BAB I
PENDAHULUAN
Guru merupakan komponen terpenting penting dalam sistem pendidikan Islam. Komponen ini mampu mewujudkan tercapainya pendidikan yang diinginkan, karena guru sangat berperan besar sekaligus menentukan ke mana arah potensi pendidikan yang akan dikembangkan.
Dalam hal ini, guru juga merupakan posisi yang strategis bagi pemberdayaan dan pembelajaran suatu bangsa yang tidak mungkin digantikan oleh unsur manapun dalam kehidupan sebuah bangsa sejak dahulu. Semakin signifikannya keberadaan guru melaksanakan peran dan tugasnya semakin terjamin terciptanya kehandalan dan terbinanya kesiapan seseorang. Dengan kata lain potret manusia yang akan datang tercermin dari potret guru di masa sekarang dan gerak maju dinamika kehidupan sangat bergantung dari "citra" guru di tengah-tengah masyarakat.
Namun melihat fakta yang terjadi, selama ini guru sering dituding oleh orang tua murid sebagai penyebab awal kegagalan anak. Dalam hal ini sebenarnya tidak perlu saling tuding menuding, akan tetapi bagaimana mencari jalan keluarnya. Oleh sebab itu penulis mencoba menelaah kembali bagaimana guru yang baik menurut konsep Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Guru
Pendidik adalah orang yang mendidik. Dalam pendidikan formal tingkat dasar dan menengah disebut guru, sedangkan pada perguruan tinggi disebut dengan dosen. Dalam bahasa Arab, juga ditemukan beberapa istilah yang memiliki makna pendidik, yaitu ustadz, mudarris, mu’allim, dan mu’addib. Abuddin Nata mengemukakan bahwa kata ustadz jamaknya asātidz yang berarti teacher (guru), professor (gelar akademik), jenjang di bidang intelektual, pelatih, penulis, dan penyiar. Adapun kata mudarris berarti teacher (guru), instructor (pelatih), lecture (dosen). Sedangkan kata mu’allim yang juga berarti teacher (guru), instructor (pelatih), dan trainer (pemandu). Sementara kata mu’addib berarti educator (pendidik) atau teacher in koranic school (guru dalam lembaga pendidikan al-Qur’an).
Sebagian orang berpendapat bahwa istilah yang tepat untuk menggunakan pendidikan adalah tarbiyah, maka seorang pendidik disebut murabbi, dan jika ta’līm yang dianggap lebih tepat, maka pendidiknya disebut mu’allim.
Kata ”murabbi”, sering dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani atau rohani. Pemeliharaan seperti ini terlihat dalam proses orang tua membesarkan anaknya. Mereka tentunya berusaha memberikan pelayanan secara penuh agar anaknnya tumbuh dengan fisik yang sehat dan kepribadian serta akhlak terpuji. Sedangkan kata ”mu’allim” memberikan konsekuensi bahwa guru adalah seorang yang alim (ilmuan), menguasai ilmu pengetahuan, keratif dan memiliki komitmen dalam pengembangan ilmu. Dalam pengertian ini maka seorang guru harus kaya dengan ilmu dan aktivitas dan ia berusaha untuk memberikan pengetahuannya tersebut kepada peserta didiknya.
Meskipun terdapat berbagai perbedaan istilah, yang jelasnya makna dasar dari masing-masing istilah tersebut terkandung di dalam konsep ”pendidik” dalam pendidikan Islam. Dengan demikian, ”pendidik” tidak hanya sebagai orang yang menyampaikan materi kepada peserta didik (transfer of knowladge), tetapi lebih dari itu ia juga bertugas untuk mengembangkan kemampuan peserta didik secara optimal (tranformation of knowladge) serta menanamkan nilai (internalitation of values) yang berlandaskan kepada ajaran Islam. Tegasnya, seorang pendidik berperan besar dalam menumbuh-kembangkan berbagai potensi positif peserta didik secara optimal sehingga tujuan pendidikan Islam yang ideal dapat diraih.
