Minggu, Agustus 25, 2024

Tuan Guru H. Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Dakkan.

 Makam Tuan Guru H. Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Dakkan.






Letak: Jalan Arsyadiyah, Desa Rumpiang RT. 01/RW. 01, Kecamatan Beruntung Baru, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan.


Tuan Guru H. Muhammad Arsyad dilahirkan pada hari Rabu tanggal 3 Januari 1906 M atau bertepatan dengan 8 Dzulqa'dah 1323 H di Pematang Sawah Amuntai dari pasangan suami-istri Abdullah dan Sariyunah, beliau mempunyai dua orang saudara yaitu Tuan Guru H. Muhammad Syahdan (Tatah Amuntai) dan Tuan Guru H. Muhammad Zuhri (Rumpiang).


Tuan Guru H. Muhammad Arsyad dan saudara-saudara beliau di masa kecil dididik langsung oleh kedua orangtuanya dengan ilmu-ilmu agama, setelah itu beliau melanjutkan belajarnya di sekolah madrasah. Setamatnya dari madrasah, beliau rajin mengikuti pelajaran dari satu guru ke guru yang lain, salah satunya adalah Syaikh Sulaiman Wali Cakru Amuntai.


Adapun nama beliau Muhammad Arsyad merupakan pemberian dari Syaikh Sulaiman Wali dengan mengambil berkah nama Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari atau Datu Kalampayan.


Pada masa pendudukan tentara NICA, beliau dan keluarga hijrah dari Amuntai ke Desa Rumpiang untuk memulai kehidupan baru sambil membuka hutan untuk dijadikan persawahan.


Menginjak usia remaja, Tuan Guru H. Muhammad Arsyad bersekolah di Pondok Pesantren Darussalam Martapura, pada waktu itu di bawah asuhan Tuan Guru H. Muhammad Kasyful Anwar. Setelah selesai dari Pondok Pesantren Darussalam, beliau oleh orangtuanya disuruh mengaji baduduk kepada Tuan Guru H. Zainal Ilmi untuk mendapat bimbingan zhahir dan batin. Sepulang dari menuntut ilmu di Martapura, beliau kembali ke Rumpiang dan mengajar di Madrasah At Tarbiyah Al Islamiyah yang sekarang menjadi MIN 5 Banjar dan dipimpin langsung oleh beliau sebagai kepala madrasahnya.


Tuan Guru H. Muhammad Arsyad adalah seorang ulama, tokoh masyarakat, tuan guru, pendidik, dan pejuang kemerdekaan. Di masa pendudukan, beliau ikut andil dalam mengusir penjajah yang berada di daerah Aluh-Aluh, Gambut, Kurau, dan Pelaihari di bawah pimpinan Panglima Besar H. Hasan Basry.


Tuan Guru H. Muhammad Arsyad memiliki tiga orang istri dan delapan orang anak. Istri yang pertama bernama Barwiyah, melahirkan empat orang anak yaitu Nursiah, Tuan Guru H. Ahmad Mursyada Nur, Fathurrahmah, dan Muhammad Kasmami. Istri yang kedua bernama Nur Ainah binti Anang, melahirkan dua orang anak yaitu Drs. Muhammad Tamami dan Ustadzah Sariyanur, S.Pd. Istri yang ketiga bernama Hj. Fatimah binti Iman, melahirkan dua orang anak yaitu Abdul Fatah dan Hj. Fathul Jannah.


Tuan Guru H. Muhammad Arsyad berpulang ke rahmatullah pada hari Kamis tanggal 4 Dzulqa'dah 1412 H atau bertepatan dengan 7 Mei 1992 M dan dimakamkan di samping belakang Pondok Pesantren Abnaul Amin Rumpiang.


Wasiat-wasiat dari Tuan Guru H. Muhammad Arsyad:


• Hormati kedua orangtua.

• Jaga dan pelihara kerukunan hidup di masyarakat.

• Kabulkan hajat atau keperluan semua orang yang membutuhkan.


Sumber: Pembacaan Manaqib Tuan Guru H. Muhammad Arsyad pada acara haul beliau yang ke-32, disampaikan oleh Tuan Guru H. Zainal Hakim bin Syaikh Ahmad Marzuki bin Syaikh Sulaiman Wali Al Banjari.


Al Fatihah...


رب فانفعنا ببركتهم واهدنا الحسنى بحرمتهم وأمتنا في طريقتهم ومعافاة من الفتن.


Tuan Guru H. Muhammad Zuhri bin Abdullah bin Dakkan (Pendiri Pondok Pesantren Abnaul Amin).

 Makam Tuan Guru H. Muhammad Zuhri bin Abdullah bin Dakkan (Pendiri Pondok Pesantren Abnaul Amin).


Letak: Jalan Arsyadiyah, Desa Rumpiang, Kecamatan Beruntung Baru, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan.


