IPPI antara kelompok Pancasilais dan kelompok komunis berlangsung terus sampai mencapai klimaksnya pada tahun 1958 yaitu tatkala kelompok komunis mendirikan PB IPPI tandingan, dan PB IPPI Pancasilais mengeluarkan statemen mempersilakan anggota-anggota IPPI yang komunis untuk meninggalkan IPPI (Pancasila).
Dalam “pertempuran-pertempuran” selanjutnya antara PB IPPI komunis dan PB IPPI Pancasila, yang disebut belakang mengalami sejumlah setback yang disebabkan sama sekali bukan karena kurang gigih dan kurang militannya para aktivis IPPI Pancasila, melainkan terutama karena kekuatan-kekuatan Pancasilais lain “lengah” memberikan proteksi dan bantuan kepada IPPI Pancasila yang seperti organisasi-organisasi lain yang independen khususnya organisasi-organisasi mahasiswa/pelajar adalah merupakan wadah persemaian kader-kader bangsa, hal ini tanpa mengurangi arti dari organisasi-organisasi mahasiswa/pelajar yang “dependen”.
PB IPPI komunis kemudian dibubarkan oleh Pengemban Supersemar pada tanggal 12 Maret 1966 bersama-sama dengan dibubarkannya PKI dan ormas-ormasnya termasuk CGMI, Perhimi (organisasi mahasiswa keturunan Cina), dan lain-lain.
Dengan dibubarkannya CGMI dan kawan-kawan maka PPMI yang sudah tidak independen lagi dan pada tahun-tahun akhir dari hayatnya menjadi kuda tunggangan PKI dan kawan-kawan – hal ini dengan tidak mengurangi penghargaan kepada PMKRI dan GMKI yang dengan menghadapi CGMI dan kawan-kawan selalu berusaha mempertahankan independensi dan keutuhan PPMI – akhirnya PPMI pada bulan Oktober 1965 membubarkan diri.
H. Kelompok Cipayung
Sejak tercapainya kesepakatan Cipayung pada tanggal 22 Januari 1972 antara HMI, PMKRI, GMKI, dan GMNI dan kemudian dengan ikut sertanya PMII dalam kelompok ini yang dikenal dengan Kelompok Cipayung; dengan melihat hasil-hasil dialog/komunikasi antar mereka, kita dapat mengkonstatasi bahwa sejumlah organisasi mahasiswa yang secara sosiokultural mempunyai latar belakang sosial yang berbeda, namun menunjukkan cara berpikir yang sama sehingga dapat membuahkan pikiran-pikiran yang sama serta cukup berbobot tidak hanya masalah generasi muda dan perguruan tinggi yang merupakan bagian daripadanya, melainkan yang lebih mengesankan adalah pikiran-pikiran mereka mengenai perkembangan Orde Baru selama 11 tahun dalam aspek-aspeknya, sebagaimana dapat dilihat diantaranya dalam Kesepakatan Cipayung tertanggal 15 Januari 1977.
Kelompok Cipayung dengan cara berpikir dan hasil-hasil pikiran mereka yang sama adalah merupakan manifestasi dari sila Persatuan Indonesia, yang menurut Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, persatuan itu dikembangkan atas dasar Bhinneka Tunggal Ika. Sekaligus Kelompok Cipayung itu juga merupakan manifestasi dari prinsip perjuangan bangsa yaitu : “penggalangan semua kekuatan Pancasilais” (samenbundeling van alle Pancasila-istiche krachten) meskipun baru dalam lingkungan terbatas. Tetapi besar harapan lingkungan ini akan meluas, seperti yang telah ditunjukan oleh Kesepakatan Cipayung ke-4 tertanggal 24 September 1978 yang permusyawaratannya tidak hanya dihadiri oleh 5 organisasi mahasiswa “anggota-anggota” Kelompok, tapi juga oleh sejumlah organisasi pemuda dari berbagai latar belakang sosial.
Selama hampir tujuh tahun sejak Kesepakatan Cipayung ke-1 pada bulan Januari 1972, para fungsionaris dari pucuk pimpinan organisasi masing-masing telah berganti namun jiwa dan cara berpikir yang sama tetap tercermin dalam hasil-hasil dialog/komunikasi mereka. Hal ini menunjukkan adanya kesinambungan Kelompok yang disebabkan oleh kesinambungan dalam kepemimpinan masing-masing organisasinya.
Kepemimpinan organisasi-organisasi tersebut pada umumnya mampu memberikan pandangan-pandangan kemasyarakatan yang berimbang (balanced) serta pemikiran-pemikiran yang sedikit banyak adalah konperehensif dalam kaitan kontemporer ataupun perpektif. Kepemimpinan organisasi-organisasi tersebut terbentuk dan terbina melalui jenjang yang relatif cukup lama melalui pelbagai tingkatan organisasi serta disertai dengan sistem tanggung jawab yang demokratis. Mereka melakukan diskusi-diskusi secara rutin, tanpa berpretensi bahwa kepemimpinan mahasiswa dapat dibentuk/dibina hanya dengan diskusi-diskusi saja apalagi yang bersifat eksklusif.
Kegiatan mereka sehari-hari dalam organisasi mengharuskan mereka untuk selalu berkomunikasi secara intensif dengan pelbagai lapisan masyarakat dan fungsionaris-fungsionaris Pemerintah. Komunikasi tersebut membawa efek keterbukaan yang dapat menghindari eksklusifisme ataupun kecenderungan-kecenderungan anarko sindikalisme yaitu sikap merasa benar sendiri dalam konsepsi dan dalam cara dan gaya yang ditempuh untuk memperjuangkan/ menggoalkan konsepsi tanpa member pertanggungjawaban melalui jalur-jalur yang ada.
Organisasi-organisasi mahasiswa anggota Kelompok Cipayung itu telah menunjukkan eksistensi yang benar-benar berakar, tidak hanya dalam persada bumi Indonesia melainkan juga dalam sejarah bangsa setelah proklamasi. Berakar dalam sejarah ialah karena mereka tidak saja mengikuti dinamika dan kreativitas sejarah bangsa melainkan juga mereka sedikit banyak turut memberi warna kepada sejarah bangsa.
Eksistensi masing-masing organisasi “anggota” Kelompok Cipayung itu telah melewati pelbagai masa dalam sejarah bangsa kita dengan pelbagai krisis-krisisnya. Walaupun masing-masing organisasi telah menunjukkan kemampuan melewati krisis-krisis itu, namun eksistensinya tidak terikat kepada adanya krisis (krisis-gebunden). Bandingkan misalnya dengan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang mengalami eksistensi riil hanya dalam waktu tidak lebih dari tiga tahun, karena KAMI yang didirikan pada bulan Oktober 1965 di tengah-tengah krisis negara akibat pecahnya pemberontakan PKI/Gestapu, ternyata KAMI itu hanya dapat bereksistensi dalam masa krisis itu saja.
Kalau ada pertanyaan mengenai dasar hukum formal dari eksistensi organisasi-organisasi Kelompok Cipayung dan organisasi-organisasi pemuda lainnya yang secara riil berakar pada masyarakat Indonesia, maka lepas dari aneh tidaknya pertanyaan itu - jika ada – jawabnya adalah bahwa organisasi-organisasi anggota Kelompok Cipayung dan organisasi pemuda lainnya adalah bereksistensi bersama-sama dengan eksistensi Republik kita ini, sehingga organisasi-organisasi itu dapat dikatakan sudah merupakan lembaga (yang riil) di dalam Republik. Sebagaimana eksistensi Republik adalah berdasarkan Proklamasi (17 Agustus 1945), sedang Proklamasi selain tidak mempunyai juga tidak membutuhkan dasar hukum formal, karena Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan kenyataan dan keharusan sejarah (historische notwendigheid), maka eksistensi organisasi-organisasi tersebut juga terletak pada kenyataan dan keharusan sejarah di dalam kehidupan Republik kita dengan Demokrasi Pancasilanya.
Sebagai seorang yang pernah berkecimpung di dalam PPMI (almarhum), kiranya saya boleh mencatat dengan rasa bangga dan bersyukur kepada Allah s.w.t. bahwa dalam Kelompok Cipayung dengan jiwa, sikap, dan pikiran-pikirannya yang mandiri, tetapi dalam rangka komitmen terhadap nasib bangsa dan negara Pancasila kita, dalam kelompok ini saya melihat semangat dan jiwa yang dulu dimiliki dan dihayati oleh PPMI yang asli.
I. Penutup
Pada bagian penutup ini, saya ingin mengemukakan beberapa pokok pikiran sebagai berikut :
1. Inti hakiki dari kemerdekaan yang kita proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 ialah bahwa pada pihak yang satu kemerdekaan adalah untuk membentuk manusia-manusia yang merdeka yang bebas dari kemelaratan dan ketakutan sebagaimana yang dikumandangkan oleh Winston Churchill dan Roosevelt dalam Atlantic Charter pada bulan Agustus 1941 yaitu freedom from fear and freedom from want, dan ini adalah sesuai dengan bunyi surat Quraisy : fa’lya’budu robba hadza’lbait alladzi ath’amahum min ju’ wa amanahum min khauf (maka mereka mengabdi kepada Allah yang telah membebaskan mereka dari kelaparan dan ketakutan); pada pihak lain, kemerdekaan kita hanyalah dapat dipertahankan oleh manusia-manusia yang berjiwa merdeka yang benar-benar “committed” terhadap nasib rakyat dan negara Pancasila kita.
2. Adanya kader-kader bangsa dan kader-kader kepemimpinan politik adalah syarat mutlak bagi kelestarian hidup bangsa dan negara Pancasila, karena itu perlu diciptakan iklim dan suasana untuk tumbuh dan terbinanya bibit-bibit “political leadership” itu.
3. Organisasi-organisasi pemuda yang mampu secara mandiri berpikir dan bersikap disertai dengan pertanggungjawaban merupakan persemaian yang efektif untuk tumbuh dan terbinanya bibit-bibit kepemimpinan politik itu.
4. Dalam soal kebijaksanaan pembinaan generasi muda, sepanjang mengenai pembinaan kelompok pemuda (mahasiswa/pelajar) yang berumur antara 17 – 30 tahun, kebijaksanaan pembinaan yang terbaik adalah pembinaan yang dilaksanakan oleh pemuda sendiri. Kesadaran mereka untuk mencari dan menemukan sendiri dari siapa saja, dimana saja dan kapan saja mereka akan dapat memperoleh bekal (input) yang akan membuat mereka mampu mewarisi kepemimpinan hari depan. Peranan generasi tua atau generasi senja adalah sekadar “tut wuri handayani”, biarkanlah seratus bunga pemuda tumbuh dan berkembang di dalam taman Pancasila.
5. Setiap wadah komunikasi/kerjasama antarpemuda hanya akan berhasil jika wadah tersebut dapat bersikap independen, lepas dari setiap pengendalian; dan wadah komunikasi/kerjasama itu baru akan mampu untuk bersikap independen jika organisasi-organisasi anggotanya juga bersikap independen (tentu saja dalam rangka komitmen terhadap nasib rakyat dan negara Pancasila kita).
6. Dalam soal ideologi, Orde Baru telah berhasil mengalihkan sikap ideology (partai) oriented menjadi program oriented, tetapi sikap program oriented itupun mestilah tetap di atas rel ideologi Pancasila; ideologi tanpa program adalah kosong, program tanpa ideologi adalah nyelonong.
7. Polarisasi politik yang terjadi selama Revolusi Fisik (1945-1949) di daerah Republik, selain telah melemahkan posisi Negara RI dalam menghadapi Belanda, juga telah menjurus kepada pemberontakan PKI ke-1 di Madiun (1948). Polarisasi politik yang terjadi di dalam dekade limapuluhan telah memberi peluang kepada comeback-nya PKI yang kemudian menjurus pula kepada pemberontakan PKI/Gestapu ke-2 tepat 13 tahun yang lalu. Demi suksesnya pembangunan yang dapat menuju kepada tercapainya masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila, haruslah dihindari setiap bentuk polarisasi, dan haruslah dilaksanakan prinsip perjuangan bangsa : “penggalangan semua kekuatan Pancasilais”. Di dalam penggalangan inilah terletak manunggaling pemerintah dan rakyat, manunggaling ABRI dan rakyat, manunggaling pemuda dan Pemerintah/ABRI, serta manunggaling pemuda dan rakyat.
8. Setiap bentuk “penggalangan kekuatan-kekuatan Pancasilais” antar pemuda/mahasiswa harus disambut secara positif dan konstruktif.[]
2
Nasionalisme Pemuda Indonesia dan
Tantangan Dekolonisasi
Revolusi Fisik dan Semangat Nasionalisme Pemuda
Pemuda sebagai pusat wacana kontemporer keindonesiaan merupakan sesuatu yang kontekstual dan tetap actual dibicarakan, seiring perubahan generasi ke generasi. Selain karena dalil-dalil tentang pemuda yang masih tetap berlaku secara kontekstual seperti dalil yang berasal dari Belanda misalnya, “siapa yang memiliki pemuda akan menguasai masa depan” atau ungkapan yang ada di Indonesia seperti “pemuda harapan bangsa” bukan hanya sebagai mitos atau retorika belaka, melainkan sebuah kemestian yang akan terjadi secara nyata, dan secara tegas pula terungkap dalam hikmah pepatah Arab yaitu “Sesungguhnya di tangan pemudalah terletak nasib ummat dan dalam keberaniannya terletak hidup bangsa”.
Dalam konteks keindonesiaan peranan pemuda dengan segala ‘sepak terjangnya’ sudah dibuktikan melalui fakta sejarah pada proklamasi kemerdekaan Indonesia. Walaupun yang memproklamasikan adalah pemimpin-pemimpin bangsa seperti Bung Karno, Bung Hatta dan pemimpin bangsa lainnya, tetapi yang melaksanakan secara fisik di lapangan adalah pemuda.
Pertama, itu terlihat pada peristiwa penurunan Bendera Hinomaru Jepang dan penaikan Bendera Merah Putih di beberapa daerah seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Bandung. Peristiwa penurunan bendera Jepang dan penaikan Sang Merah putih yang menandai berlangsungnya revolusi fisik, kebanyakan dilakukan oleh para pemuda. Kedua, peristiwa pelucutan tentara Jepang seperti yang terjadi di Yogyakarta pada tanggal 6 Oktober 1945, yang dipimpin oleh salah seorang mantan Daidancho PETA Pak Saleh (almarhum), para pemuda yang sebagian besar terdiri dari pemuda pelajar turut serta di lapangan dalam pengepungan terhadap tangsi-tangsi Jepang yang diikuti dengan upaya menduduki kantor-kantor pemerintahan yang kemudian diserahkan kepada Komite Nasional Daerah setempat.
Pemuda pelajar sebagai komponen terbesar yang terlibat secara kritis dan sanggup berdiri di garis depan perjuangan revolusi fisik, disamping pemuda lainnya yang turut membantu di garda belakang sebagai orang-orang yang mensuplai logistik dan bertindak membantu penyelamatan yang dilakukan Palang Merah Indonesia.
Kekritisan pemuda pelajar dalam perjuangan revolusi fisik terhadap tindakan para pemimpin yang seolah-olah digambarkan sebagai kemarahan para pemuda terhadap tindakan yang diambil para pemimpin, muncul selain didorong oleh semangat untuk melepaskan belenggu penjajahan yang sudah dialami, sebelumnya juga dipengaruhi oleh ketidaktahuan mengenai maksud-maksud lain yang dipikirkan oleh pemimpin bangsa pada saat itu.
Ambil contoh seperti terjadinya beberapa perundingan, misalnya Perundingan Linggarjati, Renville, dan KMB. Para pemuda yang berada pada garis depan revolusi fisik seperti di Yogyakarta, menyebut perundingan KMB sebagai “Kompromi Menguntungkan Belanda”, dan menilai perundingan Renville menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang “lembek”, yang semua itu muncul karena tidak berjalannya proses komunikasi antara perjuangan fisik dan perjuangan diplomasi.
Kepeloporan dari semangat nasionalisme dan heroiknya perjuangan yang dilakukan pemuda di Yogyakarta yang tergabung dalam GASEMA (Gabungan Sekolah-sekolah Menengah Mataram) yang berdiri sejak jaman Jepang, merupakan salah satu contoh dari sekian banyak pemuda pada masa revolusi fisik yang turut terlibat langsung mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Disamping para pemuda pelajar yang turut berjuang, tidak kalah heroiknya perjuangan yang dilakukan oleh mahasiswa disana. Bertepatan dengan aksi militer Belanda pertama, pada tanggal 21 Juli 1947, mahasiswa yang tergabung dalam Korps Mahasiswa Yogyakarta mengikuti pelatihan militer singkat yang diadakan oleh MBT (Markas Besar Tentara) Yogyakarta selama satu pekan dengan materi pelatihan seperti menggunakan senjata baik senapan, pistol, bahkan senapan mesin kuno yang dulu dikenal oleh orang-orang Belanda dan Indonesia dengan nama Water Mantell, disamping diajarkan pula cara menggunakan granat, bahan peledak dan detector, yang sebelumnya jarang digunakan.
Setiap pemuda yang sehat dan mempunyai peluang untuk dikirim ke garis depan, sebagian besar adalah pelajar, mereka terlibat selain mempunyai waktu, kesempatan dan sedikit memperoleh pelatihan perang dari Jepang, juga ditopang dengan semangat nasionalisme yang terus mengalir dan diwariskan oleh para generasi masa pergerakan nasional. Ketika tentara Sekutu mulai mendekati Indonesia, pelajar tentara yang dilatih, yang tadinya hanya menggunakan senjata yang terbuat dari kayu, akhirnya diberikan pelatihan dengan menggunakan senjata sesungguhnya yaitu seperti senjata paling kuno yang dikenal dengan “sejata petir”, disebut demikian karena pelurunya diisi tidak secara otomatis dan semi otomatis.
Secara akhlak dan secara mental betul-betul amat ideal, saat itu kita tidak merasa karena memang semuanya begitu. Contohnya saat kesulitan mendapatkan pangan para pemuda rela dirinya hanya makan kalau ada makanan, baik ketika jaman Jepang atau sesudahnya. Namun demikian tidak ada yang bertindak korup atau ‘nakal’.
Walapun secara intelektual dibandingkan sekarang mungkin tidak bisa dibandingkan dan tertinggal, namun memiliki mental dan semangat yang kuat. Kebanyakan pemuda yang bergerak di garis depan medan pertempuran hanya bermodalkan semangat untuk melepaskan kolonialisasi Belanda, dan sedikit sekali yang memiliki kemampuan intelektual yang lebih. Jadi pada periode revolusi fisik diperlukan dua modal penting, yaitu modal akhlak dan fisik yang baik.
Pada masa penjajahan Belanda para pemuda sudah mendapatkan pendidikan antikolonialisme, karena itu semangat untuk menentang penjajahan dan menghapuskan penjajahan dari Indonesia merupakan suatu tekad yang bulat dan bahkan siap untuk mempertaruhkan segala apa yang ada pada diri pemuda hingga jiwa raganya. Pendidikan politik yang ada pada diri pemuda saat itu ada yang berasal dari pemimpin politik secara langsung ataupun ada yang melalui tulisan-tulisan yang dibuat oleh para tokoh pergerakan dan politisi nasional, seperti Sukarno, Hatta, Cokroaminoto dan lainnya. Karena pemimpin merupakan suatu panutan yang dapat dijadikan tauladan. Ini berbeda dengan pemimpin bangsa sekarang yang minim untuk dijadikan tokoh atau pemimpin panutan.
Para pemuda yang sebagian berasal dari kalangan mahasiswa dan pelajar yang turut berjuang, walaupun ada pemikiran untuk mengisi kemerdekaan namun belum begitu luas. Pertama, tentang maksud kemerdekaan secara sederhana namun lugas adalah tidak ada lagi orang Belanda di wilayah Indonesia. Kedua, yang menjadi perhatian pemuda adalah bahwa mereka mulai melihat ada dua macam tipe pemimpin yaitu pemimpin yang setia dan konsisten terhadap Republik, dan pemimpin yang tidak setia terhadap Republik. Inilah yang menjadi pemikiran generasi muda masa revolusi yang berupaya memaknai kemerdekaan, sebagaimana hakikat kemerdekaan yang mereka rasakan sendiri.
Mulai tahun 1950-an terdapat ketidakkonsistenan dari sikap pemimpin yang dipanut, hal itu sangat menyedihkan kalangan pemuda, yang selama ini menganggap pemimpin yang dipanuti dan diidolakan bahkan sebagai sumber semangat perjuangan mereka. Hilangnya kepercayaan sebagian besar pemuda terhadap pemimpin yang mereka tauladani selama ini adalah karena perubahan sikap dari sebagian pemimpin yang ada. Seperti sikap sebagian pemimpin terhadap orang-orang yang tadinya pro-Belanda, selain tidak menghukum mereka, malah memberi kedudukan tinggi dengan menjadikan diantara para pengkhianat dan pembelot tersebut sebagai menteri dan kedudukan strategis lainnya, contohnya Anak Agung Gde Agung yang menjabat Menteri Luar Negeri masa setelah dibubarkannya RIS. Tindakan yang diambil sebagian pemimpin dan tokoh politik Indonesia berbeda dengan tindakan yang dijalankan pemerintah Prancis terhadap warganya yang membelot dan mendukung Nazi Jerman. Para pemimpin Prancis selain menggunduli kepala wanita yang mendukung Nazi Jerman, mereka juga dipenjarakan dan dikenakan hukuman.
Pemuda sebagai Garis Depan Perbaikan Bangsa
Upaya memikirkan mengisi kemerdekaan dalam bidang teknologi dan ideologi secara sadar sebenarnya belum dapat terjangkau dan terpikirkan dengan sistematis dan baik, namun demikian mengenai pemahaman ideologi lambat laun mulai dipelajari melalui buku-buku dan literatur-literatur yang ada.
Setelah merdeka syarat pemuda meliputi pertama, mempunyai idealisme untuk mempunyai semangat juang. Kedua, mempunyai intelektual untuk mengetahui ideologi yang berkembang baik sosialisme, kapitalisme maupun Islam. Hal itu dapat ditempuh dengan cara berdiskusi bersama pemimpin atau tokoh-tokoh seperti Bung Karno, Bung Hatta, Cokroaminoto, dan lainnya, yang bermanfaat dalam menumbuhkan kesadaran idelogi tidak hanya pada pemimpin-pemimpin tetapi juga pada rakyatnya.
Berbeda dengan kondisi sekarang yang kurang memiliki kesadaran secara ideologi yang berakibat kurangnya semangat dan jiwa nasionalisme, jangankan pada rakyat kebanyakan pada diri pemimpinnya pun kurang mempunyai jiwa nasionalisme, sehingga tidak mempunyai kemauan bargaining yang tinggi di dunia internasional. Hal itu terlihat pada beberapa tekanan Amerika terhadap pemerintah Indonesia dewasa ini, seperti tuntutan pengusutan pelanggaran HAM di Timtim dan kasus tewasnya 3 orang petugas PBB di Atambua, merupakan salah satu upaya menyudutkan Indonesia di dunia internasional.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa pemimpin pemerintah sekarang ini tidak punya jatidiri dalam berhadapan dengan pihak luar negeri. Kondisi ini tidak hanya dialami oleh pemerintah melainkan juga terjadi pada Komnas HAM, ketika mereka mendapat tekanan dari PBB, mereka mendahulukan pengusutan pelanggaran HAM di Timtim, dan baru mengadakan pengusutan terhadap kasus pelanggaran HAM yang terjadi di daerah Indonesia lainnya setelah mahasiswa dan masyarakat kebanyakan berteriak menuntut keadilan terhadap pengusutan pelanggaran HAM yang sama. Ini suatu hal yang ‘lucu’ padahal sebelumnya pelanggaran HAM sudah lebih dahulu terjadi di Aceh, Maluku, Tanjung Priok, dan daerah lainnya.
Dan lebih memprihatinkan lagi adalah kondisi generasi muda sekarang, yang mana nasionalismenya kurang teguh, bahkan ada kemerosotan dalam jiwa nasionalisme dan kepatriotannya. Di lain pihak kesadaran ideologi sangat kurang, walaupun founding fathers sangat serius menggali Pancasila. Tetapi karena diselewengkan oleh Suharto dan rezim Orde Baru, akibatnya rakyat dan para pemudanya acuh terhadap Pancasila, bahkan sampai berpendapat bahwa Pancasila telah gagal sebagai ideologi, yang sebenarnya tidak demikian. Yang gagal adalah Suharto, karena sesungguhnya ideologi lebih berperan, pertama ideologi merupakan perekat bagi persatuan bangsa, kedua ideologi juga berperan sebagai petunjuk bagi perjalanan bangsa ini, sebab kebangsaan tidak boleh hanya kebangsaan saja seperti di Barat yang tanpa arah tanpa tujuan, yang kemudian berubah menjadi negara imprealisme.
Oleh karena itu belajar dari pengalaman negara Barat, Indonesia memberi arah dan dasar pada nasionalisme dan kebangsaannya dengan dasar Pancasila. Namun sekarang permasalahannya adalah perasaan memiliki Pancasila sebagai sebuah ideologi pada diri pejabat negara, baik pemerintah maupun DPR, terkesan sangat ‘melempem’, kendati baru-baru ini pada tanggal 1 Juni 2000, bertepatan dengan hari lahirnya Pancasila, Presiden Abdurrahman Wahid mengumandangkan eksistensi Pancasila sebagai landasan hidup bernegara, namun setelah itu tidak terdengar lagi.
DPR sendiri juga tidak bergaung mengumandangkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara. Ambil contoh dalam rencana penyusunan UU Pers pada bulan September 1999, salah satu pasalnya menyebutkan pers nasional harus menjunjung tinggi hak asasi manusia, menjunjung tinggi moralitas, tetapi tidak ada disebut tentang ninai-nilai dan prinsip yang terkandung dalam Pancasila. Padahal Pancasila secara ideologis, sebenarnya tidak hanya antikomunisme, tetapi juga antikapitalisme, feodalisme, dan fasisme. Sedangkan pasca Orde Lama yang ditekankan Angkatan Darat hanya anti komunisme, yang dilanjutkan oleh pemerintahan rezim Orde Baru, dan itulah sebenarnya yang merusak Pancasila.
Sebuah bangsa tanpa ideologi akan sulit untuk eksis dalam percaturan dunia internasional. Apalagi negara-negara yang baru merdeka setelah perang dunia kedua seperti Indonesia, sebab terjadinya perang-perang dunia juga diakibatkan oleh ideologi Barat, yaitu ideologi kapitalisme yang tujuannya untuk mencari keuntungan, dan perang salah satu upaya untuk mencari keuntungan tersebut. Misalnya perang Vietnam, yang sebenarnya bertujuan bukan untuk menggulung komunisme melainkan kepentingan untuk mencari negeri jajahan dan mencari pasar baru bagi penjualan senjata Amerika. Hal inilah yang mengakibatkan Nixon harus ‘hengkang’ dari ladang penjualan senjatanya di Vietnam, setelah mahasiswa melakukan demonstrasi menggugat kebijakan perang dengan Vietnam yang tujuannya sudah keluar dari apa yang sebenarnya digariskan dari tujuan peperangan secara umum yaitu mempertahankan kedaulatan negara.
Menggapai Kembali Kesadaran Ideologi yang Terlupakan
Kesadaran ideologi dan nasionalisme Indonesia yang ‘lemah’ diakibatkan oleh kebijakan pemerintahan Suharto selama 32 tahun berkuasa yang menyelewengkan Pancasila. Pemuda biasanya melihat dari pemimpin yang dijadikan panutan dalam berbagai bidang. Ambil contoh misalnya jika pemimpinnya mempunyai wawasan kebudayaan dapat kita lihat prilaku generasi muda yang tersajikan di televisi dan media massa, yang sekarang ini sangat memprihatinkan seperti trend berpakaian yang tidak sesuai dengan nilai budaya bangsa dan agama.
Upaya membangkitkan kembali nasionalisme, patriotisme, idealisme, dan juga Pancasila merupakan hal yang sangat relevan dan dibutuhkan dalam kondisi negara sekarang ini. Dalam rangka membangkitkan kembali nilai-nilai tersebut dapat ditemph dengan jalan menyebarkannya kembali dalam masyarakat, tetapi caranya bukan oleh pemimpin-pemimpin yang cacat secara moral, melainkan harus dilakukan oleh pemimpin yang tetap konsisten dalam jalan kebenaran dan memperjuangkan keadilan. Ini penting terkait dengan kepercayaan dan integritas dari pemimpin bangsa yang sekarang ini semakin menurun dimata masyarakat secara umum, yang untuk merubahnya membutuhkan kerja keras dan pengorbanan yang tidak kecil baik secara materiil, spirituil dan waktu yang panjang untuk mewujudkannya. Lebih penting lagi adalah menampilkan pemimpin yang bersih dan berani memberikan tauladannya kepada generasi muda dan secara umum kepada masyarakat.
Kerusakan yang sangat hebat melanda negeri ini terutama pada aspek akhlak dan moral pemimpin membutuhkan waktu perbaikan yang tidak sebentar. Oleh karena itu kondisi Indonesia dalam jangka pendek dan jangkan panjang diperkirakan masih belum cerah. Perbaikan terhadap kondisi tersebut membutuhkan waktu minimal 10-20 tahun dan bisa lebih dari itu.
Celakanya lagi krisis moral dan akhlak tersebut menimpa para elite politik dan para pemimpin. Ini merupakan krisis yang paling besar yang membutuhkan waktu panjang untuk memperbaikinya. Siapa yang menduga bahwa KKN masih berjalan dalam format yang lebih besar. Seperti BLBI, KKN Suharto, keluarga, dan kroni-kroninya merupakan masalah serius yang harus ditangani secara serius pula oleh penegak hukum, yang selama ini ternyata ditangani secara tidak serius oleh penegak hukum terutama Jaksa Agung kita sekarang ini.
Lebih memiriskan lagi adalah putusan hakim yang menyatakan penghentian penyelidikannya secara permanen dengan alasan kesehatan. Yang sepatutnya dipertanyakan, apakah hakim yang tidak tahu bahwa kesehatan itu bersifat tidak permanen (sementara) karena kesehatan itu bisa berubah-ubah tergantung kehendak Yang Maha Kuasa, atau karena tidak mau tahu sehingga menghentikan begitu saja proses hukum atas kasus KKN Suharto.
Kondisi Indonesia dapat berubah. Kuncinya terletak pada pemimpin yang benar-benar bersih, yang nasionalismenya tidak diragukan, yang betul-betul taat pada ajaran agamanya. Inilah yang dapat menghadapi imperealisme sebagai sistem kedzaliman produk Amerika yang harus dihadapi. Selain itu kita juga tidak perlu mendikotomikan antara nasionalis dan agama. Dan kita tidak perlu takut terhadap luar negeri, yang juga bukan berarti kita harus menantang dan mengembangkan permusuhan, tetapi kita harus berani membela harga diri kita.
Perjalan sejarah ditentukan dari perjalanan kita saat ini dalam mengatasi krisis-krisis yang sedang terjadi sekarang, disamping tanggung jawab meneruskan kepemimpinan yang baik atas bangsa dan negara yang akan datang, yang merupakan tugas pemuda sekarang yang peduli akan masa depan bangsanya. Walaupun yang peduli itu tidak banyak, tetapi sejarah itu ditentukan oleh pemuda yang peduli.
Pemuda yang sedikit dan peduli akan nasib bangsanya itulah yang harus kita urus secara bersama-sama, sebab mereka yang sedikit dan kadang-kadang spontan ini, kurang tahu aspek ideologi. Padahal dunia ini masih amat diwarnai oleh perjuangan ideologi atau oleh pihak-pihak yang ingin memaksanakan ideologinya kepada pihak lain, seperti Amerika dengan globalismenya.
Globalisasi sebagai bagian dari globalisme Amerika, dengan pandangan hidup liberalnya, merasa sebagai sistem yang terbaik yang coba dipaksakan ke seluruh dunia, jangan sampai menjebak generasi muda Indonesia. Oleh karenanya melakukan pengkaderan terhadap generasi muda yang dipersiapkan sebagai pemimpin bangsa merupakan langkah penting yang harus secara serius dijalankan secara sistematik.
Demi menjaga nasib negara di masa depan, kaderisasi yang berkesinambungan penting untuk dijalankan, karena itu pengkaderan harus dilakukan dua arah, pertama dari keinginan pemuda sendiri untuk mempelajari ideologi dan sejarah kebangsaan Indonesia, disamping dia harus membekali diri dengan kemampuan ilmu dan teknologi, dengan kata lain harus terdapat kombinasi yang sinergi pada setiap individu pemuda antara semangat, ideologi, dan teknologi.