B. Guru dalam Perspektif Pendidikan Islam
Dalam Perspektif pendidikan Islam, guru disebut sebagai abu al-ruh, yaitu orang tua spiritual. Artinya setiap guru, khususnya yang beragama Islam—terlepas apakah dia guru bidang studi agama atau tidak—bertugas dan memiliki tanggungjaab dalam membimbing dan mendidik dimensi spiritual peserta didik sehingga melahirkan akhlakul karimah. Guru membawa misi penyempurnaan akhlak, sebagaimana misi diutusnya Rasulullah Muhammad SAW. Nabi sendiri dengan tegas pernah bersabda: Innama buitstu liutammima makaarima al-akhlaq, artinya sesungguhnya aku diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak (manusia). Lantaran itu, tidak salah jika Ahmad Tafsir mengatakan bahwa posisi guru setingkat di bawah Nabi, sebagaimana yang ia pahami dalam sabda Nabi, al-Ulama'u waratsatu al-Anbiya', (Ulama [menurutnya termasuk guru] adalah pewaris para nabi).
Guru dalam pemahaman seperti ini tidak hanya dibatasi pada guru yang mengajarkan bidang studi keagamaan (keislaman) semata. Sebab, setiap ilmu yang dimiliki oleh setiap guru, baik di bidang sains, sosial dan lainnya pada hakikatnya bersumber dari Yang Maha Esa, yaitu Allah SWT, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah. Perhatikanlah salah satu firman-Nya: La 'ilmalana illa ma 'allamtana, Tidak ada yang kami ketahui kecuali apa yang diajarkan (Allah) kepada kami.
Karena hakikat ilmu hanya berasal dari Allah, maka setiap ilmu yang adiajarkan mesti melahirkan akhlakul karimah. Dengan demikian setiap ilmu membawa misi pembinaan akhlak, akhlak kepada khaliq maupun akhlak kepada makhluk secara mulia dan terpuji.
C. Kedudukan Pendidik
1. Pendidik dalam al-Qur’an
Secara eksplisit, memang tidak ditemukan ayat-ayat al-Qur’ann yang berbicara tentang pendidik. Namun secara implisit, al-Qur’an membicarakan tentang pendidik. Hal itu dapat dilihat dari konsep al-Qur’an tentang ilmu dan kedudukan orang-orang yang berilmu. Orang yang berilmu ini tentunya memiliki hubungan erat dengan pendidik, dimana pendidik adalah orang yang memiliki dan mengajarkan ilmu.
Dalam al-Qur’an ditemukan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah memposisikan pendidik pada tempat terhormat. Seperti firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Mujadilah/58: 11)
Selain dari posisi di atas, seorang pendidik yang berilmu tersebut memiliki karakter takut, tunduk dan taat kepada Allah (khasyyatullah). Hal ini berarti bahwa secara implisit seorang pendidik memiliki kelebihan dari manusia lain ketika menjalankan perintah Allah. Firman-Nya:
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Artinya: Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S. Fathir/35: 28)
Menurut Ramayulis, dari ayat-ayat yang berkenaan dengan ilmu (pendidik) di atas, dapat disimpulkan bahwa Allah menempatkan seorang pendidik pada posisi yang terhormat. Jika digunakan logika berfikir yang linear maka tentunya posisi ulama akan terus meningkat derajatnya apabila ia mengaplikasikan ilmunya dalam sikap hidup dan perilaku sehari-hari. Selanjutnya posisi terhormat seorang pendidik tersebut akan terus meningkat ke derajat yang lebih tinggi bila ilmu tersebut diwariskan kepada orang lain melalui usaha pendidikan.