Tuan Guru H. Muhammad Zuhri adalah seorang ulama, pejuang, dan tokoh pendidikan di kalangan masyarakat terutama di daerah Kecamatan Beruntung Baru Kabupaten Banjar. Beliau dilahirkan di Desa Tangsawa Amuntai pada hari Jum'at tanggal 19 Maret 1926 M atau bertepatan dengan 5 Ramadhan 1344 H, ayahnya bernama Abdullah dan ibunya bernama Sariyunah. Saudaranya ada tiga yaitu Tuan Guru H. Muhammad Arsyad, Tuan Guru H. Muhammad Syahdan, dan saudara perempuan seayah bernama Maimanah. Sewaktu beliau masih kecil, kedua orangtuanya beberapa kali pindah untuk mendapatkan penghidupan yang lebih layak. Dari Desa Tangsawa pernah pindah ke Tapus Amuntai, kemudian pindah lagi ke daerah Tatah Amuntai Gambut, lalu akhirnya pindah dan menetap di Desa Rumpiang.


Sejak kecil beliau sudah dididik mempelajari dan memperdalam agama melalui bacaan Al-Qur'an, sehingga dalam usia anak-anak beliau telah beberapa kali menamatkan Al-Qur'an dan menghafal beberapa surah pendek. Pendidikan formal beliau diawali di Sekolah Rakyat (SR), lulus pada tahun 1939 M. Selanjutnya beliau menjadi santri di Pondok Pesantren Darussalam Martapura hingga lulus pada tahun 1945 M. Beliau juga belajar dengan beberapa ulama seperti Tuan Guru H. Ismail di Kertak Hanyar dan Tuan Guru H. Asmaun di Nagara. Beliau kemudian melanjutkan lagi pendidikannya di Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo selama 5 tahun, yakni tahun 1952-1957 M. Saat belajar di Pondok Pesantren Darussalam Martapura dan Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo, beliau sudah berkeluarga dan dikaruniai anak. Di Gontor beliau pernah mengabdi menjadi guru selama satu tahun, di antara murid yang pernah diajarinya adalah KH. Rafi'i Hamdi dan Nurkhalish Majid (Caknur). Pada usia 25 tahun, beliau tidak berhenti belajar di lembaga pendidikan formal. Beliau kembali meneruskan pendidikannya di Pendidikan Agama Islam pada SR (lulus tahun 1961 M) dan Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri/MAAIN (lulus tahun 1968 M).


Dari aspek kehidupan keluarga, beliau telah membina rumah tangga sambil tetap melanjutkan studinya. Beliau memiliki seorang istri bernama Hj. Aluh Jamilah dan delapan orang anak yang hidup hingga dewasa dan tiga orang yang meninggal saat kecil. Delapan anaknya itu adalah Hj. Nazirah, Drs. H. Isa Anshari, Drs. Imam Zarkasyi, Kasmamiah, Hj. Nahriah, Dr. Husnul Yaqin, M.Ed, Dr. H. Barsihannor, M.Ag, dan Syarifuddin, S.Ag, M.Ag. Dari delapan orang anak beliau, tiga orang anak perempuan dimasukkan ke pondok pesantren dan lima orang anak laki-laki bergelar sarjana. Dari kelima anak yang bergelar sarjana, empat orang menjadi dosen yaitu dua orang di UIN Antasari Banjarmasin dan satu orang di UIN Alauddin Makassar serta satu orang lagi di IAIN Palangkaraya. Sementara anak beliau yang satu lagi menjadi PNS di salah satu kementerian. Beliau mendidik anak-anaknya secara demokratis, beliau tidak membedakan dunia pendidikan di NU atau Muhammadiyah. Karena itu, walaupun beliau tergolong sebagai tokoh NU di daerahnya, namun beliau tidak melarang anak-anaknya dididik dan dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah.


Tuan Guru H. Muhammad Zuhri ikut dalam perjuangan melawan penjajahan, beliau terlibat aktif dalam batalyon yang bermarkas di Kalimantan Timur di bawah komando Kolonial Jatinegara. Ada tiga medan perjuangan di mana beliau terlibat di dalamnya, yaitu melawan pengaruh Jepang, menghadapi NICA, dan menghadapi pemberontakan G30S/PKI. Atas jasanya ini, beliau kemudian mendapat penghargaan dari pemerintah sebagai pejuang veteran dengan pangkat Pembantu Letnan Dua atau Pelda. Di kesatuannya (Batalyon tentara di Balikpapan) antara tahun 1950-1952 M, beliau menjabat sebagai Kepala Rohis (Rohani Islam). Namun beliau tidak lama pada posisi itu, setelah sekitar satu tahun, orangtuanya memanggil beliau untuk pulang ke kampung untuk berkiprah di bidang pendidikan di kampungnya.


Tuan Guru H. Muhammad Zuhri tinggal di tengah-tengah masyarakat terpencil di Desa Rumpiang wilayah Kecamatan Beruntung Baru Kabupaten Banjar. Meski tinggal jauh dari keramaian, namun kondisi itu tidak membatasi aktivitas, pemikiran, dan pengabdian beliau untuk membangun masyarakat sekitar. Beliau dikenal sebagai mubaligh/dai yang aktif mengisi majelis taklim, ceramah agama, nasihat perkawinan, petuah kehidupan, dan lainnya, baik atas permintaan masyarakat sekitarnya maupun atas permintaan beberapa pejabat pemerintahan seperti gubernur, bupati, walikota, camat, dan sebagainya. Di samping giat menghadiri undangan ceramah di sejumlah daerah, rumah beliau juga menjadi tempat masyarakat untuk mendapatkan bimbingan keagamaan dan nasihat kehidupan, bahkan ada yang datang untuk berobat.