Dengan kata lain, kita jangan sampai terjebak pada pengertian sumberdaya manusia yang diartikan secara sempit yaitu hanya sebagai teknolog untuk ditempatkan dalam struktur tekno yang sebenarnya merupakan struktur kapitalisme. Pengkaderan itu sesuatu yang penting untuk dijalankan, tetapi harus spontan dimulai dari pribadi pemuda, dan orang tua turut membantu, karena orang tua mempunyai kelebihan dalam pengalaman, penghayatan ideologi karena ideologi merupakan pegangan suatu bangsa.
Untuk Indonesia ideologi yang cocok adalah demokrasi, tetapi bukan demokrasi dengah liberalisme yang absolut, karena pengalaman tahun 1950-an dengan demokrasi liberalisme lalu kita mengabaikan aspek ideologi nasional yaitu Pancasila. Malahan kemudian muncul pertentangan antara Pancasila dengan Islam, misalnya orang-orang Islam mengalternatifkan untuk membuat pilihan antara Islam atau nasionalisme, sedangkan dari pihak nasionalis menganggap orang yang beraspirasi Islam sebagai orang yang tidak nasionalis. Ini merupakan kekeliruan besar, karena dalam fakta sejarah yang pertama kali menentang inperialisme Belanda adalah tokoh-tokoh dalam Syarekat Islam, bukan Budi Utomo, ambil contoh seperti KH A. Dahlan, KH Mas Mansur, Cokroaminoto, dan lain-lain.
Oleh karena itu dikotomi antara Islam dan nasionalis harus dibuang. Maka untuk Indonesia yang menjadi tulang punggungnya adalah Islam dan juga nasionalisme, tentunya nasionalisme yang beragama. Itu sesuai dengan tuntutan dan aspirasi rakyat yang mengharapkannya, karena kebetulan mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam, maka tentunya pemerintah juga harus lebih memperhatikan setiap kebijakan-kebijakan yang keluar jangan sampai bertentangan dengan aspirasi rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.[]
3
Dibutuhkan Pendobrakan Intelektual
Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat kita, termasuk pula para pemimpinnya, sedang dilanda krisis nilai. Dan tak sedikit pemimpin kita – di berbagai kalangan dan tempat - yang tidak lagi menjunjung nilai-nilai. Sungguh amat membahayakan! Jika dibiarkan berlarut-larut, negara dan bangsa ini akan ambruk.
Kondisi sekarang memang tidak mendekatkan kita ke arah aspirasi yang terkandung dalam Pancasila, nilai-nilai dasar dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Kita bisa melihatnya dalam berbagai segi kehidupan. Sebagai contoh, di bidang ekonomi saya ingin mempertanyakan, apakah perekonomian yang berkembang seperti sekarang inikah yang dimaksudkan dengan perekonomian Pancasila? Saya melihat bahwa pasal 33 UUD 1945 masih juga belum diletakkan sebagai dasar. Demikian juga dalam bidang politik, saya ingin mempertanyakan apakah kerakyatan yang dimaksudkan oleh UUD kita adalah penentuan yang serba dari atas dan bukannya partisipasi aktif dari rakyat sendiri?
Pancasila sebetulnya telah dijabarkan dalam UUD 1945. Meskipun singkat, UUD 1945 telah mencakup segala hal yang penting. Masalahnya adalah, apakah kita mau sungguh-sungguh menarik implikasi logis dari UUD 1945 itu? Ya, tinggal menarik implikasi logisnya saja. Mau atau tidak?
Kita telah sama-sama maklum akan UUD kita yang amat singkat itu. Dengan demikian terasa diperlukan undang-undang organik sebagai pelaksanaan pasal-pasalnya. Di dalam undang-undang organik itulah terletak aturan operasionalnya. Tanpa adanya undang-undang organik itu, bagaimana kita dapat menjalankan UUD kita dan bagaimana kita mewujudkan Pancasila dalam kehidupan kita bernegara? Tetapi sampai sekarang masih begitu banyak undang-undang organik yang belum kita miliki. Yang saya maksudkan adalah undang-undang organik yang memang memenuhi panggilan UUD. Undang-undang organik itu bukan hanya secara formal, tetapi juga materiil harus mencerminkan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Sekarang ini sudah ada UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang merupakan undang-undang organik dari pasal 24 UUD 1945.
GBHN 1978 telah memerintahkan pembuatan Undang-undang Pokok Pertahanan dan Keamanan Nasional yang merupakan undang-undang organik pasal 30 UUD 1945, sementara itu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sedang menyiapkan Rancangan Undang-undang Pendidikan Nasional yang akan merupakan undang-undang organik dari pasal 31 UUD 1945. Tetapi mengapa sampai sekarang belum ada prakarsa untuk membuat undang-undang organik yang akan merupakan pelaksanaan dari pasal 28 UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan mengeluarkan pikiran, serta pasal 33 UUD 1945 yang undang-undang organiknya akan merupakan sokoguru dari Ekonomi Pancasila.
Garisnya Belum Ditarik
Perjalanan sejarah kita dalam berbangsa dan bernegara telah memperlihatkan hal ini. Memang negara yang kita proklamasikan adalah Negara Pancasila. Tetapi karena pada waktu itu kita berada dalam kondisi revolusi mempertahankan kemerdekaan itu maka kita belum bisa melaksanakan Pancasila. Sayangnya, dalam situasi yang demikian politik kitapun bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Kita membiarkan adanya partai yang ideologinya bertentangan dengan Pancasila, yaitu Partai Komunis Indonesia. Dalam sistem pemerintahan kita mulai mengenal jabatan Perdana Menteri. Kemudian muncul Konstitusi RIS 1949. Dan kita semua mengetahui bahwa apa yang dirumuskan dalam preambulnya bukan Pancasila. Sama halnya dengan UUDS 1950.
Dari tahun 1945 sampai dengan tahun 1950-an orang memang tidak banyak membicarakan Pancasila. Dalam ceramah partai-partai, saya jarang mendengar Pancasila disebut-sebut. Baru pada tahun 1959 kita mulai mendengungkan kembali Pancasila sebagai aspirasi bangsa. Namun pengarahannya menyimpang sehingga Pancasila menjadi Nasakom. Sungguh menyedihkan! Perumusan Pancasilapun berbeda dengan yang dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Kemudian tahun 1966 kita mulai dengan jaman Orde Baru, yang merupakan reaksi terhadap jaman sebelumnya, jaman Orde Lama. Kembali Pancasila dan UUD 1945 didengungkan. Dan perbedaan sebenarnya antara Orde Lama dan Orde Baru adalah dalam “state of mind”. Sebab Orde Baru menganut sikap bathin untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Teoritis memang demikian. Orde Baru mau meluruskan kembali Pancasila dan UUD 1945 yang telah diselewengkan pada jaman Orde Lama. Tetapi prakteknya banyak yang sama, dalam arti pada jaman Orde Barupun banyak terjadi penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
Jadi, diukur dari pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 perjalanan sejarah kita hanya terputus-putus tetapi malah garisnya belum ditarik sama sekali.
Pemimpin dalam Krisis Nilai
Lantas apa yang mendasari semua ketidakberesan itu? Bagi saya yang menyolok adalah kontradiksi yang terdapat di berbagai bidang serta pada lapisan pimpinan kita dalam memecahkan persoalan yang dihadapi oleh bangsa dan Negara kita. Kontradiksi antara yang idealis, serius dan sungguh-sungguh dengan mereka yang oportunis, tidak sungguh-sungguh dan seringkali hanya sekedar “lip service”. Jadi pertarungannya adalah kredibilitas dan nonkridibilitas. Antara omongan yang dapat dipercaya dan omongan yang tidak dapat dipercaya. Antara yang konsisten dan tidak konsisten atau katakanlah, kaum “profitir” atau tukang catut di segala bidang, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Para tukang catut ini yang sering terlihat menampilkan tema-tema umum yang populer tapi klise, tanpa kesungguhan mengerjakannya. Mereka mengucapkan Pancasila hampir saban hari, tetapi sikapnya sehari-hari tidak mencerminkan pengamalan Pancasila. Jadi tegasnya, pertarungan ini berlangsung antara orang-orang yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip dan orang-orang yang juga mengucapkan prinsip-prinsip yang sama dalam kata-kata, namun dalam tindakan samasekali bertentangan.
Mengapa hal ini saya pandang menyolok, karena lapisan yang berpikir itu adalah lapisan para pemimpin. Kontradiksi yang terdapat pada lapisan ini memang tidak menyolok jika dipandang sepintas. Tetapi dengan pengamatan yang mendalam, gejala ini terasa serius. Sekarang ini, dua orang bisa saja mengucapkan tema yang sama, tetapi isi hatinya belum tentu sama. Inilah sukarnya. Semua orang bicara demokrasi. Semua orang bicara pemerataan. Dan semua orang bicara kepentingan rakyat. Akibat dari pertarungan yang saya lukiskan ini ialah munculnya bermacam-macam persoalan yang sering kita jumpai dewasa ini.
Pertentangan yang saya sebutkan tadi disebabkan oleh krisis nilai yang tengah dialami oleh kebanyakan pemimpin kita. Adanya krisis nilai ini berbahaya sekali. Para pemimpin mau menjunjung nilai-nilai atau tidak? Kalau tidak mau, akibatnya bangsa dan negara kita akan ambruk. Karena setiap bangsa dan negara bertopang pada nilai-nilai. Dan secara umum kita dapat mengatakan bahwa memang masyarakat dan negara kita sekarang ini sedang dilanda krisis nilai.
Maka tidak mengherankan kalau pada masa Orde Baru ini terjadi lagi suatu perkembangan ke arah penyimpangan dari Pancasila dan UUD 1945. Dalam bidang ekonomi gejala itu terasa ketika kita mulai berbicara soal “memperbesar kue nasional” tanpa terlebih dahulu meletakkan kerangka yang kokoh bagi “rule of law”. Seharusnya Undang-undang tentang Penanaman Modal Asing disusul dengan meletakkan kerangka lainnya untuk menjamin adanya keadilan disamping kemakmuran. Sebab UUD 1945 kita sudah memberi kita konsep “adil dan makmur”. Ini jelas tidak sama dengan “makmur dan adil”. Implikasi dari rumusan “adil dan makmur” menurut pandangan saya ialah “kalau bisa kemakmuran itu terselenggara dalam alam keadilan. Itu kalau memang bisa. Kalau tidak, ya keadilan dulu yang harus diwujudkan”. Yang salah adalah kalau berpikir “kemakmuran dikejar dulu, keadilan menyusul di belakang nanti”. Ini tidak sesuai dengan rumusan “adil dan makmur”. Dan orang yang “sudah terlanjur” menerima jatah besar dari kue nasional tidaklah akan dengan sukarela menyerahkan (sebagian) jatahnya itu. Oleh karena itu perlu dirumuskan, apa yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” dalam pasal 33 UUD 1945. Apa yang sebetulnya dimaksudkan dengan “cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak”.
Dalam bidang politik gejala itu sudah terasa sebelum 1971. Sejak saat itu terjadi apa yang menurut istilah saya, saya sebut regimentasi. Orang lain mengatakannya sebagai kecenderungan “monolitisme”. Pokoknya terjadi regimentasi dalam bidang politik. Dalam monolitisme, dikehendaki agar semuanya sama. Saya menyebut regimentasi karena sebetulnya yang dikehendaki tidak perlu semuanya sama, asalkan “bisa diatur”. Atau dengan kata lain, “beda boleh, asal nurut”. Dan ini yang terlihat jelas dalam struktur politik kita sekarang ini. Menurut pendapat saya, struktur politik formal yang ada sekarang ini tidak memadai, tentu saja apabila diukur dari ukuran demokrasi, yaitu demokrasi Pancasila. Sebab demokrasi yang kita praktekkan sekarang baru bersifat atributif, belum riil. Artinya perlengkapan demokrasinya memang ada, tetapi secara riil berfungsinya masih jauh dari apa yang seharusnya.
Kita Butuh Revolusi
Betapapun keadaannya, kita tidak boleh menyerah. Kita harus bisa merubahnya. Nilai-nilai harus kita pertahankan dan resapkan. Antara lain bisa dengan jalan memberikan pendidikan, termasuk pendidikan politik, kepada masyarakat kita, entah dalam bentuk lisan maupun tulisan. Harus ditekankan bahwa masalah ini serius dan oleh karena itu tidak boleh dibiarkan berkelanjutan. Kalau bangsa kita sampai menjadi bangsa “floating”, wah mengerikan! Bangsa yang mengambang tidak mempunyai masa depan. Mungkin sekarang efeknya terlihat kecil, tetapi nanti akan berkembang ke arah yang lebih gawat. Untuk itu penting agar kondisi subyektif terus terpelihara. Kondisi obyektif nanti akhirnya akan mendukung. Saya yakin akan hal ini, pertama-tama saya percaya kepada Tuhan. Dan juga saya pernah mengalami perkembangan kondisi obyektif yang demikian. Misalnya pada masa orde lama, kita melihat akhirnya kondisi obyektif bisa berubah ke arah yang samasekali sukar terbayangkan sebelumnya. Dalam kaitan dengan kondisi subyektif itu tadi masih banyak kelompok atau kalangan yang bisa diharapkan. Mereka itu memiliki potensi.
Kemungkinan lain adalah revolusi. Revolusi kan tidak identik dengan pertumpahan darah. Saya sendiri berpendapat bahwa perubahan itu harus melalui revolusi dan tentu saja revolusi dalam artian perubahan menyeluruh tetapi tetap di dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945. Hal ini mungkin, sebab dalam prakteknya dulu pernah terjadi. Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit untuk kembali ke UUD 1945. Ini revolusi juga dan terlaksananya tanpa pertumpahan darah. Nah yang demikianlah yang saya inginkan.
Memang kita membutuhkan revolusi. Revolusi sebagai alat dan bukan sebagai tujuan. Kalau revolusi sebagai alat, jangka waktunya tentu tidak bisa terus menerus. Maka apabila kita berbicara revolusi sebagai alat, saya memandangnya telah selesai untuk tahap-tahap yang dibutuhkan. Misalnya untuk proklamasi kemerdekaan atau Dekrit Presiden 1959. Dalam dalam kaitan dengan dekrit ini, kita patut mencatat dalam sejarah peranan Universitas Gajah Mada yang mengadakan seminar. Salah satu hasil seminar itu ialah anjuran untuk kembali ke UUD 1945. Ini merupakan pendobrakan intelektual yang berani terhadap kondisi status qou tahun 1959 itu. Kaum intelektual melakukan pendobrakan intelektual. Ini suatu revolusi. Nah revolusi seperti ini yang kita harapkan nanti terjadi. Untuk itu kita membutuhkan lagi elan revolusi.
Jangan Takut Akibat
Revolusi itu hendaknya merupakan perubahan mendasar di segala bidang, terutama yang menyangkut strategi pembangunan kita sekarang ini. Memang trilogi pembangunan yang sekarang sudah berubah. Pemerataan merupakan prioritas utama, kemudian disusul dengan pertumbuhan dan stabilitas nasional. Tetapi ini adalah strategi baru yang realisasinya masih merupakan tanda tanya. Nanti baru bisa kita menilai, apakah pemerataannya benar-benar terselenggara secara konsekuen atau tidak. Apakah pertumbuhannya telah dapat dipertahankan dan ditingkatkan atau tidak. Demikianpun dengan stabilitas nasional, apakah perumusannya sama ketatnya dengan masa-masa sebelumnya atau tidak. Tetapi walaupun demikian, satu hal yang sangat perlu ditinjau kembali adalah yang menyangkut struktur kekuasaan ekonomi. Selama struktur kekuasaan ekonomi seperti sekarang ini tidak diubah, maka sebetulnya yang diratakan di dalam proses pemerataan itu hanya “sisa”nya saja. Yang jelas, konsentrasi kekuasaan ekonomi tetap berada pada kelompok kecil saja, yaitu pada kapitalis asing maupun pada kapitalis pribumi, termasuk kapitalis birokrat. Kapitalis birokrat ini bukan istilah kaum komunis. Saya tolak pendapat demikian. Sebab dalam sejarah perkembangan kapitalisme, kapitalis birokrat merupakan salah satu klasifikasi kapitalis. Oleh karena itu, struktur kekuasaan ekonomi ini harus dirobah dulu, barulah kita bicara soal pemerataan.
Dalam bidang kepartaian, kemerdekaan berserikat dan berkumpul jangan dibatasi. Bebaskan saja orang melahirkan ataupun menghidupkan partai, asal saja asasnya tidak bertentangan dengan Pancasila. Tetapi di lain pihak, jangan dipaksakan lahirnya suatu partai yang memang tidak punya keinginan hidup. Secara alamiah, melalui pemilu dan lain-lain, partai-partai ini akan tersaring sendiri. Yang memang berakar dan berfungsi akan tetap hidup. Sedangkan yang tidak berakar akan mati dengan sendirinya. Demikianpun halnya dengan pers, lembaga pendapat umum dan lainnya yang sejenis harus diberi kebebasan. Jangan terlalu takut memikirkan akibatnya yang macam-macam. Sebab pengaturan hukumnya bisa diadakan.
Mengapa takut? Negara kita adalah negara hukum. Tetapi saya tidak mengatakan bahwa perangkat peraturan perundang-undangan yang kita miliki sekarang sudah sempurna. Masih banyak kekurangan-kekurangannya. Misalnya UU Hukum Pidana kita perlu direvisi beberapa pasalnya yang tidak cocok dengan nilai-nilai Pancasila, antara lain Haatzaai Artikelen. Dan saya pikir UU Hukum Pidana yang sekarang ada dengan sedikit revisi masih bisa kita gunakan. Dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yang memang sudah tidak dibutuhkan, saya pikir dapat dihapus tanpa harus bersusah payah mencari-cari alternatif penggantinya. Misalnya, UU Anti Subversi lebih baik dihapus saja tanpa harus menunggu-nunggu konsep alternatif penggantinya. UU Hukum Acara Pidana yang baru-baru ini disahkan oleh DPR adalah merupakan kemajuan di bidang hukum.
Umpamanya saja soal kebebasan berserikat. Jangan terlalu banyak kita buat pembatasan-pembatasan dengan undang-undang. Dan kalaupun dibutuhkan pengaturan hukum, saya kira kalangan hukum kita sudah cukup siap untuk merumuskan konsepnya. Sedangkan yang sungguh-sungguh kita butuhkan dewasa ini adalah undang-undang organik yang merupakan penjabaran lebih lanjut pasal-pasal UUD 1945 yang tentu saja materinya harus sejiwa dengan Pancasila.
Peran Politik ABRI
Kalau kita bicara tentang struktur politik negara kita saat ini, saya kira pembicaraan tentang peranan politik ABRI tak terelakkan. Untuk itu saya ingin melihat peranan politik ABRI dari sejarah lahirnya dwifungsi ABRI. Menurut hemat saya, dwifungsi ABRI itu memang sudah merupakan bagian dari sejarah perjalanan bangsa kita. Dan kalau ditanyakan, apakah diperlukan atau tidak, saya menjawab : diperlukan. Hanya qua intensitas tentulah berbeda dari masa ke masa, berdasarkan kondisi yang kita hadapi.
Fungsi ABRI sebagai kekuatan Hankam tentu tidak menjadi persoalan. Sedangkan fungsi ABRI sebagai kekuatan politik, secara formal saya melihat peranan politik ABRI itu besar, kendati secara riil kecil. Coba lihat, apa manifestasi dari fungsi ABRI sebagai kekuatan politik? Seharusnya manifestasinya itu berupa sikap kritis terhadap perkembangan politik dan memberikan rumusan langkah-langkah stabilisasi bilamana diperlukan. Nah, sekarang ini apa yang terlihat? Misalnya dalam mengatasi kerawanan politik, saya tidak melihat ABRI memecahkan masalahnya secara mendasar dalam fungsinya sebagai kekuatan politik. Kalau dikatakan peranannya dalam pengambilan keputusan nasional, perlu dipertanyakan pula, apakah memang betul ABRI yang menentukan pengambilan keputusan itu?
Begitulah kalau saya katakan saya tidak melihat peran politik yang besar dari ABRI, secara riil tentunya. Pemikiran saya ini lebih dikuatkan lagi apabila dibandingkan dengan peran politik ABRI sekitar tahun 1965/1966. Dalam peralihan Orde Lama ke Orde Baru saya melihat intensitas dwifungsi cukup tinggi. ABRI terlihat sangat kritis terhadap perkembangan politik. Tetapi sekarang tidak sebesar dulu lagi. Secara formal memang besar, kalau dilihat dari posisi yang diduduki. Sekarang ini yang menonjol adalah dwiposisi, dan ini tidak sinonim dengan dwifungsi. Akan tetapi, peran kekuatan politik formal lainnya, PDI-P3-Golkar, juga sangat menurun dan kecil.
Jadi singkatnya begini. Dalam kaitan dengan status quo peran politik ABRI itu besar sekali. Sedangkan dalam kaitannya dengan pembaharuan perannya kecil sekali. Dalam hal pembaharuan, kita bertolak dari perannya sebagai dinamisator. Dan saya menterjemahkan dinamisator itu sebagai kesiapan menampung keinginan perubahan dari rakyat banyak dan menyiapkan kondisi obyektif untuk mewujudkannya, bersama-sama dengan kekuatan politik lainnya.
Massa-Desa Tidak Mengambang
Lebih jauh saya melihat bahwa struktur politik kita belum berakar pada massa yang ada di pedesaan. Padahal untuk kelangsungan hidup suatu negara dibutuhkan jiwa merdeka dari rakyatnya. Dan sebagian besar rakyat kita tinggal di desa. Saya menilai rakyat kita yang sebagian besar tinggal di desa belum dapat dikatakan memiliki jiwa merdeka. Sehingga kalau ditinjau dari sudut ketahanan nasional, desa kita itu lemah.
Sekarang ini desa kita baru digarap secara ekonomis. Tetapi secara politis baru sampai tingkat mempertahankan status quo. Dalam artian politis atau pendidikan politik untuk menumbuhkan jiwa merdeka, belum diadakan. Dalam rangka kebebasan berserikat, sebetulnya rakyat di desa pun berhak. Bahkan mereka berhak untuk berpartisipasi secara aktif dalam politik. Partai-partai politik harus diijinkan terjun sampai ke desa-desa. Jangan kita takut akan kembali ke masa sebelum 1965. Situasi kita sudah banyak berobah. Dan rakyat kita juga sudah lebih terdidik.
Dalam kaitan ini, saya tidak bertolak dari istilah ‘floating mass’ yang sering dilontarkan orang. Saya sendiri kurang sreg dengan istlah itu jika yang dimaksudkan itu adalah massa yang ada di desa dalam kondisi kita sekarang ini. Dalam rangka pemilu ‘floating mass’ itu sebetulnya menunjukkan kelompok massa yang ‘non-committed’. Dalam pemilu bisa saja suatu kelompok memilih atau tidak memilih salah satu partai. Dan dalam pemilu berikutnya melakukan pilihan yang sama atau tidak sama. Demikian juga dengan pemilu-pemilu selanjutnya. Di negara-negara seperti AS dan lainnya, memang kita menjumpai ‘floating mass’ itu. Tetapi di Indonesia saya tidak melihatnya. Karena apa yang disebut-sebut orang sebagai ‘floating mass’ itu, nyatanya lewat jalur-jalur tertentu sebagian besar digarap untuk committed terhadap kekuatan sosial politik tertentu. Jadi masalahnya bukan soal ‘floating mass’ di desa, karena istilah itu tidak dapat dipakai disini. Tetapi masalahnya adalah soal kebebasan berserikat di desa, yang pada gilirannya akan menumbuhkan jiwa merdeka. Itulah yang kita butuhkan.
Demikian juga dengan masalah kepemudaan kita. Dalam struktur politik kita sekarang ini ruang gerak pemuda dibatasi. Lantas bagaimana pemuda kita dapat menjalankan fungsinya? Saya ingin bertolak dari fungsi pemuda itu sendiri. Pertama, pemuda sebagai pendukung nilai-nilai dan gagasan-gagasan. Fungsi ini sesuai dengan kedudukan pemuda sebagai pewaris hari depan. Kedua, pemuda sebagai manusia yang berjiwa kritis, sehingga pemuda bisa spontan dan kadangkala bertindak sebagai pelopor dan pendobrak. Ketiga, sebagai bibit kepemimpinan politik. Kita harus akui bahwa fungsi ini tidak sepenuhnya dapat mereka jalankan karena seringkali dihambat. Jarang ada saluran memadai yang dapat mereka pakai untuk melaksanakan fungsinya itu. Namun demikian, saya tetap optimis dengan pemuda Indonesia sekarang. Menurut hemat saya pemuda Indonesia masih bisa diharapkan untuk masa depan. Sebab walaupun situasinya demikian, toh masih banyak pemuda kita yang kreatif. Lihat saja Kelompok Cipayung. Mereka masih bisa menelorkan konsep-konsep yang berbobot. Berarti mereka masih cukup kritis. Disamping mereka masih ada kelompok pemuda lainnya yang tetap kritis.
Tata Baru Politik Dunia
Hal terakhir yang saya ingin soroti adalah peran politik internasional kita dewasa ini. Sebab sejarah kita berbangsa dan bernegara tidak mungkin dipisahkan dari dunia internasional. Dan kita melihat bahwa problem utama umat manusia di dunia sekarang ini sama saja, yaitu soal pemerataan. Dan soal pemerataan kemakmuran tidak terlepas dari politik. Maka pertama-tama yang perlu kita pikirkan adalah penataan kembali politik dunia. Perlu ada Tata Baru Politik Dunia. Ini istilah saya. Orang lain mengedepankan Tata Ekonomi Dunia Baru. Tetapi justru saya melihatnya yang sangat penting ditegakkan adalah Tata Baru Politik Dunia agar bisa menuju pada Tata Baru Ekonomi Dunia.
Dalam hal ini, Indonesia mewakili rakyat yang amat berkepentingan untuk adanya tata baru itu. Mestinya Indonesia berperan aktif. Tetapi sejak tahun 1966, peranan kita dalam percaturan politik internasional terasa sekali menurun. Berbeda sekali dengan masa sebelum 1966. Tahun 1961 Presiden Sukarno telah membicarakan Membangun Dunia Baru sementara negara lain belum bermimpi tentang “The New International Economic Order”. Waktu itu Sukarno telah menyinggung bukan hanya tata ekonominya tetapi juga tata politiknya. Boleh jadi Bung Karno dulu terlalu cepat mengemukakan idenya itu. Sebab kebanyakan negara-negara berkembang saat itu, termasuk Indonesia, masih sibuk membenahi dirinya yang baru saja merdeka. Sekiranya ide itu dicetuskan sepuluh tahun kemudian pasti tepat sekali.
Tetapi sayangnya, pada saat negara-negara Afrika dan lainnya sudah siap untuk berorientasi ke Tata Baru Dunia, malah kita tidak berperan lagi. Sekarang kita terlalu menitikberatkan pada ASEAN. Tetapi bagaimanapun ASEAN itu dikutak-kutik, tidaklah akan bisa mempunyai peran yang berarti jika tidak dihubungkan dengan yang lain. Syukur bahwa Indonesia masih ikut dalam konferensi Negara-negara yang rakyatnya beragama Islam, sehingga dalam rangka Dunia Ketiga masih mempunyai jalur. Afrika saja bisa memiliki organisasi negara-negara Afrika, mengapa Asia yang lebih matang tidak bisa? Ini suatu pertanyaan yang perlu kita renungkan bersama dalam rangka menentukan arah politik internasional kita, jika Indonesia ingin meningkatkan peranannya.[]
4
Memasuki Abad Kedua Puluh Satu
dengan Reformasi Paripurna
Persepsi dan Landasan Reformasi
Kata “reformasi” berasal dari to reform yang secara harfiah berarti membentuk kembali. Yang dimaksudkan dengan reformasi adalah pembaruan atau perubahan yang tentu saja menuju perbaikan. Dewasa ini, sebutan reformasi sudah merupakan ungkapan yang selalu didengungkan di dalam pelbagai media massa dan forum, baik di dalam lembaga negara maupun di luarnya. Nuansanya pun beragam : ada yang bernada harapan, imbauan, maupun tuntutan.
Kini reformasi sudah merupakan isu nasional. Artinya menjadi perhatian, urusan dan keprihatinan segenap komponen bangsa, baik yang berada di lembaga formal maupun di lembaga dan organisasi kemasyarakatan. Ada keyakinan bahwa reformasi paripurna di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan sekarang ini merupakan sebuah keharusan sejarah (historische notwendigheid) demi kelestarian republik tercinta ini.
Dalam kata reformasi sebenarnya sudah terkandung jalan yang harus ditempuh menuju reformasi itu. Namun ada baiknya kalau dalam tulisan ini ditegaskan bahwa reformasi yang kita kehendaki adalah reformasi tanpa revolusi atau kekerasan, tanpa radikalisme, melainkan secara konstitusional melalui jalan evolusi, sekalipun jika diperlukan berupa evolusi dengan intensitas yang meningkat.
Reformasi yang kita kehendaki itupun harus dalam kerangka sistem nasional, yaitu dengan tetap mempertahankan persatuan bangsa berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Landasan tersebut adalah mutlak, tidak dapat ditawar lagi. Artinya, para reformis sejati harus menjauhi kerjasama dengan kelompok apa saja yang mengaku mendukung gerakan reformasi, tetapi tidak dengan berlandaskan Pancasila, UUD 1945, dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Para reformis juga harus melakukan upaya pengamanan agar dalam barisan mereka tidak disusupi unsur-unsur anti-Republik, anti-Pancasila, dan anti Negara Kesatuan.
Terhadap adanya kekhawatiran di kalangan pemerintah ataupun ABRI bahwa gerakan reformasi ini akan bersifat anarkis, dapat ditegaskan bahwa reformasi yang kita kehendaki adalah reformasi yang mengakui pemerintah sebagai suatu kenyataan – terlepas dari soal legalitasnya. Lagi pula, gerakan reformasi tidak mungkin bersikap anarkis karena gerakan ini dilakukan dalam kerangka sistem nasional, yaitu satu bangsa, satu negara kesatuan, serta satu ideologi nasional Pancasila dan UUD 1945.
Kalangan pendukung status quo melontarkan tuduhan bahwa gerakan reformasi berada diluar sistem. Kalau yang dimaksudkan adalah diluar kerangka sistem nasional, tuduhan ini jelas tidak mempunyai dasar. Tetapi kalau yang dimaksudkan adalam “sistem” yang ditempuh oleh pemerintah, harus dipertanyakan terlebih dahulu apakah “sistem” pemerintah itu sesuai atau tidak dengan Pancasila dan UUD 1945. Kalau sesuai tidak ada masalah karena gerakan reformasi juga berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Tetapi kalau “sistem” yang ditempuh oleh pemerintah ini belum sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, maka gerakan reformasi memang sengaja berada diluar sistem itu. Tugas gerakan reformasi adalah untuk mengembalikan “sistem” yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 itu, untuk kembali menyesuaikan diri dengan keduanya.
Mengingat banyaknya materi yang harus diubah atau diperbarui di berbagai bidang, yaitu politik, ekonomi, dan kebudayaan, dapat dibayangkan betapa tugas reformasi ini tidak akan selesai dalam waktu beberapa minggu, bahkan beberapa bulan. Dibutuhkan waktu dan proses yang panjang untuk menuntaskan pekerjaan reformasi. Itu berarti proses implementasi reformasi akan memerlukan penahapan dan ketekukan.
Kalau ada pesan dari kalangan pemerintah atau ABRI supaya kita jangan gegabah melakukan reformasi agar gerakan itu tidak sampai memecah keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan RI, para reformis hendaknya menerima pesan tersebut dengan lapang dada dan jiwa besar. Namun kekhawatiran itu akan menyebabkan runtuhnya negara RI – sebagaimana yang terjadi pada Uni Soviet yang runtuh pada tahun 1991 akibat gerakan reformasi yang diprakarsai Mikhail Gorbachev – menurut saya berlebihan karena kondisi Uni Soviet sama sekali berbeda dengan kondisi negara kita.
Empat belas dari lima belas negara yang bergabung dalam federasi Uni Soviet tidaklah secara sukarela menjadi anggota federasi ini melainkan karena dipaksa oleh kekuatan senjata dari Republik Rusia. Berkat reformasi Gorbachev, empat belas negara tersebut satu demi satu keluar dari federasi Uni Soviet hingga akhirnya Uni Soviet runtuh dan bubar tahun 1991.
Republik Indoneseia berdiri bukan karena adanya paksaan dari salah satu suku yang besar, melainkan karena adanya rasa persamaan yang murni dari semua suku yang beragam budaya, agama, dan keturunan menjadi satu bangsa dalam wadah Negara Kesatuan RI.
Agenda dan Prioritas Reformasi
Reformasi bukan lagi gagasan, melainkan agenda yang harus diwujudkan secara konkret. Sekali lagi demi kelestarian Republik Pancasila tercinta ini, reformasi itu merupakan suatu keharusan sejarah (historische notwendigheid).