2. Pendidik dalam Hadis
Dari beberapa hadis dapat dilihat bahwa Nabi Muhammad SAW juga memposisikan pendidik di tempat yang mulia dan terhormat. Dia menegaskan bahwa ulama adalah pewaris para nabi, sementara makna ulama adalah orang yang berilmu. Dalam perspektif pendidikan Islam, pendidik termasuk ulama. Tegasnya, pendidik adalah pewaris para nabi. Hadis itu berbunyi:
.....اْلعُلَمَاءُ وَرَاثَتُ اْلاَنْبِيَاءِ.....
Artinya: …...Para ulama (guru) adalah pewaris para nabi…(Dari Abu Darda’ r.a. dan diriwayatkan oleh Ibn Majah)
Hadis di atas juga menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memberikan perhatian yang besar terhadap ”pendidik” sekaligus memberikan posisi terhormat kepadanya. Hal ini beralasan mengingat peran pendidik sangat menentukan dalam mendidik manusia untuk tetap konsisten dan komitmen dalam menjalankan risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
D. Fungsi dan Tugas Guru
Pendidik (guru) menurut petunjuk Al-Quran secara garis besar ada empat, yaitu:
1. Allah SWT, sebagai Maha Guru tertinggi Allah SWT, menginginkan umat manusia menjadi baik dan bahagia hidup di dunia dan di akhirat. Dengan seluruh sifat yang melekat padaNya Allah SWT sebagai Maha Guru tertinggi. Ia memiliki pengetahuan yang Maha Luas (Al-Alim), ia juga sebagai Pencipta, mengetahui kesungguhan manusia yang beribadah kepadaNya, mengetahui siapa yang baik dan siapa yang jahat, menguasa cara-cara atau metode dalam membina umatNya antara lain melalui penegasan, perintah, pemberitahuan, kisah, sumpah, memperingatkan, dan meminta perhatian. (QS. Al-Alaq, Al-Qalam, Al-Muzammil, Al-Mudatsir, Al-Lahab, Al-Taqwir, dan Al-Ala).
2. Nabi Muhammad SAW, dan nabi-nabi lainnya. Para nabi menyampaikan ajaran Allah SWT kepada umat manusia. Ajaran yang diterima umat manusia dapat memberi petunjuk mengenai kebahagiaan hidup di dunia dan diakhirat. Sebagai guru, nabi melalui pendidikannya kepada anggota keluarganya yang terdekat, dilanjutkan kepada orang-orang yang ada disekitarnya. Sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad SAW, sebagai seorang guru kepada umatnya, tugasnya dapat dilaksanakan dengan hasil yang memuaskan, sehingga ajaran Islam melekat dan menjadi yang tak terpisahkan dari perilaku dan prikehidupan kaum muslimin sehari-hari. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari metode yang digunakan oleh nabi, yaitu dengan cara menyayangi, keteladanan yang baik mengatasi penderitaan dan masalah yang dihadapi oleh umatnya.
Guru adalah istilah yang lazim digunakan oleh kalangan masyarakat untuk seseorang yang melakukan kegiatan pendidikan baik di lembaga formal maupun bukan. Ahmad Tafsir misalnya mengatakan bahwa : “Pendidikan dalam Islam, sama dengan di barat, yaitu siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Selanjutnya ia mengatakan bahwa dalam Islam “orang yang bertanggung jawab tersebut adalah orang tua (ayah ibu) anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal: pertama, karena kodrat, yaitu karena orang tua ditakdirkan bertanggung jawab mendidik anaknya; kedua karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua berkepentingan terhadap kemajuan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tua juga.” Bergesernya tugas dari orang tua kepada orang lain (guru) lebih lanjutnya dijelaskan oleh Ahmad Tafsir. Menurutnya, pada mulanya tugas mendidik itu adalah murni tugas kedua orang tua, akan tetapi karena perkembangan pengetahuan, ketrampilan, sikap serta kebutuhan hidup sudah sedemikian luas dan komplek, maka orang tua tidak mampu lagi melaksanakan tugas-tugas mendidik anaknya. Hal tersebut sejalan perkembangan masyarakat. Misalnya dari sejak Nabi Adam SAW, maka tugas mendidik yang pertama kali Allah SWT yang bertindak selaku Privat Teacher, karena hal itu tidak mungkin dapat diwakilkan. Tetapi setelah keluarga Nabi Adam SAW berkembang luas, maka tugas mendidik masyarakat diwakilkan kepada para Nabi yang diangkat oleh Allah SWT, sendiri, selanjutnya oleh orang tua kemudian orang lain atau guru.