Di tengah masyarakat terpencil itu, Tuan Guru H. Muhammad Zuhri menyadari kondisi masyarakat sekitarnya yang masih buta tentang pentingnya pendidikan, ditambah lagi tidak ada fasilitas pendidikan yang memadai untuk masyarakat di lingkungannya. Menyadari hal itu, beliau kemudian mempelopori pembagunan lembaga pendidikan di Desa Rumpiang dalam bentuk pesantren yang bernama Pondok Pesantren Abnaul Amin, lembaga inilah yang menjadi basis pencerahan pikiran dan pencerdasan masyarakat di sekitarnya.


Pada awalnya, lembaga pendidikan yang didirikan adalah madrasah ibtidaiyah. Namun setelah pulang dari Gontor, beliau kemudian mengubah polanya dan menambah jenjang pendidikan menengah yaitu madrasah tsanawiyah. Beliau memodifikasi sekolah tersebut menjadi pesantren, modifikasi ini didasarkan pada pengalaman beliau ketika belajar di Pondok Pesantren Gontor. Karena itu, selain sarana dan prasarananya dibentuk menjadi pesantren, kurikulumnya juga diubah mengikuti kurikulum Gontor, perubahan ini terjadi pada tahun 1958 M. Tidak hanya di Rumpiang, beliau juga mempelopori pembukaan lembaga pendidikan di desa tetangganya yaitu Desa Jambu Burung, di sana beliau membuka PGA 4 tahun pada tahun 1965 M dan menjadi kepala sekolahnya. Setelah berjalan kurang lebih 20 tahun, PGA tersebut berubah menjadi madrasah aliyah. Pada tahun 1985 M, di Rumpiang, beliau juga membuka madrasah aliyah di Pondok Pesantren Abnaul Amin.


Untuk mencerdaskan masyarakatnya di bidang keagamaan, Tuan Guru H. Muhammad Zuhri menjadikan rumahnya sebagai tempat pengajian. Pengajian di rumah beliau ini diawali dengan pembacaan Dala'il (berisi shalawat) dan Kitab Aqidatul Awwam (ajaran tauhid), setelah itu barulah dilakukan pengajian. Selain mengajarkan tauhid, beliau juga mengajarkan fiqih madzhab Syafi'i dengan merujuk pada buku fiqih karya Sulaiman Rasyid dan Kitab Sabilal Muhtadin karya Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari. Beliau juga mengajarkan fiqih menggunakan Kitab Parukunan untuk mengajarkan berbagai ketentuan-ketentuan fiqih ibadah praktis. Beliau juga mengajarkan tasawwuf kepada masyarakat menggunakan beberapa kitab rujukan di antaranya adalah Kitab Durratun Nashihin, Tanbihul Ghafilin, dan Miftahul Mafatih.


Tidak hanya ilmu tauhid, fiqih, dan tasawwuf, Tuan Guru H. Muhammad Zuhri juga memberi kesempatan kepada masyarakat yang berminat dan para santrinya untuk belajar bahasa Arab (nahwu dan sharaf). Untuk pelajaran bahasa Arab, beliau menggunakan beberapa kitab rujukan yaitu Matan Al Ajurrumiyah, Kawakib Ad-Durriyah, Alfiyah, Al-Amtsilah At-Tashrifiyah, Al-Qira'at Ar-Rasyidah, Nahwul Wadhih, dan lain-lain.


Di samping pengajian, beliau juga mengadakan pembacaan maulid seperti Maulid Ad-Diba'i, Syaraful Anam, dan Maulid Al-Habsyi. Kegiatan ini secara rutin dilaksanakan setiap malam Senin. Begitulah cara beliau menyemarakkan syiar Islam di daerah yang cukup terpencil itu.


Kiprah beliau tidak hanya terbatas pada sekitar tempat tinggalnya, tetapi beliau juga rajin berdakwah keliling ke 

sejumlah wilayah di Kecamatan Beruntung Baru. Kondisi jalan dan alat transportasi yang masih terbatas tidak menghalangi beliau keluar masuk kampung untuk berdakwah. Beliau banyak memasuki kampung-kampung yang berada di wilayah pesisir dan terpencil. Beberapa tempat yang menjadi tempat di mana beliau aktif berdakwah di antaranya adalah Desa Jambu Burung, Keramat, Tambak Babi, Gudang Lukah, Tanipah, Bunipah, Sungai Musang, Pemurus, dan Tabunganen.


Aktivitas beliau yang lain selain yang telah disebutkan di atas adalah mengikuti beberapa organisasi atau perkumpulan seperti menjadi anggota Tarekat Syadziliyah, pengurus dan anggota veteran, dan anggota Dewan Pendamping Pimpinan Cabang Satuan Karya Ulama. Beliau juga aktif mengikuti pelatihan, penataran, lokakarya, kursus, seminar regional, dan pernah pula menjadi penyuluh agama muda dan madya.


Tuan Guru H. Muhammad Zuhri berpulang ke rahmatullah pada hari Senin tanggal 22 April 2002 M atau bertepatan dengan 9 Shafar 1423 H pukul 17.00 WITA. Beliau wafat di rumahnya setelah shalat Ashar dan dimakamkan keesokan harinya di samping rumah beliau setelah shalat Ashar. Beliau tidak hanya meninggalkan sejumlah fasilitas pendidikan bagi masyarakatnya, tetapi juga meninggalkan keteladanan yang luar biasa sebagai tokoh perintis pendidikan Islam di wilayah terpencil untuk memajukan masyarakat yang masih terbelakang dari segi pendidikan.