Sebagaimana pada masa Hindia Belanda dan masa pendudukan Jepang, Bung Karno selalu mengumandangkan bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan historische notwendigheid sehingga akhirnya kemerdekaan itu terwujud melalui Proklamasi 17 Agustus 1945. Sekarang ini kaum reformis juga harus meresapkan keyakinan di dada bahwa reformasi di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan adalah sebuah keharusan sejarah demi mempertahankan kemerdekaan negara kita dari setiap bentuk penjajahan di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan oleh kelompok asing, atau oleh kelompok sebangsa, atau oleh kerjasama (persekongkolan) kedua kelompok itu.
Seandainya krisis moneter tidak melanda negara kita sejak Juli 1997, prioritas agenda reformasi adalah terciptanya iklim demokrasi yang memberi peluang kepada rakyat untuk mengeluarkan pendapat –termasuk terhadap pemerintah- tanpa kekangan apapun. Ini dilakukan demi terciptanya keterbukaan pengambilan keputusan oleh pemerintah atau penyelenggara negara. Dengan demikian, kontrol sosial terhadap pemerintah dapat dijalankan.
Seharusnya kontrol sosial itu dilakukan oleh fraksi-fraksi, di DPR Pusat dan DPRD Tingkat I dan II. Tetapi mereka tidak mampu melakukannya akibat belum mandirinya para DPP Partai, termasuk Golkar. Oleh karena itu, kontrol sosial itu dapat dilakukan oleh para cendekiawan (yang tentu saja harus mandiri karena kalau tidak mandiri bukanlah cendekiawan), oleh para ulama (yang juga harus mandiri terhadap pemerintah karena kalau tidak mandiri bukanlah ulama), oleh para pemuka agama, para mahasiswa, para anggota LSM, para budayawan, dan insan pers yang mampu mandiri pula.
Gagasan reformasi bukannya muncul setelah terjadinya krisis moneter. Tetapi dengan adanya krisis ini, reformasi semakin menjadi keharusan. Dalam waktu sembilan bulan krisis itu berlangsung, ternyata pemerintah tidak mampu mengatasinya. Melonjaknya harga sembilan bahan kebutuhan pokok, sehingga dalam waktu pendek menyebabkan pendapatan rakyat perkapita/tahun mendadak turun dari sekitar 1.000 dolar AS menjadi 400 dolar AS. Jumlah rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan – yang menurut keterangan Presiden Suharto pada 1996 adalah sekitar 22 juta orang – sekarang ini oleh pakar ekonomi, Syahrir, diperkirakan telah meningkat menjadi 50 juta orang (Suara Pembaruan, 20 Maret 1998).
Sekarang ini, sambil mengamati mampu tidaknya pemerintah mengatasi krisis yang melanda Indonesia, prioritas dari agenda reformasi adalah demokratisasi. Andaikata pemerintah berhasil mengatasi krisis ini, perjuangan para reformis dan demokrat Pancasilais adalah tetap untuk tegaknya demokrasi (tentu saja Demokrasi Pancasila) berikut hak-hak rakyat agar kontrol sosial dapat dilakukan seefektif mungkin terhadap pemerintah, sehingga secara bertahap budaya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dapat diberantas dan pemerintah yang bersih dapat diwujudkan.
Dengan demokratisasi dalam alam Demokrasi Pancasila yang sejati (bukan yang semu, seperti yang berjalan dalam tiga puluh tahun Orde Baru), kelompok konglomerat dan para pencari profit lainnya jangan merasa dapat berlenggang, dapat kembali ke alam surga dalam masa prakrisis dengan budaya KKN beserta saudara kandungnya (komersialisasi jabatan, fungli-isme, serakah-isme, manipulasi hukum, penggusuran hak-hak rakyat, perusakan lingkungan hidup, hedonisme, munafikisme, ndableg-isme alias tidak tahu malu, dan bentuk-bentuk kemungkaran atau kezaliman lainnya).
Agenda mutakhir gerakan reformasi adalah mempersilakan pemerintah mengatasi krisis moneter, sedangkan barisan reformasi menyusun dan melakukan pekerjaan permulaan reformasi paripurna.
Prioritas Reformasi : Kebangkitan Sivil
Ada satu bidang yang jarang disebut dalam agenda reformasi, tetapi sebenarnya merupakan prasyarat bagi gerakan reformasi. Bidang tersebut berupa upaya memperbaiki dan menegakkan kembali nilai-nilai moral yang rusak selama tiga puluh tahun Orde Baru. Kerusakan moral ini dapat termanifestasikan dalam sikap hipokrit atau munafik, arogan, sok berkuasa atau kaya, kesewenang-wenangan, kerakusan, diselingi dengan sikap solider dalam upacara Hari Kesetiakawanan Sosial setahun sekali. Kebobrokan dan kebejatan moral itu harus terlebih dahulu dibenahi secara berangsur-angsur.
Kejujuran adalah sikap batin, sedangkan sivilitas (sopan santun) adalah prilaku lahir yang tampak dimata. Karena itu, bidang kebangkitan moral ini dapat disebut kebangkitan sivil karena ada hubungannya dengan cita-cita membangun masyarakat sivil. Masyarakat sivil merupakan masyarakat yang mendukung kebersamaan antara sesama warga, termasuk ABRI. Selaras dengan ini civilitas; masyarakat sivil juga merupakan masyarakat yang sesama warganya menunjukkan sikap bersaudara, bersahabat, saling menghormati, saling menenggang, saling menolong, sopan santun, ramah, tanpa membedakan kedudukan, agama, dan keturunan. Singkat kata masyarakat sivil adalah masyarakat yang beradab (jadi kata sivil bukan berarti nonmiliter karena anggota anggota militer sebagai warga negara juga termasuk warga masyarakat sivil).
Masyarakat sivil (bukan sipil) identik dengan masyarakat demokratik yang di dalamnya hak-hak asasi manusia sepenuhnya ditegakkan, baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah karena pemerintah dalam masyarakat sivil adalah pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (tanpa bentuk rekayasa apapun).
Terwujudnya masyarakat sivil memerlukan perjuangan gigih kaum reformis. Proses pembentukannya membutuhkan waktu yang panjang. Masyarakat sivil adalah syarat bagi terwujud dan ditegakkannya demokrasi karena pemerintah yang otoriter, baik yang terang-terangan maupun terselubung, tentunya tidak akan mewujudkan masyarakat sivil. Perjuangan untuk membentuk masysrakat sivil di bawah rezim otoriter memerlukan waktu lama (di Amerika Selatan dibutuhkan lebih dari seratus tahun untuk mewujudkan masyarakat sivil yang kemudian mampu mengganti rezim diktator militer dengan pemerintah demokratik hasil pemilu yang jujur dan adil).
Oleh karena itu, perjuangan untuk mengubah pemerintah yang otoriter harus didahulukan daripada perjuangan membentuk masyarakat sivil. Pemerintahan nonotoriter terbentuk melalui pemilu yang jujur dan adil menggantikan pemerintah yang otoriter. Meskipun kesadaran demokrasi belum merasuk dalam kehidupan seluruh rakyat, sehingga demokrasinya masih terbatas, pemerintah nonotoriter perlu membuat kebijakan demi terwujudnya masyarakat sivil (civil society). Pemerintah nonotoriter hanya akan terwujud melalui perjuangan gigih kaum reformis yang merupakan elite dari rakyat yang relatif belum maju. Elite itu terdiri dari kelompok terpelajar, yaitu para cendekiawan, ulama, pemuka agama, mahasiswa, budayawan, anggota LSM, serta insan media massa dan pers.
Sambil melakukan perjuangan mewujudkan masyarakat sivil, pada tahap pertama kaum reformis mengupayakan terlebih dahulu terciptanya suasana keberadaban (decency and civility) di kalangan mereka sendiri, berikut perilaku-perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral dan agama.
Meskipun upaya menciptakan kebangkitan sivil itu merupakan upaya prioritas, karena kebangkitan sivil yang mengandung kebangkitan moral, etika, dan kejujuran merupakan prasyarat bagi gerakan reformasi, pengerjaan atau penggarapan tugas-tugas yang termasuk agenda reformasi sebenarnya harus dilakukan secara simultan. Konretnya, sembari mengupayakan kebangkitan sivil harus juga dilakukan pekerjaan-pekerjaan yang termasuk agenda reformasi di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan.
Agenda Reformasi Politik
Sasaran pokok reformasi politik adalah terciptanya iklim politik yang bebas seperti yang selayaknya terjadi pada setiap negara demokratik, termasuk yang berdemokrasi Pancasila. Dalam iklim dan suasana demokratik itu, hak-hak asasi rakyat ditegakkan, khususnya hak berbicara, hak mengkritik, serta hak berserikat dan berkumpul sehingga kontrol sosial dapat dilakukan secara efektif dan maksimal, serta clean government dapat diwujudkan. Untuk mencapai sasaran pokok tersebut, perlu dilakukan upaya-upaya sebagai berikut :
1. Dihapuskannya setiap bentuk pengekangan terhadap hak berbicara, berserikat dan berkumpul. Keharusan adanya izin untuk mengadakan rapat dihapuskan karena tidak mempunyai dasar hukum. Di kampus-kampus, izin ini sudan ditiadakan sejak sekitar tiga tahun yang lalu berkat kebijaksanaan Menko Polkan Susilo Sudarman (alm). Adanya keharusan izin rapat itu adalah adanya kekhawatiran terhadap rakyat. Pemerintah yang baik dan bersih tidaklah perlu takut kepada rakyatnya sendiri.
2. Pembreidelan (pencabutan SIUPP) harus dihentikan. Tulisan dalam media massa yang dipandang tidak bertanggung jawab atau, dengan meminjam bahasa dari zaman demokrasi liberal, yang berbau “korang kuning” (yellow paper), dapat diperkarakan di pengadilan. Mantan Menteri Penerangan R. Hartono, yang mengajukan kasus majalah D&R yang memuat gambar yang dipandang tidak bertanggung jawab ke pengadilan adalah contoh yang baik. Dalam hal ini, keterangan Menteri Penerangan Alwi Dahlah baru-baru ini bahwa ia tidak akan melakukan pembreidelan patut disambut baik.
Wartawan PWI yang terkooptasi dalam kasus pembreidelan – sehingga mencabut rekomendasi yang sebelumnya telah diberikan kepada penerbitan yang terkena pembreidelan – adalah wartawan yang tidak mempunyai integritas. Adanya tokoh-tokoh wartawan semacam itu merupakan alasan sah bagi (telah) munculnya organisasi wartawan lain.
3. Partai politik sebagai penyalur aspirasi rakyat tidak boleh dibatasi jumlah maupun struktur vertikalnya. Serahkanlah kepada para pemilih dalam pemilihan umum, partai politik mana yang boleh eksis dan menjadi peserta dalam percaturan politik di tingkat nasional atau pusat, misalnya yang dalam pemilu memperoleh sekurang-kurangnya 3 atau 5 persen jumlah suara secara nasional.
Golkar yang dalam semua hal berfungsi sebagai partai politik (apakah fungsinya sebagai partai berjalan sebagaimana mestinya, itu soal lain), harus disebut sebagai partai. Apakah dengan nama partai Golkar atau nama lain, tetaplah partai. Sebagai partai, Golkar, sebagaimana partai-partai politik lain, harus dibebaskan dari dukungan eksekutif, birokrasi, Korpri, dan ABRI. Itu berarti Korpri harus dilepaskan dari keterikatannya kepada Golkar, begitu juga ABRI.
4. Fungsi politik ABRI dijalankan menurut pertimbangan politik pimpinan ABRI. Kalau ABRI selalu hanya mengikuti politik Golkar, fungsi politik ABRI dalam dwifungsi ABRI jadi patut dipertanyakann. Kalau ABRI dengan posisi-posisi politiknya (di MPR, DPRD, dan lainnya) kurang mampu menjalankan fungsi politiknya, dwifungsi ABRI akan kehilangan raison d’etre-nya
Menurut saya, mengingat partai-partai politik di Indonesia (termasuk Golkar) masih lemah dan belum sepenuhnya mandiri, dwifungsi ABRI secara obyektif diperlukan. Sejarah bangsa dapat mencatat dengan bangga betapa pada masa lalu, dwifungsi ABRI telah diaktualisasikan secara positif dan kreatif bagi kepentingan negara dan bangsa.
Pada 19 Desember 1948, almarhum Panglima Besar Soedirman di depan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta menyatakan tidak bersedia menyertai Presiden Sukarno maupun Wakil Presiden Hatta berikut para menteri untuk ditahan tentara Belanda. Tetapi atas pertimbangan sendiri, dia meninggalkan Istana Negara di Yogyakarta dan berangkat keluar kota untuk memimpin perang gerilya melawan Belanda. Langkah Pak Dirman melakukan perang gerilya tersebut dilakukan tanpa meminta persetujuan Presiden Sukarno atau Wakil Presiden Hatta, atau tanpa perintah dwitunggal. Sikap Pak Dirman itu dapat disebut sebagai implementasi fungsi politik TNI-AD meskipun waktu itu belum ada sebutan dwifungsi ABRI.
Sejarah bangsa juga mencatat bahwa ketika pada tahun 1959, Konstituante mengalami jalan buntu dalam menyelesaikan masalah dasar negara, pimpinan TNI-AD yang waktu itu dipegang Mayjen A.H. Nasution mengumandangkan gagasan “Kembali ke UUD-45”. Gagasan ini disambut oleh Presiden Sukarno dan direalisasikan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Ketika negara menghadapi kemelut dan krisis politik akibat pecahnya pemberontakan PKI, sikap Jenderal Suharto juga menunjukan fungsi politik ABRI in optima forma, meskipun dwifungsi ABRI pada 11 Maret 1966 itu belum merupakan ketentuan formal dalam sebuah undang-undang. Sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat/Kopkamtib, beliau pada saat itu menugaskan Brigjen Basuki Rachmat, Brigjend M. Yusuf, dan Brigjen Amirmachmud menghadap Presiden Sukarno untuk memohon perintah khusus guna mengatasi kemelut dan krisis tersebut. Dalam peristiwa inilah Presiden Sukarno memberikan Supersemar.
Rakyat Indonesia sebenarnya bangga mempunyai ABRI yang menjalani fungsi politik disamping fungsinya sebagai kekuatan Hankam. Namun sejak beberapa tahun terakhir, fungsi ABRI sebagai kekuatan politik dan sebagai prajurit pejuang (tekanan pada pejuang) terasa kurang tampak. Tetapi sekarang ini timbul harapan lagi bahwa fungsi politik ABRI sebagai prajurit pejuang kembali berperan, khususnya untuk mengatasi kemelut dan krisis politik-ekonomi dewasa ini. Harapan tersebut diperkuat oleh sikap Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto yang menunjukan sikap arif bersedia berdialog dengan mahasiswa, juga sikap ABRI yang disesuaikan oleh wakil fraksi ABRI Letjen Susilo Bambang Yudoyono dalam Sidang Umum MPR 1988 yang baru lalu.
Mengenai fungsi politik ABRI ini ada baiknya kita menyegarkan kembali apa yang pernah digariskan oleh almarhum Jenderal Widodo, yaitu pada 1979 menjabat KSAD, yaitu :
a) Politik yang dijalankan oleh TNI-AD adalah politik UUD 1945, bukan politik golongan dan juga bukan politik TNI/ABRI sebagai golongan.
b) Dalam mencapai tujuan politik, tidak boleh digunakan kekuatan senjata, atau menyalahgunakan kekuasaan sebagai suprastruktur politik.
c) Dalam melakukan kegiatan politik, TNI/ABRI harus menggunakan metode persuasive dan metode konstitusional, tidak boleh menggunakan metode paksaan.
5. Keanggotaan MPR harus memenuhi kualifikasi MPR sebagai wakil rakyat, yang menurut UUD 45 Pasal 1 ayat 2 menjalankan kedaulatan rakyat. Dari 1.000 orang anggota MPR, 575 orang diangkat oleh Pemerintah, 425 orang diangkat melalui pemilu tanpa dipilih langsung oleh para pemilih karena para pemilih hanya memilih kontestan dengan mencoblos tanda gambar kontestan.
Agar MPR memenuhi syarat untuk menjalankan kedaulatan rakyat, keanggotaan MPR haruslah dipilih langsung oleh para pemilih, tidak melalui pencoblosan tanda gambar. Sedangkan yang diangkat hanyalah wakil-wakil dari ABRI, itupun tidak usah banyak, katakanlah antara 2,5-5%.
6. Mengenai susunan atau komposisi MPR. Dari penjelasan Bab II UUD 1945 mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, dari rumusan UUD 1945 Pasal 2 ayat 1, tercantum tiga komponen keanggotaan MPR, yakni anggota DPR, utusan daerah, dan golongan-golongan. Yang dimaksudkan golongan dalam Penjelasan UUD 1945 adalah badan-badan, seperti koperasi, serikat pekerja dan badan kolektif lainnya.
Menurut saya, wakil-wakil golongan yang menjadi anggota MPR (nonanggota DPR) harus dipilih oleh golongannya masing-masing melalui prosedur dan cara pemilihan yang ditentukan oleh kongres atau munas masing-masing golongan. Pendeknya, harus demokratis dengan melibatkan seluruh anggota koperasi atau serikat pekerja dan badan-badan kolektif lain, yaitu kelompok tani, wartawan, pemuda, ulama dari pemuka agama, pegawai negeri termasuk karyawan BUMN, penusaha, nelayan, dan lain-lain.
7. Mengenai sistem Pemilu. Sekitar dua tahun yang lalu Presiden Suharto telah memerintahkan LIPI untuk meninjau kembali sistem pemilu yang berlaku sekarang. Menurut saya sistem proporsional yang berlaku dalam pemilu dapat dikombinasikan dengan sistem distrik seperti yang digariskan oleh Seminar TNI-AD di Bandung pada September 1966. Kombinasi tersebut dalam garis besarnya menyatakan bahwa caleg (calon legislative) dipilih langsung oleh para pemilih. Tetapi perhitungan suara harus dilakukan secara transparan sehingga suara yang diperoleh oleh kontestan tidak ada yang hilang. Semuanya dihitung untuk menentukan jumlah kursi yang diperoleh oleh kontestan dalam DPR.
Sistem kombinasi distrik-proporsional itu tidak dapat diuraikan secara mendetail dalam tulisan ini karena bersifat amat teknis. Alangkah baiknya jika pemerintah mengangkat sebuah panitia khusus untuk memusyawarahkan sistem kombinasi itu. Panitia itu harus terdiri dari wakil-wakil pemerintah, wakil-wakil DPR, dan beberapa pakar dari luar lembaga negara.
Dengan dipilihnya para caleg langsung oleh para pemilihn akan terjalin hubungan timbale balik antara angleg (anggota legislatif) dan para pemilih; pada waktu tertentu angleg datang ke daerah pemilihan (constituency) untuk berdialog dengan para pemilihnya (constituents). Pada kesempatan itu, para pemilih dapat menyampaikan aspirasi mereka dan sang angleg memberikan laporan tentang apa yang telah dikerjakan di parlemen, khususnya yang menyangkut kepentingan rakyat daerah pemilihnya. Jika para pemilihnya senang dan puas dengan prestasi sang anleg di parlemen, mereka akan memilihnya kembali pada pemilu berikutnya dan seterusnya akan memilihnya kembali jika prestasinya tetap memuaskan. Dengan demikan, tidak perlu diadakan pembatasan masa jabatan bagi para angleg. Sebaliknya, jika para pemilih tidak puas dengan prestasi sang angleg di parlemen, mereka tidak akan memilihnya kembali. Ini setara dengan recall. Jadi, angleg tidak perlu takut di-recall. Itu diserahkan kepada para pemilih.
8. Mengenai mekanisme suksesi (pergantian presiden/wakil presiden). Dalam seminar pada bulan Maret 1990 yang diselenggarakan oleh Senat Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, saya menyampaikan gagasan agar dalam kampanye pemilu, nama calom presiden dan wakil presiden sudah dikampanyekan berikut rencana program pemerintahannya untuk masa lima tahun. Para pemilih dalam pemilu, jika tertarik kepada capres/cawapres berikut programnya akan memberikan suaranya kepada kontestan yang mengkampanyekan mereka.
Mekanisme suksesi yang saya gagas tersebut tidak bertentangan dengan Tap MPR No. II/1978 yang mengatur tatacara pemilihan presiden/wakil presiden karena setelah kampanye pemilu, para kontestan masih akan mengajukan capres/cawapres kepada SU MPR lewat fraksinya masing-masing, dan SU MPR lah yang akan melakukan pemilihan presiden/wakil presiden.
Gagasan tersebut ramai diliput dalam berbagai harian dan majalah yang sebagian besar memberi sambutan positif. Bahkan Presiden Suharto juga memberikan tanggapannya sehingga terjadi polemik dengan saya. Sayangnya PPP dan PDI kelihatannya tidak berani menempuh mekanisme yang saya gagaskan itu. Lewat anggota DPR, Yusuf Syakir, PPP menyatakan mekanisme suksesi yang ada masih relevan. Ini sebenarnya hanya dalih saja. Sebenarnya PPP tidak berani menempuh mekanisme itu karena PPP memang tidak pernah berani mencalonkan nama capres lain.
Sedangkan untuk pemilu 1997, PDI-nya Megawati ditakutkan akan menempuh cara tersebut. Lalu melalui rekayasa, DPP Megawati disingkirkan. Tentu saja hanya secara formal karena secara real, DPP PDI Megawati tetap didukung oleh massa PDI.
9. Mengenai pembatasan masa jabatan presiden/wakil presiden. Ada yang menafsirkan bahwa UUD 1945 Pasal 7 sebagai tidak membatasi jabatan presiden dan wakil presiden. Oleh karena itu, pasal tersebut perlu diubah sehingga masa jabatan presiden dibatasi hanya untuk dua kali masa jabatan. Untuk mengubah pasal tersebut, dan mungkin juga pasal-pasal lain UUD 1945, Tap MPR tentang Tata Tertib MPR harus diubah, khususnya pasal yang berbunyi : “Majelis berketetapan untuk mempertahankan Undang-Undang Dasar 1945, tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan melaksanakannya secara murni dan konsekuen”.
Adanya pasal seperti di atas menunjukan bahwa para anggota MPR telah mengabaikan tugasnya sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 3, diantaranya untuk menetapkan UUD 1945, yang mencakup mengubah dan melengkapi pasal-pasalnya. Prosedur perubahannya telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 37. Dengan demikian UU Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum untuk mengubah prosedur perubahan (Batang Tubuh) UUD 1945 adalah tidak sah karena bertentangan dengan Pasal 37 UUD l945.
Demikianlah beberapa butir agenda reformasi di bidang politik, yang intinya adalah keharusan ditinjau kembali atau dirombaknya Paket Lima Undang-undang Politik dengan catatan bahwa prinsip Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang tercantum dalam UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan tetap perlu dipertahankan.
Agenda Reformasi Ekonomi
Di tengah-tengah reformasi ekonomi yang sedang dilakukan pemerintah menurut garis IMF (International Monetary Fund), atau IMF-Plus, atau menurut petunjuk lain dari luar negeri, gerakan reformasi harus mengupayakan agar reformasi ekonomi dalam rangka reformasi paripurna mengarah kepada sasaran pokok, yaitu tersusunnya sistem ekonomi Pancasila, suatu sistem yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, pasal-pasal Batang Tubuh UUD 1945, khususnya Pasal 33, dan Penjelasan UUD 1945, berikut perincian yang tercantum dalam Tap-tap MPR dan pelbagai perundangan lain.
Struktur dan kondisi ekonomi dalam masa Orde Baru sama sekali belum sesuai dengan prinsi-prinsip ekonomi Pancasila yang pada hakikatnya adalah antikapitalisme, antifeodalisme, antikomersialisasi jabatan berikut nepotismenya. Adanya pendapat bahwa ekonomi Pancasila dapat dicapai melewati sistem kapitalisme adalah keliru sama sekali, apalagi lewat crony capitalism (kapitalisme keluarga dan konco atau kawan dekat). Agar cita-cita masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila tidak makin menjauh, bahkan mungkin tidak tercapai, struktur ekonomi Indonesia berikut keseluruhan pembangunan harus dikembalikan kepada Pancasila dan UUD 1945.
Arus globalisasi yang melanda tanah air kita dan yang memang tidak dapat dihindari pada hakikatnya adalah globalisasi sistem kapitalisme yang dipimpin Amerika. Terhadap arus globalisasi ini, bangsa Indonesia haruslah bersikap seperti Presiden Sukarno, yang ketika itu menghadapi ancaman militer Belanda tahun 1948, berkata : “Kami, bangsa Indonesia cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan”. Terhadap globalisasi kapitalisme internasional pemerintah dan bangsa Indonesia juga harus bersikap, “Kami, bangsa Indonesia mencintai kerjasama internasional, tetapi kami lebih mencintai kedaulatan negara dan kemerdekaan bangsa”.
Agenda Reformasi Kebudayaan
Penetrasi kebudayaan asing yang mengiringi masuknya modal asing selama tiga puluh tahun pembangunan telah memunculkan gaya hidup individualistik, hedonistik, serta berbagai bentuk maksiat dalam skala besar. Character and nation building terabaikan sehingga terjadi erosi idealisme, patriotisme, dan semangat berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara. Untuk mengatasi segala macam kemerosotan tersebut, gerakan reformasi haruslah mampu mengembalikan kehidupan bangsa kepada dilaksanakannya UUD 1945 Pasal 32 yang berbunyi : “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia,” dan dilaksanakan pula ketetapan MPRS No. XXVII/MPRS/1966, yang diantaranya mencantumkan dalam Pasal 12 :
“Perkembangan Kebudayaan Nasional Indonesia supaya mencorakkan pembinaan kesatuan kebudayaan Indonesia, yang bersumber pada kebudayaan daerah-daerah yang bermacam ragam dan kaya raya serta dapat menerima kebudayaan dari luar, yang bersifat memperkaya dan mempertinggi Kebudayaan Nasional.”
Dan dalam Pasal 14 :
“Untuk menjamin terlaksananya Kebudayaan Nasional Pancasila, maka hendaknya pemerintah lebih tegas mencegah kebudayaan yang bertentangan dengan kepribadian nasional/unsur-unsur agama”.
Betapa menyedihkan nasib Ketetapan MPRS tersebut karena dilupakan dan diabaikan oleh Orde Baru. Menjadi kewajiban gerakan reformasi untuk melakukan upaya membangun kebudayaan nasional yang mengarah kepada kemerdekaan dalam bidang kebudayaan. Kemerdekaan yang menjadi hak segala bangsa, seperti tercantum dalam kalimat pertama dari Pembukaan UUD 1945, memang mengimplikasikan kemerdekaan di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan. []
5
Menggagas Indonesia Masa Depan
I
Ini orang muda, moderator ini, menceritakan zaman Stalin. Saya tertarik. Terus terang saja H.M. Suharto itu kurang baik, tapi jangan disamakan dengan Stalin. Sebab yang saya lihat kalau sekedar menentang Pak Harto asal nggak sampai menyinggung pribadi beliau itu sebetulnya tidak apa-apa.
Sejak tahun 1967 saya menentang beliau. Satu hal yang saya nggak pernah adalah menyinggung soal pribadi beliau, sehingga saya tidak terkena delik penghinaan. Ya, maklum saya ini kan sarjana hukum, saya tahu. Beda AM Fatwa dengan saya disitu. AM Fatwa semangatnya besar tapi tidak tahu hukum, jadi keplesetnya disitu. Kemudian nggak diapa-apakan kok ya, paling tidak diberi kedudukan itu saja, nggak diberi kedudukan juga nggak apa-apa. Itu lain dengan Stalin, Stalin itu kawan separtai dilikuidasi, likuidasi itu intinya di zaman itu dibunuh.
Kemudian bicara tentang UUD 1945, sayang UUD ini tidak berupa manusia, kalau berupa manusia saya sangat iba kepada UUD 1945, karena UUD 194 ini dijadikan kambing hitam. Lah wong Suharto yang menimbulkan kepurukan, keburukan, kebangkrutan yang disalahkan kok UUD 1945. Katanya mengapa kok sampai menimbulkan sistem pemerintahan yang presidency heavy, mengapa sampai Suharto itu menjadi otoriter itu karena dimungkinkan oleh UUD 1945. Itu sama sekali tidak benar, silakan pelajari lagi. Nggak ada itu ketentuan bahwa kekuasaan Suharto nggak bisa dibendung DPR. Bisa dibendung. Lagi pula dari founding fathers itu kan orang-orang pinter, Yamin, Soepomo, Hatta itu kan orang pinter-pinter, dan kita itu memang mau meniru sistem presidentil Amerika.
Di Amerika sistem predisentil itu bukannya president heavy, bukannya lalu menimbulkan presiden yang otoriter. Tidak. Karena ada check and balances. Sebetulnya menurut UUD kita juga ada check and balances. Sistem UUD 1945 kita itu bukan president heavy, bukan DPR heavy. Tapi keseimbangan antara presiden dan DPR. Nah, kehebatan dari Prof. Soepomo setelah UUD disetujui oleh Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, beliau sadar, wah ini kalau begini memang bisa terjadi. Lalu dibuat penjelasan-penjelasan. Penjelasan itu sebenarnya karya Soepomo seorang, tapi kemudian dititipkan saja karena karena kondisi revolusi. (Penjelasan) itu sebenarnya tidak pernah disimpulkan dalam rapat PPKI, tapi dititipkan saja dan sama-sama diumumkan di Berita Negara. Tapi kemudian sudah diterima itu Penjelasan dan UUD 1945, dan di dalam Penjelasan disebut kalau presiden harus mendengarkan DPR.
Mendengarkan disini dalam arti menyesuaikan diri bukan hanya mendengarkan dalam arti memperhatikan. Memperhatikan disini berarti menyesuaikan diri, bukan hanya sekedar memperhatikan, mendengar dan membaca. Mengapa? Sebab DPR mempunyai wewenang untuk memanggil MPR kalau presiden dianggap melanggar hukum, melanggar UUD, melanggar Tap MPR, melanggar GBHN, dan sidang istimewa bisa memutuskan nantinya menurunkan presiden atau tidak setelah presiden memberikan pertanggungjawaban. Jadi dimana menyebutkan bahwa president heavy itu, ngak ada. Keseimbangan.
Kalau sekarang yah karena kesalahan UUD 1945 maka Suharto bisa otoriter, ya berterima kasih, yang amat senang, ya Soekarto. Loh, saya salah apa? Wong dimungkinkan oleh UUD 1945. Jadi kita semua ini salah, barisan reformasi ini, semua salah. Kok nuntut UU politik dicabut, wong nggak melanggar UUD 1945 kok. Suharto bisa bilang begitu.
UUD 1945 sama sekali tidak mengandung president heavy, sama sekali tidak. Mengandung sistem keseimbangan, sebab UU saja, UU harus disetujui oleh presiden dan DPR. Kalau kedua belah pihak itu masing-masing pada pendiriannya bisa macet, tapi yang tidak ada pengaturan adalah kalau ada kemacetan, karena presiden tetap berkeras kepada pendiriannya dan DPR juga berkeras dengan pendiriannya. Itu memang betul belum ada pengaturannya.
Seperti kalau di Amerika ada pengaturannya itu, kalau presiden tidak setuju dengan keputusan Senat, presiden bisa bersikap menolak bill atau rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh Senat. Tapi Senat mempunyai wewenang untuk meng-over veto keputusan Presiden dengan syarat dukungan 2/3 dari jumlah suara. Jadi kalau keputusan Senat itu berupa bill atau RUU belum ditandatangani oleh presiden itu diambil suara dengan suara 80% maka presiden tidak akan memveto, sebab nanti bisa di-over veto. Sebaliknya kalau bill itu apabila diterima kurang, katakanlah 60% itu presiden berani memveto, karena nanti kalau di-over veto kurang dari 2/3. Pengaturan seperti ini sudah ada di UUD Amerika, di UUD kita yang belum ada.
Tapi jangan dikatakan UUD 1945 itu mengandung president heavy. Lho, kenapa terjadi seperti kemarin, bukan UUD 1945 yang salah. Mengapa terjadi begitu? Karena pemimpin partai lembek. Karena pemimpin partai lembek, DPR juga ikut lembek, fraksi lembek. Karena fraksi lembek , DPR lembek lalu memang Pak Harto nggak lembek, maka menjadi kuat. Loh itu enak memimpin partai yang lembek berlindung atau bersembunyi di belakang kesalahan UUD, wong sampean yang lembek kok. Iya, tapi saya dibilang lembek kok mau? Apa yang ditakuti? Apa memang Suharto sama dengan Stalin? Karena anda nggak setuju anda dilikuidasi, dia tidak sejahat itu kok Suharto. Jahat tapi tidak sejahat itu. Begitu, saya nggak apa-apa disini, saya menentang terus. Ismali Suny juga, tapi lima tahun terakhir Ismail Suny kembali ke pangkuan Suharto, waktu menjadi Dubes di Riyadh.