3. Kedua orang tua, Al-Quran menyebutkan, bahwa orang tua sebagai guru harus memiliki hikmah atau kesadaran tentang kebenaran yang diperoleh melalui ilmu dan rasio; dapat bersyukur kepada Allah SWT, suka menasehati anaknya agar tidak mensekutukan Tuhan; memerintahkan anaknya agar menjalankan shalat, sabar dalam menghadapi penderitaan, tidak sombong dan takabur, Luqman : 12-19).
4. Orang lain, informasi yang amat jelas mengenai hal antara lain terdapat dalam Al-Quran surat Al-Kahfi ayat 60-82 tentang proses belajar mengajar antara nabi Khaidir SAW kepada nabi Musa SAW. Bahwa dalam proses belajar hendaknya muridnya berlaku sabar dan agar tidak bertanya sebelum dijelaskan, dan lain-lain. Orang yang keempat inilah yang selanjutnya disebut guru.”
Tugas guru sebagaimana dijelaskan oleh S. Nasution, terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Sebagai orang yang mengkonsumsikan pengetahuan.
2. Guru sebagai model dan contoh nyata dari yang dikehendaki oleh mata pelajaran.
3. Menjadi model sebagai pribadi, seperti berdisiplin, cermat berpikir, mencintai pelajarannya.
E. Persyaratan Guru atau Pendidik
Dari penjelasan tugas pendidik di atas, dapat dipahami bahwa menjadi seorang pendidik yang sesungguhnya tidaklah mudah; butuh upaya yang sungguh-sungguh. Agar tugas tersebut dapat dijalankan dan karakteristik pendidik itu bisa dimiliki, maka seorang guru harus memiliki beberapa persyaratan. Al-Kanani (w. 733 H), seperti yang dikutip oleh Ramayulis, bahwa ada beberapa persyaratan seorang pendidik dalam pandangan pendidikan Islam. Persyaratan tersebut sebagai berikut:
Pertama, syarat-syarat pendidik berhubungan dengan dirinya sendiri, yaitu:
1. Pendidik hendaknya memelihara kemuliaan ilmu. Salah satu bentuk pemeliharaannya ialah tidak mengajarkannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya, yaitu orang-orang yang menuntut ilmu untuk kepentingan dunia semata.
2. Pendidik hendaknya tidak berorientasi duniawi dengan menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mencapai kedudukan, harta atau kebanggaan atas orang lain.
3. Pendidik hendaknya menjauhi mata pencaharian yang hina dalam pandangan syara’ dan menjauhi situasi yang bisa mendatangkan fitnah dan tidak melakukan sesuatu yang dapat menjatuhkan hara dirinya di mata orang banyak.
4. Pendidik hendaknya memelihara syi’ar-syi’ar Islam, seperti melaksanakan shalat berjamaah di masjid, mengucapkan salam, dan sebagainya.
5. Pendidik hendaknya memelihara akhlak yang mulia dalam pergaulannya dengan orang banyak dan menghindarkan diri dari akhlak buruk.
Kedua, syarat-syarat yang berhubungan dengan pelajaran (syarat-syarat paedagogis-didaktis), yaitu:
1. Sebelum keluar dari rumah untuk mengajar, hendaknya pendidik bersuci dari hadas dan kotoran serta mengenakan pakaian yang baik dengan maksud mengagungkan ilmu dan syari’at.
2. Selalu berdoa agar tidak sesat menyesatkan dan terus berzikir kepada Allah SWT. Artinya, sebelum mengajarkan ilmu, seorang pendidik harus membersihkan hati dan niatnya.