Sumber: Ulama Banjar Dari Masa Ke Masa, jilid II, halaman 136-140.


Al Fatihah...


رب فانفعنا ببركتهم واهدنا الحسنى بحرمتهم وأمتنا في طريقتهم ومعافاة من الفتن.


di-posting ulang oleh Muhammad Edwan Ansari 





Tuan Guru Gusti Rumansyah bin Gusti Madari.

  • Makam Gusti Madari bin Gusti Sa'aluddin (Datu Labah) bin Gusti Muhammad Saleh (Pangeran Adipati Antakesuma II).

• Makam Tuan Guru Gusti Rumansyah bin Gusti Madari.

• Makam Gusti Khalid bin Gusti Madari.

• Makam Ummi Salmah binti Jamaluddin.


Letak: Jalan Keramat, Desa Jambu Burung RT. 07/RW. 02, Kecamatan Beruntung Baru, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan (Seberang Masjid Al Karamah Jambu Burung).


Tuan Guru Gusti Rumansyah dilahirkan di Danau Panggang, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Beliau adalah orang yang sangat pemurah walaupun kehidupan beliau tergolong pas-pasan. Dan di antara pekerjaan beliau selagi di Danau Panggang adalah membuat lukah. Apabila ada orang yang mau membeli lukah walaupun beliau rugi, beliau tetap menjualnya, kata beliau nanti ada saja untungnya di lain waktu dan tempat. Apabila ada yang minta, beliau memberinya dengan sukarela. Begitu juga dengan makanan, beliau tidak pernah pelit kepada siapa pun. Selain itu, beliau adalah seorang yang sangat zuhud lagi wara dan berpaling hati dari dunia.


Adapun amaliyah, riyadhah, mujahadah, serta khalwat dan tafakkur beliau di dalam kebanyakan waktunya adalah mengikuti apa yang dikerjakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As Samman Al Madani. Konon, ketika jenazah beliau baru dimakamkan, tiba-tiba makam beliau mengeluarkan cahaya yang sangat terang sehingga diberi nama Kubah Cahaya.


السخى حبيب الله ولو كان جاهلا والبخيل عدو الله ولو كان عالما.


Orang yang pemurah itu adalah kekasih Allah meskipun ia jahil, sedangkan orang bakhil itu musuh Allah walaupun ia alim.


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


ازهد في الدنيا يحبك الله.


Zuhudlah engkau terhadap dunia, maka engkau akan dicintai Allah. (HR. Imam Ibnu Majah)


Sumber: Pembacaan Manaqib Tuan





Guru Gusti Rumansyah pada acara haul beliau yang ke-77 di Desa Jambu Burung.


Al Fatihah...


رب فانفعنا ببركتهم واهدنا الحسنى بحرمتهم وأمتنا في طريقتهم ومعافاة من الفتن.



Makam Gusti Madari bin Gusti Sa'aluddin (Datu Labah) bin Gusti Muhammad Saleh (Pangeran Adipati Antakesuma II). • Makam Tuan Guru Gusti Rumansyah bin Gusti Madari. • Makam Gusti Khalid bin Gusti Madari. • Makam Ummi Salmah binti Jamaluddin.

  • Makam Gusti Madari bin Gusti Sa'aluddin (Datu Labah) bin Gusti Muhammad Saleh (Pangeran Adipati Antakesuma II).

• Makam Tuan Guru Gusti Rumansyah bin Gusti Madari.

• Makam Gusti Khalid bin Gusti Madari.

• Makam Ummi Salmah binti Jamaluddin.


Letak: Jalan Keramat, Desa Jambu Burung RT. 07/RW. 02, Kecamatan Beruntung Baru, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan (Seberang Masjid Al Karamah Jambu Burung).


Tuan Guru Gusti Rumansyah dilahirkan di Danau Panggang, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Beliau adalah orang yang sangat pemurah walaupun kehidupan beliau tergolong pas-pasan. Dan di antara pekerjaan beliau selagi di Danau Panggang adalah membuat lukah. Apabila ada orang yang mau membeli lukah walaupun beliau rugi, beliau tetap menjualnya, kata beliau nanti ada saja untungnya di lain waktu dan tempat. Apabila ada yang minta, beliau memberinya dengan sukarela. Begitu juga dengan makanan, beliau tidak pernah pelit kepada siapa pun. Selain itu, beliau adalah seorang yang sangat zuhud lagi wara dan berpaling hati dari dunia.


Adapun amaliyah, riyadhah, mujahadah, serta khalwat dan tafakkur beliau di dalam kebanyakan waktunya adalah mengikuti apa yang dikerjakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As Samman Al Madani. Konon, ketika jenazah beliau baru dimakamkan, tiba-tiba makam beliau mengeluarkan cahaya yang sangat terang sehingga diberi nama Kubah Cahaya.


السخى حبيب الله ولو كان جاهلا والبخيل عدو الله ولو كان عالما.


Orang yang pemurah itu adalah kekasih Allah meskipun ia jahil, sedangkan orang bakhil itu musuh Allah walaupun ia alim.