UUD 1945 memang harus disempurnakan, tapi jangan dijadikan kambing hitam, itu berarti mengkambinghitamkan founding fathers. Lalu saya setuju dengan Prof. Harun kalau yang dimaksudkan mengganti itu memperbaharui atau merubah, atau melengkapi pasal-pasal yang harus dilengkapi. Tetapi kalau mengganti total saya nggak setuju, itu sama saja dengan mendirikan republik baru. Kita ini kan nggak mendirikan republik baru. Ini republik, Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus, walaupun melewati RIS dan RI Sementara. Jadi ini sebetulnya disebut saja RI kedua, kalau model Prancis. Prancis sekarang disebut republik kelima, setelah mengalami lima kali perubahan UUD.
Nah, kalau sekarang mengenai UUD memang banyak mesti dirubah. Menurut saya batang tubuhnya, kalau pembukaan tidak perlu dirubah. Kalau disini saya pikir yang perlu kita sepakati ialah hal-hal yang nggak boleh dirubah :
• bentuk republik
• bentuk negara kesatuan.
Kalau orang minta negara federasi dengan alasan sekarang karena tidak mendapat keadilan, itu saya kira ada solusinya. Karena tidak adanya keadilan yang diperoleh daerah itu bukan kesalahan negara kesatuan, itu kesalahan Suharto. Kok negara kesatuan yang disalahkan. Jadi Suharto senang yang disalah negara kesatuan. Jadi negara kesatuan saja yang dirubah menjadi negara federal, seneng lagi Suharto. Kita ini reformis tapi bikin seneng Suharto terus, cuma dalam bentuk lain. Kalau Jaksa Agung dalam bentuk ngulur-ngulur memeriksa Suharto.
Kita menyalahkan UUD, menyalahkan negara kesatuan. Solusinya kalau tidak mendapat keadilan, yah berilah otonomi secara penuh, jangan hanya untuk Timor Timur, juga untuk Aceh. Jangan hanya untuk Irian, seluruh propinsi. Ini untuk kebupaten ya masih ada sentralisasi, karena urusan yang bisa dipegang oleh kabupaten itu amat terbatas. Perdagangan antar pulau saja tidak dapat dipegang oleh kabupaten. Perdagangan luar negeri, transportasi tidak bisa dipegang kabupaten.
Yang dikatakan otonomi itu luas, tidak hanya ekonomi, tapi latar belakang budaya. Latar belakang budaya kan nggak bisa kabupaten. Kalau dikatakan latar belakang Minang, ya seluruh propinsi Minang. Tidak ada hanya Kota Padang, Kabupaten Pariaman, nggak ada. Sama saja dengan latar belakang budaya Aceh, ya seluruh Propinsi Aceh. Tidak bisa cuma Kabupaten Aceh Utara, Aceh Tengah atau Lhokseumewe.
Kemarin ini yang dihasilkan undang-undang otonomi daerah kabupaten, jadi lain yang diminta dan lain juga yang dijawab. Saya nggak tahu ya, Pak Habibie itu bukan ahli hukum, ia teknolog, jadi percaya sama tangan kanannya. Tangan kanannya itu Depdagri. Saya ingin tanya kenapa otonomi yang diberikan kok kabupaten dan kotamadya, bukan otonomi propinsi? Sebab dengan otonomi kabupaten sentralisasi masih ada. Jadi gubernur masih mewakili presiden baik itu sebagai protocol atau secara protokoler, maupun secara pemerintahan.
Satu hal, karena anda menyebut pengalaman, tahun 1955 kita semua ini mempunyai ekspektasi yang besar setelah pemilu nanti, pemerintah baru akan bisa mengatasi hal-hal yang nggak beres. Walaupun reaktif tapi kabinet Ali kedua tahun 1956 ternyata nggak mampu, sehinggga akhirnya suatu hari Presiden Sukarno menunjuk warga negara yang bernama Sukarno untuk membentuk kabinet. Saya sendiri heran Bung Karno mau melanggar UUD. Mbok langgar saja, ya alasannya cukup, tapi kok pakai Sukarno untuk membentuk kabinet. Kabinet itu memang wewenang formateur dan bukan wewenang presiden. Tapi memang presiden punya alasan, wong dalam sistem kabinet parlementer. Syahrir itu umur kabinetnya rata-rata sepuluh bulan. Waktu untuk membentuk kabinet itu saja setengah bulan. Setelah kabinet Ali kedua jatuh itu, sudah tiga bulan tidak bisa membentuk kabinet, ya itulah lalu Bung Karno jengkel. Sudah, saya menunjuk diri saya sebagai formateur. Nah dari situlah hilangnya demokrasi parlementer dan juga mulai hilangnya demokrasi.
Jadi setelah pemilu nanti pemerintah kita bagaimana? Ada pendapat kalau presidennya masih Habibie yang jelas akan lebih terpuruk, ya mungkin. Andaikata bukan Habibie apa akan stabil? Sebab kalau nggak stabil atau nggak mampu apa mesti sejarah akan berulang. Tapi saya berpendapat sejarah jangan sampai berulang.
Dan partai politik sekarang ini, pak Prof. Harun wakil partai politik itu bagaimana? Kualitas partai politik sekarang jauh lebih rendah dari kualitas partai politik tahun 1950. Partai politik tahun 1950 terdiri dari tokoh-tokoh yang mempunyai kemandirian, mempunyai integritas. Sekarang ini saya nggak melihat. Kalau melihat dari sudut ini partai politik tahun 1950 yang kualitasnya begitu tinggi. Tapi setelah kabinet Ali jatuh, lain, setidaknya muncul Angkatan Darat dan Bung Karno. Partai politik mempunyai pemimpin-pemimpin yang cukup mandiri, orang seperti Natsir, orang seperti Wilopo, seperti Kasimo, orang seperti pak Leimena itu tokoh partai politik yang punya integritas yang tinggi nggak mampu menghadapi Angkatan Darat dan Bung Karno.
Lah, sekarang itu nggak usah kuatir, Bung Karno sudah nggak ada. Apa muncul lagi orang sekuat Bung Karno? Nggak ada. Nggak ada duanya Bung Karno. Tapi jangan samakan Bung Karno dengan Pak Harto, kesenangan nanti Pak Harto. Mengapa tidak bisa disamakan? Karena Bung Karno punya ideologi. Mengapa melanggar UUD? Karena ia mempunyai pikiran revolusi belum selesai dan revolusi harus di tangan satu pemimpin, sebab tahun 1945 revolusinya menggembleng rakyat untuk mempertahankan proklamasi Bung Karno, yang memimpim pemerintahan Syahrir. Jadi ada dualisme. Jaman revolusi Amerika saja, jaman Washington jadi Presiden itu nggak ada dualisme. Di Indonesia dualistik akibatnya Konferensi Meja Bundar. Kita mempunyai kelemahan apalagi KMB itu mempunyai arti kompromi yang menguntungkan Belanda.
Jadi kembali lagi sekarang ini bagaimana kita nggak perlu takut, wong nggak ada lagi Bung Karno. Dan Angkatan Darat yang sudah menyadari, apalagi sudah mengeluarkan statemen redefinisi dan reaktualisasi. Ya, dari tujuan ini alhamdulilah dengan statemennya ini mudah-mudahan saya bisa mengucapkan alhamdulilah dengan implementasinya, saya nggak tahu.
Partai-partai ini kualitasnya nggak tinggi, jadi nggak mungkin seperti Sukarno untuk mengambil alih kekuasaan partai-partai itu. Inilah yang saya kuatirkan, sejarah akan terulang. Jadi sekali lagi saya berpesan kepada masyarakat Indonesia , walaupun demokrasi belum berjalan dengan baik, karena banyak partai-partai yang tidak bonafide, partai-partai yang lebih mementingkan egoisme partai. Saya tuh sampai rajin mengikuti para partai melakukan dialog atau monolog. Isinya ya itu-itu saja lah, dan lagi pula wong partainya kecil kok mau menjawab kalau bapak nanti jadi presiden apa yang akan bapak lakukan? Lalu dia menjawab kalau saya nanti menang. Jelas nggak mungkin menang partainya sekecil itu. Seharusnya dia menjawab, saya akan lebih serius lagi menggariskan program-program partai di segala bidang. Mengenai ekonomi, mengenai globalisasi saja nggak ada yang nyinggung, padahal globalisasi adalah kapitalisme Barat yang dipimpin oleh Amerika, sampai Jeng Sri Mulyani itu nggak tahu ekonomi Pancasila yang bagaimana. Lho tokoh ekonomi dari Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, kok belum tahu yang dinamakan Ekonomi Pancasila.
Tidak sukar kok. Adil dan makmur itu salah satu butirnya. Pasal 27 UUD 1945 hak pekerja sebagai warganegara, penghidupan yang layak bagi warganegara, ditambah dengan hak asasi keseluruhan di dalam UUD 1945, ditambah dengan pasal 33. Itu sokoguru ekonomi Pancasila, itu sosialisme ekonomi Pancasila, tidak ada kapitalisme. Lah kok belum tahu, bagaimana bisa menjadi dosen di Universitas Indonesia belum tahu tentang ekonomi Pancasila. Lebih parah lagi sudah diarahkan P4 selama tiga tahun, sudah berubah juga jadi Pancasilais masih tanya-tanya mengenai ekonomi Pancasila, itu apa?
Demokrasi Pancasila itu simple, adalah demokrasi dengan pembatasan partai yang ideologinya bertentangan dengan Pancasila itu nggak boleh. Partai yang ideologinya lain juga nggak boleh, ya sudah itu saja demokrasi Pancasila itu. Selebihnya ya demokrasi biasa. Jadinya negara ini nggak punya pegangan. Jadi kembalilah pada pegangan.
Jadi kembali lagi, apapun kekurangan dari pemerintah yang akan datang, apa Habibie menang dan mudah-mudhan tidak menang. Maaf kalau ada anggota Golkar disini, anda boleh memilih dan saya mendoa kalaupun Habibie nggak menang dan presidennya orang lain, koalisi dengan sistem presidentil itu susah. Walaupun banyak kurangnya, tapi demokrasi itu tetap kita pertahankan, dan saya ingin mengatakan kepada mahasiswa, peranan mahasiswa itu tetap diperlukan kalau DPRnya lembek. Jadi jangan difungsikan lagi fraksi-fraksi yang sudah. Anggota DPR harus difungsikan sebagai wakil yang utuh sebagai wakil rakyat. Jangan dia dijadikan ternak suara dari fraksi orang. Jadi anggota DPR itu bisa bersuara dan mengambil inisiatif, jadi jangan semua lewat fraksi itu.
Lewat 25 anggota menimbulkan suatu usul yang dijalankan oleh pleno dari 25 orang ini, tidak boleh dibatasi oleh satu fraksi, boleh dari fraksi manapun. Dengan demikian anggota DPR itu mempunyai kesempatan untuk inisiatif sendiri, jangan selalu hanya diperintahkan dari fraksi. Jadi yang kemarin terjadi itu fraksi Golkar di sidang MPR yang terakhir supaya mereka betul-betul memberikan suara kepada Suharto dan Habibie masih harus mendandatangani satu daftar nama, entah disumpahi atau tidak, tapi tanda tangan. Ini sejak nabi Adam baru sekali ini terjadi, jadi jangan masih nggak percaya sama anggotanya sendiri, masih pake tanda tangan. Sebetulnya dalam hati kecil saya itu, saya harapkan mudah-mudahan di Indonesia muncul seorang diktator tapi yang baik.
Jadi dari pada mengharapkan yang nggak mungkin, apapun kekurangan dari partai-partai nanti, apapun kekurangan dari pemerintah nanti, marilah kita pertahanlan demokrasi ini. Betapapun jeleknya demokrasi masih mendingan daripada suatu rezim militer. Betapapun jeleknya demokrasi masih mendingan daripada suatu pemerintahan yang otoriter yang dipegang oleh suatu kekuatan bersenjata. Saya nggak sistimen sama TNI, saya sendiri mantan perwira AD, tapi pengalaman kita selama 32 tahun di bawah rezim yang otoriter itu sungguh-sungguh tidak enak. Dan kita baru menikmati demokrasi baru satu tahun. Jangan sampai baru lima tahun, beberapa tahun ternyata partai-partainya nggak becus, pemerintah nggak becus lalu demokrasi diganti lagi, mari kita memberikan komitmen.
Apapun yang terjadi kita pertahankan demokrasi ini dan untuk ini memang peranan dari mahasiswa diperlukan. Dan tidak mahasiswa saja, tapi peranan dari unsur-unsur, dari tokoh-tokoh yang independen juga diperlukan. Bukan kita antipartai, tapi nanti yang harus dikritik tidak hanya partai-partai pemerintah, tapi juga partai-partai politik. Akan diperlukan juga figur-figur independen, seperti Nurcholish. Nurcholish itu independen, saya juga independen.
II
Saya hargai kegiatan pengurus KAHMI Jaya menyelenggarakan pertemuan ini. Sebagai orang tua yang sejak muda sering rapat, rapat di tempat yang begini terasa nikmat bagi saya. Pada tahun 1950-an kalau rapat di Asrama Mahasiswa Pegangsaan Timur tidak ada AC, bangku sederhana, makannya nasi bungkus.
Saya membicarakan dua hal : politik dan pemerintahan dalam negeri. Mengenai politik, dalam pengamatan saya, kondisi negara kita saat ini masih dalam keadaan serba ambivalen, serba setengah-setengah. Pemerintah bersikap ambivalen. Pelaksanaan supremasi hukumpun setengah-setengah. Ambil contoh praktik demokrasi. Dinyatakan setiap barisan demo tidak boleh melebihi 100 orang. Apa mereka mesti dicegat dan dihitung? Jika jumlahnya 105 orang, lantas 5 orang disuruh masuk ke kelompok lain? Katanya Pancasila, tapi pabrik-pabrik yang menguasasi hajat hidup orang banyak mau dijual kepada swasta. Pabrik baja dan pabrik semen yang merupakan basis untuk industrialisasi di Indonesia mau dijual ke pihak swasta. Kalau yang mau dijual itu hotel milik pemerintah (yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak) ya tidak apa-apa. Jadi, pemerintahan Habibie juga ambivalen.
Saya setuju dengan pernyataan rekan Maswardi Rauf tentang adanya salah urus. Sumber mismanagement itu adalah pemerintahan pusat. Jadi penyelesaiannya simpel saja : pemerintah pusat itu diganti. Tentu tidak hari ini, tetapi melewati Sidang Umum MPR. Prestasi Presiden Habibie dalam hampir satu tahun pemerintahannya adalah enam minus. Saya bukan jenis dosen killer, tapi angka itu menunjukan rendahnya kualifikasi pemerintah dalam mengatasi pelbagai krisis yang ada. Harus dicari pemerintah yang lain. Saya obyektif saja, ini bukan membela PDI-P. Saya orang independen. Tidak ikut kemana-nama tetapi bersedia datang kemana-mana yang undang saya. Kemana-mana itu artinya ke tempat yang baik.
Untuk saat sekarang, saya menganjurkan perlu dibentuk rekonsiliasi nasional, yang secara konkret diwujudkan melewati suatu koalisi besar (grand coalition). Dalam masa krisis, koalisis besar merupakan keharusan. Waktu Inggis berperang tidak ada yang namanya partai pemerintah atau partai oposisi. Partai Konservatif, Partai Buruh, dan Partai liberal menyatu menjadi grand coalition. Kita mengharapkan koalisi besar itu karena krisis yang kita hadapi ini betul-betul parah. Supaya jangan salah paham, yang (sudah) bertemu kan baru dua partai. Itu merupakan langkah pertama menuju grand coalition. Konkretnya kalau bisa, diadakan koalisi antara semua partai besar, PDI-P, Golkar, PPP, PAN, ditambah dengan Partai Keadilan dan PBB.
Dalam koalisi besar itu jangan dipersoalkan tiadanya oposisi. Oposisi bukanlah sesuatu yang wajib atau keharusan, oposisi adalah hak. Kalau partai koalisi ini dalam praktik (nanti) main kuasa melebihi Suharto kita masih memiliki mahasiswa dan kelompok-kelompok cendekiawan, bukan cendawan, disamping pers bebas. Sekali lagi oposisi, bukan kewajiban melainkan hak. Inilah menurut saya jalan keluar untuk mengatasi kondisi serba ambivalen, agar tidak berada dalam keadaan seperti yang dibayangkan seorang pujangga dari Inggris, Matthew Arnold, :”between two world, the ones is dead, the other still powerless to be born”. Suharto memang sudah lengser, tetapi reformasi belum menghasilkan suatu bentuk yang baru. Bagi anak-anak muda, istilah ambivalen dianggap terlalu halus, karenanya mereka lebih menyukai istilah munafik. Saya berharap jangan gampang menggunakan kata munafik. Menuduh orang munafik, dan ternyata tidak betul, kita akan berdosa besar.
Selanjutnya mengenai pemerintahan dalam negeri. Sejak proklamasi sebetulnya terdapat understanding di kalangan tokoh-tokoh bangsa. Bung Hatta menghendaki penerapan federal dalam arti murni. Gede Agung memahami federal dalam arti negara-negara boneka bikinan Van Mook, kepala NICA. Bung Hatta kalah suara, dan sejak saat itu our founding father itu mafhum bahwa, dalam negara kesatuan, akan diberlakukan desentralisasi dengan memberikan otonomi yang luas kepada propinsi-propinsi. Tapi nyatanya tidak sempat-sempat. Dalam periode 1945-1959 tidak sempat. Sampai dengan tahun 1963, Bung Karno baru menyelesaikan masalah pemberontakan dalam negeri dan soal Irian Barat. Bung Karno telah menyusun rancangan Pembangunan Semesta Delapan Tahun yang isinya penyebaran pembangunan di daerah-daerah dalam rangka otonomi daerah, lalu muncul G-30-S/PKI.
Latar belakang PRRI Permesta adalah protes sikap daerah terhadap pembangunan yang Jakarta sentris. Bung Karno memahami itu dan mau melaksanakan otonomi daerah, tetapi tidak sempat. Lalu muncul Pak Harto (anda begitu baik mengatakan Pak Harto has been a good guys). Dia tidak pernah menjadi good guy. Sewaktu menjadi panglima (Pangdam) ia ikut penyelundupan dengan Liem Sioe Liong sebagai kaki tangannya. Ini bukan menghujat Pak Harto. Pak Harto tahu, salah satu Tap (Ketetapan) Sidang Umum MPRS No. IV bulan Juni-Juli 1966 mengenai pemerintahan daerah memuat pemberian otonomi seluas-luasnya kepada propinsi-propinsi. Pak Harto membaca ini. Bahkan saat diangkat sebagai Ketua Presidium Kabinet Ampera, dia juga membaca ini karena ini landasan bagi Orde Baru, dan dia tidak melaksanakan amanah Tap itu. Jadi sebenarnya, otonomi daerah sudah menjadi program sejak proklamasi yang senantiasa terbengkalai.
Di bawah pemerintahan Suharto, masalah otonomi ini sama sekali diabaikan, malah sentralisasi semakin hari semakin ketat. Celakanya, Presiden Habibie menyelesaikan undang-undang otonomi daerah hanya untuk tingkat kabupaten. Dalam praktek, bukankah urusan-urusan pemerintahan yang dapat ditangani kabupaten terbatas, sehingga akan terlalu banyak urusan silang antar kabupaten yang menurut undang-undang harus dikoordinasikan oleh gubernur? Itu berarti, wewenang gubernur (sebagai perpanjangan tangan presiden) masih besar. Pak Habibie tidak memahami hukum, tapi DPR juga kelewatan. Kita juga toleran kepada DPR ini. Dalam hati kecil saya, saya setuju DPR dibubarkan saja. Lembaga ini kan hasil dari sistem lama, tetapi karena sudah tua saya tidak mau revolusioner-revolusioneran. Hanya saja, makin ditolerir mereka malah makin tidak karuan.
Butir terakhir dari adik saya Tubagus Ismail tentang kelompok masyarakat yang kreatif itu bagus sekali. Yaitu pribadi-peribadi yang independen, nonpartisan, tidak mempunyai pamrih, tetapi memberikan pikiran-pikiran. Kelompok ini tetap diperlukan karena partai-partai harus dibantu, mereka akan terus mabuk kemerdekaan. Bisa-bisa muncul kecenderungan lain : partai mengambil alih kekuasaan. Hal ini jangan sampai terjadi. Berapapun banyaknya kekuranan demokrasi, demokrasi mesti dipertahankan. Demokrasi yang belum baik akan jauh lebih baik dari pemerintahan diktator dan otoriter.
Saya tidak menyinggung masalah identifikasi bangsa kita, karena saya sudah menganggap sebagai kenyataan bahwa yang namanya bangsa Indonesia bukan lanjutan dari Majapahit. Apa masih ada orang berpikir begitu? Paling-paling Pak Harto yang mengatakan Pancasila sama dengan Honocoroko. Adalagi yang berpendapat Pancasila itu warisan dari Majapahit. Majapahit itu pada abad ke-14, dan ideologi itu muncul kembali (mengglobal) setelah revolusi Prancis, yang diikuti Revolusi Amerika pada abad ke-18.
Apa mungkin nenek moyang Majapahit pada abad ke-14 sudah menciptakan Pancasila? Pada abad ke-14 di dunia belum dikenal ideologi. Yang ada hanya sistem kerajaan absolute dalam abad pertengahan di Eropa. Saya memandang bangsa Indonesia bukan lanjutan dari Majapahit, juga tidak sekonyong-konyong lahir pada tanggal 17 Agustus 1945, tapi tidak juga pada awal abad ke-20. Apa Budi Utomo dianggap sudah mengenal bangsa Indonesia? Belum, karena mereka baru mengenal suku Jawa.
Kesadaran kita sebagai bangsa muncul dari sikap kita melawan Hindia Belanda yang dimulai dengan lahirnya Syarikat Islam pada 1911, lalu Syarikat Islam terpuruk pada tahun 1918 karena ikut Volksraad. Dilanjutkan oleh PKI dari tahun 1920 sampai 1926. Yang pertama kali memakai “Indonesia” justru PKI, yang muncul pada tahun 1920. Sebelumnya nama organisasi itu menggunakan bahasa Belanda (yang terjemahannya : Serikat Buruh Sosial Demokrat). Kemudian dilanjutkan oleh Bung Karno tahun 1927, diperkuat Sumpah Pemuda 1928. Dulu, wilayah Tanah Air dianggap bekas Hindia Belanda. Anda masih mempersoalkan itu. Saya anggap itu merupakan fakta yang sudah kita terima sebagai kenyataan. Kalau mau merevisi UUD, ya revisi saja, tidak usah dikait-kaitkan dengan itu.
Perlu saya tegaskan bahwa kontrak sosial itu ada, yang dibuat pada 22 Juni 1945. Dalam kontrak sosial tersebut disepakati mendirikan negara merdeka yang mempunyai ideologi. Ideologinya adalah seluruh Pembukaan UUD, bukan lima sila dari Pancasila saja. Gagasan ideologi tersebut bersumber dari pidato Bung Karno yang selanjutnya dirumuskan oleh Panitia Sembilan. Itu kontrak sosial. Itu pula sebabnya Pembukaan UUD 1945 tidak boleh diubah. Proklamasi merupakan realisasi dari kontrak sosial 22 Juni 1945. Mengubah Pembukaan UUD 1945 berarti mengganti negara proklamasi.
Kita jangan terlalu bebas dengan masalah revisi. Ini persoalan berat. Kita sudah mengalami bahaya disintegrasi. Bukannya saya main diktator-diktatoran, tetapi kita harus menyepakati hal-hal yang bersifat prinsipil. Anda bebas tapi kebebasan itu tetap memiliki batas-batas. Jika menyinggung soal Pembukaan UUD 1945, akhirnya akan menyinggung Negara Kesatuan. Nanti orang Yogya bisa mempersoalkan : apa betul bangsa Indonesia bisa menerima Republik. Mungkin mereka lebih menyulai bentuk kerajaan. Jadi maaf, saudara Syamsudin Haris. Saya perlu bertanya kepada penyelenggara, apakah masalah revisi UUD termasuk dalam Sesi I (Politik dan Pemerintahan Dalam Negeri) atau Sesi IV (HAM, Hukum dan Perundang-undangan)?
Saya berpikir, kita tidak perlu lagi mempertanyakan nasionalisme Indonesia yang sudah 54 tahun merdeka. Jangan dikira nasionalisme orang Aceh berbeda dari nasionalisme orang Sunda. Nasionalisme, dasar, arah, dan tujuannya seperti yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, sudah jelas. Pembukaan jangan diusik-usik, apalagi dalam kondisi seperti sekarang yang diwarnai dengan banyaknya orang jengkel. Kejengkelan tersebut sebenarnya ditujukan kepada Suharto. Sistem memang harus diperbaiki, juga orang-orangnya. Jadi, jangan Pak Harto saja yang disalahkan. Jangan biarkan partai lembek berlindung di balik UUD.
DPR itu titik beratnya pada pertimbangan politis. Sedangkan UD (Utusan Daerah) pada pertimbangan daerah, pembangunan daerah (nonpolitis). Adapun UG (Utusan Golongan) merupakan kelompok ketiga yang tidak diwakili DPR ataupun UD, tapi tetap diperlukan. Dalam Penjelasan UUD 1945 disebutkan, UG itu serikat pekerja dan badan koperasi. Jadi hanya yang terkait dengan bidang ekonomi. Sekarang UG justru diisi oleh kelompok Islam, Kristen, cendekiawan, dan lain-lain. Ini terjadi karena ketidakpahaman terhadap falsafahnya. Utusan Golongan bisa diartikan, misalnya kelompok tani, nelayan. Mengenai jumlah (anggota) MPR yang dibikin sama dengan DPR, disini Pak Harto betul. Jika DPR suatu waktu memanggil Presiden, MPR mempunyai veto untuk meninjaunya. Mengenai DPA (yang asalnya dari Belanda), saya setuju dihapus saja.
Mengatasi krisis harus dilakukan bersama-sama. Kalau ada grand coalition di Indonesia, siapa yang memimpin? Andai kata partai-partai besar sepakat pemimpinnya diundi, ini berarti diserahkan kepada Tuhan. Mungkin cara ini tidak disetujui. Untuk itu perlu patokan. Patokannya ialah, partai yang mempunyai suara terbanyak dalam Pemilu. Ini termasuk etika demokrasi. Tugas DPR tetap mengkritik. Kalau nggak ada DPR masih ada mahasiswa, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), dan lain-lain yang dapat berfungsi sebagai sarana kritik. Yang jelas, sistemnya harus diperbaiki.
III
Saya mendengar suatu hukuman-hukuman. Mula-mula terhadap UUD 1945, kemudian dwifungsi, lalu diperluas kepada BPUPK yang seolah-olah tidak mengenal HAM. Hukuman terhadap BPUPK adalah antek Jepang dan fasistis, itu tidak benar. Memang BPUPK didirikan oleh pemerintah militer Jepang, dengan maksud membincangkan soal-soal teknis sekitar persiapan untuk kemerdekaan. Oleh para pendiri Republik, BPUPK dimanfaatkan untuk membahas hal-hal yang prinsipil, seperti membicarakan masalah dasar negara. Pihak Jepang jelas tidak suka kita membicarakan hal ini. Karena itu Yamin mengatakan, keputusan mengenai dasar Negara (22 Juni 1945) merupakan follow up dari pidato Bung Karno 1 Juni sebagai keputusan di bawah tanah (tidak diketahui pihak Jepang).
Dalam BPUPK ada tiga aliran mengenai HAM. Bung Hatta dan Yamin menghendaki HAM dicantumkan secara lengkap. Soepomo tidak setuju, dengan alasan kalau itu dicantumkan dengan lengkap, negara itu liberalistik, padahal Indonesia adalah negara gotong royong. Lalu jalan tengah diambil, dan diterima oleh sidang, yaitu : butir-butir HAM tidak dicantumkan secara tegas, hanya yang penting-penting yang dimuat dalam UUD (Pasal 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, dan 34). Kok tega-teganya mengatakan bapak-bapak pendiri negara tidak mengenal HAM. Keliru itu. Literaturnya mana? Coba bawa kesini. Saya tantang. Kalau tidak ada rujukannya, jangan ngomong. Siapa yang tidak marah pendiri negara dikatakan seperti itu. Ini model berdemokrasi apa? Boleh bebas tapi jangan ngawur.
Kedua, siapa yang mengatakan UUD 1945 itu merupakan sistem yang mengandung president heavy? Tidak ada pasal-pasal yang mengatakan itu. Sistem UUD kita adalah keseimbangan antara antara Presiden dan DPR. Bacalah pasal-pasalnya lengkap dengan penjelasannya. Memang Pasal 5 mengatakan : “Presiden mempunyai wewenang membentuk undang-undang”, tapi “dengan persetujuan DPR”. Dalam Penjelasan UUD disebutkan, Presiden harus memperhatikan suara DPR. Memperhatikan disini dalam arti menyesuaikan diri. Kalau presiden tidak menyesuaikan diri dengan suara DPR, DPR dapat mengundang Sidang Istimewa MPR untuk menghukumi presiden agar bertanggung jawab atas kebijaksanaan yang dinilai bertentangan dengan UUD, GBHN, atau hukum.
Masa UUD kita merupakan sistem dan bagian otokrasi. Kita boleh debat lagi. Mau apa kalian. Tidak boleh sentimen. Saya juga jadi sentimen. Coba pikirkan : apakah Hatta, Yamin dan Sukarno – orang-orang pemimpin zaman penjajahan itu – menghendaki presiden di negara ini presiden yang otokrat, dan pasal-pasalnya dibuat untuk itu? Tidak masuk akal. Mengapa terjadi? Karena partner (DPR) dari presiden lemah. DPR ini mempunyai wewenang untuk menyatakan bahwa suatu kebijaksanaan presiden keliru. Dan itu pernah dilaksanakan waktu zaman saya di DPR-GR. Tapi waktu 32 tahun zamannya Suharto tidak pernah. Siapa yang salah? Yang salah DPR-nya bukan UUD-nya.
Mengapa DPR seperti itu? Karena pemimpinnya lembek. Pimpinan partainya lembek. Kalau mereka mengatakan “Kami dibikin lembek”, saya persoalkan, Mengapa mau dibikin lembek? Takut? Lho, takut kok jadi pemimpin. Jadi, yang salah tidak Suharto saja yang otoriter, para pemimpin partai juga salah. Enak benar menyalahkan UUD. Suharto nanti malah enak, mengatakan “Saya kan otokrat berdasarkan UUD”. Memang ada kata-kata concentration of power. Yang dmaksudkan adalah concentration of executive power. Sistem presidensil memang begitu. Tapi di AS ada check and balances. Di kita sebenarnya juga ada check and balances, cuma partai-partai dan DPR tidak menggunakannya.
Mengenai presiden yang diatur oleh undang-undang. Sebenarnya tidak persis seperti itu. Pemilu dan presiden sebenarnya ketentuannya ada dalam UUD. Prinsip-prinsip pemilu ditentukan oleh Tap MPR, kemudian diimplementasikan oleh undang-undang. Jadi jangan dikatakan pemilu untuk memilih presiden, pemilunya sendiri diatur oleh undang-undang. Itu oke-oke saja, karena undang-undangnya berdasarkan beberapa prinsip yang sudah ditentukan dalam Tap MPR. Seperti pemilu kita yang luber. Ketentuan luber itu termuat dalam Tap MPRS Sidang Umum MPRS bulan juli 1960. Jadi, keliru kalau dikatakan undang-undang di bawah mengatur yang di atas.
Mengenai penghapusan UG, menurut saya, kita harus memahami apa yang disebut dalam Penjelasan UUD. Mengapa ada tiga komponen dalam MPR (anggota DPR perwakilan politik, perwakilan daerah, dan UG). Jika dari perwakilan politik saja, ada kepentingan-kepentingan dari rakyat yang belum terpikirkan dan aspirasinya belum tertampung. Maka itu dilengkapi dengan utusan daerah (UD). UD dipilih oleh DPRD I, tetapi bisa juga dipilih oleh pemilihan rakyat dari propinsi. Masih terpikirkan lagi bahwa ada kelompok-kelompok masyarakat yang belum tertampung aspirasinya, meskipun ada perwakilan politik oleh partai-partai dalam pemilu. Juga meskipun sudah ada UD, maka diadakanlah UG. Siapa yang dimaksud UG? Kita baca dalam Penjelasan, yaitu badan kolektif seperti koperasi dan serikat pekerja. Kalau ini diteruskan, bisa buruh, tani, nelayan, dan profesi-profesi seperti guru, dosen, dokter, pengacara. Kalau berpegang pada dua kata itu, hanya badan kolektif ekonomi dan profesi. Sekarang ini ada golongan agama, itu sebenarnya sudah menyimpang dari jiwa UG.
Lalu yang tidak cocok dengan golongan dan profesi, yakni rakyat yang terbelakang. Suku terasing ini jumlahnya cuma beberapa ribu. Tak perlulah kita mencari-cari pekerjaan. KPU yang sedang mabuk demokrasi tidak memahami isi dan Penjelasan UUD 1945.