3. Hendaknya pendidik mengambil tempat pada posisi yang membuatnya dapat terlihat oleh semua peserta didik.
4. Sebelum mulai mengajar, pendidik hendaknya membaca basmalah.
5. Pendidik hendaknya mengajarkan bidang studi sesuai dengan hirarki nilai kemuliaan dan kepentingan yaitu tafsir al-Qur’an, hadis, ilmu-ilmu ushuluddin, ushul fiqh, dan seterusnya.
6. Pendidik hendaknya menegur peserta didik-peserta didik yang tidak menjaga sopan santun dalam kelas.
7. Pendidik hendaknya bersikap bijak dalam melakukan pembahasan, menyampaikan pelajaran dan jawaban pertanyaan.
8. Terhadap peserta didik, pendidik hendaknya berperilaku wajar dan menciptakan suasana yang membuatnya merasa telah menjadi bagian dari kesatuan teman-temannya.
Ketiga, syarat-syarat pendidik di tengah-tengah peserta didiknya, antara lain adalah:
1. Pendidik hendaknya mengajar dengan niat mengharapkan ridha Allah, menyebarkan ilmu, menghidupkan syara’, menegakkan kebenaran, melenyapkan kebatilan, dan memelihara kemaslahatan umat.
2. Pendidik hendaknya memotivasi peserta didik untuk menuntut ilmu seluas mungkin.
3. Pendidik hendaknya bersikap adil terhadap semua peserta didiknya.
4. Pendidik hendaknya berusaha membantu memenuhi kemaslahatan peserta didik, baik dengan kedudukan ataupun hartanya.
5. Pendidik hendaknya terus memantau perkembangan peserta didik, baik intelektual maupun akhlaknya. Peserta didik yang shaleh akan menjadi “tabungan” bagi pendidik, baik di dunia maupun di akhirat.
Syarat-syarat di atas harus diupayakan oleh seorang guru secara optimal sehingga ia akan menjadi guru yang profesional, baik dalam kemampuan paedagogik, profesional, individual hingga kepada sosialnya. Semua kemampuan/kompetensi tersebut tentunya berlandaskan kepada ajaran Islam.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa guru yang baik menurut konsep Islam adalah seorang guru mempunyai tugas dan memiliki tanggungjaab dalam membimbing dan mendidik dimensi spiritual peserta didik sehingga melahirkan akhlakul karimah. Guru membawa misi penyempurnaan akhlak, sebagaimana misi diutusnya Rasulullah Muhammad SAW.
Jika semua guru dalam suatu lembaga pendidikan (sekolah) secara bersama-sama melaksanakan tanggungjawabnya dalam mendidik akhlak siswa sesuai dengan ajaran Islam, maka out came dari sekolah tersebut akan melahirkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas, baik kualitas intelektual, emosional maupun spiritual secara integral. Generasi inilah yang akan mampu melakukan perubahan dalam mewujudkan bangsa yang berperadaban, diberkahi dan senatiasa memperoleh ampunan dari Allah SWT.
Dengan demikian pengaruh guru dalam kemajuan intelektual anak sangat besar, bilamana seorang guru tidak mampu menunjukkan kualitas yang terbaik dari dirinya maka anak didik pun tak terlepas dari pengaruh gurunya tersebut. Akan tetapi, bila guru itu bagus dari segi intelektual, emosioal dan spritual, maka tidak diragukan lagi kemungkinan besar peserta didik mewarisi apa yang dimiliki oleh guru.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi, Athiyah. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Yakarta: Bulan Bintang, 1974.
Ramayulis. Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam. Padang: Diktat, 2007.
BAB I
PENDAHULUAN
Keprihatikan bangsa ini yang dilanda krisis multidimensi dalam berbagai aspek kehidupan menuntut peran pendidikan Islam sebagai benteng sekaligus mencetak generasi penerus untuk memperbaiki kondisi yang ada. Menjadi sangat wajar jika beban dari krisis ini seluruhnya dibebankan kepada pendidikan. Baiknya suatu bangsa bisa dilihat dari baiknya pendidikannya, majunya suatu bangsa juga dipengaruhi dari pendidikannya.