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


ازهد في الدنيا يحبك الله.


Zuhudlah engkau terhadap dunia, maka engkau akan dicintai Allah. (HR. Imam Ibnu Majah)


Sumber: Pembacaan Manaqib Tuan





Guru Gusti Rumansyah pada acara haul beliau yang ke-77 di Desa Jambu Burung.


Al Fatihah...


رب فانفعنا ببركتهم واهدنا الحسنى بحرمتهم وأمتنا في طريقتهم ومعافاة من الفتن.



Tuan Guru H. Hadhari bin Thayyib (Pendiri Pondok Pesantren An Najah).

 Makam Tuan Guru H. Hadhari bin Thayyib (Pendiri Pondok Pesantren An Najah).


Letak: Jalan Handil Mangguruh, Desa Haur Kuning, Kecamatan Beruntung Baru, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan.


Tuan Guru H. Hadhari bin Thayyib dilahirkan di Kampung Hapalah Kalua pada tanggal 11 Mei 1940 M dari seorang ibu bernama Bainah binti Bakri, beliau dibesarkan di Handil Mangguruh Desa Haur Kuning dan menetap serta bertempat tinggal di Handil Mangguruh hingga masa tua.


Beliau awal mula bersekolah di Handil Mangguruh sekitar tahun 1945 M di Madrasah Mangguruh Bawah atau yang sekarang disebut Desa Pindahan Baru, waktu itu fak pelajaran di madrasah ini kebanyakannya adalah pelajaran agama seperti Al Qur'an, Hadits, Akhlak, Mahfuzhat, dan lain-lain. Di antara guru-guru beliau yang dari Kalua yaitu Guru Hasan yang mengajarkan fak huruf Melayu-Arab (wafat di Makkah Al Mukarramah) dan H. Abdurrazaq yang mengajarkan ilmu Nahwu-Sharaf.


Tuan Guru H. Hadhari pada waktu itu tidak sempat tamat di madrasah tersebut dikarenakan terjadinya kegaduhan oleh kelompok yang disebut gerombolan yang menyebabkan guru-guru beliau terpaksa harus pulang ke Kalua. Setelah beberapa lama waktu berlalu, Tuan Guru H. Hadhari melanjutkan belajarnya ke Pondok Pesantren Darussalam Martapura dan alhamdulillah pernah satu kelas dengan Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Al Banjari atau Abah Guru Sekumpul.


Sepulangnya ke kampung halaman, beliau membuka pengajian di rumah dan mendirikan Pondok Pesantren An Najah serta terus istiqamah sebagai khadam ilmu hingga akhir hidupnya.


Tuan Guru H. Hadhari bin Thayyib berpulang ke rahmatullah di kediamannya pada malam Kamis ba'da Isya tanggal 19 September 2018 M atau bertepatan dengan 10 Muharram 1440 H dalam usia kurang lebih 78 tahun.


Sumber: Pembacaan Manaqib Tuan Guru H. Hadhari bin Thayyib pada acara haul beliau yang ke-6 tahun 2024 M.



Al Fatihah...


رب فانفعنا ببركتهم واهدنا الحسنى بحرمتهم وأمتنا في طريقتهم ومعافاة من الفتن.






Benteng Tabanio.

 Benteng Tabanio.


Letak: Desa Tabanio, Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan.


Benteng Tabanio adalah bekas benteng historis pusat pertahanan militer Belanda yang terletak di Desa Tabanio, namun sayangnya benteng tersebut kini tidak lagi berbentuk dan hanya menyisakan sedikit jejak sejarah.


Pada abad ke-17 M, Tabanio merupakan sebuah kampung kecil di sekitar Sungai Tabanio di pantai selatan Kalimantan. Kampung tersebut merupakan kawasan strategis dengan potensi ekonomi yang tinggi dengan hasil lada, perikanan, dan tambang emas di daerah Pelaihari. Pada tanggal 6 Juli 1779 M, VOC Belanda membuat perjanjian dengan Sultan Banjar mengenai monopoli perdagangan. Pada pasal 7 perjanjian tersebut mengatur mengenai pembangunan benteng di Tabanio. Lalu VOC membangun sebuah benteng yang berbentuk segi empat tidak beraturan di sekitar muara Sungai Tabanio, masing-masing sudut benteng dilengkapi dengan bastion (sudut atau penjuru yang dibangun menjorok keluar pada dinding benteng dan dipersenjatai dengan artileri) berbentuk bundar. Pintu gerbang menghadap ke laut. Tembok benteng terbilang cukup tinggi yakni setinggi tubuh gapura. Pada tahun 1791 M, seorang insinyur Belanda bernama C. F. Reimer sebenarnya telah merancang sebuah desain benteng yang cukup besar di lokasi tersebut, namun sepertinya tidak direalisasikan.


Gubernur Jenderal Belanda Herman Willem Daendels yang berkuasa antara tahun 1801-1818 M suatu ketika memerintahkan untuk meninggalkan pos-pos perdagangan yang merugi di Kalimantan termasuk di Tabanio. Pada tahun 1826 M, Sultan Adam dari Kesultanan Banjar membuat kesepakatan dengan Pemerintah Hindia Belanda di mana sultan menyerahkan daerah yang jarang penduduk di sekitar Tabanio. Kemudian benteng di Tabanio digunakan sebagai pusat pemerintahan sipil di daerah tersebut dan sekitarnya. Pada tahun 1854 M, pemerintahan sipil dipindah dari Tabanio ke Pelaihari dan benteng tersebut kemudian ditinggalkan. Pelaihari berkembang menjadi wilayah penting saat itu karena adanya pertambangan batubara yang menghasilkan bahan bakar untuk kapal uap yang jumlahnya terus meningkat.