Saya lanjutkan lagi mengenai federal. Pada tahun 1945 tidak dipilih federal karena bangsa kita di seluruh pelosok belum mempunyai kesadaran satu bangsa, satu negara, dan satu pemerintah. Mengapa Bung Hatta yang tadinya menyetujui federal akhirnya tunduk ke kesatuan. Kesatuan dengan pengertian bentuk pemerintah daerah bukan sentralisasi, melainkan desentralisasi. Desentralisasi ini terlambat 54 tahun. Pemerintah Suharto diteruskan ke Habibie mau melaksanakan desentralisasi, tapi dengan memberikan otonomi pada tingkat kabupaten. Kalau kabupaten, masih banyak urusan yang tidak bisa ditangani sendiri. Misalnya urusan perdagangan antar kabupaten, yang akan menyangkut macam-macam, seperti pelabuhan, dan lain-lain. Hal-hal yang bersifat lintas dua atau lebih , menurut undang-undang dikoordinasikan oleh gubernur – akhirnya masih banyak yang dikoordinasikan oleh gubernur. Dan gubernur itu wakil pemerintah pusat, ini namanya masih sentralisasi. Saya tidak paham logika Mendagri.
Soal Aceh, mau diberi otonomi setiap kabupaten yang jumlahnya 11, mereka tidak puas. Maunya otonomi penuh propinsi Aceh daerah istimewa dan dibentuk dengan undang-undang. Dan isinya jangan soal agama, pendidikan, dan adat. Isinya yang penuh, pemerintahannya dipilih oleh rakyatnya sendiri, kepala daerah dipilih oleh rakyatnya sendiri, juga timbangan keuangan, kekayaan alam serta pengelolaan yang dilakukan bersama-sama. Tidak dilakukan oleh pemerintah pusat saja. Lha wong di pusat masih banyak maling. Maunya dikelola bersama-sama.
Mengenai fungsi MPR (karena adanya pertanyaan perlukan MPR itu). Ini khas Indonesia, ini pemikiran yang amat kreatif dari pendiri republik tentang trias politika. Di atas eksekutif ada MPR yang bisa meminta pertanggungjawaban eksekutif. Lantar legislatif dan yudikatif bagaimana? Ada yang berpendapat judicial review dilakukan MA. Tidak cocok di Indonesia, karena sama-sama lembaga tinggi. Sebenarnya judicial review ini juga dilakukan oleh MPR. MPR bisa membentuk Mahkamah Konstitusi. Mahkamah ini yang melakukan judicial review terhadap terhadap produk undang-undang yang dihasilkan legislatif.
Mengenai MA, MA itu keputusan final. Apalagi setelah ada peninjauan kemnali (PK). Apa bisa dilakukan yang lebih tinggi? Itu terlalu tidak praktis. Kalau diadakan satu tingkat lagi, perkara akan kesitu lagi. Jadi berupa apa? MPR berwenang menilai prestasi (kondite) dari hakim agung, termasuk Ketua MA-nya. Yang dinilai pribadinya, bukan putusannya. Kalau tidak begitu, tidak ada kontrol terhadap Ketua MA. Dalam lima tahun terakhir ini terjadi keputusan-keputusan aneh dan disposisi aneh dari MA. Pemerintah Daerah Irian juga kalah. Dalam tingkat tertinggi, tinggal menyita kekayaan daerah. Dengan surat dari Ketua MA, tidak melewati sidang, dan mengatakan kekayaan daerah tidak boleh disita. Ini bukan hukum. Masa surat dari MA bisa menentukan.
Dengan cerita seperti ini, yang berwenang adalah MPR. Namanya bisa komisi khusus. Jadi, dari tiga-tiganya trias politika itu ada kontrol yang lebih tinggi. Kalau anda tanya siapa yang mengontrol anggota MPR, ya tidak ada. Serahkan kepada pemilu. Kalau anggota DPR yang tidak terpilih, berarti sangsinya bahwa dia tidak becus. Tidak usah pakai badan tersendiri. Sebenarnya kalau kita menempuh cara yang dipakai oleh negara-negara Skandinavia dan Barat, ada yang dinamakan ombudsmen, ini adalah pegawai negeri atau pejabat negara yang tugasnya menerima keluhan-keluhan dari warga negara atas kebijaksanaan yang tidak tepat.
Ombudsmen ini harus mempunyai wibawa terhadap pejabat di departemen. Dia bisa menegur. Bisa tidak orang Indonesia mengatakan “Mas, tolong ini diperbaiki” kepada sahabatnya yang kebetulan menjadi pejabat, dirjen, direktur? Belum kan? Jika demikian, belum bisa ombudsmen disini. Tapi sebetulnya bisa. Orang-orang pensiunan seperti pak Sarwono atau saya, kan masih punya cukup energi. Kalau orang-orang pensiunan diangkat menjadi ombudsmen, gajinya tidak perlu tinggi-tinggi. Pensiunan menteri kan lumayan. Pensiunan anggota DPR juga lumayan. Beri saja uang bensin Rp 500 ribu/bulan. Maaf jika saya rada emosional.
Kalau kita meniru cara Malaysia, pemerintah Malaysia memiliki komisi permanen pemberantasan korupsi. Komisi ini terdiri dari alat-alat unsur hukum (polisi, jaksa, hakim). Tugas pertama adalah jaksa. Jaksa mereka independen, tidak merupakan bagian dari Kejaksaan Agung. Tapi jaksa ini juga bukan jaksa umum. Tugas mereka hanya dalam rangka pemberantasan korupsi. Jaksa Agung tidak menangani korupsi. Ini diterapkan secara permanen karena pemerintah Malaysia menilai, manusia cenderung untuk korupsi. Karena kecenderungan ini permanen maka komisi ini juga permanen. Satu hal lagi, ini diterapkan pembuktian terbalik. Jadi, jika seseorang pejabat tidak bisa membuktikan bahwa kekayaannya diperoleh secara sah, kekayaannya tidak sah, dan disita. Mengapa pemerintah kita tidak berpikir seperti itu? Pak Harto pasti tidak mau. Apakah SU MPR bisa memerintahkan kepada pemerintah untuk membangun, katakanlah, Komisi Permanen Pemberantasan Korupsi.
Lain mengenai polisi militer, pengadilan militer, tidak sepenuhnya melaksanakan tugas untuk menyidik atau mengadili oknum polisi/militer yang melanggar HAM – misalnya para peristiwa Trisakti dan Andi Ghalib. Ghalib itu seorang militer yang menjalankan fungsi sipil. Waktu ia melaksanakan tugasnya, dia diduga melakukan korupsi. Ini harus dibuktikan oleh polisi atau polisi sipil. Disini ada perbedaan interpretasi. Si Wiranto menganggap, karena Ghalib militer, Ghalib harus diperiksa oleh polisi militer. Menurut pikiran lain, waktu Ghalib menerima bantuan dari dua konglomerat (Prayogo Pangestu dan Nin King), dia dalam posisi orang sipil. Dia mau menerima (uang), tapi mengelakkan konsekuensinya? Siapa yang harus mengoneksi? Ketua MA, karena semua peradilan plus semua aparat-aparat peradilan itu berada di bawah MA. Mestinya MA menegur polisi militer : “Anda tidak berwenang, karena Andi Ghalib ini waktu berbuat sedang mengemban jabatan sipil”.
Tapi dari ketua MA tidak bisa diharapkan, karena dia seorang marsekal. Marsekal ini takut kepada Angkatan Darat. Itulah nasib peradilan kita. Tapi, LBH juga lupa mempersoalkan ini. Mestinya dipersoalkan dari segi prosedurnya. Masa Ghalib dibebaskan oleh polisi militer dengan alasan tidak cukup bukti. Mestinya, dalam menghadapi perkara yang besar-besar, ketika masyarakat sudah goncang, polisi menyerahkan urusan ini kepada jaksa. Tapi, ya sama saja. Pejabat Jaksa Agung yang sekarang ini lembek juga. Dalam hal ini peranan demontrasi mahasiswa masih sangat penting. Parlemen jalanan masih terlalu sangat penting. Setelah pembentukan pemerintahan baru, mereka masih terlalu sangat penting.
Hukum pidana yang berlaku bagi militer sebenarnya sama bagi kitab undang-undang hukum pidana. Cuma untuk militer ada tambahan. Misalnya, perbuatan-perbuatan yang menyangkut disiplin militer, itu khas militer. Yang berbeda adalah hukum acaranya. Di militer, penyidikan terhadap seorang militer kalau sudah ada surat perintah/ persetujuan dari atasam/komandannya langsung. Militer yang melakukan perkosaan memang harus di bawa ke Mahkamah Militer. Peraturannya memang demikian. Kalau mau mengatasi ini, perlu dibentuk Mahmilub. Mahmilub itu dilepaskan dari badan-badan militer. Habibie terang tidak berani membentuk ini.
Wiranto juga tidak mau. Tapi kalau pemerintah baru bisa, mengingat oditur dari Mahkamah Militer dari pemerintah lama. Pemerintah baru bisa membentuk Mahmilub, bahkan sekaligus menentukan personalia baru – baik jaksa militer, hakim-hakim militer, termasuk polisi militernya – di bawah peradilan militer.
Tempo hari Bung Karno membentuk Mahmilub, kekuatannya hanya undang-undang, yang sebenarnya kurang kuat sehingga bisa dipersoalkan sah atau tidaknya. Tapi kalau Tap MPR menugasi pemerintah – untuk masalah-masalah yang akut menyangkut satu propinsi yang amat menderita, seperti Aceh – pemerintah bisa membentuk Mahmilub. Perbedaannya hanya, pemerintah cepat mengangkat personalia-personalia baru. Bahkan orang sipilpun bisa. Tinggal memberi pangkat militer saja. Jadi, bisa dengan Tap MPR.
Sistem pengadilan kita adalah pengadilan majelis hakim, belum juri. Rakyat kita belum saatnya untuk menjadi yuri karena pendidikannya kurang, pemahamannya terhadap seluk beluk hukum juga kurang. Rakyat kita belum cukup mandiri dan berani. Untuk sementara ini pengadilan juri belum bisa. Pengadilan juri ini berjalan di bawah sistem Anglo-Saxon. Di Eropa masih sistem majelis, kalau perkaranya agak besar, majelisnya lima orang. Kalau di Eropa integritasnya 100 persen penuh. Mampu menjatuhkan putusan-putusan yang berat. Lha untuk human crime saja, mereka berani menangkap jenderal.
Dari segi formal, saya belum tahu apakah negara kita menyatakan/menerima yurisdiksi dari pengadilan internasional di Den Haag. Saya kira belum. Yurisdiksi dari pengadilan internasional di Den Haag itu terbatas kepada kejahatan-kejahatan kemanusiaan (sekarang lebih luas, tidak hanya war crime, tapi juga crime against humanity). Kalau negara yang bersangkutan dinilai tidak mampu – seperti kemarin, Bosnia Herzegovina – lalu meminta ke Mahkamah Internasional, penilaian dilakukan oleh satu tim. Sekarang ditambah Kosovo, yang juga dinilai tidak mampu karena negara itu lebih kecil dari Serbia.
Saya sebenarnya menyetujui pikiran Parwan (Soeparwan G. Parikesit). UUD ini memang banyak kekurangan, harus diubah. Kalau mau diubah ya ubah saja, tapi jangan dengan pengamatan yang keliru. Kalau dikatakan pendiri republik tidak mengenal HAM, itu salah. Apa mau menyangkal bahwa itu salah. Bahwa para pendiri republik ini fasistik, itu salah. Mereka demokrat-demokrat tulen. Kalau mau ubah, silakan. Saya katakan, pasal-pasal yang mengatur check and balances, yang mengatur antara hak DPR dan presiden itu harus dibuat.
Mengenai pasal 6 dan 7 itu, yang salah siapa? MPR dalam Sidang Umum 1978 di peraturan tata tertib dikatakan : MPR tidak akan mengubah UUD dan akan melaksanakannya secara murni dan konsekuen. Kalimat ini mengandung contradiction in terminous. Sebab, kalau mau melaksanakan UUD secara murni dan konsekuen, justru harus mengubah UUD. Ini salah siapa? Peraturan tata tertib MPR salah siapa? Apa salah UUD? Wong UUD sudah memberikan pasal 37. Ya salahnya MPR, MPR takut. UUD harus diubah. Kesalahan pertama pada Pak Harto. Kesalahan kedua, partai-partai yang lembek (Golkar, PPP, dan PDI). Untung PDI sekarang sudah masuk kotak, tapi PPP kan belum. Untuk mengatakan PPP-nya tidak lembek, mereka berdalih : “Kami dizalimi terus oleh Golkar”. Pertanyaannya : kenapa mau? Ini yang harus ditonjolkan. Saya akan beri makalah saya kalau mau, dimana saya mengusulkan beberapa pasal-pasal dan penjelasannya.
Penjelasan itu dalam kenyataannya sudah diterima sebagai bagian dari UUD. Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kemudian ditambah dalam Sidang-sidang MPRS tiga kali di Bandung (1963-1965). Dalam sidang-sidang MPR dari 1973 sampai kemarin. Penjelasan itu sudah dianggap sah dan merupakan bagian dari UUD. Jangan dikatakan itu hanya catatan. Saya bisa menceritakan sejarahnya. Setelah UUD disahkan (18 Agustus 194), Pak Pomo (Soepomo) berpikir kembali, “Wah, itu UUD 1945 masih banyak kekurangannya”. Dia minta ditugaskan agar membuat penjelasan. Tapi, Penjelasan yang dibuat Soepomo tidak sempat diminta pengesahannya di sidang PPKI. Karena sidang PPKI berhenti pada 28 Agustus dengan dibentuknya Komite Nasional Indonesia Pusat. Pak Pomo juga tidak sempat meminta pengesahan dari KNIP, karena pada 15 Oktober KNIP dipetieskan oleh orang-orangnya Syahrir. Lalu dibentuk Badan Pekerja yang ketuanya Syahrir. Lha Syahrir ini tidak ikut dalam pembuatan UUD. Dia tidak tertarik membicarakan UUD. Pak Pomo pintar, bulan Januari disusulkan saja kepada UUD. Kemudian dimuat dalam Berita Republik bulan Pebruari 1946. Sejak itu, Penjelasan merupakan satu bagian. Kalau dilihat asal usulnya, memang hasil pemikiran Pak Pomo perseorangan, tapi itu kemudian diterima apa adanya menjadi satu kesatuan. Secara hukum, itu sudah menjadi bagian UUD.[]
6
Wacana Konstitusi dan Demokrasi Bung Karno
Sejak semula, paham kebangsaan yang dibawakan oleh Bung Karno pada tahun 1926/1927 bukanlah paham kebangsaan tok, tetapi paham kebangsaan dengan kualifikasi tertentu, yaitu kebangsaan yang berkemanusiaan, berdemokrasi, dan berkeadilan sosial. Paham demikian biasanya disebut sebagai sosio nasionalisme dan sosio demokrasi, disingkat sosio-nasio-demokrasi.
Adanya unsur demokrasi dalam paham kebangsaan ini menunjukkan bahwa Bung Karno adalah penganut demokrasi. Di bawah ini akan diceritakan beberapa peristiwa yang membuktikan bahwa Bung Karno adalah seorang democrat.
Pada tanggal 15 Oktober 1945 KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) mengadakan sidangnya di Gedung Kesenian Pasar Baru Jakarta. KNIP merupakan badan yang membantu Presiden dalam menjalankan fungsi legislatif yang dibentuk pada tanggal 22 Agustus 1945 oleh dan merupakan kelanjutan dari PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Keanggotaan KNIP mewakili propinsi-propinsi seluruh Indonesia dan berjumlah lebih kurang 100 orang anggota yang pada waktu itu tidak semuanya sudah berdomisili di Jakarta. Sidang KNIP tanggal 15 Oktober 1945 itu dihadiri oleh lebih dari 50 orang anggotanya dan dipimpin oleh Ketua KNIP, Mr. Kasman Singodimedjo.
Atas usul anggota KNIP dari kelompok Syahrir yang hadir dalam sidang tersebut, sidang memutuskan membentuk Badan Pekerja KNIP yang terdiri dari 40 orang yang setiap waktu dianggap dapat turut bersidang di Jakarta atau kemudian di Yogyakarta setelah ibukota RI pindah ke Yogyakarta. Dengan terbentuknya Badan Pekerja KNIP, KNIP pleno hanya akan bersidang jika ada keperluan mendesak, karena tugas KNIP sehari-hari akan dijalankan oleh Badan Pekerja KNIP.
Menurut yang dikisahkan oleh Pak Kasman, Ketua KNIP pleno, sidang tanggal 15 Oktober 1945 itu berjalan dengan cara yang aneh yang tidak selayaknya dilakukan dalam sidang-sidang yang benar-benar demokratis. Menurut Pak Kasman, dia dan sidang tanggal 15 Oktober 1945 itu “overrompeld” (“diserang” secara mendadak) oleh kelompok Syahrir dalam sidang yang menggunakan cara-cara tidak lazim, misalnya dengan mendukung usul sambil berteriak dan bertepuk tangan berlebihan. Cara demikian memang dimaksudkan untuk membuat kesan bahwa mereka adalah pemuda-pemuda yang “revolusioner” sehingga anggota-anggota KNIP yang hadir amat turut terpengaruh oleh cara “overrompeld” itu. Yang terpilih menjadi Ketua Badan Pekerja KNIP tanggal 15 Oktober 1945 itu adalah dalam rangka “revolusi” demokrasi yang dijalankan oleh Pak Syahrir.
Menurut saya “revolusi demokrasi”-nya Syahrir itu hanyalah sebuah dalil untuk membenarkan langkah-langkah Syahrir selanjutnya menuju kekuasaan.
Selain membentuk Badan Pekerja KNIP, Sidang Pleno juga menutuskan untuk memberi kekuasaan legislatif kepaa Badan Pekerja, dengan demikian mengambil-alih kekuasaan Presiden yang menurut Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 “kekuasaan legislatif itu berada di tangan Presiden dengan bantuan Komite Nasional”.
Dan yang aneh, bahkan yang merupakan keanehan dalam sejarah RI, khususnya sejarah ketatanegaraan RI, yang menandatangani SK penyerahan kekuasaan legislatif oleh Presiden RI kepada Badan Pekerja KNIP itu bukanlah Presiden Sukarno; padahal yang tercantum dalam pasal IV Aturan Peralihan tersebut adalah Presiden, sekali lagi Presiden, Presidenlah yang menjalankan kekuasaan legislatif dibantu KNIP.
Yang menyerahkan kekuasaan legislatif kepada Badan Pekerja KNIP adalah Wakil Presiden Moh. Hatta dalam bentuk Maklumat Pemerintah No. X (eks)/1945. Dari mana Wakil Presiden Moh. Hatta mempunyai wewenang untuk melakukan wewenang Presiden Sukarno, c.q. menyerahkan kekuasaan legislatif kepada Badan Pekerja KNIP? Ini merupakan misteri yang sampai sekarang belum ada klarifikasinya.
Dan mengapa Maklumat Pemerintah itu diberi nomor X (eks) ialah karena dengan alasan mau revolusioner, atas desakan anggota-anggota KNIP pleno kelompok Syahrir, Bung Hatta menuruti desakan itu dan malam itu juga disaksikan oleh mereka dari kelompok Syahrir menandatangani Maklumat Pemerintah tersebut.
Demi “revolusi demokrasi”-nya Syahrir dan demi revolusionernya kelompok Syahrir, Bung Hatta tidak menunggu sampai keesokan harinya untuk menanyakan kepada Sekneg nomor urut surat-surat Presiden, sehingga lalu memberi nomor X (eks) kepada Maklumat Pemerintah tanggal 15 Oktober 1945.
Bung Karno tahu kalau beliau di-fait-accompli-kan dengan Bung Hatta, namun karena jiwa demokrasi berikut toleransinya, Bung Karno sebagai Presiden menghormati putusan Sidang Pleno KNIP tanggal 15 Oktober 1945 itu dan mengimplementasikannya. Inilah sebuah contoh bahwa Bung Karno adalah seorang demokrat bahkan demokrat murni, karena tidak akal-akalan seperti yang dilakukan Syahrir.
Demokratnya Bung Karno saya katakana murni karena memang semata-mata hanyalah untuk kepentingan negara dan revolusi pada waktu itu, yaitu untuk mencegah friksi/konflik antara Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta. Sementara, “demokrat”nya Syahrir hanyalah sebagai dalih untuk menutupi skenario politiknya menuju kepada kekuasaan.
Contoh lain betapa demokratnya Bung Karno adalah setelah bubarnya RIS dan Negara Kesatuan Republik Indonesia muncul kembali berikut UUD Sementara tahun 1950, Bung Karno menunjuk Moh. Natsir, Ketua Umum Masyumi sebagai formatur Kabinet, karena fraksi Masyumi meskipun tidak memiliki mayoritas di Parlemen Sementara RI, namun memiliki fraksi terbesar.
Contoh lagi betapa demokratnya Bung Karno adalah sewaktu Presiden Sukarno dalam pidato kenegaraan tanggal 17 Agustus 1953 membela terbentuknya Kabinet Ali Sastroamidjojo yang terbentuk melewati empat kali penunjukan formatur oleh Presiden, karena tiga formatur sebelumnya gagal, dan pembentukan Kabinet Ali I itu makan waktu dua bulan. Demikian pembelaan Presiden Sukarno terhadap Kabinet Ali : “lamanya krisis Kabinet yang baru lalu adalah justru satu bukti bahwa kita ini bagaimanapun juga, -bagaimanapun juga, - coute que coute, tidak mau meninggalkan prosedur Demokrasi Parlementer. Terus, terus pada waktu itu saya usahakan prosedur Demokrasi Parlementer … sampai akhirnya formatur yang keempat mencapai hasil. Tidakkah ini suatu bukti bahwa kita benar-benar mengikhtiarkan demokrasi”.
Mengapa lima tahun kemudian sejak kira-kira 1958, Bung Karno lalu ingin membuang sistem Demokrasi Parlementer yang disebut juga Demokrasi Liberal? Karena demokrasi liberal tahun 1950-an itu tidak mampu menciptakan pemerintahan yang stabil. Umur kabinet rata-rata hanya satu tahun termasuk waktu untuk membentuk kabinet. Dalam jangka waktu 1950-1959 telah terjadi pergantian kabinet tujuh kali.
Pemerintah yang tidak stabil alias sering berganti-ganti itu tentulah tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah yang harus diselesaikan oleh Pemerintah, diantaranya masalah pemberontakan DI/TII yang sejak bulan Agustus 1949 memproklamasikan berdirinya NII. Karena pemerintah yang tidak stabil itu pula meletus pemberontakan PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi Utara pada tahun 1958.
Bung Karno lalu mengganti Demokrasi Liberal itu dengan Demokrasi Terpimpin, yaitu agar demokrasi tidak sekedar menghasilkan keputusan mayoro-krasi, melainkan agar prinsip kerakyatan (demokrasi) yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (sila ke-4 Pancasila) serta demi melancarkan Revolusi Pancasila yang menjadi haluan dari pemerintahan Sukarno.
Menurut Bung Karno, Pancasila hanyalah dapat terlaksana melalui revolusi dalam arti seakar-akarnya Orde Kolonial (unwertung aller werten) dan membangun masyarakat baru yang bernapaskan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Demokrasi terpimpinnya Bung Karno adalah demokrasi yang dipimpin oleh kepentingan terlaksananya Pancasila dengan Revolusi Pancasila-nya. Bahwa Demokrasi Terpimpin itu lalu dipimpin oleh Bung Karno sendiri, dalam hal ini Bung Karno hanyalah ingin menciptakan Pimpinan Tunggal dari Revolusi Pancasila untuk tidak mengulangi dualisme dari masa revolusi fisik (1945-1950) : Bung Karno tetap sebagai Pemimpin Revolusi Nasional, menggembleng rakyat mempertahankan Negara Proklamasi, tetapi pemerintahan dipegang oleh Bung Hatta-Syahrir. Bahkan pada waktu itu terjadi pimpinan segitiga : Bung Karno sebagai pemimpin rakyat memimpin revolusi, Bung Hatta memimpin pemerintahan, Jenderal Sudirman memimpin militer yang tidak selalu mentaati Pemerintah Syahrir yang dianggap bersikap lemah terhadap Belanda.
Bung Karno bukanlah diktator, dan walaupun memegang tampuk pimpinan Negara dan Revolusi, Bung Karno tetaplah seorang demokrat, karena Bung Karno selalu bersikap terbuka untuk berdialog dengan tokoh-tokoh politik dan tokoh-tokoh pemuda.
Jakarta, 3 Mei 2001
7
Revisi UUD 1945
UUD 1945 Sudah Sah Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Mungkin sampai sekarang masih ada yang mempersoalkan keabsahan UUD 1945 dengan alasan bahwa MPR hasil pengangkatan dan “pemilihan umum” tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997 tidak pernah mensahkan UUD 1945. Bukankah Bung Karno ketua PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dalam sidang tanggal 18 Agustus 1945 telah menerangkan : … ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat, barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegronwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap”.1)
Setelah 40 tahun sejak Dekrit Presiden 1959 memberlakukan kembali UUD 1945, apakah sekarang ini status UUD 1945 masih saja sementara, bahkan belum sah? Dan karena bersifat sementara dan belum sah lalu UUD 1945 itu dapat saja dibuang lalu diganti dengan yang baru sama sekali?
Dari sudut pandangan-hukum-legalistik atau pandangan-hukum-yuridis-formil (legalistische/juridis-formele rechtsbeschouwing), Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah tidak sah, karena bertentangan dengan UUDS 1950 pasal 135 jo pasal 138 yang menentukan bahwa yang berwenang menggantikan Konstitusi Sementara (UUDS 1950) adalah Sidang Konstituante dengan keputusan yang didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah suara dari sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota Konstituante yang hadir.
Dengan demikian, karena Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak sah maka pemberlakuan kembali UUD 1945 adalah tidak sah pula. Demikian menurut pandangan hukum legalistik.
Pandangan hukum revolusioner berpendapat lain. Situasi menjelang hari Dekrit Presiden menunjukan kondisi revolusioner dalam arti keharusan adanya perubahan yang menyeluruh yang tidak dapat dilakukan melalui jalan konstitusional.
Pembicaraan dalam sidang Konstituante mengenai usul Pemerintah Juanda untuk kembali ke UUD 1945 mengalami kemacetan, karena kuorum keputusan tidak tercapai. Sejumlah fraksi Konstituante menyatakan tidak bersedia bersidang lagi alias meninggalkan Konstituante.
Kembali ke UUDS 1950 adalah amat tidak realistik dan tidak mungkin karena rakyat sudah jenuh dengan sistem pemerintahan parlementer. Bukan karena sistemnya yang tidak baik, melainkan karena partai-partai yang tidak becus menerapkan sistem demokrasi parlementer. Kabinet Ali Sastroamidjojo II sebagai hasil pemilu 1955 dan yang merupakan koalisi dari PNI, Masyumi, NU, Perti, Partai Kristen, Partai Katolik dan partai lainnya adalah peluang terakhir bagi masih dapat diberlakukannya sistem demokrasi parlementer.
Sedangkan kabinet Juanda yang secara inkonstitusional dibentuk oleh Presiden Sukarno (melanggar UUDS 1950 pasal 51), namun secara diam-diam (stilwijgend) disetujui, setidak-tidaknya tidak ditentang oleh DPR-RI. Kabinet Juanda itu adalah merupakan saat senja (twilight) bagi tibanya malam perubahan mendasar dalam kehidupan tata negara RI yang akan menggantikan sistem pemerintahan parlementer yang berdasarkan kondisi obyektif saat itu memang sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
Peristiwa Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memang merupakan sebuah revolusi, tanpa pertumpahan darah tetapi berhasil. Jadi serupa dengan Revolusi Unggul (The Glorious Revolution) yang dialami oleh rakyat Inggris pada tahun 1688 yang berhasil merubah sistem pemerintahan monarki absolut menjadi monarki konstitusional.
Revolusi 5 Juli 1959 memang unik. Dimulai dari atas, dilancarkan dari Istana. Tetapi Revolusi 5 Juli 1959 bukanlah Revolusi Istana dalam arti hanya berupa pergumulan di kalangan atas saja. Mula-mula pada akhir bulan Juni 1959 Pimpinan TNI Angkatan Darat setelah mencium adanya kemacetan dalam Sidang Konstituante lalu berupaya kembali ke UUD 1945 dilakukan dengan Dekrit Presiden (dikumandangkan oleh almarhum Letnan Jenderal Djatimkusomo, waktu itu Deputi KSAD Jenderal A.H. Nasution).
Presiden Sukarno yang melihat bahwa tidak ada reaksi yang menentang suara pimpinan TNI Angkatan Darat lalu mengambil alih gagasan dari pimpinan TNI Angkatan Darat itu lalu menyatakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Apakah dasar pembenaran (rechtsvaardigingsgrond) dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu? Apakah dari sudut pandang hukum revolusioner, dasar pembenaran dari setiap revolusi termasuk Revolusi 5 Juli 1959 terletak pada keberhasilannya?
Dalam sebuah kuliah dari almarhum Prof. Jokosutono di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, beliau mengutip pendapat dari dua orang pakar hukum Jerman, Hans Kelsen dan Rudolf Stammler, yang berkata bahwa pada instansi terakhir dasar pembenaran bagi sebuah tindakan revolusioner seperti Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu adalah terletak pada kesadaran hukum (rechtsbewustsijn) dari rakyat.
Dalam kasus Dekrit Presiden 5 Juli 1959 semua partai-partai politik menyetujui, bahkan Partai Masyumi yang mula-mula tidak menyetujui Dekrit Presiden akhirnya secara diam-diam menyetujuinya, yaitu sewaktu anggota-anggota Fraksi Masyumi bersedia untuk disumpah bersama-sama para anggota fraksi-fraksi DPR hasil pemilu 1955, sebagai anggota DPR dibawah Undang-Undang Dasar 1945 yang notabene diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Karena yang menyetujui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidaklah hanya semua partai-partai politik. Melainkan juga potensi-potensi rakyat nonpartai, seperti TNI Angkatan Darat dan ormas-ormas (organisasi-organisasi massa), ini semua pada hemat saya dapat dinilai sebagai ekspresi kesadaran hukum rakyat yang mendukung Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan demikian menurut pandangan hukum revolusioner, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah sah, sehingga berlakunya kembali UUD 1945 adalah sah pula.
Tiga kali Sidang Umum MPRS dalam waktu lima tahun di bawah Orde Sukarno telah menjadikan UUD 1945 sebagai dasar hukum Tap-tap MPRS, sehingga SU-SU MPRS itu dapat dikatakan secara diam-diam (stilswijgend) juga telah menganggap UUD 1945 sebagai sudah sah. Demikian pula enam kali SU-SU MPR dalam waktu 1973-1998 di bawah Suharto.
Kalau sekarang ini, setelah 40 tahun Dekrit Presiden 5 Juli 1959, masih ada yang mempersoalkan keabsahan UUD 1945, dapatlah disini ditambahkan sebuah dalil dalam ilmu hukum yaitu bahwa kenyataan-kenyataan yang telah berlangsung selama jangka waktu tertentu akan mempunyai kekuatan sebagai hukum (das rechtliche kraftdes faktischen), sehingga berlakuknya kembali UUD 1945 yang telah memiliki keberlakuan sosiologis (sosiologische gelding) selama 40 tahun itu akhirnya juga memperoleh keberlakuan menurut hukum (juridische gelding).
Pendek kata, mempersoalkan keabsahan (berlakunya kembali) UUD 1945 setelah hampir 40 tahun didekritkan adalah sudah amat tidak relevan. Dan yang amat relevan pada waktu ini adalah melakukan pembahasan tentang merubah atau merevisi UUD 1945 dalam rangka gerakan reformasi total, khususnya di bidang hukum.
Mengapa Pembukaan UUD 1945 Tidak Boleh Dirubah?
Upaya merevisi UUD 1945 tidak mencakup Pembukaan UUD 1945 karena Pembukaan UUD 1945 tidak boleh dirubah. Mengapa? Pertanyaan ini akan dicoba diberikan jawabannya dalam makalah ini. Pertama, sekedar sebagai penyegaran kembali (refreshing), kedua, untuk mengupayakan persepsi yang sama mengenai Pancasila sebagai ideologi nasional terutama mengenai proses terciptanya Pembukaan UUD 1945, serta ketiga, untuk menelaah prospek dan perspektif Pancasila.
Palsafah dan ideologi Pancasila bersumberkan pidato Bung Karno 1 Juni 1945 di depan Sidang BPUPKI. Pidato tersebut kemudian dijadikan kertas kerja (working paper) bagi Panitia Sembilan yang meringkas, menyaring, dan mensistematisir materi pidato Bung Karno.