Persepsi masyarakat terhadap sekolah mewakili kondisi yang ada dalam masyrakat/negara. Kenyataan ini, misalnya, telah pula mendapat perhatian para filosof sejak zaman Plato dan Aristoteles, sebagaimana diungkapkan bahwa ‘as is the state, so is the shool’ (sebagaimana negara, seperti itulah sekolah), atau ‘what you want in the state, you put into school’ (apa yang anda inginkan dalam negara, harus anda masukkan dalam sekolah). Hal ini menunjukan, bahwa keberhasilan dari proses pendidikan tidak hanya dipengaruhi oleh pihak sekolah saja, tetapi peran keluarga dan masyarakat juga berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan.
Selain itu, filsafat juga ikut serta dalam hal mensukseskan pendidikan. Dengan filsafat pendidikan akan menolong para perancang pendidikan dan orng-orang yang melakukannya dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran sehat terhadap proses kemajuan pendidikan, terutama dalam pendidikan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Secara bahasa filsafat berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, Philosophia: philos berarti cinta, suka (loving), dan sophia yang berarti pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi, Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran atau lazimnya disebut Pholosopher yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.
A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal sebagai orang yang pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengertian fisafat dar segi kebahasaan atau semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebikasanaan sebagai sasaran utamanya.
Sedangkan dalam istilah, filsafat adalah hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.
Mengenai pengertian filsafat pendidikan Islam, Muzayyin Arifin mengatakan bahwa pada hakikatnya adalah konsep berfikir tentang hakikat kemampuan manusia untuk dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam. Definisi ini memberi kesan bahwa filsafat pendidikan Islam sama dengan filsafat pendidikan pada umumnya. Dalam arti bahwa filsafat Islam mengkaji tentang berbagai masalah manusia sebagai subjek dan objek pendidikan, kurikulum, metode, lingkungan, guru, dan sebagainya.
Perbedaan filsafat pendidikan Islam dengan filsafat pendidikan pada umumnya adalah bahwa di dalam filsafat pendidikan Islam, semua masalah kependidikan tersebut selalu didasarkan pada ajaran Islam yang bersumberkan al-Qur'an dan al-Hadits. Dengan kata lain bahwa kata Islam yang mengiringi kata falsafat pendidikan ini menjadi sifat, yakni sifat dari filsafat pendidikan tersebut.
Ahmad D. Marimba, misalnya mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si - terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Berdasarkan rumusannya ini, Marimba menyebutkan ada lima unsur utama dalam pendidikan, yaitu 1) Usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan, pimpinan atau pertolongan yang dilakukan secara sadar. 2) Ada pendidik, pembimbing atau penolong. 3) Ada yang di didik atau si terdidik. 4) Adanya dasar dan tujuan dalam bimbingan tersebut, dan. 5) Dalam usaha tentu ada alat-alat yang dipergunakan.
Sebagai suatu agama, Islam memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna dan kompherhensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman atau hingga hari akhir. Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia termasuk di dalamnya mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat tersebut adalah al Qur’an dan al Sunnah. Sebagai sumber ajaran, al Qur’an sebagaimana telah dibuktikan oleh para peneliti ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran.
Demikian pula dengan al-Hadist, sebagai sumber ajaran Islam, di akui memberikan perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah mencanangkan program pendidikan seumur hidup ( long life education ). Dari uraian diatas, terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh al Qur’an ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini di akui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.