Pada masa awal Perang Banjar tahun 1859 M, sekelompok pejuang di bawah Demang Lehman, Kiyai Langlang, dan Haji Buyasin menduduki benteng di Tabanio dan menghabisi pemegang pos di benteng tersebut serta menewaskan pejabat Belanda yakni Gezaghebber Maurits beserta anak buahnya. Sementara itu Kapal Perang Bone dikirim Belanda ke Tanah Laut untuk merebut kembali Benteng Tabanio yang telah dikuasai para pejuang. Ketika pasukan Letnan Laut Cronental menyerbu Benteng Tabanio, sembilan orang serdadu Belanda tewas dan terpaksa pasukan Belanda yang tersisa mengundurkan diri dengan menderita kekalahan. Belanda kemudian melakukan serangan kedua, tetapi benteng itu dipertahankan dengan gagah berani oleh Demang Lehman, Kiyai Langlang, dan Haji Buyasin. Serangan serdadu Belanda didukung angkatan laut yang menembakkan meriam dari kapal perang, sedangkan pasukan darat menyerbu Benteng Tabanio, Demang Lehman beserta pasukannya lolos dengan tidak meninggalkan korban. Belanda menilai bahwa kemenangan terhadap Benteng Tabanio ini tidak ada artinya jika diperhitungkan dengan jumlah sarana yang dikerahkan. Sebanyak 15 buah meriam dan sejumlah senjata ternyata tidak berhasil melumpuhkan kekuatan Demang Lehman dan pasukannya. Kemudian Belanda merebut kembali benteng itu pada Agustus 1859 M, lalu 50 prajurit dan dua meriam ditempatkan di benteng. Tabanio dijadikan basecamp untuk pengamanan area tersebut. Benteng Tabanio yang terdaftar sebagai benteng kelas 4 (untuk melawan pribumi) kemudian dihapuskan dari daftar inventaris alat pertahanan Hindia Belanda.


Di-posting ulang oleh; Muhammad Edwan Ansari 









Makam Datu Palangaian.

 Makam Datu Palangaian.


Letak: Jalan Danau Waringin, Desa Pemuda RT. 09/RW. 03, Kecamatan Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan.


Dulu setiap malam Jum'at waktu masih ada kebun tebu PTPN, terlihat 13 cahaya terang di makam ini dan terdengar seperti suara orang-orang sedang membaca Yasin. Semoga dengan wasilah shahibul maqam, Allah kabulkan hajat-hajat kita, aamiin.


Al Fatihah...










Datu Aling

Syaikh Muhammad Manshur (Datu Aling).

Menurut cerita orang tua zaman dahulu, Datu Aling adalah seorang raja. Yang mana dahulu di sekitar lingkungan tempat tinggal beliau, berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Tambai. Selain sebagai seorang raja, Datu Aling juga merupakan seorang yang shalih dan taat dalam beragama sehingga dikenal sebagai tokoh alim ulama. Semasa muda, Datu Aling adalah salah seorang pengawal dan orang kepercayaan Sultan Adam Al Watsiq Billah.


Selain itu, Datu Aling juga merupakan salah satu tokoh pencetus Perang Banjar dalam melawan penjajah Belanda. Bersama Pangeran Antasari dan para pejuang lainnya, Datu Aling menyerbu tambang batubara Oranje Nassau milik Belanda di Pengaron pada 28 April 1859 M. Belanda kemudian mengatur siasat untuk membalas dendam atas serangan di Pengaron, Residen Verspyek memerintahkan penyerangan ke Kerajaan Tambai. Serangan disambut pasukan Datu Aling dengan pekik takbir, salah seorang pemimpin pasukan lawan yakni Kapten Benchop tewas ditombak. Melihat kaptennya tewas, Belanda pun mengirim bala bantuan berupa satu peleton hingga Datu Aling terdesak dan mundur. Tambai dibumihanguskan, Datu Aling gugur dalam pertempuran itu, namun Belanda tidak pernah menemukan jasadnya.

Desa Lawahan Cempaka RT. 05, Kecamatan Tapin Selatan, Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan.





Al Fatihah...


رب فانفعنا ببركتهم واهدنا الحسنى بحرمتهم وأمتنا في طريقتهم ومعافاة من الفتن.


Barabai, 25 Agustus 2024

Muhammad Edwan Ansari 

Alimul Fadhil H.ABDUL KARIM Bin H.MUHAMMAD ARIF Bin Al Alimul Allamah H.MUHAMMAD SHALEH Bin Khalifah H.HASANUDDIN Bin Maulana Syekh MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI.••

Alimul Fadhil H.ABDUL KARIM Bin H.MUHAMMAD ARIF Bin Al Alimul Allamah H.MUHAMMAD SHALEH Bin Khalifah H.HASANUDDIN Bin Maulana Syekh MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI.