Panitia Sembilan diketuai oleh Bung Karno sendiri dan terdiri dari wakil-wakil golongan Islam, yaitu Wachid Hasyim (Nahdhatul Ulama), Ki Bagus Hadikusuma (Muhammadiyah), Abikusno (PSII) dan Agus Salim (Barisan Penyadar, pecahan PSII), sedangkan wakil-wakil golongan nasionalis terdiri dari lima orang, empat beragama Islam, yaitu Bung Karno, Bung Hatta, Subardjo dan Mohammad Yamin, dan yang kelima Maramis yang beragama Kristen.
Panitia Sembilan menyelesaikan tugasnya tanggal 22 Juni 1945 berupa sebuah kesepakatan yang isi pokoknya adalah :
1. Bangsa Indonesia akan mendirikan negara yang merdeka;
2. Negara yang merdeka itu akan sekaligus mempunyai dasar dan ideologi (yang kemudian disebut dengan sebutan Pancasila).
Kesepakatan tersebut dituangkan dalam sebuah dokumen yang kemudian disebut dengan sebutan Piagam Jakarta. Oleh Panitia Sembilan, juga dengan persetujuan Sidang BPUPKI disepakati pula bahwa Piagam ini akan dibacakan pada saat Proklamasi Kemerdekaan, jadi seperti Declaration of Independence ala revolusi Amerika pada tanggal 4 Juli 1776.
Disamping itu , Piagam Jakarta yang akan menjadi Deklarasi Kemerdekaan Indonesia sekaligus juga akan menjadi Pembukaan UUD 1945, jadi seperti Declaration de droit de l’homme et du Citoyen (Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warganegara) ala revolusi Prancis yang dijadikan Preamble dari UUD Republik Prancis.
Mengenai hubungan antara Proklamasi Kemerdekaan dan Deklarasi Kemerdekaan itu, Bung Karno berkata dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1961 :
“Bagi kita, maka naskah Proklamasi dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah loro-loroning atunggal… Bagi kita, maka Proclamation of Independence berisikan pula Declaration of Independence…”2)
Selanjutnya Bung Karno berkata :
“Proklamasi tanpa “Declaration” berarti bahwa kemerdekaan kita tidak mempunyai falsafah. Tidak mempunyai Dasar Penghidupan Nasional, tidak mempunyai Pedoman, tidak mempunyai arah, tidak mempunyai “raison d’etre”, tidak mempunyai tujuan selain daripada mengusir kekuasaan asing dari bumi Ibu Pertiwi.
Sebaliknya “Declaration” tanpa proklamasi, tidak mempunyai arti. Sebab, tanpa Kemerdekaan maka segala falsafah, segala dasar dan tujuan, segala prinsip, segala “isme”, akan merupakan khayalan belaka, angan-angan kosong melompong yang terapung-apung di angkasa raya”.3)
Memperkuat keterangan Bung Karno tersebut, Bung Hatta berkata : “Adanya tercantum “maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya” dalam Pembukaan UUD memperingatkan kita bahwa isi Pembukaan itu mula-mula dibuat oleh Panitia 9 pada tanggal 22 Juni 1945 sebagai teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia”.4)
Menurut Mohammad Yamin, Piagam Jakarta itulah yang melahirkan Proklamasi dan Konstitusi, dan Piagam Jakarta ialah yang menjadi pembuka (Mukaddimah) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.5)
Ahmad Subardjo Djojoadisurjo berkata pula : “Sebenarnya teks Proklamasi telah dirumuskan dalam apa yang dinamakan “Piagam Jakarta” tanggal 22 Juni 1945. Rumusan ini ialah hasil dari pertimbangan-pertimbangan mengenai kata Pembukaan atau pengantar dari Undang-Undang Dasar kita oleh sembilan anggota komite yang diketuai oleh Sukarno”.6)
Dari keterangan-keterangan Bung Karno, Bung Hatta, Moh. Yamin, dan Ahmad Subardjo tersebut dapatlah kita menetapkan bahwa karena Pembukaan UUD 1945 adalah satu dengan Proklamasi Kemerdekaan, hal ini merupakan penegasan (confirmation) bahwa Negara Indonesia Merdeka yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah negara merdeka yang sekaligus mempunyai dasar dan ideologi yaitu Pancasila.
Oleh karena itu, sebutan Pancasila adalah mengacu kepada keseluruhan Pembukaan UUD 1945 bukanlah hanya kepada lima sila dari Pancasila (yang tercamtum dalam alenia ke-4 Pembukaan UUD 1945), sebab keseluruhan Pembukaan UUD 1945 itu yang merupakan peringkasan, penyaringan, dan pensistematisasian dari seluruh Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 yang dikerjakan oleh Panitia Sembilan.
Dalam bahasa rakyat awam, dalam bahasa rakyat umum, sebutan Pancasila biasanya memang hanya mengacu kepada lima sila dari Pancasila. Tetapi secara ilmiah sebutan Pancasila adalah mengacu kepada keseluruhan Pembukaan UUD 1945.
Oleh karena Pembukaan UUD 1945 mulai berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1945, sedangkan Pembukaan itu juga merupakan hukum dasar (grundnorm) dari Orde Proklamasi atau Orde Kemerdekaan maka Pembukaan UUD 194 itu tidak boleh dirubah, karena merubahnya berarti membubarkan negara yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini ditegaskan kembali dalam Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 :
“Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai pernyataan kemerdekaan yang terperinci yang mengandung cita-cita luhur dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan yang memuat Pancasila sebagai dasar negara, merupakan satu rangkaian dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan oleh karena itu tidak dapat dirubah oleh siapapun juga, termasuk MPR hasil pemilihan umum, yang berdasaskan pasak 3 dan pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945 berwenang menetapkan dan merubah Undang-Undang Dasar, karena merubah isi Pembukaan berarti pembubaran Negara.
Dalam kedudukannya yang demikian tadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar dan sumber hukum dari Batang Tubuhnya”.
Tidak sepenuhnya sama dengan posisi Pembukaan UUD 1945 yang tidak boleh dirubah, tetapi mempunyai kemiripan adalah posisi Preamble Konstitusi Prancis tahun 1789 yang sampai sekarang masih diberlakukan, sebagaimana yang tercantum dalam Konstitusi Prancis tahun 1954 : “Thy solemnly reaffirm the rights and freedoms of man and of the cicizen ordained by the Declaration of Rights of 1789…” (dengan khidmat menegaskan kembali hak-hak dan kebebasan-kebebasan manusia dan warganegara sebagaimana yang diperintahkan oleh Deklarasi Hak-hak Manusia tahun 1789)7).
Kekeliruan Tap MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
Sikap untuk tidak merubah Pembukaan UUD 1945 haruslah juga disertai dengan upaya mengoreksi dan melempangkan persepsi tentang Pancasila/Pembukaan UUD 1945. Dalam hubungan ini tentulah patut disambut baik Tap MPR No. XVIII/MPR/1998 yang mencabut Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang P-4, meskipun pada hemat saya pencabutan itu mestinya sudah harus dilakukan pada Sidang MPR tahun 1983, jadi terlambat 15 tahun. Namun better late than never.
Makalah ini mencoba memberikan atau menambahkan alasan-alasan mengapa Tap MPR No. II/MPR/1978 memang harus dicabut.
Pembukaan UUD 1945 adalah merupakan satu keseluruhan yang untuh dan harus dijaga keutuhannya, artinya tidak boleh sesuatu bagian dari Pembukaan dilepaskan secara tersendiri dari keseluruhan Pembukaan. Kekeliruan Tap MPR Nomor II/MPR/1978 tentang P-4 adalah menangangi lima sila dari Pancasila lepas sama sekali dari Pembukaan UUD 1945 secara keseluruhan.
Kalau lima sila dari Pancasila berjalan sendiri, lepas dari keseluruhan Pembukaan UUD 1945, ia tidak merasakan peran dan dinamikanya motivasi kemerdekaan di dalam alenia ke-1 Pembukaan UUD 1945; ia akan kehilangan orientasi terhadap tujuan kemerdekaan yaitu Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur; ia akan tidak menyadari apa yang terkandung dalam alenia ke-3 Pembukaan UUD 1945 bahwa pernyataan kemerdekaan adalah agar rakyat Indonesia berkehidupan kebangsaan yang bebas.
Kalau falsafah Pancasila itu dilepaskan dari Pembukaan UUD 1945, ia akan akan tidak menghayati tugas negara/pemerintah Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa; ia akan tidak memahami misi global yang harus dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (alenia ke-4 Pembukaan UUD 1945).
Disamping itu, apa yang dapat disebut sebagai penjelasan dalam materi P-4 yang menurut pasal 1 Tap tersebut tidak dimaksudkan sebagai penafsiran Pancasila, penjelasan mengenai masing-masing sila dari Pancasila hanyalah berupa kata-kata yang umum (generalities) yang tidak konkret, tidak menyentuh bumi kenyataan, sehingga substansi dan esensinya menjadi kabur yang selanjutnya mengakibatkan implementasinya oleh pemerintah dan para penyelenggara negara juga menjadi kabur pula.
Penjelasan sila pertama mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa misalnya, sama sekali tidak menyinggung kehidupan religius rakyat yang masih mengandung kepercayaan kepada yang lain selain kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta mengandung pula unsur-unsur TBC (tahayul, bid’ah, dan churafat).
Apa arti berpegang kepada sila Ketuhanan Yang Maha Esa kalau pemerintah membiarkan saja praktek-praktek dukunisme, gugontuhonisme, klenikisme dan yang serupa, yang sama sekali lepas dari ajaran agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dan naskah P-4 bahkan menempatkan : “percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa…menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”, ini kan berarti kemanusiaan yang adil dan beradab adalah lebih tinggi dari Tuhan Yang Maha Esa. Masyaallah.
Penjelasan naskah P-4 mengenai sila-sila lainnya juga sama saja tidak mengandung pedoman untuk menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila, sehingga meskipun Penataran P-4 telah berjalan beberapa tahun dan beberapa ratus ribu atau beberapa juta orang telah mengikuti penataran P-4, namun masih banyak yang mempertanyakan misalnya, apa yang dimaksudkan dengan Ekonomi Pancasila atau Demokrasi Pancasila.
Dan yang amat parah ialah apa yang tercantum dalam pasal 4 Tap MPR No. II/MPR/1978 yaitu : “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warganegara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh”.
Yang seharusnya menjadi penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bukanlah maskah P-4 yang notabene kabur tidak menentu itu, melainkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 berikut lima sila Pancasila serta perincian Pancasila dalam sejumlah pasal-pasal Batang Tubuh dan Penjelasan UUD 1945.
Kasus Tap MPR No. II/MPR/1978 berikut naskah P-4 yang Alhamdulillah sudah dicabut, menunjukkan bahwa selama 32 tahun rezin Suharto, Pancasila telah dijadikan verbalisme, sloganisme, lip service belaka, bahkan telah diselewengkan pula. Apakah nasib Pancasila akan terus demikian?
Pemerintah Habibie Kurang Serius Terhadap Pancasila
Pemerintah Habibie telah melakukan sejumlah kebijaksanaan-kebijaksanaan yang sesuai dengan tuntutan gerakan reformasi dan sesuai pula dengan nilai-nilai Pancasila seperti proses demokratisasi yang terus bergulir berikut kebebasan persnya, serta adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan yang maju dan berorientasi kepada kepentingan rakyat kecil, yaitu di bidang-bidang koperasi dan peningkatan pengusaha menengah dan kecil, di bidang pertanian, kehutanan, kesehatan, perjalanan haji dan lainnya. Semuanya patut diakui dan dihargai.
Namun ada beberapa kebijaksanaan yang menunjukkan sikap yang kurang serius dari pemerintah Habibie dalam melaksanakan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Misalnya mengenai privatisasi BUMN-BUMN, yaitu Ktakatau Steel dan pabrik-pabrik semen Gresik dan Indarung. Ini jelas melanggar UUD 1945. Pabrik-pabrik tersebut perdefinisi adalah termasuk cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak yang menurut UUD 1945 pasal 33 ayat 2 harus dikuasai oleh negara. Bagaimana pabrik-pabrik tersebut dapat dikuasai oleh negara jika pemiliknya swasta apalagi asing.
Apakah pemerintah Habibie benar-benar sedang amat melarat kehabisan uang sehingga harus menjual BUMN? Dan mengapa yang dijual adalah Krakatau Steel dan pabrik-pabrik semen yang termasuk industri dasar yang amat vital bagi industrialisasi negara kita sendiri?
Dan kalau benar-benar sudah harus menjual BUMN, mengapa tidak dijual saja hotel-hotel milik negara di Jakarta, Bali dan tempat-tempat lain, karena hotel tidaklah termasuk cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Kalau alasan mau menjual Krakatau Steel dan pabrik-pabrik semen ini adalah karena perusahaan-perusahaan itu pengelola-annya tidak beres, mengapa tidak dibereskan saja manajemennya? Mentalitas menjual BUMN karena mismanajemen sebenarnya tidak beda dengan mentalitas beberapa oknum di daerah yang karena daerah menderita ketidakadilan oleh rezin Suharto lalu menuntut kemerdekaan bagi daerah dan memisahkan diri dari RI. Kalau mentalitas dan jalan pikiran ini diikuti, akhirnya akan muncul tuntutan karena Republik Pancasila ini tidak kunjung beres dan rasanya tidak akan beres, lalu muncul pikiran agar supaya semua wilayah RI ini ditenggelamkan saja kedalam laut atau dijual saja pulau demi pulau dari sebanyak ± 30.000 pulau dan hasilnya dibagi-bagi diantara 210 juta penduduk Indonesia. Kedua pikiran gila itu tentulah secara teknis tidak dapat dilaksanakan, kerena itu lebih baik tetap setia kepada RI tercinta dalam suka dan duka.
Dan mengenai ketidakadilan terhadap daerah itu, solusinya ialah pemberian otonomi yang luas kepada semua Daerah Tingkat I (dan bukannya kepada Daerah Tingkat II seperti yang diatur dalam undang-undang yang baru saja disahkan oleh DPR, karena ini berarti masih mempertahankan sentralisasi pemerintahan yang adalah masa reformasi sekarang ini justru harus dihentikan).
Sekarang ini di DPR sedang digodok sebuah RUU Migas yang isi pokoknya diantaranya mau menghentikan peran Pertamina sebagai pengelola tunggal dari kekayaan alam kita berupa minyak bumi dan gas alam, dan akan dialihkan kepada swasta. Ini juga jelas-jelas melanggar UUD 1945 pasal 33.
Apakah semua itu tidak merupakan indikasi bahwa pemerintah Habibie tidak serius alias main-main dengan Pancasila? Rupanya yang suka main-main tidak hanya partai-partai politik yang kecil-kecil yang tidak mempunyai visi, platform dan program dan juga tidak mempunyai basis massa yang cukup.
Prospek dan Perpektif Pancasila
Melihat kondisi Pancasila yang terpuruk di bawah orde Suharto dan belum dibenahi secara serius oleh pemerintah Habibie, dapatlah dimengerti yang tidak berarti dibenarkan munculnya suara-suara skeptis tentang eksistensi Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara serta yang mempertanyakan masih relevan tidaknya Pancasila sekarang ini.
Pembukaan UUD 1945 yang mengandung falsafah dan ideologi Pancasila adalah rumusan tidak hanya bagi arah dan dasar negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia, melainkan juga bagi paham kebangsaan Indonesia.
Bapak-bapak para pendiri Republik Indonesia menyadari bahwa paham kebangsaan harus secara terang dan jelas diberi arah dan dasarnya, agar paham kebangsaan Indonesia tidak terperosok ke dalam chaufinisme, ekspansionisme dan jinggoisme sebagaimana yang menjadi perangainya kebangsaan Barat termasuk Jepang pada masa lalu, dan yang sekarang sisa perangainya itu masih menampakkan diri berupa dominasi mereka terhadap ekonomi negara berkembang.
Pancasila adalah ideologi modern yang dirumuskan dalam masa modern (pertengahan abad ke-20) sebagai jawaban modern terhadap tantangan ideologi raksasa dunia yang modern, yaitu ideologi liberal kapitalisme dan sosialisme marksisme (walau yang disebut terakhir ini sedang terpuruk).
Mengapa bangsa-bangsa Barat sejak awal abad ke-17 sampai sekarang mampu mendominasi dan pernah menjajah bangsa Timur termasuk Indonesia? Bukan karena keunggulan senjata mereka, melainkan terutama karena keunggulan Barat dalam organisasi, system, pemikiran dan ideologi. Oleh karena itu, jika bangsa-bangsa Timur, khususnya Indonesia bertekad untuk melempar dominasi asing, kita juga harus membuang alam pikiran yang kuno, kolot dan statis yang pernah dimiliki nenek moyang kita yang notabene telah menyebabkan nenek moyang kita takluk, kalah dan dijajah oleh Barat.
Pancasila adalah ideologi modern yang mengandung prinsip-prinsip dan nilai-nilai modern, khususnya di bidang politik dan ekonomi, dan yang tersusun secara modern pula dalam sebuah sistem konstitusi yang modern (meskipun banyak kekurangannya). Pancasila (yaitu nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan UUD 1945) adalah hasil pemikiran modern dari para pendiri Republik yang dapat dipakai sebagai senjata menghadapi dominasi Barat, meskipun sekarang ini dominasi Barat termasuk Jepang itu dilakukan dengan cara-cara yang halus, terselubung, dan canggih.
Pancasila Benteng Pertahanan Terhadap Globalisasi
Arus globalisasi yang kian hari kian melanda negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah globalisasinya kapitalisme barat termasuk Jepang yang masih tetap ingin melanjutkan dominasi dan eksploitasi negara-negara berkembang.
Liberalisasi perdagangan dan investasi yang konon merupakan perjanjian APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) yang akan mulai berlaku pada tahun 2020, dalam liberalisasi itu Indonesia akan merupakan lahan yang enak dan lezat bagi kapitalisme asing.
Dengan liberalisasi itu kapital asing yang kemungkinan besar juga akan bekerja sama dengan kapitalis Indonesia yang keturunan Tionghoa dan pribumi akan mengeduk dan mengeruk Indonesia yang kekayaan alamnya amat melimpah, sedangkan rakyat Indonesia yang berjumlah 210 juta nanti akan merupakan pasar yang amat menggiurkan bagi barang-barang hasil industri milik kapitalis asing/domestik.
Liberalisasi bagi investasi modal asing di Indonesia dengan upah buruh yang amat rendah, akan memberi peran bagi tenaga Indonesia hanya sebagai kuli, meskipun kuli halus dalam perusahaan milik kapital asing di Indonesia.
Dengan demikian benarlah sinyalemen Bung Karno yang dilontarkan pada tahun 1931 ketika di depan Landraad (Pengadilan) Bandung. Bung Karno dalam pleidoi (pembelaan) yang dikenal dengan “Indonesia Menggugat” (Indonesia klaagt aan) berkata bahwa jika Indonesia tidak waspada atau tunduk-takluk kepada kapital asing, bangsa Indonesia akan terdiri dari kuli-kuli dan berprilaku sebagai kuli di tengah bangsa-bangsa. :”Een natie van koelies en een koelie onder de naties”, demikian Bung Karno.
Para pendukung aliran globalisasi, atau lebih tepatnya sudah pasrah bongkokan (untuk menyerah) kepada globalisasi dengan enak mengatakan bahwa untuk menghadapi globalisasi itu kita harus meningkatkan SDM kita agar pada tahun 2020 nanti kita bangsa Indonesia sudah mampu bersaing dengan kekuatan-kekuatan ekonomi adding.
Benarkah pada pada tahun 2020 nanti, bangsa Indonesia sudah akan mampu bersaing di bidang ekonomi dengan luar negeri? Yang realistis saja. Malaise (krisis ekonomi) yang sedang menimpa bangsa Indonesia belum akan dapat diatasi dalam waktu lima tahun setelah pemilu tahun 1999.
Dengan kebobrokan, kebangkrutan, dan keterpurukan di bidang fisik materiil, sprirituil dan moral yang diwariskan oleh rezim Suharto, kita bangsa Indonesia harus membangun kembali Indonesia baru (to built Indoneasia a new). Dan ini membutuhkan waktu.
Jadi, lebih baik kita bicara pahit. Bukannya kurang percaya kepada kemampuan bangsa sendiri, melainkan bersikap realistis. Pada tahun 2020 nanti bangsa Indonesia belum mampu bersaing dengan luar negeri di bidang ekonomi dan teknologi.
Akibatnya kapitalisme asing akan mendominasi dan mengeksploitasi bangsa dan kekayaan alam Indonesia dan dominasi ini lambat laun akan menggerogoti kemerdekaan kita, sehingga kalau kita tidak awas, dominasi di bidang ekonomi itu akan menjalar kembali dominasi politik kita.
Benteng pertahanan bangsa Indonesia terhadap bahaya dominasi asing itu tentulah bukan di bidang ekonomi yang kita masih lemah. Pertahanan itu adalah di bidang ideologi dan spiritual, yaitu dengan lebih meresapi nailai-nilai Pancasila yang pada hakekatnya adalah anti kapitalisme (selain anti-komunisme), serta dengan meningkatkan kesadaran nasionalisme politik, nasionalisme ekonomi, dan nasionalisme kebudayaan. Dengan jiwa nasionalisme yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, insya Allah bangsa Indonesia akan mampu menegakkan kedaulatan di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan.
Melihat peran dan fungsi Pancasila seperti yang disinggung di depan, jelaslah kiranya betapa Pancasila dan UUD 1945 masih tetap relevan bagi kehidupan bangsa dan negara untuk masa kini dan masa depan. Tentu saja jika para pemimpin rakyat dan bangsa serta para penyelenggara negara di bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif benar-benar bertekad menjadi Pancasilais dalam ucapan dan perbuatan.
Dalam rangka merevisi UUD 1945, makalah ini justru menjadikan Pembukaan UUD 1945 tidak akan direvisi. Menjadi fokus perhatian ialah agar dengan persepsi yang sama mengenai Pembukaan UUD 1945/Pancasila kita sama-sama bertekad untuk mempertahankan Pancasila sebagai ideologi nasional selain merupakan lightstar (bintang penuntun) bagi perjalanan kehidupan bangsa dan negara, juga sekaligus menjadi alat pemersatu bangsa menjadi Bhinneka Tunggal Ika bagi aliran dan kepercayaan yang beragam yang dianut oleh rakyat.
Dan pertahanan yang paling efektif, paling tangguh-ampuh bagi Pancasila terletak pada pengamalannya sehari-harus secara nyata, terutama oleh para pemimpin rakyat dan para penyelenggara Negara.
Revisi UUD 1945
Telah hampir 40 tahun kita kembali ke UUD 1945, tetapi Batang Tubuh UUD 1945 belum pernah mengalami perubahan, kecuali Pasal 7 yang baru dirubah bunyinya oleh Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998.
Beda dengan Konstitusi Amerika Serikat yang disahkan tahun 1787 tetapi baru empat tahun kemudian yaitu pada tahun 1791 telah mengalami 10 buah amandemen.
Mestinya perubahan UUD 1945 pasal 7 itu sudah harus dilakukan pada Sidang MPR tahun 1973 atau tahun 1978, begitu juga beberapa pasal lain dari Batang Tubuh UUD 1945, tetapi celakanya bahwa Tap MPR No. I/MPR/1978 dalam pasal 115 menetapkan : “Majelis berketetapan untuk mempertahankan Undang-Undang Dasar 1945, tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan melaksanakan secara murni dan konsekuen”.
Dengan Tap MPR Nomor I/MPR/1978 pasal 115 itu MPR secara terang-terangan menyatakan untuk tidak melakukan kewajibannya untuk melakukan perubahan UUD 1945 menurut pasal 3 jo pasal 37. Ini yang saya katakan celaka, yaitu kecelakaan bagi negara dan bangsa, sebab kalau saja para anggota MPR mempunyai keberanian untuk melakukan perubahan pada pasal-pasal Batang Tubuh UUD 1945, khususnya yang menyangkut kewenangan presiden, maka negara dan bangsa kita tidak akan mengalami keterpurukan, kebobrokan dan kebangkrutan seperti yang telah terjadi selama 32 tahun orde Suharto.
Makalah saya ini memang sengaja tidak membahas revisi UUD 194 ini secara rinci, ini saya serahkan kepada rekan-rekan pembicara dalam seminar ini.
Saya hanya ingin menyampaikan pendapat mengenai unsur-unsur dalam Batang Tubuh UUD 1945 yang menurut saya tidak boleh dirubah yaitu :
1. Bentuk Negara Republik
2. Bentuk Negara Kesatuan
3. Eksistensi MPR, DPR, Presiden, MA, dan BPK
4. Sistem pemerintahan presidentsiil
5. Wilayah RI yang meliputi bekas wilayah Hindia Belanda dan bekas jajahan Portugal yaitu Timor Timur.
6. Bendera sang merah putih
7. Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
Pasal-pasal lainnya dati Batang Tubuh UUD 1945 menurut saya dapat dirubah dalam bentuk :
a. Merubah rumusan pasal
b. Menambah pasal-pasal baru
c. Menghapuskan lembaga negara yang tidak perlu
d. Menghapuskan Penjelasan dan memasukkan butir-butir ketentuan Penjelasan ke dalam Batang Tubuh (dengan penambahan pasal-pasal)
e. Memperbaiki bahasa menurut bahasa Indonesia yang baik dan benar.
f. Dan lain-lain.
Catatan :
1) Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1998, hal. 544.
2) Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid II, CetII, 1966, hal. 4
3) Ibid, hal. 442
4) Panitia lima dibentuk oleh Presiden Suharto pada tahun 1975 yang terdiri dari Mohammad Hatta, Ahmad Subardjo Djojoadisurjo, A.A. Maramis, Sunarjo, A.G. Pringgodigdo. Lihat Panitia Lima, Uraian Pancasila, Penerbit Mutiara, Jakarta, 1980, hal 23.
5) Mohmmad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1952, hal. 20 dan viii.
6) Ahmad Subardjo Djojoadisurjo, Kesadaran Nasional : Otobiografi Ahmad Subardjo Djojoadisurjo, Gunung Agung Jakarta, 1978, hal. 334.
7) Russel F. Moore, Modern Constitutions, 1957, hal. 59.
8
Amandemen UUD
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Pimpinan Panitia dan para Anggota PAH I yang terhormat, maaf, Panitia Ad Hoc Pertama. Waktu saya menerima telpon dari Sekretariat bahwa saya diminta turut berbicara mengenai amandemen Undang-undang Dasar 1945 saya segera saja menyiapkan makalah yang memang belakangan ini saya sering diminta untuk turut bicara, saya siapkan tiga makalah.
Pertama, tentang alasan mengapa Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 tidak dapat diubah. Makalah kedua adalah beberapa usul tentang perubahan-perubahan konkrit termasuk penambahan pasal, termasuk penghapusan Penjelasan, karena penjelasan dalam Undang-undang Dasar itu tidak lazim di dunia ini, dan ketiga adalah yang terakhir yang merupakan komentar dan kritik terhadap hasil Panitia Ad Hoc I Sidang Umum MPR kemarin.
Tetapi setelah menerima surat resminya, saya baca disitu bahwa saya diminta untuk membahas tentang pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Undang-undang Dasar 1945 dengan fokus pada bahasan masyarakat Indonesia yang religius. Jadi ini betul-betul merupakan masalah baru bagi saya, jadi ini merupakan pekerjaan rumah. Saudara Ketua, coba bayangkan hari-hari pertama puasa saya diberi tugas, tapi saya tidak mengeluh hanya menyampaikan aspirasi pribadi saja. Tapi saya sangat menghargai motivasi dari penyampaian tugas ini ialah menggali kembali apa yang dalam Penjelasan Undang-undang Dasar disebut oleh Profesor Supomo, gus lie hier inter gronde, a spiritual ground, latar belakang spiritual dari penyusunan Undang-undang Dasar 1945, jadi saya coba menyampaikan pemikiran saya memenuhi instruksi dari Ketua Panitia.
Ya sebelumnya ingin saya sampaikan ini nanti menimbulkan tukar pikiran, jadi bertukar pikiran mengenai hal yang termasuk masa yang lalu, tapi saya pikir itu perlu, lagi pula masa yang lalu itu memang sering-sering masih harus kita bertukar pikiran kembali, karena seperti kata seorang sejarawan dari Amerika yang mengatakan “the past has its many possibility in the fiture”.
Saya masuki materi saya. Kendala yang saya rasakan adalah bahwa dalam Panitia 9 (Sembilan) yang tugasnya meringkas, merumuskan, menyaring dan mensistematisir materi dari Pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Perdebatan dalam Panitia 9, ini makalahnya apa namanya, risalahnya tidak ada, dan ini juga diakui oleh Panitia Penyunting Risalah Sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), jadi buat saya ya amat berat kalau saya tidak mempunyai referensi mengenai apa yang dimintakan oleh Panitia ini.
Ya saya pakai keberanian saya saja untuk mencoba dan bertitik tolak dari beberapa dokumen yang ada, mencoba menarik beberapa kesimpulan yang tentu saja kesimpulan saya ini bukannya sengaja kontroversial tapi mungkin amat problematis untuk tetap harus sama-sama didialogkan bersama untuk supaya berdisiplin waktu, saya baca saja yang saya tulis.
Panitia 9 (Sembilan) yang diketuai oleh Bung Karno dan yang bertugas untuk meringkas, menyaring, merumuskan, dan mensistematisir materi pidato Bung Karno 1 Juni 1945 menyelesaikan tugasnya pada tanggal 22 Juni 1945 berupa kesepakatan yang isi pokoknya adalah :
Pertama, bangsa Indonesia akan mendirikan Negara yang merdeka.
Kedua, Negara yang merdeka itu akan sekaligus mempunyai dasar dan ideologi sebagaimana yang dirumuskan dalam kesepakatan 22 Juni tersebut yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta. Menurut saya butir pikiran pertama yang terkandung dalam Undang-undang Dasar 1945 dengan fokus pada kekhasan masyarakat Indonesia yang religius adalah kata-kata “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” yang merupakan awal dari alenia ketiga Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Dari anak kalimat akhir alenia ketiga Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi “maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”, rakyat Indonesia menunjukan sikap percaya diri pada kemampuan sendiri sebagaimana terungkap dalam Pidato Bung Karno yang mengantarkan Proklamasi “sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan tanah air di dalam tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya”. Demikianlah kata-kata Bung Karno. Meskipun percaya pada kemampuan sendiri namun sebagai bangsa yang percaya kepada takdir dan iradah Ilahi, bangsa Indonesia meyakini bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.
Kemerdekaan yang direbut dari penjajah memang amat berbeda dengan yang dihadiahkan oleh penjajah. Merebut kemerdekaan mengasumsikan keharusan perjuangan dengan senjata dan diplomasi, karena Allah sendiri yang menjanjikan akan merubah nasib suatu kaum, dibaca akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia, jika kaum itu merubah nasibnya sendiri, dibaca merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Ayat ini favorit dari Bung Karno, yaitu “innallaaha layughoyyiru maabikaumin hatta yughoyyiruu maabianfusihim”.
Tekad bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaannya atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa tentulah tidak dapat dikecilkan, tidak dapat dikurangi, tidak dapat didegradir, tidak dapat direduksi menjadi penyerahan kedaulatan oleh kerajaan Belanda kepada Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam piagam penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia yang terjadi pada tanggal 30 Desember 1949 sebagai pelaksanaan dari Perjanjian KMB. KMB arti resminya “Konferensi Meja Bundar”, arti tidak resminya “Kompromi Menguntungkan Belanda”. Dan kalau pemerintah Belanda konon atas aspirasi parlemen Belanda sampai hari ini belum mau mengakui protag sebagai hari kemerdekaan Indonesia, sehingga beberapa tahun yang lalu Ratu Belanda yaitu Ratu Beatrix secara halus menunda kedatangannya ke Indonesia untuk turut merayakan hari protag, dan baru datang beberapa hari kemudian. Biarlah Belanda berkeras tapi merana dalam sikap telah menyerahkan kedaulatan pada tanggal 30 Desember 1949 padahal kenyataannya tidak demikian, karena kita sudah tetap berpegang kepada Proklamasi 17 Agustus.
Butir pikiran kedua, yang terkandung dalam UUD 1945 dengan fokus pada kekhasan masyarakat Indonesia yang religius menurut saya adalah kata-kata Ketuhanan dalam naskah Piagam Jakarta yang asli, yang belum diubah. Dalam naskah ini dasar pertama dari negara kita adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”. Adanya tujuh kata “dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menimbulkan keberatan pada beberapa anggota PPKI yang berasal dari Indonesia bagian timur yaitu Mr. Latuharhary, Drs. Sam Ratulangi, Mr. Tazudin Noor dan Ir. Pangeran Noor, serta Mr. I Ketut Pudja. Keberatan tersebut disampaikan oleh beberapa mahasiswa dari Jalan Perempatan Sepuluh kepada Bung Hatta. Jadi bukan oleh seorang perwira tentara Jepang. Bukan. diantara para mahasiswa itu ada seorang (almarhum) Imam Slamet kebetulan kulitnya putih, matanya sipit, kepalanya rada botak, lalu Bung Hatta mengira itu seorang perwira Jepang, bukan. Itu seorang tokoh pejuang mahasiswa dari Perempatan Sepuluh, jadi itu senior saya pada tahun-tahun itu.
Keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945 sebelum Sidang PPKI Bung Hatta berunding dengan Mr. Teuku Muhammad dari Aceh dan Ki Bagus Hadi Kusumo dari Muhammadiyah. Tujuh kata tersebut lalu dihapuskan dan kata “Ketuhanan” diganti dengan ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, sedang dua kata “menurut dasar” yaitu dua kata sebelum kata-kata “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dua kata tersebut dihapus, sehingga dasar pertama dari dasar negara kita berubah menjadi dua dasar yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Kalau diteliti lebih mendalam sebenarnya perubahan tersebut adalah lebih baik juga bagi umat Islam. Sebelum diubah, baik “Ketuhanan” maupun “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, kedua-duanya adalah menurut dasar, jadi tunduk kepada, kemanusiaan yang adil dan beradab. Bagi Ketuhanan dapat saja diterima kalau harus tunduk kepada kemanusiaan yang adil dan beradab, karena Ketuhanan juga mencakup animisme dan dinamisme. Misalnya, saja Kerbau Putih dianggap oleh kelompok tertentu sebagai mempunyai kesaktian dan karena itu dipanggil dengan Kiyai, tapi kalau kotorannya sampai diambil dari jalanan lalu dibungkus dalam sapu tangan dan disimpan di rumah karena dianggap mempunyai kesaktian yang akan memberi “berkah”, hal ini dapat saja dikatagorisasikan sebagai tidak sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab. Juga jika dalam suatu upacara religius, misalnya seorang anak gadis harus dikorbankan demi menyembah yang dipercaya sebagai kekuatan gaib yang mempunyai kesaktian, pengorbanan anak gadis itupun tidaklah sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab. Itu mengenai Ketuhanan yang secara rasional dapat ditundukkan kepada kemanusiaan yang adil dan beradab.
Apakah berlakunya syariat Islam bagi umat Islam harus juga tunduk kepada kemanusiaan yang adil dan beradab, tentulah tidak. Dan umat Islam di Indonesia akan sangat menentang jika berlakunya syariat Islam haruslah menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Jadi perumusan dasar pertama dari negara dalam Piagam Jakarta yang belum diubah itu sebenarnya tidak sesuai dengan Islam, sehingga gantinya yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa justru lebih baik bagi umat Islam, apalagi setelah Ki Bagus Hadikusumo dalam Sidang PPKI menyatakan bahwa bagi umat Islam Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tauhid kepada Allah SWT. Ungkapan ini kemudian dikokohkan kembali oleh pertemuan alim ulama di Situbondo pada tahun 1983.
Pada hemat saya, ada semacam salah kaprah mengenai Piagam Jakarta, seakan-akan setelah Piagam Jakarta diubah Piagam Jakarta itu lalu tidak mempunyai eksistensi lagi dalam sejarah bangsa, khususnya dalam sejarah Hukum Tata Negara Indonesia. Tujuh kata yang dihapus tentulah tidak sinonim dengan keseluruhan Piagam Jakarta. Bagaimana mungkin Piagam Jakarta yang terdiri dari 178 kata itu disamakan dengan 7 kata yang dihapus. Piagam Jakarta itu semula oleh BPUPKI direncanakan untuk dibaca pada saat Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Jadi mirip dengan peristiwa kemerdekaan United State of America dengan Declaration of Independence 4 Juli 1776.
Karena suatu hal yang dibacakan pada saat proklamasi adalah bagian akhir dari alenia ketiga dari Piagam Jakarta yang berbunyi “Rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya” mengenai hubungan dengan Piagam Jakarta, Proklamasi Kemerdekaan dan Pembukaan UUD 1945 harap dibaca keterangan Bung Karno dalam buku “dibenrive” (Di Bawah Bendera Revolusi), keterangan Bung Hatta dalam buku “Uraian Pancasila”, keterangan Moh. Yamin dalam buku “Proklamasi dan Konstitusi”, dan keterangan Ahmad Subagdjo dalam buku otografi beliau.
Selanjutnya untuk menyebut Piagam Jakarta yang dimaksudkan adalah Piagam Jakarta yang telah diubah, sedangkan Piagam Jakarta yang asli yang belum diubah tinggalah menjadi arsip yang tidak mempunyai eksistensi lagi dalam Hukum Tata Negara Indonesia. Sekali lagi Piagam Jakarta yang telah diubah ini bahkan lebih baik bagi umat Islam Indonesia, sehingga penghapusan tujuh kata “dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” tidaklah perlu diratapi ataupun masih dipersoalkan. Lagi pula kewajiban menjalankan syariat Islam adalah terletak dipundak setiap muslimin-muslimat Negara Indonesia yang tiak sekuler karena dasarnya Pancasila dapat membantu menyediakan fasilitas-fasilitas ibadah, tetapi negara tidak berwenang untuk memerintahkan atau memaksa seseorang untuk melakukan ibadah. Karena akhirnya yang bertanggung jawab kepada Allah di hari kiamat bukanlah negara, melainkan hamba-hamba Allah muslimin-muslimat. Negara dapat memerintahkan atau memaksa jika menyangkut kepentingan umum misalnya membayar pajak, mentaati hukum negara, berprilaku asusila di depan umum, dan sebagainya.
Menurut saya adalah keliru pula mempersepsikan Piagam Jakarta hanyalah sebuah konsep bahkan hanya sebuah usul yang sama statusnya dengan usul-usul yang lain yang diajukan secara perorangan oleh anggota-anggota BPUPKI seperti yang pernah dilontarkan Nugroho Notosusanto.
Dari sudut teori kontrak sosial, Piagam Jakarta merupakan kesepakatan bangsa yang pada tanggal 22 Juni 1945 diwakili oleh golongan Islam dan golongan nasionalis. Piagam Jakarta adalah sebuah perjanjian menurut tulisan Yamin, yang mengikat golongan Islam dan golongan nasionalis. Terhadap golongan Islam Piagam Jakarta itu mengikat golongan Islam di Indonesia untuk tidak mendirikan negara teokrasi Islam, terhadap golongan nasionalis mengikat golongan nasionalis untuk tidak menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai negara sekuler yang absolute seperti misalnya Prancis dan Amerika Serikat. Rakyat Prancis itu mayoritas beragama Katolik tapi tidak pernah perayaan Hari Natal di Prancis diselenggarakan oleh pemerintah Prancis, inilah contoh dari sekularitas yang absolut.
Dalam Negara RI yang nonteokrasi dan nonsekuler yaitu Negara Pancasila, sebutan nasionalis sekuler adalah tidak relevan. Nasionalisme Indonesia adalah berdasarkan Pancasila, jadi tidak ada nasionalis sekuler di Indonesia, yang ada adalah nasionalis Pancasilais. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila sebutan muslim teokratik adalah tidak relevan, muslim-muslim Indonesia adalah muslim-muslim Pancasilais.
Karenanya diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah negara Indonesia yang merdeka yang sekaligus sudah mempunyai dasar, maka berlakunya UUD 1945 adalah juga bersamaan dengan saat proklamasi. Jadi berlakunya Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar hukum bagi orde baru yaitu Orde Proklamasi atau Orde Kemerdekaan adalah juga pada tanggal 17 Agustus 1945.
Terhadap perubahan Piagam Jakarta atau perubahan terhadap Deklarasi Kemerdekaan Indonesia atau Pembukaan UUD 1945 yang diputuskan oleh Sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 perlu dilakukan konstruksi hukum yaitu bahwa perubahan itu berlaku surut ke belakang sampai tanggal 22 Juni 1945. Dan perubahan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang berlaku surut itu adalah final, sefinal-finalnya, alias tidak boleh Pembukaan itu diubah-ubah lagi.
Adanya ketentuan bahwa Negara berasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pasal 29 ayat (1) menunjukkan bahwa negara membebani diri untuk membimbing dan mengarahkan kehidupan religius rakyat kepada meyakini, meresapi dan menghayati adanya Tuhan Yang Maha Esa. Di dunia ini tidak banyak UUD yang mencantumkan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada hemat saya sampai hari ini negara atau pemerintah kita belum banyak berbuat untuk melakukan bimbingan terhadap rakyat yang masih percaya kepada yang lain selain Tuhan Yang Maha Esa.
Di kalangan rakyat disamping yang berpegang kepada monoteisme juga ada yang berpegang kepada politeisme. Gejala adanya penyakit TBC, yaitu tahayul, bid’ah dan churafat, yang melingkupi kehidupan rakyat masih amat terasa. Sedangkan sikap-sikap menganut animisme dan dinamisme juga masih banyak menggejala, umpamanya tiap malam Jumat kliwon ya nggak malam-malam bersemedi di bawah pohon beringin, ini nggak ada kaitannya dengan Golkar, wong ini di alun-alun kota-kota di Jawa Tengah itu, itu di bawah pohon beringin tapi ini nggak ada hubungannya dengan Golkar, nggak ada, karena pohon beringin lebih tua dari Partai Golkar, ini supaya nggak menimbulkan salah paham saja. Itu contohnya dari kehidupan yang belum Berketuhanan Yang Maha Esa.
Kalau bangsa Indonesia benar-benar menginginkan modernisasi dalam arti meningkatkan pendayagunaan, pemanfaatan dari sumber daya alam dan sumber daya manusia maka negara dan pemerintah harus menunjukkan peran aktif membimbing rakyat ke arah kehidupan berketuhanan yang maha esa. Kalau konsekuensinya para dukun lalu kehilangan klien, apa boleh buatlah.
Adanya ketentuan dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945 bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, adalah sesuai dengan yang diajarkan oleh Islam, la iqrahaafidin, tidak ada paksaan dalam agama. Terhadap kebebasan beragama tersebut menurut saya dapat ditambahkan hak kehormatan bagi agama atau sesembahan seseorang yaitu berdasarkan perintah Al Quran surat 6 ayat 108 yang artinya “janganlah kamu memaki sesembahan orang lain”. Perintah ini mengandung larangan bagi muslimin-muslimat memaki atau menjelekkan agama lain. Perintah ini menurut saya mengandung implikasi larangan untuk propaganda antiagama sebagaimana yang pernah dipraktekkan oleh negara-negara komunis karena dalam propaganda antiagama itu, agama-agama dijelek-jelekkan. Implikasi lebih lanjut dari perintah Al Quran untuk tidak mengolok-olok agama lain ialah bahwa kebebasan beragama tidak mengandung kebebasan antiagama. Dari kebebasan beragama itu dimulah-polahat untuk mendirikan tempat-tempat ibadah serta tempat-tempat pendidikan agama dan lebih lanjut menimbulkan kebebasan untuk mendirikan organisasi-organisasi beragama.
Pada hemat saya kebebasan beragama itu mengandung pula kebebasan untuk menganut agama sempalan yaitu aliran agama yang nyempal, yang menyimpang dari mainstream yaitu aliran agama yang dianut oleh mayoritas pemeluknya. Golongan agama yang disebut mainstream tidak berhak meminta kepada pemerintah atau kepada yang berwajib untuk melarang aliran, sementara, apalagi main hakim sendiri melakukan tindakan-tindakan terhadap agama sempalan. Baru kalau sesuatu aliran sempalan melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban yang berwajib dapat menindaknya. Alasan tindakan ini bukan karena nyempalnya melainkan karena gangguannya terhadap keamanan dan ketertiban.
Demikianlah beberapa butir pikiran mengenai kekhasan masyarakat Indonesia yang relegius, mungkin masih banyak kekurangannya, harap dimaklum sudah tua karena PR ini buat saya mendadak. Kalau bersama-sama ini saya ingin menyampaikan kepada Pimpinan tidak hanya makalah ini tapi tiga makalah yang saya sebutkan sebelumnya sekedar sebagai semangat pikiran saya kepaa Panitia A Hoc I ini, yaitu pertama mengenai alasan mengapa pembukaan UUD 1945 tidak boleh diubah. Kedua, beberapa usul konkrit mengenai revisi UUD 1945. Ketiga, mengenai komentar dan kritik atas perubahan pertama UUD 1945 yang dihasilkan Sidang Umum MPR 1999. Dan keempat, makalah yang terakhir. Nanti akan saya sampaikan pada pimpinan.
Terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
9
Pandangan Islam Terhadap Marhaenisme
Pendahuluan
Seminar Nasional Marhaenis ini merupakan pukulan –atau dengan bahasa Bung Karno- merupakan palu godam bagi kubu imperialisme dan neokolonialisme. Seorang juru bicara kubu imperialisme Daniel Bell pernah mendalilkan: the end of the ideology. Mengapa Bell itu menganggap ideologi sudah mati? Ialah agar bangsa-bangsa di dunia hanya menganut satu ideologi, yaitu ideologi liberalisme kapitalisme dengan apa yang dinamakan ekonomi pasar bebas bagi kapitalisme Barat untuk mendominasi ekonomi negara-negara berkembang seperti Indonesia yang dengan kekayaan alamnya yang melimpah, dengan penduduknya yang banyak serta dengan upah buruhnya yang murah, semuanya ini merupakan lahan yang empuk enak bagi kapitalisme
Seminar Nasional Marhaenisme ini membuktikan ideologi tidaklah berakhir. Ideologi tidaklah mati. Pancasila Insya Allah tetap hidup. Marhaenisme Insya Allah juga akan bangkit kembali. Kepada Pengurus Pusat Keluarga Besar Marhaenis, saya berdiri tegak memberi salut atas prakarsanya menyelenggarakan seminar ini.
Republik Indonesia Negaranya Rakyat Kecil
Pada hari protag (Proklamasi 17 Agustus 1945) bangsa Indonesia dapat dikatakan hampir seluruhnya terdiri dari rakyat kecil yang hidup dalam serba kekurangan dan keterbatasan. Pemuda-pemuda termasuk TNI yang dengan senjata membela dan mempertahankan republik protag juga terdiri dari mereka yang berasal sebagian besar rakyat kecil.
Tanpa mengurangi sedikitpun peran dan hak orang-orang Indonesia yang kaya dimana jumlahnya amat sedikit pada hari protag tersebut, dapatlah dikatakan bahwa Republik Indonesia (RI) adalah negara rakyat kecil.
Beda dengan Amerika Serikat yang didirikan oleh 13 negara bagian dengan Declaration of Independence 4 Juli 1776, masing-masing negara bagian yang mendirikan negara federal Amerika Serikat itu adalah negaranya kaum menengah yang sudah mapan yang serba sudah punya. Sudah punya tanah dan kebun, sudah punya bisnis dan sumber penghasilan lain yang memberi posisi kelas menengah kepada mereka. Dan kelas menengah di Amerika itu sudah tercipta dalam waktu kurang lebih 150 tahun sejak mereka pada awal abad ke-17 bermigrasi dari Eropa menuju benua Amerika.
Rakyat kecil di Indonesia mempunyai “profesi” yang tidak mandiri seperti pegawai negeri dan buruh, atau mandiri seperti pemilik warteg, petani kecil, tukang jahit, pemilik bengkel sepeda, pedagang asongan, kaki lima dan pemulung, semuanya baik yang tidak mandiri maupun yang mandiri adalah orang-orang kecil karena kecil penghasilannya. Mereka orang-orang kecil itu tidak dapat disebut proletar, karena proletar per definisi adalah orang yang menjual tenaganya tanpa mempunyai hak kepemilikan atas alat produksi, sedang yang memiliki alat produksi adalah si borjuis kapitalis.
Sewaktu Karl Marx bersama-sama Friedrich Engels menyusun Manifesto Komunis pada tahun 1848, orientasi Marx adalah para buruh di Inggris yang menggunakan satu-satunya kategori orang kecil di Inggris.
Bung Karno yang melihat rakyat kecil di Indonesia adalah beragam kategorinya, tidak dapat menyebut mereka sebagai kaum proletar, apalagi pada tahun 1920-an itu industri di Indonesia baru berupa beberapa pabrik gula, sehingga jumlah buruhnya yang disebut kaum proletar juga baru sedikit, sedangkan rakyat kecil di Indonesia adalah hampir semua rakyat.
Untuk mencakup semua rakyat kecil di Indonesia itu Bung Karno mempergunakan sebutan si marhaen. Dan marhaenisme adalah perjuangan yang berorientasi kepada orang kecil si marhaen dan berupaya mengangkat derajat mereka.
Ajaran Bung Karno tentang marhaenisme itu sepenuhnya sesuai dengan kondisi sosiologis dari masyarakat Indonesia. Dan kalau UUD 1945 Pasal 33 mencantumkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha berdasarkan asas kekeluargaan, dan penjelasan pasal tersebut menyebutkan koperasi sebagai yang dimaksudkan oleh pasal tersebut, sedangkan koperasi tidak dapat tidak adalah usahanya kaum kecil dan kaum lemah, maka ajaran Bung karno tentang marhaenisme itu telah memperoleh penjabarannya dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat (1).
Kongres PNI di Bandung tahun 1966 membuat definisi tentang Marhaenisme, yaitu: Sosio-Nasio-Demokrasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, dan ini identik dengan Pancasila.
Islam Dan Nasionalisme Indonesia
Sejak semula, nasionalisme yang dikumandangkan oleh Bung Karno pada tahun 1927 bukanlah sembarang nasionalisme, bukanlah nasional tok, melainkan nasionalisme yang terangkum dalam rangkuman Sosio-Nasio-Demokrasi, yaitu nasionalisme yang mengandung prinsip-prinsip kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial.
Pada waktu itu di kalangan Islam terjadi polemik tajam antara ustadz A. Hassan, tokoh Persis (Persatuan Islam) Bandung dan Mochtar Luthfi, pemimpin Parmi (Partai Muslimin Indonesia) Padang. A. Hassan menentang paham nasionalisme yang diagung-agungkan bagaikan berhala sesembahan baru. Mochtar Luthfi menganut nasionalisme sebagai sikap menentang kolonialisme/ kapitalisme yang sebagai sistem penghisapan/penindasan merupakan kedholiman yang menurut ajaran Islam harus ditentang.
Yang dilihat oleh ustadz A. Hassan adalah nasionalisme Barat dengan perangainya yang chauvinistik, ekspansionistik dan jinggoistik.
Setiap kali suatu negara imperialis melakukan perang menaklukkan suatu negara jajahan, para serdadunya yang kembali dari medan perang disambut, dielu-elukan dan disamping oleh rakyat negara imperialis dianggap pahlawan bangsa. Inilah yang dimaksud oleh ustadz A. Hassan bahwa nasionalisme itu sudah merupakan berhala sesembahan baru.
A. Hassan sampai-sampai mengidentikkan nasionalisme dengan ‘ashobiyyah’ yang adalah identik dengan fanatisme atau chauvinisme. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Nabi bersabda bahwa siapa yang mati karena menyetrukan atau menolong ‘ashobiyyah, matinya adalah mati jahiliyah.
Sampai sekarang di kalangan Islam masih ada saja yang menyamakan kebangsaan dengan ‘ashobiyyah’. Benarkah ini? Sebuah Hadits dari Abu Daud meriwayatkan seorang sahabat Watsilah Asqa’ bertanya kepada Nabi: “Apakah ‘asshobiyyah’ itu, ya Rasulullah?” Nabi menjawab, “bahwa engkau menolong kaummu dalam kedholiman”.
Paham kebangsaan yang dibawakan oleh Bung Karno yaitu kebangsaan yang berperikemanusiaan, berdemokrasi dan berkeadilan sosial tentulah bukan kebangsaan yang mengandung kedholiman seperti kebangsaan Barat yang chauvinistik, espansionistik dan jinggoistik. Oleh karena utu paham kebangsaan Indonesia tidaklah identik dengan ‘ashobiyyah’.
Dengan dikumandangkannya oleh Bung Karno paham Sosio-Nasio-Demokrasi itu berakhirlah polemik antara A. Hassan dan Mochtar Luthfi mengenai paham kebangsaan.
Umat Islam Indonesia dapat menerima paham nasionalisme Indonesia yang mengandung prinsip-prinsip kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial yang disebut Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi atau lebih disingkat lagi Sosio-Nasio-Demokrasi yang setelah dipadukan dengan ke-Tuhanan Yang Maha Esa menjadi lima silanya Pancasila.
Pandangan Islam Terhadap Marhaenisme
Islam mengandung ajaran-ajaran yang mengharuskan sikap peduli dan sikap memihak kepada orang kecil, orang miskin yang oleh Bung Karno disebut si Marhaen, dan yang dalam Al-Qur’an disebut kaum dhu’afaa. Bahkan sikap tidak peduli atas nasib orang-orang miskin itu adalah sama dengan mendustakan agama sebagaimana yang difirmankan Allah SWT di dalam Surat A-Maun, “Siapakah yang mendustakan agama. Ialah yang mengabaikan anak-anak yatim dan tidak peduli terhadap orang-orang miskin yang kelaparan”.
Jadi, muslim/muslimat yang rajin shalat lima waktu dan tertib berpuasa di dalam bulan ramadhan bahkan yang sudah haji dan membayar zakat, tetapi mengabaikan anak-anak yatim dan orang-orang miskin, atau seorang pejabat tinggi yang dengan kebijakanaan-kebijaksanaannya tidak bijaksana menimbulkan kemiskinan yang disebut kemiskinan struktural, si pejabat itu walaupun kadang-kadang dengan tegap memukul bedug bertalu-talu dan dengan suara lantang mengumandangkan takbir, muslim/muslimat dan pejabat tinggi tersebut di mata Allah SWT adalah orang-orang yang mendustakan alias memanipulasi agama.
Di bidang ekonomi, Al-Qur’an mengandung ajaran-ajaran yang melarang orang-orang kecil dihisap ataupun dirampas haknya. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam Surat Al-Ahqaaf ayat 19, “Bagi setiap orang apa yang dikerjakan mempunyai harga, harga itu hendaknya dibayar penuh dan janganlah ada yang dihisap.”
Sementara itu, Surat Al-Baqarah ayat 275 melarang riba. Dan yang dimaksudkan riba tidaklah hanya berupa bunga terhadap pinjaman uang, melainkan setiap bentuk keuntungan yang diperoleh dari seseorang yang sedang dalam kesulitan. Umpamanya dalam hal ‘ngijon’, yakni menjual tanaman padi (atau tanaman buah-buahan) yang sudah menghijau (atau berbuah) dengan harga lebih kurang separuh dari harga tanaman yang sudah siap panen; atau membeli barang seseorang yang sedang membutuhkan uang dengan harga jauh di bawah pasaran.
Jadi riba adalah mengandung unsur kedholiman (penghisapan) terhadap orang kecil yang dalam kesempitan. Itulah mengapa Surat Al-Baqarah ayat 275 itu disambung dengan ayat lain yang berbunyi,”Janganlah kamu menghisap dan janganlah kami dihisap.”. Surat tersebut diperkuat dengan Hadits Nabi, “Janganlah kamu menimbulkan kerugian, jangan pula kami dirugikan.”
Di dalam ajaran Islam: mencegah kemungkaran (nahi munkar) yang termasuk kemungkaran di bidang ekonomi adalah setiap bentuk penghisapan manusia oleh manusia, bangsa yang satu oleh bangsa yang lain dan penghisapan bangsa oleh beberapa gelintir orang sebangsa.
Terhadap kapitalisme yang merupakan sistem penghisapan, Mohammad Qutb menulis dalam Islam the Misunderstood Religion, 1964, halaman 132 sebagai berikut, “Mereka kaum orientalis berpendapat karena Islam mengakui hak milik perorangan, mereka lalu mengira bahwa Islam menyetujui kapitalisme. Kapitalisme itu tidak dapat tumbuh dan berkembang tanpa penghisapan (riba) dan monopoli yang dua-duanya dilarang oleh Islam sekitar seribu tahun sebelum keberadaan kapitalisme.” (The orientalist argue that Islam permitted individual ownership it must likewise permit capitalism. In answer to this accusation it might suffice to point out that capitalism can not propher or grow without usury and monopoly both of which were prohibited by Islam about one thousand years before the existence of capitalism).
Mengenai laba yang diperoleh si kapitalis berkat kerja dan keringat si buruh, kembali Mohammad Qutb menyatakan, “Prinsip Islam dalam hal ini adalah memberi hak kepada si buruh untuk menerima bagian dari laba perusahaan. Majikan menyediakan modal dan buruh memberikan tenaga kerjanya. Kedua belah pihak berhak memperoleh bagian yang sama atas laba perusahaan.” (The Islamic principle which was laid in this respect entitles the workman to share the profit with their employers. The Employer provides the capital and the workman does the work. The two effort are equal and accordingly the are entiled to an equal share in the profit).
Penjabaran lain dari Marhaenisme adalah Pasal 33 UUD 1945 ayat (2) dan ayat (3). Dalam penjelasan mengenai Pasal 33 itu diterangkan jika negara tidak menguasai cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, tampak produksi akan jatuh ke tangan orang seorang, sehingga rakyat banyak akan ditindasnya (dihisap). Demikian juga kalau bumi, air dan kekayaan alam didalamnya tidak dikuasai oleh negara, kekayaan alam itu tidak akan dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pasal 33 UUD 1945 itu merupakan prinsip ekonomi Marhaenisme sepenuhnya sesuai dengan ajaran Islam seperti yang terkandung dalam Surat Thaha ayat 6, “Milik Allah-lah semua yang ada di langit, yang ada di bumi, dan di antara keduanya serta yang ada di bawah tanah.” Kalau disebut milik Allah, itu berarti bahwa semua kekayaan alam haruslah dimiliki bersama, tidak boleh dimiliki orang seorang. Ayat tersebut diperkuat oleh sebuah Hadits Nabi diriwayatkan oleh Ahmad Abu Daud, “Manusia haruslah memiliki tiga sumber, yaitu sumber air, sumber tumbuh-tumbuhan dan sumber energi.”
Menurut Mustafa Husni Assiba’i dalam Sosialisme Islam (terjemahan M. Abda’i Ratomy, halaman 215), kalau Hadits tersebut hanya menyebutkan tiga macam sumber alam, hal ini sekali-kali bukan membatasi pemilikan bersama itu hanya pada tiga macam komoditi tersebut, melainkan dapat diperluas kepada semua benda yang merupakan kebutuhan bersama bagi rakyat.
Demikian beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits yang merupakan acuan betapa Islam amat peduli terhadap nasib kaum dhu’afaa atau kaum marhaen.
Kemenangan Yang Abadi
Allah akan mengangkat kaum dhu’afaa sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam surat Al-Qoshash ayat 6, “Dan kami (Allah) akan menolong kaum dhu’afaa di muka bumi dan menjadikan mereka pemimpin dan orang-orang yang akan mewarisi (bumi).” Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya kemenanganmu adalah bersama-sama dengan kaum dhu’afaa.”
Makna Hadits tersebut adalah bahwa kemenangan akan tercapai hanya jika kita memihak kepada kaum dhu’afaa atau kaum marhaen dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Dan kemenangan bersama-sama dengan kaum dhu’afaa/marhaen itu adalah kemenangan yang abadi.
Kemenangan dan kejayaan rezim Suharto adalah kemenangan bersama-sama para konglomerat yang korup dan kolusif disertai dengan penghisapan, penindasan dan penggusuran kaum dhu’afaa/marhaen. Karena itu kemenangan dan kejayaan Suharto hanyalah kemenangan sementara dan sekarang sudah runtuh ambruk.
Bagi umat Islam Indonesia perjuangan untuk mencapai negara yang adil dan makmur lahir batin yang diridhoi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala (baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur) tidaklah lain melainkan perjuangan yang dijiwai oleh perintah Allah, “Sesungguhnya shalatku, perjuanganku, hidupku dan matiku hanyalah semata-mata untuk Allah.” Dan yang dimotori oleh nasionalisme Indonesia (bukan ‘ashobiyyah) yang ber-Pancasila, jadi yang bercorak Sosialisme Indonesia (bukan sosialisme marxis) karena Pancasila adalah anti-kapitalis, anti-imperialis, dan anti-nekolonialis (tentu saja juga anti-komunis).
Dalam hubungan ini saya teringat kepada pesan Bung Karno dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, 1959, halaman 10, “Islam yang sejati tidaklah mengandung azas anti-nasionalis; Islam yang sejati tidaklah bertabiat anti-sosialistis. Selama kaum Islamis memusuhi paham nasionalisme yang luas budi…, selama itu kaum Islamis tidak berdiri di atas Shirothol Mustaqim.”
Selanjutnya Bung Karno juga menegaskan di buku yang sama halaman 253, “Dan perjuangan menuju baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur itu perjuangan yang bersandarkan kepada kaum dhu’afaa, kaum marhaen, jadi yang bersemangat marhaenisme yang di dalam segala halnya menyelamatkan Marhaen.”
Bagi seorang muslim Indonesia yang ingin menjadi muslim/muslimat yang baik, ia sekaligus haruslah seorang nasionalis, seorang Pancasilais, seorang sosialis dan seorang Marhaenis.
Apakah Aku Seorang Marhaenis?
Seorang muslim Indonesia yang baik adalah seorang muslim yang nasionalis, pancasilais, sosialis dan marhaenis. Karena ingin menjadi seorang muslim yang baik, yang sejati kata Bung Karno, Insya Allah, saya adalah seorang Marhaenis.
(Artikel disampaikan pada Seminar Nasional bertajuk “Aktualisasi Marhaenisme dalam Pembangunan Masyarakat Madani Berdasarkan Pancasila”, yang diselenggarakan oleh Keluarga Besar Marhaenis tanggal 13 Maret 1999 di Yogyakarta)
IV
Dari Wawancana
Wawancara (1)
Bagaimana Bisa Kritis
Jika Tidak Independen
Bagaimana komentar Anda mengenai HMI dengan kekuasaan?
HMI tidak pernah jauh dari pemerintah. Sejak berdiri sudah menyatu dan berintegrasi dengan kehidupan nasional. Ini mencakup bangsa Indonesia, negara kesatuan Republik Indonesia, menganut ideologi Pancasila, dalam hal ini agama Islam , berintegrasi dengan kebudayaan Indonesia dan kebudayaan pemerintah nasional.
HMI memiliki pedoman sikap kooperatif, sekarang disebut partisipatif tapi kritis, korektif, konstruktif, dan kreatif. Bahwa HMI dekat dengan kekuasaan ada benarnya. Kita tidak memusuhi pemerintah. Pada tahun 1953, misalnya, penutupan Kongres HMI diselenggarakan di Istana Merdeka. Tahun 1965 HMI mengadakan resepsi Musyawarah Nasional di Istana Bogor. Kongres HMI Surabaya dua tahun lalu, pembukaannya oleh Pak Harto di Istana Negara. Jadi (acara HMI dihadiri Presiden) itu bukan hal aneh. HMI memang tak pernah menjauhi atau memusuhi kekuasaan.
Benarkah sikap kritis HMI belakangan ini mulai menyurut?
Tidak juga. Yang penting HMI tetap independen sampai sekarang. Mengenai sikap kritis, kita harus akui bahwa sejak ada NKK-BKK tahun 1978, kegiatan kemahasiswaan mengalami hambatan. Itu tidak hanya menimpa HMI, tapi seluruh kegiatan kemahasiswaan yang intra maupun ekstra. Perguruan tinggi kita tahap pertama perkembangannya masih bersifat kuantitatif. Sekarang segi kualitatif sedang dikejar. Ada kemajuan tapi belum meningkat. Ini membawa dampak terhadap sikap kritis mahasiswa, termasuk HMI.
Independensi dan sikap kritis tak bisa dipisahkan. Bagaimana bisa kritis jika tidak independen. Orang lain ingin masuk daftar caleg, tapi ketua HMI tidak. Sebab kalau Ketua Umum PB HMI masuk daftar caleg, berarti melanggar garis independensi, dan HMI akan menjadi onderbouw dari kekuasaan politik.
Ada penilaian bahwa HMI lebih banyak berlindung di balik KAHMI?
Itu tidak benar. Harap dipahami bahwa keluarga besar HMI merupakan suatu badan yang terdiri dari dua unit, yakni unit HMI dan KAHMI. Masing-masing unit sepenuhnya punya otonomi dan independensi. Dalam salah satu kode etik KAHMI tertulis, “Bantuan moral, materiil, dan intelektual dari KAHMI kepada HMI tidak boleh mengurangi independensi KAHMI dan HMI”. HMI kan banyak orang muda, jadi kalau ada keperluan pasti dialamatkan kepada alumninya. KAHMI itu bukan tandingan HMI tapi sandingannya.
Kabarnya HMI tidak sejalan lagi dengan kelompok Capayung lainnya?
Memang terjadi kerenggangan. Penyebabnya tidak jelas baru-baru ini terbentuk FKPI, yang oleh pemrakarsanya belum dijelaskan apa motivasinya. Bagaimanapun para pemuda dan mahasiswa, organisasi kepemudaan ini kan tergabung dalam KNPI. Kalau KNPI dianggap kurang berfungsi, kurang aspiratif, atau didominasi oleh kelompok tertentu, harusnya diusahakan dulu perbaikannya. Kalau sudah maksimal boleh dipikirkan satu badan lain. Jadi, berbuat itu harus yang matang. Jangan terburu-buru. HMI tidak mau berintegrasi dengan para pemuda kalau terlalu tergesa-gesa.