B. Al-Qur’an dan Hadits sebagai Dasar Filosofis Pelaksanaan Pendidikan Islam
Allah berfirman yang artinya:
“ Dan demikian kami wahyukan kepadamu wahyu (al Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan al Qur’an itu cahaya yang kami kehendaki diantara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benarbenar memberi petunjuk kepada jalan yang benar ( QS. Asy-Syura : 52 )”
Nabi SAW bersabda, yang artinya:
“ Sesungguhnya orang mu’min yang paling dicintai oleh Allah ialah orang yang senantiasa tegak taat kepada-Nya dan memberikan nasihat kepada hamba-Nya, sempurna akal pikirannya, serta mengamalkan ajaran-Nya selama hayatnya, maka beruntung dan memperoleh kemenangan ia” (al Ghazali, Ihya Ulumuddin hal. 90)”
Dari ayat dan hadis di atas tadi dapat diambil kesimpulan:
1. Bahwa al Qur’an diturunkan kepada umat manusia untuk memberi petunjuk kearah jalan hidup yang lurus dalam arti memberi bimbingan dan petunjuk kearah jalan yang diridloi Allah SWT.
2. Menurut Hadist Nabi, bahwa diantara sifat orang mukmin ialah saling menasihati untuk mengamalkan ajaran Allah, yang dapat diformulasikan sebagai usaha atau dalam bentuk pendidikan Islam.
3. Al Qur’an dan Hadist tersebut menerangkan bahwa nabi adalah benar-benar pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus, sehingga beliau memerintahkan kepada umatnya agar saling memberi petunjuk, memberikan bimbingan, penyuluhan, dan pendidikan Islam.
Bagi umat Islam maka dasar agama Islam merupakan fondasi utama keharusan berlangsungnya pendidikan. Karena ajaran Islam bersifat universal yang kandungannya sudah tercakup seluruh aspek kehidupan ini. Pendidikan dalam arti umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda untuk memungkinkannya melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama, dengan sebaik-baiknya.
Corak pendidikan itu erat hubungannya dengan corak penghidupan, karenanya jika corak penghidupan itu berubah, berubah pulalah corak pendidikannya, agar si anak siap untuk memasuki lapangan penghidupan itu. Pendidikan itu memang suatu usaha yang sangat sulit dan rumit, dan memakan waktu yang cukup banyak dan lama, terutama sekali dimasa modern dewasa ini. Pendidikan menghendaki berbagai macam teori dan pemikiran dari para ahli pendidik dan juga ahli dari filsafat, guna melancarkan jalan dan memudahkan cara-cara bagi para guru dan pendidik dalam menyampaikan ilmu pengetahuan dan pengajaran kepada para peserta didik.
Kalau teori pendidikan hanyalah semata-mata teknologi, dia harus meneliti asumsi-asumsi utama tentang sifat manusia dan masyarakat yang menjadi landasan praktek pendidikan yang melaksanakan studi seperti itu sampai batas tersebut bersifat dan mengandung unsur filsafat. Memang ada resiko yang mungkin timbul dari setiap dua tendensi itu, teknologi mungkin terjerumus, tanpa dipikirkan buat memperoleh beberapa hasil konkrit yang telah dipertimbangkan sebelumnya didalam sistem pendidikan, hanya untuk membuktikan bahwa mereka dapat menyempurnakan suatu hasil dengan sukses, yang ada pada hakikatnya belum dipertimbangkan dengan hati-hati sebelumnya. Sedangkan para ahli filsafat pendidikan, sebaiknya mungkin tersesat dalam abstraksi yang tinggi yang penuh dengan debat tiada berkeputusan,akan tetapi tanpa adanya gagasan jelas buat menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang ideal.
Tidak ada satupun dari permasalahan kita mendesak dapat dipecahkan dengan cepat atau dengan mengulang-ulang dengan gigih kata-kata yang hampa. Tidak dapat dihindari, bahwa orang-orang yang memperdapatkan masalah ini, apabila mereka terus berpikir,yang lebih baik daripada mengadakan reaksi, mereka tentu akan menyadari bahwa mereka itu telah membicarakan masalah yang sangat mendasar. Sebagai ajaran (doktrin) Islam mengandung sistem nilai diatas mana proses pendidikan Islam berlangsung dan dikembangkan secara konsisten menuju tujuannya. Sejalan dengan pemikiran ilmiah dan filosofis dari pemikir-pemikir sesepuh muslim, maka sistem nilai-nilai itu kemudian dijadikan dasar bangunan (struktur) pendidikan islam yang memiliki daya lentur normatif menurut kebutuhan dan kemajuan.
Pendidikan Islam mengidentifikasi sasarannya yang digali dari sumber ajarannya yaitu Al Quran dan Hadist, meliputi empat pengembangan fungsi manusia :
1. Menyadarkan secara individual pada posisi dan fungsinya ditengah-tengah makhluk lain serta tanggung jawab dalam kehidupannya.
2. Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat, serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakatnya.
3. Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah kepada Nya
4. Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain dan membawanya agar memahami hikmah tuhan menciptakan makhluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya
Setelah mengikuti uraian diatas kiranya dapat diketahui bahwa Filsafat Pendidikan Islam itu merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al Qur’an dan al Hadist sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof Muslim, sebagai sumber sekunder. Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.
C. Kegunaan Filsafat dalam Pendidikan Islam
Prof. Mohammad Athiyah abrosyi dalam kajiannya tentang pendidikan Islam telah menyimpulkan 5 tujuan yang asasi bagi pendidikan Islam yang diuraikan dalam “ At Tarbiyah Al Islamiyah Wa Falsafatuha “ yaitu :
1. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Islam menetapkan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam.
2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam tidak hanya menaruh perhatian pada segi keagamaan saja dan tidak hanya dari segi keduniaan saja, tetapi dia menaruh perhatian kepada keduanya sekaligus.
3. Menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran dan memuaskan untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu bukan sekedar sebagai ilmu. Dan juga agar menumbuhkan minat pada sains, sastra, kesenian, dalam berbagai jenisnya.
4. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat mengusai profesi tertentu, teknis tertentu dan perusahaan tertentu, supaya dapat ia mencari rezeki dalam hidup dengan mulia di samping memelihara dari segi kerohanian dan keagamaan.
5. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau sprituil semata-mata, tetapi menaruh perhatian pada segi-segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Tidak lah tercapai kesempurnaan manusia tanpa memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan.
D. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
Penjelasan mengenai ruang lingkup ini mengandung indikasi bahwa filsafat pendidikan Islam telah diakui sebagai sebuah disiplin ilmu. Hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa sumber bacaan, khususnya buku yang menginformasikan hasil penelitian tentang filsafat pendidikan Islam. Sebagai sebuah disiplin ilmu, mau tidak mau filsafat pendidikan Islam harus menunjukkan dengan jelas mengenai bidang kajiannya atau cakupan pembahasannya. Muzayyin Arifin menyatakan bahwa mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematik. Logis, dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan, ysng tidak hanya dilatarbelakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, melainkan menuntut kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Pendapat ini memberi petunjuk bahwa ruang lingkup filsafat Pendidikan Islam adalah masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan, masalah guru, kurikulum, metode, dan lingkungan.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian singkat di atas maka dapat disimpulkan beberapa point penting tentang peranan filsafat dalam mensukseskan pendidikan Islam, yaitu:
Filsafat pendidikan akan menolong para perancang pendidikan dan orng-orang yang melakukannya dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran sehat terhadap proses kemajuan pendidikan, terutama dalam pendidikan Islam.
Filsafat Pendidikan Islam itu merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al Qur’an dan al Hadist sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof Muslim, sebagai sumber sekunder. Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.
Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa adanya filsafat tentunya akan lebih mampu membawa program pendidikan Islam ke tahap yang lebih baik dan maju dalam berbagai ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
K, Bertens. Sejarah Filsafat Yunani. Kanisius: Jogjakarta, 1999.
Rapar, Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Terj). Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam .Jakarta: Bumi Aksara. 1994.
Saifullah, Ali. Antara Filsafat dan Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional, 1983.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Admin;
Copyright @Catatan Edwan Ansari