A. Kelahiran dan menuntut Ilmu.

Al 'Alimul Fadhil H.Abdul Karim dilahirkan di kampung Banua Halat, dari orang tua yang Shalih dan Shalihah pada tahun 1305 H. bertepatan tahun 1888 M.

Bersama dua saudara yakni Muhammad Arsyad dan Ampal (gelar) mendapatkan didikan langsung akan ilmu agama dari ayahnya dan kepada tuan guru H.Manshur bin H.Umar, kemudian dikirim oleh ayahnya ke Balimau Hulu Sungai Selatan kepada seseorang guru  beberapa tahun lamanya, kemudian dikirim lagi ke Nagara Hulu Sungai Selatan diantara nya berguru kepada Al Alimul Allamah H.Muhammad Azhari bin H.Muhammad Yasin dan tuan guru Ja'far.

Sehabis menuntut Ilmu di Nagara  beliau berangkat ke Makkah, 

dalam perjalanan ke Makkah dibawa oleh ayahnya silaturrahim kepada Habib Usman bin Aqil bin Yahya sekaligus mendapatkan salinan tangan kitab Sifat Dua Puluh dari Habib Usman bin Aqil tersebut. 

dari Batavia sampailah beliau ke Makkah, 

Kemudian diperkenalkan oleh ayahnya dengan silaturrahim kepada guru-guru pada zaman itu  terutama sekali kepada Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari yang tinggal dirumah bekas kediaman Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.

Diantara guru-guru beliau sewaktu di Makkah adalah sebagai berikut :

- Al Alimul Allamah syekh Ali bin 

  Adullah Al Banjari.               

- Al Alimul Allamah Syekh Abdullah bin 

  Shalih Al Banjari.

- Al Alimul Allamah Syekh Mukhtar Ath  

  Tharid Al Bukhori.

- Al Alimul Allamah Abdul Hayyi Al Kittani

- Al Alimul Allamah Syekh Abdush

   Shamad.

- Al Alimul Allamah Syekh Sa'id Al 

  Yamani.

- Al Alimul Allamah Sayyid Ahmad bin 

  Abu Bakar Syatta.

- Al Alimul Allamah Syekh Muhammad 

  Ahyath Al Bogori (Guru Tabarruk).

Seiring berjalannya waktu ayah beliau yang memotivasi dalam hal menuntut ilmu berpulang ke Rahmatullah di Syamiah Makkah pada tanggal 6 Ramadhan 1341 H. Bertepatan 23 April 1923. 

di kuburkan di Ma'la tanah suci Makkah.

kurang lebih 20 thn menuntut ilmu di Makkah, menjadikan beliau rindu dgn kampung halaman.... 


B. Masa berkhidmat terhadap

     Agama dan berumah tangga.

Setelah wafat ayahnya, 

Al Alimul Fadhil H.Abdul Karim melakukan pernikahan dengan Masromi binti Abdullah (berasal dari Johor Malaysia), pernikahan ini dilaksanakan di Syamiah dan dikaruniai seorang anak perempuan yang bernama Khamsiah. 

Sekian lamanya berumah tangga di Makkah, beliau berkeinginan untuk kembali pulang ke kampung halaman. kepulangan beliau menggunakan kapal laut, dalam perjalanan pulang tersebut beliau singgah di Johor Malaysia untuk beberapa waktu lamanya.

di Johor  beliau sempat memberikan pengajaran agama Islam atas permintaan masyarakat disana, 

Karena kerinduan dgn kampung yang tak dapat dibendung lagi maka pulanglah beliau kekampung halaman yakni kampung Banua Halat Rantau,  tanpa anak isteri yang menyertai.

Sesampainya di kampung Banua Halat beliau diminta oleh masyarakat untuk membuka pengajian Ilmu ilmu agama di masjid Banua Halat dan di mushalla dekat rumah beliau.

Al Alimul Fadhil H.Abdul Karim sangatlah memperhatikan para penuntut ilmu yang berasal dari luar hingga beliau buatkan sejenis asrama yang sederhana di kanan dan kiri samping mushalla, sedangkan mushalla sebagai pusat pengajian beliau.

Adapun metode pembelajaran beliau sama dengan metode Datuk beliau sendiri Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari yakni Bila Hal Bil lisan dan Bil kitab adapun Fan Ilmu yang beliau ajarkan adalah Tauhid, Fiqih, Tasauf dan ilmu ilmu alat yang berguna untuk para pemula dalam membaca kitab-kitab berbahasa Arab.

Al Alimul Fadhil H.Abdul Karim tak kenal lelah untuk berdakwah dalam mengemban tugas selaku ulama Waratsatul Anbiya, hingga sampai ke daerah Balimau Kandangan HSS demi mengabulkan Hajad masyarakat...

Seiring berjalannya waktu.. 

kerinduan dgn tanah Haramain dan ziarah ke maqam ayah beliau yang mendahului serta keinginan silaturrahim kepada guru-guru beliau yang masih hidup, 

Akhirnya beliau kembali berangkat ketanah Haramain. 

Setelah melaksanakan ibadah haji dan ziarah ke maqam Rasulullah beliau pun kembali ke Makkah dan tinggal di rumah guru beliau Al-Alimul Allamah Syekh Ali Al-Banjari untuk beberapa tahun lamanya.

Dalam waktu kurang lebih tiga tahun  beliau pergunakan semaksimal mungkin untuk menuntut ilmu kepada guru guru disana, terutama sekali kepada Al Alimul Allamah Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari.

Dengan Izin para gurunya..

akhirnya pulanglah ke kampung halaman dan anak beliau yang bernama H.Shaleh tinggal di Makkah bersama Al Alimul Allamah Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari guna mendapatkan pendidikan agama.

Masyarakat Banua Halat menyambut dengan gembira atas kedatangan ulama yang dinanti selama ini, 

Pengajian pun dilanjutkan kembali seperti dulu.

Pada tahun itu pula beliau menikahkan dua anaknya  sekaligus, 

yaitu:

Hj.Aminah dengan Tuan Guru Qadhi H.Ismail bin Abdul Jabbar dan Hj.Khairiah dengan Tuan Guru H.Ali Noordin bin H.Ghazali (anak murid beliau sendiri).

Selama hidupnya Al Alimul Fadhil H.Abdul Karim bin H.Muhammad Arif mempunyai 3 orang isteri,

yaitu:

1. Masromi binti Abdullah (selagi di Makkah).

dikaruniai satu orang anak yang bernama Khamsiah, 

Khamsiah kawin dengan Abdullah bin H.Karjah mempunyai 9 orang anak, 

yaitu: 

Shafiah, Muhammad Bakri, Usman, Zulqarnain, Lathifah, Sahlan, Siti Rohanah, Hafizah Marhamah dan Shafaruddin.

Istri beliau Masromi dan anak beliau khamsiah di maqamkan di Perak Ipoh Malaysia, dan semuanya anak Khamsiah ini berada di Ipoh Malaysia..

2. Zainab binti Ali Hasan (perkawinan ini setelah datang dari Makkah)

dikaruniai 3 orang anak, 

yaitu: 

H.Shaleh, Hj.Khairiah dan Hj.Aminah. 

- H.Shaleh tidak mempunyai keturunan.

- Hj.Khairiah kawin dengan Tuan Guru H. Ali Noordin mempunyai 15 orang anak,

yaitu:

KH.Muhammad Anshari, H.Akhmad Nabhani, H.Rizalul Ghadi, H.Muhammad Ramdhani, Zakiah Khamsah, H.Noor Jumaidi, Subhan Nahdi, Ahmad Sabi', Wahdah Assabiqi, Hj.Arba'inah, H.Ahmad Quaidi, Wahidah, Ibnu Tsabit Noordin, Zainah Mubarakah dan Rabi'atul Awwaliah.

- Hj.Aminah kawin dengan Tuan Guru Qadhi H.Ismail bin Abdul Jabbar tidak mempunyai keturunan.

3. Kawin dgn seorang perempuan dari Balimau Hulu Sungai Selatan dikaruniai satu orang Anak, 

yaitu:

Hj.Tarbiyah. 

Hj.Tarbiyah tidak mempunyai keturunan.


C. Sebagian Karamah.

Karamah Al Alimul Fadhil H.Abdul Karim bin H.Muhammad Arif yang masih dikenang dimasyarakat adalah sebagai berikut:

- Ketika beliau berbincang bincang di teras rumah dengan keluarga ada Pelepah daun Nyiur (kelapa) jatuh. sambil bercanda beliau menyebutkan jumlah daun Nyiur (kelapa) tersebut, setelah dihitung oleh salah satu keluarga nya ternyata benar apa yang beliau sebutkan tersebut.

- Pertunjukan Wayang Kulit gagal karena tidak minta izin kepada beliau, semalaman hujan dengan derasnya hingga pertunjukan tersebut gagal.

- Ada seseorang yang meremehkan beliau ketika sudah wafatnya, 

mengatakan bahwa" Maqam beliau ini tak mempunyai Karamah" Spontan habis mengatakan itu kakinya terjerembab masuk kedalam tanah dan tidak bisa lagi menariknya walaupun meminta pertolongan orang lain. kemudian sadarlah orang tersebut akan kesalahannya dan minta ampun kepada Allah, seketika itulah kakinya dapat di angkat kembali.


D. Berpulang  ke Rahmatullah.

Sekian tahun membina pengajian dan pesanterin lemahlah jasmani beliau, suatu hari beliau berwasiat kepada dua anak mantu untuk meneruskan perjuangan beliau. tuan guru Qadhi H.Ismail bin Abdul Jabbar menggantikan pengajian di Masjid Banua Halat dan tuan guru H.Ali Noordin menggantikan mengurus pesanterin.

Seiring berjalan waktu karena para santri yang semakin banyak dan tempatnya rawan longsor /pinggir sungai maka dipindahkan ke Cangkring jln Darussalam Rantau..

Hari demi hari semakin lemahlah jasmani beliau.. tidak begetu lama  menghembuskan napas terakhir..

Inna lillahi wa'inna ilaihira ji'un

Masarakat bersedih.. berduka..merasa sangat kehilangan...


Roh beliau yang suci bertemu dengan Dzat Tuhannya pada sore Ahad tanggal 2 Shafar 1378 Hijriah bisa bertepatan 17 Agustus 1958.

Jasad beliau di maqamkan di seberang jalan rumah beliau keesokan harinya Senin 18 Agustus 1958 M/3 Shafar 1378 H.......


di-posting ulang oleh: Muhammad Edwan Ansari