Kita sedang menyerukan persatuan, karena dewasa ini persatuan bangsa sedang terganggu. Kaum muda dan mahasiswa harus menunjukkan semangat persatuan. Sejak dulu HMI berusaha mempersatukan pemuda dan mahasiswa. Tahun 1947 dibentuk Persatuan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang diketuai oleh Achmad Tirtosudiro. Kemudian tahun 1950, dibentuk Front Pemuda Indonesia (FPI) yang saya ketuai. Ini menunjukkan HMI mau bersatu dengan yang lain. Kalau ada tudingan HMI dekat dengan kekuasaan, lalu maunya apa. HMI tetap kritis. Di depan kepala negara, Ketua Umumnya akan memberantas korupsi dan penyelewengan.
Apakah berdekatan dengan kekuasaan itu tidak menimbulkan biaya yang dikorbankan untuk kekuasaan tadi?
Dalil itu tidak benar. HMI tidak pernah mengorbankan apa-apa supaya diberi bantuan atau supaya Pak Harto datang. Sikap kritis tidak berkurang, malah hal itu diungkapkan di hadapan Presiden. Untuk partai politik, mungkin kekhawatiran semacam itu bisa diterima. Artinya, dalam politik berlaku ada ubi ada talas, ada budi ada balas. Tapi untuk organisasi pemuda, tidak ada.
Sumber : Tabloid Berita Mingguan Adil, Jakarta, No. 24 Tahun ke-65 tanggal 26 Maret – 1 April 1977, halaman 5.
Wawancara (2)
Menurut Bung Karno Islam itu
Pro-Nasionalisme dan Pro-Sosialisme
Sejauhmana pemahaman Bung Karno terhadap Islam?
Saya melihat Bung Karno seorang insan paripurna. Artinya, Bung Karno itu seorang pejuang, seorang pemikir, seorang ideolog, seorang filosof, seorang negarawan, seorang budayawan, seorang nasionalis, seorang internasionalis, seorang humanis dan kemudian juga seorang kepala keluarga yang baik. Mengenai kapasitas Bung Karno sebagai pemikir, selama ini yang tertonjol, Bung Karno sebagai pemikir marhaenisme. Padahal, Bung Karno juga sebagai pemikir Islam. Kalau dibandingkan dengan pemikir-pemikir Islam lain di Indonesia ketika itu, pemahaman Bung Karno jauh lebih banyak, ketimbang misalnya Natsir dan Alimin. Dan Bung Karno memikirkan Islam bukan belakangan karena mendapat petunjuk-petunjuk dari ustadz Hasan.
Bisa dijelaskan hubungan Ustadz Hasan dengan Bung Karno?
Dalam tulisan Bung Karno tahun 1926 berjudul Nasionalisme, Islam, Marxisme dan bagian tentang Islam itu menunjukkan Bung Karno sudah mempelajari Islam dari aspek kemasyarakatan dan kenegaraan dari Islam. Ketika Bung Karno di Endeh ada 12 surat dari Bung Karno yang dikirimkan kepada Ustadz Hasan. Sebetulnya isinya adalah curahan hati tingkat intelektual yang tinggi dari Bung Karno kepada Ustadz Hasan. Bukan ustadz Hasan mengajari Bung Karno. Selama ini orang memandang Bung Karno belajar dari ustadz Hasan. Selama di tempat pembuangan itu Bung Karno ingin menyampaikan pemikiran tentang Islam kepada ustadz Hasan.
Apa segi menarik Islamnya ustadz Hasan bagi Bung Karno?
Bagi Bung Karno, ajaran-jaran ustadz Hasan menjurus ke pemurnian ekonomi Islam. Saat itu Bung Karno sangat tertarik. Sebab, Bung Karno itu risau, sedih, prihatin melihat penghidupan orang-orang Islam di Indonesia. Mungkin Bung Karno ingin tahu apa Islam itu anti-kolonialisme dan anti-imperialisme. Dia yakin kalau Islam itu anti-imperialisme. Karena, ada kalimat dari Bung Karno yang menyatakan Islam sejati tidak mengenal sikap anti-nasionalis sebagai sumber spirit menentang kolonialis. Kemudian melihat sosialisme sebagai sumber spirit menentang kapitalisme. Dan dia melihat bahwa Islam itu adalah pro-nasionalisme dan pro-sosialisme.
Kongritnya apa aplikasi Bung Karno tentang Islam yang diterapkan dalam kenegaraan?
Sebenarnya ajaran nasionalisme itu muncul tahun 1927. Dia tahu dimasyarakat ini ada dua aliran nasionalis dan aliran Islam. Sejak semula Bung Karno tidak pernah mengedepankan nasionalisme saja. Selalu Bung Karno mengedepankan nasionalisme yang berkemanusiaan, yang demokratis dan yang berkeadilan sosial. Keempat itu dirangkum dalam sosionasionalisme, sosiodemokrasi. Disingkat lagi menjadi sosio-nasio-demokrasi. Kualitas begini dari nasionalisme dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Sebab, masyarakat Indonesia itu korban dari nasionalisme Barat. Jadi tidak mungkin meniru nasionalisme Barat. Kelanjutannya, Bung Karno itu seorang yang memahami marxisme. Jadi beliau itu dikatakan marxis dalam arti memahami marxis. Tapi Bung Karno bukan penganut marxisme.
Apakah didalam diri Bung Karno terjadi benturan pemikiran ketika ia mempelajari Islam dan Marxisme?
Menurut saya ada. Sebab, akhirnya Bung Karno beberapa kali mengatakan salah satu ajaran marxisme adalah materialsme. Bung Karno mengatakan saya menerima secara filosofi marxisme, tapi bukan penganut marxisme. Ajaran marxisme hanya dipakai oleh Bung Karno sebagai pisau analisis atau analisis sejarah.
Tapi, kenyataannya ada kalangan tertentu yang menganggap Bung Karno marxis?
Itu tidak betul juga. Karena orang harus memperhatikan Bung Karno itu pernah mondok selama lima tahun di rumahnya Pak Cokroaminoto. Kalu tidak salah sejak Bung Karno umur 13 atau 14 tahun. Di situ pendidikan agamanya dimulai. Bung Karno juga waktu kecil ikut mengaji dan shalat. Cuma, kata Pak Anwar yang sempat cerita pada saya, memang kadang-kadang Bung Karno malas. Tapi itu bisa dipahami karena usianya masih berjiwa muda. Memang ketika itu Bung Karno sedang asyik-asyiknya membaca buku.
Sejauhmana pemahaman Bung Karno tentang Islam, terutama diaplikasikan dalam tugas kenegaraan dan sebagai pemimpin?
Yah, kalu kita lihat surat-surat Bung Karno di Endeh, Bung Karno melihat umat Islam ini masih dijamuri oleh kekolotan. Artinya, Bung Karno sangat kritis terhadap sikap umat Islam yang meninggi-ninggikan derajat sayid-sayid lebih tinggi dari umat Islam lainnya. Bung Karno mengatakan bahwa tidak ada agama yang lebih menyukai persamaan daripada Islam. Surat-surat Bung Karno di Endeh itu berisi kerisauan beliau terhadap kiai-kiai yang dari hari ke hari ngomongnya begitu-begitu saja. Sampai Bung Karno mengatakan, ”Jikalau kiai-kiai membawakan agamanya itu secara moderat, tidak secara kolot, maka dakwah Islam akan jauh lebih berhasil.” Bung Karno mengambil contoh ada orang-orang Barat yang masuk Islam. Ketika itu, Bung Karno bertanya kenapa Anda masuk Islam? Dijawab oleh orang itu, ”Karena saya membaca buku-buku Islam.” Jadi, bukan karena mendengarkan kiai-kiai dengan sorbannya.
Bagaimana sikap dari kelompok Islam terhadap Bung Karno di era tahun 1950-an?
Sebetulnya kalau di tahun 1950-an itu karena Bung Karno pemikirannya berat kepada nasionalisme dan dia kemudian mendirikan PNI. Walaupun demikian, dalam pikiran Bung Karno yang dinamakan massa itu adalah sebagian besar umat Islam. Tapi orang menganggap Bung Karno sebagai kelompok nasionalis. Sebetulnya banyak yang belum tahu pikiran-pikiran Bung Karno. Karena Bung Karno banyak menulis tentang Islam itu baru sekitar tahun 1936. Tetapi tahun 1926 sudah ada tulisan tentang Islam dari Bung Karno. Bung Karno itu memperhatikan aspirasi dari umat Islam. Sebagai presiden yang mayoritas rakyatnya beragama Islam, Bung Karno harus membekali diri dengan pengetahuan Islam. Bahkan pernah pada suatu acara di tahun 1950-an Bung Karno melontarkan kalimat jadikanlah mesjid itu sebagai center of live. Jadi, kata Bung Karno, mesjid jangan dijadikan tempat shalat saja, tapi jadi tempat umat Islam belajar dan mempelajari ilmu pengetahuan.
Rusman
Wawancara berlangsung di kediaman Pak De dikawasan Jakarta Selatan dan terpublikasi di Tabloid DeTAK No. 143 Tahun ke 3, 13-19 Juni 2001
Wawancara (3)
"Seminar Itu Hanya Akan Menyesakkan Dada"
Gagasan seminar Nawaksara oleh Menpora Hayono Isman mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Termasuk dari mereka yang hadir ketika Bung Karno menyampaikan pidato bersejarah itu pada tanggal 22 Juni 1966 di depan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. Dahlan Ranuwihardjo, 71 tahun, ketika itu menjadi anggota MPRS mewakili Fraksi Karya Pemuda dari Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar.
Mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam ini tak setuju Nawaksara diseminarkan, apalagi pada kondisi seperti sekarang ini. Anggota Dewan Pertimbangan Kahmi (Koorps Alumni HMI) itu menanyakan motivasi penyelenggaran seminar tersebut. "Saya berpendapat ini tidak relevan, akan menyesakkan dada seperti dulu dan hanya membangkitkan luka lama,” kata dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional Jakarta ini.
Staf pengajar Universitas Tujuh Belas Agustus Jakarta itu menilai soal Nawaksara bisa saja menjadi bahan pelajaran sejarah, tetapi bukan untuk diseminarkan. "Saya khawatir akan kontra produktif untuk kesatuan bangsa yang dirasa sekarang sangat peka," jelas Dahlan.
Ditemui Hani Pudjiarti dari TEMPO Interaktif di rumahnya di Pesanggrahan Permai, Ciledug, pada Rabu (2/4) lalu, keponakan Mr. Mohammad Roem ini berkisah seputar Nawaksara. Berikut petikan wawancara dengan anggota Dewan Pertimbangan Yayasan Kerukunan dan Kebangsaan itu:
Bisa diceritakan bagaimana kondisi sidang MPRS ketika Presiden Sukarno menyampaikan pidato Nawaksara?
Pada sidang umum MPRS 22 Juni 1966, Presiden Sukarno menyampaikan pidato rutin yang setiap periodenya selalu disampaikan kepada MPRS. Nawakasra menurut Presiden Sukarno, nawa artinya sembilan dan aksara artinya tulisan. Karena pidato itu mengandung sembilan pokok masalah. Setelah mendengar pidato itu, MPRS mengambil keputusan bahwa Nawaksara ini dipandang belum cukup. Karena MPRS menilai Presiden Sukarno belum memberikan keterangan mengenai tiga hal: mengapa sampai terjadi peristiwa Gestapu, mengapa terjadi kemerosotan ekonomi dan ketiga mengapa terjadi kemerosotan moral. Lalu keputusan itu disampaikan kepada Presiden Sukarno untuk dilengkapi. Jadi prinsipnya MPRS bukan menolak, tapi minta Bung Karno melengkapi pidatonya.
Apa yang terjadi selanjutnya?
Memang Presiden Sukarno memenuhi permintaan MPRS untuk melengkapi pidato tadi yang kemudian sebagai Pelengkap Nawaksara, pada 10 Januari 1967. Tetapi itupun tetap tidak mengubah pandangan MPRS mengenai tiga amanat hati nurani rakyat tadi.
Bagaimana reaksi MPRS ketika itu?
DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) lalu membuat resolusi. Isinya, pertama, menyesalkan mengapa Pelengkap Nawaksara itu tidak menjelaskan tiga hal yang diinginkan rakyat. Karena itulah kemudian DPR-GR juga meminta kepada pimpinan MPRS untuk menyelenggarakan sidang istimewa MPRS yang diadakan pada bulan Maret 1967. Sidang bulan Maret 1967 tersebut akhirnya memutuskan Presiden Sukarno tidak memenuhi pertanggungjawaban Presiden terhadap MPRS. Lalu dikeluarkanlah Tap Nomor XXXIII/1967 mengenai Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno dan mengangkat pejabat presiden yaitu Jenderal Suharto. Peristiwa itu terjadi pada 12 Maret 1967.
Meskipun demikian, sebenarnya pada sidang MPRS tanggal 20 Februari 1967, pengangkatan Jenderal Suharto sebagai pengemban Tap MPRS Nomor IX tahun 1966 (lebih dikenal sebagai Supersemar, Red.) sudah disahkan, tapi soal itu selalu dilupakan orang. Yang dipercayai banyak orang sebagai tanggal penyerahan kekuasaan adalah tanggal 12 Maret 1967. Bila dilihat secara protokoler, penyerahan kekuasaan negara sebenarnya terjadi pada bulan Februari 1967 dan disidangistimewakan pada bulan Maret 1967. Sayangnya temuan 20 Februari 1967 yang secara tegas menunjuk pengangkatan Pak Harto tidak pernah disinggung.
Mengapa demikian?
Memang kejadian itu dilakukan di luar MPRS. Kejadian itu hanya diberitahukan dan diterangkan dalam sidang DPR-GR dan MPRS yang melegalisir penyerahan kekuasaan kenegaran secara protokuler. Sampai sekarang saya sendiri belum menemukan dokumennya, tapi faktanya benar-benar ada.
Bila peristiwa Pebruari itu benar, itu berarti belum sebulan setelah pidato pelengkap Nawaksara kekuasaan negara sepenuhnya sudah diberikan kepada Pak Harto, apa artinya?
Karena tidak ada dokumen resmi kita tidak bisa menjelaskan. Yang diserahkan ketika itu adalah kekuasaan pemerintahan, sementara sidang istimewanya dipandang perlu sebab presiden menurut undang-undang dasar tidak berhak memberikan penyerahan kekuasaan kepada siapapun kecuali kepada MPRS. Mungkin bila pengalihan kekuasaan dari Bung Karno ke Pak Harto bisa dikatakan belum konstitusional bila dilangsungkan tanpa disidangkan oleh MPRS. Kalau ada yang menganggap itu kudeta, saya no comment. Hanya secara konstitusional, saya melihat Pak Harto dikukuhkan melalui Tap MPRS yang kuat.
Apakah pengalihan kekuasaan tanggal 20 Februari itu tidak mempunyai alasan hukum?
Itu sebabnya kemudian Jenderal Suharto meminta legitimasi atau pengesahan MPRS. Karena suasana pada waktu sidang umum itu merupakan suasana yang menyesakkan. Di mana kita menghadapi suatu tragedi seorang bapak bangsa, seorang proklamator, seorang penggali Pancasila, dan seorang pejuang besar yang tengah dihadapkan pada masalah pertanggungan jawab yang dinilai kurang lengkap, yang menyebabkan dia harus turun. Apakah itu tidak menyesakkan dada.
Apakah karena itu seluruh anggota sidang memberikan suara bulat dan mencabut kekuasaan Sukarno?
Ya, kita mau apalagi. Debat yang dilakukan banyak anggota MPRS menginginkan Sukarno diadili secara hukum. Ini-itu. Tapi, apalagi suasana menyesakkan itu membuat adanya penilaian-penilaian pribadi. Secara formil suara bulat. Dalam hati, saya menangis.
Adakah anggota fraksi-fraksi MPRS yang lain menolak keputusan itu?
Pokoknya yang menentang Ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 tidak ada. Loh wong ini berdasarkan suara bulat. Intinya kita melarang Presiden Sukarno melakukan kegiatan politik sampai dengan pemilu (1971). Dan sejak berlakunya ketetapan ini, MPRS menarik kembali mandat yang diberikan kepada Presiden Sukarno serta segala kekuasaan pemerintah yang diatur dalam UUD 1945.
Apakah keputusan itu terjadi karena posisi Ketua MPRS dipegang oleh Pak Nasution yang dikenal sangat berseberangan dengan Bung Karno?
Kalau ditanyakan yang dominan dalam MPRS, sebenarnya bukan hanya Pak Nas, tapi juga ABRI, khususnya Angkatan Darat yang dominan. Itu namanya lobi. Istilahnya yang tepat ketika itu conditioning (keadaan sebagai persyaratan, Red.).
Apakah Pak Nas melakukan conditioning sampai keluarnya keputusan yang menjatuhkan Bung Karno itu?
Saya tidak tahu persis, hanya ketika itu conditioning sangat terbuka.
Ketika Nawaksara dibacakan, apakah Pak Harto ikut hadir?
Iya, beliau ikut hadir.
Sidang MPRS ketika itu dihadiri oleh wakil-wakil dari MPRS dan anggota DPRGR. Apakah mereka juga berdebat ketika memutuskan dibuat pelengkap Nawaksara?
Begini. Ketika itu anggota DPR-GR kira-kira 200 orang. Sedangkan anggota MPRS non DPR-GR kira-kira 400 orang. Jadi tidak ada perbedaan sikap-sikap politik. Mereka menganggap pidato Nawaksara belum lengkap dan mohon kepada presiden untuk melengkapinya. Sebenarnya, permintaan ini masih mengandung harapan pada presiden agar melengkapi isi pidato 10 Januari 1967. Sayangnya, itupun tidak memenuhi amanat rakyat.
Apa ada kaitan antara Supersemar dengan Nawaksara?
Nawaksara adalah acara dari sidang umum meminta laporan presiden tentang pertanggungjawabannya, jadi itu termasuk acara rutin. Jadi kaitan langsung dengan Supersemar tidak ada. Mestinya perlu dijelaskan mengapa Supersemar berubah menjadi Tap Nomor IX/MPRS/1966. Ini juga termasuk kejutan bagi saya yang saat itu duduk dalam anggota MPRS. Hal ini sempat dibicarakan oleh Fraksi Golkar. Ketika itu saya mengajukan pertanyaan: loh mengapa mengukuhkan Supersemar sebagai ketetapan MPRS?
Saya malah sempat diledek teman-teman, Pak Dahlan kok nggak mengerti, nggak paham apa maksudnya? Saya tetap bertanya-tanya sampai akhirnya keluar jawaban yang menerangkan kalau Supersemar sudah dijadikan Tap MPRS maka tidak bisa dicabut, karena merupakan perintah dari Presiden Sukarno. Dan kelihatannya setelah dikukuhkan sebagai Tap MPRS, Supersemar menjadi kuat. Bahkan Presiden Sukarno sekalipun tidak bisa mencabutnya. Karena itulah kemudian MPRS meminta pertanggungjawaban presiden sebagai mandataris MPRS.
Kabarnya Nawaksara ditolak karena masalah PKI tidak dijelaskan oleh Sukarno?
Itu sebenarnya soal penilaian saja karena masalah PKI adalah masalah besar. Jadi, ya, tidak bisa itu dikatakan masalah cabang seperti dikatakan Pak Karno. Seringkali memang Pak Karno bilang masalah PKI hanya rimple in the ocean, hanya riak di lautan. Dia juga bilang, dalam revolusi wajar terjadi hal macam begini. Ya, jelas mereka nggak terima, wong tujuh jenderal mati karena PKI kok dianggap hal sepele dan cabang.
Menurut logika, yang pertama kali harus memberikan pertanggungan jawab terhadap situasi saat itu adalah presiden sebab presiden di dalam UUD 45 memegang kekuasaan. Dan kok terjadi suatu pemberontakan, ini harus diterangkan dalam pertanggungjawaban presiden, dan bukan berarti menyalahkannya. Mengapa PKI kok sampai begini menunjukkan adanya kondisi ekstern dan internnya PKI. Kok sampai begitu jadinya padahal kondisi obyektif 'kan berkaitan dengan kebijakan-kebijakan negara termasuk dari keputusan kepala negaranya yaitu presiden. Jadi wajar kalau Bung Karno harus menjelaskannya. Ya, andaikan saja isi pidato Nawaksara mampu menjelaskan permintaan MPRS, barangkali tidak akan seperti itu hasilnya.
Apa yang ingin didengar MPRS soal PKI?
Sebenarnya ada tiga hal tetapi yang paling terasa adalah soal PKI, kemerosotan ekonomi dan kemerosotan akhlak. Kemudian adanya reaksi dari mahasiswa juga faktor yang memperkuat. Mereka malah menuntut supaya Bung Karno langsung dijatuhi hukuman. Tetapi kita tidak setuju karena MPRS bukan pengadilan. Kalau mau menghukumnya, harus melalui prosedur pengadilan. Ya, kita cari semacam jalan tengah, tetapi tidak menghukum Presiden Sukarno dari segi hukum pidana. Kita hanya melarang Sukarno melakukan kegiatan politik. Ini berlaku setelah presiden Sukarno turun dari kekuasaan. Larangan ini juga menimbang suara-suara anggota DPR-GR yang mendesak supaya Bung Karno dihukum karena terlibat PKI. Para ahli hukum mengatakan, terlibat atau tidak harus melalui peradilan karena MPRS bukan pengadilan.
Dan kini Nawaksara akan diseminarkan, bagaimana menurut Anda?
Saya tidak tahu. Tetapi saya memandang seminar ini sebaiknya tidak perlu. Saya sendiri tidak mengerti apa alasan Menpora Hayono Isman mengadakan seminar itu. Yang saya baca, itu gagasannya lalu direstui Pak Harto. Harusnya sekarang dijelaskan dulu motivasinya apa menyelenggarakan seminar ini. Kalau yang saya baca tujuannya supaya orang muda memahami apa yang terjadi 30 tahun yang lalu. Lo...ini 'kan sejarah yang harusnya ditulis di buku sejarah. Saya rasa sejak sekolah menengah sudah ada pelajaran sejarah, mengapa tidak ditulis dan dijelaskan di pelajaran sejarah, biar nggak usah diseminarkan seperti sekarang. Akibatnya akan tambah menyesakkan dada, sama halnya seperti dulu.
Andaikan seminar ini jadi dilaksanakan?
Ya, terserah, wong saya ini rakyat biasa. Saya hanya mengelus dada saja dan mengucapkan masyaallah. Ya, saya rakyat biasa, mau berbuat apa.
Kalau Anda diundang untuk bicara nanti?
Jangan mengajukan pertanyaan seperti itu. Lah, saya ini sebenarnya bukan membela Bung Karno. Saya hanya melihat apa perlunya kalau hanya membangkitkan luka lama. Dan saya menganggap tidak relevan untuk hadir. Biarlah sejarah yang mencatat dan menggoreskannya, bukan kita yang mengungkit-ungkitnya lagi.[]
Sumber Tulisan :
BAGIAN PERTAMA
1. Misi HMI : Mencetak Hamba-hamba Allah, Kader-kader Bangsa Paripurna
Pelita 5 Pebruari 1988, dalam Agussalim Sitompul, HMI Mengayuh Diantara Cita dan Kritik, Misaka Galiza, Jakarta, 2008. hal. 709-714
2. HMI dalam Periode 1950-1960
Pelita 7 Pebruari 1990, dalam Agussalim Sitompul, HMI Mengayuh Diantara Cita dan Kritik, Misaka Galiza, Jakarta, 2008. hal. 709-714
3. Mengenang Peristiwa Tahun 1964-1965, HMI Menghadapi Pengganyangan oleh PKI dan Kawan-kawannya
Sulastomo, Hari-hari yang Panjang 1963-1966, Haji Masagung, Jakarta, 1989, hal. 135-139.
4. 50 Tahun Sejarah Perjuangan HMI Turut Menegakkan dan Membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia
Ramli HM Yusuf, 50 Tahun HMI Mengabdi Republik, Lembaga Studi Pembangunan Indonesia, Jakarta, 1997, hal. 3-15.
Bagian Kedua
1. Achmad Tirto Sudiro Seorang Pendiri HMI
dalam Ahmad Zacky Siradj (ed), 70 Tahun Achmad Tirtosudiro: Profil Prajurit Pengabdi, Intermasa, Jakarta, 1992, hal 362-381.
2. Seorang Pejuang yang Mukhlis
dalam Badruzzaman Busyairi, 80 Tahun Ir. H.M. Sanusi : Catatan Kehidupan dan Perjuangan, Panitia Tasyakur 80 Tahun Pak Sanusi, Jakarta, 2000, hal. 261-263.
3. Dari Non-Partisan ke Partisan
dalam Saripudin HA (Ed), Begawan Politik : Deliar Noer 75 Tahun, Panitia Penerbitan Buku 75 Tahun Prof. Dr. Deliar Noer, Jakarta, 2001.
4. Dua Cendekiawan dalam Satu Wajah
dalam Jimly Asshiddiqie (ed), Bang ‘Imad : Pemikiran dan Gerakan Dakwahnya, Gema Insani Press, Jakarta, 2002, hal. 177-180.
Bagian Ketiga
1. Pergerakan Pemuda Setelah Proklamasi (Beberapa Catatan)
A. Dahlan Ranuwihardjo, Pergerakan Pemuda Setelah Proklamasi (Beberapa Catatan), Yayasan Idayu, Jakarta, 1979, hal. 5-35.
2. Nasionalisme Pemuda Indonesia dan Tantangan Dekolonisasi Fahri Hamzah (ed), Mencari Kembali Pemuda Indonesia : Penuturan Para Aktifis dari Berbagai Generasi, CYFIS Press, Jakarta, 2000, hal. 9-26.
3. Dibutuhkan Pendobrakan Intelektual
Imam Walujo dkk (ed), Dialog : Indonesia Kini dan Esok, LEPPENAS, Jakarta, 1981, hal. 53-62.
4. Memasuki Abad Kedua Puluh Satu dengan Reformasi Paripurna
Tim KAHMI Jaya (Ed), Indonesia di Simpang Jalan : Reformasi dan Rekonstruksi Pemikiran di Bidang Politik, Sosial, Budaya, dan Ekonomi Menjelang Milenium Ketiga, Mizan Pustaka-Kronik Indonesia Baru, Jakarta, 1998, hal. 22-35.
5. Menggagas Indonesia Masa Depan
Paparan pada Simposium KAHMI Jaya, Menggagas Indonesia Masa Depan, pada tanggal 1 Juni 1999, 14 Agustus 1999, dan 8 September 1999.
6. Bung Karno : Wacana Konstitusi dan Demokrasi
Iman Toto K. Rahardjo dan Herdianto WK, Bung Karno Wacana Konstitusi dan Demokrasi : Kenangan 100 Tahun Bung Karno, Grasindo, Jakarta, 2001.
7. Revisi UUD 1945
Mohammad Noer, Membangun Indonesia Baru, Universitas Nasional Press, Jakarta, 2000, hal. 155-176.
8. Amandemen UUD
Risalah Rapat Ke-7 Panitia Adhoc I Badan Pekerja MPR, 13 Desember 1999, Acara : Dengar Pendapat dengan para Pakar, hal. 19-26 (www.docstoc.com/ocs/ 37702043/Risalah-Rapat-ke-7-PAH-I)
9. Pandangan Islam Terhadap Marhaenisme
http://baitulmuslimin.wordpress.com/2011/12/ 04/pandangan-islam-terhadap-marhaenisme-ahmad-dahlan-ranuwihardjo/
Bagian Keempat
1. Bagaimana Bisa Kritis Jika Tidak Independen
dalam Agussalim Sitompul, HMI Mengayuh Diantara Cita dan Kritik, Misaka Galiza, Jakarta, 2008. hal. 540-541.
2. Menurut Bung Karno Islam itu Pro-Nasionalisme dan Pro-Sosialisme
http://roeshman.wordpress.com/2008/10/31/menurut-bung-karno-islam-itu-pro-nasionalisme-dan-pro-sosialisme/
3. Seminar Itu Hanya Akan Menyesakkan Dada
http://www.tempo.co.id/ang/min/02/05/utama2.htm
Daftar Pustaka
A. Dahlan Ranuwihardjo, Pergerakan Pemuda Setelah Proklamasi (Beberapa Catatan), Yayasan Idayu, Jakarta, 1979.
A. Dahlan Ranuwihardjo, Revolusi, Anti Imprealisme, dan Pancasila, Intrans, Jakarta, 2002.
A. Dahlan Ranuwihardjo, Revisi UUD 45, dalam Mohammad Noer (et.al.), Membangun Indonesia Baru, (Buku Kesatu), Universitas Nasional Press, Jakarta, 2000.
A. Dahlan Ranuwihardjo, Kata Pengantar (2), dalam Iman Toto K. Rahardjo, Bung Karno , Wacana Konstitusi dan Demokrasi : Kenangan 100 Tahun Bung Karno, Gramedia Widiasarana Indonesia dan Panitia Peringatan 100 Tahun Bung Karno, Jakarta, 2001.
A. Dahlan Ranuwihardjo, Bung Karno dan HMI dalam Pergulatan Sejarah : Mengapa Bung Karno Tidak Membubarkan HMI, Intrans, Jakarta, 2002.
A. Dahlan Ranuwihardjo, Kata Pengantar dalam Elisabeth Tata (Penyunting), Negara Nasional dan Cita-cita Islam : Kuliah Umum Presiden Sukarno, Pusat Data Indikator, Jakarta, 1999
A. Dahlan Ranuwihardjo, Negara Nasional dan Cita-cita Islam : Bung Karno Menjawab A. Dahlan Ranuwihardjo, Pimpinan Kolektif Majelis Nasional KAHMI, Jakarta, 2012.
A. Dahlan Ranuwihardjo, Menuju Pejuang Paripurna : Aspek Ideologi dari Islam, Leadership, Strategi dan Taktik dalam Perjuangan Politik, Pimpinan Kolektif Majelis Nasional KAHMI, Jakarta, 2012.
A. Dahlan Ranuwihardjo, Hakikat Paham Kebangsaan, Pimpinan Kolektif Majelis Nasional KAHMI, Jakarta, 2012.
A. Dahlan Ranuwihardjo, Hak Azasi Manusia, Pimpinan Kolektif Majelis Nasional KAHMI, Jakarta, 2012.
A. Dahlan Ranuwihardjo, Falsafah dan Ideologi Pancasila, Pimpinan Kolektif Majelis Nasional KAHMI, Jakarta, 2012.
Agus Salim Sitompul, HMI Mengayuh Diantara Cita dan Kritik, Misaka Galiza, Jakarta, 2008.
Ahmad Zacky Siradj (ed), 70 Tahun Achmad Tirtosudiro: Profil Prajurit Pengabdi, Intermasa, Jakarta, 1992.
Badruzzaman Busyairi, 80 Tahun Ir. H.M. Sanusi : Catatan Kehidupan dan Perjuangan, Panitia Tasyakur 80 Tahun Pak Sanusi, Jakarta, 2000.
Elisabeth Tata (Penyunting), Negara Nasional dan Cita-cita Islam : Kuliah Umum Presiden Sukarno, Pusat Data Indikator, Jakarta, 1999.
Fahri Hamzah (ed), Mencari Kembali Pemuda Indonesia : Penuturan Para Aktifis dari Berbagai Generasi, CYFIS Press, Jakarta, 2000.
Imam Walujo dkk (ed), Dialog : Indonesia Kini dan Esok, LEPPENAS, Jakarta, 1981.
Iman Toto K. Rahardjo dan Herdianto WK, Bung Karno Wacana Konstitusi dan Demokrasi : Kenangan 100 Tahun Bung Karno, Grasindo, Jakarta, 2001.
Jimly Asshiddiqie (ed), Bang ‘Imad : Pemikiran dan Gerakan Dakwahnya, Gema Insani Press, Jakarta, 2002.
Mohammad Noer, Membangun Indonesia Baru, Universitas Nasional Press, Jakarta, 2000.
Ramli HM Yusuf, 50 Tahun HMI Mengabdi Republik, Lembaga Studi Pembangunan Indonesia, Jakarta, 1997.
Saripudin HA (Ed), Begawan Politik : Deliar Noer 75 Tahun, Panitia Penerbitan Buku 75 Tahun Prof. Dr. Deliar Noer, Jakarta, 2001.
Sulastomo, Hari-hari yang Panjang 1963-1966, Haji Masagung, Jakarta, 1989, hal. 135-139.
Tim KAHMI Jaya (Ed), Indonesia di Simpang Jalan : Reformasi dan Rekonstruksi Pemikiran di Bidang Politik, Sosial, Budaya, dan Ekonomi Menjelang Milenium Ketiga, Mizan Pustaka-Kronik Indonesia Baru, Jakarta, 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari